Mitos Revolusi Teknologi Informasi Trans

Helmi Akbar Danaparamitha (071311233071) – Globalisasi dan Masyarakat Informasi (Week 3)
Mitos Revolusi Teknologi Informasi: Transisi Pembentukan Imperium Baru
dari Era Neoliberalisme menuju Neomerkantilisme
“Information Technology Revolution and Information Society”
Berbicara mengenai kaitan antara globalisasi dengan revolusi teknologi informasi, James Petras
(2003) dalam artikelnya yang berjudul The Myth of the Third Scientific-Technological Revolution dengan
jelas menyatakan bahwa fenomena yang terjadi dalam era yang diklaim sebagai globalisasi akibat adanya
revolusi teknologi informasi merupakan tidak lebih dari sekedar mitos belaka. Pertumbuhan dan penaklukan
pasar luar negeri saat ini dianggap sebagai sebuah produk dari perusahaan raksasa yang berkaitan dengan
kekuatan negara-negara Eropa-Amerika, hingga lebih pantas untuk disebut sebagai proses pembangunan
imperium baru dibandingkan dengan hadirnya fenomena globalisasi (Petras, 2003). Klaim akan adanya
TSTR (Third Scientific-Technological Revolution – atau dapat dipahami sebagai revolusi teknologi
informasi) diragukan kebenarannya. Teknologi informasi tidak dilihat sebagai faktor dinamis yang mampu
membuat perusahaan melakukan ekspansi modal ke luar negeri, melainkan dilihat sebagai sumber
ketidakstabilan, krisis dan menurunnya produktifitas.
Di awal tahun 2001, dunia mengalami volatilitas harga saham dan resesi ekonomi yang sangat parah
hingga menyebabkan banyak perusahaan teknologi informasi mengalami penurunan harga jual (Petras,
2003). Sebut saja Lucent Technologies sebagai manufaktur telekomunikasi terkemuka di Amerika Serikat
yang mengalami penurunan kapitalisasi pasar dari US$ 52 milyar menjadi US$ 32 milyar antara Januari
hingga April 2001. Penurunan serupa terjadi dengan CISCO System, yang mana pada Januari 2001 seharga
US$ 294 milyar jatuh ke angka US$ 124 milyar di akhir April 2001. Sementara perusahaan raksasa seperti

Microsoft telah keluar dari daftar top 500 perusahaan teknologi informasi dan komunikasi dunia dan tidak
sedikit perusahaan lain yang mengalami kebangkrutan. Hal ini tentu menunjukkan tidak adanya hubungan
antara investasi komputer dengan tingkat profitabilitas sebagaimana disampaikan Paul Strassman (dalam
Petras, 2003). Melalui penelitiannya, Robert Gordon (dalam Petras, 2003) semakin mempertegas dengan
menganalisis peningkatan produktifitas di antara tahun 1995 hingga 1999 untuk mematahkan klaim TSTR.
Dalam penelitiannya terbukti bahwa hampir 70 persen dari peningkatan produktifitas dapat
dipertanggungjawabkan oleh peningkatan pengukuran inflasi, dan hanya 0,3 persen kenaikan produktifitas
dikaitkan dengan proses komputerisasi melalui revolusi teknologi informasi. Dari sini jelas terlihat bahwa
revolusi teknologi informasi yang ditandai dengan produksi besar-besaran komputer tidak banyak
berpengaruh untuk mampu meningkatkan perekonomian dunia.
Sumber kompatibel seperti Financial Times yang membuat daftar 500 perusahaan terbesar dunia
mampu memberi gambaran jelas mengenai negara mana yang mengontrol bagian terbesar dari proses
produksi dan distribusi finansial, mengingat sebagian besar perdagangan dunia dilakukan oleh perusahaan
berskala besar (Petras, 2003). Fitur yang paling mencolok dari dari ekonomi dunia adalah supremasi dari

perusahaan-perusahaan Eropa-Amerika yang mana 79 persen dari 500 perusahaan terbesar dunia terletak di
Amerika Serikat atau Eropa Barat. Apabila Jepang turut diperhitungkan, maka angka tersebut akan naik
hingga 91 persen. Dengan kata lain, lebih dari 90 persen perekonomian dunia didominasi oleh perusahaanperusahaan besar yang berpusat di Amerika Serikat, Eropa Barat dan juga Jepang. Adanya konsentrasi
kekuatan perekonomian dunia kemudian lebih layak disebut sebagai bentuk imperialisme baru dibandingkan
sebagai fenomena globalisasi, terutama ketika Amerika Serikat bertindak sebagai pemilik dan direktur

