TITIK TEMU TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRI

KALIMATUN SAWA’ ANTARA ISLAM DAN KRISTEN
SEBUAH UPAYA DIALOGIS MENUJU TITIK TEMU TEOLOGIS
Rendra Khaldun1
Tidak ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar agama.
Tidak ada perdamaian antar agama tanpa dialog antar agama.
Tidak ada dialog antar agama tanpa penyelaman terhadap
fondasi agama-agama.2

Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya semua agama
memiliki misi yang suci, yakni mengajak manusia untuk
mencapai derajat yang tinggi (dalam arti spiritual) dengan
kesadaran transendental yang dimiliki. Di sisi lain, agama
dengan gamblang menunjukkan kepeduliannya terhadap
pentingnya kebersamaan dalam menempuh kehidupan dengan
upaya menghindari hal-hal yang bersifat primordial.
Agama dengan segenap doktrin yang dikandungnya
menunjukkan kepedulian terhadap persoalan-persoalan laten
yang yang terjadi seperti ketidakadilan, kesewenang-wenangan,
kemiskinan, penindasan, dan segenap sisi kemanusiaan lainnya.
Oleh karenanya masing-masing pemeluk agama, tanpa batasan

agama apa yang dianutnya seharusnya menghayati nilai-nilai
luhur agama universal tersebut. Dengan demikian, pemeluk
agama tidak akan lagi terbelenggu oleh sekat-sekat primordial
dan formal ketika harus dihadapkan pada persoalan
kemanusiaan. Karena jika tidak demikian, berarti bertentangan
dengan ajaran agamanya sendiri dan bahkan juga agama-agama
lainnya yang ada di muka bumi.
Ironisnya, terdapat fenomena ekslusif pada diri sebagian
kaum beriman, mereka menginginkan agar orang yang tidak
beragama sesuai dengan agamanya agarnya berubah seperti
mengikuti agama yang dianutnya. Keinginan tersebut didasari
atas pemahaman yang eksklusif dan militan umat beragama.
Tanpa didasari bahwa sikap semacam itu justru akan
menimbulkan kebencian dan permusuhan.3

1 Dosen Fakultas Dakwan dan Komunikasi IAIN Mataram
2Hans Kung: Islam, Past, Present, and Future, (Oneworld Book Published
by Oneworld Publications 2007), xxiv.
3 Pemahaman literal-skriptual disinyalir oleh Amin Abdullah sebagai salah
satu penyebabsikap eksklusif-apologetik, untuk lebih jelasnya lihat Amin

Abdullah, Dari Fundamentalism Ke Islamism : Asal Usul, Perkembangan Dan
Penyebarannya, 2 diunduh pada tanggal 20 Desember 2011.

Klaim kebenaran dan sikap eksklusif pada kenyataannya tidak
hanya terjadi di Barat (Kristen dan Yahudi), tetapi juga di dunia
Timur (Islam). Hal ini terlihat jelas pada cara mereka menafsirkan
teks-teks keagamaan seperti al-Qur’a>n pada ayat-ayat yang
berbicara tentang agama lain khususnya Kristen dan Yahudi.
Bercampur aduknya aspek doktrin–teologis dalam pergumulan
kultural-historis menurut Amin Abdullah menambah semakin
rumitnya persoalan keagamaan pada wilayah historis-empiris
kemanusiaan.
Lebih
lanjut,
adanya
pemikiran
apriori,
praanggapan, prasangka, praduga teologis tumbuh subur dalam
kehidupan masyarakat luas, yang kemudian diperkuat oleh para
da’i missionaris, zending dengan landasan kitab suci masingmasing. Kenyataan ini sangat sulit dilerai hanya dengan

menggunakan cara-cara konvensional, baik dengan mempelajari
kembali doktrin agama masing-masing secara baik dan jujur
maupun lewat studi empiris seperti yang biasa dilakukan oleh
studi agama-agama. Hubungan antar umat tidak lagi hanya
sekedar hubungan antar personal dan kelompok, tetapi masuk
dalam wilayah ketertumpangtindihan antara teks dan realitas.4
Truth claim yang sering muncul di antara agama-agama
dapat dipahami karena setiap agama mengajarkan kebenaran
dan menyeru umat manusia untuk berkumpul dalam naungan
kebenaran dan keselamatan sejati. Persoalannya adalah
kebenaran ketika dipahami manusia mengandung resiko untuk
terdistorsi karena berbagai faktor. Harus disadari bahwa agama
memiliki dua sisi, yaitu sisi spiritualitas dan sisi identitas sosial
dan komunal. Sisi spiritualitas merupakan sisi substansi,
sementara sisi identitas sosial hanyalah suplemen. Akan tetapi,
sisi identitas sosial seringkali mendominasi sisi spiritualitas
sehingga kebenaran agama tidak dapat didialogkan lagi.
Setidaknya, konflik antar agama terjadi karena barbagai
kepentingan, seperti politik, ekonomi, sampai sosial budaya.
Terjadinya klaim kebenaran bahwa pemahaman agamanya yang

paling mutlak benar terjadi karena penafsiran dari masingmasing agama sangat eksklusif dan kurang apresiatif terhadap
ajaran agama lain, bahkan lebih jauh lagi kurang bisa
menangkap pesan moral dan konteks sosio-historis sebuah teks
agama yang diturunkan5 menjadi penyebab utama terjadinya
konflik baik intra maupun antar agama.6
4Amin Abdullah, Pengantar dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi
Studi Agama (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 6.
5Untuk lebih jelasnya lihat Mahmoud Musthafa Ayyoub, Mengurai Konflik
Muslim Kristen dalam Perspektif Islam (Jogjakarta: Fajar Pustaka baru, 2003).
6Amin Syukur, Pengantar, dalam Hasyim Muhammad, Kristologi Qur’ani
Telaah Kontekstual Doktrin Kekrtistenan dalam Al-Qur’an (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), vii.

Dalam konteks-konteks agama di dunia, Islam dan Kristen
merupakan dua agama yang terbesar pemeluknya. Karenanya,
tidaklah mengherankan jika kedua agama Abrahamik7 ini menjadi
landasan dan barometer kedamaian dunia. Meskipun secara
konseptual keduanya memiliki beberapa perbedaan, namun
secara teologis kedua agama ini memiliki ciri khas yang sama,
yakni agama monoteis (agama tauhid). Konsep monoteisme

inilah yang sering dijadikan landasan untuk mencari titik temu
antara kedua agama tersebut disamping konsep kasih sayang
antar sesama.8
Dalam catatan sejarah, hubungan antara Islam dan Kristen
mengalami pasang surut baik secara politis, teologis, ekonomi,
dan lain sebagainya.9 Tradisi pemikiran-pemikiran Yahudi, Kristen,
dan Islam telah saling berinteraksi dan dipertemukan lewat
pemikiran filsafat Yunani Kuno. Terjadinya interaksi akademik
dalam bidang kosmologi, sains, dan filsafat, bahkan mistisisme
sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Warisan YunaniIslam beserta weltanschauung kepada Barat mengakibatkan
dunia Kristen pada abad pertengahan mencapai prestasi
rennaisance, pencerahan, dan teknologi modern yang nantinya
akan mengakibatkan perbedaan (polemik dalam bidang teologi)
yang sangat tajam antara Islam dan Kristen.10
Upaya dialog antar agama, terutama agama Abrahamik
sudah banyak dilakukan, lebih-lebih antara Islam dan Kristen.
Dari seminar tingkat regional, nasional sampai tingkat
internasional.11 Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan
kehidupan yang damai ditengah pluralitas agama tanpa adanya
7 Istilah agama Abrahamik ini diambil dari nama Nabi Ibrahim yang

