T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Bebas terhadap Tindak Pidana Pembunuhan: Studi Kasus Putusan Nomor 1273Pid.B2013PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50PID2014PT.DKI Jo. Putusan No

BAB II KAJIAN TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

A. Kajian Teori

1. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

  Tindak pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pidana. Hukum pidana baru dapat diterapkan apabila seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana. Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda

  yaitu “strafbaarfeit”.

  “Strafbaarfeit” memiliki arti yaitu: 17

  “1) Delik (delict)

  2) Peristiwa pidana

  3) Perbuatan pidana

  4) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum

  5) Hal yang diancam dengan hukum

  6) Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan

  hukum

  7) Tindak pidana.” Menurut Pompe (Lamintang 2011:182) yang dimaksud

  dengan tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku

  17 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011, Hlm. 69 17 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011, Hlm. 69

  pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa

  pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. 19 Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh

  aturan hukum, dalam hal ini yaitu hukum pidana, dimana orang yang melanggar aturan hukum tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Adanya aturan hukum mengenai tindak pidana menjadi sangat penting karena dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pemberlakuan asas legalitas ditunjukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, yang dalam pembelajaran ilmu hukum sering juga disebut dengan nullum delictum nulla poena sine praevia poenali.

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

  Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat langsung dikenakan sanksi pidana. Hakim tidak bisa langsung serta-merta memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, terlebih dahulu

  18 P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, Hlm 182

  19 Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.Universitas lampung: Bandar Lampung, 2011. hlm .70 19 Tri Andrisman. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.Universitas lampung: Bandar Lampung, 2011. hlm .70

  terdiri dari: 20

  1) Suatu perbuatan manusia.

  2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

  undang-undang.

  3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

  dipertanggungjawabkan.

  Moeljanto juga menjabarkan unsur-unsur tindak pidana yang tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, yaitu unsur-

  unsurnya terdiri sebagai berikut: 21

  1) Perbuatan manusia

  2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang

  3) Bersifat melawan hukum

  Pada intinya, suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak pidana apabila telah memenuhi seluruh unsur-unsur tindak pidana, yaitu:

  1) Adanya perbuatan

  Terdapat dua jenis kategori perbuatan di dalam KUHP, yaitu melakukan suatu perbuatan dan tidak

  20 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, P.T. Raja Grafindo, 2011, hlm 48 21 Tri Andrisman, Op Cit., Hlm. 72 20 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, P.T. Raja Grafindo, 2011, hlm 48 21 Tri Andrisman, Op Cit., Hlm. 72

  2) Bersifat melawan hukum

  Sifat melawan hukum dalam tindak pidana dibagi menjadi dua, yaitu sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk) dan sifat melawan hukum materiil (materiel wedderrchtelijk). Yang dimaksud dengan sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang dilakukan telah memenuhi rumusan undang-undang, kecuali diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sedangkan menurut sifat melawan hukum materiil ialah belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang- undang bersifat melawan hukum, karena yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, Sifat melawan hukum dalam tindak pidana dibagi menjadi dua, yaitu sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk) dan sifat melawan hukum materiil (materiel wedderrchtelijk). Yang dimaksud dengan sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang dilakukan telah memenuhi rumusan undang-undang, kecuali diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sedangkan menurut sifat melawan hukum materiil ialah belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang- undang bersifat melawan hukum, karena yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis,

  3) Dapat dipertanggungjawabkan

  Seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila orang tersebut merupakan orang yang cakap

  hukum

  sehingga

  dapat dimintai

  pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukannya. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana dan terhadap pelakunya tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana, hal ini diatur di dalam Pasal 44 KUHP yaitu “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

2. Tindak Pidana Pembunuhan

a. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

  Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Buku Kedua Bab

  XIX Pasal 338 sampai Pasal 350 KUHP yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa. Pembunuhan adalah suatu tindakan

  22 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012, Hlm. 53 22 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012, Hlm. 53

  tersebut. 23

  Terdapat beberapa jenis tindak pidana pembunuhan, yaitu:

  1) Tindak pidana pembunuhan biasa ( Pasal 338

KUHP).

  2) Tindak pidana pembunuhan berencana ( Pasal 340

KUHP).

  3) Tindak pidana pembunuhan terhadap anak yang baru

  dilahirkan oleh ibunya sendiri ( Pasal 341 sampai pasal 342 KUHP).

