SEJARAH PAJAK DI INDONESIA DAN NEGARA IN

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA
DAN NEGARA INGGRIS
MATA KULIAH : PENGANTAR PERPAJAKAN
DOSEN : RACHMAT PRAMUKTY, S. E., M. Si.

Penyusun :
Olivia Ananta Asri CG317112014

MANAJEMEN KOMUNIKASI
INSTITUT STIAMI
2017

Assalamu’alaikum Warrohmatullah Wabarokatuh, atas berkat rahmat Allah.SWT
yang Maha Kuasa saya dapat memulai dan menyelesaikan tugas sejarah pajak di
indonesia dan negara berkembang lalu membandingkannya dari Bapak Rachmat
Pramukhti, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan lindungan Allah.SWT
aamiin. Dalam mengerjakan tugas ini saya membaca dan literatur dari e-book
karya dan berbagai blog di internet untuk menguatkannya.
Sejak zaman peradaban dimulai manusia sudah mengenal pajak yang
ditekankan penguasa atau orang yang memiliki kedudukan pada masa itu. Pajak
yang dibebankan oleh rakyat mulanya hanya untuk kepentingan penguasa atau

pembiayaan perang hingga menjadi sumber dana dalam menjalankan
kepentingan bersama yang dipercayakan oleh penduduk. Peristiwa ini terjadi
karena kehendak manusia untuk mengubah kehidupannya yang semula primitif.
Menurut Rousseau dalam buku le contract social, suatu mekanisme dengan cara
apa masing-masing manusia menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk
kepentingan bersama, dibawah pimpinan tertinggi yaitu kehendak umum
(volonte generale),dan didalam korps politis dimana setiap orang menerima
setiap anggota sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Jadi
dalam hal ini terjadi ikatan antara individu dengan kolektifitas tempat ia menjadi
bagian dari anggotanya.
Sejarah mencatat adanya kegiatan perpajakan pertama kali diprkirakan berasal
dari enam ribu sebelum masehi, yang ditemukan di kota kuno Lagash, Iraq di
sebelah barat laut sungai Tigris dan Efrat dalam bentuk lempengan tanah liat.
Menurut Juru Taksir yang memfokuskan sekitar kota kerajaan, Raja pada waktu
itu menggunakan sistem pajak yang disebut bala, yang artinya perputaran
dimana pajak tersebut di taksir dan ditarik di suatu wilayah sebulan sekali. Di
Legash pajak yang dikenakan sangat rendah, namun ketika terjadi krisis dalam
kerajaan pajak dikenakan sepuluh persen dari semua kekayaan, yang sebagian
besar terdiri dari hasil bumi.
Sejarah perpajakan dunia selalu dihiasi dengan pemaksaan kehendak dari

penguasa kepada rakyatnya. Mulai dari era Firaun Mesir, masa peperangan di
Yunani, hingga era kekaisaran Romawi, semuanya tidak lepas dari praktik
pemaksaan tersebut. Tidak jarang juga dalam prosesnya pemungutan pajak
dilakukan dengan kekerasan dan ancaman. Kekerasan dan ancaman itu menjadi
sanksi tersendiri bagi rakyat sehingga mereka menjadikan pajak tersebut suatu
kewajiban. Bukan suatu hal yang mengherankan kala itu terbangun pemahaman
yang sangat buruk terhadap dunia perpajakan.

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA
Zaman Jawa Kuno dan Kerajaan
Upeti menurut kbbi adalah uang (emas dan sebagainya) yang wajib dibayarkan
(dipersembahkan) oleh negara-(-negara) kecil kepada raja atau negara yang
berkuasa atau yang menaklukkan atau uang dan sebagainya yang diberikan

