Analisis Evaluasi Peningkatan Kesejahteraan Mansyarakat Penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) DI Kecamatan Sibolga Sambas Kota Sibolga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Evaluasi
2.1.1 Pengertian Evaluasi
Evaluasi menurut KBBI adalah upaya penilaian secara teknis dan ekonomis terhadap
suatu cebakan bahan galian untuk kemungkinan pelaksanaan penambangannya. Atau dapat
dikatakan, Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat
menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu, dilakukanlah pengukuran dan wujud
dari pengukuran itu adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan
dikenal dengan istilah tes.
Banyak lagi definini evaluasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Seperti
dikemukakan oleh Djaali & Pudji Muljono, Gronlund, Sudijono bahwa evaluasi adalah
proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan sebagai suatu
proses sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan yang pada dasarnya didasari
penafsiran yang bersumber pada data kuantitatif. Pophan (1969), Provus (1969) dan Rivlin
(1971) menjelaskan evaluasi adalah kegiatan membandingkan data tentang penampilan
orang-orang dengan standar yang telah diterima umum.
Malcolm & Provus (1971), menjelaskan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk
mengetahui perbedaan antara apa yang ada dengan suatu standar yang telah ditetapkan serta
bagaimana menyatakan perbedaan antara keduanya.
Paulson (1976) dalam bukunya “A Strategy for Evaluation Design” mengemukakan
bahwa “Evaluation as a process of examining certain objects or events in the light of specific
value standards for the purpose of making adaptive decisions”. (Evaluasi adalah proses
pengujian berbagai objek atau peristiwa tertentu dengan menggunakan ukuran-ukuran nilai
6
Universitas Sumatera Utara
khusus dengan tujuan untuk menentukan keputusan-keputusan yang sesuai. Berdasarkan
pengertian ini, evaluasi program adalah kegiatan pengujian terhadap sesuatu fakta atau
kenyataan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan.)
Worthen dan Sanders (1973) memberi arti bahwa “Evaluation as a process of
identifying and collecting information to assist decision-makers in choosing among available
decision alternatives” (Evaluasi adalah suatu proses mengidentifikasi dan mengumpulkan
informasi untuk membantu para pengambil keputusan dalam memilih berbagai alternative
keputusan.)
Alkin (1981) mengemukakan bahwa “Evaluation is the process of accertaining the
decision areas of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing
information in order to report summary”. (Evaluasi merupakan proses yang berkaitan dengan
penyiapan berbagai wilayah keputusan melalui pemilihan informasi yang tepat, pengumpulan
dan analisis data, serta pelaporan yang berguna bagi para pengambil keputusan dalam
menentukan berbagai alternative pilihan untuk menetapkan keputusan.)
Ada juga yang mendefenisikan evaluasi sebagai penilai atas manfaat atau guna.
Komite standar evaluasi menyebutkan bahwa evaluasi adalah penelitian sistematik atau
teratur tentang manfaat atau guna beberapa objek. Namun hal yang perlu ditekankan dalam
evaluasi adalah evaluator tidak boleh menghakimi ataupun menilai dari suatu program
apakah berhasil atau tidak (Tayibnapis,2000:3).
Untuk menetukan baik-buruknya suatu proses secara lebih akurat dan objektif,
dipergunakan alat-alat evaluasi. Dalam samarannya sebagai penelitian, evaluasi menentukan
keriteria keberhasilan secara jelas dan khusus, mengumpulakan bukti secara sistematis dari
sampel yang representatif dari unit yang dinilai. Evaluasi biasanya menerjemahkan bukti itu
menjadi pengertian yang kuantitatif (misalnya, 23% peserta program mendapat nilai 85 atau
lebih baik), dan membandingkan hasil tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan.
7
Universitas Sumatera Utara
Kemudian ditrik kesimpulan mengenai kefektifan, kegunaan, keberhasilan dan gejala
(program) yang diuji. (A. Hanafi dan M.Guntur Waseso: 1984, hal.12)
Hasil evaluasi hanyalah salah satu masukan di antara banyak lainnya. Mereka harus
mempertimbangkan banyak faktor lainnya, julai dari penerimaan program itu oleh penduduk
dan reaksi para peserta sampai kepada pembiayaan, tersedinya tenaga dan fasilitas serta
alternatif-alternatif yang mungkin. Dalam konm konteks ini yang dapat dilakukan oleh
evaluasi adalah memberikan data untuk ,mengurangi ketidakpastian dan menjelaskan
perolehan-perolehan dan kerugian-kerugian yang menyertai setiap keputusan. (A. Hanafi dan
M.Guntur Waseso: 1984, hal.15-16).
2.1.2 Tujuan Evaluasi Kebijakan Program
Penelitian evaluasi dimaksudkan untuk mengukur efek suatu program dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sebagai pertimbangan untuk pembuatan keputusan
lebih lanjut mengenai program itu dan peningkatan program pada masa mendatang. Dari
pengertian itu ada 4 kata kunci : ”Mengukur Efek” yang menunjuk pada metodologi
penelitian yang dipergunakan. ”Efek” lebih tepat diartikan sebagai hasil progam daripada
keefesianannya, kebaikan atau kedekatannya dengan aturan atau standar. Pembandingan
antara efek dengan tujuan menunjuk pada penggunaan kriteria secara tersurat untuk
menentukan seberapa baik program itu dilaksanakan. Sumbangan pada pembuatan keputusan
berikutnya dan peningkatan program di masa mendatang menunjukkan adanya tujuan sosial
dari evaluasi. Evaluasi sebagai penelitian terapan harus dikaitkan dengan prinsip kegunaan.
Jika penialain itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap keputusan, ia hanya merupakan usaha
yang sia-sia.(A.Hanafi dan M.Guntur Waseso: 1984, hal.16). Dalam hal evaluasi program
dilakukan secara komprehensif, maka evaluasi itu mencakup:
8
Universitas Sumatera Utara
a. Monitoring program, ini adalah penilaian apakah suatu program dilaksanakan
sebagaimana direncanakan. Monitoring program ini akan memberikan umpan balik
yang terus menerus pada program yang dilaksanakan dan mengidentifikasikan
masalah begitu muncul.
b. Evaluasi proses, ini merupakan penilaian bagaimana program dioperasikan; berfokus
pada pelaksanaan program kepada peserta (servicedelivery).
c. Evaluasi dampak, ini adalah penilaian apakah suatu program telah mewujudkan
pengaruh terhadap individu-individu, rumah tangga, lembaga atau lingkungan hidup,
dan apakah damapak tersebut dapat secara ilmiah diartribusikan kepada pelaksanaan
intervensi program tersebut.
d. Cost-benefit atau cost effectiveness, adalah penilaian dari biaya program dan manfaat
yang dilahsilakan oleh biaya tersebut, untuk menentukan apakah manfaatnya cukup
bernilai dibandingkan biaya yang digunakan.
Dalam melakukan evaluasi program juga terdapat pendekatan pemecahan masalah
yang dapat dipakai dalam evaluasi program yang meliputi beberapa masalah yang
diidentifikasi sebagai berikut :
a. Masalah tujuan; untuk apa evaluasi dilakukan?
b. Masalah organisasi (dari sisi evaluator); siapa yang melakukan evaluasi dan
bagaimana mengorganisasikan?
c. Masalah analisis program; bagaimana program dijelaskan atau ciri-cirinya bisa
diuraikan? Apakah pihak yang dievaluasi mandiri dalam melaksanakan
program ini ataukah bagaimana dari sekumpulan instansi?
d. Masalah konversi; bagaimana proses implementasi terjadi antara pencanangan
program dan output akhir yang dikehendaki?
e. Masalah hasil; apa saja output dan outcomes program?
9
Universitas Sumatera Utara
f. Masalah dampak; faktor-faktor apa saja yang dapat menjelaskan hasil?
g. Masalah kriteria; dengan nilai-nilai kriteria apa dan bagaimana program ini
dinilai? Dengan standar kinerja yang mana kritria berhasil atau gagal atau
memuaskan dari kinerja program ini dinilai?
h. Masalah penggunaan; bagaimana temuan evaluasi dan hasil evaluasi
digunakan?
Kegiatan itu dapat terjadi di semua tingkatan pemerintah dan dapat pula terjadi dilakukan
oleh rakyat yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai macam pengalaman, pendidikan
dan sikap serta prilakunya yang berbeda. Dari apa yang dikemukan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa evaluasi itu dapat dilakukan dan dibedakan secara umum dua bentuk
yaitu :
A. Dilakukan secara teknis-rasinal (ilmiah) dengan kegiatan antara lain :
1. Pemilahan-pemilahan objek dengan merinci apa saja yang di evaluasi.
2. Melakukan pengukuran tiap-tiap objek dalam koleksi data beserta menentukan
ukuran-ukuran yang benar dan cocok setiap objeknya.
3. Melakukan analisa dari setiap informasi yang ada.
4. Memberikan pendapat atau rekomendasi dimana rekomendasi ini dapat bersifat
”advocative”, diharap untuk diikuti dan dilaksanakan, dapat pula bersifat ”coercive”,
dipaksa untuk melaksanakan, hal ini tergantung pada kedudukan formal dengan
”authority” nya pelaku evaluasi itu.
