Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasional terhadap Kinerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Kecerdasan Emosional
2.1.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional terdiri dari dua kata, yaitu kecerdasan dan emosi.
Kecerdasan adalah suatu kemampuan umum dari seseorang dalam hal bagaimana dia
memecahkan masalah hidupnya sehari-hari. Kecerdasan juga erat kaitannya dengan
kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Sedangkan emosi merupakan
perasaan intens yang ditujukan bagi seseorang atau sesuatu. Emosi itu spesifik
terhadap objek, dengan kata lain, emosi adalah rekasi akan suatu objek. Dari
penelitian yang dilakukan ada enam emosi universal yang telah diidentifikasi:
kemarahan, ketakutan, kesedihan, kebahagiaan, rasa jijik, dan rasa kaget, Robbins
dan Coulter (2010:51).
Menurut Cooper dan Sawaf (1998) kecerdasan emosional adalah kemampuan
untuk merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan
emosi sebagai sumber energi dan pengaruh manusia. Kecerdasan emosional
membutuhkan perasaan pengawasan, belajar mengenali, menghargai perasaan dalam
diri mereka sendiri dan orang lain dan merespon dengan tepat, efektif menerapkan
energi emosional dalam kehidupan sehari-hari.


12
Universitas Sumatera Utara

Menurut Goleman (2009:45) kecerdasan emosi merupakan kemampuan emosi
yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika
menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu
mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang
lain. Sementara itu, menurut Wirawan (2009:107) kecerdasan emosional (emotional
intelligence) merupakan kemampuan untuk memanajemeni emosi diri sendiri dan

kemampuan untuk memanajemeni emosi orang lain.
Berdasarkan

definisi-definisi

tersebut

kecerdasan

emosional


adalah

kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam mengatur suasana hati,
mengendalikan emosi, dan dengan selektif menerapkan tindakan, sehingga dapat
merespon suatu keadaan dengan tepat dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berikut faktorfaktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu, Goleman (2009:267), yaitu:
1. Lingkungan Keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi.
Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah subyek pertama
yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan menjadi
bagian dari kepribadian. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat
berguna bagi seseorang kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih kebiasaan
hidup disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian, dan

13
Universitas Sumatera Utara

sebagainya. Hal ini akan menjadikan seseorang menjadi lebih mudah untuk

menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga
seseorang dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak masalah
tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.
2. Lingkungan Non Keluarga
Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental
anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas bermain seseorang
seperti bermain peran. Seseorang berperan sebagai individu di luar dirinya dengan
emosi yang menyertainya sehingga mulai belajar mengerti keadaan orang lain.
Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk
pelatihan diantaranya adalah pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi
bentuk pelatihan yang lainnya.
Sedangkan menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, yaitu:
1. Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol,
mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam
perilaku secara efektif.


14
Universitas Sumatera Utara

2. Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan,
dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada
pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan
berkembang menjadi suatu kebiasaan.
3. Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak
hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan
akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran
agama sebagai ritual saja.
Jadi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional meliputi faktor internal
yang timbul dari dalam diri individu dan dipengaruhi oleh keadaan otak emosional
seseorang serta faktor eksternal yang timbul dari luar individu yang mempengaruhi
atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat perorangan atau kelompok.

2.1.1.3 Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional
Goleman (2001) membagi kecerdasan emosi atas lima komponen, yang dapat
menjadi pedoman untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

15
Universitas Sumatera Utara

1. Kesadaran Diri
Kesadaran diri adalah kemampuan dalam mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada
tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul
pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang
sesungguhnya membuat diri dikuasai oleh perasaan, sehingga tidak peka akan
perasaan yang sesungguhnya dan akhirnya berakibat dalam pengambilan keputusan
yang salah. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli
psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang
akan emosinya sendiri.
Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri adalah waspada terhadap
suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati bila kurang waspada maka individu
menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri

memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasayarat
penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosinya.
2. Pengaturan Diri
Pengaturan diri berarti pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan, agar
dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung
pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri
ketika

ditimpa

kesedihan,

dapat

melepas

kecemasan,

kemurungan


atau

ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang

16
Universitas Sumatera Utara

yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung
melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri
sendiri.
Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci
menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas
terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini
mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya karena
gagalnya keterampilan emosional dasar serta kemampuan untuk bangkit dari
perasaan-perasaan yang menekan.
3. Motivasi
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi
menyebutkan bahwa kesadaran diri merupakan kesadaran seseorang akan emosinya

sendiri. Kemampuan untuk mengatur emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan
dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri. Dengan kemampuan
memotivasi diri sendiri yang dimilikinya, seseorang akan cenderung memiliki
pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya, dan
cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang dikerjakannya.
4. Empati
Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan orang
lain atau peduli. Empati dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang
terbuka pada emosi diri sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia terampil membaca

