Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Di Kecamatan Medan Labuhan

(1)

SKRIPSI

ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN

OLEH

Fakhri Ismail

080501041

PROGRAM STUDI S1 EKONOMI PEMBANGUNAN

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

SKRIPSI

ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN

OLEH

Fakhri Ismail

080501041

PROGRAM STUDI S1 EKONOMI PEMBANGUNAN

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

PERSETUJUAN PENCETAKAN

Nama : Fakhri Ismail

NIM : 080501041

Program Studi : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan

Judul Skripsi : Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan

Tanggal, Ketua Program Studi

Irsyad Lubis, SE,M.Soc.Sc.,Ph.D. NIP. 19710503 200312 1 003

Tanggal, Ketua Departemen

Wahyu Ario Pratomo, SE,M.Ec NIP. 19730408 199802 1 001


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

PERSETUJUAN

Nama : Fakhri Ismail

NIM : 080501041

Program Studi : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan

Judul Skripsi : Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan

Tanggal, Pembimbing

Paidi Hidayat, SE,M.Si NIP. 19750920 200501 1 002

Tanggal, Pembaca Penilai

Drs. Rahmat Sumanjaya M.Si NIP. 19490808 198103 1 001


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga, dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraruran yang berlaku.

Medan, Februari 2013 Penulis

Fakhri Ismail NIM. 080501041


(6)

ABSTRAK

ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan dengan menggunakan data primer untuk 100 responden yang mewakili seluruh populasi masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar kuesioner. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah atau miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendapatan yang masih rendah dan pengeluaran rumah tangga yang cukup besar serta kondisi tempat tinggal yang belum layak.


(7)

ABSTRACT

THE ANALYSIS LEVEL WELFARE OF COASTAL COMMUNITY IN THE DISTRICT OF MEDAN LABUHAN

The purpose of this study was to determine the level of welfare of coastal communities in the district of Medan Labuhan using primary data for 100 respondents representing the entire population of the coastal communities in the District of Medan Labuhan. The data was collected using questionnaires. The analysis method used is descriptive qualitative. The data collected was processed and presented in the form of tables.

The results showed that the coastal communities in the district of Medan Labuhan generally have a relatively low level of prosperity or poverty. This is indicated by the low levels of income and household spending substantial and living conditions are not feasible.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim….

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Tak lupa pula shalawat dan salam penulis hadiahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya kebenaran dan ilmu pengetahuan di muka bumi.

Dalam melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan” ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik berupa moril maupun materil, sehingga penulis semakin termotivasi untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang mana banyak sekali menemukan kendala-kendala yang cukup berarti dalam penyusunannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak – banyaknya kepada pihak – pihak yang telah membantu penulis, diantaranya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda yang saya hormati H. Ismail Malik dan Ibunda Hj. Arfah Rahmat yang telah mendidik, merawat dan membesarkan penulis dengan penuh cinta, doa, dan kasih sayang yang sangat teramat besar kepada penulis.

2. Bapak (Alm) Drs. Jhon Tafbu Ritonga,M.Ec selaku mantan Dekan Fakultas Ekonomi USU.

3. Bapak Drs. H. Arifin Lubis M.M,Ak selaku pelaksana tugas (plt) Dekan Fakultas Ekonomi USU

4. Bapak Wahyu Ario Pratomo S.E.,M.Ec dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi USU.


(9)

5. Bapak Irsyad Lubis S.E.,M.Soc.sc.,Ph.D dan Bapak Paidi Hidayat S.E.,M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi USU.

6. Bapak Paidi Hidayat S.E.,M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan memberikan petunjuk serta arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya CAE,M.Si selaku dosen pembaca/penilai skripsi yang telah memberikan masukan serta kritikan kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen dan Pegawai Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi USU, terima kasih atas segala bimbingan dan bantuannya selama penulis mengikuti perkuliahan.

9. Masyarakat Kecamatan Medan Labuhan khususnya Kelurahan Nelayan Indah dan Pekan Labuhan yang telah bersedia memberikan informasi-informasi pentingnya selama penelitian ini berlangsung.

10.Saudara – saudaraku tercinta, Kak Karina, Bang Fauzan Ismail, Fadhil Ismail , dan Marisa Ismail. Dan satu lagi kemanakan pertamaku Kanza Alya Rafika Siregar (semoga jadi putri yang berbakti kepada kedua orang tua, amin).

11.Beserta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan.Maka dari itulah, penulis memohon maaf yang sebesar – besarnya, sekaligus juga mengharapkan saran serta kritikannya yang membangun guna memperbaiki dan lebih menyempurnakan karya – karya ilmiah berikutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat serta menambah pengetahuan bagi semua pihak.

Medan, Februari 2013 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………. i

KATA PENGANTAR ………. iii

DAFTAR ISI ………..……… vi

DAFTAR TABEL ………... viii

DAFTAR GAMBAR ………..………... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Perumusan Masalah .……… 6

1.3 Tujuan Penelitian .………..……….. 7

1.4 Manfaat Penelitian ………7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kesejahteraan………....……. 8

2.2 Konsep Kemiskinan………. 11

2.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan……… 17

2.4 Potensi Wilayah Pesisir dan Kondisi Ekonomi Masyarakat Pesisir……….... 24

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis penelitian ……….. 32

3.2 Tempat dan waktu penelitian ……… 32

3.3 Batasan Operasional……… …. 32

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian….……… 33

3.5 Metode Pengumpulan Data……….. 34

3.6 Analisis Data………... 36

3.7 Definisi Operasional………. 37

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ………. 38

4.2 Hasil Penelitian ……… 39

4.2.1 Data Karakteristik Responden………. 39

4.2.1.1 Berdasarkan Umur……… 39

4.2.1.2 Berdasarkan Pendidikan……… 40

4.2.1.3 Berdasarkan Jenis Pekerjaan……….. 40

4.2.1.4 Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga.. 41

4.2.2 Indikator Kesejahteraan Masyarakat Pesisir………… 42

4.2.2.1 Jumlah Pendapatan per Bulan……… 42

4.2.2.3 Kondisi Tempat Tinggal………….………... 48

4.2.2.4 Fasilitas Tempat Tinggal………50

4.2.2.5 Kondisi Kesehatan Keluarga……… 52

4.2.2.6 Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan………. 53


(11)

4.2.2.7 Kemudahan Memasukkan Anak

ke Jenjang Pendidikan... 54

4.2.2.8 Kemudahan Mendapatkan Fasilitas Transportasi……… 57

4.2.3 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir………….. 58

4.2.3.1 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Pendapatan Per Bulan………. 59

4.2.3.2 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Pengeluaran Per Bulan………... 60

4.2.3.3 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Kondisi Tempat Tinggal……….. 61

4.2.3.4 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Fasilitas Tempat Tinggal……….. 61

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……….. 67

5.2 Saran……… 69

DAFTAR PUSTAKA ..………. ………. 70


(12)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

3.1 Indikator keluarga sejahtera berdasarkan

Badan Pusat Statistik tahun 2005……… 36 4.1 Data Karakteristik Responden Berdasarkan Umur………. 39 4.2 Data Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan………. 40 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan………… 40 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan

Jumlah Tanggungan Keluarga……….. 41 4.5 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Pendapatan per Bulan……… 43 4.6 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Pengeluaran Per Bulan………. 46 4.7 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Kondisi Tempat Tinggal……….. 49 4.8 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Fasilitas Tempat Tinggal………. 50 4.9 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Kondisi Kesehatan Keluarga……….. 52 4.10 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan……….. 53 4.11 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Kemudahan Memasukkan Anak ke Jenjang Pendidikan…….. 55 4.12 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan

Kemudahan Mendapatkan Fasilitas Transportasi……….. 57 4.13 Tingkat Kesejateraan Masyarakat Pesisir di

Kecamatan Medan Labuhan……….. 58 4.14 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan

Pendapatan per bulan…………..………... 59 4.15 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan

Pengeluaran per Bulan………..………. 60 4.16 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan

Kondisi Tempat Tinggal………..…….. 61 4.17 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan

Fasilitas Tempat Tinggal……… 62 4.18 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan

Kesehatan Keluarga………..………. 63

4.19 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan

Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan……….. 64 4.20 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan

Kemudahan Memasukkan Anak ke Jenjang Pendidikan…….. 65 4.21 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

4.1 Kondisi Rumah Masyarakat Pesisir………. 50 4.2 Kondisi Fasilitas Lingkungan Tempat Tinggal……… 51


(14)

ABSTRAK

ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan dengan menggunakan data primer untuk 100 responden yang mewakili seluruh populasi masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar kuesioner. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah atau miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendapatan yang masih rendah dan pengeluaran rumah tangga yang cukup besar serta kondisi tempat tinggal yang belum layak.