B. Evaluasi dapat dilakukan secara umum yang dilaksanakan oleh rakyat dengan berbagai
kepentingan serta tingkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Dalam evaluasi ini,
sering terjaadi titik berat penilaian yang berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan
kelompok lainnya. Disamping itu, keterkaitan orang atau kelompok masyarakat dengan
10
Universitas Sumatera Utara
pendirian kelompok, ideologi dan pandangan atau pendapat umum sering sekali
mewarnai kegiatan serta hasil evaluasinya.
2.1.3 Fungsi Evaluasi
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan, yaitu:
1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan tepat untuk dipercaya melihat kinerja
kebijakan, dimana seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa
jauh tujuan-tujuan tertentu, misalnya perbaikan kesehatan dengan target tertentu.
2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan
mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menyatakan secara
sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang
dituju. Dalam menyatakan kepantasan tujuan dan sasaran, analisis dapat menguji
alternatif sumber nilai (misalnya, kelompok kepentingan pegawai negeri, kelompokkelompok klien) maupun landasan-landasan mereka dalam berbagai bentuk
rasionalitas (teknis, ekonomis, legal, sosial dan subtantif).
3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijkan
lainnya,termasuk rumusan masalah dan rekomendasi. Informasi yang tidak
memadai kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang
masalah kebijkan, Sebagai contoh dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target
perlu didefenisikan ulang, evalasi dapat pula pada defenisi alternatif kebijakan yang
baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang
diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lainnya.
11
Universitas Sumatera Utara
2.2
Kemiskinan
2.2.1 Pengertian Kemiskinan
Secara harfiah kamus besar Bahasa Indonesia, miskin itu berarti tidak berharta benda.
Miskin juga berarti tidak mampu mengimbangi tingkat kebutuhan hidup standard dan tingkat
penghasilan dan ekonominya rendah. Secara singkat kemiskinan dapat didefenisikan sebagai
suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standard kehidupan yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Istilah kemiskinan selalu melekat dan begitu popular dalam masyarakat yang sedang
berkembang. Untuk memberi pemahaman konseptual, akan dikemukan dua pengertian
kemiskinan, yaitu:
1. Secara kualitatif, definisi kemiskinan adalah suatu kondisi yang didalamnya hidup
manusia tidak layak sebagai manusia, dan
2. Secara kuantitatif, kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba
kekurangan, atau dengan bahasa yang tidak lazim “tidak berharta benda” (Mardimin,
1996:20).
Memahami masalah kemiskinan seringkali memang menuntut adanya upaya untuk
melakukan pendefenisian dan pengukuran. Sehubungan dengan hal ini, perlu disadari bahwa
masalah kemiskinan telah dipelajari oleh berbagai ilmuwan sosial yang berasal dari latar
belakang disiplin yang berbeda. Oleh sebab itu, wajar pula apabila kemudian dijumpai
berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan. Dalam konsep ekonomi
misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standart hidu,
pendapatan dan distribusi pendapatan. Sementara itu, ilmuwan sosial yang lain tidak ingin
berhenti pada konsep-konsep tersebut, melainkan mengkaitkan dengan konsep kelas,
stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk diferensial sosial yang lain (
Soetomo:1995, hal.117).
12
Universitas Sumatera Utara
Istilah kemiskinan dapat menyesatkan jika dipahami secara sempit sebagai suatu
realitas atau keadaan objektif, mandiri, dan dapat dihitung dengan angka, sebab kemiskinan
tidak dapat diukur hanya dengan indikator penguasaan atau pemilikan materi. Pernyataan ini
diperkuat oleh adanya ukuran garis kemiskinan yang tidak berlaku sama bagi semua
masyarakat. Menurut Ariel Heryanto (1994), “miskin” tidak dapat dibicarakan secara mutlak,
melainkan nisbi dalam dikotominya dengan yang “kaya”. Itulah sebabnya membicarakn
tentang kemiskinan menjadi kurang begitu menarik. Bahkan, ada yang lebih suka berbicara
tentang “pemiskinan” dari pada “kemiskinan”.
Dalam membicarakan masalah kemiskinan dan/atau pemiskinan, kita akan menemui
beberapa istilah kategoritatif kemiskinan seperti kemiskinan absolut, kemiskinan relatif,
kemiskinan struktural, kemiskinan situsional (natural), dan kemiskinan kultural.
1. Kemiskinan Absolut
Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum
hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien. Orang
yang dalam kondisi ini dikategorikan dalam jenis kemiskinan absolut. Kemiskinan ini
sangat ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi tersebut akan
mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan , terutama untuk dapat bekerja. Di
Inodonesia garis batas minimum kebutuhan hidup yang ditentukan BPS sebesar 2.100
kalori per kapita per tahun.
2. Kemiskinan relative
Kemiskinan relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang
dibandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya, Karto adalah orang yang sangat
kaya di desanya, tetapi setelah dibandingkan dengan orang-orang di kota ternyata
Karto tergolong miskin. Atau sebaliknya, Si Gito adalah orang yang tergolong miskin
13
Universitas Sumatera Utara
di Salatiga tetapi setelah dibandingkan dengan para petani di Gunung Kidul, ternyata
dia termasuk kaya. Jadi, kemiskinan Karto dan kemiskinan Gito tadi dikategorikan
kemiksinan relatif.
3. Kemiskinan structural
Kemiskinan struktural lebih menunjuk kepada orang atau sekelompok orang yang
tetap miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan
bagi golongan yang lemah. Mereka tetap miskin atau menjadi miskin bukan karena
tidak mau berusaha memperbaiki nasibnya , tetapi karena usaha yang mereka lakukan
selalu kandas dan terbentur pada sistem atau struktur masyarakat yang berlaku.
4. Kemiskinan situasional dan Kemiskinan natural
Kemiskinan situsional/natural terjadi bila seseorang atau sekelompok orang tinggal di
daerah-daerah yang kurang menguntung dan oleh karenanya mereka menjadi miskin.
Dengan kata lain, kemiskinan itu terjadi sebagai akibat dari situasi yang tidak
menguntungkan seperti kemarau panjang, tanah tandus, gagal panen atau bencana
alam.
5. Kemiskinan cultural
Kemiskinan penduduk terjadi karena kultural masyarakatnya. Masyarakat rela dengan
keadaan miskinnya karena diyakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap
serakah yang pada gilirannya akan membawa kepada ketamakan. Misalnya,
masyarakat yang menganut pietisme-dualistis mempunyai anggapan bahwa manusia
terdiri dari dua bagian yang saling bertentangan, yaitu jiwa (yang dianggap suci) dan
raga (yang dianggap hina). Sementara itu, mereka juga beranggapan bahwa
keselamatan manusia sangat ditentukan oleh pietas, yaitu kesalehan yang menolak
kehinaan.( Mardimin Johanes : 2000, hal.24).
14
Universitas Sumatera Utara
Emil Salim (1979)
mengemukakan
lima
karakteristik
kemiskinan,
kelima
karakteristik kemiskinan tersebut adalah :
1. Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri.
2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan
sendiri.
3. Tingkat pendidikan umumnya rendah.
4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas.
5. Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau
pendidikan yang memadai.
Friedman dalam Suharto, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi:
1. Modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan).
2. Sumber keuangan (pekerjaan, kredit).
3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial).
4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa.
5. Pengetahuan dan keterampilan.
6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.
Nataatmadja mengatakan dengan masuknya unsur moral dalam sistem pasar,
lingkaran kemiskinan dapat diputuskan. Pendapat ini didasarkan pada sumber dan akar
kemiskinan itu sendiri yang terletak pada khazanah pikiran manusia. Bentuk pikiran manusia
ini tercipta karena terlalu kuatnya pengaruh falsafah Neo-klasik di dalam kehidupan manusia
dan dalam setiap kebijaksanaan pembangunan yang berjalan.( Hidayat Nataatmaja:1991,
hal.67)
15
Universitas Sumatera Utara
Selo Soemardjan menyebutkan, bahwa kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur
sosial yang ada, menjadikan masyarakat itu tidak dapat memperoleh pendapatan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka. Untuk mengatasi hal ini, maka salah satu jalan keluarnya
adalah dengan pembangunan kwalitas sumberdaya manusia. Selanjutnya Soejono,
menyebutkan, bahwa kemiskinan merupakan resultant dari interaksi teknologi, sumber daya
alam dan kapital, sumber daya manusia serta kelembagaan.
Dengan demikian kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat (endogenous variabel).
Oleh karena itu ada dua hal yang perlu diperhatikan walaupun keduanya saling berinteraksi
secara evolutif yaitu (1) faktor penyebab kemiskinan dan (2) dampak kemiskinan itu sendiri
terhadap masyarakat.(Selo Soemardjan :1984, hal.25) Secara lebih tegas Koentjaraningrat
menekankan akan perlunya mentalitas pembangunan pada setiap diri manusia dan untuk
menstimulir
mentalitas
tersebut
dapat
dicapai
melalui
pendidikan.(
Koentjaraningrat:1990,hal.63
Bappenas (2000) mendefinisikan kemiskinan dalam 3 kriteria yaitu:
1. Berdasarkan Kebutuhan Dasar
Suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga, dan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain: pangan, sandang,
perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Ketidakmampuan ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan fisik dan mental
seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
2. Berdasarkan Pendapatan
Suatu tingkat pendapatan atau pengeluaran seseorang, keluarga, dan masyarakat
berada di bawah ukuran tertentu (garis kemiskinan). Kemiskinan ini terutama
disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset seperti lahan, modal, dan kesempatan
usaha.
