IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN CHILDREN. docx

1

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN CHILDREN LEARNING IN
SCIENCE (CLIS) BERBANTUAN SWISHMAX UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP
FISIKA SISWA KELAS X SMAN 3 MALANG
Aurora Kumala cahyaningtyas (1)
Asim (2)
Dwi Haryoto (3)
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang No.5, Telp. (0341) 551-312
(1)
e-mail: ay_nazhwha@yahoo.com
(2) & (3)
Dosen Fisika Universitas Negeri Malang
ABSTRAK: Berdasarkan hasil observasi di kelas X-5 SMAN 3
Malang, siswa masih kesulitan untuk memahami materi yang
diberikan guru. Siswa juga jarang mengemukakan gagasan
sehingga proses pembelajaran hanya sebatas transfer of knowledge
dari guru ke siswa. Ada banyak model pembelajaran, salah satunya
adalah Children Learning in Science (CLIS) yang berfokus pada

perubahan gagasan siswa. SWiSHmax merupakan salah satu
program animasi berbasis flash yang dapat digunakan untuk
mengamati langsung animasi dari materi yang diajarkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penerapan model
pembelajaran CLIS berbantuan SWiSHmax terbukti dapat
meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan konsep
siswa.
Kata Kunci: CLIS, SWiSHmax, keterampilan proses, penguasaan
konsep
Sesuai dengan KTSP, salah satu standar kompetensi yang dikembangkan
pada mata pelajaran fisika SMA adalah kemampuan melakukan kerja ilmiah yang
dapat dikembangkan melalui pengalaman langsung (hands on). Berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan selama Desember 2012 hingga Januari 2013 di kelas X5
SMAN 3 Malang, dapat dikatakan pembelajaran yang dilangsungkan masih
kurang maksimal sehingga hasilnya menjadi kurang optimal. Proses pembelajaran
yang berlangsung hanya sekedar transfer of knowledge dari guru ke siswa. Selain
itu siswa juga jarang melakukan kegiatan hands on sehingga siswa menjadi tidak
dapat melatih keterampilan proses sains yang seharusnya dimiliki oleh setiap
siswa.


2

Menurut penuturan guru, hasil belajar kognitif siswa selama ini masih
kurang memuaskan. Siswa masih kesulitan untuk mencapai nilai sesuai dengan
Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang ditetapkan, yakni 77. Siswa yang
lulus KKM pada kelas ini jumlahnya kurang dari setengah jumlah keseluruhan
siswa yang ada di kelas sehingga harus diadakan ujian ulang untuk SK 3. Terkait
dengan kegiatan hands on, laboran laboratorium fisika di SMAN 3 Malang
menyatakan bahwa yang sering melakukan kegiatan praktikum adalah siswa kelas
XII sebagai latihan untuk menghadapi ujian praktik akhir.
Fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat mengembangkan
kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dalam menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, serta mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya
diri (Soehendro, 2006:43). Dari pernyataan ini dapat diartikan bahwa belajar
fisika tidak hanya mendengarkan maupun menghafal rumus semata, tetapi siswa
juga dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir yang tinggi untuk memecahkan
masalah berdasarkan konsep atau hukum fisika yang diterima. Siswa akan lebih
memahami pelajaran yang diajarkan jika ikut terlibat langsung dalam penelitian,
pengamatan maupun pengukuran daripada hanya mendengar penjelasan dan

mencatat rumus-rumus tanpa melakukan pengamatan.
Ada banyak model pembelajaran yang dilandasi oleh teori belajar
konstruktivis yang dapat diterapkan guru di kelas. Salah satunya adalah CLIS
yang merupakan akronim dari Children Learning in Science (Rustaman, 2010).
Dengan menggunakan model ini, siswa dapat melatih keterampilan proses sains
tanpa mengabaikan pencapaian aspek kognitifnya. Salah satu karakteristik proses
belajar mengajar menurut kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional oleh
Direktorat Jenderal Mandikdasmen Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007,
Sekolah Bertaraf Internasional harus menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada
semua mata pelajaran. SWiSHmax merupakan salah satu program animasi berbasis
flash yang dapat diterapkan untuk menunjang proses pembelajaran. Dengan
menggunakan program ini, siswa dapat lebih memahami materi yang diajarkan
karena siswa dapat mengamati langsung animasi dari materi. Tujuan dari
diadakannya penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan proses dan

3

penguasaan konsep fisika siswa kelas X-5 SMAN 3 Malang, terutama pada materi
Suhu dan Kalor.
METODE

