Penentuan Dosis Larutan Getah Buah Pepaya (Carica papaya L.) sebagai Pestisida Nabati Terhadap Hama Ulat Tanaman Cabai

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Uraian tumbuhan

2.1.1

Sistematika Tumbuhan
Tumbuhan pepaya memiliki sistematika sebagai berikut (BPOM, RI.,

2008):
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta


Class

: Dicotyledonae

Ordo

: Caricales

Familia

: Caricaceae

Genus

: Carica

Species

: Carica papaya L.


2.1.2

Morfologi Tumbuhan
Pepaya merupakan tanaman berbatang tunggal dan tumbuh tegak. Batang

tidak berkayu, bulat, silindris, berongga dan berwarna putih kehijauan. Tinggi
tanaman berkisar antara 5 - 10 meter dengan akar yang kuat. Tanaman pepaya
tidak mempunyai percabangan (Muktiani, 2011).
Ruas batang merupakan tempat melekatnya tangkai daun yang panjang,
berbentuk bulat dan berlubang. Daun pepaya berkumpul di ujung batang,
bertulang menjari dengan warna permukaan atas hijau tua, sedangkan warna
permukaan bawah hijau muda. Buah berbentuk bulat hingga memanjang
tergantung jenisnya, buah muda berwarna hijau sedangkan buah tua berwarna
jingga/kekuningan, buah berongga besar di tengahnya, tangkai buah pendek. Biji

6
Universitas Sumatera Utara

pepaya berwarna hitam dan diselimuti lapisan tipis (Muhlisah, 2007).
Ditinjau dari macam bunganya, pepaya digolongkan menjadi tiga, yaitu

pepaya jantan, pepaya betina dan pepaya sempurna. Pepaya jantan mudah dikenal
karena memiliki bunga majemuk yang bertangkai panjang dan bercabang. Bunga
pertama yang terdapat pada pangkal tangkai adalah bunga jantan. Bunga jantan ini
memiliki ciri-ciri putik atau bakal buah yang tidak berkepala karenanya tidak
dapat menjadi buah, sedangkan benang sari susunannya sempurna. Pepaya betina
hanya menghasilkan bunga betina, bakal buahnya sempurna dan tidak berbenang
sari, untuk dapat menjadi buah harus diserbuki bunga jantan dari luar. Pepaya
betina berbunga sepanjang tahun, buah bulat, bertangkai pendek. Pepaya
sempurna memiliki bunga yang sempurna susunannya, memiliki bakal buah dan
benang sari. Oleh karena itu pepaya sempurna dapat melakukan penyerbukan
sendiri (Rochmatul, 2003).
2.1.3

Deskripsi
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman berasal Meksiko bagian

selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan. Tanaman ini menyebar ke benua
Afrika dan Asia. Dari India, tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis
termasuk Indonesia di abad ke-17 (Setiaji, 2009). Pepaya tersebar hampir di
seluruh kepulauan yang dapat tumbuh di daerah basah hingga kering, dataran

maupun pegunungan dan pada ketinggian 1 - 1000 meter dari permukaan air laut
(BPOM, RI., 2010).
Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai
macam nama daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Maluku dan Papua, seperti kabaelo, pastelo, kates, kepaya, kalikih,
pisang patuka, gedang (BPOM, RI., 2010).

7
Universitas Sumatera Utara

Nama asing dari tanaman pepaya antara lain Inggris: papaya, paw paw.
Melayu: Betik, ketelah, kepaya. Vietnam: Du du. Thailand: Mala kaw. Pilipina:
Kapaya, lapaya. Cina: fan mu gua (Iman, 2009).
2.1.4

Getah Pepaya
Tumbuhan menghasilkan senyawa primer dan sekunder melalui lima jalur

biosintesis. Senyawa primer dan sekunder ini pada tumbuhan dalam bentuk yang
berbeda-beda. Getah merupakan salah satu senyawa primer yang dihasilkan