16
Universitas Sumatera Utara
3. Berdasarkan Kemampuan Dasar
Suatu keterbatasan kemampuan dasar seseorang dan keluarga untuk menjalankan
fungsi minimal dalam suatu masyarakat. Keterbatasan kemampuan dasar akan
menghambat seseorang dan keluarga dalam menikmati hidup yang lebih sehat, maju
dan berumur panjang. Juga memperkecil kesempatan dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut
kehidupan masyarakat dan mengurangi kebebasan dalam menentukan pilihan terbaik
bagi kehidupan pribadi.
Menurut BPS dan Depsos (2002) kemiskinan me kondisi rupakan sebuah yang berada
di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,
yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold). Garis
kemiskinan yaitu sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat
membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non
makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta
aneka barang dan jasa lainnya.
2.2.2 Faktor Penyebab Kemiskinan
Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995), yang
dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa ada enam faktor
utama penyebab kemiskinan, yaitu:
1. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya
pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesejahteraan,
kurangnya pekerjaan alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya keterampilan dan
besarnya jumlah anggota keluarga.
2. Rendahnya daya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah
produksi dan dan modal kerja.
17
Universitas Sumatera Utara
3. Rendahnya penerapan teknologi, ditandai dengan rendahnya penggunaan input
dan mekanisasi pertanian.
4. Rendahnya potensi wilayah yang ditandai oleh rendahnya potensi fisik dan
infrastruktur kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat kesuburan, dan topografis
wilayah, sedangkan infrastruktur meliputi irigasi transportasi, pasar, kesehatan,
pendidikan, pengolahan komoditas pertanian, listrik dan fasilitas komunikasi.
5. Kurang tepatnya kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi
dan pengentasan kemiskinan.
6. Kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi
pemasaran, penyuluhan perkreditan dan sosial.
Todaro (1993;67), memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan
dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Tiga komponen utama sebagai
penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, yaitu:
1. Rendahnya taraf hidup
2. Rendahnya rasa percaya diri
3. Terbatasnya kebebasan
Ketiga aspek tersebut memiliki hubungan secara timbal balik, rendahnya taraf hidup
disebabkan oleh rendahnya produktifitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya
pertumbuhan tenaga kerja, tinginya angka pengangguran, dan rendahnya investasi perkapita.
Tingginya angka pengangguran disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja dan
rendahnya investasi perkapita dan tingginya tingkat pertumbuhan tenaga kerja disebabkan
oleh penurunan tingkat kematian dan rendahnya investasi perkapita disebabkan oleh
tingginya ketergantungan terhadap teknologi asing yang hemat tenaga kerja. Selanjutnya
rendahnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kesempatan
pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita.
18
Universitas Sumatera Utara
Wiradi dalam Hagul (1985), mengemukakan bahwa masalah kemiskinan di pedesaan
merupakan resultan dari beberapa faktor antara lain: pertumbuhan penduduk, rendahnya
kualitas sumberdaya manusia dan rendahnya produktifitas. Selanjutnya Salim menyatakan
bahwa kemiskinan tersebut melekat atas diri penduduk miskin karena mereka tidak memiliki
asset produksi dan kemampuan untuk meningatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki
asset produksi karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran kemiskinan
tanpa ujung dan pangkalnya.( Tjahya Supriatna:2000, hal.53)
Secara lebih konkrit Hadiwegono dan Pakpahan berpendapat bahwa kemiskinan
tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
a. Sumber daya alam yang rendah.
b. Teknologi pendukung yang rendah.
c. Sumberdaya manusia yang rendah.
d. Sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik.
Lebih jauh Suyanto menyebutkan ada beberapa faktor penyebab kemiskinan yang terjadi
dalam suatu masyarakat, seperti :
a. Kemiskinan karena Kolonialisme; kemiskinan ini terjadi karena penjajahan yang
dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, sehingga bangsa yang dijajah menjadi
tertindas baik bidang ekonomi, politik dan sebagainya. Misalnya Indonesia yang ditindas
oleh Belanda.
b. Miskin karena tradisi sosio-kultural; hal ini berkaitan dengan suku bangsa tertentu yang
kental kebudayaannya seperti suku kubu di Sumatera dan suku Dayak di pedalaman
Kalimantan.
c. Miskin karena terisolasi; seseorang menjadi miskin karena tempat tinggalnya jauh dari
keramaian sehingga sulit berkembang.
19
Universitas Sumatera Utara
d. Kemiskinan struktural; kemiskinan struktural ialah kemiskinan yang ditenggarai atau
didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak
menguntungkan. Kemiskinan ini juga disebabkan oleh persaingan yang tidak seimbang
antar negara atau daerah yang mempunyai keunggulan komperatif dengan daerah
sekitarnya yang tidak mempunyai keunggulan komparatif. (Suyanto:1995, hal.23)
Faktor penyebab kemiskinan adalah keterkaitan hubungan antara status sosial
ekonomi masyarakat dengan potensi wilayah suatu daerah yang menyebabkan daerah tersebut
miskin. Dalam konteks penelitian ini factor penyebab kemiskinan tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi
2. Tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah
3. Rendahnya taraf pendidikan
4. Rendahnya taraf kesehatan
5. Terbatasnya lapangan kerja
6. Rendahnya kualitas SDM dan rendahnya produktivitas
7. Sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang kurang baik.
2.3 Penanggulangan Kemiskinan
Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dasar minimal dari setiap negara, peranan
pemerintah sangat penting dalam menyalurkan pelayanan masyarakat (public service).
Pelayanan publik yang dikukan birokrasi pemerintahan pada negara-negara berkembang terus
menerus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta pengaruh arus informasi maupun dinamika dan tuntutan masyarakat
(Rondinnelle, 1989). Dalam paradigma pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar
manusia dan masyarakat miskin selain dibutuhkan pelayanan publik yang efisien oleh
20
Universitas Sumatera Utara
birokrasi pemerintahan juga terciptanya suatu kondisi yang memberikan akses yang sama
pada setiap penduduk dalam memperoleh pelayanan publik.
Terciptanya akses yang terbuka dan sama dalam pelayanan publik kepada lapisan
masyarakat diperlukan bagi pemerataan hasil-hasil pembangunan dan pelayanan publik.
Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka memperoleh akses
dan memanfaatkan kesempatan serta kemampuan untuk menggunakan pelayanan publik.
Terdapat keterhubungan yang erat antara pembangunan, kebutuhan dasar manusia serta
kepentingan lapisan masyarakat dengan pelayanan publik yang optimal dari birokrasi
pemerintahan. Tentunya didukung oleh kesempatan untuk memanfaatkan dan mampu
menggunakannya.
Korten mengatakan, banyak program pembangunan tidak mampu meningkatkan akses
masyarakat terhadap program pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dan bahkan
gagal dalam mencapai program tersebut. Kendala yang sangat besar dalam pelayanan publik
adanya perbedaan sosial ekonomi masyarakat yang beragam dengan kemampuan birokrasi
pemerintahan. Pemerintah dalam melakukan pelayanan publik harus memperhatikan kondisi
lokal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelompok sasaran masyarakat. Inti
dasarnya terletak pada proses kebijakan publik dan pendekatan terhadap operasioanalisasi
kebijakan tersebut.
Upaya penanggulangan permasalahan di atas selama ini telah dilakukan oleh
pemerintah melalui pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang serta melalui program
khusus penanggulangan kemiskinan seperti IDT, Operasi Pasar Khusus (OPK) atau program
Beras Prasejahtera serta bentuk program lainnya. Pemerintah juga berusaha untuk
mengurangi kemiskinan dan meratakan pendapatan melalui delapan jalur pemerataan yaitu :
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat banyak khususnya pangan,
sandang dan perumahan.
21
Universitas Sumatera Utara
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja.
5. Pemerataan kesempatan berusaha.
6. Pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan memperoleh keadilan.( Moelyarto:1987, hal.2)
2.4 Rumah tangga miskin
Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku. Saat ini sudah cukup banyak ukuran dan
standar yang dikeluarkan oleh para pakar dan lembaga mengenai batas garis kemiskinan.
Sajogyo membedakan tiga tipe orang miskin. Penggolongan ini didasarkan pada pendapatan
yang diperoleh setiap orang dalam setiap bulan. Ketiga tipe tipe tersebut adalah :
a. Miskin (poor) ;
Orang yang miskin adalah orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk
beras yakni 320-480 kg/orang/tahun. Jumlah ini dianggap cukup untuk memenuhi
kebutuhan makan minimum (1900 kalori/orang/hari dan 40 gr protein/orang/hari)
b. Sangat Miskin (very poor) ;
Orang yang dikatakan sangat miskin adalah orang yang berpenghasilan kalau
diwujudkan dalam bentuk beras yakni 240–320 kg/orang/tahun
c. Termiskin (poorest) ;
Orang termiskin adalah orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk
beras antara 180-240 kg/orang/tahun.