(15)

ABSTRACT

THE ANALYSIS LEVEL WELFARE OF COASTAL COMMUNITY IN THE DISTRICT OF MEDAN LABUHAN

The purpose of this study was to determine the level of welfare of coastal communities in the district of Medan Labuhan using primary data for 100 respondents representing the entire population of the coastal communities in the District of Medan Labuhan. The data was collected using questionnaires. The analysis method used is descriptive qualitative. The data collected was processed and presented in the form of tables.

The results showed that the coastal communities in the district of Medan Labuhan generally have a relatively low level of prosperity or poverty. This is indicated by the low levels of income and household spending substantial and living conditions are not feasible.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga hampir di seluruh negara di belahan dunia. Kemiskinan merupakan masalah yang tidak bisa dipisahkan apabila kita hendak membicarakan mengenai kesejahteraan. Kesejahteraan rakyat khususnya di negara dunia ketiga sampai saat ini masih dihantui oleh masalah kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan tentunya apabila banyak negara dunia ketiga terus berupaya menyelesaikan dan mencari solusi untuk keluar dari jeratan kemiskinan.

Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah sekalipun, hingga saat ini masih terus berkutat di masalah yang sama. Kemiskinan di Indonesia dapat kita saksikan di berbagai daerah, apalagi jika kita masuk lebih jauh dan menyoroti lebih dalam, bagaimana kondisi dan kesejahteraan masyarakat yang hidup khususnya di daerah pesisir pantai. Masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, hingga saat ini nasibnya masih sangat mengkhawatirkan. Banyak nelayan yang terpaksa harus menyambungkan hidupnya dengan bersusah payah keluar dari lingkaran kemiskinan. Padahal jika kita berkaca ke belakang, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang sangat menjanjikan. Besarnya potensi kelautan Indonesia dibanding potensi daratan, telah merubah orientasi pembangunan yang semula berorientasi daratan menjadi orientasi laut. Wilayah pesisir yang


(17)

merupakan sumber daya potensial di Indonesia merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001), namun sungguh ironis sekali bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat yang hidup di daerah pesisir hingga saat ini masih sangat rendah.

Kondisi masyarakat pesisir juga terimbas dengan diberlakukannya Undang- Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga berdampak pada sektor perikanan, dimana sebagian urusan perikanan dan kelautan diserahkan pada daerah, dan banyak daerah tidak serius mengelola potensi kelautan dan pesisir baik upaya eksploitasi maupun upaya pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran. Program-program yang diberlakukan untuk peningkatan kesejahteraan implementasinya sering salah sasaran, akibatnya nelayan yang seharusnya mendapat dampak perubahan terhadap kesejahteraan sama sekali tidak merasakannya. Padahal Sekitar 16,42 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di kawasan pesisir. Mereka bertempat tinggal di sedikitnya 8.090 desa pesisir yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini.

Pilihan untuk hidup di kawasan pesisir tentu sangat relevan mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504 pulau. Sepanjang wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam hayati maupun non-hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi penghidupan masyarakat. Kondisi geografis yang memiliki garis pantai begitu panjang ditambah besarnya potensi perikanan yang ada, seharusnya mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat yang mendiaminya. Berharap


(18)

kemakmuran hidup dari potensi dan kekayaan alam yang ada tentu bukan keinginan yang muluk-muluk.

Sejatinya kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir bukan cerita baru di negeri ini. Kemiskinan yang mereka alami sekan menjelma menjadi kemiskinan yang bersifat struktural. Masyarakat pesisir ditengarai masih berlum terpenuhi hak-hak dasarnya seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kondisi tempat tinggal. Akibatnya masih cukup banyak anak nelayan miskin yang ikut terjebak dalam rantai kemiskinan sebagaimana yang dialami orang tuanya.

Kondisi tersebut tentu sebuah ironi, di tengah gemerlapnya kekayaan alam nan melimpah ternyata belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat. Besarnya potensi sektor kelautan seharusnya mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sektor kelautan juga semestinya memberikan kontribusi yang maksimal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun hingga sekarang, kontribusi yang disumbangkan masih relatif relatif kecil bila dibandingkan dengan negara lain yang secara geografis memiliki garis pantai lebih pendek.

Kecamatan Medan Labuhan sebagai salah satu kecamatan di Kota Medan merupakan daerah yang berdekatan dengan daerah pesisir yaitu dengan Belawan dan pesisir Deli Serdang, dengan penduduknya berjumlah 111,173 Jiwa (2010) dimana penduduk terbanyak berada di kelurahan Besar yakni sebanyak 33706 orang dan jumlah penduduk terkecil di kelurahan Nelayan Indah yakni sebanyak 7850 orang.

Bila dilihat dari luas kelurahan, kelurahan Sei Mati memiliki luas yang terbesar yakni 12,870 km2 sedangkan kelurahan Pekan Labuhan memiliki luas


(19)

terkecil yakni 3,605 km2 dengan luas wilayah total Kecamatan Medan Labuhan yakni seluas 40,68 km2.

Bila dibandingkan antara jumlah penduduk serta luas wilayahnya, maka kelurahan Pekan Labuhan merupakan kelurahan terpadat yaitu 5336 jiwa tiap km2

Kecamatan Medan Labuhan sebagai salah satu daerah paling tertinggal di Kota Medan tentu tidak lepas dari masalah yang sama yaitu masalah kemiskinan. Dengan mata pencaharian utama berasal dari hasil tangkapan laut, tentu saja masyarakat yang mendiami daerah ini sebagian besar hidup sebagai nelayan. Masyarakat nelayan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang dianggap miskin bahkan paling miskin di antara penduduk miskin (the poorest of the poor). Kemiskinan dapat dilihat dari ketidakmampuan orang untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan serta akses terhadap kesehatan maupun pendidikan yang berkaitan dengan daya beli. Kemiskinan juga terkait dengan ketersediaan sumberdaya alam dan pengetahuan yang dimiliki serta perilaku hidup masyarakat setempat. (Yoseph M. Laynurak: 2008)

Rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir disebabkan karena masyarakat lebih berorientasi terestorial, kurangnya ketrampilan dalam sektor perikanan, kurangnya sarana prasarana pendukung usaha, belum dioptimalkan sumberdaya alam lain di luar sektor perikanan, pengaruh budaya dan paradigma yang sudah tertanam, Akibatnya pendapatan masyarakat rendah, maka daya beli rendah yang mengakibatkan masyarakat pesisir miskin. Kemiskinan berdampak luas pada berbagai segi kehidupan dan hal ini sangat menyulitkan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.


(20)

Rendahnya tingkat pendidikan di wilayah pesisir diduga merupakan faktor penyebab kemiskinan nelayan. Pola berfikir yang seakan-akan sudah pasrah dengan kondisi yang ada, mengakibatkan mereka sulit untuk melanjutkan sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Karena sepertinya sudah tertanam paradigma dikalangan para masyarakat pesisir bahwa untuk menangkap ikan dilaut tidak membutuhkan pendidikan Tinggi atau dengan kata lain cukup sekedar bisa baca dan hitung maka itu sudah cukup.

Kondisi ini diperparah dengan Tingginya angka kelahiran yang dalam jangka panjang menyebabkan Tingginya jumlah penduduk. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Robert Malthus bahwa manusia hidup membutuhkan makanan, sedangkan laju pertumbuhan makanan jauh lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Apabila tidak diadakan pembatasan terhadap penduduk maka manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan, hal inilah merupakan sumber dari kemelaratan dan kemiskinan manusia. Karena kondisi seperti inilah, tidak mengherankan apabila kita melihat gambaran kehidupan masyarakat di daerah ini pada umumnya sungguh jauh berbeda dengan apa yang kita lihat di daerah perkotaan. Begitu juga dengan tingkat kesehatan, kondisi lingkungan dan perumahan yang jauh dari kata layak huni menyebabkan daerah ini rentan akan berbagai macam penyakit. Hal ini menjadi penyebab rendahnya usia harapan hidup masyarakat pesisir.

