Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

(1)

BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN AFEKTIF

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

oleh

MAGDALENA

091301070

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2012/2013


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Hubungan antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2013

Magdalena NIM 091301070


(3)

Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara budaya organisasi dan komitmen afektif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan berupa skala budaya organisasi yang disusun berdasarkan teori budaya organisasi oleh Edgar Schein yang memiliki 32 item dan skala komitmen afektif yang disusun berdasarkan teori komitmen organisasi oleh Meyer & Allen yang memiliki 14 item. Subjek penelitian adalah seluruh karyawan PT. X, dengan jumlah populasi 47 subjek. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisa kolerasi pearson product moment. Dari hasil analisa, menunjukkan bahwa budaya organisasi berhubungan positif dengan komitmen afektif. Dalam hal ini, perusahaan akan menciptakan budaya organisasi dan mencari orang-orang yang cocok terhadap budaya organisasi tersebut, sehingga karyawan dapat bekerja sebaik mungkin dan tetap berkomitmen pada organisasi tersebut.


(4)

Relationship between The Employee Perceptions of Organizational Culture and Affective Commitment

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between employee perceptions of organizational culture and affective commitment. This study used quantitative approach. To collect the data of organizational culture scale based on the theory of organizational culture of Edgar Schein that contains 32 items and affective commitment scale based on the theory of organizational commitment of Meyer & Allen that contains 14 items. The subjects were population of PT. X with 47 subjects. The data analyzed using pearson product moment correlation analysis. The results shows that organizational culture is positively related to affective commitment. In this regard, the organization will create the culture of the organization and looking for people who fit the culture of the organization, so that employees can work as well as possible and remain committed to the organization.


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif”. Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama proses penulisan skripsi ini saya mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu DR. Emmy Mariatin, M.A., PhD., psikolog selaku dosen pembimbing seminar dan skripsi saya yang selalu sabar dalam membimbing saya, dengan senantiasa memberikan dukungan, bantuan, pengetahuan, saran serta waktu. 3. Ibu Rika Eliana M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik.

4. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M. A., psikolog selaku dosen penguji skripsi saya. Terima kasih atas saran-saran dan pengetahuan baru yang diberikan serta telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan saya selama proses penyelesaian skripsi.


(6)

5. Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku dosen penguji skripsi saya. Terima kasih untuk saran-saran dan pengetahuan baru yang diberikan.

6. Kak Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, psikolog selaku penguji pada ujian seminar saya. Terima kasih atas saran-saran dan pengetahuan baru yang diberikan. 7. Seluruh staf pengajar di Fakultas Psikologi atas ilmu pengetahuan, nasehat,

serta pengalaman yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

8. Papa, mama dan ketiga kakak saya Suwina, Fiona dan Ivana yang selalu mendoakan saya dan memberikan dukungan serta penghiburan selama penyusunan skripsi dan selama saya menjalani masa-masa kuliah ini.

9. Terakhir, kepada seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2009. Khususnya kepada sahabat-sahabat saya Dwiyana, Verawaty, Cecilia, Jessica, Raharja, Risma, Aisyah dan Teresia, terima kasih untuk waktu yang kita lewati dengan belajar dan berjuang bersama-sama, setiap dukungan dan bantuan yang diberikan serta kenangan yang tidak terlupakan selama masa-masa perkuliahan ini.

Akhir kata, saya berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan saudara-saudara semua. Saya sangat menerima segala kritik maupun saran yang dapat membantu saya untuk dapat menjadi lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Medan, Juni 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBARPENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

A. Komitmen Afektif ... 13


(8)

2. Perkembangan Komitmen Afektif ... 14

B. Budaya Organisasi ... 15

1. Pengertian Budaya Organisasi ... 15

2. Level Budaya Organisasi ... 16

3. Fungsi Budaya Organisasi ... 19

C. Persepsi ... 20

1. Pengertian Persepsi ... 20

D. Hubungan Budaya Organisasi dengan Komitmen Afektif... 21

E. Hipotesis Penelitian ... 27

BAB III METODE PENELITIAN... 28

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ... 28

B. DEFINISI OPERASIONAL ... 28

1. Komitmen Afektif ... 28

2. Budaya Organisasi ... 29

C. POPULASI ... 30

D. ALAT UKUR PENELITIAN ... 31

1. Skala Komitmen Afektif ... 31

2. Skala Budaya Organisasi... 32

E. VALIDITAS, RELIABILITAS, DAN UJI DAYA BEDA AITEM ... 33


(9)

2. Uji Reliabilitas ... 34

3. Uji Daya Beda Aitem ... 34

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR ... 34

G. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN ... 35

1. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 35

2. Pelaksanaan Penelitian ... 37

3. Pengolahan Data... 37

H. METODE ANALISIS DATA ... 37

1. Uji Normalitas ... 38

2. Uji Linearitas ... 38

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 39

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN... 39

B. HASIL PENELITIAN ... 46

1. Uji Asumsi ... 46

2. Hasil Utama Penelitian ... 48

C. PEMBAHASAN ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. KESIMPULAN ... 52

B. SARAN ... 52

1. Saran Metodologis ... 52


(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 55 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint Skala Komitmen Afektif Sebelum Uji Coba... 32

Tabel 2. Blueprint Skala Budaya Organisasi Sebelum Uji Coba ... 33

Tabel 3. Blueprint Skala Komitmen Afektif Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru ... 35

Tabel 4. Blueprint Skala Budaya Organisasi Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru ... 35

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 40

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja ... 42

Tabel 8. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Komitmen Afektif ... 43

Tabel 9. Kategorisasi Komitmen Afektif Berdasarkan Metode Distribusi Normal... 44

Tabel 10. Gambaran Subjek Berdasarkan Komitmen Afektif ... 44

Tabel 11. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Budaya Organisasi 45 Tabel 12. Kategorisasi Budaya Organisasi Berdasarkan Metode Distribusi Normal... 45


(12)

Tabel 14. Uji Asumsi Normalitas ... 47

Tabel 15. Linearitas Variabel Penelitian ... 48


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

A. UJI COBA DAN HASIL UJI COBA ALAT UKUR ... 58

1. Reliabilitas Skala Komitmen Afektif ... 58

2. Reliabilitas Skala Budaya Organisasi ... 61

B. PENELITIAN ... 65

1. Skala Komitmen Afektif dan Budaya Organisasi ... 65

2. Data Mentah Skala Komitmen Afektif ... 72

3. Data Mentah Skala Budaya Organisasi ... 73

C. HASIL PENELITIAN ... 78

1. Uji Asumsi ... 78

2. Perhitungan Kolerasi Pearson Product Moment ... 79


(14)

Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara budaya organisasi dan komitmen afektif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan berupa skala budaya organisasi yang disusun berdasarkan teori budaya organisasi oleh Edgar Schein yang memiliki 32 item dan skala komitmen afektif yang disusun berdasarkan teori komitmen organisasi oleh Meyer & Allen yang memiliki 14 item. Subjek penelitian adalah seluruh karyawan PT. X, dengan jumlah populasi 47 subjek. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisa kolerasi pearson product moment. Dari hasil analisa, menunjukkan bahwa budaya organisasi berhubungan positif dengan komitmen afektif. Dalam hal ini, perusahaan akan menciptakan budaya organisasi dan mencari orang-orang yang cocok terhadap budaya organisasi tersebut, sehingga karyawan dapat bekerja sebaik mungkin dan tetap berkomitmen pada organisasi tersebut.


(15)

Relationship between The Employee Perceptions of Organizational Culture and Affective Commitment

Magdalena and Emmy Mariatin

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between employee perceptions of organizational culture and affective commitment. This study used quantitative approach. To collect the data of organizational culture scale based on the theory of organizational culture of Edgar Schein that contains 32 items and affective commitment scale based on the theory of organizational commitment of Meyer & Allen that contains 14 items. The subjects were population of PT. X with 47 subjects. The data analyzed using pearson product moment correlation analysis. The results shows that organizational culture is positively related to affective commitment. In this regard, the organization will create the culture of the organization and looking for people who fit the culture of the organization, so that employees can work as well as possible and remain committed to the organization.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia persaingan sekarang ini, setiap organisasi sedang menghadapi tantangan-tantangan baru yang menuntut organisasi untuk mempertahankan produktifitas dan membentuk karyawan yang berkomitmen (Dixit dan Bhati, 2012). Mempertahankan komitmen karyawan dan produktifitas dalam organisasi adalah merupakan isu yang kritikal. Hal ini merupakan tantangan bagi organisasi untuk mengelola karyawan yang berkualitas dan meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi (Capplan dan Teese, dalam Mariatin, 2009).