merupakan nenek moyang dari nabi-nabi sesudahnya yang diberikan Kitab
suci. Untuk lebih jelasnya tentang ilustrasi ini, lihat W. M. Watt, MuslimChristian Encounters: A Perception and Missperception (London: Routledge,
1991), 59, 70.
8Titik temu antara Islam dan Kristen bukan hanya terletak pada aspek
teologis semata, namun juga terletak pada aspek mistisisme dan metaphisik
untuk lebih jelasnya lihat Waleed El-Anshary dan David K. Linnan (ed), Muslim
and Christian Understanding Theory and Aplication of “A Common Word” (New
York: Palgrave and Macmillan: 2010).
9Ibrahim Kalin mencontohkan bagaimana Al-Mutawakkil yang merupakan
salah satu Khalifah Dinasti Abbasiyah melakukan tekanan politik kepada kaum
Shi’ah dan Kristen termasuk mengekang mereka dari pemerintahan dan
memaksa mereka menggunakan pakaian khusus. Demikian juga dengan
Khalifah Hakim ibn Amr Allah memerintahkan untuk menghancurkan Gereja
Suci dan Kuburan Suci umat Kristen, kejadian ini (penghancuran salah satu
gereja suci sangat membuat shock kaum Muslim dan Kristen. Untuk lebih
jelasnya lihat Ibrahim Kalin, Islam Christianity, the Enlightenment: “A Common
Word” and Muslim-Christian Relations, dalam Waleed El Anshary dan David K.
Linnan, Muslim and Christian Understanding Theory and Aplication of “A
Common Word” (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 42.
10Ibid., 41.


sebuah klaim kebenaran yang melingkupi masing-masing agama
terutama agama Abrahamik.12
Perdebatan antara umat Islam-Kristen setidaknya disebabkan
oleh faktor-faktor berikut ini. Pertama, kedua agama berasal dari
tradisi agama Semitik yang melahirkan agama-agama besar
Ibrahim, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Kedua, sejarah-sejarah
umat terdahulu yang dirujuk oleh ketiga tradisi agama tersebut
dapat dikatakan sama, meskipun ada perbedaan detail narasinya
dan perbedaan interpretasi atas sejarah tersebut. Ketiga, kedua
agama tersebut mengkalim sebagai agama monotheis dan
bersumber dari monotheisme, meskipun dalam kasus Kristen
menggunakan terminologi trinitas. Keempat, kedua agama
memiliki klaim mengenai kebenaran eksklusif masing-masing.
Dalam Kristen dikenal istilah extra eccelisia nulla sallus (di luar
gereja tidak ada keselamatan), dan di Islam dikenal ayat yang
menyebutkan inna al-di>n ‘inda Allah al-Isla>m (sesungguhnya
agama yang benar di sisi Allah adalah Islam). Kelima, kedua
agama merupakan agama misi yang menyuruh umatnya untuk
mendakwahkan atau mewartakan kebenaran masing-masing.13

Prakarsa Multi Agama oleh Umat Islam
Dua prakasra Muslim berskala internasional yang paling
utama adalah pesan dari Amman (Amman Message) yang
disponsori oleh Yordania, dan “Satu Kata Bersama di Antara Kami
dan Anda”. Keduanya merupakan contoh tanggapan Muslim
terhadap ekstrimisme keagamaan dan terorisme global serta
11 Lutheran World Federation (LWF) merupakan salah satu lembaga yang
konsis dan eksis menyelenggarakan seminar maupun dialog tentang Islam
dan Kristen baik menyangkut tentang keimanan maupun kerjasama lain
diantara keduanya sejak tahun 1992. Beberapa artikel mengenai hal ini dapat
dilihat di The Lutheran Word Federation, Dialogue and Beyond Christians and
Muslims Together on The Way (Switzerland: The Lutherand Word Federation,
2003).
12A Common Word merupakan salah satu upaya dialogis antara Muslim
dan Kristen untuk mencapai dan menggagas sebuah kesepahaman dalam
berbagai bidang yang selama ini menjadi sebab dan polemik diantara kedua
agama Abrahamic tersebut seperti teologi, mistik, dan metafisik dan isu-isu
vertikal (love of God) dan horizontal yang menekankan terhadap cinta antar
sesama “love of neighbour”, dan praktek-praktek yang terkait isu-isu dunia
internasional seperti lingkungan,HAM, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya

lihat Waleed El Anshary dan David K. Linnan, Narrative Introduction, dalam
Waleed El Anshary dan David K. Linnan,Muslim and Christian Understanding
Theory and Aplication of “A Common Word” (New York: palgrave Macmillan,
2010), 4-5.
13Untuk melihat masing-masing klaim kebenaran yang dikemukakan oleh
Islam dan Kristen lihat Sam Solomon dan al- Maqdisi, Truth About Common
Word diunduh pada tanggal 24 Desember 2011.

upaya menggerakkan para pemimpin agama dan individu lainnya
dalam usaha menjembatani perbedaan dan perselisihan antar
agama khususnya pada agama Abrahamik yang masih terus
berlangsung sampai saat ini.
Lahirnya Pesan dari Amman dilatarbelakangi oleh ancaman
yang terus menerus dilakukan oleh golongan ekstrimis Islam,
khutbah penghasut dari ekstrimis agama, perang antar sekte di
Irak, dan kurangnya otoritas agama sentral dalam Islam,
sehingga banyak orang yang bertanya, “Siapa yang berbicara
atas nama Islam?”. Pada Tahun 2004, Raja ‘Abd Allah dari
Yordania berusaha mengatasi ekstrimisme dan militansi agama
dengan mendudukkan bersama para pemimpin Islam untuk

menyusun pernyataan mengenai sifat Islam sejati, untuk
menunjukkan mana yang islami dan mana yang bukan, serta
aksi-aksi mana yang mewakilinya dan tidak dengan menekankan
nilai-nilai inti dalam Islam tentang kebaikan hati, saling
menghargai, penerimaan, dan kebebasan beragama. Pesan dari
Amman ini dimaksudkan untuk menolak ekstrimisme karena
merupakan
penyimpangan
dari
keyakinan
islami
dan
menegaskan bahwa ajaran Islam (toleransi serta kemanusiaan)
sebagai landasan bersama antar berbagai agama dan
masyarakat.14
Kemudian pada bulan Juli tahun 2005 dilaksanakan sebuah
konferensi internasional yang dihadiri oleh lebih dari dua ratus
ulama yang berasal dari lima puluhan negara sebagai tindak
lanjut dari pertanyaan yang diajukan kepada dua puluh empat
ulama senior mengenai: 1) siapakah muslim itu?; 2) Bolehkah

menyatakan seseorang itu kafir; dan 3) Siapa yang berhak
mengeluarkan fatwa?.15 Berdasarkan fatwa yang dihasilkan tiga
otoritas keagamaan paling senior dari kalangan Sunni dan Shi’ah
diantaranya Shaykh Muhammad Sayyid Tant}awi dari Universitas
al-Azhar, Ayat Allah Ali al-Sistani dari Irak, dan Yusu>f alQard}awi. Mereka membahas konflik dan kekerasan dalam
masyarakat Muslim. Mereka juga berusaha menafikan para
ekstrimis yang mengeluarkan fatwa untuk pembenaran agenda
mereka.16
14 Untuk lebih jelasnya lihat Jon Hoover, A Common Word “More Positive
and Open, Yet Mainstreaming and Orthodox, dalam Theological Review, XXX),
50-77.
15Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan sebuah konfrensi di Kuala
Lumpur yang yang bertemakan Dialogue: Islamic Word-U.S.–The West yang
dihadiri oleh para akademisi, ulama, dan cendekiawan dari berbagai macam
Perguruan Tinggi terkenal di dunia seperti Oxford Univercity, Michigan State
Univercity, Yale Univercity dan lainnya.
16John L. Esposito, Masa Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan
dan Benturan Dengan Barat (Bandung; Mizan, 2010), 280