17
Universitas Sumatera Utara

emosi orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang
lain.
Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyalsinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh
oring lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka
terhadap perasan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
5. Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial yaitu mengendalikan emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar,
memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Keterampilan
sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain yang mendukung
keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Kemampuan membina hubungan
sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Tanpa memiliki
keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
2.1.2 Kepuasan Kerja
2.1.2.1 Definisi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong
diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi
dirinya, Mangkunegara (2013:117). Menurut Sutrisno (2010:74) kepuasan kerja
adalah suatu sikap karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi

18
Universitas Sumatera Utara

kerja, kerjasama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam kerja, dan hal-hal
yang menyangkut faktor fisik dan psikologis.
Menurut Hariandja (2009:290) bahwa kepuasan kerja adalah merupakan salah

satu elemen yang cukup penting dalam organisasi. Hal ini di sebabkan kepuasan kerja
dapat mempengaruhi perilaku kerja seperti malas, rajin, produktif, dan lain-lain, atau
mempunyai hubungan beberapa jenis perilaku yang sangat penting dalam organisasi.
Menurut Rivai (2009:856) pengertian kepuasan kerja adalah Evaluasi yang
menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas
atau tidak puas dalam bekerja.
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja
adalah sikap dari karyawan meliputi perasaan puas atau tidak puas terhadap
pekerjaannya yang timbul karena beberapa faktor dari luar maupun dari dalam diri
karyawan yang dapat mempengaruhi perilaku kerja karyawan.
2.1.2.2 Teori-Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian
karyawan lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada karyawan lainnya. Teori ini
juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja.
Menurut Rivai (2009:856), teori kepuasan kerja antara lain:

19
Universitas Sumatera Utara

1. Teori ketidaksetaraan (Discrepancy Theory)

Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih
antara sesuatu yang seharusnya terjadi dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga
apabila kepuasannya diperoleh melebihi yang diterimanya maka orang akan lebih
puas lagi, sehingga terdapat kesenjangan tetapi merupakan kesenjangan yang positif.
Kepuasan seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan
didapatkan dengan apa yang dicapai.
2. Teori Keadilan (Equety Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas/tidak puas,
tergantung pada ada/tidak adanya keadilan (equity) dalam suatu sistem, khususnya
system kerja. Komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan, dan
ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi pegawai yang dianggap mendukung
pekerjaanya seperti, pendidikan, pengalaman, dan peralatan/perlengkapan yang
dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaanya. Hasilnya adalah sesuatu yang
dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaanya, seperti:
upah atau gaji, simbol, status penghargaan, dan aktualisasi diri.
3. Teori dua Faktor (Two Factor Theory)
Teori ini menunjukan karakteristik pekerjaan menjadi 2 kelompok yaitu
satisfieas dan dissatisfieas. Satisfieas (Motivator ) adalah faktor-faktor atau situasi

yang dibutuhkan sebagai sumber yang dibutuhkan. Kepuasan kerja yang terdiri dari:
pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi,
kesempatan untuk memeperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor

20
Universitas Sumatera Utara

tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak
selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfieas (Hegein Factor ) adalah faktorfaktor yang menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari gaji atau upah,
pengawasan, hubungan antara pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan dasar karyawan. Jika faktor ini tidak terpenuhi, karyawan
tidak akan puas. Jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.
Sedangkan menurut Wibowo (2012:502), membagi teori kepuasan kerja
terbagi atas dua teori yaitu sebagai berikut:
1. Two-Factor Theory. Teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa
satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) merupakan bagian

dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivators dan hygiene factors.
2. Value Theory: Kepuasan kerja terjadi pada tingkatan di mana hasil pekerjaan
diterima individu seperti diharapkan.
Berdasarkan uraian mengenai teori kepuasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kepuasan kerja merupakan sebuah ungkapan perasaan yang dirasakan oleh
pegawai terhadap apa yang telah dicapai (dari ruang lingkup pekerjaan) maupun hal
yang mampu mendorong tercapainya pekerjaan itu sendiri (di luar ruang lingkup
pekerjaan). Di sisi lain, kepuasan kerja dapat dilihat dari usaha pegawai dalam
membuat perbandingan mengenai pekerjaan yang telah dihasilkannya dengan
pekerjaan orang lain.

