Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Afektif Pada Karyawan PT. Pos Pusat Medan

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dijabarkan teori-teori yang menjadi kerangka berfikir dalam melaksanakan penelitian ini. Beberapa teori yang dipakai adalah teori yang berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi.

A. KOMITMEN AFEKTIF

1. Pengertian Komitmen Afektif

Komitmen afektif merupakan keterikatan emosional karyawan kepada organisasi, identifikasi karyawan dengan organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi tertentu, dimana karyawan menetap dalam organisasi karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

Mowday, Porter, & Steers (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif merupakan kekuatan relatif pada seorang individu dalam mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan terlibat dalam organisasi tersebut. Sheldon (dalam Meyer & Allen, 1997) juga mendefinisikan komitmen afektif sebagai suatu attitude atau orientasi terhadap organisasi dimana berhubungan dengan identitas seseorang terhadap organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat secara emosional sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena menginginkannya.


(2)

2. Perkembangan Komitmen Afektif

Terdapat beberapa variabel yang dinyatakan sebagai penyebab berkembangnya komitmen afektif yang dapat dikategorisasikan sebagai berikut (Meyer & Allen, 1997):

a. Karakteristik organisasi

Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa beberapa studi telah menguji hubungan antara komitmen organisasi dan struktur organisasi. Walaupun penelitian ini terbatas, ada terdapat beberapa bukti bahwa komitmen afektif berhubungan dengan pengambilan keputusan dan aturan serta prosedur dalam organisasi.

b. Karakteristik personal

Karaktersitik personal terdiri dari kebutuhan untuk pencapaian prestasi, afilliasi dan kebebasan, serta ketertarikan dalam kehidupan bekerja telah ditemukan berhubungan dengan komitmen organisasi. Individu yang memilih pekerjaan mereka sesuai dengan karakteristik personal mereka akan memiliki attitude kerja yang lebih positif daripada karyawan yang tidak memiliki pekerjaan berdasarkan karakteristik tersebut.

c. Pengalaman kerja

Pengalaman kerja merupakan suatu dorongan sosial dan menghadirkan suatu ketertarikan psikologis yang dibentuk dalam suatu organisasi. Karyawan yang pengalamannya dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan dasar mereka akan lebih mengembangkan komitmen afektif pada organisasi mereka, daripada karyawan yang memiliki sedikit


(3)

kepuasan terhadap pengalaman bekerja mereka. Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka, dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka

B. Budaya Organisasi

1. Definisi Budaya Organisasi

Pengertian budaya organisasi menurut Robbins (2006) adalah suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut Robbins menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakteristik utama dari nilai-nilai yang dihargai oleh organisasi (a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organization values).

Schein (1992) budaya organisasi merupakan asumsi-asumsi dasar yang dipelajari baik sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dalam proses penyesuaian dengan lingkungannya, maupun sebagai hasil memecahkan masalah yang timbul dari dalam organisasi, antar unit-unit organisasi yang berkaitan dengan integrasi.


(4)

Martins dan Martins (2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu identitas untuk dapat membedakan organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Arnold (2005) menyatakan budaya organisasi adalah norma, kepercayaan, prinsip dan cara berperilaku yang khusus untuk memberikan setiap organisasi memiliki karakter yang berbeda. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain (Manetje dan Martins, 2009).

Budaya organisasi menunjukkan suatu nilai-nilai, kepercayaan dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sistem manajemen organisasi (Denison, 1990). Perspektif budaya organisasi memusatkan perhatian terhadap nilai-nilai dasar, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang hidup dalam organisasi, pola-pola perilaku yang berasal dari shared meanings, dan simbol-simbol yang mengekspresikan hubungan-hubungan antara asumsi-asumsi, nilai-nilai dan perilaku dari anggota-anggota orgnisasi (Denison, 1990).

Budaya Organisasi menurut Davis dan John Newstrom (dalam Mangkunegara, 2005) mengatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi, kepercayaan, sistem-sistem nilai, dan norma yang disepakati tiap anggota organisasi.

Menurut Luthans (1998), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku, agar diterima oleh lingkungannya.


(5)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara (2005) yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain.

2.Aspek – aspek Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006), ada 7 aspek budaya organisasi, 7 aspek tersebut adalah:

1. Inovasi dan pengambilan risiko (Innovation and risk taking). Tingkatan dimana para karyawan terdorong untuk berinovasi dan mengambil risiko.

2. Perhatian yang rinci (Attention to detail). Suatu tingkatan dimana para karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis dan perhatian kepada rincian.

3. Orientasi hasil (Outcome orientation). Tingkatan dimana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.

4. Orientasi pada manusia (People orientation). Suatu tingkatan dimana keputusan manajemen memperhitungkan efek-efek hasil terhadap individu atau anggota


(6)

yang ada dalam organisasi.