Para peserta mengeluarkan deklarasi akhir yang berisikan
hal-hal sebagai berikut:
1.
menekankan persatuan dan validitas tiga
cabang utama Islam yakni Sunni, Shi’i, dan Ibadiyah;
2.
melarang pengkafiran sesama Muslim;
3.
menetapkan
garis
besar
syarat
kes}ahihan fatwa; tak ada yang boleh mengeluarkan fatwa
tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi pribadi yang
ditetapkan tiap madzhab bagi pengikutnya, dan siapapun
yang mengeluarkan fatwa harus memenuhi metodologi yang
berlaku dalam madzhab tersebut.17
Pedoman ini menuai dukungan luas, pada bulan Desember
tahun 2005 secara aklamasi diadopsi oleh Organisasi Konfrensi
Islam, yang mewakili pemimpin politik limapuluh tujuh negara
berpendudukan mayoritas Muslim, dan oleh enam Majelis Ulama
Internasional lainnya, termasuk Akademi Fiqh Internasional
Jeddah, pada Juli 2006. Secara keseluruhan, lebih dari lima ratus
ulama terkemuka dunia mendukung Pesan dari Amman ini.
Dengan demikian, untuk pertama kali dalam sejarah, sejumlah
ulama besar dari berbagai negara dan golongan, mewakili Islam
sedunia, bergabung mengeluarkan pernyataan otoritatif.18
Satu Kata Bersama
Pada bulan September tahun 2006, Paus Benediktus XVI
menyampaikan
pidato
di
Regensburg,
Jerman,
yang
mengecewakan dan membuat marah kaum Muslim di seluruh
dunia. Benediktus mengutip ucapan Kaisar Bizantium dari abad
ke-14 mengenai Nabi Muhammad: “Tunjukkan kepadakau hal
baru yang dibawa Muhammad, dan akan kita jumpai hal-hal yang
jahat dan tidak manusiawi belaka, seperti perintahnya untuk
menyebarkan ajarannya dengan pedang”.19 Pernyataan bahwa
Muhammad memerintahkan penyebaran Islam dengan pedang
disangkal keras dan dinyatakan tidak akurat oleh Muslim dan
ilmuwan non-Muslim.20
Yang juga menjadi kontroversi dalam pernyataan Paus
Benediktus adalah pernyataannya tentang ayat al-Qur’a>n
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama” (QS. Al-Baqarah
[2]: 256) diturunkan pada awal kenabian Muhammad di Makkah,
17Ibid., 280.
18Ibid., 281.
19Ibid., 282.
20Pendapat ini nampaknya berasal dari pendapat dari John of Damaskus
yang merupakan salah satu pegawai dalam pemerintahan Bani Umayyah di
Damaskus yang mengkaji Islam secara serius, untuk lebih jelasnya lihat D. J.
Sahas, John of Damaskus on Islam (Leiden: 1972), 134-141.

suatu masa ‘ketika Muhammad masih lemah dan dibawah
(ancaman)’, tetapi sudah digantikan ‘instruksi, yang dibuat
belakangan dan dicatat dalam Koran (Qur’a>n), mengenai jihad’.
Sebulan setelah pidato Paus Benediktus di Resenburg,
tigapuluh delapan ulama mengirim surat terbuka kepada Paus
Benediktus XVI, mengungkapkan keprihatinan mereka atas
pidato tersebut. Memperingati setahun surat tersebut tepatnya
pada tanggal 13 Oktober 2007 sekitar 138 pemimpin Muslim
yang terdiri dari mufti, akademisi, inteltual, menteri negara, dan
penulis buku dari seluruh dunia kembali mengirimkan surat
terbuka, “satu kata bersama antara kami dan anda’, kepada para
pemimpin gereja-gereja besar di seluruh dunia. Prakarsa ini
diluncurkan bersamaan dengan konferensi di Dubai, London, dan
Washington.21
Para pemimpin dan cendekiawan Kristen di seluruh dunia
segera menanggapai ‘Satu Kata Bersama’. Uskup Agung
Canterbury, Paus Benediktus XVI, Patriarkat Ortodoks Alexei II
dari Rusia, pemimpin Uskup Federasi Dunia Lutheran, dan banyak
lainnya, mengakui pentingnya surat ini. Banyak pula para
individu dan kelompok menuliskan komentar dan kritik pada situs
Web resmi ‘Satu Kata Bersama’. Lebih dari tiga ratus
cendekiawan serta pemimpin arus utama dan evangelis Amerika
terkemuka menanggapi dalam sebuah surat terbuka yang
mengesahkan pernyataan “Bersama-sama mencintai Tuhan dan
Sesama”, yang dipublikasikan di New York Times dan surat kabar
lainnya. Jumlah pemimpin muslim serta ulama yang
menandatangani prakarsa ini meningkat dari semula berjumlah
138 orang menjadi lebih dari 300 orang, ditambah dukungan dari
460-lebih organisasi dan asosiasi Islam.22
Sebagai tindak lanjut dari surat tersebut, diadakan konfrensi
internasional antara para pemuka agama, cendekiawan, LSM, di
Yale Univercity, Cambridge Univercity, dan Georgetown
Univercity serta di Vatikan untuk meneliti implikasi teologis,
alkitabiah, dan sosial dari prakarsa ini.23
Delegasi Muslim dipimpin oleh Mufti Besar BosniaHerzegovina Mustafa Ceric. Kardinal Louis Tauran menjadi
pemimpin delegasi Vatikan, menyebut pertemuan tersebut
sebagai ‘babak baru dalam sejarah panjang’. Vatikan
mendesakkan topik yang menjadi perhatian mereka yakni
21John L. Esposito, Masa Depan Islam, 282.
22Ibid.
23Untuk lebih jelasnya lihat, The Righ Reverend William O. Gregg, The
Power of Finding Common Ground; “A Common Word” and the Invitation to
Understanding, dalam Waleed el-Anshary dan David K. Linnan, Muslim and
Christian Understanding Theory and Aplication of “A Common Word” (New
York: Palgrave Macmillan, 2010), 32.