22
Universitas Sumatera Utara
Batas kemiskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo memiliki standar kemiskinan yang
tinggi dari batas kemiskinan Biro Pusat Statistik. Dengan menggunakan standar Sajogyo
jumlah penduduk miskin cenderung lebih banyak jika dibandingkan dengan kriteria Biro
Pusat Statistik tersebut. Kriteria tersebut memiliki kekuatan karena beras merupakan
kebutuhan pokok pada umumnya rakyat Indonesia. Bagi masyarakat ekonomi lemah
pengeluaran untuk pembelian beras cenderung memiliki porsi yang cukup besar dari total
pendapatan mereka.
BKKBN mengambil keluarga batih (nuclear family) sebagai unit pengertian, namun
tidak menggunakan konsep kemiskinan, melainkan konsep kesejahteraan. Konsep
kesejahteraan di sini jelas terkait dengan taraf hidup dan garis kemiskinan. Dengan sejumlah
indikator yang dibuat oleh BKKBN, klasifikasi keluarga terdiri dari:
1. Keluarga Sejahtera tahap I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi dan
psikologis sepeti interaksi keluarga, intaraksi bertetangga dan pekerjaan-pekerjaan
yang menentukan standar kehidupan yang baik.
2. Keluarga Sejahtera tahap II. Ditujukan dengan anggota keluarga melaksanakan
ibadah agama secara teratur, sekali seminggu keluarga makan daging, ikan/telur.
Setiap akhir tahun paling sedikit memperoleh satu stel pakaian baru, luas rumah
paling kurang 8 m untuk setiap penghuni. Kesehatan keluarga baik, memiliki
penghasilan tetap, anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin.
Anak umur 7-15 tahun bersekolah dan PUS yang telah memiliki 2 anak atau lebih
memakai alat kontrasepsi.
3. Keluarga Sejahtera tahap III. Ditujukan dengan anggota keluarga berusaha
meningkatkan pengetahuan agama, sebagian penghasilan keluarga ditabung,
makanan empat sehat lima sempurna dan keluarga makan bersama sehari dalam
sekali serta dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Ikut dalam kegiatan di
23
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tempat tinggal, rekreasi minimal enam bulan sekali, mendapat
informasi dari surat kabar, TV, radio, majalah dan anggota keluarga mampu
menggunakan transportasi setempat.
4. Kelurga Sejahtra IIII plus. Di samping ditujukan dengan keadaan keluarga seperti
keluarga sejahtera tahap III, juga ditambah dengan keluarga secara teratur dengan
suka rela memberikan sumbangan materi untuk kegiatan sosial dan ada anggota
keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
Klasifikasi kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Agraria adalah sebagai
berikut :
1. Miskin sekali, jika konsumsi perkapita pertahun sebesar 75% dari nilai total konsumsi
sembilan bahan pokok yang ditetapkan;
2. Miskin, jika konsumsi per kapita per tahun sebesar 75% - 125% dari nilai total
konsumsi sembilan bahan pokok yang ditetapkan
3. Hampir miskin, jika konsumsi per kapita per tahun sebesar 125% - 200% dari nilai
total konsumsi sembilan bahan pokok yang ditetapkan.
2.5 Teori Kesejahteraan
Kehidupan yang didambakan oleh semua manusia di dunia ini adalah kesejahteraan.
Baik yang tinggal di kota maupun yang di desa, semua mendambakan kehidupan yang
sejahtera. Sejahtera lahir dan bathin. Namun, dalam perjalanannya, kehidupan yang dijalani
oleh manusia tak selamanya dalam kondisi sejahtera. Pasang surut kehidupan ini membuat
manusia selalu berusaha untuk mencari cara agar tetap sejahtera. Mulai dari pekerjaan kasar
seperti buruh atau sejenisnya, sampai pekerjaan kantoran yang bisa sampai ratusan juta
gajinyadilakoni oleh manusia.
Secara umum, istilah kesejahteran sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera
(konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup,
24
Universitas Sumatera Utara
khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan
perawatan kesehatan. Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktifitas
pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama
kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups). Penyelenggaraan berbagai skema
perlindungan sosial (social protection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah
contoh aktivitas kesejahteraan sosial (Suharto, 2009).
Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang
dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, taraf hidup yang lebih baik
ini tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisik belaka, tapi juga ikut memperhatikan aspek
sosial, mental dan segi kehidupan spiritual. Kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai
kondisi sejahtera dari suatu masyarakat, kesejahteraan sosial pada umumnya meliputi
kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup rakyat. Di Indonesia
kesejahteraan sosial dijamin oleh UUD 1945 pasal 33 dan pasal 34. Dalam UUD 1945 jelas
disebutkan bahwa kemakmuran rakyat yang lebih diutamakan dari pada kemakmuran
perseorangan, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun pada
kenyataannya hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan terlantar tidak mendapatkan perhatian.
2.6 Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
2.6.1 Definisi Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah Kartu yang diterbitkan oleh Pemerintah
Indonesia dalam rangka Program Percepatan dan Perluasan Sosial (P4S). Dengan memiliki
KPS, rumah tangga berhak menerima program-program perlindungan sosial, seperti : Raskin
dan Bantuan Siswa Miskin (BSM), sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga tahun 2014.
KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pendamping Kepala Rumah
Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga, Alamat Rumah Tangga, dilengkapi dengan kode
25
Universitas Sumatera Utara
batang beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan
Sosial dengan logo burung Garuda.
Sebagai penanda Rumah Tangga Miskin, Kartu Perlindungan Sosial ini berguna untuk
mendapatkan manfaat dari Program Subsidi Beras untuk masyarakat yang berpenghasilan
rendah atau dikenal dengan Program RASKIN. Selain itu KPS dapat juga digunakan untuk
mendapatkan manfaat program Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Program Simpanan
Keluarga Sejahtera (PSKS). Pemerintah mengeluarkan Kartu Perlindungan Sosial ini kepada
15,5 juta Rumah Tangga Miskin dan rentan yang merupakan 25% Rumah Tangga dengan
status sosial ekonomi terendah di Indonesia.
2.6.2 Manfaat Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Manfaat Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah KPS membantu memastikan agar
rumah tangga miskin dan rentan dapat menerima manfaat dari semua Program Perlindungan
Sosial yang berhak diterimanya sehingga membantu upaya rumah tangga untuk keluar dari
kemiskinan.
2.7
Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang peneliti rangkum untuk sebagai pedoman
mengerjakan skripsi ini, sebagai table berikut :
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Nama, Judul, Tahun
Fikriyah Asmawati,
Metode
Hasil Penelitian
Progran BLSM dianggap sebagai program yang sangat
Deskriptif Kuantitatif
menarik dan menggiurkan bagi masyarakat miskin,
S.Ikom; Evaluasi
dengan dana tersebut masyarakat miskin terbantu untuk
Pelaksaan Program
mengurangi beban hidup, dan harus di akui program
Bantuan Langsung
pemerintah yang satu ini telah berjalan dengan sesuai
Sementara Masyarakat di
yang dituju, yakni disalurkan kepada masyarakat miskin
Yogyakarta; 2014
sesuai dengan cluster yang ada di kelurahan masingmasing.
Sutan Tolang Lubis,
Teknik analisa deskriptif, yaitu metode
Program BLT belum berhasil mencapai tujuan
Evaluasi Pelaksanaan
analisa yang dilakukan dengan
seperti apa yang diharapkan pemerintah yaitu
Program Bantuan
mengumpulkan,mengolah, menyajikan
meringankan beban pengeluaran rumah tangga
Langsung Tunai di
dan menginterpretasikan data
miskin. Pemberian BLT hanya dapat meredam
Kelurahan Gedung Johor
gejolak sosial yang bisa timbul disebabkan
Kecamatan Medan Johor
kebijakan menaikkan harga BBM.
Kota Medan,2007
26
Universitas Sumatera Utara
Muhammad Miftah Rizki,
Metode yang digunakan dalam
Pelaksanaan program Kartu Indonesia Sehat di
Evaluasi Program
penelitian ini adalah pendekatan
Program Terapi Rumatan
Pengguna Kartu Jakarta
kualitatif dan dilihat dari jenisnya
dengan sangat baik sesuai dengan pedoman dari
Sehat di Program Terapi
penelitian ini bersifat deskriptif yang
pemerintah
Rumatan Metadon
berarti mengumpulkan kata-kata dan
memberikan pelayanan yang maksimal sesuai
(PTRM) Rumah Sakit
gambar bukan angka. Data diperoleh
dengan
Ketergantungan Obat
dari wawancara langsung dan juga
dikatakan baik karena sangat membantu proses
(RSKO), 2014
dilihat dari catatan atau dokumen resmi
penyembuhan pasien dan bahkan mempermudah
lainnya.
pasien yang sudah bekerja untuk lebih baik
pusat
kebutuhan
dan
Metadon berjalan
program
pasien.Program
ini
ini
terus
juga
menjalankan kegiatannya diluar.
2.8
Kerangka Konseptual
Kartu Perlindungan Sosial
Pendapatan (X1)
Kesehatan (X2)
Kesejahteraan
(Y1)
Pendidikan (X3)
Sosial (X4)
Kemiskinan (Y2)
Sebelum Menerima KPS
Setelah Menerima KPS
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
2.9 Hipotesis
Ho: Tidak terdapat perbedaan kesejahteraan pada masyarakat sebelum dan sesudah
menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS).
Ha : Terdapat perbedaan kesejahteraan pada masyarakat sebelum dan sesudah menerima
Kartu Perlindungan Sosial (KPS).