  4) Kejahatan menghilangkan nyawa orang lain atas

  permintaan dari orang itu sendiri ( Pasal 344 KUHP).

  5) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong atau

  membantu orang lain melakukan bunuh diri ( Pasal 345 KUHP).

  23 P.A.F, Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, Hlm.1

  6) Kejahatan berupa kesengajaan untuk menggugurkan

  kandungan ( Pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP).

  Tindak pidana pembunuhan termasuk ke dalam kategori delik materiil yaitu perbuatan tersebut baru dapat dikatakan tindak pidana jika akibat dari perbuatan tersebut sudah terjadi. Dalam delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta halkeadaan lainnya) dengan tidak

  mempersoalkan akibat dari tindakan itu. 24 Sedangkan delik materiil merupakan delik yang baru dapat dianggap telah selesai

  dilakukan oleh pelakunya apabila timbul akibat yang dilarang (akibat konstitutif atau constitutief-gevolg) yang tidak

  dikehendaki oleh Undang-Undang. 25 Dengan kata lain, dalam delik formil suatu tindak pidana dianggap telah terjadi atau telah

  selesai apabila tindakan-tindakan yang dilarang oleh undang- undang telah terpenuhi tanpa memperhatikan ada atau tidaknya akibat dari perbuatan tersebut. Berbeda dengan delik formil, dalam delik materiil adanya akibat atau telah terjadinya akibat dari perbuatan tersebut merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikatakan tindak pidana atau tidak.

  24 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, Hlm 237

  25 P.A.F Lamintang, Loc. Cit.

b. Unsur-unsur Tindak Pidana Pembunuhan

  Terdapat dua jenis unsur dalam tindak pidana pembunuhan, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif ialah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku (niat dari pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut) dan unsur objekti ialah unsur yang berasal dari luar diri si pelaku. Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam pasal tersebut, terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatakan tindak pidana pembunuhan, yaitu:

  1) Barang siapa dengan sengaja (unsur subjektif)

  Unsur subjektif merupakan unsur yang timbul dari dalam diri pelaku sendiri. Barang siapa dengan sengaja menunjukan bahwa telah muncul niat dari dalam diri pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut dan pelaku mengetahui akibat yang akan timbul dari perbuatannya tersebut. Terdapat tiga jenis kesengajaan dalam hukum pidana, yaitu: Unsur subjektif merupakan unsur yang timbul dari dalam diri pelaku sendiri. Barang siapa dengan sengaja menunjukan bahwa telah muncul niat dari dalam diri pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut dan pelaku mengetahui akibat yang akan timbul dari perbuatannya tersebut. Terdapat tiga jenis kesengajaan dalam hukum pidana, yaitu:

  Sengaja sebagai maksud adalah apabila pelaku menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tersebut tidak mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya

  tidak akan terjadi. 26

  b) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian

  Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya itu bertujuan untuk mencapai akibat yang akan menjadi dasar dari tindak pidana, kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu

  mengikuti perbuatan itu. 27

  c) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan

  Sengaja dengan kesadaran kemungkinan adalah keadaan dimana pelaku yang bersangkutan pada waktu melakukan perbuatan itu untuk menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan

  26 Andi Hamzah. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta, 2008, Hlm. 116

  27 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Aditama, 2003, Hlm. 63 27 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Aditama, 2003, Hlm. 63

  Dalam Pasal 338 KUHP dikatakan “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain....” unsur kesengajaan disini ialah unsur sengaja sebagai maksud, yaitu pelaku telah mengetahui akibat dari perbuatannya dan pelaku menghendaki akibat tersebut sehingga kemudian pelaku melakukan tindak pidana pembunuhan.

  2) Merampas nyawa orang lain (unsur objektif)

  Merampas nyawa orang lain atau menghilangkan nyawa orang lain menunjukan bahwa untuk dapat dikatakan tindak pidana pembunuhan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut harus telah menunjukkan akibatnya yaitu hilangnya nyawa seseorang. Apabila perbuatan tersebut belum mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, perbuatan si pelaku itu masih tergolong dalam kategori percobaan pembunuhan dan terhadap pelaku tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana pembunuhan meskipun pada saat melakukan perbuatannya pelaku telah memiliki niat untuk membunuh korbannya.