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Action
Research) yang terbagi dalam dua siklus. Masing-masing siklus terdiri dari empat
tahap, yakni tahap perencanaan, tindakan, observasi, serta refleksi. Tindakan
dalam penelitian ini berupa penerapan model pembelajaran Children Learning in
Science berbantuan SWiSHmax untuk meningkatkan keterampilan proses sains
dan penguasaan konsep siswa. Pendekatan penelitian tindakan kelas yang
dilakukan mengarah kepada penelitian kualitatif.
Dalam penelitian ini, peneliti berindak sebagai instrumen, perancang, dan
pemberi tindakan. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas X5 SMAN 3 Malang
tahun ajaran 2012/2013 yang terdiri dari 17 siswa dan 18 siswai. Penelitian yang
dilakukan merupakan penelitian kolaboratif yang melibatkan kerjasama antara
guru dan peneliti. Pelaksanaan penelitian ini melibatkan tiga orang pengamat,
yaitu satu orang guru fisika SMAN 3 Malang dan dua mahasiswa Universitas
Negeri Malang. Ketiga pengamat ini berperan untuk memonitor pelaksanaan
penelitian tindakan kelas dan juga sebagai rekan diskusi, mulai dari pembuatan
perencanaan hingga analisis dan refleksi.
Sumber data dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Data dan Sumber Data
No

1.
2.
3.
4.

Data
Data keadaan awal kelas
Data untuk melihat
keterlaksanaan proses
pembelajaran
Data tentang keterampilan
proses sains
Data tentang aspek kognitif

Sumber Data
Guru kelas
Guru (peneliti)

Instrumen
Lembar wawancara

Lembar observasi keterlaksanaan
pembelajaran dan catatan lapangan

Siswa

Lembar pengamatan, LKS

Siswa

Lembar soal tes siklus I dan II

Teknik pengumpulan data selama penelitian ada dua, yakni teknik tes dan
non-tes. Teknik tes meliputi tes tertulis hasil kemampuan kognitif siswa pada
akhir tiap siklus dan juga LKS. Teknik non-tes terdiri dari observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Analisis data pada penelitian ini bersifat kualitatif (berbentuk

4

kalimat yang menjelaskan aktifitas guru dan siswa) dan kuantitatif (berupa skor
keterlaksanaan proses pembelajaran, skor pencapaian keterampilan proses, dan

juga skor penguasaan konsep siswa). Data yang terkumpul direduksi sebelum
disajikan dalam bentuk naratif agar dapat diambil kesimpulan dan refleksi dari
temuan penelitian. Siklus II dilaksanakan dengan berpedoman pada kekurangan
yang ada pada siklus I. Berdasarkan kekurangan siklus I, pada pelaksanaan
perencanaan penelitian siklus II akan dilakukan perbaikan-perbaikan dengan
harapan pada saat tahap penerapan tindakan dan observasi siklus II akan lebih
baik dari siklus I.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan temuan penelitian, pelaksanaan pembelajaran siklus I dan II
mengalami peningkatan secara bertahap. Pada siklus I, siswa masih takut untuk
bertanya maupun menyampaikan gagasan karena mereka takut kalau pertanyaan
maupun gagasan yang diajukan salah. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya
pola pikir siswa yang takut disalahkan oleh guru maupun siswa yang lain.
Kendala terbesar pada siklus I adalah keterbatasan waktu karena 1 JP
hanya 30 menit sehingga guru harus benar-benar dapat memanfaatkan waktu yang
tersedia. Akan tetapi siswa belum terbiasa mengerjakan sesuatu dengan cepat
sehingga banyak siswa yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan di LKS
yang dibagikan pada awal tindakan siklus I. Padahal jika siswa bekerja secara
efisien maka semua tahap model pembelajaran dapat terlaksana dengan baik.

Selain itu, siswa juga belum terbiasa dengan penerapan model pembelajaran CLIS
sehingga sebagian besar siswa yang belum terbiasa belajar secara mandiri
mengalami kesulitan ketika harus berkelompok untuk menemukan sendiri konsep
yang mereka pelajari.
Pelaksanaan pembelajaran siklus II berlangsung lebih baik daripada siklus
I. Hal ini mungkin disebabkan karena siswa sudah terbiasa dengan guru dan juga
model pembelajaran yang diterapkan. Tahap pembelajaran yang dilakukan pada
siklus I dan II sama sehingga peningkatannya dapat terlihat. Data keterlaksanaan
model pembelajaran CLIS pada siklus I dan II ditunjukkan oleh Tabel 2.