tumbuhan yang berupa suatu materi hasil fotosintesis dan keluar pada saat
tanaman mengalami luka. Getah biasanya berupa cairan kental berwarna putih
susu dan lengket dengan berat jenis 1,038 g/cm3, kadar air 82,02% dan kandungan
aktivitas proteolitiknya 307,8 MCU (Sabari, dkk., 2001). Pada umumnya seluruh
bagian tanaman mengandung getah, namun bagian tumbuhan yang paling banyak
mengandung getah adalah pada bagian buahnya (Kalie, 1996).
Getah memiliki fungsi yang beraneka ragam selain untuk pembentukan
buah dan bunga juga dapat dijadikan sebagai bentuk pertahanan bagi tumbuhan
dalam menghadapi lingkungan luar seperti suhu, kelembaban dan organisme
pengganggu tanaman (Kalie, 1996).
2.1.5 Kandungan Kimia Getah Pepaya
Getah pepaya mengandung berbagai enzim diantaranya adalah peptidase
A, peptidase B, papain, kimo papain, karikain, glisil hidrolase, glisil
endopeptidase (Azarkan, dkk., 1997) dan cystein protease (Konno, 2004). Selain
enzim terdapat lebih dari 50 asam amino yang terkandung dalam getah pepaya,
antara lain asam aspartat, asam glutamat, glisin, alanin, leusin (Konno, 2004).
Getah yang dihasilkan oleh tanaman pepaya memiliki kemampuan untuk
perlindungan dari organisme pengganggu tanaman yaitu sebagai penolak makan

8

Universitas Sumatera Utara

(Miller dan Strickler, 1984), racun kontak dan mengganggu fungsi fisiologis
serangga (Konno, 2004).
Getah pepaya sebagai penolak makan merupakan salah satu perlindungan
diri dari serangan serangga hama. Pengaruh penolakan makan ini karena adanya
senyawa-senyawa alkaloid, terpenoid, isoflavonoid dan asam amino nonprotein.
Miller dan Strickler (1984) melaporkan senyawa-senyawa tersebut mempengaruhi
syaraf pusat serangga yang mengatur proses makan secara langsung (intrinsik)
maupun tidak langsung (ekstrinsik).
Selain itu getah pepaya juga dapat mempengaruhi fungsi fisiologis
beberapa serangga. Menurut Konno (2004) sifat toksik getah pepaya pada
serangga dikarenakan adanya aktifitas cystein protease (papain, fisin dan
bromelin) yang berperan sebagai penghambat enzim protease pada tubuh
serangga.
2.1.6

Khasiat Tumbuhan
Tumbuhan pepaya hampir seluruh bagiannya memiliki khasiat. Daunnya


berkhasiat sebagai antibakteri, antimalaria, antijerawat, analgesik, antikanker dan
penambah

nafsu

makan

(Kalie,

1996).

Bunganya

berkhasiat

sebagai

antimutagenik (Fransisca, 2012) dan antibakteri (Iman, 2009). Bijinya berkhasiat
sebagai antibakteri (Martiasih, dkk., 2011) dan mengobati cacing kremi (Kalie,
1996). Akarnya juga berkhasiat sebagai antiinflamasi (Adjirni dan Saruni, 2006),

penyakit kencing batu dan gangguan saluran kencing (Kalie, 1996). Buah pepaya
yang masih mengkal memiliki efek menggugurkan kandungan, sedangkan buah
pepaya yang sudah matang berkhasiat untuk melancarkan gangguan sistem
pencernaan, dalam buah pepaya terdapat enzim papain sebagai enzim proteolitik,
yaitu enzim yang dapat mengurai dan memecah protein (Warisno, 2003).

9
Universitas Sumatera Utara

2.2

Enzim Papain
Enzim papain adalah enzim yang terdapat pada getah pepaya merupakan

jenis enzim proteolitik yaitu enzim yang mengkatalisa reaksi pemecahan rantai
polipeptida pada protein dengan cara menghidrolisa ikatan peptidanya menjadi
senyawa-senyawa lebih sederhana seperti dipeptida dan asam amino. Kualitas
getah sangat menentukan aktivitas proteolitik dan kualitas tersebut tergantung
pada bagian tanaman asal getah tersebut dan berdasarkan penelitian yang sudah
dilakukan bagian tanaman yang mengandung getah dengan kualitas aktivitas

proteolitik yang baik ada pada bagian buah, batang dan daun (Winarno, 1983).
Komposisi Getah Pepaya :
Nama

% Dalam Getah

BM

Papain

10

21.000

Kimopapain

45

36.000


Lisozim

20

25.000

Sumber : Winarno (1983).
Enzim papain termasuk enzim proteolitik dan enzimnya disebut protase.
Sifat kimia enzim protase tergantung dari jenis gugusan kimia yang terdapat
dalam enzim tersebut. Berdasarkan sifat kimia dan lokasi aktif enzim maka enzim
protease dibagi menjadi 4 golongan, yaitu (Whitaker, 1972) :
1. golongan enzim proteolitikserin artinya mempunyai gugusan serin dalam
posisi aktifnya. Enzim yang termasuk golongan ini adalah tripsin elastoal dan
kemotripsin.
2. golongan enzim proteolitik sulfihidril artinya mempunyai gugusan sulfihidril
pada posisi aktifnya. Enzim yang termasuk golongan ini adalah papain fisin
dan bromelin.
10
Universitas Sumatera Utara