21
Universitas Sumatera Utara

2.1.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2009:119) faktor-faktor yang mempengaruhi
atau menentukan kepuasan kerja adalah:
1. Kepuasan Terhadap Pekerjaan Itu Sendiri
Kepuasan ini tercapai bilamana pekerjaan seorang karyawan sesuai dengan
minat dan kemampuan karyawan itu sendiri.
2. Kepuasan Terhadap Imbalan
Kepuasan terhadap imbalan dari pekerjaan yang didapat karyawan merupaka
keadaan dimana karyawan merasa gaji atau upah yang diterimanya sesuai dengan
beban kerjanya dan seimbang dengan karyawan lain yang bekerja di organisasi itu.
3. Kesempatan Promosi
Karyawan akan merasa puas apabila mereka memiliki kesempatan yang adil
untuk meningkatkan posisi jabatan pada struktur organisasi perusahaan.
4. Kepuasan Terhadap Supervisi dari Atasan
Supervisi atau pengawasan dari atasan akan berpengaruh terhadap kepuasan
karyawan. Dengan membuat karyawan merasa memiliki atasan yang mampu
memberikan bantuan teknis dan motivasi kepada bawahannya, maka karyawan akan
merasa puas.
5. Kepuasan Terhdapa Rekan Kerja
Rekan kerja yang ramah menghantar kepuasan kerja yang meningkat
termasuk pula penyelia yang bersikap ramah dan menawarkan pujian untuk kinerja

22
Universitas Sumatera Utara

yang baik dapat meningkatkan kepuasan kerja. Untuk sebagian pekerja, kerja juga
mengisi akan kebutuhan interaksi sosial dan bukan sekadar uang atau prestasi dari
hasil kerja. Rekan kerja yang mendukung dan kooperatif, akan sangat membantu
pekerja merasa puas.
Sedangkan

menurut

Mangkunegara

(2013:120)

faktor-faktor

yang

mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu faktor pada diri pegawai dan faktor
pekerjaannya.
1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan, kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,
kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi,
cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja.
2. Faktor pekerjaan, yaitu, jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat
(golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan
promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.
2.1.2.4 Korelasi Kepuasan Kerja
Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan
signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja. Menurut Wibowo
(2007:304) korelasi kepuasan kerja adalah :
1. Motivasi
Penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara
motivasi dengan kepuasan kerja. Karena kepuasan kerja dengan supervisi juga
mempunyai

korelasi

signifikan

dengan

motivasi,

manajer

disarankan

mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi kepuasan pekerja.

23
Universitas Sumatera Utara

Manajer secara potensial dapat meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai
usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.
2. Pelibatan kerja
Pelibatan kerja mununjukan kenyataan dimana individu secara pribadi
dilibatkan dengan peran kerjanya.
3. Organizational citizenship behavior
Organizational citizenship behavior merupakan perilaku pekerja di luar dari

apa yang menjadi tugasnya. Organizational citizenship behavior lebih banyak
ditentukan oleh kepemimpinan dan karakteristik lingkungan kerja daripada oleh
kepribadian pekerja.
4. Komitmen organisasi
Komitmen

organisasi

mencerminkan

tingkatan

di

mana

individu

mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya.
Manajer

disarankan

meningkatkan

kepuasan

kerja

dengan

maksud

untuk

menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi dapat memfasilitasi produktivitas
lebih tinggi.
5. Ketidakhadiran
Ketidakhadiran merupakan hal mahal dan manajer secara tetap mencari cara
untuk menguranginya. Satu rekomendasi telah meningkatkan kepuasan kerja. Apabila
rekomendasinya sah, akan terdapat korelasi negatif yang kuat antara kepuasan kerja
dan kemangkiran. Dengan kata lain, apabila kepuasan meningkat, kemangkiran akan

24
Universitas Sumatera Utara

turun. Oleh karena itu, manajer akan menyadari setiap penurunan signifikan dalam
kemangkiran akan meningkatkan kepuasan kerja.
6. Turnover
Turnover sangat penting bagi manajer karena mengganggu kontinuitas

organisasi dan sangat mahal. Penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan
negatif antara kepuasan dan turnover. Dengan kata lain kekuatan hubungan tertentu,
manajer disarankan untuk mengurangi perputaran dengan meningkatkan kepuaan
kerja pekerja.
7. Perasaan Stres

Stres dapat berpengaruh sangat negatif terhadap prilaku organisasi dan
kesehatan individu. Stres secara positif berhubungan dengan kemangkiran,
perputaran, sakit jantung koroner dan pemeriksaan virus.
8. Prestasi kerja
Kontroversi tersebar dalam penelitian organisasi adalah tentang hubungan
antara kepuasan kerja dan prestasi kerja atau kinerja. Ada yang menyatakan bahwa
kepuasan mempengaruhi prestasi kerja lebih tinggi, sedangkan lainnya berpendapat
bahwa prestasi kerja mempengaruhi kepuasan kerja.
2.1.3 Komitmen Organisasional
2.1.3.1 Definisi Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional bisa tumbuh disebabkan karena individu memiliki
ikatan emosional terhadap perusahaan yang meliputi dukungan moral dan menerima