5

Tabel 2. Keterlaksanaan model pembelajaran CLIS siklus I dan II
Persentase Keterlaksanaan Model (%)
No
Tahapan Model Pembelajaran CLIS
Siklus I
Siklus II
1
Orientasi

64,2
86,67
2
Pemunculan gagasan awal
56,7
71,1
3
Penyusunan ulang gagasan
66,6
88,9
4
Penerapan gagasan
75
66,67
5
Pengkajian ulang perubahan gagasan
67,5
81,3

Berdasarkan Tabel 2, tahap penyusunan ulang gagasan mengalami

peningkatan persentase yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena siswa
benar-benar telah mempersiapkan diri ketika kegiatan KBM berlangsung. Jika
pada siklus I siswa tidak mempersiapkan sumber belajar, baik buku cetak maupun
sumber lainnya, pada siklus II siswa sudah membawa buku cetak dan modul yang
disediakan sekolah. Namun pada siklus ini tahap penerapan gagasan mengalami
penurunan persentase ketercapaian. Hal ini disebabkan adanya beberapa
pemotongan jam belajar pada beberapa pertemuan sehingga guru terkesan
tergesa-gesa ketika untuk menutup pembelajaran. Peningkatan yang terjadi pada
siklus II juga disebabkan karena adanya perbaikan-perbaikan tindakan pada siklus
II berdasarkan kekurangan siklus I. Hal ini sesuai dengan pendapat Arends
(2008), keterlaksanaan pembelajaran meningkat karena perbaikan dan
pembenahan pembelajaran yang dilakukan guru.
Selain memberikan pengetahuan dan pengalaman, penerapan model
pembelajaran CLIS berbantuan SWiSHmax juga terbukti dapat meningkatkan
keterampilan proses sains siswa. Sebagian besar siswa terlihat antusias ketika
melakukan praktikum siklus I dan II. Peningkatan persentase keterampilan proses
sains siswa dari siklus I ke siklus II dapat digambarkan dalam bentuk grafik pada
Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1, peningkatan tertinggi terletak pada keterampilan
mengkomunikasikan yang disusul oleh keterampilan merencanakan.

Keterampilan mengkomunikan terdiri dari beberapa aspek, yaitu penyampaian
informasi, penggambaran data empiris hasil pengamatan, pola/ cara presentasi,
bahasa presentasi, kerjasama kelompok, dan penggunaan media ketika presentasi.
Belajar dari siklus I, siswa telah menggunakan berbagai media seperti Ms.Excel
dan power point sederhana untuk dapat menghemat waktu pada siklus II.

6

Persentase Keterampilan Proses Sains Siswa (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
en
er
m

ca

siklus I
siklus II

k
na

i
n
an
an
an
an
an
at
ka
l
rk
m
ik
ak
ak
pk
i
s
a
a
a
s
n
n
a
g
a
u
k
er
af
am
en
ks
ni
gg
er
en
en
a
m
u
l
n
m
m
m
e
e
m
m
m
ko
g
en
m

an

Gambar 1. Grafik Peningkatan Persentase Keterampilan Proses Sains Siswa Siklus I dan II

Masih banyak siswa yang ragu-ragu untuk menggunakan alat yang
disediakan ketika praktikum siklus I, terlebih mereka praktikum dengan
menggunakan api. Banyak siswa yang tidak mau melaksanakan praktikum jika
tidak diawasi oleh guru. Cara siswa menggunakan termometer dan mematikan
bunsen juga salah. Banyak siswa yang memegang badan termometer ketika
mengukur suhu dan meniup bunsen untuk mematikannya.
Mengatasi hal tersebut, LKS pada siklus II dibuat lebih kontekstual
dengan memperlihatkan gambar-gambar pada langkah percobaan. Guru juga
menjelaskan maksud LKS sebelum siswa melaksanakan praktikum siklus II. Hal
ini menyebabkan keterampilan merencanakan dan menggunakan alat/bahan juga
mengalami kenaikan persentase yang cukup signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Widiyarti (2012) juga mengungkapkan hal
yang serupa. Dari penelitian yang ia lakukan, terbukti bahwa model pembelajaran
Children Learning in Science dapat meningkatkan kreativitas dan prestasi belajar
siswa pada mata pelajaran IPA. Siswa terlihat lebih antusias ketika melakukan
praktikum dan hasilnya adalah tingkat kreativitas mereka juga bertambah.
Berdasarkan analisis data hasil penelitian, penerapan model pembelajaran
CLIS berbantuan SWiSHmax juga dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa.
Hal ini tercermin dari hasil tes belajar kognitif pada akhir tiap siklus. Sebelum