  28 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm 18

  Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 29

  a) Adanya wujud perbuatan

  b) Adanya suatu kematian (orang lain)

  c) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal

  Verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).

3. Pembuktian

  Pembuktian dalam persidangan mempunyai peranan yang sangat penting, karena segala alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan akan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam membangun pertimbangannya. Pembuktian jugalah yang nantinya akan memberikan petunjuk bagi hakim untuk menentukan apakah seseorang memang benar telah melakukan tindak pidana atau tidak.

  “Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara – cara yang dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga

  merupakan kesatuan yang mengatur alat – alat bukti yang dibenarkan undang – undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang

  didakwakan 30 ”. Dalam proses pembuktian, Indonesia juga menggunakan empat

  prinsip pembuktian dalam persidangan pidana, yaitu:

  29 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, P.T.Raja Grafindo, 2010, Hlm. 57

  30 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, jakarta, Sinar Grafika, 2000.

  Hlm. 252 Hlm. 252

  “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

  b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 ayat (2) KUHAP)

  Prinsip ini diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau biasa disebut dengan istilah notoire feiten notorius (generally known). Lilik Mulyadi kemudian membagi

  notoire feiten ke dalam 2 golongan, yaitu: 31

  “1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum

  bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau semestinya demikian.

  2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang

  selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.”

  c. Satu saksi bukan saksi (Pasal 185 ayat (2) KUHAP)

  “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan

  31 Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung. Alumni. 2007. hlm. 199 31 Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung. Alumni. 2007. hlm. 199

  d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (4) KUHAP)

  “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Secara umum, terdapat beberapa teori pembuktian, yaitu: 32

  1) Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara

  positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie)

  Yaitu teori pembuktian yang mendasarkan pada alat- alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang.

  2) Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction

  Intime)

  Yaitu teori ini didasarkan pada pendapat bahwa pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan kebenaran, oleh karena itu bagaimanapun diperlukan juga keyakinan hakim.

  32 M. Haryanto, Loc.Cit

  3) Teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas

  alasan yang logis (Ia Conviction Rais Onnee)

  Yaitu Hakim memutuskan seseorang bersalah harus berdasarkan keyakinannya, keyakinan tersebut harus didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan- peraturan pembuktian tertentu.

  Beberapa teori lain mengenai pembuktian juga dijelaskan oleh Waluyadi dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian

  dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, yaitu: 33

  a. Conviction-in Time

  “Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat- alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.”

  b. Conviction-Raisonee

  Sistem conviction-raisonee pun, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam

  33 Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar Maju. 2004. Hlm. 39 33 Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar Maju. 2004. Hlm. 39

  c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke stelsel)

  “Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang- undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang- undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.”

  d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke stelsel)

  “Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut.”

  Sistem pembuktian yang dianut oleh di Indonesia adalah sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif (Negatiefe Wettelijke Bewijs Theorie), yaitu dalam pembuktian perkara pidana berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan

  Hakim 34 . Sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pada sistem pembuktian secara negatif diperlukan minimal 2 alat

  bukti yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan dari 2 alat bukti itulah hakim akan menentukan pertimbangannya. Alat bukti yang sah menurut Undang- Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

  a) Keterangan saksi

  b) Keterangan ahli

  c) Surat

  d) Petunjuk

  e) Keterangan terdakwa

a. Pe mb u kt i a n Me n u r u t Ah l i d a l a m P u t u s a n Mahkamah Konstitusi Nomor: 65PUU-VIII2010

  Menurut Prof. Dr. Edy O.S. Hiariej 35 Pembuktian dalam hukum pidana dimulai sejak tahap penyelidikan danatau

  penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh karena itu penyidik maupun penuntut dapat meminta keterangan saksi yang memberatkan mulai dari tahap

  34 M.Haryanto, Hukum Acara Pidana, Salatiga, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, 2007, Hlm. 86

  35 Putusan Mahkamah Konstitusi No.65PUU-VIII2010 Hlm. 45 35 Putusan Mahkamah Konstitusi No.65PUU-VIII2010 Hlm. 45

  Teori tersebut kemudian didukung oleh pendapat dari Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. 36 yang menjelaskan bahwa kekuatan

  pembuktian saksi yang diajukan oleh tersangkapenasehat hukumnya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang kuat dan sama dengan saksi-saksi lainnya asalkan memenuhi kualitas keterangan saksi yaitu bersifat netral dan objektif, keterangan yang diberikan berdasarkan apa yang ia alami danatau ia lihat danatau ia dengar sendiri yang diberikan di bawahdi atas sumpah. Perbedaannya terletak kepada sifat pembuktiannya, yaitu pembuktian yang bersifat negatif. Maksudnya, keterangan kesaksian atau alat bukti yang diajukan tersebut membuktikan sebaliknya, yakni membuktikan bahwa tidak dipenuhinya unsur- unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya.