27
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Evaluasi
2.1.1 Pengertian Evaluasi
Evaluasi menurut KBBI adalah upaya penilaian secara teknis dan ekonomis terhadap
suatu cebakan bahan galian untuk kemungkinan pelaksanaan penambangannya. Atau dapat
dikatakan, Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat
menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu, dilakukanlah pengukuran dan wujud
dari pengukuran itu adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan
dikenal dengan istilah tes.
Banyak lagi definini evaluasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Seperti
dikemukakan oleh Djaali & Pudji Muljono, Gronlund, Sudijono bahwa evaluasi adalah
proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan sebagai suatu
proses sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan yang pada dasarnya didasari
penafsiran yang bersumber pada data kuantitatif. Pophan (1969), Provus (1969) dan Rivlin
(1971) menjelaskan evaluasi adalah kegiatan membandingkan data tentang penampilan
orang-orang dengan standar yang telah diterima umum.
Malcolm & Provus (1971), menjelaskan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk
mengetahui perbedaan antara apa yang ada dengan suatu standar yang telah ditetapkan serta
bagaimana menyatakan perbedaan antara keduanya.
Paulson (1976) dalam bukunya “A Strategy for Evaluation Design” mengemukakan
bahwa “Evaluation as a process of examining certain objects or events in the light of specific
value standards for the purpose of making adaptive decisions”. (Evaluasi adalah proses
pengujian berbagai objek atau peristiwa tertentu dengan menggunakan ukuran-ukuran nilai
6
Universitas Sumatera Utara
khusus dengan tujuan untuk menentukan keputusan-keputusan yang sesuai. Berdasarkan
pengertian ini, evaluasi program adalah kegiatan pengujian terhadap sesuatu fakta atau
kenyataan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan.)
Worthen dan Sanders (1973) memberi arti bahwa “Evaluation as a process of
identifying and collecting information to assist decision-makers in choosing among available
decision alternatives” (Evaluasi adalah suatu proses mengidentifikasi dan mengumpulkan
informasi untuk membantu para pengambil keputusan dalam memilih berbagai alternative
keputusan.)
Alkin (1981) mengemukakan bahwa “Evaluation is the process of accertaining the
decision areas of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing
information in order to report summary”. (Evaluasi merupakan proses yang berkaitan dengan
penyiapan berbagai wilayah keputusan melalui pemilihan informasi yang tepat, pengumpulan
dan analisis data, serta pelaporan yang berguna bagi para pengambil keputusan dalam
menentukan berbagai alternative pilihan untuk menetapkan keputusan.)
Ada juga yang mendefenisikan evaluasi sebagai penilai atas manfaat atau guna.
Komite standar evaluasi menyebutkan bahwa evaluasi adalah penelitian sistematik atau
teratur tentang manfaat atau guna beberapa objek. Namun hal yang perlu ditekankan dalam
evaluasi adalah evaluator tidak boleh menghakimi ataupun menilai dari suatu program
apakah berhasil atau tidak (Tayibnapis,2000:3).
Untuk menetukan baik-buruknya suatu proses secara lebih akurat dan objektif,
dipergunakan alat-alat evaluasi. Dalam samarannya sebagai penelitian, evaluasi menentukan
keriteria keberhasilan secara jelas dan khusus, mengumpulakan bukti secara sistematis dari
sampel yang representatif dari unit yang dinilai. Evaluasi biasanya menerjemahkan bukti itu
menjadi pengertian yang kuantitatif (misalnya, 23% peserta program mendapat nilai 85 atau
lebih baik), dan membandingkan hasil tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan.
7
Universitas Sumatera Utara
Kemudian ditrik kesimpulan mengenai kefektifan, kegunaan, keberhasilan dan gejala
(program) yang diuji. (A. Hanafi dan M.Guntur Waseso: 1984, hal.12)
Hasil evaluasi hanyalah salah satu masukan di antara banyak lainnya. Mereka harus
mempertimbangkan banyak faktor lainnya, julai dari penerimaan program itu oleh penduduk
dan reaksi para peserta sampai kepada pembiayaan, tersedinya tenaga dan fasilitas serta
alternatif-alternatif yang mungkin. Dalam konm konteks ini yang dapat dilakukan oleh
evaluasi adalah memberikan data untuk ,mengurangi ketidakpastian dan menjelaskan
perolehan-perolehan dan kerugian-kerugian yang menyertai setiap keputusan. (A. Hanafi dan
M.Guntur Waseso: 1984, hal.15-16).
2.1.2 Tujuan Evaluasi Kebijakan Program
Penelitian evaluasi dimaksudkan untuk mengukur efek suatu program dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sebagai pertimbangan untuk pembuatan keputusan
lebih lanjut mengenai program itu dan peningkatan program pada masa mendatang. Dari
pengertian itu ada 4 kata kunci : ”Mengukur Efek” yang menunjuk pada metodologi
penelitian yang dipergunakan. ”Efek” lebih tepat diartikan sebagai hasil progam daripada
keefesianannya, kebaikan atau kedekatannya dengan aturan atau standar. Pembandingan
antara efek dengan tujuan menunjuk pada penggunaan kriteria secara tersurat untuk
menentukan seberapa baik program itu dilaksanakan. Sumbangan pada pembuatan keputusan
berikutnya dan peningkatan program di masa mendatang menunjukkan adanya tujuan sosial
dari evaluasi. Evaluasi sebagai penelitian terapan harus dikaitkan dengan prinsip kegunaan.
Jika penialain itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap keputusan, ia hanya merupakan usaha
yang sia-sia.(A.Hanafi dan M.Guntur Waseso: 1984, hal.16). Dalam hal evaluasi program
dilakukan secara komprehensif, maka evaluasi itu mencakup:
8
Universitas Sumatera Utara
a. Monitoring program, ini adalah penilaian apakah suatu program dilaksanakan
sebagaimana direncanakan. Monitoring program ini akan memberikan umpan balik
yang terus menerus pada program yang dilaksanakan dan mengidentifikasikan
masalah begitu muncul.
b. Evaluasi proses, ini merupakan penilaian bagaimana program dioperasikan; berfokus
pada pelaksanaan program kepada peserta (servicedelivery).
c. Evaluasi dampak, ini adalah penilaian apakah suatu program telah mewujudkan
pengaruh terhadap individu-individu, rumah tangga, lembaga atau lingkungan hidup,
dan apakah damapak tersebut dapat secara ilmiah diartribusikan kepada pelaksanaan
intervensi program tersebut.
d. Cost-benefit atau cost effectiveness, adalah penilaian dari biaya program dan manfaat
yang dilahsilakan oleh biaya tersebut, untuk menentukan apakah manfaatnya cukup
bernilai dibandingkan biaya yang digunakan.
Dalam melakukan evaluasi program juga terdapat pendekatan pemecahan masalah
yang dapat dipakai dalam evaluasi program yang meliputi beberapa masalah yang
diidentifikasi sebagai berikut :
a. Masalah tujuan; untuk apa evaluasi dilakukan?
b. Masalah organisasi (dari sisi evaluator); siapa yang melakukan evaluasi dan
bagaimana mengorganisasikan?
c. Masalah analisis program; bagaimana program dijelaskan atau ciri-cirinya bisa
diuraikan? Apakah pihak yang dievaluasi mandiri dalam melaksanakan
program ini ataukah bagaimana dari sekumpulan instansi?
d. Masalah konversi; bagaimana proses implementasi terjadi antara pencanangan
program dan output akhir yang dikehendaki?
e. Masalah hasil; apa saja output dan outcomes program?
9
Universitas Sumatera Utara
f. Masalah dampak; faktor-faktor apa saja yang dapat menjelaskan hasil?
g. Masalah kriteria; dengan nilai-nilai kriteria apa dan bagaimana program ini
dinilai? Dengan standar kinerja yang mana kritria berhasil atau gagal atau
memuaskan dari kinerja program ini dinilai?
h. Masalah penggunaan; bagaimana temuan evaluasi dan hasil evaluasi
digunakan?
Kegiatan itu dapat terjadi di semua tingkatan pemerintah dan dapat pula terjadi dilakukan
oleh rakyat yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai macam pengalaman, pendidikan
dan sikap serta prilakunya yang berbeda. Dari apa yang dikemukan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa evaluasi itu dapat dilakukan dan dibedakan secara umum dua bentuk
yaitu :
A. Dilakukan secara teknis-rasinal (ilmiah) dengan kegiatan antara lain :
1. Pemilahan-pemilahan objek dengan merinci apa saja yang di evaluasi.
2. Melakukan pengukuran tiap-tiap objek dalam koleksi data beserta menentukan
ukuran-ukuran yang benar dan cocok setiap objeknya.
3. Melakukan analisa dari setiap informasi yang ada.
4. Memberikan pendapat atau rekomendasi dimana rekomendasi ini dapat bersifat
”advocative”, diharap untuk diikuti dan dilaksanakan, dapat pula bersifat ”coercive”,
dipaksa untuk melaksanakan, hal ini tergantung pada kedudukan formal dengan
”authority” nya pelaku evaluasi itu.