(diantarkan) kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap.
Upeti dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta
utpatti. Selain upeti alternatif pengejaan untuk kata ini adalah ufti. Kata upeti
yang sering dipakai pada era hindu - budha atau kata sesuai daerah masing masing dengan makna yang sama ini bersifat wajib dan memaksa, dan standar
ukuran pemberian upeti sering berubah – ubah dan berbeda – beda setiap orang.
Pada masa berkembangnya kerajaan hindu – budha abad VIII sampai XV masehi

upeti atau pajak mulai tersusun sistematis. Berdasarkan Prasasti Sangguran
yang dibuat 928 Masehi dikeluarkan oleh raja Mataram kuno, Sri Maharaja Rakai
Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, atau Raja Dyah Wawa,
seorang arekolog dan sejarahwan Indonesia Dr. Hasan Djafar menjelaskan pajak
pada masa itu tak diserahkan pada raja di pusat, namun untuk membiayai desa
(Sangguran) dan desa tetangga (Mananjung). Pungutan atau kas yang
dibayarkan desa sangguran dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Bhatara adalah
orang yang didewakan di tempat suci dan semua upacara ritual keagamaannya,
kemudian penjaga sima adalah pengurus desa yang bertanggung jawab
memelihara tempat suci dan menyelenggarakan upacara ritual itu serta pejabat
desa yang mengurusi desa. Orang yang membayar pungutan itu adalah warga
yang mencari nafkah dengan kriteria yang telah ditentukan raja, seperti
Pedagang kerbau yang hanya punya 40 ekor tak dikenai pajak, namun bila punya
lebih dari 40 ekor dia dipungut pajak, pedagang kambing yang punya 80 ekor tak
dikenai pajak, namun selebihnya dikenai dan sebagainya. Proses pemungutan
dilakukan oleh sang mangilala drawya haji yang berasal dari kata 'ala' yang
berarti memungut, kemudian 'drawya' berarti kekayan dan 'haji' berarti raja
alias pemungut kekayaan raja bisa diartikan pemungut pajak. Dengan adanya
sistem pajak kelompok usaha kerajinan, pertukangan, dalam hal ini pandai besi.
Masing-masing ada batas minimal kena pajak dan ada daerah bebas pajak yang

disebut sima karena telah berjasa ataupun karena terdapat bangunan suci .
Sanksi atas tindakan lalai dalam pajak, pastinya mendapat hukuman langsung
dari kerajaan baik yang menimbulkan efek jera sampai yang ringan. Dalam
prasasti ini lebih menekankan tentang pajak usaha, pajak penghasilan, dan ada
penetapan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Masih banyak lagi prasasti –
prasasti yang dikorelasika dengan sumber – sumber lainnya yang memperjelas
istilah hingga memberikan info terperinci. Terdapat penggolongan pajak pada
masa jawa kuno, yakni pajak bumi (prasasti ramwi. 882M) , profesi (Prasasti
Watukura dan Panggumulan nn 902M)dan orang asing (palepangan 906M).
Terdapat juga pembebasan pajak yang tertuang pada prasasti Karangtengah
(824M) menjelaskan di daerah tersebut berdiri bangunan keagamaan berupa
candi borobudur yang ditetapkan daerah sima dan warga yang tinggal di daerah
tersebut dibebaskan dari pajak dengan catatan tetap merawat bangunan suci
itu.
Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar dari Zaman kerajaan mataram
kuno yang pajaknya berupa,pajak (dwarya haji), kerja bakti (buat haji), pajak
perdagangan dan kerajinan dan denda atas tindak pidana (sukha dukha). Pada
zaman kerajaan majapahit, selain bersumber dari pajak bumi dan pajak tanah
rakyat juga bersumber dari pajak perdagangan dan kerajinan. Hingga pajak pada


zaman kerajaan mataram islam yang agraris yang menekankan pajak hasil dari
pertanian atau berupa tenaga kerja.
Zaman Kolonial
Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1596 dengan dipimpin Cornelis de
Houtman dengan niat awal berbelanja rempah-rempah, kemudian membawa
rempah-rempah tersebut ke Belanda untuk diperdagangkan. Kemudian untuk
meningkatkan keuntungan dan mempersatukan para pedagang Belanda
didirikanlah VOC Oost Vereenigde Indische Compagnie pada 20 maret 1602.
Kebijakan - kebijakan yang di berlakukan membuat kekuasaan kerajaan
berkurang bahkan di dominasi oleh voc. Salah satu kebijakannya yang berkaitan
dengan pajak adalah verplichte leverantien ( penyerahan wajib ) dan Prianger
Stelsel ( system Priangan) dimulai tahun 1723 Masyarakat di Priangan dikenai
aturan wajib kerja menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada kompeni.
Wajib kerja ini sama dengan kerja paksa / rodi, rakyat tanpa diberi upah,
menderita dan miskin.VOC dibubarkan pada tahun 1799 karena kasus korupsi
yang dilakukan para pegawainya. Kemudian kekuasaan voc diambil alih oleh
pemerintahan Hindia Belanda. Perubahan politik yang terjadi di Belanda
merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis. Herman Willems
Deandels yang diberi titah oleh sang raja prancis Lois Napoleon untuk mengatur
pemerintahan indonesia dan menerapkan sistem kerja wajib atau kerja rodi serta