Karyawan yang berkomitmen berarti bersifat loyal terhadap organisasinya, dimana karyawan yang setia memiliki keuntungan untuk bersaing (McShane dan Glinow, 2003). Komitmen karyawan adalah suatu tingkat dimana karyawan mengidentifikasi dan bersedia secara aktif berpartisipasi dalam organisasi (Nystrom, dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012). Komitmen organisasi juga dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta bersedia untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan tersebut (Herseovitch dan Meyer, dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012). Hal ini dapat ditemukan pada karyawan-karyawan yang bekerja pada PT. X.


(17)

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap karyawan yang bekerja dalam PT ini menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi, dimana terlihat pada setiap karyawan yang bersedia secara aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini diperkuat oleh Mathieu dan Zajac (dalam Nasina & Doris, 2011), dimana karyawan yang berkomitmen berarti karyawan yang memiliki keterlibatan yang tinggi seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi. Karyawan yang berkomitmen tinggi biasanya akan menunjukkan suatu keinginan yang kuat untuk menetap dalam organisasi tersebut (Nasina & Doris, 2011).

PT. X merupakan suatu perusahaan distribusi yang berdiri pada tahun 1985 serta berkembang menjadi salah satu perusahaan distribusi terbesar di Indonesia. Perusahaan ini mengkhususkan diri pada pendistribusian produk kebutuhan sehari-hari, meliputi beragam katergori yaitu biskuit, wafer, permen, mi instan, minuman kesehatan, makanan ringan, baterai dan lain-lain.

Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa menguasai banyak hal, berhubungan dengan banyak orang dan menambah wawasan mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan mereka, maka dapat mengembangkan komitmen


(18)

3

afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan kepuasan yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen 2007). Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka.

Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi, keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades, Eisenberger dan Armeli, 2001).

Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer dan Allen, 1997). Beberapa karyawan PT. X menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan pemimpin mereka, dimana pemimpin mereka memperlakukan setiap karyawan secara adil dan pemimpin juga dapat memberikan


(19)

kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil keputusan, dengan demikian mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin mereka.

Meyer dan Allen (1997) merefleksikan komitmen sebagai sebuah orientasi afektif terhadap organisasi (komitmen afektif), sebuah pengakuan adanya biaya yang harus dibayar ketika meninggalkan organisasi (continuance commitment) dan sebuah kewajiban moral untuk tetap bertahan di dalam organisasi tersebut (normative commitment). Meyer dan Allen (1997) mengajukan hal itu sebagai tiga model komponen pada komitmen (three-component model of commitment). Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat tetap bekerja dengan organisasi tersebut karena mereka ingin melakukannya. Karyawan yang bertahan dalam suatu organisasi berdasarkan continuance commitment itu karena mereka perlu melakukannya. Sedangkan karyawan dengan tingkat normative commitment yang tinggi merasa bahwa mereka wajib untuk bertahan dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997).

Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di PT tersebut memiliki tipe komitmen afektif dimana memenuhi beberapa indikator-indikator perilaku yang terdapat pada tipe komitmen tersebut.

Karyawan dengan tingkat komitmen afektif yang tinggi lebih sedikit keluar dari pekerjaan mereka, absen dari bekerja (McShane dan Glinow, 2003), dan memiliki motivasi serta keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1997). Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang karyawan yang bekerja sebagai HRD di PT. X, bahwa terdapat sedikit karyawan yang keluar


(20)

5

dari pekerjaan mereka ataupun absen dalam bekerja dan setiap karyawan juga berkontribusi dengan baik dalam perusahaan mereka.

Budaya organisasi dinyatakan mampu untuk meningkatkan komitmen pada karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010), karena budaya organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada komitmen organisasi karyawan

(O’Reilly, dalam Silverthorne, 2004). Harris dan Mossholder (dalam Rastegar dan Aghayan, 2012) menunjukkan bahwa budaya organisasi sebagai pusat dimana seluruh faktor-faktor sumber daya manusia ditingkatkan, hal tersebut dipercaya mempengaruhi attitudes individu seperti komitmen, motivasi, moral dan kepuasan.

Lincoln dan Kelleberg (dalam Bjarnason, 2009) turut membuktikan bahwa komitmen organisasi adalah merupakan manifestasi daripada nilai budaya yang kuat dan mendalam. Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati karyawan yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk, dalam Mariatin, 2009).

Peranan budaya organisasi sangatlah penting dalam memahami perilaku organisasi. Menurut Wagner (dalam Manetje dan Martins, 2009), budaya organisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku dan attitude karyawan, hal itu karena budaya organisasi terdiri dari standar dan norma yang menentukan bagaimana karyawan harus berperilaku dalam organisasi tertentu.

Menurut Schein (dalam Rollinson, 2005), budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, dipersepsikan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok seperti belajar untuk mengatasi masalah-masalah dan telah bekerja cukup


(21)

baik, karena itu hal ini diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara terbaik untuk mempersepsikan, berpikir dan merasakan hubungannya dengan masalah-masalah tersebut. Budaya organisasi dapat dianalisa pada tiga level yang berbeda antara lain surface level, espoused value dan basic assumptions. Pada surface level terdiri dari bahasa, simbol, lingkungan fisik, ritual atau upacara dimana merupakan artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi. Sedangkan pada basic assumptions terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs (Schein, 1984).

Saat ini, budaya organisasi telah menjadi komponen dasar pada setiap bisnis. Budaya organisasi tersebut berkomunikasi pada setiap level budaya karena organisasi mencapai tujuan ketika nilai-nilai budaya dibagikan pada seluruh tenaga kerja dalam organisasi tersebut, dan hal ini akan memberikan keuntungan yang besar pada organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Beberapa tokoh telah mendiskusikan kemungkinan adanya hubungan teoritis yang positif antara komitmen organisasi dan budaya organisasi. Hal ini muncul karena budaya organisasi cenderung mempengaruhi usaha kerja dan komitmen karyawan secara langsung melalui nilai-nilai budaya (Black, dalam Manetje dan Martins, 2009). Budaya yang positif meningkatkan komitmen karyawan dimana dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Hubungan antara budaya organisasi dan komitmen organisasi juga menunjukkan karyawan yang bekerja dalam budaya yang kuat akan merasa lebih berkomitmen (Nystrom, dalam Manetje dan Martins, 2010).


(22)

7

Hubungan positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi tersebut juga diperkuat melalui penemuan beberapa peneliti diantaranya, Lau dan Idris (dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012) menemukan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh budaya organisasi yang mencerminkan kuatnya keterikatan atau keterlibatan karyawan dengan perusahaan mereka. Ooi dan Arumugan (dalam Sola, Femi dan Kolapo, 2012) juga menemukan adanya hubungan signifikan antara budaya organisasi dan komitmen pada karyawan, dimana mereka menyatakan bahwa ketika budaya organisasi dan komitmen organisasi berhasil dilaksanakan maka akan membawa perubahan dalam suatu organisasi.

Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) turut membuktikan hubungan signifikan antara budaya organisasi dan komitmen organisasi melalui penelitian yang mereka lakukan, dimana penelitian itu menunjukkan dampak dari tiga level budaya organisasi terhadap komitmen karyawan. Pada surface level, lingkungan fisik mengundang orang-orang dari latar belakang yang berbeda termasuk bahasa. Lingkungan dan komunikasi yang efektif memberikan kebahagiaan bagi karyawan pada organisasi yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut (George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dengan demikian, komitmen afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan dimana karyawan merasa lebih nyaman pada pekerjaannya dan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang pantas. Ritual dan upacara dalam organisasi mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan dengan organisasi dan sejarah organisasi juga dapat mendorong komitmen afektif karyawan yang baru. Oleh karena itu, artefak atau surface level


(23)

pada budaya organisasi dapat mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson & Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Espoused values menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi berdasarkan budaya organisasi mendukung komitmen karyawan dalam organisasi (Whetten & Cameron, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Karyawan membutuhkan seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan serta seorang pemimpin yang diharapkan mampu melakukan perubahan, oleh karena itu pentingnya suatu organisasi memiliki seorang pemimpin yang mampu untuk membimbing karyawan dan memotivasi mereka untuk lebih berkomitmen (Ahmad dan Gelaidan, 2011).

Basic assumptions sebagai level ketiga pada budaya organisasi yang terdiri dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs meningkatkan komitmen pada karyawan. Smith (dalam Meijen, 2007) menyatakan bahwa asumsi dikembangkan atau ditemukan melalui karyawan, dimana asumsi ini cukup penting untuk mengajari anggota yang baru bergabung ke dalam suatu organisasi karena mereka dapat mengetahui bagaimana karyawan harus menerima, berpikir dan merasakan mengenai suatu masalah. Asumsi dasar dan nilai yang dibangun dengan baik sesuai dengan


(24)

9

attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Organisasi dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan membagikan nilai-nilai kepada para karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai pada budaya organisasi. Faktor-faktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi (Mcshane dan Glinow, 2003).

Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai level pada budaya organisasi mempengaruhi komitmen karyawan pada level yang berbeda. Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka bekerja, hal ini tidak hanya meningkatkan kinerja karyawan melainkan juga meningkatkan komitmen pada karyawan dalam organisasi tersebut. Robbins (dalam George dan Jayan, 2012) juga menambahkan, adanya persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong culture) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya. Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana persepsi karyawan terhadap budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap peningkatan efektifitas suatu organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena budaya organisasi yang efektif di dalam suatu organisasi membangun lingkungan komitmen yang tinggi (Denison, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Berdasarkan hal yang dipaparkan diatas sesuai dengan fenomena yang ditemukan di PT. X ini, maka peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat


(25)

hubungan antara budaya organisasi dengan komitmen afektif pada karyawan di PT. X.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif. Penelitian ini akan melihat dari teori budaya organisasi oleh Edgar Schein (1984) dimana berhubungan dengan komitmen afektif oleh Meyer dan Allen (1997).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk menambah wawasan dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi dan sebagai tambahan sumber bahan bacaan sebagai hasil penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitment afektif pada karyawan yang bekerja dalam salah satu organisasi.


(26)

11

Mengetahui sejauh mana tingkat komitmen afektif para karyawan terhadap organisasi serta mengetahui sejauh mana persepsi karyawan terhadap budaya pada organisasi tersebut memiliki hubungan dengan tingkat komitmen afektif para karyawannya. Dengan mengetahui hal tersebut, diharapkan organisasi dapat meningkatkan komitmen karyawan melalui budaya organisasinya.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Disini digambarkan tentang berbagai tinjauan literatur, fenomena, teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai komponen komitmen organisasi dan budaya organisasi.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Membuat landasan teori berdasarkan teori yang relevan mengenai teori budaya organisasi menurut Edgar Schein dan teori komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan budaya organisasi dengan komitmen organisasi.


(27)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel, populasi, alat ukur penelitian, validitas dan reliabilitas alat ukur, uji daya beda aitem, prosedur pelaksanaan penelitian serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum subjek penelitian, serta bagaimana analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik. Bab ini juga akan diuraikan mengenai intepretasi data yang ada. Kemudian data-data tersebut akan diuraikan dalam pembahasan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian dilengkapi dengan saran-saran bagi pihak lain berdasarkan hasil yang diperoleh.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMITMEN AFEKTIF 1. Pengertian Komitmen Afektif

Sheldon (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif sebagai suatu attitude atau orientasi terhadap organisasi dimana berhubungan dengan identitas seseorang terhadap organisasi.

Mowday, Porter, & Steers (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif merupakan kekuatan relatif pada seorang individu dalam mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan terlibat dalam organisasi tersebut.

Meyer dan Allen (1997) juga mendefinisikan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional karyawan kepada organisasi, identifikasi karyawan dengan organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi tertentu, dimana karyawan menetap dalam organisasi karena mereka menginginkannya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat secara emosional sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena menginginkannya.


(29)

2. Perkembangan Komitmen Afektif

Ada beberapa variabel yang dinyatakan sebagai penyebab berkembangnya komitmen afektif yang dapat dikategorisasikan sebagai berikut (Meyer & Allen, 1997):

a. Karakteristik organisasi

Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa beberapa studi telah menguji hubungan antara komitmen organisasi dan struktur organisasi. Walaupun penelitian ini terbatas, ada terdapat beberapa bukti bahwa komitmen afektif berhubungan dengan pengambilan keputusan dan aturan serta prosedur dalam organisasi.

b. Karakteristik personal

Karaktersitik personal terdiri dari kebutuhan untuk pencapaian prestasi, afilliasi dan kebebasan, serta ketertarikan dalam kehidupan bekerja telah ditemukan berhubungan dengan komitmen organisasi. Individu yang memilih pekerjaan mereka sesuai dengan karakteristik personal mereka akan memiliki attitude kerja yang lebih positif daripada karyawan yang tidak memiliki pekerjaan berdasarkan karakteristik tersebut.

c. Pengalaman kerja

Pengalaman kerja merupakan suatu dorongan sosial dan menghadirkan suatu ketertarikan psikologis yang dibentuk dalam suatu organisasi. Karyawan yang pengalamannya dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan dasar mereka akan lebih mengembangkan komitmen


(30)

15

afektif pada organisasi mereka, daripada karyawan yang memiliki sedikit kepuasan terhadap pengalaman bekerja mereka. Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka, dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka.

B. BUDAYA ORGANISASI 1. Pengertian Budaya Organisasi

McShane dan Glinow (2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola dasar, nilai-nilai, dan kepercayaan yang dapat mengarahkan tindakan dan pemikiran yang benar dalam menghadapi masalah dan kesempatan yang ada dalam organisasi.

Martins dan Martins (dalam Manetje dan Martins, 2009), mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu identitas untuk dapat membedakan organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Arnold (dalam Manetje dan Martins, 2009) menyatakan budaya organisasi adalah norma, kepercayaan, prinsip dan cara berperilaku yang khusus untuk memberikan setiap organisasi memiliki karakter yang berbeda. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

Brown (dalam Manetje dan Martins, 2009) turut mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola kepercayaan, nilai-nilai dan cara mengatasi masalah yang dipelajari melalui pengalaman dimana telah berkembang selama sejarah organisasi,


(31)

dan cenderung telah mempengaruhi perilaku setiap karyawan sehingga budaya organisasi meningkatkan cara dimana karyawan harus berperilaku.

Berhubungan dengan definisi tersebut, Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) menggambarkan budaya organisasi sebagai suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok seperti belajar untuk mengatasi masalah-masalah pada adaptasi eksternal misalnya strategi, tujuan, struktur organisasi, sistem informasi dan intergrasi internal misalnya hubungan, komunikasi para karyawan, reward, hukuman serta agama, yang telah bekerja cukup baik, karena itu hal ini diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara terbaik untuk menerima, berpikir dan merasakan hubungannya dengan masalah-masalah tersebut. Definisi ini menunjukkan bahwa budaya organisasi membentuk asumsi yang diterima untuk melakukan sesuatu dan disalurkan kepada anggota baru dalam organisasi tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi.