5. Orientasi tim (Team orientation). Suatu tingkatan dimana kegiatan kerja diorganisir di sekitar tim-tim, bukannya individ-individu.

6. Keagresifan (Aggressiveness). Suatu tingkatan dimana orang-orang (anggota organisasi) itu memiliki sifat agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. 7. Stabilitas (Stability). Suatu tingkatan dimana kegiatan organisasi menekankan di pertahankannya status quo daripada pertumbuhan.

3. Pembentukan Budaya Organisasi

Pada dasarnya untuk membentuk budaya organisasi yang kuat memerlukan waktu yang cukup lama dan bertahap. Di dalam perjalanannya sebuah organisasi mengalami pasang surut, dan menerapkan budaya organisasi yang berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain. Budaya bisa dilihat sebagai suatu hal yang mengelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan cakupannya ketingkat organisasi atau bahkan ke kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang, dan akhirnya, direkayasa, diatur dan diubah (Robbins, 2003).


(7)

Berikut ini adalah gambar proses terbentuknya budaya organisasi menururt Robbins :

Gambar 1. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi Sumber : Robbins, 2003

Gambar 1. menjelaskan bahwa budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya, kemudian budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak. Tingkat kesuksesan dalam mensosialisasikan budaya perusahaan tergantung pada kecocokan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai-nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi.

Menurut Robbins (2003), budaya organisasi dapat dibentuk melalui beberapa cara. Cara tersebut biasanya melalui beberapa tahap yaitu:

1. Seseorang (pendiri) mempunyai sejumlah ide atau gagasan tentang suatu pembentukan organisasi baru

Manajemen puncak

Budaya Organisasi Kriteria

Seleksi

Filsafat dari Pendiri Organisasi


(8)

2. Pendiri membawa satu atau lebih orang-orang kunci yang merupakan para pemikir dan membentuk sebuah kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri.

3. Kelompok tersebut memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan sebuah organisasi. Mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha, dan lain-lain mengenai suatu hal yang relevan.

4. Langkah terakhir yaitu orang-orang lain dibawa masuk kedalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan pendiri dan kelompok inti dan pada akhirnya memulai sebuah pembentukan sejarah bersama.

Setiap perusahaan mempunyai budaya yang berbeda, tergantung dari apa yang dianut oleh pemimpin ketika membentuk organisasi tersebut. Budaya dapat bersifat kuat atau lemah, selain itu ada juga budaya yang salah dan sulit diubah, semua itu tergantung pada saat komitmen yang ingin dicapai dalam mendirikan organisasi.

Robbins (1998) mengemukakan ciri-ciri budaya kuat, antara lain: a. Menurunnya tingkat keluarnya karyawan.

b. Ada kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi.


(9)

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006) terdapat beberapa karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu :

1. Inisiatif individu yaitu sejauh mana organisasi memberikan kebebasan kepada setiap pegawai dalam mengemukakan pendapat atau ide-ide yang di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi.

2. Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauh mana pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai.

3. Pengarahan yaitu sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para pegawai dapat memahaminya dan segala kegiatan yang dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi.

4. Integrasi yaitu sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Menurut Handoko (2003 : 195) dalam (Robbins, 2006) koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang


(10)

terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan.

5. Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan kemampuan para pegawai seperti mengadakan pelatihan.

6. Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para pegawai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran organisasi. Pengawasan menurut Handoko (2003: 360) dalam (Robbins, 2006) dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai.

7. Sistem imbalan yaitu sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.

8. Toleransi terhadap konflik yaitu sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi terhadap konflik tersebut.

9. Pola komunikasi yaitu sejauh mana komunikasi dalam organisasi yang dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal dapat berjalan baik. Menurut Handoko (2003: 272) komunikasi itu sendiri merupakan proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi yang baik adalah


(11)

komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebih efektif.

C. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Afektif

Budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. Budaya organisasi adalah sekumpulan norma-norma tingkah laku atau corak/warna serta nilai-nilai yang ada di dalam suatu perusahaan/organisasi dan merupakan aturan main yang harus ditaati dan diamalkan oleh para pelaku perusahaan/organisasi tersebut agar dapat berinteraksi baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Dalam hal ini, karyawan yang telah dapat memiliki nilai-nilai budaya yang kuat yang dijalani seperti karyawan yang berinovasi dan mengambil resiko dalam pekerjaannya, cermat dalam bekerja, dapat bekerja tim dengan baik, serta kompetitif diharapkan dapat menimbulkan ketertarikan secara emosional kepada organisasi, atau dengan kata lain timbul yang dinamakan komitmen afektif. Dimana komitmen afektif ini timbul karena faktor tantangan pekejaan, partisipasi, timbal balik serta saling bergantung. Budaya organisasi yang diukur melalui kejelasan tujuan organisasi dan otonomi pekerjaan mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap komitmen organisasi, baik pada perusahaan swasta maupun perusahaan pemerintah. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Nystrom (1993) yang menunjukkan bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap komitmen organisasi dan kinerja karyawan. Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda, maka


(12)

tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap komitmen afektif pada karyawan PT. Pos Pusat Medan.