mempertahankan tanah jawa dari invasi inggris. Hingga terjad Peristiwa Belanda
menyerah kepada Inggris melalui kapitulasi Tuntang pada tahun 1811, menjadi
awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Tahun 1811-1816 berada di
Indonesia dengan bawah kekuasaan Inggris.
Kolonial inggris memasuki Indonesia pada periode 1811 – 1816 dengan Thomas
Stanford Raffless sebagai pemimpin ekspedisi pada waktu itu merancang dan
memulai sistem perpajakan yang dikenal dengan land rent atau pajak tanah
serta menghapus wajib kerja dan mengubah sistem contingenten digente diganti
menjadi sistem sewa tanah atau landrent . Pada masa raffles pajak tanah yang
dibebankan untuk perdesa bukan untuk perorangan. Raffless membagi tanah
atas kelompok – kelompok terhadap tanah kering dan tanah basah, pengenaan
pajaknya adalah rata – rata produksi.
Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya
berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di
lahan sawah (basah) maupun di lahan tegal(kering). Penetapan pajak tanah
tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing, dan
terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III). Rincian
penetapan pajak itu sebagai berikut :
1)
Pajak

Golongan
Golongan
Golongan
2)

Tanah Sawah :
I,
1/2
II,
2/5
III,
1/3

Pajak Tanah Tegal :

Hasil Panenan
Hasil Panenan
Hasil Panenan

Golongan

Golongan
Golongan

I,
II,
III,

2/5
1/3
1/4

Hasil Panenan
Hasil Panenan
Hasil Panenan

Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras,
yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak
dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah
dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak
per distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan

pajak per desa, dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan
penetapan pajak secara perseorangan.
Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat
dilakukan menurut gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan
hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek
pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan.
Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak
milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal
ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan
pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak
menimbulkan penyelewengan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya
diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama di bawah
komersaris jenderal Elout, Buyskes dan Van Der Capellen pada tahun 1816-1819
dan kemudian di bawah gubernur jenderal Van Der Capellen pad tahun 18191826 dan komisaris jenderal Du Bus De Gisgnies pada tahun 1826-1830. Sistem
sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan seorang gubernur jenderal
baru, bernama Van Der Bosch pada tahun 1830 yang kemudian menghidupkan
kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam
bentuk yang lebih keras dan efisien yaitu cultuur stelsel.
Cultuur stelsel (harafiah: sistem kultivasi atau secara kurang tepat

diterjemahkan sebagai sistem budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut
dengan Sistem Tanam Paksa ialah peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur
jenderal Johannes Van Der Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa
menyisihkan sebagaian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor,
khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastilan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintahan kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki
tanah harus bekerja 75 haru dalam setahun (20%) pada kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak. Pada tahun 1830 terjadi perubahan. Ketika itu
negeri Belanda sangat payah keuangannya kerena harus membiayai perang
diponogoro dan usaha mencegah Belgia memisahkan diri.Johannes Van Der
Bosch, yang kemudian menjadi gubernur jenderal mengajukan rencana untuk
dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor di Indonesia. Hasilnya dijamin
akan dapat meolong keuangan Belanda. Sistem ini dinamakan cultuur stelsel
yang dinamakan tanam paksa.
Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1830-1840.

Pada waktu itu Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi. Rakyar di
Belanda tidak banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Karena
saat itu hubungan telekomunikasi belum ada dan surat kabar masih kurang.

Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Ceribon dan Demak
lambat laun sampai pula terdengar di Belanda. Mereka juga mendengar tentang
sikap pegawai Belanda sewenang-wenang.
Sementara itu pada tahun 1860 di Belanda terbit dua buku yang menentang
tanam paksa oleh Douwes Dekker dengan nama kalangan masyarakat yang
menghendaki agar tanam paksa dihapus.
Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang dikarang oleh Douwes Dekker dengan
nama samaran Murtatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten (kontrak gula)
ditulis ileh Frans Van De Putte. Karena pendapat umum yang membalik, sejak itu
tanam paksa berangsur dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada
dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun 1870 boleh dikata
semua tanam paksa sudah dihapus, kecuali kopi di daerah priangan yang baru
dihapuskan pada tahun 1917.
Sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk pribumi,
untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa (“indigenous” Indonesians,
“foreign” Asians and Europeans). Pajak pendapatan bagi orang Eropa (tax patent
duty), dan untuk orang Indonesia adalah pajak pendapatan yang disebut
business tax.
Seluruh orang Indonesia atau yang dianggap secara hukum menjadi orang
Indonesia yang ikut serta dalam perdagangan kecil-kecilan atau eceran baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk pihak lain merupakan subjek dari pajak ini.
Yang dikecualikan menurut Undang-undang business tax adalah para petani dan
buruh yang bekerja pada tanah pertanian, kepala desa dan pegawai
pemerintahan. Tax patent duty yang berlaku di Indonesia adalah pajak yang
dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dari usaha. Pajak dikenakan
terhadap pendapatan yang diperoleh dari kegiatan pertanian, manufaktur,
kerajinan tangan, atau kegiatan industry di Hindia Belanda. Memiliki tariff
proporsional, yakni 2% dari pendapatan. Pendapatan minimum tidak disebutkan
dan biaya pengeluaran dari rumah tangga atau pengeluaran pribadi tidak
termasuk dalam perhitungan yang dikenakan pajak. Pajak pendapatan untuk
pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan Ordonasi Pajak Pendapatan 1908
(Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908). Kemudian ordonasi ini diganti
dengan Ordonasi Pajak Pendapatan 1920. Subjek Pajak Pendapatan 1932 adalah
orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya adalah
Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam ordonantie op Inkomstenbelasting 1932.
Masa antara tahun 1920 sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Ordonansi PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of 1920). Sekarang
diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan (the unification
principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.

2.
Corporation tax Ordinance of 1925 (ordonansi pajak perseroan PPS 1925
dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah badan hukum seperti,
PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
3.
Personal Income Tax Ordinance of 1932 (Ordonansi pajak Pendapatan 1932
= ordonantie op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali
dipungut di Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908
(ordonantie op de inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti
dengan ordonansi pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi
pajak pendapatan 1932 dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak
pendapatan 1944.
Ordonansi pajak pendapatan 1944 semula bernama “pajak perang”
(Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh
pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.
Rancangan ordonansi tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad
1944 No 17 dan diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka
“ordonantie op de inkomstenbelasting 1932” dinyatakan tidak berlaku
lagi.Ordonansi pajak pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting
(pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi
“Overgangsbelasting” (pajak peralihan), lalu dengan Undang-Undang Nomor 21
tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama ordonansi tersebut dengan resmi
menjadi “ordonansi pajak pendapatan 1944”. Oleh Pemerintah Hindia Belanda
Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena mengingat keadaan
saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak atas pendapatan
yang lebih sempurna.
Perkembangan Pajak setelah berakhirnya zaman kolonial
Menyadari kekurangan yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia
berusaha menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang
dilakukan mulai tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1970, ordonansi pajak pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda.
Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku
“Perundang-undangan Pajak Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan
oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro, SH dan Drs B. Usman.
Wages Tax Ordonance of 1935 (ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan
pajaknya dilakukan oleh para majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE =
Pay-As-You-Earn (bayar sesuai dengan upah yang diterima).
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak
penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia
tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana.
Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang
lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan
1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”,
ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk
orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa,

demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang
pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrent”
dan “Hoofdelijke Belasting”.
Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda
terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan
asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan
penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Pelaksanaan
asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak
pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu),
dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan
penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan. Peningkatnya jumlah
penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai
problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan
ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha
yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk
kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama
Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op de Vennootschapsblasting
1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan
penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970. Setelah masa Tax
Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak
Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undangundang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
1.
Ordonansi Pajak Rumah Tangga,
2.
Aturan Bea Meterai,
3.
Ordonansi Bea Balik Nama,
4.
Ordonansi Pajak Kekayaan,
5.
Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor,
6.
Ordonansi Pajak Upah,
7.
Ordonansi Pajak Potong,
8.
Ordonansi Pajak Pendapatan,
9.
Undang-undang Pajak Radio,
Undang-undang Pajak Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang,
antara lain:
a.
UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b.
UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undangundang No. 10
Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c.
UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat
Paksa;
d.
UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;