  Tujuan dipanggil serta diperiksanya saksi baik saksi memberatkan maupun meringankan dari sejak dari tahap penyelidikan ialah untuk memastikan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana. Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal asas praduga tak bersalah yang dimana asas ini juga diberlakukan pada saat tahap pembuktian. Menurut Dr. Chairul

  36 Putusan Mahkamah Konstitusi No.65PUU-VIII2010 Hlm. 51

  Huda 37 , pelaksanaan asas praduga tak bersalah dalam pembuktian perkara pidana mengharuskan pembuktian telah

  terjadi tindak pidana dan seorang telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut, berdasarkan bukti-bukti yang tidak menimbulkan keraguan sedikitpun (beyond the reasonable doubt), yang diperoleh secara sah.

b. Macam-Macam Alat Bukti

  1) Keterangan Saksi

  Keterangan saksi adalah berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka

  27 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri”. Akan tetapi pengertian keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan tidak berhenti sampai disini saja. Keterangan saksi dalam persidangan baru dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat

  37 Putusan Mahkamah Konstitusi No.65PUU-VIII2010 Hlm. 53 37 Putusan Mahkamah Konstitusi No.65PUU-VIII2010 Hlm. 53

  

  Terdapat 3 jenis saksi dalam persidangan pidana, yaitu saksi A Charge atau saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, saksi A De Charge atau saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa, serta yang terakhir ialah saksi mahkota yang diatur dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437 KPid.Sus2011, definisi saksi mahkota ialah sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota.

  Dalam Putusan MK 65PUU-VIII2010, Majelis Hakim Konstitusi menambahkan 1 jenis keterangan saksi yaitu keterangan saksi yang tidak mendengar, melihat, atau mengalami secara langsung suatu peristiwa atau sering disebut “testimonium deauditu”. Akan tetapi,

  testimonium deauditu dalam Putusan MK a quo lebih ditekankan kepada saksi A De Charge atau saksi yang meringankan, hal ini bertujuan untuk tidak membatasi atau bahkan menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan. Namun, tidak seluruh keterangan saksi testimonium deauditu dapat dijadikan sebagai alat bukti. Keterangan saksi testimonium deauditu baru dapat dijadikan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK 65PUU-VIII2010 ialah apabila keterangan saksi tersebut memiliki keterkaitan dengan terdakwa pada saat terjadinya tindak pidana atau keterangan tersebut dapat membuktikan dan kemudian menjadi alibi bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana.

  Hakim memiliki kebebasan untuk menilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi. Akan tetapi, kebebasan penilaian hakim disini ialah kebebasan yang harus dapat dipertanggungjawabkan dan bukan merupakan tindakan kesewenang-wenangan hakim.

  2) Keterangan Ahli

  Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP dijelaskan bahwa “Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

  diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Dari pengertian itu maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam suatu bidang tertentu, yang dalam hal ini, berkaitan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Seorang ahli dalam memberikan keterangan sesuai dengan bidangnya di suatu persidangan haruslah berada di bawah sumpah sesuai dengan syarat sahnya alat bukti keterangan ahli. Keterangan ahli sebagai alat bukti adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli secara lisan di depan persidangan. Apabila seorang ahli di bawah sumpah telah memberikan keterangan tertulis di luar persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan

  alat bukti surat. 38

  3) Surat

  Surat adalah kertas yang bertuliskan buah pikiran atau perasaan seseorang. Karakteristik surat yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 187 KUHAP yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Dengan kata lain, surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah

  38 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga, 2012, Hlm.106-107 38 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga, 2012, Hlm.106-107

  a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang

  dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

  b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan

  perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

  c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat

  pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

  d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

  hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

  4) Petunjuk

  Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu

  tindak pidana dan siapa pelakunya. 39 Menurut Pasal 188 ayat (3) KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari

  suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim disini ialah pemeriksaan yang dilakukan selama persidangan, maka dengan kata lain penilaian hakim terhadap petunjuk yang dilakukan diluar persidangan tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian dalam pertimbangan hakim.