25
Universitas Sumatera Utara

nilai yang ada di dalam perusahaan serta tekad dari dalam diri untuk mengabdi pada
perusahaan. Menurut Wibowo (2012:507) komitmen organisasional mencerminkan
tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai
komitmen terhadap tujuaanya. Menurut Robbins dan Coulter (2010:40) komitmen
organisasi adalah derajat dimana seorang karyawan mengidentifikasikan dirinya
dengan

organisasi

tertentu

beserta

tujuannya

dan

berkeinginan

untuk

mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sutrisno (2010:153) yang mengatakan bahwa
komitmen organisasi merupakan sikap loyalitas pekerja terhadap organisasinya dan
juga merupakan suatu proses mengekspresikan perhatian dan partisipasinya terhadap
terhadap organisasinya. Sementara itu, menurut Sopiah (2008:156) komitmen
organisasi sebagai daya relatif dari keberpihakan dan keterlibatan seseorang terhadap
suatu organisasi. Dengan kata lain komitmen organisasional adalah sikap loyalitas
pekerja terhadap organisasi dan proses berkelanjutan dari anggota organisasi untuk
mengungkapkan perhatiannya pada organisasi yang akan berlanjut pada kesuksesan
dan kesejahteraan.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu sikap karyawan yang
mencerminkan perasaan, keinginannya, serta tujuannya untuk mempertahankan
keanggotaannya di dalam organisasi.

26
Universitas Sumatera Utara

2.1.3.2 Dimensi-Dimensi Komitmen Organisasional
Meyer dan Allen (1991) mengemukakan ada 3 bentuk dasar dari komitmen
organisasi yaitu : Affective Commitment, Continuance Commitment, dan Normative
Commitment.

1. Affective Commitment (Komitmen Afektif)
Komitmen afektif berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap
organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan
kegiatan di organisasi. Artinya bahwa komitmen dipandang sebagai suatu sikap, yaitu
suatu usaha dari individu dalam mengidentifikasikan dirinya pada organisasi beserta
tujuannya, serta tetap ingin menjadi anggota organisasi tersebut agar bisa mencapai
tujuannya. Anggota organisasi dengan komitmen afektif yang tinggi akan terus
menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu.
Komitmen afektif muncul karena terdapat adanya kesesuaian nilai antara organisasi
dan pekerja. Diantaranya adalah karakteristik individu, karakterstik struktur
organisasi, signifikansi tugas dan keahlian. Komitmen jenis ini akan menjadi kuat
bila pengalamannya dalam suatu organisasi/lembaga konsisten atau sesuai dengan
harapan – harapan dan dapat memuaskan kebutuhan dasarnya, begitu sebaliknya.
2. Continuance Commitment (Komitmen Berkelanjutan)
Komitmen berkelanjutan mengacu pada komitmen yang didasarkan pada
kerugian-kerugian pegawai bila meninggalkan organisasi. Dapat dijelaskan disini
bahwa komitmen ini muncul karena adanya suatu ketergantungan pada aktivitas-

27
Universitas Sumatera Utara

aktivitas yang telah dilakukan di dalam organisasi pada masa lalu dan hal itu tidak
mungkin ditinggalkan karena akan merugikan. Selain itu komitmen jenis ini muncul
karena berkaitan dengan investasi yang ditanamkan oleh pekerja dalam organisasi
seperti tenaga, pikiran dan waktu yang akan hilang jika mereka meninggalkan
organisasi. Anggota organisasi dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi akan
terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk
menjadi anggota organisasi tersebut seperti agar tidak kehilangan reward yang akan
diterima atas pekerjaan yang telah dilakukan, misalnya: pegawai tidak ingin
kehilangan dana pensiun, fasilitas, jabatan serta hal lain yang diperoleh selama ini.
3. Normative Commitment (Komitmen Normatif)
Komitmen normatif mengacu pada perasaan pegawai untuk tetap tinggal
dalam suatu organisasi. Komitmen ini muncul karena memang sudah seharusnya,
dimana pegawai merasa mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi menjadi anggota
organisasi. Dengan kata lain bahwa pegawai merasa wajib untuk tetap tinggal dalam
suatu organisasi karena adanya perasaan hutang budi pada organisasi sehingga
mereka mereka mempunyai kewajiban moral untuk melakukan tindakan imbal balik
pada organisasi tempat mereka bekerja.
2.1.3.3 Akibat dari Komitmen Organisasional
Meyer et al. (1990) mengemukakan beberapa hal yang menjadi akibat dari
komitmen organisasional:

28
Universitas Sumatera Utara

1. Turnover
Turnover adalah tingkat pertukaran atau pergantian, yang dalam konteks ini

adalah pertukaran tenaga kerja atau karyawan. Tingkat turnover dapat diakibatkan
oleh

komitmen

organisasional.