penekanan pada keyakinan dan nilai-nilai bersama tidak
mengabaikan perbedaan dan persoalan sebenarnya, khususnya
yang disebut ‘timbal balik’ kebebasan umat Kristen untuk
membangun gereja dan beribadah di negara Islam. Kegiatan ini
juga diharapkan berlangsung dengan penuh saling hormat
menghormati terhadap tradisi sakral antara yang satu dengan
yang lainnya, tanpa ada rasa saling mencurigai, dan tannpa
menggunakan
sumber-sumber
yang
dapat
mereduksi
24
keduanya. Pertemuan tiga hari tersebut menghasilkan sebuah
manifesto yang menyerukan dialog antara pemimpin Muslim dan
Kristen, menekankan nilai-nilai bersama antara Islam dan
Kristen.25
Titik Temu antara Teologi Islam dan Teologi Kristen
Secara teologis, usaha mendapatkan titik temu antara Islam
dan Kristen ini sangat penting, terlebih lagi sebagaimana telah
disebutkan diatas, bahwa lebih dari setengah populasi dunia
terdiri dari umat Muslim dan Kristen. Tanpa perdamaian dan
keadilan diantara dua pemeluk agama besar ini, tidak mungkin
tercapai perdamaian dunia yang penuh arti. Masa depan dunia
ini tergantung pada perdamaian antara Muslim dan Kristen.26
Batu pijakan untuk perdamaian dan saling pengertian ini
sudah ada, yaitu bagian dari prinsip dasar kedua agama yakni
kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kecintaan kepada
sesama. Prinsip ini berkali-kali dijumpai dalam Kitab Suci Islam
dan Kristen. Dengan demikian ke Esaan Tuhan, dan keharusan
mencintai sesama menjadi landasan bersama antara umat Islam
dan Kristen.27
Landasan prinsip-prinsip diatas merupakan prinsip universal
dari seluruh agama terlebih agama Abrahamik (Islam, Kristen,
dan Yahudi), dengan sendirinya adalah tunggal, meskipun ada
kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam. Ini juga
yang menghasilkan pandangan antropologis bahwa pada
24Sayyid Hossein Nas}r, A, Common Word, 24.
25Untuk lebih jelasnya lihat Joseph Lumbard, The Uncommonality of A
Common Word (Crown Center for Middle East Studies: Brandeis University,
2009).
26Ibrahim Kalin, Islam, Christianity, 43.
27Di Indonesia, Jogjakarta merupakan salah satu contoh tumbuhnya
kebersamaan antara Islam dan Kristen khususnya dalam tradisi akademik
(perguruan tinggi) bagaimana harmonisasi antara umat Kristiani dan Muslim
serta jalinan kerjasama antara masing-masing Perguruan Tinggi di Jogjakarta
dalam rangka mengembangkan keilmuan. Untuk lebih jelasnya lihat Amin
Abdullah, Neighborology and Pro Existence dalam The Lutheran Word
Federation, Dialogue and Beyond Christians and Muslims Together on The Way
(Switzerland: The Lutherand Word federation, 2003), 83-88.

mulanya semua agama adalah tunggal karena berpegang
kepada kebenaran tunggal yang diambil dari intisari ajaran kitab
suci mereka. Namun, kemudian terjadi perselisihan antar sesama
justru setelah penjelasan tentang kebenaran itu datang. Bahkan
setelah mereka berusaha memahami dalam taraf kemampuan
dan keterbatasan mereka, maka terjadilah perbedaan penafsiran
terhadap kebenaran tunggal tersebut. Perbedaan tersebut
kemudian semakin tajam dengan masuknya berbagai macam
kepentingan yang diusung oleh masing-masing elit dari agama
itu sendiri.
Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid dan inilah yang menjadi
perdebatan teologis antara agama Abrahamik khususnya Islam
dan
Kristen.
Secara
historis-sosiologis
terjadi
‘variasi’
pemahaman konsep tentang Tuhan dari beberapa pemeluk (elit)
agama sehingga masing-masing agama Abrahamik sering
mengklaim sebagai pemilik monoteisme murni (strit monoteism).
Klaim-klaim ini tidak hanya didengungkan oleh elit Muslim
semata, namun elit-elit non Muslim pun mengklaim sebagai
penganut monoteisme murni.28
Menurut Hossein Nas}r ada beberapa hal yang menjadi
(kesamaan) titik temu antara Islam dan Kristen, yaitu: Pertama,
bahwa antara Islam dan Kristen sama-sama dikaruniai iman yang
obyeknya bukan hanya Tuhan semata, akan tetapi juga hal-hal
yang terkait wahyu, agama, dan dunia malaku>t. Kedua, antara
Muslim dan Kristen sama-sama mempercayai bahwa ethical
character pada kehidupan manusia harus ditegakkan di muka
bumi. Ketiga, antara Islam dan Kristen sama-sama memegang
teguh tentang prinsip keadilan wahyu dan keadilan bagi
kehidupan sosial dengan menakankan pada pokok-pokok
kecintaan terhadap Tuhan, kasih sayang, rahmat, dan kebajikan
dalam setiap kehidupan sehingga sifat keadilan dan tanggung
jawab hanya diperuntukkan bagi kehidupan individu dan sosial.29
Pada level paraksis keagamaan, antara Islam dan Kristen
sama-sama beribadah menyelenggarakan ritus-ritus sakral
walaupun secara formal tatacara ritual tersebut berbeda-beda
tetapi secara hakiki mereka menekankan dan mencerminkan
kesamaan dalam realitas keagamaan. Secara empiris, antara
Islam dan Kristen sama-sama menyadari akan adanya kesamaan
dalam berbagai hal khususnya terkait dengan praktek
28Untuk lebih jelasnya lihat Nurkholis Madjid, Islam doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Paramadina, 1995), xcii.
29Sayyid Hossein Nas}r, “A Common Word” Initiatove: Theoria and Praxis”
dalam Waleed el-Anshary dan David K. Linnan, “Muslim and Christian
Understanding Theory and Aplication of “A Common Word” (New York:
Palgrave Macmillan, 2010), 24.

keagamaan ini. Pada beberapa kasus, secara eksistensial kita
sama-sama akan merasakan ketenangan dan kedamaian yang
mengalir selama kita melaksanakan ibadah walaupun bentuk dan
caranya berbeda beda. Oleh karenanya, kita tidak bisa
mengklaim bahwa kehendak kita dan kehendak yang mengklaim
yang di kabulkan oleh Tuhan dan yang lain tidak.30
Monoteisme dalam Islam dan Kristen
Trinitas
atau
Tritunggal
adalah
merupakan
konsep
monoteisme Kristen yang sangat populer. Bagi orang lain, doktrin
ini agak sulit untuk dimengerti dan dipahami. Namun bagi kaum
Kristiani mereka memahaminya dengan semangat keimanan suci
dan menjadi salah satu pondasi pokok dalam memahami Tuhan
dan manifestasiNya dalam kehidupan nyata. Karena itu, argumen
yang sering dilontarkan oleh umat Kristen dalam menjelaskan
dalam menjelaskan doktrin ini adalah bahwa Tritunggal
merupakan pengakuan iman rasuli yang yang mestidipercayai
secara mutlak dan tidak perlu diutak atik secara akali karena
memasuki ranah imani bukan rasio.
BJ. Boland, seorang teolog Kristen menerangkan bahwa Allah
yang satu dan Esa itu memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah di
atas kita (Allah Bapa), sebagai Allah ditengah-tengah kita (Yesus
Kristus), dan sebagai Allah dalam diri kita (roh Kudus). Ketiganya
tak terpisahkan satu sama lain, namun tetap dibeda-bedakan.
Itulah yang dimaksud dengan Tritunggal.31 Dapat pula dikatakan
bahwa hubungan antara Allah Bapa dan anakNya (Yesus Kristus)
menunjukkan ‘kedekatan yang sangat’ antara Allah dan Yesus
bukan merupakan hubungan anak-biologis.
Kebesaran Allah dalam tiga pribadi adalah rahasia iman
Kristen yang paling besar. Manusia sulit memahaminya, kecuali
melalui akal ilahi. Akal ilahi saja tidak dapat memahami semua
ciptaan yang lahir maupun batin, apalagi hendak memahami
Allah Tritunggal.32 Cukup bagi umat Kristiani untuk mengimani
apa yang diwahyukan kepada Yesus Kristus ini. Dan akhirnya
doktrin Allah Tritunggal ini menjadi misteri dan rahasia yang
dalam, yang sulit dipahami akal manusia.
Dalam iman Kristen, Trinitas atau Tritunggal tidak dapat
dijelaskan dengan pendekatan apapun selain menyatakan,
bahwa Trinitas adalah wahyu Allah, berasal dan datang dari Allah
yang Esa. Ke-Esa-an inilah yang membuatnya sulit dijelaskan
dengan apapun dan oleh siapa pun kecuali oleh Allah sendiri.
Kebenaran dari segala sesuatu adalah semu, sehingga tidak
30Ibid.
31BJ. Bolland, Intisari Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 89.
32Lebih jelasnya lihat P. Wahyo, Pengajaran Gereja Katolik, (Jakarta:
Penerbit Obor, 1959).