  5) Keterangan Terdakwa

  Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Keterangan terdakwa tidak harus selalu berbentuk pengakuan terdakwa atas perbuatan yang

  39 Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

  dilakukannya, keterangan terdakwa juga dapat berupa penyangkalan dari terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Keterangan terdakwa baru dapat dikatakan alat bukti apabila keterangan yang ia berikan dalam persidangan tersebut merupakan keterangan atas perbuatan yang ia lakukan sendiri, apa yang ia ketahui sendiri, dan apa yang ia alami sendiri. Sesuai dengan prinsip pembuktian yang dijelaskan dalam Kedudukan keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri meskipun keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan merupakan pengakuan terdakwa bahwa ia memang melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan tersebut, meskipun berupa pengakuan dari terdakwa, tetap harus didukung oleh alat bukti lainnya yang menunjukkan bahwa memang terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hal ini sesuai dengan prinsip pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

4. Teori Pertimbangan Hakim

  Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka 8 KUHAP) . Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka 8 KUHAP) . Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,

  “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”.

  Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu:

  a. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

  b. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

  c. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

  d. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa d. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

  e. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.

  Sebagai bentuk akhir dari proses mengadili, hakim kemudian mengeluarkan produk hukum yaitu putusan. Putusan hakim, dalam perkara pidana, adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan

  penyelesaian perkaranya. 40

  Putusan hakim berisi pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan proses pemeriksaan fakta dan bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Seorang hakim apabila ingin menjatuhkan putusan yang baik dalam memberikan pertimbangannya harus berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan dan juga harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku tanpa terkena pengaruh atau intervensi dari pihak-pihak luar.

  40 Lilik mulyadi. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia .Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2014. Hlm.131

  Tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana dalam suatu putusan hakim adalah untuk mencegah masyarakat melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, dengan adanya penjatuhan sanksi pidana tersebut diharapkan masyarakat akan merasa takut untuk melakukan tindak pidana. Adapun tujuan lain dari penjatuhan sanksi pidana dalam suatu putusan adalah untuk membuat efek jera terhadap pelaku tindak pidana sehingga mereka tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

  Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dikatakan “Kekuasaan kehakiman merupakan

  kekuasaan yang

  merdeka untuk

  menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan

  menegakkan hukum. 41 Hakim memiliki kebebasan untuk memberikan pertimbangan dan menjatuhkan suatu putusan pengadilan sesuai

  dengan kewenangannya. Kebebasan hakim dalam memberikan pertimbangan dan menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan dan segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun

  41 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Hlm. 34

  1945. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu: 42

  a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.

  b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.

  c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

  Akan tetapi, kebebasan dalam konsep kekuasaan hakim bukanlah suatu kebebasan mutlak. Kebebasan disini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan seorang hakim terbagi dalam dua jenis yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan sosial hakim. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada profesi hakim kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat

  putusan pengadilan. 43 Sementara itu, kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan

  sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita. 44

  Meskipun diberi kebebasan, namun dalam memberikan pertimbangan seorang hakim juga harus melihat pada hasil

  42 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm . 104

  43 H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012,

  Hlm. 170

  44 Ibid., Hlm. 171 44 Ibid., Hlm. 171

  yang meliputi perbuatannya tersebut. 45 Sosok hakim seringkali dianggap sebagai sosok wakil Tuhan di bumi, karena hakim

  merupakan tempat akhir bagi masyarakat yang ingin mendapatkan penyelesaian atas masalahnya dan juga merupakan tujuan akhir bagi masyarakat yang ingin mencari dan mendapatkan keadilan yang hakiki. Oleh karena itu, meskipun hakim mempunyai kebebasan untuk memberikan pertimbangan dan menjatuhkan putusan sesuai dengan keyakinannya, akan tetapi dalam melakukan tugasnya seorang hakim tidak boleh berpihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta

  nilai-nilai kemanusian. 46 Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 47

  a. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis

  “Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor- faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:

  1) Dakwaan jaksa penuntut umum

  2) Keterangan saksi

  3) Keterangan terdakwa

  4) Barang-barang bukti

  5) Pasal-Pasal dalam Undang-Undang.”