Kondisi ini juga diperparah dengan banyaknya rumah tangga rawan pangan, dan total rumah tangga rawan pangan di Kota Medan sebanyak 79.136 kepala keluarga (KK) atau 22,93% dari 345.127 KK, yang lagi-lagi kebanyakan berada di Medan Utara diantaranya Kelurahan Belawan Bahagia, Belawan


(21)

Bahari, Belawan-I, Belawan II, Bagan Deli, Pulau Sicanang (Medan Belawan), Kelurahan Terjun, Paya Pasir, Labuhan Deli (Medan Marelan), dan Kelurahan Pekan Labuhan, Nelayan Indah di Kecamatan Medan Labuhan.

Dengan rendahya tingkat pendidikan, sulitnya memperoleh layanan kesehatan, kumuhnya wilayah pemukiman, dan paradigma yang sudah tertanam tentang “sabar” dan pasrah dengan kondisi yang mereka alami, menyebabkan mereka tidak dapat berbuat banyak untuk anak-anaknya, masa depannya, dan kesejahteraannya. Apalagi pemerintah Kota Medan sangat kurang perhatiannya terhadap daerah ini dan terkesan “menganaktirikannya” daripada daerah lain.

Dengan adanya permasalahan diatas penulis tertarik untuk meneliti sebuah fenomena yang terjadi di Kecamatan Medan Labuhan yang diberi judul Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka penelitian ini dibatasi pada hubungan antara indikator-indikator kesejahteraan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Medan Labuhan, dalam hal ini kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, serta kondisi dan fasilitas perumahan.

Dengan memperhatikan batasan masalah maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan ?


(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan.

2. Menganalisis tingkat pendapatan, pengeluaran dan kondisi daerah serta fasilitas tempat tinggal masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain dalam memahami masalah-masalah di bidang ekonomi yang berkaitan dengan masalah dalam bidang kesejahteraan masyarakat khususnya wilayah pesisir, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu ekonomi.

2. Untuk mengetahui masalah pokok yang dialami oleh masyarakat di wilayah pesisir serta solusi yang dapat dikembangkan agar kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat ditingkatkan.

3. Untuk kepentingan informasi bagi masyarakat pesisir/nelayan dan pemerintah dalam upaya mengatasi kemiskinan dan pengambilan kebijakan yang tepat.

4. Sebagai acuan bagi mahasiswa dan koleksi perpustakaan yang dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah yang berkaitan dengan penelitian dalam bidang kesejahteraan masyarakat pesisir.

5. Sebagai sarana bagi penulis dalam menambah pengetahuan serta wawasan dalam bidang kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya di wilayah pesisir Kecamatan Medan Labuhan


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat.

Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya.

Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau “well-being”. Misalnya, dapat dikatakan kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum; seseorang dikatakan mampu (memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik) jika dia memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya (kekayaan). Selain itu, dapat diukur juga dari kemampuan untuk memperoleh jenis barang-barang konsumsi tertentu (misalnya makanan dan perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk andil (berfungsi) dalam masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Sen, 1983) atau lebih rentan (vulnerable) terhadap krisis/gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi dalam konteks ini, kesejahteraan dapat berarti adanya kemampuan memenuhi kebutuhan


(24)

komoditas secara umum (yakni adanya daya beli terhadap sekelompok pilihan komoditas (Watts, Harrold W 1968) atau jenis konsumsi tertentu (misalnya kecukupan konsumsi makanan) yang dirasa sangat essensial/perlu untuk memenuhi standar hidup dalam masyarakat, maupun dalam arti adanya kemampuan untuk andil/berfungsi dalam masyarakat.

Tentunya ada konsep lain dari kesejahteraan yang melebihi konsep kemiskinan (poverty), baik diukur melalui dimensi moneter maupun non-moneter. Misalnya, ketimpangan. Ketimpangan menitikberatkan pada distribusi dari atribut/variable terukur (misalnya pendapatan dan pengeluaran) terhadap seluruh penduduk. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa posisi relatif dari inidividu rumah tangga dalam masyarakat merupakan aspek penting dari kesejahteraan mereka. Tingkat ketimpangan secara keseluruhan dalam suatu negara, wilayah atau kelompok penduduk, baik dalam bentuk dimensi moneter maupun non-moneter, juga merupakan indikator yang dapat menggambarkan secara ringkas tentang tingkat kesejahteran dalam kelompok tersebut. Hal ini yang perlu dicatat dari bahasan tentang kesejahteraan yaitu kerentanan (vulnerability). Kerentanan didefinisikan sebagai peluang atau fisik menjadi miskin atau jatuh menjadi lebih miskin pada waktu-waktu mendatang. Kerentanan merupakan dimensi kunci dari kesejahteraan karena kerentanan berakibat pada perilaku individu (dalam bentuk investasi, pola produksi, strategi penanggulangan) dan persepsi dari kondisi mereka sendiri.

Menurut Bank Dunia (Wolrd Bank 2000), “poverty is pronounced derivation in well being”, dimana kesejahteraan dapat diukur dari kekayaan yang dimiliki seseorang, kesehatan, gizi, pendidikan, asset, perumahan, dan hak-hak


(25)

tertentu dalam masyarakat tertentu seperti kebebasan berbicara. Kemiskinan juga berarti kurangnya kesempatan/peluang, ketidakberdayaan, dan kerentanan. Kemiskinan benar-benar masalah multi-dimensi yang memerlukan kebijakan dan program intervensi multi-dimensi pula agar kesejahteraan individu meningkat sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.

Dengan kata lain lingkup substansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multi-dimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global. Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai produksi tingkat kesejahteraan.

Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Output ekonomi perkapita dipandang kurang mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu


(26)

negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi.

Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumah tangga digunakan sebagai produksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga.

Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya. Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja.

Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Atas promosi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat. (Dir. Kewilayahan 1, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah: 5-6).

2.2 Konsep Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembang kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan,


(27)

perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. (Badan Pusat Statistik).

Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu:

1. Dimensi Ekonomi

Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara finansial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Dimensi Sosial dan Budaya

Kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

3. Dimensi Sosial dan Politik

Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.

Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan


(28)

diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan dihadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang (Bayo, 1996).

Menurut Drs. Edi Suharto, M.Sc, tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat dimensi utama, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relative, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.

Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll. Penentuan kemiski'nan absolut ini biasanya diukur melalui “batas kemiskinan” atau “garis kemiskinan” (poverty line), baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapata, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut biasanya dikonversikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai miskin secara absolut.

Bank Dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi kedalam US$ PPP (Puchasing Power Parity/ Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya adalah untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dala memerangi kemiskinan. Angka konversi PPP menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah


(29)

kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga US$ 1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasaya dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US$ 1 PPP perkapita perhari; b) US$ 2 PPP perkapita perhari. Ukuran tersebut sering direvis menjadi US$ 1,25 PPP dan US$ 2 PPP perkapita perhari.

Pendapatan perkapita yang Tinggi sama sekali bukan merupakan jaminan tidak adanya kemiskinan absolut dalam jumlah yang besar. Hal ini mengingat besar atau kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok-kelompok penduduk yang paling miskin tidak sama untuk masing-masing negara, sehingga mungkin saja suatu negara dengan pendapatan perkapita yang Tinggi justru mempunya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan internasional yang lebih besar dibandingkan suatu negara yang pendapatan perkapitanya lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemsikinan tersebut antara lain struktur pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di negara yang bersangkutan, berbagai pengaturan politik dan kelembagaan yang dalam prakteknya ikut menentukan pola-pola dstribusi pendapatan nasional.

Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan “kondisi umum” suatu masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp. 30.000 per kapita per bulan, seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 75.000 per bulan secara absolut tidak miskin, tetapi jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 100.000, maka relatif orang tersebut dikatakan miskin.


(30)

Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (modernisasi). Sikap malas, tidak memiiki kebutuhan berprestasi (needs for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah bebrapa karakteristik yang menandai kemiskinan kultural.

Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktik monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya, melahirkan mata rantai “pemiskinan” yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para petani tidak memiliki tanah sendiri atau hanya memiliki hanya sedikit tanah,para nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk ke dalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.