mungkin menjelaskan tentang kebenaran Allah yang Mutlak.
Berbicara tentang Allah harus dengan kesadaran bahwa Allah
bukan sesuatu yang dikuasai oleh akan budi tetapi sesuatu yang
menguasai akal budi. Oleh karenanya Allah tidak mungkin
menjadi terang dengan penjelasan akal budi. 33
Sedangkan konsep monoteisme dalam Islam dimaknai
sebagai penyerahan diri secara penuh, utuh, dan bulat kepada
Allah
dengan
cara
menyembah
kepada
Allah,
tidak
menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, tidak ada yang
setara denganNya. Tidak dapat disetarakan dengan siapa dan
apapun. Tempat bergantung dan bersandar segala sesuatu.
Dalam seluruh kehidupannya, seorang Muslim berikrar atau
berkomitmen teguh bahwa “shalatku, ibadahku, matiku, hidup
dan matiku hanya milik Allah, Tuhan pemilik alam. Setidaknya
beberapa elemen tersebut merupakan esensi ketauhidan
(monoteisme) yang menjadi dasar keyakinan (faith) kemudian
beribadah yang menjadi dasar perbuatan manusia.34
Dari permulaan sejarahnya, doktrin tauhid dalam Islam
senantiasa menjaga kemurniannya hingga kini. Sejak pertama
Nabi
Muhammad
mengenalkan
Islam
dengan
risalah
monoteismenya, tak pernah ada usaha-usaha destruktif dari
umatnya untuk menyimpangkan doktrin ini. Konsep Tuhan dalam
Islam, sepanjang pergulatan sejarahnya tidak pernah berevolusi
dari dan menjadi bentuk apapun.
Dalam pandangan mayoritas Islam, semua manusia dapat
langsung berhubungan dengan Tuhan dimanapun, kapanpun, dan
bagaimanapun kondisinya, tanpa perantara tuhan-tuhan kecil
dan
makhluk
ciptaanNya.
Tuhan
pun
mustahil
mengejawantahkan dirinya pada diri RasulNya atau apapun yang
kemudian dijadikan obyek sesembahan.
Para Kristologi Kristen secara garis besar menggunakan dua
pendekatan dalam mengkaji identitas dan pokok-pokok keimanan
tentang Yesus. Kedua pendekatan tersebut dikenal dengan istilah
dari bawah menuju ke atas (low ascending) dan dari atas menuju
ke bawah (high descending). Pendekatan low ascending ini
terkait dengan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, dan
pendekatan high descending terkait dengan hal-hal yang bersifat
ketuhanan. Pendekatan low ascending akhir-akhir ini menjadi
sangat populer digunakan oleh para Kristolog. Pendekatan ini
banyak ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru. Sementara itu,

33Untuk lebih jelasnya lihat Niko Syukur Dister, Kristologi: Sebuah Sketsa,
(Jakarta: Kanisius, 1993), 15.
34Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Erlangga,
2010), 247.

pendekatan high descending banyak digunakan untuk
menjelaskan inkarnasi dalam konsep keimanan Kristen.35
Jika pendekatan-pendekatan ini diterapkan untuk mengkaji alQur’a>n , maka kita akan mengatakan bahwa ini merupakan
high descending. Al-Qur’a>n merupakan firman Tuhan yang
abadi yang datang dari atas (Tuhan) kepada kita (manusia).
Sedangkan jika kita menggunakan low ascending terhadap alQur’a>n maka kita akan melihat bahwa secara sederhana alQur’a>n merupakan sebuah karangan yang diilhami dari Nabi
Muhammad namun ini sulit untuk diterima. Walaupun al-Qur’a>n
mungkin berasal dari firman Tuhan dan kata-kata yang ada
didalamnya tidak bisa disamakan dengan kata-kata biasa.
Namun orang-orang Muslim tetap ragu mengadopsi pendekatan
jenis ini jika digunakan kepada al-Qur’a>n .36
Low
Ascending
Kristologi
cenderung
untuk
mengkonfirmasikan kepada Muslim tentang kepercayaan mereka
bahwa orang-orang kristen di angkat ke tempat yang tinggi
semata-mata karena menjadi pelayan kemanusiaan menuju
tempat ‘ketuhanan’ dimana tidak ada tempat selain itu.
Menariknya, para teolog tradisional Islam merefleksikan bahwa
al-Qur’a>n sebagai kata-kata Tuhan agar terhindar dari beberapa
isu yang paralel dengan tradisi Kristen pada masa awal
pertumbuhan agama Kristen.
Hal-hal yang dapat menjadi isu adalah bahwa komunitas
Muslim mengenal apa yang dijadikan testimoni dalam al-Qur’a>n
semata-mata merupakan teks manusia (puisi, syair, atau sajak),
sejarah-sejarah purba, atau berupa ucapan-ucapan ramalan yang
diaktualkan sebagai wahyu; dan selanjutnya hal ini juga terjadi
pada ungkapan-ungkapan Johannine yang datang dari Tuhan,
telah dikirim oleh Tuhan.37
Ayat-ayat al-Qur’a>n terhadap Hubungan antar Agama
Pada dasarnya Islam secara tegas memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan
keberagamaan.38 Menurutnya, Islam sama sekali tidak menafikan
agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agamaagama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya.
Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan
kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu
35Daniel A. Madigan, Mutual Theological Hospitality: Doing Theology in the
Presence of the Other dalam Waleed el-Anshary dan David K. Linnan, Muslim
and Christian Understanding Theory and Aplication of “A Common Word”,
(New York: Palgrave Macmillan, 2010), 62.
36Ibid.
37Ibid., 63
38Q.S. Al-Baqarah (2) : 156, Q.S. Al-Kahfi (18) : 29.