B. Evaluasi dapat dilakukan secara umum yang dilaksanakan oleh rakyat dengan berbagai
kepentingan serta tingkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Dalam evaluasi ini,
sering terjaadi titik berat penilaian yang berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan
kelompok lainnya. Disamping itu, keterkaitan orang atau kelompok masyarakat dengan
10
Universitas Sumatera Utara
pendirian kelompok, ideologi dan pandangan atau pendapat umum sering sekali
mewarnai kegiatan serta hasil evaluasinya.
2.1.3 Fungsi Evaluasi
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan, yaitu:
1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan tepat untuk dipercaya melihat kinerja
kebijakan, dimana seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa
jauh tujuan-tujuan tertentu, misalnya perbaikan kesehatan dengan target tertentu.
2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan
mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menyatakan secara
sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang
dituju. Dalam menyatakan kepantasan tujuan dan sasaran, analisis dapat menguji
alternatif sumber nilai (misalnya, kelompok kepentingan pegawai negeri, kelompokkelompok klien) maupun landasan-landasan mereka dalam berbagai bentuk
rasionalitas (teknis, ekonomis, legal, sosial dan subtantif).
3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijkan
lainnya,termasuk rumusan masalah dan rekomendasi. Informasi yang tidak
memadai kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang
masalah kebijkan, Sebagai contoh dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target
perlu didefenisikan ulang, evalasi dapat pula pada defenisi alternatif kebijakan yang
baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang
diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lainnya.
11
Universitas Sumatera Utara
2.2
Kemiskinan
2.2.1 Pengertian Kemiskinan
Secara harfiah kamus besar Bahasa Indonesia, miskin itu berarti tidak berharta benda.
Miskin juga berarti tidak mampu mengimbangi tingkat kebutuhan hidup standard dan tingkat
penghasilan dan ekonominya rendah. Secara singkat kemiskinan dapat didefenisikan sebagai
suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya kekurangan materi pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standard kehidupan yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Istilah kemiskinan selalu melekat dan begitu popular dalam masyarakat yang sedang
berkembang. Untuk memberi pemahaman konseptual, akan dikemukan dua pengertian
kemiskinan, yaitu:
1. Secara kualitatif, definisi kemiskinan adalah suatu kondisi yang didalamnya hidup
manusia tidak layak sebagai manusia, dan
2. Secara kuantitatif, kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba
kekurangan, atau dengan bahasa yang tidak lazim “tidak berharta benda” (Mardimin,
1996:20).
Memahami masalah kemiskinan seringkali memang menuntut adanya upaya untuk
melakukan pendefenisian dan pengukuran. Sehubungan dengan hal ini, perlu disadari bahwa
masalah kemiskinan telah dipelajari oleh berbagai ilmuwan sosial yang berasal dari latar
belakang disiplin yang berbeda. Oleh sebab itu, wajar pula apabila kemudian dijumpai
berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan. Dalam konsep ekonomi
misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standart hidu,
pendapatan dan distribusi pendapatan. Sementara itu, ilmuwan sosial yang lain tidak ingin
berhenti pada konsep-konsep tersebut, melainkan mengkaitkan dengan konsep kelas,
stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk diferensial sosial yang lain (
Soetomo:1995, hal.117).
12
Universitas Sumatera Utara
Istilah kemiskinan dapat menyesatkan jika dipahami secara sempit sebagai suatu
realitas atau keadaan objektif, mandiri, dan dapat dihitung dengan angka, sebab kemiskinan
tidak dapat diukur hanya dengan indikator penguasaan atau pemilikan materi. Pernyataan ini
diperkuat oleh adanya ukuran garis kemiskinan yang tidak berlaku sama bagi semua
masyarakat. Menurut Ariel Heryanto (1994), “miskin” tidak dapat dibicarakan secara mutlak,
melainkan nisbi dalam dikotominya dengan yang “kaya”. Itulah sebabnya membicarakn
tentang kemiskinan menjadi kurang begitu menarik. Bahkan, ada yang lebih suka berbicara
tentang “pemiskinan” dari pada “kemiskinan”.
Dalam membicarakan masalah kemiskinan dan/atau pemiskinan, kita akan menemui
beberapa istilah kategoritatif kemiskinan seperti kemiskinan absolut, kemiskinan relatif,
kemiskinan struktural, kemiskinan situsional (natural), dan kemiskinan kultural.
1. Kemiskinan Absolut
Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum
hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien. Orang
yang dalam kondisi ini dikategorikan dalam jenis kemiskinan absolut. Kemiskinan ini
sangat ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi tersebut akan
mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan , terutama untuk dapat bekerja. Di
Inodonesia garis batas minimum kebutuhan hidup yang ditentukan BPS sebesar 2.100
kalori per kapita per tahun.
2. Kemiskinan relative
Kemiskinan relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang
dibandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya, Karto adalah orang yang sangat
kaya di desanya, tetapi setelah dibandingkan dengan orang-orang di kota ternyata
Karto tergolong miskin. Atau sebaliknya, Si Gito adalah orang yang tergolong miskin
13
Universitas Sumatera Utara
di Salatiga tetapi setelah dibandingkan dengan para petani di Gunung Kidul, ternyata
dia termasuk kaya. Jadi, kemiskinan Karto dan kemiskinan Gito tadi dikategorikan
kemiksinan relatif.
3. Kemiskinan structural
Kemiskinan struktural lebih menunjuk kepada orang atau sekelompok orang yang
tetap miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan
bagi golongan yang lemah. Mereka tetap miskin atau menjadi miskin bukan karena
tidak mau berusaha memperbaiki nasibnya , tetapi karena usaha yang mereka lakukan
selalu kandas dan terbentur pada sistem atau struktur masyarakat yang berlaku.
4. Kemiskinan situasional dan Kemiskinan natural
Kemiskinan situsional/natural terjadi bila seseorang atau sekelompok orang tinggal di
daerah-daerah yang kurang menguntung dan oleh karenanya mereka menjadi miskin.
Dengan kata lain, kemiskinan itu terjadi sebagai akibat dari situasi yang tidak
menguntungkan seperti kemarau panjang, tanah tandus, gagal panen atau bencana
alam.
5. Kemiskinan cultural
Kemiskinan penduduk terjadi karena kultural masyarakatnya. Masyarakat rela dengan
keadaan miskinnya karena diyakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap
serakah yang pada gilirannya akan membawa kepada ketamakan. Misalnya,
masyarakat yang menganut pietisme-dualistis mempunyai anggapan bahwa manusia
terdiri dari dua bagian yang saling bertentangan, yaitu jiwa (yang dianggap suci) dan
raga (yang dianggap hina). Sementara itu, mereka juga beranggapan bahwa
keselamatan manusia sangat ditentukan oleh pietas, yaitu kesalehan yang menolak
kehinaan.( Mardimin Johanes : 2000, hal.24).
14
Universitas Sumatera Utara
Emil Salim (1979)
mengemukakan
lima
karakteristik
kemiskinan,
kelima
karakteristik kemiskinan tersebut adalah :
1. Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri.
2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan
sendiri.
3. Tingkat pendidikan umumnya rendah.
4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas.
5. Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau
pendidikan yang memadai.
Friedman dalam Suharto, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi:
1. Modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan).
2. Sumber keuangan (pekerjaan, kredit).
3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial).
4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa.
5. Pengetahuan dan keterampilan.
6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.
Nataatmadja mengatakan dengan masuknya unsur moral dalam sistem pasar,
lingkaran kemiskinan dapat diputuskan. Pendapat ini didasarkan pada sumber dan akar
kemiskinan itu sendiri yang terletak pada khazanah pikiran manusia. Bentuk pikiran manusia
ini tercipta karena terlalu kuatnya pengaruh falsafah Neo-klasik di dalam kehidupan manusia
dan dalam setiap kebijaksanaan pembangunan yang berjalan.( Hidayat Nataatmaja:1991,
hal.67)
15
Universitas Sumatera Utara
Selo Soemardjan menyebutkan, bahwa kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur
sosial yang ada, menjadikan masyarakat itu tidak dapat memperoleh pendapatan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka. Untuk mengatasi hal ini, maka salah satu jalan keluarnya
adalah dengan pembangunan kwalitas sumberdaya manusia. Selanjutnya Soejono,
menyebutkan, bahwa kemiskinan merupakan resultant dari interaksi teknologi, sumber daya
alam dan kapital, sumber daya manusia serta kelembagaan.
Dengan demikian kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat (endogenous variabel).
Oleh karena itu ada dua hal yang perlu diperhatikan walaupun keduanya saling berinteraksi
secara evolutif yaitu (1) faktor penyebab kemiskinan dan (2) dampak kemiskinan itu sendiri
terhadap masyarakat.(Selo Soemardjan :1984, hal.25) Secara lebih tegas Koentjaraningrat
menekankan akan perlunya mentalitas pembangunan pada setiap diri manusia dan untuk
menstimulir
mentalitas
tersebut
dapat
dicapai
melalui
pendidikan.(
Koentjaraningrat:1990,hal.63
Bappenas (2000) mendefinisikan kemiskinan dalam 3 kriteria yaitu:
1. Berdasarkan Kebutuhan Dasar
Suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga, dan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain: pangan, sandang,
perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Ketidakmampuan ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan fisik dan mental
seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
2. Berdasarkan Pendapatan
Suatu tingkat pendapatan atau pengeluaran seseorang, keluarga, dan masyarakat
berada di bawah ukuran tertentu (garis kemiskinan). Kemiskinan ini terutama
disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset seperti lahan, modal, dan kesempatan
usaha.