Hubungan

antara

turnover

dan

komitmen

organisasional adalah hubungan yang negatif. Apabila komitmen organisasional
seseorang kepada organisasi tergolong tinggi, keinginannya untuk mengundurkan diri
atau meninggalkan organisasi akan rendah, begitu pula sebaliknya. Karyawan yang
komitmennya rendah akan dengan mudah memiliki niat untuk keluar dari organisasi.
2. Ketidakhadiran/Tingkat Absensi
Komitmen organisasional juga mempengaruhi karyawan di tempat kerja,
karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi akan menunjukkan
sikap negatif terhadap ketidakhadiran. Mereka cenderung mengusahakan untuk hadir
di tempat kerj. Dari ketiga dimensi komitmen, hanya komitmen afektif yang
berhubungan negatif dengan ketidakhadiran.
3. Kinerja Karyawan
Komitmen organisasional mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja
karyawan sesui dengan dugaan sebelumnya. Dengan kata lain, karyawan dengan
komitmen terhadap organisasi yang tinggi akan berkinerja lebih baik. Dari dimensi
komitmen organisasional hanya komitmen afektif dan normatif yang memiliki
hubungan yang negatif. Komitmen afektif ditemukan lebih kuat hubungan positifnya
dengan kinerja karyawan.

29
Universitas Sumatera Utara

4. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Komitmen organisasional memiliki pengaruh tergahap OCB, dimana apabila
komitmen karyawan tinggi, wujud OCB mereka juga akan tinggi. Korelasi yang
positif ini hanya berlaku bagi komitmen afektif dan komitmen normatif. Komitmen
berkelanjutan tidak memiliki hubunga atau dapat dikatakan tidak berpengaruh
terhadap OCB.
5. Stres dan Konflik Keluarga-Pekerjaan
Berdasarkan penelitian, komitmen organisasional memiliki hubungan yang
negatif dengan stres dan konflik keluarga-pekerjaan. Semakin rendah komitmen
seseorang, semakin tinggi stres yang mereka rasakan, begitu juga semakin banyak
konflik yang dialami karyawan. Dari ketiga dimensi hanya komitmen afektif yang
berhubungan negatif. Komitmen berkelanjutan ternyata berhubungan yang positif,
dengan kata lain semakin tinggi komitmen berkelanjutan dalam diri seseorang,
semakin tinggi tingkat stress dan konflik keluarga-pekerjaan yang dialaminya
semakin sering terjadi. Sedangkan hubungan komitmen normatif dengan stres dan
konflik keluarga-pekerjaan mendekati nol atau tidak berhubungan/berpengaruh.
2.1.4 Kinerja
2.1.4.1 Definisi Kinerja
Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance
(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian
kinerja adalah hasil kinerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang

30
Universitas Sumatera Utara

pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungn jawab yang
diberikan kepadanya, Mangkunegara (2013:67).
Menurut Sedarmayanti (2011:260) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan
terjemahan dari performance yang berarti hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses
manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut
harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat diukur.
Menurut Moeheriono (2009:60) kinerja merupakan gambaran mengenai
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui
perencaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika individu
atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar keberhasilan tolok
ukur yang ditetapkan dalam pengukuran, maka kinerja pada seseorang atau kinerja
organisasi tidak mungkin dapat diketahui bila tidak ada tolok ukur keberhasilannya.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa kinerja
adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang atau sekelompok orang sesuai dengan
standar dan kriteria yang telah ditetapkan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan
baik itu secara efektif dan efisien dan bersangkutan secara legal, tidak melanggar
aturan dan sesuai dengan moral maupun etika.
2.1.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Boyatzis dan Ron (2001:2) mengemukakan bahwa menemukan
orang yang tepat dalam organisasi bukanlah hal yang mudah, karena yang dibutuhkan
oleh suatu perusahaan bukan hanya orang yang berpendidikan lebih baik ataupun