memang merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat
majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama
bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang
lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman.39
Jika kita cermati secara mendalam maka akan dijumpai
beberapa ayat yang menjelaskan tentang hubungan antara
agama Abrahamik, problematikanya dan solusi untuk meredakan
ketegangan di amtara agama-agama tersebut. Secara garis
besar ayat-ayat yang berhubungan dengan antar agama ini
dibagi menjadi dua kelompok kluster. Kelompok kluster pertama
berbicara tentang ayat-ayat al-Qur’a>n yang saling terkait
tentang agama-agama Abrahamik dan kluster ini terdiri dari lima
subkluster. Kelompok kluster kedua berbicara tentang jawaban
final al-Qur’a>n terhadap persoalan keanekaragaman agamaagama dunia dan klaim atas kebenaran masing-masing agama,
dan kluster kedua ini terbagi menjadi dua subkluster.40
Subkluster pertama dari kelompok kluster pertama adalah
semula umat manusia merupakan sebuah kesatuan, tetapi
pecah karena wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi.
Kelompok Dari keterangan-ketarangan yang didapat dalam alQur’a>n , jelas sekali bahwa sejak awal hingga akhir
kehidupannya sebagai seorang Nabi, Muhammad benar-benar
yakin bahwa Kitab-kitab suci terdahulu berasal dari Allah dan
mereka
yang menyampaikan Kitab-kitab suci tersebut
merupakan nabi-nabi Allah. Itulah sebabnya mengapa Nabi tanpa
sangsi mengakui bahwa Ibrahim, Musa, Isa, dan tokoh-tokoh
lainnya baik yang disebutkan dalam Perjanjian Baru maupun
Perjanjian Lama merupakan nabi-nabi seperti dirinya.
Jika
Nabi
Muhammad
beserta
pengikut-pengikutnya
mempercayai semua nabi, maka semua manusia harus
mempercayainya. Mengingkari dia berarti mengingkari nabi-nabi
tersebut karena perbuatan ini berarti merusak garis silsilah
kenabian. Namun pada bagian akhir periode Makkah Nabi
menyadari bahwa kaum-kaum Yahudi dan Kristen tidak akan
mempercayainya; begitu pula masing-masing di antara keduanya
tidak akan mengakui yang lainnya.
Kesadaran
mengenai
keanekaragaman
agama-agama
walaupun semuanya terpancar dari sumber yang sama ini
merupakan masalah teologis yang amat penting bagi
Muhammad. Kejadian ini sangat menghujam dan mendukakan
39Untuk lebih jelasnya lihat, Djohan Effendi, “Kemusliman dan
Kemajemukan”, 54-55.
40Untuk lebih jelasnya tentang pembagian ayat perkluster lihat Amin
Abdullah, Ayat-ayat al-Qur’an Tentang Hubungan Antar Agama, Paper, tidak
dipublikasikan. Dibagikan pada tanggal 21 Januari 2012 oleh Prof. Dr. Amin
Abdullah.

hati Muhammad, sehingga sejak mendapatkan kesadaran ini
hingga fase terakhir kehidupannya masalah ini tetap disinggung
dalam al-Qur’a>n pada berbagai level. Al-Qur’a>n seringkali
mengatakan bahwa agama-agama yang bebeda tidak hanya
bertentangan, tatapi setiap agama itu sendiri mengalami
perpecahan dalam tubuhnya. Dalam al-Qur’a>n ditemukan
sebuah pandangan yang agak lain dalam masalah ini. Dikatakan
bahwa pada mulanya umat manusia merupakan sebuah
kesatuan; tetapi kesatuan ini pecah karena wahyu-wahyu Allah
yang disampaikan oleh para nabi. Mengapa wahyu-wahyu
tersebut merupakan sumber dan kekuatan yang memecah belah
umat manusia adalah rahasia Allah, dan jika dia menghendaki
niscaya dia mempersatukan mereka.41
Subkluster kedua, keragaman dan pluralitas hukum (agama).
Secara ekplisit ayat-ayat diatas menunjukkan adanya sebuah
pluralisme dalam beragama. Pluralisme agama sejatinya tidak
semata-mata mengakui adanya keragaman agama, tetapi juga
kesanggupan dan kesediaan untuk hidup bersama dalam
kerukunan dan semua penganut agama yanag berbeda-beda.
Dalam konteks teologi universal, keberadaan agama adalah bukti
cinta kasih Tuhan kepada manusia. Agama diturunkan guna
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia.
Dalam memahami pluralisme agama, al-Qur’a>n berulangkali
menegaskan bahwa sistem nilai plural (termasuk pluralisme
agama) adalah takdir (ketentuan) Tuhan dan sunnah Allah yang
tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Siapa
saja yang mencoba untuk mengingkari sunnah Allah tersebut
akan berakibat fatal terhadap kedamaian dunia dan kehidupan
umat beragama dan kelangsungan hidup manusia.
Ayat-ayat al-Qur’a>n yang ada menegaskan bahwa terdapat
fakta-fakta tentang masyarakat akan terbagi menjadi kelompokkelompok dan komunitas, yang masing-masing memiliki orientasi
kehidupan dan petunjuknya sendiri-sendiri. Komunitas-komunitas
tersebut diharapkan dapat menerima kenyataan tentang adanya
keragaman sosio-kultural, saling toleransi dalam memberikan
kebebasan dan kesempatan bagi setiap orang untuk menjalani
kehidupan sesuai dengan sistem kepercayaannya masingmasing.42
Dengan kehendakNya, Tuhan bisa saja menciptakan satu
umat yang homogen dengan unitas keimanan, tetapi itu tidak
dilakukanNya karena hal itu hanya akan menafikan perjuangan
manusia melawan segala macam kekuatan dan kepentingan
yang berkecamuk dalam dirinya. Hal yang diharapkan dalam
41Beberapa ayat al-Qur’an yang berbicara tentang hal tersebut adalah
surat Al-Baqarah (2): 213), Hu>d (11): 118), dan Yu>nus (10): 19).
42QS. Al Ka>firu>n (109): 1-6

sistem plural bahwa komunitas-komunitas yang berbeda saling
berkompetisi dengan cara yang dapat dibenarkan dan sehat,
guna meraih sesuatu yang terbaik bagi umat manusia. Kelak di
akhirat Tuhan akan menerangkan mengapa manusia diciptakan
berbeda-beda seperti perbedaan, ras, suku, agama dan lain
sebagainya.43
Oleh karena itu, Tuhan membebaskan umat manusia dalam
beragama. Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama
karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi
kebebasan untuk membedakan serta memilih sendiri antara
yang benar dan yang salah. Dengan kata lain, manusia telah
dianggap dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan
hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa seperti
seorang yang belum dewasa. 44
Subkluster ketiga, eksklusifitas penganut agama-agama
Abrahamik (Yahudi, Islam, dan Kristen). Dalam al-Qur’a>n,
disebutkan bahwa semua agama-agama Abrahamik memiliki
klaim kebenaran masing-masing. Klaim-klaim yang mereka
lontarkan kepada kelompok lain tersebut sebenarnya didasari
oleh keinginan mereka agar kelompok lain mengikuti
keyakinannya. Demikian juga halnya, sikap mereka terhadap
pengikut Muhammad, hingga kaum Muslimin mendukung
keyakinan mereka, begitu juga sebaliknya. Tidak hanya itu saja,
masing-masing agama Abrahamik saling merendahkan antara
satu dengan yang lainnya. Apa yang dijadikan pedoman agama
masing-masing dianggap oleh yang lain tidak benar atau palsu.45
Klaim kebenaran yang dilontarkan oleh agama atau kelompok
tertentu tidak dapat memberikan jaminan atas individu
pengikutnya melainkan tergantung dari amal baik dan perbuatan
yang dilakukan oleh individu itu sendiri. Agama dan wahyu yang
diturunkan oleh Allah merupakan karunia yang diberikan oleh
untuk umat manusia agar ia dapat menjadikannya sebagai
penuntun dan pedoman untuk berbuat baik dimuka bumi. Wahyu
Tuhan tidak berarti jika manusia tidak mampu menjadikannya
sebagai petunjuk.
Subkluster keempat, ketegasan nada al-Qur’a>n terhadap
doktrin inkarnasi dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap
trinitas dikalangan Nas}rani. Pada umumnya, para ulama
berpendapat bahwa umat Kristiani seharusnya sepakat dengan
penolakan terhadap Trinitas. Bagi mereka, Trinitas hanyalah
paham yang diselewengkan oleh sebagian pengikut Isa yang
berkhianat. Pendapat yang demikian ini bisa jadi karena
perbedaan paradigma dalam memandang hakekat ketuhanan
43QS. Yu>nus: 99
44QS. Al-Baqarah; 256
45QS. Al-Baqarah (2): 113 dan 111, QS. Ali Imran (3): 19 dan 85.