16
Universitas Sumatera Utara
3. Berdasarkan Kemampuan Dasar
Suatu keterbatasan kemampuan dasar seseorang dan keluarga untuk menjalankan
fungsi minimal dalam suatu masyarakat. Keterbatasan kemampuan dasar akan
menghambat seseorang dan keluarga dalam menikmati hidup yang lebih sehat, maju
dan berumur panjang. Juga memperkecil kesempatan dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut
kehidupan masyarakat dan mengurangi kebebasan dalam menentukan pilihan terbaik
bagi kehidupan pribadi.
Menurut BPS dan Depsos (2002) kemiskinan me kondisi rupakan sebuah yang berada
di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,
yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold). Garis
kemiskinan yaitu sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat
membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non
makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta
aneka barang dan jasa lainnya.
2.2.2 Faktor Penyebab Kemiskinan
Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995), yang
dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa ada enam faktor
utama penyebab kemiskinan, yaitu:
1. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya
pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesejahteraan,
kurangnya pekerjaan alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya keterampilan dan
besarnya jumlah anggota keluarga.
2. Rendahnya daya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah
produksi dan dan modal kerja.
17
Universitas Sumatera Utara
3. Rendahnya penerapan teknologi, ditandai dengan rendahnya penggunaan input
dan mekanisasi pertanian.
4. Rendahnya potensi wilayah yang ditandai oleh rendahnya potensi fisik dan
infrastruktur kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat kesuburan, dan topografis
wilayah, sedangkan infrastruktur meliputi irigasi transportasi, pasar, kesehatan,
pendidikan, pengolahan komoditas pertanian, listrik dan fasilitas komunikasi.
5. Kurang tepatnya kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi
dan pengentasan kemiskinan.
6. Kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi
pemasaran, penyuluhan perkreditan dan sosial.
Todaro (1993;67), memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan
dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Tiga komponen utama sebagai
penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, yaitu:
1. Rendahnya taraf hidup
2. Rendahnya rasa percaya diri
3. Terbatasnya kebebasan
Ketiga aspek tersebut memiliki hubungan secara timbal balik, rendahnya taraf hidup
disebabkan oleh rendahnya produktifitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya
pertumbuhan tenaga kerja, tinginya angka pengangguran, dan rendahnya investasi perkapita.
Tingginya angka pengangguran disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja dan
rendahnya investasi perkapita dan tingginya tingkat pertumbuhan tenaga kerja disebabkan
oleh penurunan tingkat kematian dan rendahnya investasi perkapita disebabkan oleh
tingginya ketergantungan terhadap teknologi asing yang hemat tenaga kerja. Selanjutnya
rendahnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kesempatan
pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita.
18
Universitas Sumatera Utara
Wiradi dalam Hagul (1985), mengemukakan bahwa masalah kemiskinan di pedesaan
merupakan resultan dari beberapa faktor antara lain: pertumbuhan penduduk, rendahnya
kualitas sumberdaya manusia dan rendahnya produktifitas. Selanjutnya Salim menyatakan
bahwa kemiskinan tersebut melekat atas diri penduduk miskin karena mereka tidak memiliki
asset produksi dan kemampuan untuk meningatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki
asset produksi karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran kemiskinan
tanpa ujung dan pangkalnya.( Tjahya Supriatna:2000, hal.53)
Secara lebih konkrit Hadiwegono dan Pakpahan berpendapat bahwa kemiskinan
tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
a. Sumber daya alam yang rendah.
b. Teknologi pendukung yang rendah.
c. Sumberdaya manusia yang rendah.
d. Sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik.
Lebih jauh Suyanto menyebutkan ada beberapa faktor penyebab kemiskinan yang terjadi
dalam suatu masyarakat, seperti :
a. Kemiskinan karena Kolonialisme; kemiskinan ini terjadi karena penjajahan yang
dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, sehingga bangsa yang dijajah menjadi
tertindas baik bidang ekonomi, politik dan sebagainya. Misalnya Indonesia yang ditindas
oleh Belanda.
b. Miskin karena tradisi sosio-kultural; hal ini berkaitan dengan suku bangsa tertentu yang
kental kebudayaannya seperti suku kubu di Sumatera dan suku Dayak di pedalaman
Kalimantan.
c. Miskin karena terisolasi; seseorang menjadi miskin karena tempat tinggalnya jauh dari
keramaian sehingga sulit berkembang.
19
Universitas Sumatera Utara
d. Kemiskinan struktural; kemiskinan struktural ialah kemiskinan yang ditenggarai atau
didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak
menguntungkan. Kemiskinan ini juga disebabkan oleh persaingan yang tidak seimbang
antar negara atau daerah yang mempunyai keunggulan komperatif dengan daerah
sekitarnya yang tidak mempunyai keunggulan komparatif. (Suyanto:1995, hal.23)
Faktor penyebab kemiskinan adalah keterkaitan hubungan antara status sosial
ekonomi masyarakat dengan potensi wilayah suatu daerah yang menyebabkan daerah tersebut
miskin. Dalam konteks penelitian ini factor penyebab kemiskinan tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi
2. Tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah
3. Rendahnya taraf pendidikan
4. Rendahnya taraf kesehatan
5. Terbatasnya lapangan kerja
6. Rendahnya kualitas SDM dan rendahnya produktivitas
7. Sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang kurang baik.
2.3 Penanggulangan Kemiskinan
Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dasar minimal dari setiap negara, peranan
pemerintah sangat penting dalam menyalurkan pelayanan masyarakat (public service).
Pelayanan publik yang dikukan birokrasi pemerintahan pada negara-negara berkembang terus
menerus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta pengaruh arus informasi maupun dinamika dan tuntutan masyarakat
(Rondinnelle, 1989). Dalam paradigma pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar
manusia dan masyarakat miskin selain dibutuhkan pelayanan publik yang efisien oleh
20
Universitas Sumatera Utara
birokrasi pemerintahan juga terciptanya suatu kondisi yang memberikan akses yang sama
pada setiap penduduk dalam memperoleh pelayanan publik.
Terciptanya akses yang terbuka dan sama dalam pelayanan publik kepada lapisan
masyarakat diperlukan bagi pemerataan hasil-hasil pembangunan dan pelayanan publik.
Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka memperoleh akses
dan memanfaatkan kesempatan serta kemampuan untuk menggunakan pelayanan publik.
Terdapat keterhubungan yang erat antara pembangunan, kebutuhan dasar manusia serta
kepentingan lapisan masyarakat dengan pelayanan publik yang optimal dari birokrasi
pemerintahan. Tentunya didukung oleh kesempatan untuk memanfaatkan dan mampu
menggunakannya.
Korten mengatakan, banyak program pembangunan tidak mampu meningkatkan akses
masyarakat terhadap program pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dan bahkan
gagal dalam mencapai program tersebut. Kendala yang sangat besar dalam pelayanan publik
adanya perbedaan sosial ekonomi masyarakat yang beragam dengan kemampuan birokrasi
pemerintahan. Pemerintah dalam melakukan pelayanan publik harus memperhatikan kondisi
lokal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelompok sasaran masyarakat. Inti
dasarnya terletak pada proses kebijakan publik dan pendekatan terhadap operasioanalisasi
kebijakan tersebut.
Upaya penanggulangan permasalahan di atas selama ini telah dilakukan oleh
pemerintah melalui pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang serta melalui program
khusus penanggulangan kemiskinan seperti IDT, Operasi Pasar Khusus (OPK) atau program
Beras Prasejahtera serta bentuk program lainnya. Pemerintah juga berusaha untuk
mengurangi kemiskinan dan meratakan pendapatan melalui delapan jalur pemerataan yaitu :
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat banyak khususnya pangan,
sandang dan perumahan.
21
Universitas Sumatera Utara
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja.
5. Pemerataan kesempatan berusaha.
6. Pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan
wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan memperoleh keadilan.( Moelyarto:1987, hal.2)
2.4 Rumah tangga miskin
Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku. Saat ini sudah cukup banyak ukuran dan
standar yang dikeluarkan oleh para pakar dan lembaga mengenai batas garis kemiskinan.
Sajogyo membedakan tiga tipe orang miskin. Penggolongan ini didasarkan pada pendapatan
yang diperoleh setiap orang dalam setiap bulan. Ketiga tipe tipe tersebut adalah :
a. Miskin (poor) ;
Orang yang miskin adalah orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk
beras yakni 320-480 kg/orang/tahun. Jumlah ini dianggap cukup untuk memenuhi
kebutuhan makan minimum (1900 kalori/orang/hari dan 40 gr protein/orang/hari)
b. Sangat Miskin (very poor) ;
Orang yang dikatakan sangat miskin adalah orang yang berpenghasilan kalau
diwujudkan dalam bentuk beras yakni 240–320 kg/orang/tahun
c. Termiskin (poorest) ;
Orang termiskin adalah orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk
beras antara 180-240 kg/orang/tahun.
