STRATEGI PEMBELAJARAN GEOGRAFI MODEL PEM

STRATEGI PEMBELAJARAN GEOGRAFI
MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING and LEARNING (CTL)

Di susun oleh :
DWI UTAMI PUTRI (3201413068)
NURHAYATI

(3201413074)

ROMBEL 2

PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Permasalahan terbesar yang dihadapi para peserta didik sekarang (siswa)
adalah mereka belum bisa menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana
pengetahuan itu akan digunakan. Hal ini dikarenakan cara mereka memperolah informasi

dan motivasi diri belum tersentuh oleh metode yang betul-betul bisa membantu mereka. Para
siswa kesulitan untuk memahami konsep-konsep akademis (seperti konsep-konsep
matematika, fisika, atau biologi), karena metode mengajar yang selama ini digunakan oleh
pendidik (guru) hanya terbatas pada metode ceramah. Di sini lain tentunya siswa tahu apa
yang mereka pelajari saat ini akan sangat berguna bagi kehidupan mereka di masa datang,
yaitu saat mereka bermasyarakat ataupun saat di tempat kerja kelak. Oleh karena itu
diperlukan suatu metode yang benar-benar bisa memberi jawaban dari masalah ini. Salah
satu metode yang bisa lebih memberdayakan siswa dalah pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning / CTL)
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang
cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan
cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik.
Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori
jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang
sehingga akan dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut teori pembelajran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika

siswa (peserta didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga
dapat terserap kedalam benak mereka dan mereka mampu menghubungannya dengan
kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pikiran
secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan linkungan sekitarnya.

Berdasarkan pemahaman di atas, menurut metode pembelajaran kontekstual
kegiatan pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tapi bisa di laboratorium,
tempat kerja, sawah, atau tempat-tempat lainnya. Mengharuskan pendidik (guru) untuk
pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar yang betul-betul berhubungan
dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta
lainnya, sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel
untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Dalam linkungan seperti itu, para siswa dapat menemukan hubungan
bermakna antara ide-ide abstrak dengan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata; konsep
diinternalisasi melalui menemukan, memperkuat, serta menghubungkan. Sebagai contoh,
kelas fisika yang mempelajari tentang konduktivitas termal dapat mengukur bagaimana
kualitas dan jumlah bahan bangunan mempengaruhi jumlah energi yang dibutuhkan untuk
menjaga gedung saat terkena panas atau terkena dingin. Atau kelas biologi atau kelas kimia
bisa belajar konsep dasar ilmu alam dengan mempelajari penyebaran AIDS atau cara-cara
petani bercocok tanam dan pengaruhnya terhadap lingkungan.

Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengikuti tiga
prinsip ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu di alam semesta, yaitu:
1) Prinsip Kesaling-bergantungan,
2) Prinsip Diferensiasi,
3) Prinsip Pengaturan Diri.
Prinsip kesaling-bergantungan mengajarkan bahwa segala sesuatu di
alam semesta saling bergantung dan saling berhubungan. Dalam CTL prinsip kesalingbergantungan mengajak para pendidik untuk mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik
lainnya, dengan siswa-siswa, dengan masyarakat dan dengan lingkungan. Prinsip kesalingbergantungan mengajak siswa untuk saling bekerjasama, saling mengutarakan pendapat,
saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari
pemecahan masalah. Prinsipnya adalah menyatukan pengalaman-pengalaman dari masingmasing individu untuk mencapai standar akademik yang tinggi.
Prinsip diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam

semesta untuk menghasilkan keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip
diferensiasi membebaskan para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, memunculkan cara
belajar masing-masing individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri. Disini para
siswa diajak untuk selalu kreatif, berpikir kritis guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa segala sesuatu diatur,
dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri. Prinsip ini mengajak para siswa untuk
mengeluarkan seluruh potensinya. Mereka menerima tanggung jawab atas keputusan dan
perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis

informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan interaksi
antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat
pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan keterbatasan
kemampuan.
Kembali ke konsep tentang CTL. Dalam pembelajaran kontekstual guru
dituntut membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya adalah guru lebih
berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Di sini guru hanya mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa.
Kegiatan belajar mengajar (KBM) lebih menekankan Student Centered daripada Teacher
Centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1)
Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang
dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari
lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan
dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang
pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan
mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka. 5)
Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan
refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Kurikulum dan pengajaran yang didasarkan pada strategi pembelajaran
kontekstual harus disusun untuk mendorong lima bentuk pembelajaran penting: Mengaitkan,

Mengalami, Menerapkan, Kerjasama, dan Mentransfer.