e.
UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs
atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undangundang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan,
dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi
undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang
yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang
sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah
menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a.
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP);
b.
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c.
UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d.
UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official
assessment);
e.
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian
mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu
dengan undang-undang, yaitu:
a.
UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b.
UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c.
UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d.
UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
e.
Pembangunan I;
f.
Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang
yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang
yang sudah ada, yaitu:
a.
UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
b.
UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
c.
UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
d.
UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
e.
UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA SEKARANG
Pengertian
Pada pasal 1 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU
No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan,
menjelaskan “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi, atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang –

undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”.

Fungsi
Fungsi – fungsi pajak menurut waluyo (2011:6), yaitu sebagai berikut :
1. Fungsi penerimaan (budgeter), dimana pajak berfungsi sebagai sumber dana
yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran – pengeluaran pemerintah.
Penerimaan negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen
penerimaan dalam negeri pada APBN.
2. Fungsi mengatur (regular), yaitu sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Seperti
pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada barang mewah dan minuman keras.
Dan terdapat fungsi lainnya, yaitu :
 Fungsi stabilitas sebagaimana pajak sebagai penerimaan negara dapat
digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Contohnya
adalah kebijakan stabilitas harga dengan tujuan untuk menekan inflansi
dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat lewat pemungutan
dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif.
 Fungsi redistribusi pendapatan : penerimaan negara dari pajak digunakan
untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional
sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat.
Jenis – jenis Pajak
Menurut Waluyo (2011:12) pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok, adalah sebagai berikut:
1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi berikut ini.
a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib
Pajak yang bersangkutan atau tidak bisa diwakilkan oleh orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB).
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan kepada pihak lain atau pembayaran pajak tersebut diwakilkan
oleh orang lain yang diberi amanah. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai(PPn)
.
2. Menurut sifat, dimaksudkan untuk menjadi pembeda dan pembagiannya
berdasarkan ciri-ciri prinsip, sebagai berikut :
a. Subyektif, pajak yang pemungutannya didasari oleh wajib pajak itu sendiri
atau kondisi wajib pajak tersebut. Dengan alasan bahwa wajib pajak
tersebut memiliki alasan objektif yang ada kaitannya dalam pembayaran
si wajib pajak. Contohnya adalah penghasilan
b. Objektif, pajak yang sistem pemungutannya berdasarkan objek pajak
yang di dimiliki oleh wajib pajak tanpa memperhatikan kodisi wajib pajak.
Seperti kondisi pendapatan wajib pajak itu naik atau turun maka tidak
akan mempengaruhi pajak objektif tersebut. Contoh, pajak pertambahan
nilai (PPn), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak penjualan atas
barang mewah (PPnBM).
3. Menurut pihak yang memungut dan mengelola :
a. Pajak pusat, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara. Pihak pemerintah pusat
memungutnya melalui Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan

Pajak dibawah Departemen Keuangan. Pajak yang dipungut antara lain
pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), kemudian pajak
bumi dan bangunan (PBB), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
bea meterai, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, bea cukai,
pajak orang asing, serta pajak atas royalti dan dividen
b. Pajak daerah, dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah. Pajak yang dipungut oleh
pemerintahan daerah antara lain, pajak hotel, pajak restoran, pajak
reklame atau retribusi, pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan atau
pedesaan, bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak
hiburan dsb.
Asas Pemungutan Pajak
Terdapat asas – asas dalam hal pemungutan, pengenaannya yang di anut sistem
perpajakan Indonesia, menurut waluyo (2011:16) yaitu,
a. Asas tempat tinggal, Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik
penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku
bagi Wajib Pajak dalam negeri
b. Asas Kebangsaan, Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara.
Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal
di Indonesia untuk membayar pajak.
c. Asas sumber, Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber dari negaranya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.
Cara Pemungutan Pajak
Menurut Waluyo (2011:160) cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga
stelsel, sebagai berikut.
a. Stelsel nyata (rill stelsel) adalah wajib pajak melakukan pembayaran pajak
terhadap yang bersangkutan pada akhira tahun paja
b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) adalah wajib pajak melakukan
pembayaran pajak terhadap yang bersangkutan pada awal tahun pajak.
c. Stelsel campuran yaitu bisa menggunakan keduanya atau menggunakan
cara dua sekaligus baik itu stelsel anggapan dan stelsel nyata secara
bersamaan.
Stelsel pemunguta pajak di Indonesia mengantut stelsel campuran,
khususnya dalam penerapan mekanisme PPh Pasal 25/29. Wajib Pajak
menggunakan pajak terhutang tahun sebelumnya sebagai dasar untuk
menentukan besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan. Setelah tahun
pajak berakhir, maka wajib pajak akan melaporkan penghasilannya selama
setahun kedalam SPT Tahunan untuk menghitung PPh Pasal 29. Dalam
menghitung jumlah pajak yang sesungguhnya di akhir tahun pajak (PPh Pasal
29) maka wajib pajak dapat mempertimbangkan kredit pajak PPh Pasal 25
yang telah dibayarkannya.
Sistem pemungutan pajak
sistem pemungutan pajak menurut waluyo (2011:17) ada tiga, yaitu :
a.