31
Universitas Sumatera Utara

orang yang berbakat saja. Ada faktor-faktor psikologis yang mendasari hubungan
antara seseorang dengan organisasinya. Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh
pada kemampuan seseorang di dalam organisasi diantaranya adalah kemampuan
mengelola diri sendiri, inisiatif, optimisme, kemampuan mengkoordinasi emosi
dalam diri, serta melakukan pemikiran yang tenang tanpa terbawa emosi. Hal-hal
tersebut merupakan komponen dari kecerdasan emosional yang dapat mempengaruhi
kinerja seseorang.
Pendapat lain dikemukakan oleh Mathias dan Jackson (2006:115), yang
menyatakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja seorang
pekerja, antara lain:
1. Kemampuan Individual, komponen kemampuan individual terdiri dari bakat,
minat, dan kepribadian individu
2. Usaha yang Dicurahkan, komponen usaha yang dicurahkan terdiri dari
komitmen organisasional, motivasi, etika kerja, kehadiran, dan rancangan
tugas. Oleh karena itu, walaupun karyawan memiliki kemampuan individual
untuk mengerjakan pekerjaan, tetapi tidak akan bekerja tanpa tingkat
pencurahan usaha yang rendah.
3. Dukungan Organisasional, komponen dukungan organisasional terdiri dari
pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, iklim organisasi,
standar kerja, dan manajeman dan rekan kerja.

32
Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor lain dikemukakan oleh Gibson (2008), yang menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja terdiri dari tiga faktor, sebagai berikut :
1. Faktor Individu: Kemampuan, keterampilan, latar belakang, keluarga,
pengalaman tingkat sosial, dan demografi seseorang.
2. Faktor Psikologis: Persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan
kerja.
3. Faktor Organisasi: Struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan,
sistem penghargaan (reward sistem).
2.1.4.3 Indikator-Indikator Kinerja
Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung, yaitu
hal-hal yang bersifat hanya merupakan indikasi kinerja saja sehingga bentuknya
cenderung kualitatif atau tidak dapat dihitung, Moeheriono (2009:74).
Indikator yang baik dan ideal dalam pengukuran kinerja yaitu: spesifik dan
jelas, dapat diukur, fleksibel dan sensitif terhadap perubahan, efektif dan efisien,
konsisten, mempunyai daya banding yang layak dan tepat, sederhana, dapat
dikendalikan, dapat merefleksikan semua aspek perilaku dalam pembuatan keputusan
manajerial, berfokus pada faktor-faktor utama keberhasilan visi misi organisasi,
relevan dengan indikator lainnya, pengumpulan dan laporan data tepat waktu, serta
efektif data dan informasi, Moeheriono (2012:34).
Menurut Mathis dan Jackson (2006:378) mengemukakan bahwa terdapat
beberapa indikator kinerja, yaitu :

33
Universitas Sumatera Utara

a. Kualitas Kerja
Kualitas adalah ketaatan dalam prosedur, disiplin dan dedikasi. Tingkat
dimana hasil aktivitas yang dikehendaki mendekati sempurna dalam arti
menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktivitas, maupun memenuhi
tujuan-tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi
pegawai terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas
terhadap ketrampilan dan kemampuan pegawai.
b. Kuantitas Kerja
Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan dan dinyatakan dalam istilah
seperti jumlah unit atau jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan. Kuantitas diukur
dari persepsi karyawan terhadap jumlah aktivitas yang ditugaskan beserta hasilnya.
c. Ketepatan Waktu
Ketepatan waktu merupakan di mana kegiatan tersebut dapat diselesaikan
secara efektif, atau suatu hasil produksi dapat dicapai, pada permulaan waktu yang
ditetapkan bersamaan koordinasi dengan hasil produk yang lain dan memaksimalkan
waktu yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan lain.
d. Kehadiran
Tingkat kehadiran karyawan dalam perusahaan dapat menentukan baik
buruknya kinerja seorang karyawan.
e. Kerja Sama
Kerja Sama dapat diukur dari kemampuan seorang karyawan menangani
hubungan dalam pekerjaan dengan rekan kerja dan lingkungannya.

34
Universitas Sumatera Utara

2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No
1.

Peneliti
Anak Agung
Inten
Damaryanthi
dan Anak
Agung Sagung
Kartika Dewi

Judul
Pengaruh Kecerdasan
Emosional, Kepuasan
Kerja, dan
Organizational
Citizenship Behavior
(OCB) Terhadap
Kinerja Pegawai
Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas
Udayana

Tahun
Hasil Penelitian
2016
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa:
(1) Kecerdasan emosional
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
kinerja ini berarti pegawai
yang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi
akan lebih optimal dalam
menunjukkan kinerja
mereka, (2) Komitmen
organisasi berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap kinerja ini berarti
pegawai yang memiliki
komitmen organisasi yang
tinggi terhadap tempat ia
berkerja akan
menunjukkan kinerja yang
mengalami peningkatan,
(3) Organizational
citizenship behavior
(OCB) berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap kinerja ini berarti
pegawai yang memiliki
OCB yang tinggi terhadap
tempat ia berkerja maupun
pada pegawai lainnya
akan memunjukkan
kinerja yang meningkat
serta sikap yang lebih
mudah bergaul, ramah,
dan lebih dapat menerima
pekerjaan yang ia
dapatkan tanpa banyak
mengeluh.