7

diterapkannya tindakan, siswa hanya memperoleh persentase sebesar 64,4%. Akan
tetapi setelah diterapkannya tindakan berupa penerapan model pembelajaran CLIS
berbantuan SWiSHmax, persentase nilai siswa meningkat sebesar 19% menjadi
83,4% pada akhir siklus I dan erus meningkat menjadi 95,1% pada akhir siklus II.
Hasil belajar kognitif siswa ini mengalami peningkatan kriteria dari sedang
sebelum diterapkannya tindakan menjadi baik pada siklus I dan terus meningkat
menjadi sangat baik pada siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan model
serta metode yang tepat dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa.
CLIS merupakan salah satu model pembelajaran konstruktivis yang
memiliki tahapan-tahapan untuk membangkitkan perubahan konseptual siswa
(Syafrina, 2000). Perubahan konsep siswa sangat jelas terjadi pada beberapa
pertemuan di siklus I dan II. Pada pertemuan pertama siklus I, siswa beranggapan
bahwa kuantitas berpengaruh terhadap suhu benda. Siswa menyatakan bahwa
seember es memiliki suhu yang lebih dingin daripada segenggam es. Hal ini
sesuai dengan kesalahan konsep yang diungkapkan oleh Erickcon dalam Sözbilir
(2003), ia menyatakan bahwa “Pupils believed that the temperature of an object is
related to its size, more than 76 children thought that a large ice cube would have
a lower temperature than a small one”.
Pada pertemuan lainnya, siswa juga beranggapan bahwa semakin tinggi
suhu suatu benda maka kalor yang dikandung benda tersebut semakin besar. Hal
tersebut sama dengan hasil penelitian beberapa ahli. Dalam penelitian Su-Yuen
Mak dan Young yang diungkapkan oleh Sözbilir (2003), siswa beranggapan
bahwa “Heat is CONTAINED inside a body and which flows from a hotter to a
cooler body when the two are in contact with each other”. Cukup sulit untuk
menjelaskan ke siswa bahwa kalor bukanlah sesuatu yang terkandung dalam suatu
benda karena hal ini merupakan hal yang abstrak dan sulit untuk dibuktikan secara
kasat mata.
Pada praktikum efek kalor terhadap zat, siswa juga beranggapan bahwa
suhu benda akan selalu naik jika dipanaskan. Kesalahan konsep ini juga sesuai
dengan hasil penelitian Tiberghien yang diungkapkan oleh Sözbilir (2003).
Banyak siswa yang mengungkapkan bahwa “Temperature will change during

8

melting or boiling”. Akan tetapi setelah siswa praktikum, siswa dapat
membuktikan sendiri bahwa suhu benda tidak selalu naik jika dipanaskan.
Peningkatan hasil belajar dari siklus I ke siklus II dapat terjadi dari
perbaikan-perbaikan yang dilaksanakan selama siklus II. Salah satunya adalah
pemberian latihan tambahan bagi siswa di luar jam pelajaran. Selain itu, tes akhir
siklus II dilaksanakan setelah siswa UTS sehingga siswa memiliki lebih banyak
waktu untuk mempersiapkan diri. Perbandingan penguasaan konsep fisika siswa
pada siklus I dan II dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Persentase Skor Pemahaman Konsep Siswa (%)
100
80
siklus I
Siklus II

60
40
20
0

C1

C2

C3

C4

Gambar 2. Grafik Peningkatan Persentase Skor Pemahaman Konsep Siswa Siklus I dan II

Berdasarkan Gambar 2, ranah kognitif C4 mengalami peningkatan yang
sangat signifikan akan tetapi ranah C2 mengalami sedikit penurunan dari 94,3%
menjadi 91,9%. Jika dibandingkan dengan ranah kognitif yang lain, C4
merupakan ranah dengan persentase terendah. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu (1) Perbedaan kemampuan kognitif peserta didik, (2) Materi
tes dan distribusi soal berdasarkan ranah kognitif yang berbeda, (3) Peserta didik
masih masih belum mengerti materi yang diajarkan, (4) Peserta didik
kebingungan mengerjakan soal yang bersifat analisis teori, hal ini terlihat dari
sedikitnya siswa yang dapat menjawab dengan benar soal C4 siklus I dan II, (5)
ranah C4 merupakan ranah yang cukup tinggi pada tingkatan taksonomi Bloom.
Penelitian yang dilakukan Diana (2011) mengemukakan hasil yang tidak
jauh berbeda. Dari penelitian yang ia lakukan, terbuktib bahwa penerapan model
pembelajaran Children Learning in Science dapat meningkatkan prestasi belajar
IPA di SMPN 1 Tanjungraja. Tidak hanya pada taraf SD dan SMP saja, penerapan