b.

c.

KETETAPAN DASAR HUKUM PERPAJAKAN
a. Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 23, merupakan sumber utama yang
berisi tentang aturan dalam hal keuangan negara yang meliputi
penyusunan anggaran belanja, mata uang negara, dan peraturan tentang
perpajakan. Setiap undang-undang yang dibuat untuk mengatur jenis
perpajakan tertentu pada dasarnya secara menyeluruh merupakan bentuk
tindak lanjut dari undang-undang dasar pasal 23 terutama pasal 23A yang
berisikan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
b. Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000, mengatur tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan. Undang – undang ini merupakan revisi
dari UU No. 6 Tahun 1983. Selain itu didalam UU No. 16 tahun 2000
menjelaskan tanggung jawab pelaksanaan pajak, sistem pemungutan dan
perhitungan menggunakan self assesment bagaimana partisipasi aktif
wajib pajak dalam menghitung, menyetor dan melaporkan pajak.
c. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2000, beberapa hal yang diatur adalah
mengenai objek pajak atau setiap penghasilan yang diterima wajib pajak
dalam bentuk kekayaan apapun. Undang – undang ini juga mengatur

tentang bentuk penghasilan pajak, besarnya PTKP (penghasilan tidak kena
pajak) dan tarif pajak penghasilan yang dibagi ke dalam wajib pajak
perseorangan dan wajib pajak badan usaha.
d. Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, terhadap objek
pajak dalam ppn dan ppnbm ini atas penyerahan jasa dari produsen ke
produsen atau dari produsen ke konsumen dan menjadi dasar untuk
menghitung nilai pergantian, harga jual, nilai impor atau yang lainnya
yang sudah disahkan dan ditetapkan oleh menteri keuangan
e. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000, entang bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan. Dilihat dari isi yang ada dalam undang-undang ini
meliputi beberapa ketentuan mengenai pengertian umum tentang bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, penjelasan tentang perolehan
hak atas tanah dan bangunan beserta maksud dari adanya hak atas tanah
dan bangunan, surat ketetapan dan surat setoran bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan, penjelasan tentang objek pajak atas tanah dan
bangunan, dan pemindahan serta pelepasan hak atas tanah dan
bangunan.
f. Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002, menjelaskan tentang beberapa
ketentuan umum mengenai susunan lembaga pajak, fungsi dan prosedural
dalam perpajakan, kedudukan pengadilan pajak, dan susunan dari
pengadilan pajak
g. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 merupakan pengganti dari UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 yang sebelumnya telah berlaku dalam
perpajakan Indonesia. Undang-undang ini secara keseluruhan mengatur
pelaksanaan dan aturan tentang pajak bumi dan bangunan yang berlaku
di Indonesia. Pengubahan undang-undang ini ditujukan untuk lebih
meningkatnya peran pajak dalam pembangunan nasional khususnya
dalam kegiatan perekonomian, menjaga agar perkembangan ekonomi
terus terselenggara dan berjalan dengan baik sesuai dengan kebijakan
pembangunan yang berlaku, dan untuk meningkatkan kepastian hukum
yang berkaitan dengan sistem perpajakan yang terus berkembang.
Perubahan undang-undang ini memuat beberapa aturan mengenai objek
pajak yang tidak termasuk dalam hitungan pajak bumi dan bangunan
serta ketentuan terhadap penetapan nilai jual objek pajak beserta ruang
lingkup yang terkandung dalam pajak bumi dan bangunan.
Sanksi Pajak
Sistem Self Assessment yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia, yang
mempercayakan wajib pajak, untuk mendaftarkan diri, menghitung, menyetor
dan melaporkan perpajakannya. Agar pelaksanaan sistem ini tertib dan sesuai
target yang diharapkan, pemerintah menerapkan sanksi – sanksi sesuai dengan
undang – undang yang berlaku. Secara umum, sanksi perpajakan yang
dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan dapat berupa sanksi
administrasi seperti denda, bunga atau pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi.
Selain sanksi administrasi, berupa denda, bunga dan kenaikan pajak. Terdapat
sanksi pidana yakni kurungan penjara.