35
Universitas Sumatera Utara

2.

Dealsy Florida

Pengaruh Kecerdasan
2014
Emosional, Komitmen
Organisasional, dan
Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja
Karyawan (Perawat) di
RSUP. DR. Soeradji
Titronegoro Klaten

3.

Sukmawati dan Pengaruh Kecerdasan
Nurjaya Gani
Emosional, Kepuasan
Kerja, dan Komitmen
Organisasional
Terhadap Kinerja
Karyawan Pada
Koperasi Karyawan
PT. Telkom Siporennu
Makassar

2014

Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
kepuasan kerja, komitmen
organisasi dan kecerdasan
emosional secara simultan
berpengaruh positif
dan signifikan terhadap
kinerja karyawan
(perawat), RSUP. DR.
Soeradji Tirtonegoro.
Namun secara parsial
komitmen organisasi dan
kecerdasan emosional
mempunyai pengaruh
signifikan dan positif
terhadap kinerja
karyawan, sedangkan
kepuasan kerja tidak
mempunyai pengaruh
yang signifikan tetapi
positif terhadap kinerja
karyawan. Implikasinya
pada penelitian ini adalah
kepuasan kerja, komitmen
organisasi dan kecerdasan
emosional mempunyai
peranan penting yang
sama baik secara individu
maupun bersama-sama
dalam meningkatkan
kinerja karyawan
(Perawat).
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
secara parsial terdapat
pengaruh positif
kecerdasan emosional,
kepuasan kerja, dan
komitmen organisasional
terhadap kinerja karyawan
kopkar PT. Telkom
Siporennu Makassar. Hal

36
Universitas Sumatera Utara

4.

Fandy
Aryawan,
Sugeng
Wahyudi,
Ahyar
Yuniawan

Analisis Pengaruh
Kecerdasan
Emosional,
Kepribadian, dan
Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja
Pegawai (Studi Pada
Perum BULOG Divisi
Regional Jawa
Tengah)

2012

5.

Weihui Fu dan
Satish P.
Deshpande

The Impact of Caring
Climate, Job
Satisfaction, and
Organizational

2014

ini bermakna bahwa
semakin tinggi kecerdasan
emosional karyawan maka
semakin tinggi pula
kinerjanya.
Penelitian ini
menyimpulkanm bahwa:
(1) Semakin tinggi
kecerdasan emosional
maka semakin tinggi
tingkat kinerja Karyawan
Bulog Divre Jawa
Tengah. Untuk itu dalam
proses seleksi pegawai
baru di masa yang akan
datang diharapkan untuk
memprioritaskan calon
pegawai dengan tingkat
kecerdasan emosional
yang tinggi. (2)
Kepribadian berpengaruh
terhadap kinerja
Karyawan Bulog Divre
Jawa Tengah, dengan
demikian disimpulkan
bahwa semakin
mendukung karakteristik
kepribadian untuk
produktif maka semakin
tinggi kinerja.
(3) Kepuasan kerja tidak
berpengaruh terhadap
kinerja, artinya bahwa
tinggi rendahnya tingkat
kepuasan seorang
karyawan tidak berkaitan
dengan tinggi rendahnya
kinerja mereka.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
perawatan iklim
merupakan prediktor dari

37
Universitas Sumatera Utara

sejumlah outcome penting
organisasi seperti
kepuasan kerja, komitmen
organisasi, dan kinerja
karyawan di China, baik
secara langsung maupun
tidak langsung. Penelitian
ini juga menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh
langsung kepuasan kerja
terhadap komitmen
organisasi, dan pengaruh
tidak langsung terhadap
kinerja karyawan.

Commitment on Job
Performance of
Employees in a
China’s Insurance
Company

6.

R.Rangarajan
dan
C.Jayamala

Impact of Emotional
Intelligence on
employee performance
– An Epigrammatic
Survey

2014

7.