sebagian besar perusahaan dan bank yang mampu mengontrol arus modal dunia (Petras, 2003).
Pembentukan imperialisme baru sebagaimana disebut oleh Petras (2003) ditunjukkan melalui proses
bergesernya konsep neoliberalisme menjadi neomerkantilisme. Pasar bebas atau imperialisme neoliberal
hanya sebuah mitos belaka. Negara-negara penganutnya tidak pernah benar-benar membuka pasar mereka.
“Neoliberal imperialism always meant selective openness to selective countries over specified time periods
in selective product areas” (Petras, 2003). Pasar dibuka oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai penguasa
hanya untuk produk yang dihasilkan negara-negara afiliasinya berdasarkan motif politik, bukan lagi
ekonomi. Hingga kini Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat memiliki kuasa untuk mengatur
sekaligus memproteksi perdagangan pasar domestik serta berupaya untuk mengamankan keuntungan hasil
monopoli pasar. Sebagai contoh nyata dari adanya unsur proteksionis imperium neomerkantilisme yakni
janji dari Gedung Putih untuk melindungi pabrik baja milik Amerika Serikat dari adanya berbagai kompetisi
di luar negeri termasuk Brazil sebagai pesaing terkuatnya.
Penulis merasa tidak setuju dengan berbagai pendapat yang disampaikan oleh James Petras (2003)
terutama mengenai mitos revolusi teknologi informasi yang berpengaruh terhadap pesatnya kehadiran
fenomena globalisasi. Hal ini merupakan anomali merujuk pada perspektif kaum hiperglobalis yang
memandang globalisasi sebagai fenomena yang benar-benar baru dan dialamatkan pada era kontemporer
yang mana masyarakat menjadi subjek utama. Dunia saat ini, menurut kaum hiperglobalis adalah dunia yang
sudah berubah secara struktur dibuktikan dengan adanya peningkatan dalam ekonomi global, institusi
pemerintahan global, serta pembauran budaya dalam masyarakat (Held et.al., 1999). Perspektif ini
memandang globalisasi telah menyebabkan denasionalisasi ekonomi yang merupakan awal dari jaringan

transnasional dalam hal perdagangan dan keuangan. Kaum hiperglobalis mempercayai bahwa terdapat dua
fenomena yang menjadi akibat dari globalisasi dalam hal ekonomi, yakni eskalasi transaksi dalam skala
internasional dan distribusi produksi secara transnasional tanpa terhalang batas negara. Denasionalisasi
negara secara efektif dapat membuat organisasi transnasional berwenang untuk mengatur urusan ekonomi
(Held et.al., 1999). Peran negara menjadi tereduksi oleh aktor-aktor multi dan transnasional yang semakin
masif berkembang. Negara hanya menjadi penyedia kebijakan yang mendukung kelancaran transaksi pasar.
Berbagai pendapat dari kaum hiperglobalis yang penulis percayai ini tentu sangat berseberangan dengan
preposisi yang disampaikan oleh James Petras (2003) terutama mengenai fenomena globalisasi.
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa James Petras (2003) beranggapan
revolusi teknologi informasi bukan lah faktor utama penyebab kehadiran globalisasi melainkan adanya
ekspansi politik, ekonomi dan militer hingga menciptakan tatanan dunia imperialis dengan Amerika Serikat

sebagai dominannya. Dunia kontemporer menghadapi dua fakta utama, yakni penggunaan kekuatan militer
Amerika Serikat yang tak terkendali untuk memaksakan hegemoni global dan penyerangan Eropa-Amerika
terhadap segala kendala sosial-politik pada perluasan perusahaan multinasional mereka. Hal-hal yang
menyangkut revolusi sistem informasi, komputerisasi atau media elektronik hanya berperan dalam melayani
kebutuhan imperial power atau tidak lebih dari alat untuk menyebarkan pengaruh.
Referensi:
Held, David et.al. 1999. “Introduction”, dalam Global Transformation: Politics, Economics and Culture.
Cambridge: Polity Press.

Petras, James. 2003. “The Myth of the Third Scientific-Technological Revolution”, dalam The New
Development Politics: the Age of Empire Building and New Social Movements. Aldershot: Ashgate.