SEJARAH PAJAK DI INGGRIS
Pajak pertama kali dikenakan di Inggris pada waktu Kekaisaran Romawi
menguasai inggris. Antara 55 SM dan 40-an M, status quo pada upeti, sandera,
dan negara klien tanpa pendudukan militer langsung, yang dimulai oleh Invasi
Caesar ke Britania, tetap utuh. Augustus menyiapkan invasi pada 34 SM, 27 SM
dan 25 SM. Yang pertama dan kedua dibatalkan karena adanya pemberontakan
di berbagai daerah di kekaisaran, sedangkan yang kedua batal karena bangsa
Briton tampaknya siap melakukan kesepakatan.Berdasarkan Res Gestae karya
Augustus, dua raja Britania, Dumnovellaunus dan Tincomarus, pergi ke kota
Roma sebagai pemohon pada masa kekuasaannya dan berdasarkan Geografi
karya Strabo, yang ditulis pada periode ini, Britania membayar lebih dalam hal
pabean dan tugas yang dapat ditarik melalui pajak jika pulau tersebut ditaklukan
Di Inggris pada abad ke-11, cerita tentang Lady Godiva yang melegenda
merupakan bentuk dukungan pembangkangan pajak yang dilakukan masyarakat
di kawasan Conventry. Lady Godiva menunggang kuda dalam keadaan telanjang
untuk memprotes kenaikan pajak yang dilakukan oleh suaminya sendiri, Earl of
Mercia.
Pada tahun 1197 ketika Alexius III Angelus berkuasa di Konstantinopel, ia
mencoba menaikkan pajak dalam rangka membayar uang perlindungan kepada
Henry VI. Namun rakyat Konstantinopel menolak untuk membayar sehingga
Alexios harus memikirkan cara lain untuk mengumpulkan uang upeti
King John terpaksa menandatangani piagam Magna Carta di Runnymede, Inggris
pada 15 Juni 1215 sebagai akibat pembangkangan pajak yang dilakukan para
bangsawan didukung rakyat yang tidak puas. Magna Carta disebut-sebut sebagai
langkah fundamental dalam proses sejarah panjang menuju pembuatan hukum
konstitusional.
United Kingdom (UK) atau Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara,
atau secara umum dikenal sebagai Britania Raya, atau Inggris Raya, adalah
sebuah negara berdaulat yang terletak di lepas pantai barat laut benua Eropa.
UK adalah negara kepulauan yang terdiri dari Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia
dan Wales.
Pada 2015, perekonomian di negara ini menduduki posisi kelima terbesar di
dunia yang dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang sebesar
US$2,85 triliun. Sementara itu, UK menempati urutan ke-9 sebagai eksportir
terbesar di dunia dan urutan ke-6 sebagai negara importir terbesar di dunia.
Dalam sejarahnya, negara ini memiliki begitu banyak wilayah jajahan yang
tersebar di seluruh dunia. Meskipun mayoritas daerah jajahannya sudah menjadi
negara merdeka, namun negara-negara tersebut masih menjalin kontak dengan
negara bekas penjajahnya melalui organisasi persemakmuran.
UK dipimpin oleh Ratu sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai
kepala pemerintahan. Namun sejak 1707, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara
telah memiliki pemerintah dan eksekutifnya sendiri.