Yesus. Dalam Islam sendiri, perbedaan tentang hakekat Tuhan
dalam hubungannya dengan manusia juga terjadi perbedaan.46
Al-Qur’a>n hanya mengakui satu Tuhan dan menolak adanya
pribadi-pribadi Tuhan sebagaimana dipahami umat Kristiani,
sebagai pribadi-pribadi yang memiliki hakikat ketuhanan, Yesus
Kristus sebagai anak Tuhan atau Tuhan Anak atau Roh Kudus.
Tidak hanya itu saja, al-Qur,an juga secara tegas menolak
anggapan bahwa Yesus Kristus adalah salah satu dari tiga pribadi
Tuhan, melainkan hanya seorang rasul yang diutus oleh Allah
untuk menyampaikan ajaran kebenaran dari Allah. Yesus adalah
manusia biasa sebagaimana manusia yang lain, dilahirkan dari
seorang ibu bernama Maryam yang diberi ilham oleh Allah untuk
melahirkan seorang anak tanpa Bapak.47
Subkluster kelima, esensi dan substansi agama di dunia.
Allah secara tegas tidak memberikan keistimewaan terhadap
kelompok agama ras, golongan, kelompok, dan agama tertentu
yang ada dimuka bumi ini. Bagi Allah, yang terpenting adalah
keimanan dan amal baik mereka selama mereka hidup dimuka
bumi.
Allah
juga
mengakui
adanya
beragam
sistem
keberagamaan dimuka bumi dengan syari’at yang beragam pula.
Dengan adanya beragam keyakinan dan pemahaman tentang
agama tersebut, Allah memberikan hak yang sama kepada setiap
agama dan keyakinan dalam wilayah kemanusiaan yang nisbi.
Selanjutnya Allah mengingatkan agar umat manusia tidak lagi
melihat agama apa yang dianut atau ritual apa yang harus
dijalankan, tetapi mengajak untuk kembali kepada misi universal
yang diusung oleh masing-masing agama yakni menyembah dan
mengabdi kepada kepada Allah dan tidak menyekutukannya.
Pemutlakan
kebenaran
tertentu
akan
menyebabkan
keangkuhan
dan
kesombongan
dalam
beragama,
dan
diskriminasi sosial merupakan karakter orang kafir dan mushrik
yang banyak dikecam oleh al-Qur’a>n. Al-Qur’a>n menegaskan
pengakuannya terhadap semua agama dan memberikan hak
yang sama pada pemeluknya untuk mendapatkan balasan sesuai
dengan amal perbuatannya. Al-Qur’a>n secara berulangkali
mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaumkaum tersebut (Yahudi, Kristen, dan Sha>bi’in), seperti
pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman
dalam Islam.48
Sedangkan kelompok kluster kedua merupakan jawaban
final al-Qur’a>n terhadap persoalan keanekaragaman agamaagama dunia dan klaim atas kebenaran masing-masing. Dalam
kluster kelompok kedua ini terdapat dua subkluster yang
46QS. Al-Nisa>’ (4): 171-172.
47QS. Al-Ma>idah (5): 72-75.
48QS. Al-Baqarah, (2): 62.

merupakan jawaban atas permasalahan diatas yakni: subkluster
pertama, subkluster mengatakan bahwa realitas sosiologis
keberagamaan manusia memang berbeda-beda sehingga
membuka sebuah “persaingan terebuka’ untuk berlomba-lomba
dalam kebaikan.49Ayat-ayat yang terkait masalah ini dipandang
sebagai intisari masalah sekaligus solusi tentang pluralitas dan
pluralisme. Pengingkaran terhadapnya akan melahirkan konflik
yang tidak berkesudahan. Secara teologis, keragaman ini akan
dapat menjadi wadah umat manusia untuk berlomba-lomba
dalam berbuat kebaikan terhadap Tuhan dan terhadap sesama. 50
Kelak diakhirat Tuhan akan menerangkan mengapa manusia
diciptakan berbeda-beda.
Bagi kaum muslimin sendiri, walaupun mereka dimuliakan
sebagai ‘kaum penengah’ dan ‘sebaik-baiknya kaum yang
diciptakan untuk umat manusia’ tidak diberikan jaminan bahwa
mereka adalah kaum yang dikasihi Allah kecuali jika mereka
memperoleh kekuasaan diatas dunia mereka menegakkan shalat,
berusaha meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin,
menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan.51
Subkluster kedua, kluster yang menyatakan bahwa rahmat
Allah mengatasi semua perbedaan, keyakinan dan tafsir para
pengikut nabi-nabi penerus nabi Ibrahim.52 Sebagaimana
dimaklumi bahwa setiap nabi dan rasul yang dipilih Tuhan adalah
penerus dan penyambung dari nabi sebelumnya, dengan suatu
misi suci (wahyu) yang sama yakni mengajarkan kepada satu
Tuhan (monoteisme/tauhid). Tidak ada satupun nabi yang
menyimpang dari tugas suci ini. Dalam pandangan al-Qur’a>n,
wahyu merupakan pesan (risalah, message) Tuhan bersifat
universal yang disampaikan oleh seorang nabi atau rasul kepada
setiap ras/suku/bangsa.53
Ibn Taymiyah mengatakan bahwa semua agama nabi adalah
sama dan satu, yakni Islam (dalam pengertian pasrah ‘kepada
Allah’ sepenuhnya), meskipun syari’atnya berbeda-beda sesuai
zaman dan tempatnya namun inti dari ajaran semua agama
adalah hanya beribadah kepada Allah, Tuhan Yang Mahaesa,
yang tiada padanan bagiNya.54 Lagipula, sulit rasanya untuk
menerima bahwa Tuhan Mahaadil, Mahapengasih, lagi
Mahapenyayang jika Dia hanya membimbing bangsa-bangsa
tertentu dibelahan bumi tertentu menuju keselamatan dan
49QS.
50QS.
51QS.
52QS.
53QS.
54QS.