2. Level Budaya Organisasi

Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) membagikan budaya organisasi ke dalam tiga level yang berbeda dimana setiap level memiliki elemen-elemen pada budaya organisasi tersebut, diantaranya:


(32)

17

a. Surface Level

Merupakan struktur dan proses organisasi yang tampak dan dapat di observasi. Terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari rancangan fisik suatu bangunan, cara berpakaian, cara berbicara dengan orang lain sampai dengan hal yang dibicarakan. Surface level dibedakan dalam beberapa elemen, diantaranya:

i. Norma

Ini merupakan tanda perilaku yang dijadikan asumsi dan nilai-nilai dan diabadikan ketika orang mengamati norma tersebut.

ii. Bahasa

Bahasa yang digunakan seseorang dapat menjadi indikasi bernilai pada budaya. Bagaimana atasan berbicara dengan bawahan dapat menunjukkan nilai status pada pekerjaan.

iii. Simbol

Status simbol menunjukkan posisi sosial dan tingkat dalam hirarki, dan kebesaran mereka memberikan indikasi yang baik tentang seberapa pentingnya hal tersebut melekat pada hirarki sebagai prinsip pengorganisasian.

iv. Ritual dan ceremony

Ritual merupakan program rutin yang dijalankan oleh organisasi. Ritual yang diperkenalkan kepada karyawan baru dapat mempercepat proses integrasi. Sedangkan ceremonies merupakan aktivitas yang direncanakan secara khusus. Baik ceremonies yang formal maupun informal sering


(33)

memberikan arti yang penting bagi organisasi. Pesta perpisahan atau pensiun dapat digunakan sebagai tanda sebuah keluarga bahagia atau sebuah organisasi yang penuh kehangatan.

v. Sejarah

Sejarah sering sebagai cara untuk menunjukkan nilai-nilai utama dan asumsi kepada orang lain dan menjadi hal yang menarik untuk didengar.

b. Espoused Values

Merupakan nilai untuk mendirikan gambaran publik yang ingin ditunjukkan oleh pemimpin organisasi. Nilai tersebut secara sadar dibangun dan secara moral atau etis mengarahkan perilaku dengan mengembangkan asumsi ke dalam perilaku. Oleh karena itu, nilai mengarahkan perilaku dalam organisasi. Elemen-elemen pada level tersebut antara lain: Strategi, tujuan ataupun filosofi organisasi.

c. Basic Assumptions

Merupakan level terdalam pada budaya. Hal ini merupakan dasar beliefs yang dianut oleh banyak orang tanpa disadari. Setiap organisasi juga cenderung berbeda dalam basic assumptions yang ada dalam budaya mereka. Elemen-elemen pada basic assumptions terdiri dari: beliefs, nilai-nilai, perasaan, persepsi, pemikiran dan asumsi.


(34)

19

Sebuah budaya organisasi yang kuat memiliki potensi untuk meningkatkan kesuksesan organisasi melalui tiga fungsi penting dari budaya organisasi menurut McShane dan Glinow (2003), yaitu:

a. Control system

Budaya organisasi merupakan sebuah kontrol sosial yang tertanam dalam organisasi yang mempengaruhi keputusan dan perilaku karyawan. Budaya bekerja secara tidak sadar, dan fungsinya mengarahkan karyawan untuk bekerja sesuai dengan harapan organisasi.

b. Social glue

Budaya organisasi merupakan perekat sosial (social glue) yang mengikat karyawan dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari pengalaman organisasi. Karyawan termotivasi untuk menganut budaya organisasi karena hal tersebut memenuhi kebutuhan mereka akan identitas sosial. Social glue sangat penting karena dapat menarik perhatian karyawan baru dan mempertahankan kinerja yang optimal.

c. Sense making

Budaya organisasi membantu proses sense-making. Budaya membantu karyawan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan mengapa sesuatu hal terjadi di dalam organisasi. Budaya organisasi juga membantu karyawan untuk memahami apa yang diharapkan dari diri mereka dan untuk berinteraksi dengan karyawan lain yang juga mengetahui dan percaya akan budaya organisasi tersebut.


(35)

C. PERSEPSI

1. Pengertian Persepsi

Luthans (2005) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses mediasi kognitif yang penting dimana orang membuat interpretasi dari stimulus atau situasi yang mereka alami.

Persepsi merupakan suatu proses mental yang meliputi seleksi, organisasi, struktur dan interpretasi informasi dalam usaha menyimpulkan dan memberi arti terhadap informasi yang ada (Rollinson, 2005).

Robbins (dalam George dan Jayan, 2012) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

Mc Shane dan Glinow (2003) juga menambahkan bahwa persepsi merupakan proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, termasuk penetapan informasi untuk membentuk pengkategorian dan penafsiran.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, dimana individu membentuk interpretasi dan penafsiran dalam usaha memberi makna dan arti terhadap informasi yang ada.


(36)

21

D. HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN AFEKTIF

Berdasarkan fenomena yang ditemukan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap karyawan yang bekerja dalam PT ini menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi, dimana terlihat pada setiap karyawan yang bersedia secara aktif turut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai dengan definisi komitmen organisasi oleh Herseovitch dan Meyer (dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012) yaitu suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta bersedia untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan tersebut. Karyawan yang berkomitmen berarti karyawan tersebut memiliki keterlibatan yang tinggi dalam organisasi seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi (Mathieu dan Zajac, dalam Nasina & doris, 2011).

Komitmen organisasi dibagi kedalam tiga tipe yaitu komitmen afektif, continuance commitment, dan normative commitment (Meyer & Allen, 1997). Komitmen afektif merupakan ketertarikan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Continuance commitment merupakan pengakuan dan kesadaran akan biaya yang harus dibayar ketika meninggalkan organisasi. Sedangkan normative commitment merupakan suatu perasaan pada kewajiban seorang karyawan untuk melanjutkan pekerjaannya.

Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa dari ketiga tipe komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen, karyawan tersebut menonjolkan tipe komitmen


(37)

afektif dimana sesuai dengan beberapa indikator-indikator perilaku yang terdapat pada tipe komitmen afektif.

Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa menguasai banyak hal, dapat berhubungan dengan banyak orang dan menambah wawasan mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan mereka, maka dapat mengembangkan komitmen afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan kepuasan yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen 2007). Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka.

Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi, keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades, Eisenberger dan Armeli, 2001).


(38)

23

Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer dan Allen, 1997). Hal ini juga ditemukan pada beberapa karyawan PT. X yang menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan pemimpin mereka, dimana pemimpin mereka memperlakukan setiap karyawan secara adil dan pemimpin juga dapat memberikan kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil keputusan, dengan demikian mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin mereka.

Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati karyawan yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk, dalam Mariatin, 2009). Dengan membangun suatu budaya organisasi yang baik maka akan meningkatkan komitmen pada karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010), karena budaya organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada komitmen organisasi karyawan (O’Reilly, dalam Silverthorne, 2004).

Budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi.


(39)

Budaya organisasi muncul dalam berbagai bentuk pada level yang berbeda. Menurut Schein (1984), setiap budaya organisasi memiliki tiga level yaitu surface level, espoused values, dan basic assumption. Pada surface level terdiri dari bahasa, simbol, lingkungan fisik, dress code, ritual atau upacara dimana merupakan artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi dimana merupakan nilai yang dibentuk oleh pemimpin. Sedangkan pada basic assumptions terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs.

Ketiga level pada budaya organisasi tersebut memiliki dampak terhadap komitmen organisasi pada karyawan yang menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pada surface level, lingkungan fisik terdiri dari orang-orang dari latar belakang serta bahasa yang berbeda. Organisasi fokus pada lingkungan fisik tersebut dimana karyawan berinteraksi satu dengan yang lain. Lingkungan yang efektif memberikan kebahagiaan bagi karyawan yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut (George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dengan demikian komitmen afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja dan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang pantas. Komunikasi yang efektif dalam organisasi tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga meningkatkan komitmen afektif pada karyawan dalam organisasi tersebut. Ritual dan upacara dalam organisasi mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan dengan organisasi dan sejarah organisasi


(40)

25

juga dapat mendorong komitmen afektifkaryawan baru. Oleh karena itu artefak atau surface level pada budaya organisasi mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson dan Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Pada espoused values menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi yang dilakukan oleh pemimpin organisasi berdasarkan budaya organisasi mendukung komitmen karyawan dan strategi pemimpin mengurangi ketidakpastian pada karyawan serta menjaga komitmen mereka dengan organisasi (Whetten dan Cameron, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Level terakhir pada budaya organisasi adalah basic assumptions dimana terdiri dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs yang meningkatkan komitmen pada karyawan. Asumsi dasar dan nilai yang dibangun dengan baik sesuai dengan attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). McShane dan Glinow (2006) juga menyatakan bahwa dasar dari nilai-nilai dan asumsi dapat membangun komitmen karyawan. Organisasi dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan membagikan nilai-nilai kepada para


(41)

karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai pada budaya organisasi. Faktor-faktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi.