  45 Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, Hlm. 63

  46 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya

  Bhakti, 1996, Hlm. 2

  47 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT.

  RajaGrafindo Persada, 2012, Hlm. 125 RajaGrafindo Persada, 2012, Hlm. 125

  Selain pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu:

  1) Akibat perbuatan terdakwa

  2) Kondisi diri terdakwa.” Pada dasarnya, terdapat beberapa teori pendekatan yang digunakan oleh hakim di dalam pertimbangannya, yaitu: 48

  a. Teori Keseimbangan

  “Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan

  dan berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.”

  b. Teori Pendekatan Intuisi

  “Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi, dalam menjatuhkan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.”

  c. Teori Pendekatan Keilmuan

  ”Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara

  48 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar

  Grafika, 2011, hlm. 105-112 Grafika, 2011, hlm. 105-112

  

  d. Teori Pendekatan Pengalaman

  “Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagai mana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban, maupun masyarakat.”

  e. Teori Ratio Decidendi

  “Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih relevan dengan pokok perkara yang di sengketakan sebagai dasar hukum dalam

  penjatuhan

  putusan, serta

  pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan.”

  Namun, tugas hakim dalam mengadili seseorang tidak hanya semata-mata memberikan pertimbangan dalam putusannya. Seorang hakim, sebelum menjatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap,

  haruslah benar-benar melihat dari fakta-fakta yang dihadirkan dalam persidangan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana, serta apakah pidana yang dijatuhkan telah tepat jika memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana. Hal ini bertujuan agar hakim pada saat menjatuhkan putusan dalam persidangan, putusan tersebut kemudian dapat menjadi putusan yang tepat sesuai dengan peraturan perundangan dan juga agar putusan tersebut dapat menciptakan keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam suatu perkara.

B. Hasil Penelitian

1. Fakta Persidangan

a. Kasus Posisi

  Pada hari Minggu, tanggal 30 Juli 2013, sekitar jam 10.00 WIB, terdakwa 1 Andro Supriyanto als. Andro dan terdakwa 2 Nurdin Prianto als. Benges baru saja pulang ke Cipulir setelah malam sebelumnya para terdakwa bermalam di rumah kerabatnya (rumah saksi Fransiska als Mak Parung) di Parung. Para terdakwa ketika sampai di bawah kolong jembatan Cipulir melihat korban di bawah kolong jembatan Cipulir terluka parah dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian Pada hari Minggu, tanggal 30 Juli 2013, sekitar jam 10.00 WIB, terdakwa 1 Andro Supriyanto als. Andro dan terdakwa 2 Nurdin Prianto als. Benges baru saja pulang ke Cipulir setelah malam sebelumnya para terdakwa bermalam di rumah kerabatnya (rumah saksi Fransiska als Mak Parung) di Parung. Para terdakwa ketika sampai di bawah kolong jembatan Cipulir melihat korban di bawah kolong jembatan Cipulir terluka parah dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian

  

  Siangnya, pada saat para terdakwa selesai mengamen dan kembali ke kolong jembatan Cipulir, para terdakwa menemukan korban telah meninggal dunia, lalu terdakwa 1 yaitu Andro Supriyanto bersama dengan dua saksi lainnya melaporkan kepada anggota polisi (saksi Jaidi Pendi) yang pada saat itu sedang keliling menjalankan tugas BIMAS dan hendak mampir di Pasar Cipulir sekitar pukul 13.00 WIB, karena merasa curiga dengan penjelasan terdakwa yang lancar dan kompak kemudian saksi Jaidi Pendi sengaja menahan dan mengajak ngobrol terdakwa hingga petugas Polsek dan Polres datang. Setelah petugas Polsek dan Polres datang, saksi Jaidi Pendi kemudian menyerahkan terdakwa Andro dan mengatakan bahwa terdakwa adalah saksi kunci, setelah itu terdakwa kemudian dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi sedangkan korban dibawa ke Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RSUP