Disadari atau tidak kita memang patut berterima kasih pada pemerintah pada komitmen dan kebijakan pemerintah dalam menangani kemiskinan khususnya pada zaman orde baru, secara nasional jumlah kemiskinan absolut di Tanah Air mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika pada tahun 1970, terdapat 70 juta atau 60 persen penduduk Indonesia terhimpit kemiskinan, maka hanya dalam dua dasawarsa jumlah tersebut telah menjadi 27,7 juta atau 15,08


(31)

persen saja dari populasi keseluruhan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk yang masih berada di garis kemiskinan menjadi 25,9 juta atau 13,67 persen.

Akan tetapi, data-data “makro” tersebut belumlah mengungkap dimensi kemiskinan relatif yang berwujud ketimpangan sektoral maupun ketimpangan regional antar wilayah. Belum lagi persoalan indikator kemsikinan yang oleh sebagian ahli masih dipandang sebagai “belum mencerminkan” kebutuhan manusia secara manusiawi.

Indikator kemiskinan yang ditetapkan menurut Badan Pusat Statistik adalah kemampuan seseorang dalam memenuhi khususnya kebutuhan pangan minimal sebesar 2.100 kalori/hari/orang atau sekitar Rp. 35.000 per kapita per bulan kemudian kemampuan memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar seperti pakaian, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,perumahan, rasa aman, partisipasi sosial politik, dll. Indikator dari BPS ini juga dipandang masih terlalu rendah karena pendapatan sebesar itu tentunya hanya “cukup“ untuk memenuhi kebutuhan “sangat dasar”. Dengan batas kemiskinan yang rendah ini, sangat dimaklumi jika banyak penduduk yang sebenarnya masih dalam kategori miskin, misalnya pendapatan Rp. 36.000 per kapita per bulan terangkat menjadi kelompok “tidak miskin” atau “agak miskin” (nearly poor).

Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa di daerah pedesaan tengah terjadi proses penurunan kemakmuran yang tampak dari sempitnya pemilikan lahan. Menurut data statistik dari BPS, dalam kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi penurunan luas tanah yang dimiliki petani dari 18,35 juta hektare menjadi 17,67 juta ha. Sejalan dengan itu, petani gurem yang memiliki lahan dibawah 0,5 ha melonjak dari 9,5 juta menjadi 10,9 juta keluarga. (Suharto, 1997: 74-76)


(32)

2.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan

Strategi kebutuhan dasar (basic needs) sebagaimana dikutip oleh Thee Kian Wie (1981:29), dipromosikan dan dipopulerkan oleh internasional labor organization (ILO) pada tahun 1976 dengan judul “Kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan dasar: suatu masalah bagi satu dunia”. Strategi kebutuhan dasar memang memberi tekanan pada pendekatan langsung dan bukan cara tidak langsung seperti melalui effek menetes kebawah (trickle down effect) dari pertumbuhan ekonomi yang Tinggi. Keseulitan umum dalam penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standart atau kriteria yang subjektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah, dan kelompok sosial. Disamping itu kesulitan penentuan seara kuantitatif oleh masing-masing komponen kebutuhan dasar yang dimiliki oleh komponen itu sendiri. Misalnya selera konsumen terhadap satu jenis makan atau komoditi lainnya.

Beberapa kelompok atau ahli telah mencoba merumuskan mengenai konsep kebutuhan dasar ini termasuk alat ukurnya. Konsep kebutuhan dasar yang dicakupa dalah komponen kebutuhan dasar dan karakterisktik kebutuhan dasar serta hubungan keduanya dengan garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen.

Kembali pada pengukuran kemisinan, menurut Ravallion (1998), ada tiga tahapan yang diambil dalam mengukur kemiskinan. Tiga tahapan ini mencakup:


(33)

2) Membangun standart minimum yang dapat diterima dari indikator tersebut untuk membagi penduduk menjadi miskin dan tidak miskin (sering dikenal dengan garis kemiskinan), dan

3) Membuat ringkasan statistic untuk memberikan informasi secara agregat mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi realtifnya terdapat standart minimum yang telah ditentukan.

Ukuran kemiskinan pada tingkat makro dapat memberikan gambaran kemiskinan rumah tangga menurut wilayah regional, provinsi, dan kota-desa. Untuk menetapkan rumah tangga sebagai kelompok sasaran program, seperti intervensi dan mengurangi dampak krisis, kriteria-kriteria infrastruktur pelayanan pemerintah dan fasilitas umum lainnya menurut karakteristik wilayah dan rumah tangga sangat penting untuk diperhatikan. Beberapa indikator untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin dapat dikembangkan berdasarkan karakteristik rumah tangga, termasuk indikator demografi, sosial ekonomi, dan indikator lainnya. Indikator-indikator ini pad aumumnya cocok untuk digunakan. Tetapi beberapa diantaranya hanya sesuai untuk kota atau desa.

Indikator ekonomi yang dapat digunakan untuk mendefinisikan rumah tangga miskin yaitu ciri-ciri pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan akses terhadap sumber/asset. (Pernia & Quibria, 1991). Untuk wilayah pesisir karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga adalah sebagai nelayan. Yang mana kehidupannya bergantung dengan hasil tangkapan laut.

Berdasarkan hasil penelitian Emil Salim pada tahun 1981 menjelaskan bahwa ciri-ciri orang miskin adalah sebagai berikut:


(34)

1) Mereka tidak memperoleh kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri tanpa bantuan dari luar.

2) Mereka yang hidup di daerah perkotaan masih berusia muda dan tidak didukung oleh keterampilan yang memadai

3) Tidak memiliki faktor produksi dan tidak mempunyai keterampilan yang cukup untuk memperoleh pendapatan yang layak

4) Tingkat pendidikan rendah, karena waktu mereka dihabiskan untuk bekerja dalam upaya untuk memperoleh pendapatan untuk tambahan penghasilan

5) Sebagian besar mereka tinggal di perdesaan, tidak memiliki tanah dan kalaupun ada sangat sedikit. Pada umumnya dari mereka bekerja sebagai buruh tani atau pekerja kasar yang dibayar rendah di sektor pertanian. 6) Kesinambungan kerja kurang terjamin karena mereka bekerja dalam usaha

apa saja di sektor informal.

Hasil penelitian World Bank oleh Don Chemichovsky dan Oey Astra Meesok dengan menggunakan data Susenas 1978 (Masfufah, 2000), menyatakan beberapa karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia antara lain:

1) Jumlah anggota rumah tangga banyak dengan kepala rumah tangga merupakan tulang punggung keluarga

2) Tingkat pendidikan anggota rumah tangga dan kepala rumah tangga rata-rata rendah

3) Pekerjaan saring berubah dan sebagian dari mereka mau menerima tambahan pekerjaan lain bila ditawarkan


(35)

4) Sebagian besar pengeluaran untuk mengkonsumsi makanan dengan persentase pengeluaran untuk karbohidrat paling besar

5) Sebagian besar pendapatan utamanya bersumber dari pertanian dan penguasaan tanahnya masih marginal

6) Kondisi rumahnya masih sangat memprihatinkan dalam hal penyediaan air bersih dan listrik untuk penerangan.

Karakteristik rumah tangga lain yang berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan yaitu jumlah anggota rumah tangga. Makin besar jumlah anggota rumah tangga akan makin besar pula risiko untuk menjadi miskin apabila pendapatannya tidak meningkat. Umur kepala rumah tangga juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan walaupun hubungannya tidak begitu jelas, akan tetai ada kecenderungan bahwa kepala rumah tangga tidak miskin lebih tua debandingkan rumah tangga miskin (Faturrokhman dan Molo, 1995)

Dalam Zulfahri (2002), Masri Singarimbun mencirikan kemiskinan sebagai suatu kondisi yang memenuhi ciri-ciri:

1) Pendapatan rendah 2) Gizi rendah

3) Tingkat pendidikan rendah 4) Keterampilan rendah 5) Harapan hidup pendek

Sedangkan Keban (1994) membagi menjadi tiga kelompok faktor penyebab kemiskinan rumah tangga yaitu:

1) Karakteristik individu kepala rumah tangga 2) Karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga


(36)

3) Karakteristik lingkungan

Dalam buku Dasar-dasar Analisis Kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2002) diuraikan karakteristik rumah tangga dan individu yang berkaitan dengan kemiskinan yang digolongkan menjadi tiga kelompok.