Sistem Perpajakan
OTORITAS Pajak di UK yang bernama HM Revenue & Customs (HMRC)
menetapkan tarif standar pajak penghasilan badan sebesar 20%. Namun, mulai
1 April 2017 tarif tersebut turun menjadi 19% dan kemudian menjadi 18% pada 1
April 2018.
Sebagai catatan, insentif berupa pengurangan pajak (tax credit) sebesar 230%
diberikan bagi perusahaan kecil dan menengah (UKM) yang melakukan
pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (research &
development/R&D). Insentif telah diperkenalkan sejak tahun 2000 guna
mendorong kegiatan R&D dan inovasi di negara tersebut.
Adapun, tarif progresif diberlakukan bagi wajib pajak orang pribadi yang terdiri
dari 3 lapisan tarif yakni penghasilan hingga £32.000 dikenakan tarif 20%,
penghasilan dari £32.001 - £150.000 dikenakan tarif 40% dan tarif tertinggi
sebesar 45% dikenakan untuk penghasilan lebih dari £150.000.
Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan
produktivitas bisnis, setiap warga yang bekerja dengan menggunakan
transportasi sepeda akan diberikan keringanan pajak sebesar £250 (Rp4,1 juta)
untuk setahun.
HMRC menetapkan tarif PPN sebesar 20%. Untuk pajak bunga dan royalti
ditetapkan sebesar 20%. Untuk pajak dividen, mulai 6 April 2016, pemegang
saham yang menerima penghasilan dividen hingga £5.000 tidak akan dikenakan
pajak. Sementara, penghasilan dividen lebih dari £5.000 akan dikenakan pajak
progresif mulai dari 7,5%, 32,5% dan 38,1%.
Secara umum, sistem transfer pricing di UK sebagian besar telah sejalan dengan
rekomendasi OECD, di mana ketentuan dokumentasinya sudah mengadopsi
Country-by-Country Reporting/CbCR (Finance Act 2015) yang berlaku efektif 1
Maret 2016. UK juga tercatat menjadi salah satu dari 87 negara yang telah
menandatangani persetujuan multilateral (multilateral competent authority
agreement/MCAA) untuk pertukaran otomatis informasi keuangan, sama halnya
dengan Indonesia.*

Uraian

Keterangan

Sistem Pemerintahan,
Politik

Monarki Konstitusional

PDB Nominal

US$2,297 triliun (2016)

Pertumbuhan ekonomi

1,8% (2016)

Populasi

65,13 juta jiwa (2015)

Tax Ratio

34,4% (2015)

Otoritas Pajak

HM Revenue & Customs

Sistem Perpajakan

Self-Assessment System

Tarif PPh Badan

20%

Tarif PPh Orang Pribadi

20%, 40%, 45%

Tarif PPN

20%

£5.000 = Progresif (7,5%, 32,5%,
38,1%)

Tarif pajak royalti

20%

Tarif bunga

20%

Tax Treaty

125 negara

Kesimpulan
Dalam sejarah pajak di negara manapun, pajak merupakan sumber
pendapatan untuk membangun dan menunjang sistem pemerintahan
sehingga sifatnya memaksa. Dilihat dari sejarah indonesia dan inggris
memang memiliki masa yang kelam karena pajak yang berlakukan pada
masa penjajahan oleh negara lain sehingga tidak ada imbalan untuk
rakyat atau negara. Negara inggris lebih maju karena memiliki bangsa
dan sdm yang cerdas,maka dalam hal pajak mereka memiliki tingkat
kesadaran dan kepatuhan yang tinggi terhadap peraturan pajak.
Mengingat pentingnya pajak untuk kemajuan negaranya. Selain itu,

Indonesia masih sangat tertinggal jauh, karena besaran pajak yang
dikenakan di inggris lebih besar dan di indonesia sangat kecil. Di
indonesia masih banyak warga yang tidak dikenakan pajak karena
rendahnya pendapatannya, dan banyak pula wajib pajak yang tidak
melaporkan dan membayar pajaknya. Kedepannya semoga indonesia
dapat terus memberikan pendidikan dan meningkatkan kualitas sdm
sehingga dapat bersaing di dunia kerja di masa pasar bebas ini yang
berefek pada pendapatan dan peningkatan wajib pajak dan kesadaran
akan pentingnya pajak dalam berjalannya kenegaraan serta penjahat –
penjahat yang menyelewengkan pajak diberikan hukuman yang
sepantasnya sehingga efek jera itu terjadi.