Kambiz
Heidarzadeh
Hanzaee and
Majid Mirvaisi

A Survey on Impact of
emotional intelligence,
Organizational
Citizenship Behaviors,
and Job Satisfaction

2013

Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
karyawan dengan
kecerdasan emosional
yang lebih tinggi
menunjukkan kualitas
kinerja yang lebih baik
dibandingkan dengan
rekan-rekan mereka.
Lebih jelasnya,
kecerdasan emosional
memiliki dampak positif
terhadap kinerja
karyawan. Selain itu,
kemampuan memahami
emosi menunjukkan
tanda-tanda prestasi kerja
yang lebih tinggi dan
menegaskan bahwa
kecerdasan emosional
adalah prediktor
signifikan dari kinerja
karyawan.
Hasil survei ini telah
mengkonfirmasi semua
hipotesis yang diajukan
survei ini kecuali satu,
yang terkait dengan

38
Universitas Sumatera Utara

on Employees’
Performance in
Iranian Hotel Industry

8.

Hassan
Rangriz, Javad
Mehrabi

The Relationship
between Emotional
Intelligence,
Organisational
Commitment and
Employees'
Performance in Iran

2010

hubungan antara pada
Kinerja Karyawan. Oleh
karena itu, Kecerdasan
Emosional memiliki
dampak positif pada
kepuasan kerja, OCB dan
kinerja karyawan di
industri hotel Iran.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan
antara kecerdasan
emosional, komitmen
organisasi dan kinerja
karyawan. Penelitian juga
menemukan bahwa
kecerdasan emosional
manajer tidak
mempengaruhi karyawan
komitmen organisasional
dan kinerja karyawan.
Selain itu, tidak ada
perbedaan yang signifikan
antara kecerdasan
emosional, komitmen
organisasional dan kinerja
karyawan pria dan wanita.
Juga tidak perbedaan yang
signifikan antara
kecerdasan emosional
manajer dan karyawan.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional
memainkan peran penting
dalam komitmen
organisasional dan kinerja
karyawan.

39
Universitas Sumatera Utara

2.3 Kerangka Konseptual
Kecerdasan emosional dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Karyawan
yang dapat mengontrol emosinya dengan baik akan menghasilkan kinerja yang baik
pula. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rangarajan dan Jayamala
(2014) dalam judulnya Impact of Emotional Intelligence on employee performance –
An Epigrammatic Survey, menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh

positif terhadap kinerja dan merupakan prediktor signifikan dari kinerja karyawan.
Penelitian ini menyatakan bahwa karyawan yang memiliki kecerdasan emosional
yang tinggi menunjukkan kualitas kinerja yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan
teori yang dikemukakan oleh Meyer (2000) yang menyatakan bahwa kecerdasan
emosional merupakan faktor penting untuk menghasilkan kinerja yang optimal.
Kepuasan kerja juga dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Seperti hasil
penelitan Sukmawati dan Gani (2015) dalam judulnya Pengaruh Kecerdasan
Emosional, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja
Karyawan Pada Koperasi Karyawan PT. Telkom Siporennu Makassar menunjukkan
bahwa secara parsial terdapat pengaruh positif kecerdasan emosional, kepuasan kerja,
dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan. Salah satu kesimpulan dari
hasil penelitian tersebut adalah semakin tinggi kecerdasan emosional karyawan maka
semakin tinggi pula kinerjanya. Hal ini didukung oleh teori Robbins (2010:147) yang
menyatakan bahwa pegawai yang merasa puas terhadap pekerjaannya akan
menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada pegawai yang tidak merasa puas.

40
Universitas Sumatera Utara

Dalam teori yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1997), menyatakan
bahwa dengan komitmen organisasi yang tinggi dapat memperkuat atau
meningkatkan kinerja karyawan. Karena dengan terciptanya komitmen organisasional
yang tinggi, akan membuat karyawan mencintai dan turut merasa memiliki
perusahaan. Karyawan yang mencintai dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada
organisasi akan meningkatkan hasil kerja bagi organisasi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa kecerdasan
emosional, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional berpengaruh terhadap
kinerja karyawan. Berikut kerangka konseptual pada penelitian ini:
Kecerdasan
Emosional (X1)
Kinerja Karyawan
(Y)

Kepuasan Kerja (X2)

Komitmen
Organisasional (X3)
Sumber: Sukmawati dan Gani (2014), Fu dan Deshpande (2014), Rangarajan dan Jayamala (2014).

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
2.4 Hipotesis
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, perumusan masalah yang
didukung dengan kajian teoritis dan dilengkapi dengan kerangka konseptual, maka
hipotesis yang dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

41
Universitas Sumatera Utara

H0 : Kecerdasan Emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
karyawan pada PTPN III (Persero) Medan.
H1 : Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan
pada PTPN III (Persero) Medan.
H2 : Komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
karyawan pada PTPN III (Persero) Medan.
H3 : Kecerdasan emosional, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan pada PTPN III
(Persero) Medan.

42
Universitas Sumatera Utara