1) Karakteristik Demografi

a. Struktur dan ukuran rumah tangga. Indikator ini penting karena menunjukkan korelasi antara tingkat kemiskinan dan komposisi rumah tangga. Komposisi rmah tangga, dalam bentuk ukuran rumah tangga dan Karakteristik anggota rumah tangga (seperti umur), sering sangat berbeda untuk setiap rumah tangga miskin dan tidak miskin. Makin besar jumlah anggoa rumah tangga makin besar pula resiko untuk menjadi miskin apabila pendapatannya tidak meningkat.

b. Rasio ketergantungan (Dependency Ratio). Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga yang tidak berada dalam angkatan kerja (apakah muda atau tua) terhadap mereka yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Adapun hubungan antara rasio ketergantungan dengan tingkat kemiskinan adalah berkorelasi positif, dimana ketika rasio ketergantungan Tinggi maka tingkat kemiskinan akan semakin meningkat.

c. Gender kepala rumah tangga, secara umum telah diketahui bahwa jenis kelamin kepala rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan rumah tangga dan sering ditemui bahwa rumah tangga yang dikepalai wanita lebih miskin daripada yang dikepalai laki-laki.


(37)

Karakteristik ekonomi mencakup pekerjaan, pendapatan, pengeluaran konsumsi dan kepemilikan rumah tangga.

a. Ketenagakerjaan (Employment) rumah tangga. Ada beberapa indikator untuk menentukan ketenagakerjaan rumah tangga. Berdasarkan banyak indikator yang ditemukan, ekonom menitikberatkan pada partisipasi angakatan kerja, tingkat pengangguran terbuka, tingkat setengah pengangguran, dan perubahan jenis pekerjaan. Ketenagakerjaan berkaitan dengan pendapatan yang dapat diterima oleh penduduk atau rumah tangga. Apabila endapatan yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan minimum maka resiko untuk menjadi miskin lebih besar.

b. Pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting untuk dpertimbhangkan ketika menentukan karakteristik penduduk miskin. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah tingkat pendapatan dan juga distribusinya diantara anggota rumah tangga dan diantara berbagai kelompok sosial. Meskipun demikian, dalam prakteknya indikator pendapatan sering mengahdirkan masalah-masalah tertentu. Pendapatan sulit didefinisikan karena pendapatan mencakup banyak komponen, namun hanya beberapa komponen yang berkaitan dengan monete (misalnya, rumah tangga pertanian mengkonsumsi sebagian besar produksi sendiri)

c. Struktur pengeluaran dan konsumsi rumah tangga. Struktur pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat digunakan untuk mendirikan rumah tangga dengan memberikan gambaran pengeluaran makanan dan non makanan. Hal yang menarik yaitu mengukur penimbang relative dari barang-barang


(38)

dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga menurut tingkat kemiskinannya. Pengukuran ini memberikan beberapa indikasi berkaitan dengan dampak yang mungkin terjadi karena variasi harga terhadap daya beli rumah tangga. Kemudian dapat digunakan produk kebutuhan dasar, khususnya makanan, untuk mewakili bagian yang paling sgnifikan dari total pengeluaran penduduk miskin.

d. Kepemilikan rumah tangga. Kepemilikan rumah tangga mencakup barang –barang yang sangat besar jumlahnya (tanah, peternakan, perlalatan pertanian, bangunan, dan barang-barang tahan lama lainnya) dan asset finansial. Indikator tersebut menarik perhatian karena mencerminkan inventaris kekayaan rumah tangga dan dengan demikianmemperngaruhi arus pendapatan rumah tangga. Lebih lanjut, rumah tangga tertentu khususnya di wilayah perdesaan dapat menjadi miskin dalam hal pendapatan namun kaya ketika kepemilikan mereka dipertimbangkan. 3) Karakteristik Sosial

a. Kesehatan dalam rumah tangga. Empat jenis indikator yang umumnya digunakan untuk mencirikan kesehatan dalam menganalisis standar hidup rumah tangga meliputi status gizi, status penyakit, ketersediaan pelayanan kesehatan, dan penggunaan pelayanan-pelayanan kesehatan tersebut oleh rumah tangga miskin dan tidak miskin.

b Pendidikan. Tiga jenis indikator pendidikan yang umumnya diguakan dalam menganalisis standart hidup rumah tangga yang mencakup tingkat pendidikan anggta rumah tangga (angka melek huruf yang rendah), ketersediaan pelayanan pendidikan, dan penggunaan pelayanan tersebut oleh anggota dari rumah tangga miskin dan tidak miskin. Adanya


(39)

diskriminasi pelayanan pendidikan antara penduduk yang mampu dan tidak mampu membuat penduduk yang tidak mampu (miskin) akan semakin tertinggal tingkat pendidikannya.

c. Tempat tinggal. Kondisi tempat tinggal di evaluasi berdasarkan tiga komponen: perumahan, pelayanan, dan lingkungan. Indikator perumahan mencakup jenis bangunan (ukuran dan jenis bahan bangunan), kepemilikan tempat tinggal (sewa atau milik sendiri), dan perlengkapan rumah tangga. Indikator pelayanan menitikberatkan pada ketersediaan dan penggunaan air minum, jasa komunikasi, listrik, dan sumber energi lain. Terakhir, indikator lingkungan menekankan pada level sanitasi, tingkat isolasi (ketersediaan jalan yang dapat digunakan pada setiap saat, lamanya waktunya waktu tempuh dan tersedianya transportasi ke tempat kerja) dan tingkat keamanan personal. Secara umum terbentuk bahwa rumah tangga miskin hidup dalam kondisi yang lebih berbahaya (beresiko), lingkungan yang kurang higienis yang mempunyai kontribusi terhadap tingkat kesehatan yang rendah dan produktifitas anggota rumah tangga yang lebih rendah.

2.4 Potensi Wilayah Pesisir dan Kondisi Ekonomi Masyarakat Pesisir

Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daearan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan kea rah laut mencakup bagian laut yang masih dipengarui oleh proses alami terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti


(40)

penggundulan hutan dan pencemaran. Batasan diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat garis batas nyata wilayah pesisir. Batas tersebut hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Ditempat yang landau garis batas itu dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknnya untuk wilayah pantai yang terjal. Pengertian tersebut mengindikasikan terjadinya interaksi antar ekosistem perairan pesisir sehingga memunculkan kekayaan potensi habitat pesisir yang beragam. Namun demikian, kondisi hidup habitat pesisir seperti ini berpotensi mudah mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Menurut Dahuri et al. (1998), hingga saat ini masih belum ada definisi yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Kadir et al,. 2009: 2). Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).

Berdasarkan kedua pengertian diatas dapat adikatakan bahwa wilayah pesisir mempunyai dua karakteristik, yaitu sebagai wlayah pertemuan antara daratan dan lautan sebagai tempat hidup beragam ekosistem yang saling berinteraksi sehingga memungkinkan dapat diakses dengan mudah oleh aktivitas manusia. Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disebut masyarakat pesisir.

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan pesisir pantai. Karena masyarakat ini hidup dilingkungan pesisir pantai, maka masyarakat ini menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam yang ada dilaut. Pekerjaan masyarakat pesisir ini secara umum sebagai nelayan. Para nelayan ini ada yang menggunakan teknologi sederhana atau disebut nelayan


(41)

tradisional namun ada juga nelayan yang menggunakan teknologi yang berbeda yang disebut nelayan modern, hanya saja jumlahnya tidak banyak.

Pekerjaan lain yang ada di kawasan pesisir adalah sewa-menyewa kapal. Ada juga kalangan masyarakat pembuat garam. Pada umumnya ketergantungan masyarakat pesisir pada sektor kelautan menjadi kendala bagi masyarakat untuk berhasil keluar dari garis kemiskinan. Hal ini karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penghasilan masyarakat pesisir, sehingga pekerjaan ini tidak menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan para keluarga yang tergolong masyarakat pesisir. Inilah sebabnya dikatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki variasi hidup yang kompleks.