  Fatmawati untuk kemudian dilakukan pemeriksaan visum et repertum yang dimana hasil Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Andriani SpF Dokter ahli forensik pada Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RSUP Fatmawati Jln RS Fatmawati Cilandak Jakarta Selatan tanggal 05 Juli 2013 tanggal nomor : HK.05.01II.19192013 Atas nama mayat DICKY MAULANA tersebut, dengan kesimpulan bahwa pememeriksaan mayat seorang laki- laki berumur lebih kurang tujuh belas tahun, ditemukan luka terbuka pada dada kiri bawah depan sedalam Sembilan belas koma lima sentimeter yang menembus lambung dada hati serta pendarahan sebanyak 700 cc akibat kekerasan tajam (tusuk) yang menyebabkan kematian, perkiraan saat kematian adalah kurang dari dua putuh empat jam dari saat pemeriksaan jenazah.

  Pada saat pemeriksaan di kepolisian, para terdakwa dan beserta saksi mahkota lainnya yaitu Fikri Pribadi, Bagus Firdaus, Fatahillah, Arga Putra Samosir, yang sebelumnya berstatus sebagai saksi mengatakan bahwa malam sebelum nya terdakwa ada di Parung di rumah emak waktu itu bersama Nurdin dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya. bersama- sama dengan Andro, Bagus, Fatahillah, Fikri, Ucok dan OKI melihat seorang pria di bawah kolong jembatan Cipulir terluka parah dengan banyak bekas sayatan pisau dan golok pada bagian wajah, pelipis, leher dan belakang telinga dan terdakwa bersama

  teman-teman berniat menolong tetapi polisi tidak percaya. Pada saat pemeriksaan para terdakwa mengaku dipukuli, disetrum, dan diminta mengaku bahwa para terdakwa telah membunuh korban hingga akhirnya para terdakwa mengaku karena sudah tidak tahan dipukuli. Namun keterangan para terdakwa dan saksi mahkota dalam pemeriksaan tersebut dicabut pada saat para terdakwa dan saksi memberikan keterangan di pengadilan, para terdakwa mengatakan bahwa pada saat pemeriksaan di kepolisian dan di BAP mereka terpaksa mengaku karena takut disiksa lagi.

  Pada saat persidangan, penasehat hukum para terdakwa mendatangkan saksi alibi yaitu saksi Fransiska als Mak Parung yang memberikan keterangan bahwa pada malam sebelum ditemukannya korban, para terdakwa bermalam di rumahnya dan baru pulang ke Cipulir keesokan harinya dan penasehat hukum juga mendatangkan saksi Iyan Pribadi yang memberikan keterangan bahwa saksi mengetahui perkara ini karena para terdakwa tidak pernah melakukannya karena yang melakukan adalah teman saksi yang bernama Jubay dan Brengos.

b. Hasil Pemeriksaan Saksi

  1) Saksi dari Jaksa Penuntut Umum:

  a) Saksi Rasma dan Saksi Dominggus Ie Manu (anggota kepolisian Polda Metro Jaya):

  - Bahwa saksi tidak kenal dengan para Terdakwa - Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik

  dan keterangan yang diberikan dalam Berita Acara Pemeriksaan adalah benar dan tidak ada perubahan.

  - Bahwa saksi tidak pernah ikut serta

  memeriksa para Terdakwa - Saksi mendengar pengakuan dari para

  terdakwa yang membunuh korban adalah para terdakwa ketika terdakwa diperiksa bersama temannya yang lain dan mendapatkan informasi bahwa pelakunya adalah para terdakwa dari penyidik.

  - Bahwa berdasarkan pengakuannya terdakwa

  andro menusuk di bagian rusuk dan terdakwa Nurdin menusuk bagian leher alat yang di gunakan pisau lipat.

  - Bahwa ketika di lakukan pemeriksaan di

  tempat kejadian di ketemukan sebilah golok bergagang kayu dan potongan kayu dan saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan kepadanya berupa golok dan sebilah kayu ada pada tempat kejadian.

  b) Saksi Jaidi Pendi dan saksi Dwi Kusmanto (anggota Polsek Kebayoran Lama):

  - Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan

  para Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga.

  - Ketika saksi berada di atas jembatan Cipulir

  datang 3 orang kepada saksi termasuk terdakwa Andro yang melaporkan ada mayat laki-laki di bawah jembatan..

  - Bahwa saksi pernah di periksa di penyidik

  daan semua keterangan yang di muat di berita penyidikan betul semua.