9

model CLIS juga terbukti dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Hal ini
terungkap dalam penelitian yang dilakukan Sutarno (2008) yang menerapkan
model pembelajaran CLIS berbantuan e-media pada mata kuliah elektronika dasar
di UNIB.
SIMPULAN DAN SARAN
Penerapan model pembelajaran Children Learning in Science (CLIS)
berbantuan SWiSHmax di kelas X5 SMAN 3 Malang sudah terlaksana dengan
baik dan terbukti dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan
konsep siswa. Keterampilan proses sains siswa pada siklus II sudah meningkat
jika dibandingkan siklus I. Siswa sudah benar dalam membuat kesimpulan serta
dalam hal penggunaan alat/ bahan. Cara siswa mengkomunikasikan hasil
temuannya juga sudah meningkat cukup pesat jika dibandingkan siklus I.
Penguasaan konsep siswa yang tercermin dari hasil tes akhir siklus juga
mengalami peningkatan. Jika sebelum diterapkannya tindakan guru harus
mengadakan ujian ulang karena siswa yang lulus KKM jumlahnya kurang dari
setengah jumlah siswa, pada siklus I jumlah siswa yang tidak lulus KKM
berkurang dan semakin berkurang lagi pada siklus II. Pada siklus II, kemampuan
siswa untuk memecahkan soal analisis teori juga mengalami peningkatan yang
cukup signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan
beberapa saran antara lain sebaiknya guru mata pelajaran fisika dapat menerapkan
model pembelajaran Children Learning in Science berbantuan SWiSHmax sebagai
alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan proses dan
penguasaan konsep siswa. Bagi semua pihak yang ingin melaksanakan
pembelajaran dengan model ini, diharapkan memiliki pengaturan waktu yang baik
agar pelaksanaan pembelajaran berlangsung secara efisien terutama pada tahap
penyusunan ulang gagasan yang melibatkan kegiatan praktikum atau diskusi, serta
dapat memunculkan permasalahan yang benar-benar konstekstual bagi siswa pada
tahap orientasi dan pemunculan gagasan. Siswa juga sebaiknya sering dibimbing
untuk melakukan kegiatan praktikum maupun kegiatan hands on lainnya sehingga
keterampilan proses siswa dapat meningkat. Guru yang bersangkutan juga harus

10

mencoba alat yang akan digunakan dan juga melaksanakan praktikum sebelum
siswa melaksanakan praktikum.
DAFTAR RUJUKAN
Arends, R.I. 2004. Learning to Teach. New York: McGraw-Hill.
Diana, M. 2011. Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Melalui Penerapan
Model Pembelajaran CLIS (Children Learning in Science) di SMPN 1
Tanjungraja Semester Genap Tahun Ajaran 2010/2011. Tesis Tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana Unnes.
Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional. Direktorat Jenderal Mandikdasmen
Departemen Pendidikan Nasional. (Online),
(http://www.gurupembaharu.com), diakses 25 September 2012.
Rustaman, N. 2010. Materi dan Pembelajaran IPA SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Soehendro, B. 2006. BSNP, Panduan Penyususnan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sutarno. 2008. Penerapan Model Pembelajaran CLIS (Children Learning in
Science) Berbantu E-Media Pada Mata Kuliah Elektronika Dasar untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa. Tesis Tidak diterbitkan. Program
Pascasarjana UNIB.
Sözbilir, M. 2003. Boğazici University Journal of Education, Vol. 20 (1) 2003. A
Review of Selected Literature on Students’ Misconceptions of Heat and
Temperature.
Syafrina, A. 2000. Pengembangan Model Pembelajaran CLIS untuk Sekolah
Dasar pada Konsep Hewan dan Benda. Tesis Tidak diterbitkan. Program
Pascasarjana UPI.
Widiyarti, A. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran CLIS (Children Learning in
Science) Dalam Meningkatkan Kreativitas dan Prestasi Siswa Pada Mata
Pelajaran IPA. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni
2012.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

IMPLEMENTASI MIKROKONTROLER ATMEGA 8535 STUDI KASUS PENGONTROL SUHU ALIRAN AIR DALAM PIPA DENGAN METODE KONTROL FUZZY LOGIK

28 240 1

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

DISKRIMINASI PEREMPUAN MUSLIM DALAM IMPLEMENTASI CIVIL RIGHT ACT 1964 DI AMERIKA SERIKAT

0 34 14

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92