MENGAITKAN: Belajar dalam konteks pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru
menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah
dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan
informasi baru. Kurikulum yang berupaya untuk menempatkan pembelajaran dalam konteks
pengalaman hidup harus bisa membuat siswa memperhatian kejadian sehari-hari yang
mereka lihat, peristiwa yang terjadi di sekitar, atau kondisi-kondisi tertentu, lalu
mengubungan informasi yang telah mereka peroleh dengan pelajaran kemudian berusaha
untuk menemukan pemecahan masalah terhadap permasalahan tersebut.
MENGALAMI: Belajar dalam konteks eksplorasi, mengalami. Mengalami merupakan inti
belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan
pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa
dapat memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan untuk melakukan bentuk-bentuk
penelitian aktif.
MENERAPKAN: Menerapkan konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang
bermanfaat bagi diri siswa. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan
pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang
realistik dan relevan.
KERJASAMA: Belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan siswa

lain adalah strategi pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual. Siswa yang bekerja
secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang
bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit
bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari materi, juga
konsisten dengan dunia nyata. Seorang karyawan yang dapat berkomunikasi secara efektif,
yang dapat berbagi informasi dengan baik, dan yang dapat bekerja dengan nyaman dalam
sebuah tim tentunya sangat dihargai di tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk
mendorong siswa mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.
MENTRASFER: Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada, atau mentransfer,
menggunakan dan membangun atas apa yang telah dipelajari siswa. Peran guru membuat
bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.

Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL)
memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan
(Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun
penjelasannya sebagai berikut:
1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL,
yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan
tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental

mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
2. Menemukan (Inquiry). Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran
berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan
menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation),
bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering),
penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari
bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan
bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3)
membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5)
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu
yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk
menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan
hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari
‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat
belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam
komunikasi pembelajaran saling belajar.
5. Pemodelan (Modeling). Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan,


mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa
yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan
satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan
dari luar.
6. Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru
dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu.
Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan
refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7. Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar
siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu
diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar.
Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian
dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Prosedur pelaksanaan model pembelajaran CTL
1. Kegiatan Awal


Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses

pembelajaran,



Apersepsi, sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan
diajarkan.



Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan
dipelajari



Penjelasan tentang pembagian kelompok dan cara belajar.

2. Kegiatan Inti


Siswa bekerja dalam kelompok menyelesaikan permasalahan yang diajukan guru.


Guru berkeliling untuk


Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian dan alasan atas jawaban
permasalahan yang diajukan guru.



Siswa dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja (LKS: soal cerita perkalian
terlampir) yang diajukan guru. Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi, dan
memfasilitasi kerja sama,



Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok dan kelompok yang
lain menanggapi hasil kerja kelompok yang mendapat tugas,




Dengan mengacu pada jawaban siswa, melalui tanya jawab, guru dan siswa
membahas cara penyelesaian masalah yang tepat,



Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa tentang hal-hal yang
dirasakan siswa, materi yang belum dipahami dengan baik, kesan dan pesan selama
mengikuti pembelajaran.

3. Kegiatan Akhir


Guru dan siswa membuat kesimpulan cara menyelesaikan soal cerita perkalian
bilangan,



Siswa mengerjakan lembar tugas (LTS: soal cerita perkalian terlampir),



Siswa menukarkan lembar tugas satu dengan yang lain, kemudian, guru bersama
siswa membahas penyelesaian lembar tugas dan sekaligus dapat memberi nilai pada
lembar tugas sesuai kesepakatan yang telah diambil (ini dapat dilakukan apabila
waktu masih tersedia.
Kelebihan & Kekurangan Contextual Teaching and Learning
Kelebihan
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat

menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata.
Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan
dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara
fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori
siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa
karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa
dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis
konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kelemahan
1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi
berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim
yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa.
Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang
akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.
Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan
tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan
strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru
memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran
sesuai dengan apa yang diterapkan semula.

DAFTAR PUSTAKA

Elaine B.Johnson,Ph.D, Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar
Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Mizan Learning Center (CTL), Bandung, 2009, hal.
22

Jalaludin Ibn Abdurrahman Ibn Abi Bakar Al-Suyuti, Al-Jami’u Al-Shogir, Jilid II, Nur
Asiya, Semarang, hal. 128

Khaerudin, M.A., Drs. Mahfudz Junaedi, M.Ag, dkk., Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Pilar Media, Jogjakarta, 2007, hal.
203