Selain menangkap ikan masyarakat pesisir juga mengolah kebun kelapa. Terutama karena didekat pantai biasanya pohon kelapa mudah tumbuh. Namun, jika memiliki tanah maka tanah tersebut dikelola secara optimal. Pada saat musim padi maka tanah akan berfungsi menjadi sawah dan pada saat yang lain tanah akan dikelola sebagai kebun. Selain itu, kolektifitas masyarakat maritime masih banyak sebagai pelayar dan pedagang antar pulau.

Cuaca ekstrem semakin memperburuk kehidupan nelayan. Kondisi ini praktis dialami oleh 2,34 juta nelayan perikanan tangkap laut di Indonesia. Data Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan, jumlah nelayan miskin saat ini 7,87 juta orang. Sekitar 25,14 persen dari penduduk miskin nasional.

Saat musim angin barat, mereka tidak bisa melaut. Mereka juga tidak bisa memaksimalkan jumlah hasil tangkapan karena keterbatasan peralatan. Sejak awal Desember mereka tidak bisa setiap hari melaut karena angin kencang. Dalam setiap harinya ia bahkan bisa hanya membaca pulang Rp. 5.000, padahal untuk


(42)

makan sekeluarga setidaknya butuh Rp. 50.000 per hari. (Kompas, 9 April 2012:01&15).

Adapun ciri-ciri yang dipantulkan komunitas atau masyarakat pesisir di Indonesia adalah:

1) Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tergantung pada alam laut. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap alam laut itu dalam bentuk fisik maupun emosional sesuai dengan kondisi alam yang mempengaruhinya. Masyarakat pesisir dengan demikian menggantungkan hidupnya dengan cuaca, iklim dan pergantian musim terutama masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan.

2) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumber daya energi yang murah dan konvensional untuk dapat menggali kekayaan alam laut yang merupakan tempat pencaharian kebutuhan hidup.

3) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada modal tunai untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk modal kegiatan pelayanan dan konsumsi.

4) Masyarakat pesisir sangat tergantung kepada pihak lain baik secara individu maupun berkelompok dalam sistem jaringan kerja, baik penangkapan ikan, jasa pelelangan ikan maupun terhadap para pemilik modal.

5) Masyarakat pesisir sangat membutuhkan program-program pemberdayaan yang dapat mengeluarkan masyarakat pesisir dari jerat kehidupan yang sangat tajam dan tidak mengenal kompromi. (Suwardi Lubis, 2010)

Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini


(43)

sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata..

Oleh karena itu sungguh ironi sekali dengan banyaknya potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir namun kondisi ekonomi masyarakat pesisir masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut Kusnadi (2002), perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup dikalangan masyarakat nelayan, telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan tidak mudah untuk diatasi.

Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat di hasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami


(44)

proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaha nelayan terhadap teknologi (Kusnadi, 2000).

Selain itu boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskinan nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi masyarakat miskin semakin lemah. Masalah pemasaran hasil tangkapan juga terkadang dapat merepotkan masyarakat pesisir. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.

Dengan demikian, masalah sosial ekonomi yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah:

a. Rendahnya tingkat pendidikan,

b. Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya, c. Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan

d. Kurangnya daya kreativitas, serta


(45)

Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai Negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan, bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat asset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut.

Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.

Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian


(46)

apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Sosial ekonomi masyarakat nelayan dilihat dari kehidupan masyarakat terkait dengan penambahan pendapatan hidup mereka untuk peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan. Jika mengkaji dari segi sosial budaya masyarakat nelayan, kita menilai kehidupan masyarakat terkait dengan budaya atau adat istiadat yang mereka miliki dalam kehidupan.


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian tentang analisis tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan ini menggunakan metode penelitian Deskriptif Kualitatif. Penelitian Deskriptif merupakan dasar bagi semua penelitian. Penelitian Deskriptif dapat dilakukan secara kuantitatif agar dapat dilakukan analisis statistik (Sulistyo-Basuki, 2006: 110).

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan di wilayah pesisir Kecamatan Medan Labuhan. Jadi penelitian ini dilakukan untuk meneliti tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan.

3.3 Batasan Operasional

Penelitian ini dibatasi dengan menganalisis bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang berdomisili di Kecamatan Medan Labuhan. Menurut Badan Pusat Statistkik (2005), indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.


(48)

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Sulistyo-Basuki (2006 :182) mengemukakan populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah data seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah pesisir Kec. Medan Labuhan.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap dapat mewakili dari populasi tersebut. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan subyektif peneliti yang berkaitan dengan tujuan penelitian (Soepeno, 1997).

Dalam penarikan sampel maka jumlahnya harus representatif untuk nantinya hasilnya bisa digeneralisasi. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka dalam penentuan jumlah sampel tersebut diambil dengan menggunakan rumus Slovin ( Umar, 2004 : 108 ), yaitu :

n = 2

1 Ne N

+

Keterangan: n = Besar Sampel

N = Jumlah Penduduk Kecamatan Medan Labuhan e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena

kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir ( tolerance degree of error sampling) yaitu 10 %.


(49)

n = 2 1 Ne

N

+

n = 2

) 1 , 0 ( 173 . 111 1 173 . 111 + jiwa

n =

) 01 , 0 ( 173 . 111 1 173 . 111 + jiwa

n = 99,91 = 100 orang

Dari perhitungan tersebut didapat hasil 99,91 orang, Dengan demikian sampel yang diambil dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 100 responden.

Penentuan jumlah sampel penelitian menggunakan teknik pengambilan sampel secara Teknik Simple Random Sampling yaitu suatu tipe sampling probabilitas, di mana peneliti dalam memilih sampel dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai anggota sampel. Dengan teknik semacam itu maka terpilihnya individu menjadi anggota sampel benar-benar atas dasar faktor kesempatan (chance), dalam arti memiliki kesempatan yang sama, bukan karena adanya pertimbangan subjektif dari peneliti. Teknik ini merupakan teknik yang paling objektif, dibandingkan dengan teknik-teknik sampling yang lain.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Dalam setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan pengumpulan data. Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini menurut Sulistyo-Basuki (2006: 147) meliputi:

1. Observasi nonpartisipan ( Pengamatan tidak terkendali)

Pada metode ini peneliti hanya mengamati, mencatat apa yang terjadi, dan juga melakukan aktifitas dokumentasi dengan cara


(50)

memanfaatkan dokumen (bahan dan foto-foto penting), seperti gambaran kehidupan, lingkungan, kondisi perumahan, sarana dan prasarana, dll. Metode ini banyak digunakan untuk mengamati pola kehidupan dan perilaku masyarakat pesisir secara langsung.

2. Kuesioner

Kuesioner adalah pertanyaan terstruktur yang diisi sendiri oleh responden atau diisi oleh pewawancara yang membacakan pertanyaan dan kemudian mencatat jawaban yang berikan (Sulistyo-Basuki, 2006: 110).

Pertanyaan yang akan diberikan pada kuesioner ini adalah pertanyaan menyangkut fakta dan pendapat responden, sedangkan kuesioner yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner tertutup, dimana responden diminta menjawab pertanyaan dan menjawab dengan memilih dari sejumlah alternatif. Keuntungan bentuk tertutup ialah mudah diselesaikan, mudah dianalisis, dan mampu memberikan jangkauan jawaban.

3. Wawancara terstruktur

Wawancara terstruktur adalah wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang sama diajukan kepada semua responden, dalam kalimat dan urutan yang seragam (Sulistyo-Basuki, 2006: 110).

Wawancara yang dilakukan meliputi identifikasi sebab-sebab yang mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan. Keuntungan metode ini adalah mampu memperoleh jawaban yang berkualitas.


(51)

Untuk data sekunder dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan cara memperoleh informasi melalui benda-benda tertulis, yang diperoleh dari berbagai sumber antara lain jurnal, skripsi, maupun buku-buku yang relevan dalam membantu menyusun penelitian ini, juga termasuk buku-buku terbitan instansi pemerintah. Insatansi yang dimaksud antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Daerah, Dinas Periakan dan Kelautan, dll. Data-data ini diharapkan dapat menjadi landasan pemikiran dalam melakukan penelitian.

3.6 Analisis Data

Dalam Penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif, dimana data yang dikumpulkan adalah hasil wawancara, kemudian dianalisis menggunakan indikator yang digunakan.