22
Universitas Sumatera Utara
Batas kemiskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo memiliki standar kemiskinan yang
tinggi dari batas kemiskinan Biro Pusat Statistik. Dengan menggunakan standar Sajogyo
jumlah penduduk miskin cenderung lebih banyak jika dibandingkan dengan kriteria Biro
Pusat Statistik tersebut. Kriteria tersebut memiliki kekuatan karena beras merupakan
kebutuhan pokok pada umumnya rakyat Indonesia. Bagi masyarakat ekonomi lemah
pengeluaran untuk pembelian beras cenderung memiliki porsi yang cukup besar dari total
pendapatan mereka.
BKKBN mengambil keluarga batih (nuclear family) sebagai unit pengertian, namun
tidak menggunakan konsep kemiskinan, melainkan konsep kesejahteraan. Konsep
kesejahteraan di sini jelas terkait dengan taraf hidup dan garis kemiskinan. Dengan sejumlah
indikator yang dibuat oleh BKKBN, klasifikasi keluarga terdiri dari:
1. Keluarga Sejahtera tahap I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi dan
psikologis sepeti interaksi keluarga, intaraksi bertetangga dan pekerjaan-pekerjaan
yang menentukan standar kehidupan yang baik.
2. Keluarga Sejahtera tahap II. Ditujukan dengan anggota keluarga melaksanakan
ibadah agama secara teratur, sekali seminggu keluarga makan daging, ikan/telur.
Setiap akhir tahun paling sedikit memperoleh satu stel pakaian baru, luas rumah
paling kurang 8 m untuk setiap penghuni. Kesehatan keluarga baik, memiliki
penghasilan tetap, anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin.
Anak umur 7-15 tahun bersekolah dan PUS yang telah memiliki 2 anak atau lebih
memakai alat kontrasepsi.
3. Keluarga Sejahtera tahap III. Ditujukan dengan anggota keluarga berusaha
meningkatkan pengetahuan agama, sebagian penghasilan keluarga ditabung,
makanan empat sehat lima sempurna dan keluarga makan bersama sehari dalam
sekali serta dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Ikut dalam kegiatan di
23
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tempat tinggal, rekreasi minimal enam bulan sekali, mendapat
informasi dari surat kabar, TV, radio, majalah dan anggota keluarga mampu
menggunakan transportasi setempat.
4. Kelurga Sejahtra IIII plus. Di samping ditujukan dengan keadaan keluarga seperti
keluarga sejahtera tahap III, juga ditambah dengan keluarga secara teratur dengan
suka rela memberikan sumbangan materi untuk kegiatan sosial dan ada anggota
keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
Klasifikasi kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Agraria adalah sebagai
berikut :
1. Miskin sekali, jika konsumsi perkapita pertahun sebesar 75% dari nilai total konsumsi
sembilan bahan pokok yang ditetapkan;
2. Miskin, jika konsumsi per kapita per tahun sebesar 75% - 125% dari nilai total
konsumsi sembilan bahan pokok yang ditetapkan
3. Hampir miskin, jika konsumsi per kapita per tahun sebesar 125% - 200% dari nilai
total konsumsi sembilan bahan pokok yang ditetapkan.
2.5 Teori Kesejahteraan
Kehidupan yang didambakan oleh semua manusia di dunia ini adalah kesejahteraan.
Baik yang tinggal di kota maupun yang di desa, semua mendambakan kehidupan yang
sejahtera. Sejahtera lahir dan bathin. Namun, dalam perjalanannya, kehidupan yang dijalani
oleh manusia tak selamanya dalam kondisi sejahtera. Pasang surut kehidupan ini membuat
manusia selalu berusaha untuk mencari cara agar tetap sejahtera. Mulai dari pekerjaan kasar
seperti buruh atau sejenisnya, sampai pekerjaan kantoran yang bisa sampai ratusan juta
gajinyadilakoni oleh manusia.
Secara umum, istilah kesejahteran sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera
(konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup,
24
Universitas Sumatera Utara
khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan
perawatan kesehatan. Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktifitas
pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama
kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups). Penyelenggaraan berbagai skema
perlindungan sosial (social protection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah
contoh aktivitas kesejahteraan sosial (Suharto, 2009).
Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang
dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, taraf hidup yang lebih baik
ini tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisik belaka, tapi juga ikut memperhatikan aspek
sosial, mental dan segi kehidupan spiritual. Kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai
kondisi sejahtera dari suatu masyarakat, kesejahteraan sosial pada umumnya meliputi
kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup rakyat. Di Indonesia
kesejahteraan sosial dijamin oleh UUD 1945 pasal 33 dan pasal 34. Dalam UUD 1945 jelas
disebutkan bahwa kemakmuran rakyat yang lebih diutamakan dari pada kemakmuran
perseorangan, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun pada
kenyataannya hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan terlantar tidak mendapatkan perhatian.
2.6 Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
2.6.1 Definisi Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah Kartu yang diterbitkan oleh Pemerintah
Indonesia dalam rangka Program Percepatan dan Perluasan Sosial (P4S). Dengan memiliki
KPS, rumah tangga berhak menerima program-program perlindungan sosial, seperti : Raskin
dan Bantuan Siswa Miskin (BSM), sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga tahun 2014.
KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pendamping Kepala Rumah
Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga, Alamat Rumah Tangga, dilengkapi dengan kode
25
Universitas Sumatera Utara
batang beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan
Sosial dengan logo burung Garuda.
Sebagai penanda Rumah Tangga Miskin, Kartu Perlindungan Sosial ini berguna untuk
mendapatkan manfaat dari Program Subsidi Beras untuk masyarakat yang berpenghasilan
rendah atau dikenal dengan Program RASKIN. Selain itu KPS dapat juga digunakan untuk
mendapatkan manfaat program Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Program Simpanan
Keluarga Sejahtera (PSKS). Pemerintah mengeluarkan Kartu Perlindungan Sosial ini kepada
15,5 juta Rumah Tangga Miskin dan rentan yang merupakan 25% Rumah Tangga dengan
status sosial ekonomi terendah di Indonesia.
2.6.2 Manfaat Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Manfaat Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah KPS membantu memastikan agar
rumah tangga miskin dan rentan dapat menerima manfaat dari semua Program Perlindungan
Sosial yang berhak diterimanya sehingga membantu upaya rumah tangga untuk keluar dari
kemiskinan.
2.7
Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang peneliti rangkum untuk sebagai pedoman
mengerjakan skripsi ini, sebagai table berikut :
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Nama, Judul, Tahun
Fikriyah Asmawati,
Metode
Hasil Penelitian
Progran BLSM dianggap sebagai program yang sangat
Deskriptif Kuantitatif
menarik dan menggiurkan bagi masyarakat miskin,
S.Ikom; Evaluasi
dengan dana tersebut masyarakat miskin terbantu untuk
Pelaksaan Program
mengurangi beban hidup, dan harus di akui program
Bantuan Langsung
pemerintah yang satu ini telah berjalan dengan sesuai
Sementara Masyarakat di
yang dituju, yakni disalurkan kepada masyarakat miskin
Yogyakarta; 2014
sesuai dengan cluster yang ada di kelurahan masingmasing.
Sutan Tolang Lubis,
Teknik analisa deskriptif, yaitu metode
Program BLT belum berhasil mencapai tujuan
Evaluasi Pelaksanaan
analisa yang dilakukan dengan
seperti apa yang diharapkan pemerintah yaitu
Program Bantuan
mengumpulkan,mengolah, menyajikan
meringankan beban pengeluaran rumah tangga
Langsung Tunai di
dan menginterpretasikan data
miskin. Pemberian BLT hanya dapat meredam
Kelurahan Gedung Johor
gejolak sosial yang bisa timbul disebabkan
Kecamatan Medan Johor
kebijakan menaikkan harga BBM.
Kota Medan,2007
26
Universitas Sumatera Utara
Muhammad Miftah Rizki,
Metode yang digunakan dalam
Pelaksanaan program Kartu Indonesia Sehat di
Evaluasi Program
penelitian ini adalah pendekatan
Program Terapi Rumatan
Pengguna Kartu Jakarta
kualitatif dan dilihat dari jenisnya
dengan sangat baik sesuai dengan pedoman dari
Sehat di Program Terapi
penelitian ini bersifat deskriptif yang
pemerintah
Rumatan Metadon
berarti mengumpulkan kata-kata dan
memberikan pelayanan yang maksimal sesuai
(PTRM) Rumah Sakit
gambar bukan angka. Data diperoleh
dengan
Ketergantungan Obat
dari wawancara langsung dan juga
dikatakan baik karena sangat membantu proses
(RSKO), 2014
dilihat dari catatan atau dokumen resmi
penyembuhan pasien dan bahkan mempermudah
lainnya.
pasien yang sudah bekerja untuk lebih baik
pusat
kebutuhan
dan
Metadon berjalan
program
pasien.Program
ini
ini
terus
juga
menjalankan kegiatannya diluar.
2.8
Kerangka Konseptual
Kartu Perlindungan Sosial
Pendapatan (X1)
Kesehatan (X2)
Kesejahteraan
(Y1)
Pendidikan (X3)
Sosial (X4)
Kemiskinan (Y2)
Sebelum Menerima KPS
Setelah Menerima KPS
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
2.9 Hipotesis
Ho: Tidak terdapat perbedaan kesejahteraan pada masyarakat sebelum dan sesudah
menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS).
Ha : Terdapat perbedaan kesejahteraan pada masyarakat sebelum dan sesudah menerima
Kartu Perlindungan Sosial (KPS).
27
Universitas Sumatera Utara