3. golongan enzim proteolitik metal artinya yang keaktifannya tergantung adanya
metal dengan hubungan stoikiometri. Enzim yang termasuk golongan ini
adalah karboksipeptisida dan beberapa amino peptidase.
4. golongan enzim proteolitik asam artinya enzim yang posisi aktifnya terdapat
gugus karboksil. Enzim yang termasuk golongan ini adalah pepsin dan
proteasekapang.
2.2.1

Kualitas Enzim Papain
Kualitas papain sangat ditentukan oleh kekuatan atau kemampuan papain

untuk memecah protein. Kemampuan papain ini disebut aktivitas proteolitik
(Proteolytic activity) yang sering dinyatakan dengan satuan unit. Sehubungan
dengan metode analisanya maka dikenal beberapa macam satuan unit diantaranya
FCCU (Food Chemical Codex Units), MCU (Milk Clotting Units), CDU (Casein
Digestion Units), dan SU (Soxhlet Unit), namun metode yang paling sederhana,
mudah dan banyak digunakan dalam penelitian kualitas papain dalam
perdagangan dunia adalah Milk Clotting Units (Metode Penggumpalan Susu) yang
satuannya disebut MCU. Metode ini didasarkan pada waktu yang digunakan oleh
satuan berat papain untuk menggumpalkan satu satuan volume susu dalam suhu
tertentu (Muhidin, 2001).
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas enzim papain adalah :
1. Suhu
Suhu sangat mempengaruhi terhadap kualitas papain. Jika suhu terlalu
rendah papain yang dihasilkan kualitasnya rendah, jika terlalu tinggi papain
menjadi gosong dan kualitasnya turun. Suhu yang baik antara 55o C – 60oC (Sani,
2008).

11
Universitas Sumatera Utara

2. Waktu Pengeringan
Waktu pengeringan juga berpengaruh terhadap kualitas papain. Makin
lama waktu pengeringan makin kering papain yang dihasilkan. Dan waktu yang
baik adalah 8 jam (Sani, 2008).
3. Penambahan Sulfit
Untuk membuat enzim papain, bahan baku yang perlu disiapkan adalah
getah pepaya. Sementara bahan penolongnya air dan sulfit. Sulfit yang dapat
digunakan antara lain natrium bisufit,natrium metabisulfit. Air digunakan sebagai
pengencer. Sulfit digunakan sebagai bahan pengawet (Muhidin, 2001). Papain
adalah zat yang mudah rusak karena oksidasi udara baik yang terjadi selama
pembuatan maupun penyimpanan. Untuk menghindari kerusakan papain perlu
ditambahkan zat pengawet didalam pembuatan papain. Misalnya dapat dipakai
natrium bisulfit yang dapat dicampurkan pada getah baik sebelum atau sesudah
pengeringan. Konsentrasi yang baik adalah 0,7 % natrium bisulfit (Gema
penyuluhan pertanian, 1982). Dipilihnya sulfit sebagai bahan pengawet karena
sulfit dapat menghambat, menahan, atau memperlambat dekomposisi enzim
papain. Definisi ini meliputi penghambat microbia, antioksidan, bahan pengasam
dan pengikat.

2.3

Pestisida
Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama, baik insekta, jamur

maupun

gulma,

sehingga

pestisida

dikelompokkan

menjadi:

insektisida

(pembunuh insekta), fungisida (pembunuh jamur), dan herbisida (pembunuh
tanaman pengganggu/gulma). Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan
memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga

12
Universitas Sumatera Utara

digunakan di rumah tangga untuk memberantas nyamuk, lalat, kecoa, dan
berbagai serangga penganggu lainnya, akan tetapi pestisida ini secara nyata
banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup. Bermacam jenis pestisida
telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat
menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik
pada serangga. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka
penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan
bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (Djunaedy, 2009).
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari
tumbuhan yang berkhasiat mengendalikan serangan hama. Cara kerja pestisida
nabati sangat spesifik (Djojosumartono, 2004):
- merusak perkembangan telur, larva, dan pupa,
- menghambat pergantian kulit,
- mengganggu komunikasi serangga,
- menyebabkan serangga menolak makan,
- menghambat reproduksi serangga betina,
- mengurangi nafsu makan,
- memblokir kemampuan makan serangga,
- mengusir serangga, dan
- menghambat perkembangan patogen penyakit.
Pestisida alami merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman
baik dari daun, buah, biji, atau akar yang memiliki senyawa atau metabolit
sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu
(Djunaedy, 2009). Meskipun disebut ramah lingkungan, tidak berarti pestisida
alami memiliki daya racun (toksisitas) yang rendah. Beberapa jenis pestisida

13
Universitas Sumatera Utara

botani seperti nikotin, memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pestisida sintetis, terutama jika termakan. Dengan demikian penggunaan
pestisida alami juga perlu diperhatikan toksisitasnya terhadap organisme non
sasaran (Novizan, 2004).

2.4

Keracunan Pestisida
Disamping manfaat yang diberikan, pestisida juga sekaligus memiliki

potensi untuk dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Tercemarnya
tanah, air, udara dan unsur lingkungan lainnya oleh pestisida, dapat berpengaruh
buruk secara langsung maupun tidak langsung terhadap manusia dan kelestarian
lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan pada umumnya terjadi karena
penanganan pestisida yang tidak tepat dan sifat fisiko kimia pestisidanya
(Suprapti, 2011).
Bahan-bahan racun pestisida masuk ke dalam tubuh organisme (jasad
hidup) berbeda menurut situasi paparan. Mekanisme masuknya racun pestisida
tersebut dapat melalui melalui kulit luar, mulut dan saluran makanan, serta
melalui saluran pernapasan. Melalui kulit, bahan racun dapat memasuki pori-pori
atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh, terutama bahan yang larut minyak
(nonpolar). Keracunan ini menimbulkan gejala keracunan setelah waktu yang
relatif lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang
terkandung dalam tubuh. Racun ini juga apabila mencemari lingkungan
(air, tanah) akan meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak atau
dirubah menjadi zat yang tidak beracun karena kuatnya ikatan kimianya. Ada di
antara racun ini yang dapat dirombak oleh kondisi tanah tapi hasil rombakan
masih juga merupakan racun. Demikian pula halnya, ada yang dapat terurai di

14
Universitas Sumatera Utara

dalam tubuh manusia atau hewan tapi menghasilkan metabolit yang juga masih
beracun (Ngatidjan, 2006).
Pestisida yang diaplikasikan untuk memberantas suatu hama tanaman atau
serangga penyebar penyakit tidak semuanya mengenai tanaman. Sebagian akan
jatuh ke tanaman, atau perairan di sekitarnya, sebagian lagi akan menguap ke
udara, yang mengenai tanaman akan diserap tanaman tersebut ke dalam jaringan
kemudian mengalami metabolisme karena pengaruh enzim tanaman. Pestisida
yang diserap oleh tanah atau perairan akan terurai karena pengaruh suhu,
kelembaban, jasad renik dan sebagainya. Penguraian bahan pestisida tersebut
tidak terjadi seketika itu juga, melainkan sedikit demi sedikit. Sisa yang tertinggal
inilah yang kemudian diserap sebagai residu. Jumlah residu pestisida dipengaruhi
oleh suhu, kelembaban, jasad renik, sinar matahari, dan jenis dari pestisida
tersebut (Pohan, 2004).
Pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung akibat adanya
pencemaran pestisida akan mengganggu kualitas air, sehingga kelangsungan
hidup dan pertumbuhan ikan juga akan terganggu. Pengaruh secara langsung
disebabkan oleh akumulasi pestisida dalam organ-organ tubuh akibat tertelan
bersama-sama makanan yang terkontaminasi, atau akibat rusaknya organ-organ
pernafasan sehingga dapat mematikan ikan budidaya dalam jangka waktu tertentu,
sedangkan secara tidak langsung adalah menurunnya kekebalan tubuh terhadap
penyakit dan terhambatnya pertumbuhan ikan (Mega dan Abdulgani, 2013).

2.5

Hama Ulat

2.5.1

Klasifikasi Hama
Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

15
Universitas Sumatera Utara

Kingdom : Animalia
Class

: Insekta

Ordo

: Lepidoptera

Family

: Noctuidae

Genus

: Spodoptera

Spesies

: Spodoptera litura F.