Menurut Badan Pusat Statistik, indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.


(52)

Tabel 3.1

Indikator keluarga sejahtera berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2005

No Indikator

Kesejahteraan

Kriteria Skor

1 Pendapatan Tinggi (> Rp. 10.000.000)

Sedang (Rp. 5.000.000-Rp.10.000.000) Rendah (< Rp. 5.000.000)

3 2 1

2 Konsumsi atau

pengeluaran Rumah Tangga

Tinggi ( > Rp. 5.000.000)

Sedang (Rp.1.000.000 – Rp. 5.000.000) Rendah ( < Rp. 1.000.000 )

3 2 1

3 Keadaan tempat

tinggal

Permanen (11-15) Semi Permanen (6-10) Non Permanen (1-5)

3 2 1 4 Fasilitas tempat tinggal Lengkap (34-44)

Cukup (23-33) Kurang (12-22)

3 2 1

5 Kesehatan anggota

keluarga

Bagus (<25 %) Cukup (25 % - 50 %)

Kurang (>50 % )

3 2 1 6 Kemudahan

Mendapatkan

pelayanan kesehatan

Mudah (16 – 20 ) Cukup ( 11- 15 ) Sulit ( 6 – 10 )

3 2 1 7 Kemudahan

memasukkan anak kejenjang pendidikan

Mudah (7 – 9 ) Cukup ( 5 - 6 ) Sulit ( 3 - 4 )

3 2 1 8 Kemudahan

mendapatkan fasilitas transportasi

Mudah (7 – 9 ) Cukup ( 5 - 6 ) Sulit ( 3 - 4 )

3 2 1 Kriteria untuk masing-masing klasifikasi sebagai berikut :

Tingkat kesejahteraan tinggi : Nilai skor 20 - 24 Tingkat kesejahteraan sedang : Nilai skor 14 – 19 Tingkat kesejahteraan rendah : Nilai skor 8 - 13 3.7 Definisi Operasional

1. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu yang di ukur dengan Indeks Pembangunan Manusia ( IPM )

2. Wilayah pesisir adalah wilayah yang berada di antara lautan dan daratan. 3. Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

Kecamatan Medan Labuhan adalah salah satu dari 21 Kecamatan di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Terletak di wilayah utara Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut :

• Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan.

• Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

• Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Medan Deli dan Kabupaten Deli Serdang.

• Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Medan Belawan Secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Medan Labuhan terdiri dari 6 (enam) kelurahan yaitu :

1. Kelurahan Besar 2. Kelurahan Martubung 3. Kelurahan Sei Mati 4. Kelurahan Nelayan Indah 5. Kelurahan Pekan labuhan 6. kelurahan Tangkahan

Wilayah kecamatan Medan Labuhan berdekatan dengan daerah pesisir (dekat dengan Belawan dan Deli Serdang), dimana. sebagian besar masyarakat pesisir terdapat di Kelurahan Nelayan Indah dan Kelurahan Pekan Labuhan.

Luas wilayah Kecamatan Medan Labuhan seluruhnya 40,68 km2. Kelurahan Sei Mati merupakan wilayah terluas yakni 12,870 km2 sedangkan wilayah kelurahan dengan luas terkecil adalah Kelurahan Pekan Labuhan yaitu seluas 3,605 km2.


(54)

Jumlah penduduk Kecamatan Medan Labuhan tahun 2010 berjumlah 111,173 jiwa, dimana penduduk terbanyak berada di Kelurahan Besar yakni sebanyak 33.706 orang dan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kelurahan Nelayan Indah yakni sebanyak 7.850 orang.

4.2 Hasil Penelitian

Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Responden merupakan masyarakat pesisir yang berada di Kecamatan Medan Labuhan. Hasil penelitian didapatkan melalui pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi di lapangan. Data dimaksud meliputi data karakteristik responden dan data indikator tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir.

4.2.1 Data Karakteristik Responden

Dari hasil pengumpulan data melalui daftar kuesioner yang dijawab atau diisi oleh responden, diperoleh gambaran karakteristik responden meliputi data tentang umur, pendidikan, pekerjaan dan jumlah tanggungan dalam keluarga. 4.2.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 100 responden diperoleh data distribusi karakteristik responden berdasarkan umur yang disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1

Data Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

No Umur Jumlah Responden Persentase (%)

1. 20 s/d 29 Tahun 6 6

2. 30 s/d 39 Tahun 22 22

3. 40 s/d 49 Tahun 49 49

4. 50 s/d 59 Tahun 19 19

5. 60 s/d 69 Tahun 4 4

Total 100 100


(55)

Sesuai data pada tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa kelompok umur responden berumur antara 40 s/d 49 tahun sebanyak 49 orang atau 49% dan berumur antara 60 s/d 69 tahun yaitu 4 orang atau 4%. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat di daerah ini berada pada usia produkif, atau jika diperlebar lagi maka pada umumnya masyarakat di daerah ini berkisar pada usia 30- 49 tahun yaitu sebanyak 71 responden sebaliknya untuk usia tidak produktif hanya 29 responden.

4.2.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Hasil penelitian terhadap 100 responden diperoleh distribusi data karakteristik responden berdasarkan pendidikan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2

Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah Responden Persentase (%)

1. SD/MI 33 33

2. SMP/Sederajat 35 35

3. SMA/Sederajat 29 29

4. D3/S1 3 3

Total 100 100

Sumber : Data Diolah

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa sebahagian besar responden berpendidikan SMP/Sederajat sebanyak 35 orang atau 35% dan diikuti yang berpendidikan SDM/MI sebanyak 33 orang atau 33%. Sedangkan kelompok berpendidikan D3/SI yaitu 3 orang atau 3%. Dari data di atas dapat kita simpulkan bahwa masyarakat di Kecamatan Medan Labuhan masih berada pada tingkat pendidikan yang rendah, hal ini dapat kita lihat dari tingkat pendidikan


(56)

68 responden sedangkan untuk tamatan SMA/sederajat dan D3/S1 hanya 32 responden.

4.2.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Untuk mengetahui distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.3

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah Responden Persentase (%)

1. Nelayan 81 81

2. Buruh/Tukang 7 7

3. Pedagang 2 2

4. Pengusaha 4 4

5. PNS 2 2

6. Pegawai Swasta 4 4

Total 100 100

Sumber : Data Diolah

Dari tabel 4.3. diatas jelas terlihat bahwa responden yang merupakan masyarakat pesisir pada umumnya bekerja sebagai nelayan yaitu sebanyak 81 orang atau 81% sedangkan responden dengan jenis pekerjaan pedagang dan PNS hanya sebahagian kecil saja yaitu masing-masing 2 orang atau 2%. Maka dapat kita simpulkan bahwa laut merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat pesisir di daerah ini dengan nelayan sebagai profesi utama masyarakatnya.

4.2.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan dalam keluarga yang harus dibiayai oleh responden berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel distribusi seperti tertera berikut ini.


(57)

Tabel 4.4

Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga

No Jumlah Tanggungan Jumlah Responden Persentase (%)

1. 2 orang 12 12

2. 3 orang 19 19

3. 4 orang 29 29

4. 5 orang 20 20

5. 6 orang 11 11

6. > 6 orang 9 9

Total 100 100

Sumber : Data Diolah

Dengan melihat tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa pada umumnya responden masing-masing memiliki 4 orang tanggunggan dalam keluarga yang harus dibiayai dengan jumlah responden sebanyak 29 responden atau 29%, sementara responden dengan jumlah tanggungan dalam keluarga lebih dari 6 orang hanya ada 9 responden atau 9% dari keseluruhan jumlah responden sebanyak 100 orang. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki jumlah tanggungan yang cukup besar. Jumlah tanggungan responden umumnya berkisar pada 3-5 orang yaitu sebanyak 68 orang. Tentu jumlah ini merupakan jumlah yang cukup besar.

4.2.2 Indikator Kesejahteraan Masyarakat Pesisir

Tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan ditentukan dengan mengacu kepada 8 (delapan) indikator kesejahteraan sesuai yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yakni terdiri dari : (1) jumlah pendapatan per bulan (2), jumlah pengeluaran rumah tangga per bulan, (3) kondisi tempat tinggal, (4) fasilitas tempat tinggal, (5) kesehatan anggota keluarga, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan (7), dan (8) kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.