Dalam hal ini menunjukkan bahwa setiap level pada budaya organisasi mempengaruhi komitmen afektif. Walaupun setiap organisasi mempunyai tipe budaya yang berbeda-beda, akan tetapi setiap budaya organisasi sesuai dengan tiga level pada budaya organisasi tersebut dimana dapat mendukung organisasi dalam meningkatkan dan membangun karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasi (Schein, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka bekerja, hal ini akan meningkatkan komitmen pada karyawan dalam organisasi tersebut. Persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong culture) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya (Robbins, dalam George dan Jayan, 2012). Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana persepsi karyawan terhadap budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap peningkatan efektifitas suatu organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena budaya organisasi yang efektif pada suatu organisasi membangun lingkungan komitmen yang tinggi (Denison, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif.


(42)

27

E. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian berupa “Ada hubungan positif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif.”


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian korelasional. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, alat ukur penelitian, validitas, reliabilitas, uji daya beda aitem dan metode analisis data.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel bebas : Budaya organisasi Variablel tergantung : Komitmen Afektif

B. DEFINISI OPERASIONAL 1. Komitmen Afektif

Komitmen afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat secara emosional sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena menginginkannya.

Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala komitmen afektif menunjukkan semakin tinggi tingkat komitmen afektif karyawan dan sebaliknya, semakin rendah nilai yang diperoleh dari skala komitmen afektif menunjukkan semakin rendah tingkat komitmen afektif karyawan.


(44)

29

2. Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah persepsi yang ditimbulkan karyawan terhadap model budaya organisasi yang diciptakan oleh pihak menajemen mengenai nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi.

Budaya organisasi diukur dengan skala budaya organisasi yang disusun oleh peneliti berdasarkan level budaya organisasi oleh Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) yaitu:

a. Surface Level

Merupakan struktur dan proses organisasi yang tampak dan dapat di observasi. Terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari rancangan fisik suatu bangunan, cara berpakaian, cara berbicara dengan orang lain sampai dengan hal yang dibicarakan.

b. Espoused Values

Merupakan nilai untuk mendirikan gambaran publik yang ingin ditunjukkan oleh pemimpin organisasi. Nilai tersebut secara sadar dibangun dan secara moral atau etis mengarahkan perilaku dengan mengembangkan asumsi ke dalam perilaku. Oleh karena itu, nilai mengarahkan perilaku dalam organisasi.


(45)

c. Basic Assumptions

Merupakan level terdalam pada budaya. Hal ini merupakan dasar beliefs yang dianut oleh banyak orang tanpa disadari. Setiap organisasi juga cenderung berbeda dalam basic assumptions yang ada dalam budaya mereka.

Semakin tinggi skor yang dimiliki subjek pada skala ini menunjukkan semakin positif persepsi karyawan terhadap budaya organisasi yang diciptakan oleh perusahaan dan sebaliknya, semakin rendah total skor pada skala ini, semakin negatif persepsi karyawan terhadap budaya organisasi yang diciptakan oleh perusahaan.

C. POPULASI

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain dan hendak digeneralisasikan (Azwar, 2010). Adapun karakteristik atau ciri dari populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang telah bekerja minimal selama dua tahun, dengan alasan bahwa karyawan dengan lama kerja 2 – 4 tahun sudah masuk kepada tahap metamorphosis yaitu tahap dimana setiap pekerja akan berubah dan telah menyerap nilai organisasi dengan baik (Robbins, dalam Mariatin, 2009).

Dalam penelitian ini, peneliti menargetkan populasi sebagai subjek penelitian. Adapun subjek penelitian yang memenuhi kriteria populasi adalah sebanyak 47 orang.


(46)

31

D. ALAT UKUR PENELITIAN

Dalam penelitian ini, alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori komitmen afektif dan budaya organisasi.

1. Skala Komitmen Afektif

Skala komitmen afektif disusun berdasarkan indikator-indikator perilaku dari salah satu tipe komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Meyer dan Allen (1997) yaitu komitmen afektif.

Skala ini menggunakan skala model Likert. Skala terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Setiap elemen di atas akan diuraikan ke dalam pernyataan favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Untuk pernyataan favourable, pilihan SS mendapatkan skor 5, pilihan S mendapatkan skor 4, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS mendapatkan skor 2 dan pilihan STS mendapatkan skor 1. Untuk pernyataan unfavourable, pilihan SS mendapatkan skor 1, pilihan S mendapatkan skor 2, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS mendapatkan skor 4 dan pilihan STS mendapatkan skor 5.

Skala komitmen afektif akan disusun berdasarkan definisi dari tiap kategori. Semakin tinggi skor yang dimiliki subjek pada skala ini menunjukkan semakin tinggi komitmen afektif karyawan dan sebaliknya, semakin rendah total skor pada skala ini, maka semakin rendah pula komitmen afektif karyawan.


(47)

Blueprint yang digunakan untuk penyusunan skala komitmen afektif adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Blueprint Skala Komitmen Afektif Sebelum Uji Coba No. Komitmen Afektif Item Favourable Item

Unfavourable

Jumlah

1. Komitmen Afektif 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13,

15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29

2, 4, 6, 8, 10, 12, 14

22

Jumlah 15 7 22

2. Skala Budaya Organisasi

Skala budaya organisasi disusun berdasarkan level pada budaya organisasi yang dikemukakan oleh Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005).

Skala ini menggunakan skala model Likert. Skala terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Setiap elemen di atas akan diuraikan ke dalam pernyataan favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Untuk pernyataan favourable, pilihan SS mendapatkan skor 5, pilihan S mendapatkan skor 4, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS mendapatkan skor 2 dan pilihan STS mendapatkan skor 1. Untuk pernyataan unfavourable, pilihan SS mendapatkan skor 1, pilihan S mendapatkan skor 2, pilihan N mendapatkan skor 3, pilihan TS mendapatkan skor 4 dan pilihan STS mendapatkan skor 5. Skala budaya organisasi


(48)

33

akan disusun berdasarkan definisi dari tiap kategori pada elemen-elemen budaya organisasi.

Blueprint yang digunakan untuk penyusunan skala budaya organisasi adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Blueprint Skala Budaya Organisasi Sebelum Uji Coba No. Level budaya organisasi Favourable Unfavourable Jumlah

1. Surface level 1, 7, 13, 18, 21, 24, 27, 28, 30, 33, 35

4, 10, 16 14

2. Espoused values 2, 8, 14, 19, 22, 25, 29, 31, 34, 36, 38, 40

5, 11, 17 15

3. Basic Assumptions 3, 9, 15, 20, 23, 26, 32, 37, 39

6, 12 11

Jumlah 32 8 40

E. VALIDITAS, RELIABILITAS, DAN UJI DAYA BEDA AITEM 1. Uji Validitas

Validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur (Kaplan dan Saccuzzo, 2005). Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan hal yang utama dalam suatu tes yang biasanya dinilai dengan menggunakan pertimbangan pakar (Azwar, 2000).


(49)

Oleh karena itu. peneliti akan meminta pertimbangan professional judgment yaitu dosen pembimbing peneliti dalam menilai aspek-aspek yang diukur.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dari suatu alat ukur dapat dipercaya (Azwar, 2000). Reliabilitas dianggap memuaskan bila koefisiennya

mencapai minimal rxx’ = 0,900 (Azwar, 2012). Teknik analisis yang digunakan untuk menghitung reliabilitas dari alat ukur dalam penelitian ini adalah teknik koefisien alpha cronbach formula. Penghitungan selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS 16.0 for windows.