2.5.2

Siklus Hidup
Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis

sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa dan imago.
Perkembangan ini relatif sangat singkat dari ngengat sampai imago.
2.5.3

Perilaku dan Fisiologi
Ulat grayak merupakan hewan noctural, yaitu aktif pada malam hari untuk

mencari makanan dan perilaku kawin untuk metamorfosis baru. Pada siang hari
mereka akan bersembunyi di dalam tanah. Hama ini biasanya

bersembunyi

ditempat yang lembab. Ulat ini digolongkan ke dalam serangga, sifat perilaku ini
bersifat herbivora yang penting dalam kaitanya dengan insektisida serangga dan
tanaman adalah tentang bagaimana langkah-langkah serangga dalam memberikan
tanggapan (respons) terhadap rangsangan (stimulus) dari tanaman sehingga
serangga herbivora datang dan memakan tanaman tersebut (Untung,1993).
Menurut Schmuttere (1990, dalam Melanie., 2002) aktifitas makanan
(antifeedant) serangga dapat terhenti disebabkan pengaruh zat kimia tertentu yang
menstimulasi kemoreseptor kemudian dilanjutkan pada sistem saraf pusat
serangga. Pada proses selanjutnya pengaruh zat dapat merusak jaringan tertentu
yaitu organ pencernaan, kelenjar penghasil enzim atau jaringan syaraf serangga.

16
Universitas Sumatera Utara

2.5.4

Peranan Ulat Grayak Sebagai Hama
Larva yang masih muda akan merusak daun dengan meninggalkan sisa-

sisa epidermis bagian atasnya saja, sehingga daun tersebut menjadi transparan
karena hanya tersisa tulang dan daunnya saja. Larva ini kemudian merusak tulang
daun dan kadang-kadang menyerang polong-polongan. Biasanya larva berada di
bawah permukaan daun dan menyerang secara serentak dan berkoloni atau
berkelompok (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 1985). Serangan berat
akan menyebabkan tanaman menjadi gundul karena daun dan buah akan habis
dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau
panjang dan akan menyebabkan defolisasi daun yang sangat berat.
Ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman
pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hama ini tersebar luas di daerah dengan iklim
panas dan lembab dari subtropis sampai daerah tropis.

2.6

Toksisitas
Toksisitas adalah daya racun yang berarti kemampuan suatu bahan atau zat

yang menyebabkan keracunan. Toksikan adalah bahan atau agent yang mampu
menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang akan menyebabkan
kematian. Beberapa toksikan yang disebutkan seperti pestisida, klorin, limbah
industri yang bersifat racun dan karsinogenik (Koeman, 1983).
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan
uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai
derajat bahaya sediaan uji tersebut

sehingga dapat ditentukan dosis

penggunaannya. Uji toksisitas menggunakan hewan uji berguna untuk melihat

17
Universitas Sumatera Utara

adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik terhadap suatu sediaan uji. Uji
toksisitas dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu
identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan (BPOM, RI., 2011).
Pengujian

toksisitas

konvensional

pada

hewan

coba

sering

mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis
untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga
kategori:
1. Uji toksisitas akut
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji
sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.
2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronis)
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia tersebut berulang-ulang,
biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih
10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk
anjing. Namun, beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek,
misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.
3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis)
Percobaan jenis ini mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama
3 - 6 bulan atau seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit dan 24
bulan untuk tikus. Memperpanjang percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak akan
bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik (Lu, 1994).
Pengujian toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji
toksisitas umum dan uji toksisitas khusus. Pengujian toksisitas umum meliputi
pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus

18
Universitas Sumatera Utara

meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, reproduksi, kulit, mata, dan
tingkah laku (Manggung, 2008).
Toksisitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari farmakologi
yang merupakan efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat. Toksisitas
suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu
organisme hidup. Pengetahuan mengenai bahan kimia dikumpulkan dengan
mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan,
pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan
kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium dan pemaparan bahan kimia terhadap
manusia (Retnomurti, 2008).
2.6.1

Lethal Concentration (LC50)
LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan

kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik
dan perhitungan. Berdasarkan waktu lamanya, metode penambahan larutan uji
dan maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut:
a) klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term
bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati jangka
panjang (long term bioassay). Klasifikasi menurut metode penambahan
larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay),
pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay).
b) klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas
air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta
daya tahan dan pertumbuhan organisme uji (Rossiana, 2006).

19
Universitas Sumatera Utara