  - Bahwa terdakwa Andro bersama 2 temannya

  yang saat itu masih berstatus sebagai saksi di bawa ke Polsek Kebayoran Lama selanjutnya saksi di perintahkan terdakwa dan 2 orang temannya tersebut di bawa ke Polda dan saksilah yang mengantarkan setelah itu saksi tidak mengetahui perkembangan selanjutnya karena kejadian tersebut telah di tangani oleh Polda.

  - Bahwa saksi tidak pernah melihat

  pengeroyokan dan pembunuhan terhadap korban karena saat tiba di TKP sudah meninggal.

  c) Saksi Fikri Pribadi, Saksi Bagus Firdaus als PAU, Saksi Fatahillah als FATA, dan Saksi Arga Putra Samosir als UCOK: - Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa

  tetapi saksi tidak ada hubungan keluarga. - Bahwa saksi tidak kenal dengan korban. - Bahwa saksi pernah diperiksa oleh Penyidik

  namun keterangan yang diberikan dalam Berita Acara Pemeriksaan Penyidik tidak benar.

  - Bahwa keterangan yang saksi sampaikan di

  penyidik pada intinya para terdakwa melakukan pengeroyokan dengan cara menusuk korban dengan memakai pisau lipat.

  - Bahwa keterangan yang diberikan di depan

  Penyidik hanya karangan karena saksi takut disiksa lagi.

  keterangan disiksa oleh petugas Polisi dengan cara dipukul, diinjak, ditendang, dan dipaksa untuk mengaku kalau melakukan pembunuhan terhadap korban.

  - Bahwa saksi Ucok dan saksi Fata sebelum

  hari kejadian saksi menginap di Parung hari kejadian saksi menginap di Parung

  - Bahwa saksi bersama-sama dengan Nurdin,

  Fata, Ucok, Fata, Fau, Fauzan, Oky serta terdakwa Andro melihat korban DICKY MAULANA dan masih dalam keadaan hidup.

  d) Saksi Jubirin Ginting , SH, dan Saksi Suhartono, SH (saksi verbalisan): - Bahwa saksi sebelumnya tidak kenal dengan

  para terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga.

  - Bahwa saksi adalah anggota polisi yang

  bertugas memeriksa terdakwa Nurdin dan Andro serta saksi Ucok, saksi Fikri Pribadi dan saksi Fataillah.

  - Bahwa para terdakwa diperiksa di ruang

  pemeriksaan yang terbuka secara bersama- sama dengan terdakwa lainnya namun oleh petugas pemeriksa yang berbeda.

  - Bahwa selama pemeriksaan, Terdakwa tidak

  ditekan, tidak dipaksa ataupun diarahkan oleh yang memeriksa dan tidak ada tindakan kekerasan maupun penyetruman.

  - Bahwa Terdakwa memberikan keterangan

  sendiri secara bebas dengan cara saksi mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh Terdakwa.

  - Bahwa Terdakwa sebelum membubuhkan

  cap jempol, dibacakan dulu keterangan yang sudah diberikan.

  - Bahwa waktu di beriksa terdakwa mengakui

  perbuatannya dan saksi rekam. - Bahwa dalam pemeriksaan para terdakwa

  mengaku telah melakukan penusukan.

  2) Saksi dari Penasehat Hukum:

  a) Saksi Ustadzi Wasis: - Bahwa terdakwa kenal dengan para terdakwa

  sebagai teman tetapi tidak ada hubungan keluarga.

  - Bahwa saksi tidak kenal dengan korban - Bahwa saksi bertemu Dicky Maulana pada

  tanggal 30 JUNI 2013 bersama-sama dengan Dede Setiawan, Chaerul Hamzal als BRENGOS, Mardiyanto als Iyan Jubaidi alis Jubai.

  - Bahwa saksi pernah mendengar kalau Dicky

  dibunuh dari mulut Iyan yang cerita kalau Dicky dibunuh oleh mereka bertiga Brengos dan Jubai.

  - Bahwa saksi tidak lapor ke Polisi kalau

  Brengos, Iyan, dan Jubai yang melakukan pembunuhan terhadap Dicky karena takut.

  b) Saksi Rere Septiani, dan Saksi Fransiska als Mak Parung:

  - Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa

  sebagai teman tetapi tidak ada hubungan keluarga.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5