D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis alternatif :


(1)

Berikut ini adalah gambar proses terbentuknya budaya organisasi menururt Robbins :

Gambar 1. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

Sumber : Robbins, 2003

Gambar 1. menjelaskan bahwa budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya, kemudian budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak. Tingkat kesuksesan dalam mensosialisasikan budaya perusahaan tergantung pada kecocokan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai-nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi.

Menurut Robbins (2003), budaya organisasi dapat dibentuk melalui beberapa cara. Cara tersebut biasanya melalui beberapa tahap yaitu:

1. Seseorang (pendiri) mempunyai sejumlah ide atau gagasan tentang suatu pembentukan organisasi baru

Manajemen puncak

Budaya Organisasi Kriteria

Seleksi Filsafat dari

Pendiri Organisasi


(2)

2. Pendiri membawa satu atau lebih orang-orang kunci yang merupakan para pemikir dan membentuk sebuah kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri.

3. Kelompok tersebut memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan sebuah organisasi. Mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha, dan lain-lain mengenai suatu hal yang relevan.

4. Langkah terakhir yaitu orang-orang lain dibawa masuk kedalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan pendiri dan kelompok inti dan pada akhirnya memulai sebuah pembentukan sejarah bersama.

Setiap perusahaan mempunyai budaya yang berbeda, tergantung dari apa yang dianut oleh pemimpin ketika membentuk organisasi tersebut. Budaya dapat bersifat kuat atau lemah, selain itu ada juga budaya yang salah dan sulit diubah, semua itu tergantung pada saat komitmen yang ingin dicapai dalam mendirikan organisasi.

Robbins (1998) mengemukakan ciri-ciri budaya kuat, antara lain: a. Menurunnya tingkat keluarnya karyawan.

b. Ada kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi.


(3)

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006) terdapat beberapa karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu :

1. Inisiatif individu yaitu sejauh mana organisasi memberikan kebebasan kepada setiap pegawai dalam mengemukakan pendapat atau ide-ide yang di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi.

2. Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauh mana pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai.

3. Pengarahan yaitu sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para pegawai dapat memahaminya dan segala kegiatan yang dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi.

4. Integrasi yaitu sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Menurut Handoko (2003 : 195) dalam (Robbins, 2006) koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang


(4)

terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan.

5. Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan kemampuan para pegawai seperti mengadakan pelatihan.

6. Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para pegawai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran organisasi. Pengawasan menurut Handoko (2003: 360) dalam (Robbins, 2006) dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai.

7. Sistem imbalan yaitu sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.

8. Toleransi terhadap konflik yaitu sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi terhadap konflik tersebut.

9. Pola komunikasi yaitu sejauh mana komunikasi dalam organisasi yang dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal dapat berjalan baik. Menurut Handoko (2003: 272) komunikasi itu sendiri merupakan proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi yang baik adalah


(5)

komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebih efektif.

C. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Afektif

Budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. Budaya organisasi adalah sekumpulan norma-norma tingkah laku atau corak/warna serta nilai-nilai yang ada di dalam suatu perusahaan/organisasi dan merupakan aturan main yang harus ditaati dan diamalkan oleh para pelaku perusahaan/organisasi tersebut agar dapat berinteraksi baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Dalam hal ini, karyawan yang telah dapat memiliki nilai-nilai budaya yang kuat yang dijalani seperti karyawan yang berinovasi dan mengambil resiko dalam pekerjaannya, cermat dalam bekerja, dapat bekerja tim dengan baik, serta kompetitif diharapkan dapat menimbulkan ketertarikan secara emosional kepada organisasi, atau dengan kata lain timbul yang dinamakan komitmen afektif. Dimana komitmen afektif ini timbul karena faktor tantangan pekejaan, partisipasi, timbal balik serta saling bergantung. Budaya organisasi yang diukur melalui kejelasan tujuan organisasi dan otonomi pekerjaan mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap komitmen organisasi, baik pada perusahaan swasta maupun perusahaan pemerintah. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Nystrom (1993) yang menunjukkan bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap komitmen organisasi dan kinerja karyawan. Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda, maka


(6)

tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap komitmen afektif pada karyawan PT. Pos Pusat Medan.

D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis alternatif :