Al-Baqarah (2): 148.
Al-Baqarah (2): 177.
Ali Imran (3): 64.
Al-Baqarah (2): 105.
Yu>nus (10):47.
Al-Zukhruf (43): 32.

kebahagiaan, tetapi membiarkan bangsa-bangsa lain dibelahan
bumi lain dalam keadaan kesesatan.
KELOMPOK SATU, LIMA KLUSTER AYAT-AYAT AL-QUR’A>N
YANG SALING TERKAIT TENTANG HUBUNGAN ANTARA
AGAMA ABRAHAMIK.
Kluster 2
al-Ma’idah (5): 43
al-Ma’idah (5): 44
al-Ma’idah (5): 46
al-Ma’idah (5): 47
al-Ma’idah (5): 48
al-Kafirun (5): 1-6
al-Baqarah (5): 256

Kluster 1
al-Baqarah (2): 213
Hud (11): 118
Yunus (10) : 19

Kluster 2

Kluster 2

al-Baqarah (2): 62
al-Ma’idah (5): 44
al-Baqarah (2): 112
al-Mumtahimah (60): 8
Ali Imran (3): 113-115

al-Baqarah (2): 113
al-Baqarah (2): 111
Ali Imran (3): 19
Ali Imran (3): 85

Kluster 2
An-Nisa (4): 171-172
al-Ma’idah (5): 77
al-Ma’idah (5): 17
al-Ma’idah (5): 72-75
Ali Imran (3): 144

Keterangan

:

Kluster 1: Semula umat manusia merupakan sebuah kesatuan,
tetapi pecah karena Wahyu-wahyu Allah yang di sampaikan oleh
para nabi.
Kluster 2: Keragaman dan pluralitas hukum ( agama )
Kluster 3: Eklusivitas penganut agama-agama Abrahamik
(Yahudi, Kristen, Islam ).
Kluster 4: Ketegasan nada al-Qur’a>n terhadap doktrin Inkarnasi
dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap trinitas di
kalangan Nas}rani.
Kluster 5: Esensi dan Subtansi agama-agama dunia55
KELOMPOK DUA. JAWABAN FINAL AL-QUR’A>N TERHADAP
PERSOALAN KEANEKARAGAMAN AGAMA-AGAMA DUNIA DAN
KLAIM ATAS KEBENARAN MASING-MASING.

1

2

5

3

4

55Amin Abdullah, Ayat-ayat… 1.

al-Maidah (5): 48
al-Baqarah
Kluster satu, Realtas Sosiologis keberagaman(2): 148
al-Baqarah (2): 177
manusia memang berbeda-beda : Ali Imran (3): 64

berlomba-lomba dalam kebaikan

al-Baqarah
Kluster dua. Rahmat Allah mengatasi
semua (2): 113
Ali Imran (2): 111
Perbedaan pemahaman, keyakinan
Fathir (35): 2
Dan “tafsir” para pengikut Nabi-nabi
al-Zukhruf 4(3): 32
Penerus Nabi Ibrahim

Penutup
Agama, bagaimanapun juga mempunyai bangunan
normatif dan historis yang tidak akan penah terhindar dari nilainilai esoterik yang diyakini secara ruhaniah oleh para
pemeluknya sebagai “kebenaran” yang paling shahih dan otentik
yang dapat ‘menyelamatkan’ dari ‘ketidakselamatan’. Namun
demikian, agama tidak selamanya mengekpresikan artikulasi dan
aktualisasi dirinya dalam koridor yang paralel dengan insting
manusia pada umumnya untuk hidup damai dan tenang.
‘Keselamatan’ yang dikandung agama acapkali lebih berskala
internal, bukan eksternal dengan umat agama lain. Dari sinilah
praktik kekerasan antar umat beragama yang menjadi realitas
sejarah paradoks dengan otentisitas masing-masing ajaran
agama.
Belum lagi jika klaim kebenaran masing-masing agama
yang dibungkus oleh vested interest dari masing-masing elit
agama untuk menunjukkan bahwa hanya ajaran agamanyalah
yang paling benar dan otentik sebagaimana yang dikehendaki
oleh Tuhan dan menilai agama lain tidak sesuai dengan
‘kehendak’ Tuhan yang selanjutnya memunculkan apa yang
dinamakan dengan klaim kebenaran dari masing-masing agama
sebagaimana yang digambarkan diatas.
Apa yang telah dilakukan oleh para intelektual Islam dunia
dengan memprakarsai ‘kalimah sawa’, yang berusaha untuk
mencari titik temu antara Islam dan Kristen merupakan sikap
yang pantas diapresiasi. Perbedaan agama tidak dipandang
sebagai perbedaan keimanan, tetapi merupakan manifestasi dari
wahyu yang sama dan berasal dari sumber yang tunggal
sehingga kebenaran hanya milik-Nya, bukan milik segolongan
orang atau hanya milik satua gama saja.
Daftar Pustaka
Sachedina, Abdul Azis Abdul Hussein, The Islamic Roots of
Democratic Pluralism. New York: Oxford Univercity Press, 2001.
Abdullah, M. Amin. Pengantar dalam Ahmad Norma Permata,
Metodologi Studi Agama. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
--------- Amin Abdullah, Dari Fundamentalism Ke Islamism : Asal
Usul, Perkembangan Dan Penyebarannya. diunduh pada
tanggal 20 Desember 2011.
Tibi, Bassam. “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas
Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.),
Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta : Yayasan
Paramadina, 1996.

Bolland, BJ. Intisari Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1984.
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001.
Daniel A. Madigan, Mutual Theological Hospitality: Doing
Theology in the Presence of the Other dalam Waleede elAnshary dan David K. Linnan, Muslim and Christian
Understanding Theory and Aplication of “A Common Word”.
New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Sahas, D. J.. John of Damaskus on Islam. Leiden: tp. 1972.
Kung, Hans. Islam, Past, Present, and Future, (Oneworld Book
Published by Oneworld Publications 2007)
Kalin, Ibrahim. Islam Christianity, the Enlightenment: “A Common
Word” and Muslim-Christian Relations, dalam Waleed El
Anshary dan David K. Linnan, Muslim and Christian
Understanding Theory and Aplication of “A Common Word”.
New York: palgrave Macmillan, 2010.
Hoover, Jon. A Common Word “More Positive and Open, Yet
Mainstreaming and Orthodox, dalam Theological Review,
XXX.
Esposito, John L. Masa Depan Islam Antara Tantangan
Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat. Bandung; Mizan,
2010)
Lumbard, Joseph. The Uncommonality of A Common Word. Crown
Center for Middle East Studies: Brandeis University, 2009.
Ayyoub, Mahmoud Musthafa. Mengurai Konflik Muslim Kristen
dalam Perspektif Islam. Jogjakarta: Fajar Pustaka baru, 2003.
Dister, Niko Syukur. Kristologi: Sebuah Sketsa. Jakarta: Kanisius,
1993.
Madjid, Nurkholis. Islam doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1995.
Wahyo, P. Pengajaran Gereja Katolik. Jakarta: Penerbit Obor, 1959
Parliament of the World’s Religions, Declaration Toward a
Global Ethic. Chicago : t.p, t.t..
Schoun, Prithjof. Mencari titik Temu Agama-agama. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996.
Maqdisi, Sam Solomon dan Al. Truth About Common Word
diunduh pada tanggal 24 Desember 2011.
Nas}r, Seyyed Hossein. “A Common Word” Initiatove: Theoria
and Praxis dalam Waleed el-Anshary dan David K. Linnan,
Muslim and Christian Understanding Theory and Aplication
of “A Common Word”. New York: Palgrave Macmillan, 2010.

The Lutheran Word Federation, Dialogue and Beyond Christians
and Muslims Together on The Way. Switzerland: The
Lutherand Word federation, 2003.
The Righ Reverend William O. Gregg, The Power of Finding
Common Ground; “A Common Word” and the Invitation to
Understanding, dalam Waleed el-Anshary dan David K.
Linnan, Muslim and Christian Understanding Theory and
Aplication of “A Common Word”. New York: Palgrave
Macmillan, 2010.
Anshary, Waleed El. dan David K. Linnan, Narrative Introduction,
dalam Waleed El Anshary dan David K. Linnan, Muslim and
Christian Understanding Theory and Aplication of “A
Common Word”. New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Watt, W. M. Muslim-Christian Encounters: A Perceptio