3. Uji Daya Beda Aitem

Daya beda aitem akan diuji dengan menggunakan Pearson Product Moment. Jika kolerasi aitem total mencapai nilai minimal 0.3 maka daya beda aitem tersebut dianggap memuaskan (Azwar, 2012).

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba terhadap kedua instrumen penelitian dilaksanakan pada 18 Maret 2013 sampai dengan 23 Maret 2013. Uji coba dilakukan dengan menyebarkan skala ke suatu perusahaan distributor. Uji coba alat ukur melibatkan 50 orang. Dari hasil uji coba diperoleh 22 aitem untuk skala I dan 40 aitem untuk skala II. Reliabilitas skala kecenderungan komitmen afektif adalah 0,931 dan reliabilitas skala budaya


(50)

35

organisasi adalah 0,948. Distribusi aitem setelah uji coba dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Blueprint Skala Komitmen Afektif Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru

No. Komitmen Afektif Item Favourable Item Unfavourable

Jumlah

1. Komitmen Afektif 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14

13 14

Jumlah 13 1 14

Tabel 4. Blueprint Skala Budaya Organisasi Setelah Uji Coba dan Penomoran Baru

No. Level Budaya Organisasi Item Favourable Item Unfavourable

Jumlah

1. Surface Level 1, 10, 17, 20, 21, 23, 26, 28

8 9

2. Espoused Values 2, 6, 11, 13, 15, 18, 22, 24, 27, 29, 31

4, 9 13

3. Basic Assumptions 3, 7, 12, 14, 16, 19, 25, 30, 32

5 10

Jumlah 28 4 32

G. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian


(51)

Persiapan yang dilakukan oleh peneliti untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan alat ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala komitmen afektif. Skala komitmen afektif memiliki 14 aitem dan disusun berdasarkan indikator komitmen afektif. Skala budaya organisasi memiliki 32 aitem dan disusun berdasarkan level budaya organisasi. Kedua skala ini memiliki 5 alternatif jawaban dari sangat sesuai, sesuai, netral, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai.

b. Uji coba alat ukur

Uji coba terhadap skala penelitian dilaksanakan pada 18 Maret 2013 sampai dengan 23 Maret 2013. Uji coba dilakukan dengan menyebarkan skala ke satu perusahaan. Uji coba alat ukur melibatkan 50 orang. Skala yang telah dicetak dalam bentuk buku beserta reward berupa pulpen dibagikan kepada sampel penelitian, setelah individu selesai mengisi maka skala dikumpulkan kembali. Skala kemudian diskoring dan data yang diperoleh diolah untuk melihat daya diskriminasi aitem dan reliabilitas alat ukur.

c. Revisi alat ukur

Dari analisa daya diskriminasi aitem, aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (< 0,3) dikeluarkan dari skala. Aitem yang memiliki daya diskriminasi baik kemudian disusun menjadi skala yang digunakan untuk mengambil data


(52)

37

penelitian. Dari hasil analisa daya diskriminasi, skala komitmen afektif memiliki 14 aitem dan skala budaya organisasi memiliki 32 aitem.

2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah alat ukur selesai di uji coba dan direvisi, maka langkah selanjutnya adalah mengambil data penelitian. Pengambilan data penelitian dilaksanakan dari tanggal 10 April 2013 sampai dengan 20 April 2013 di PT. X. Peneliti membagikan skala kepada seluruh karyawan PT. X yang sesuai dengan karakteristik penelitian untuk mengisi skala yang telah disusun dalam bentuk buku yang disertai reward berupa pulpen. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 47 orang.

3. Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari skala komitmen afektif dan skala budaya organisasi pada seluruh sampel, maka dilakukanlah pengolahan data. Pengolahan data tersebut menggunakan bantuan program SPSS 16.00.

H. METODE ANALISIS DATA

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik. Metode analisis data yang digunakan untuk melihat hubungan antara budaya organisasi dan komitmen afektif adalah dengan menggunakan pearson colleration dengan bantuan program SPSS 16.00.

Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yaitu sebagai berikut:


(53)

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua variabel terdistribusi secara normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows. Data terdistribusi normal jika p > 0.05 dan sebaliknya data tidak berdistribusi dengan normal apabila p < 0.05 (Field, 2009).

2. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data budaya organisasi berkolerasi terhadap data komitmen afektif. Uji linearitas dilakukan dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows dengan menggunakan test for linearity. Kedua variabel berhubungan secara linear jika p < 0.05 (Field, 2009).


(54)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Di dalam bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, yang akan dilanjutkan dengan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 47 orang. Berdasarkan data yang diperoleh, berikut akan dipaparkan data subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lama bekerja.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti yang tertera pada tabel 5.

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin Jumlah (N) Persentase (%)

Laki-laki 22 46,8%

Perempuan 25 53,2%


(55)

Dari tabel 5 menunjukkan bahwa subjek yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada subjek berjenis kelamin laki-laki, dimana subjek berjenis kelamin perempuan berjumlah 25 orang (53,2%) dan subjek berjenis kelamin laki-laki berjumlah 22 orang (46,8%).

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia subjek penelitian, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti yang tertera pada tabel 6.

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Usia (tahun) Jumlah (N) Persentase (%)

20 4 8,5%

21 1 2,1%

22 2 4,3%

23 2 4,3%

24 4 8,5%

25 5 10,6%

26 5 10,6%

27 5 10,6%

28 6 12,8%


(56)

41

30 4 8,5%

31 1 2,1%

32 1 2,1%

33 3 6,4%

35 1 2,1%

36 1 2,1%

39 1 2,1%

Total 47 100%

Dari tabel 6 diperoleh gambaran bahwa subjek yang berusia 28 tahun berjumlah 6 orang (12,8%), subjek yang berusia 25, 26 dan 27 masing-masing berjumlah 5 orang (10,6%), subjek dengan usia 20, 24 dan 39 masing-masing berjumlah 4 orang (8,5%), subjek yang berusia 33 tahun berjumlah 3 orang (6,4%), kemudian subjek yang berusia 22 dan 23 tahun masing-masing berjumlah 2 orang (4,3%), dan subjek dengan usia 21, 29, 31, 32, 35, 36 dan 39 masing-masing berjumlah 1 orang (2,1%) .

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja

Berdasarkan lama bekerja subjek penelitian, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti yang tertera pada tabel 7.


(57)

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja Lama kerja (tahun) Jumlah (N) Persentase (%)

2 15 31,9%

3 12 25,5%

4 6 12,8%

5 7 14,9%

6 3 6,4%

7 4 8,5%

Total 47 100%

Pada tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar subjek bekerja selama 2 tahun yaitu berjumlah 15 orang (31,9%), diikuti dengan subjek yang bekerja selama 3 tahun berjumlah 12 orang (25,5%), subjek yang bekerja selama 4 tahun berjumlah 6 orang (12,8%), sebanyak 7 orang (14,9%) bekerja selama 5 tahun, kemudian sebanyak 3 orang (6,4%) bekerja selama 6 tahun, dan subjek yang bekerja selama 7 tahun berjumlah 4 orang (8,5%).

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Komitmen Afektif

Kategorisasi skor komitmen afektif subjek penelitian dapat diperoleh melalui uji signifikansi perbedaan mean empirik dengan mean hipotetik. Kemudian subjek akan digolongkan ke dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pengkategorian dilakukan dengan cara berikut (Azwar, 2012):


(58)

43

Rendah : X < (μ - 1,0σ)

Sedang : (μ - 1,0σ) ≤ X < (μ + 1,0σ) Tinggi : (μ + 1,0σ) ≤ X

Skala pada tipe komitmen afektif terdiri dari 14 aitem dengan 5 pilihan jawaban yang nilainya bergerak dari 1 sampai dengan 5. Sehingga diperoleh nilai rentang maksimum sebesar 14 x 5 = 70 dan minimumnya 14 x 1 = 14. Dari skala tersebut diperoleh mean hipotetik (mean populasi) sebesar 42 dengan standar deviasi 9,33. Sedangkan mean empirik pada komitmen afektif adalah 43,83 dengan standar deviasi 6,69. Perbandingan mean hipotetik dan mean empirik dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Komitmen Afektif

Empirik Hipotetik

Komitmen Afektif Mean SD Mean SD

43,83 6,69 42 9,33

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbandingan mean empirik

dengan mean hipotetik menunjukkan μE < μH yaitu 43,83 < 42. Sehingga dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif pada subjek penelitian lebih tinggi daripada komitmen afektif populasi pada umumnya.

Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat kategorisasi komitmen afektif sebagai berikut:


(59)

Tabel 9. Kategorisasi Komitmen Afektif Berdasarkan Metode Distribusi Normal Rentang Nilai Kategori Kepuasan Kerja

X < 32,67 Rendah

32,67 ≤ X < 51,33 Sedang

51,33 ≤ X Tinggi

Dari kategorisasi diatas, subjek dikategorikan sesuai dengan tingkat komitmen afektif mereka. Gambaran subjek berdasarkan tingkat komitmen afektif dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10. Gambaran Subjek Berdasarkan Komitmen Afektif Kategorisasi Komitmen Afektif Jumlah (N) Persentase

Rendah 0 0%

Sedang 36 76,6%

Tinggi 11 23,4%

Total 47 100%

5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Budaya Organisasi

Kategorisasi skor budaya organisasi subjek penelitian dapat diperoleh melalui uji signifikansi perbedaan mean empirik dengan mean hipotetik. Skala budaya organisasi terdiri dari 32 aitem dengan 5 pilihan jawaban yang nilainya bergerak dari 1 sampai dengan 5. Sehingga diperoleh nilai rentang maksimum sebesar 32 x 5 = 160 dan minimumnya 32 x 1 = 32. Dari skala budaya organisasi diperoleh mean hipotetik


(60)

45

(mean populasi) sebesar 96 dengan standar deviasi 21,33. Sedangkan mean empirik pada budaya organisasi adalah 108,98 dengan standar deviasi 16,90. Perbandingan mean hipotetik dan mean empirik dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Budaya Organisasi

Empirik Hipotetik

Budaya Organisasi Mean SD Mean SD

108,98 16,90 96 21,33

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbandingan mean empirik

dengan mean hipotetik menunjukkan μE < μH yaitu 108,98 < 96. Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi pada subjek penelitian lebih tinggi daripada budaya organisasi populasi pada umumnya.

Selanjutnya subjek akan digolongkan ke dalam 3 kategori yaitu budaya organisasi tinggi, sedang, dan rendah. Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat kategorisasi budaya organisasi seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Kategorisasi Budaya Organisasi Berdasarkan Metode Distribusi Normal

Rentang Nilai Kategori Budaya Organisasi

X < 74,67 Rendah

74,67 ≤ X < 117,33 Sedang


(61)

Dari kategorisasi diatas, subjek dikategorikan sesuai dengan persepsi karyawan terhadap budaya organisasinya. Gambaran subjek berdasarkan persepsi karyawan terhadap budaya organisasinya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13. Gambaran Subjek Berdasarkan Budaya Organisasi Kategorisasi Budaya Organisasi Jumlah (N) Persentase

Rendah 0 0%

Sedang 34 72,3%

Tinggi 13 27,7%

Total 47 100%

B. HASIL PENELITIAN 1. Uji Asumsi

Sebelum analisis data dilakukan, harus dilakukan uji asumsi terlebih dahulu Uji asumsi yang dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian setiap variabel menyebar secara normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program SPSS 16.0. Data terdistribusi normal jika p > 0,05 (Field, 2009). Hal ini dapat dilihat pada tabel 14.


(62)

47

Tabel 14. Uji asumsi Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

KA BO

N 47 47

Normal Parametersa,b Mean 104.34 108.98 Std. Deviation 15.332 16.904 Most Extreme

Differences

Absolute .114 .108

Positive .114 .108

Negative -.053 -.069

Kolmogorov-Smirnov Z .781 .741

Asymp. Sig. (2-tailed) .576 .642

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Dari hasil analisa pada tabel 20 menunjukkan bahwa nilai p pada komitmen afektif sebesar 0,576 dan nilai p pada budaya organisasi sebesar 0,642 sehingga p > 0.05 yang berarti distrubusi tersebut normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data komitmen afektif berkorelasi secara linear terhadap data budaya organisasi. Uji linearitas dilakukan dengan bantuan program SPSS 16.0 dengan menggunakan test for linearity.


(63)

Kedua variabel berhubungan secara linear jika nilai p pada kolom deviation from linearity menunjukkan angka p > 0,05 (Field, 2009). Hal ini dapat dilihat pada tabel 15.

Tabel 15. Linearitas Variabel Penelitian Deviation For Linearity

F Sig

Komitmen Afektif* BO 1.481 0.238

BO : Budaya Organisasi

Dari hasil analisa pada tabel 21 menunjukkan bahwa variabel Komitmen afektif * budaya organisasi dengan nilai F = 1.481, p = 0.238, dimana memiliki nilai p > 0,05 yang berarti semua data variabel penelitian memiliki hubungan linear.

2. Hasil Utama Penelitian

Setelah dilakukan uji asumsi, maka data kemudian dianalisa untuk menguji hipotesis penelitian. Hipotesis nol (Ho) dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan positif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif. Hipotesis penelitian (Ha) adalah ada hubungan positif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif.


(64)

49

Kriteria pengujian adalah Hipotesa penelitian diterima jika p < 0,05. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 16. Pearson Collerations dengan SPSS

Komitmen Afektif Budaya Organisasi Komitmen Afektif Pearson Correlation

1 .704**

Sig. (1-tailed) .000

N 47 47

Budaya Organisasi

Pearson Correlation

.704** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 47 47

Dari hasil analisa kolerasi pearson product moment pada tabel 22 menunjukkan bahwa Ha diterima yang artinya ada hubungan positif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif(r = 0,704).

C. PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada 47 karyawan menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima, yang berarti budaya organisasi memiliki hubungan positif dengan komitmen afektif. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa kolerasi pearson dimana budaya organisasi berhubungan secara positif dengan komitmen afektif sebesar 0,704 (r = 0,704).

Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa tokoh, dimana mereka menyatakan adanya hubungan teoritis yang positif antara


(65)

budaya organisasi dan komitmen organisasi. Lau dan Idris (dalam Sola, Femi dan Kolapo, 2012) menemukan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh budaya organisasi yang mencerminkan kuatnya keterikatan atau keterlibatan karyawan terhadap perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena budaya organisasi cenderung mempengaruhi usaha kerja dan komitmen karyawan secara langsung melalui nilai-nilai budaya (Black, dalam Manetje dan Martins, 2009). Ketika nilai-nilai budaya dapat diserap dan dimengerti dengan baik oleh karyawan, kemudian pemimpin organisasi melaksanakan strategi berdasarkan budaya organisasi maka dapat mendukung komitmen karyawan dalam organisasi tersebut (Whetten dan Cameron, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa budaya organisasi berhubungan secara signifikan dengan komitmen organisasi pada karyawan di PT.X juga konsisten dengan penemuan yang dilakukan oleh Lau dan Idris (2001), Ooi and Arumugau (2006), Direnth, dkk (1958) and Nystron (1993) (dalam Sola, Femi dan Kolapo, 2012), dimana mereka semua menemukan bahwa adanya hubungan signifikan antara budaya organisasi dan komitmen organisasi. Alasan yang masuk akal untuk penemuan ini adalah setiap karyawan yang bekerja dalam suatu budaya organisasi yang kuat akan merasa lebih berkomitmen pada pekerjaan mereka dibandingkan dengan karyawan dalam suatu lingkungan budaya yang lemah, hal ini sesuai dengan pernyataan Nystrom (dalam Manetje dan Martins, 2009) dimana karyawan yang bekerja dalam budaya yang kuat akan merasa lebih berkomitmen. Alasan lainnya yaitu karyawan cenderung lebih berkomitmen pada suatu organisasi dimana budaya


(66)

51

organisasi seperti nilai-nilai dan belief berhubungan dekat dengan nilai-nilai personal dan belief karyawan (dalam Sola, Femi dan Kolapo, 2012).

Ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi di perusahaan tempat mereka bekerja, dimana perusahaan tersebut menyediakan lingkungan kerja yang nyaman serta terciptanya komunikasi yang efektif dalam organisasi, hal ini tidak hanya meningkatkan kinerja karyawan melainkan juga meningkatkan komitmen afektif pada karyawan dalam organisasi tersebut (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Kemudian karyawan yang tertarik untuk mengikuti dan terlibat dalam ritual atau kegiatan dalam organisasi juga dapat mendorong komitmen afektif pada karyawan (Nelson dan Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dalam hal ini, karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki sense of belonging dan identifikasi yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi, kesediaan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan keinginan mereka untuk bertahan dengan organisasi tersebut (Meyer & Allen, dkk, dalam Rhoades, Eisenberger, dan Armeli, 2001).


(67)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan disimpulkan jawaban-jawaban dari permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Selanjutnya, pada akhir bab, peneliti akan memberikan saran bagi perusahaan dan peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan tema yang berkaitan dengan penelitian ini.

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah hipotesa penelitian diterima, yang berarti adanya hubungan yang positif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif. Melalui hasil analisa kolerasi pearson product moment menunjukkan bahwa nilai kolerasi antara budaya organisasi dengan komitmen afektif adalah 0,704. Dalam hal ini menunjukkan bahwa komitmen afektif pada karyawan di PT. X tersebut memiliki hubungan yang signifikan terhadap budaya organisasinya.

B. SARAN

1. Saran Metodologis

1) Mengingat budaya organisasi tidak mudah untuk diinterpretasikan, sebaiknya selain menggunakan metode kuesioner sebagai alat ukur penelitian, akan lebih


(68)

53

baik jika peneliti menggunakan metode observasi dan wawancara untuk memperdalam informasi yang didapatkan mengenai budaya organisasi.

2) Peneliti sebaiknya menggunakan sampel yang lebih besar dan luas dalam penelitian ini, sehingga dapat digeneralisasikan secara lebih luas lagi.

3) Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas variabel penelitian dengan meneliti faktor-faktor yang diperkirakan memiliki hubungan dengan komitmen seperti usia, jenis kelamin, atau lama bekerja yang dapat mempengaruhi tingkat komitmen karyawan.

2. Saran Praktis Perusahaan:

1) Dari hasil penelitian ditemukan bahwa setiap karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi yang dianut. Oleh karena itu, perusahaan diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai budaya yang lebih berkualitas, sehingga dapat memperkuat budaya organisasi yang ada.

2) Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa budaya organisasi perusahaan memiliki hubungan yang positif terhadap komitmen afektif. Oleh karena itu, untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan komitmen afektif karyawan terhadap organisasi, maka pemimpin perusahaan diharapkan dapat senantiasa


(69)

memberikan dorongan terhadap setiap karyawan untuk dapat menyerap dan mempelajari budaya organisasi dengan baik.


(1)

Dari kategorisasi diatas, subjek dikategorikan sesuai dengan tingkat komitmen afektif mereka. Gambaran subjek berdasarkan tingkat komitmen afektif dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. Gambaran Subjek Berdasarkan Komitmen Afektif Kategorisasi Komitmen Afektif Jumlah (N) Persentase

Rendah 0 0%

Sedang 36 76,6%

Tinggi 11 23,4%

Total 47 100%

Subjek Nilai Komitmen Afektif Kategori Komitmen Afektif

1 50 Sedang

2 51 Sedang

3 47 Sedang

4 47 Sedang

5 40 Sedang

6 48 Sedang

7 38 Sedang

8 36 Sedang

9 49 Sedang

10 45 Sedang


(2)

13 35 Sedang

14 44 Sedang

15 51 Sedang

16 52 Tinggi

17 45 Sedang

18 51 Sedang

19 42 Sedang

20 46 Sedang

21 53 Tinggi

22 46 Sedang

23 56 Tinggi

24 54 Tinggi

25 56 Tinggi

26 49 Sedang

27 42 Sedang

28 51 Sedang

29 47 Sedang

30 42 Sedang

31 36 Sedang

32 59 Tinggi

33 40 Sedang

34 58 Tinggi

35 53 Tinggi

36 43 Sedang

37 60 Tinggi

38 46 Sedang


(3)

41 43 Sedang

42 45 Sedang

43 41 Sedang

44 62 Tinggi

45 51 Sedang

46 38 Sedang

47 46 Sedang

b. Budaya Organisasi

Skala budaya organisasi terdiri dari 32 aitem dengan 5 pilihan jawaban yang nilainya bergerak dari 1 sampai dengan 5. Sehingga diperoleh:

Nilai rentang maksimum : 32 x 5 = 160 Nilai rentang minimum : 32 x 1 = 32

Tabel. Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Budaya Organisasi

Empirik Hipotetik

Budaya Organisasi Mean SD Mean SD

108,98 16,90 96 21,33

Dari hasil perhitungan, maka dapat dibuat kategorisasi budaya organisasi sebagai berikut:

Tabel. Kategorisasi Budaya Organisasi Berdasarkan Metode Distribusi Normal Rentang Nilai Kategori Budaya Organisasi


(4)

74,67 ≤ X < 117,33 Sedang

117,33 ≤ X Tinggi

Dari kategorisasi diatas, subjek dikategorikan sesuai dengan persepsi karyawan terhadap budaya organisasinya. Gambaran subjek berdasarkan persepsi karyawan terhadap budaya organisasinya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. Gambaran Subjek Berdasarkan Budaya Organisasi Kategorisasi Budaya Organisasi Jumlah (N) Persentase

Rendah 0 0%

Sedang 34 72,3%

Tinggi 13 27,7%

Total 47 100%

Subjek Nilai Budaya Organisasi

Kategori Budaya Organisasi

1 113 Sedang

2 123 Tinggi

3 90 Sedang

4 109 Sedang

5 92 Sedang

6 104 Sedang


(5)

10 109 Sedang

11 118 Tinggi

12 111 Sedang

13 82 Sedang

14 101 Sedang

15 141 Tinggi

16 125 Tinggi

17 111 Sedang

18 128 Tinggi

19 100 Sedang

20 94 Sedang

21 104 Sedang

22 113 Sedang

23 124 Tinggi

24 97 Sedang

25 112 Sedang

26 124 Tinggi

27 112 Sedang

28 97 Sedang

29 123 Tinggi

30 75 Sedang

31 102 Sedang

32 148 Tinggi

33 121 Tinggi

34 139 Tinggi


(6)

36 105 Sedang

37 116 Sedang

38 99 Sedang

39 108 Sedang

40 71 Sedang

41 98 Sedang

42 101 Sedang

43 91 Sedang

44 147 Tinggi

45 105 Sedang

46 110 Sedang


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF DENGAN KOMITMEN ORGANISASI KARYAWAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Partisipatif Dengan Komitmen Organisasi Karyawan.

0 3 15

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF DENGAN KOMITMEN ORGANISASI KARYAWAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Partisipatif Dengan Komitmen Organisasi Karyawan.

0 2 16

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN PT. BCA HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN PT. BCA KANTOR CABANG UTAMA SOLO.

0 0 17

HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN.

0 0 16

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP BUDAYA ORGANISASI DENGAN Hubungan Antara Persepsi karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Tingkat Stres Kerja Karyawan.

0 0 15

Hubungan antara persepsi terhadap dukungan organisasi dengan komitmen afektif karyawan PT. Madusari Nusaperdana.

0 1 118

A. UJI COBA DAN HASIL UJI COBA ALAT UKUR 1. Reliabilitas Skala Komitmen Afektif Case Processing Summary - Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

0 0 29

Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

0 0 15

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

0 0 12

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN AFEKTIF SKRIPSI

0 1 13