(58)

Data indikator kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan diperoleh berdasarkan hasil penelitian terhadap 100 responden dengan menggunakan kuesioner, observasi lapangan dan wawancara dengan responden dan pihak-pihak terkait.

Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan data tentang indikator kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan yang disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar berikut ini.

4.2.2.1 Indikator Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan Jumlah

Pendapatan per Bulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 100 responden diperoleh data indikator kesejahteraan berdasarkan jumlah pendapatan per bulan yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.5

Data Indikator Pendapatan Per Bulan

No Pendapatan per bulan Jumlah Responden Persentase (%)

1. < Rp.1.000.000 (Rendah) 42 42

2. Rp.1.000.001 s/d Rp.5.000.000 (Sedang)

51 51

3. > Rp.5.000.001 (Tinggi) 7 7

Total 100 100

Sumber : Data Diolah

Dari data tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa pada umumnya responden memiliki jumlah pendapatan per bulan antara Rp.1.000.001 s/d Rp.5.000.000 dengan kategori “sedang” yaitu sebanyak 51 responden atau 51%, dan diikuti yang berpendapatan di bawah Rp.1.000.000 dengan kategori “sedang” sebanyak 42 responden atau 42%, sementara beberapa diantaranya dengan pendapatan per bulan di atas Rp.5.000.000 dengan kategori “Tinggi” adalah 7 orang atau 7%.


(1)

FAUZAN 1 1,0 1,0 31,0

FUAD 1 1,0 1,0 32,0

GATOT 1 1,0 1,0 33,0

HASAN BASRI 1 1,0 1,0 34,0

HERJEN 1 1,0 1,0 35,0

HERZAM ASLAN 1 1,0 1,0 36,0

IBRAHIM 1 1,0 1,0 37,0

IRHAM 1 1,0 1,0 38,0

ISHAK 1 1,0 1,0 39,0

ISMAIL 1 1,0 1,0 40,0

ISMANSYAH 1 1,0 1,0 41,0

IYAN 1 1,0 1,0 42,0

JALALUDDIN 1 1,0 1,0 43,0

JAMALUDDIN 1 1,0 1,0 44,0

JAMHUR 1 1,0 1,0 45,0

JUMIANTO 1 1,0 1,0 46,0

KHAIDIR 1 1,0 1,0 47,0

KHAIRULSYAH 1 1,0 1,0 48,0

KHAIRUMAN 1 1,0 1,0 49,0

LATIF YAN 1 1,0 1,0 50,0

M.HASBI 1 1,0 1,0 51,0

M.ILYAS 1 1,0 1,0 52,0

M.RAZALI 1 1,0 1,0 53,0

M.RISWAN 1 1,0 1,0 54,0

M.SYAFII 1 1,0 1,0 55,0

M.YUDI 1 1,0 1,0 56,0

M.YUSUF 1 1,0 1,0 57,0

M.ZUKRI 1 1,0 1,0 58,0

MAHMUD 1 1,0 1,0 59,0

MHD. HELBI 1 1,0 1,0 60,0

MHD.RIDWAN 1 1,0 1,0 61,0

MHD.RIZKI 1 1,0 1,0 62,0

MHD.YUNUS 1 1,0 1,0 63,0

MISWANTO 1 1,0 1,0 64,0

MULYADI 1 1,0 1,0 65,0

MUSTAFA 1 1,0 1,0 66,0


(2)

NUR QOLBI 1 1,0 1,0 68,0

RADON 1 1,0 1,0 69,0

RAHMAD 1 1,0 1,0 70,0

RIDHO ASRUL 1 1,0 1,0 71,0

RUSLAN 1 1,0 1,0 72,0

RUSLI 1 1,0 1,0 73,0

RUSMAN 1 1,0 1,0 74,0

SAFRULLAH 1 1,0 1,0 75,0

SAIDI AMRI 1 1,0 1,0 76,0

SAIFUL KAMAL 1 1,0 1,0 77,0

SAIFUL ROYAN 1 1,0 1,0 78,0

Sailan 1 1,0 1,0 79,0

SAMSUDDIN 1 1,0 1,0 80,0

SAYUTI 1 1,0 1,0 81,0

SOFIAN 1 1,0 1,0 82,0

SUGIARTOK 1 1,0 1,0 83,0

SUHERMAN 1 1,0 1,0 84,0

SUPARMAN 1 1,0 1,0 85,0

SYAHDAN 1 1,0 1,0 86,0

SYAHFUDDIN 1 1,0 1,0 87,0

SYAHRUM 1 1,0 1,0 88,0

TUKIMIN 1 1,0 1,0 89,0

UDIN 1 1,0 1,0 90,0

UMAR 1 1,0 1,0 91,0

USMAN 1 1,0 1,0 92,0

WARINO 1 1,0 1,0 93,0

WENDRA 1 1,0 1,0 94,0

YAHYA 1 1,0 1,0 95,0

ZUHRI 1 1,0 1,0 96,0

ZULFANSYAH 1 1,0 1,0 97,0

ZULFIKAR 1 1,0 1,0 98,0

ZULKARNAIN 1 1,0 1,0 99,0

ZULKIFLI 1 1,0 1,0 100,0


(3)

UMUR

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 20 s/d 29 Tahun 6 6,0 6,0 6,0

30 s/d 39 Tahun 22 22,0 22,0 28,0

40 s/d 49 Tahun 49 49,0 49,0 77,0

50 s/d 59 Tahun 19 19,0 19,0 96,0

60 s/d 69 Tahun 4 4,0 4,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

PENDIDIKAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SD/MI 33 33,0 33,0 33,0

SMP/Sederajat 35 35,0 35,0 68,0

SMA/Sederajat 29 29,0 29,0 97,0

D3/S1 3 3,0 3,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

PEKERJAAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Nelayan 81 81,0 81,0 81,0

Buruh/Tukang 7 7,0 7,0 88,0

Pedagang 2 2,0 2,0 90,0

Pengusaha 4 4,0 4,0 94,0

PNS 2 2,0 2,0 96,0

Pegawai Swasta 4 4,0 4,0 100,0


(4)

JLH.TANGGUNGAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 orang 12 12,0 12,0 12,0

3 orang 19 19,0 19,0 31,0

4 orang 29 29,0 29,0 60,0

5 orang 20 20,0 20,0 80,0

6 orang 11 11,0 11,0 91,0

> 6 orang 9 9,0 9,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

PENDAPATAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid < Rp.1.000.000 (Rendah) 42 42,0 42,0 42,0

Rp.1.000.001 s/d Rp.5.000.000 (Sedang)

51 51,0 51,0 93,0

> Rp.5.000.001 (TInggi) 7 7,0 7,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

PENGELUARAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid < Rp.1.000.000 (Rendah) 16 16,0 16,0 16,0

Rp.1.000.001 s/d Rp.5.000.000 (Sedang)

80 80,0 80,0 96,0

> Rp.5.000.001 (TInggi) 4 4,0 4,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

KONDISI.TEMPAT.TINGGAL

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Non Permanen 58 58,0 58,0 58,0


(5)

Permanen 8 8,0 8,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

FASILITAS.TEMPAT.TINGGAL

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Kurang 45 45,0 45,0 45,0

Cukup 37 37,0 37,0 82,0

Lengkap 18 18,0 18,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

KESEHATAN.KELUARGA

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Kurang 13 13,0 13,0 13,0

Cukup 50 50,0 50,0 63,0

Baik 37 37,0 37,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

KEM.MEND.YANKES

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Sulit 10 10,0 10,0 10,0

Cukup 47 47,0 47,0 57,0

Mudah 43 43,0 43,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

KEM.MEMA.ANAK.SKLH

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Sulit 18 18,0 18,0 18,0

Cukup 60 60,0 60,0 78,0

Mudah 22 22,0 22,0 100,0


(6)

KEM.MEND.FASTRANSP

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Sulit 20 20,0 20,0 20,0

Cukup 19 19,0 19,0 39,0

Mudah 61 61,0 61,0 100,0

Total 100 100,0 100,0

KATEGORI TINGKAT KESEJAHTERAAN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Rendah 53 53,0 53,0 53,0

sedang 42 42,0 42,0 95,0

tinggi 5 5,0 5,0 100,0