Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN AFEKTIF

1. Pengertian Komitmen Afektif

  Sheldon (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif sebagai suatu attitude atau orientasi terhadap organisasi dimana berhubungan dengan identitas seseorang terhadap organisasi.

  Mowday, Porter, & Steers (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif merupakan kekuatan relatif pada seorang individu dalam mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan terlibat dalam organisasi tersebut.

  Meyer dan Allen (1997) juga mendefinisikan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional karyawan kepada organisasi, identifikasi karyawan dengan organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi tertentu, dimana karyawan menetap dalam organisasi karena mereka menginginkannya.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat secara emosional sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena menginginkannya.

  13

2. Perkembangan Komitmen Afektif

  Ada beberapa variabel yang dinyatakan sebagai penyebab berkembangnya komitmen afektif yang dapat dikategorisasikan sebagai berikut (Meyer & Allen, 1997): a.

  Karakteristik organisasi Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa beberapa studi telah menguji hubungan antara komitmen organisasi dan struktur organisasi. Walaupun penelitian ini terbatas, ada terdapat beberapa bukti bahwa komitmen afektif berhubungan dengan pengambilan keputusan dan aturan serta prosedur dalam organisasi.

  b.

  Karakteristik personal Karaktersitik personal terdiri dari kebutuhan untuk pencapaian prestasi, afilliasi dan kebebasan, serta ketertarikan dalam kehidupan bekerja telah ditemukan berhubungan dengan komitmen organisasi. Individu yang memilih pekerjaan mereka sesuai dengan karakteristik personal mereka akan memiliki attitude kerja yang lebih positif daripada karyawan yang tidak memiliki pekerjaan berdasarkan karakteristik tersebut.

  c.

  Pengalaman kerja Pengalaman kerja merupakan suatu dorongan sosial dan menghadirkan suatu ketertarikan psikologis yang dibentuk dalam suatu organisasi. Karyawan yang pengalamannya dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan dasar mereka akan lebih mengembangkan komitmen afektif pada organisasi mereka, daripada karyawan yang memiliki sedikit kepuasan terhadap pengalaman bekerja mereka. Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka, dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka.

B. BUDAYA ORGANISASI

1. Pengertian Budaya Organisasi

  McShane dan Glinow (2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola dasar, nilai-nilai, dan kepercayaan yang dapat mengarahkan tindakan dan pemikiran yang benar dalam menghadapi masalah dan kesempatan yang ada dalam organisasi.

  Martins dan Martins (dalam Manetje dan Martins, 2009), mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu identitas untuk dapat membedakan organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Arnold (dalam Manetje dan Martins, 2009) menyatakan budaya organisasi adalah norma, kepercayaan, prinsip dan cara berperilaku yang khusus untuk memberikan setiap organisasi memiliki karakter yang berbeda. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

  Brown (dalam Manetje dan Martins, 2009) turut mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola kepercayaan, nilai-nilai dan cara mengatasi masalah yang dipelajari melalui pengalaman dimana telah berkembang selama sejarah organisasi, dan cenderung telah mempengaruhi perilaku setiap karyawan sehingga budaya organisasi meningkatkan cara dimana karyawan harus berperilaku.

  Berhubungan dengan definisi tersebut, Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) menggambarkan budaya organisasi sebagai suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok seperti belajar untuk mengatasi masalah-masalah pada adaptasi eksternal misalnya strategi, tujuan, struktur organisasi, sistem informasi dan intergrasi internal misalnya hubungan, komunikasi para karyawan, reward, hukuman serta agama, yang telah bekerja cukup baik, karena itu hal ini diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara terbaik untuk menerima, berpikir dan merasakan hubungannya dengan masalah-masalah tersebut. Definisi ini menunjukkan bahwa budaya organisasi membentuk asumsi yang diterima untuk melakukan sesuatu dan disalurkan kepada anggota baru dalam organisasi tersebut.

  Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi.

2. Level Budaya Organisasi

  Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) membagikan budaya organisasi ke dalam tiga level yang berbeda dimana setiap level memiliki elemen-elemen pada budaya organisasi tersebut, diantaranya: a.

  Surface Level Merupakan struktur dan proses organisasi yang tampak dan dapat di observasi.

  Terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari rancangan fisik suatu bangunan, cara berpakaian, cara berbicara dengan orang lain sampai dengan hal yang dibicarakan. Surface level dibedakan dalam beberapa elemen, diantaranya: i.

  Norma Ini merupakan tanda perilaku yang dijadikan asumsi dan nilai-nilai dan diabadikan ketika orang mengamati norma tersebut. ii.

  Bahasa Bahasa yang digunakan seseorang dapat menjadi indikasi bernilai pada budaya. Bagaimana atasan berbicara dengan bawahan dapat menunjukkan nilai status pada pekerjaan. iii.

  Simbol Status simbol menunjukkan posisi sosial dan tingkat dalam hirarki, dan kebesaran mereka memberikan indikasi yang baik tentang seberapa pentingnya hal tersebut melekat pada hirarki sebagai prinsip pengorganisasian. iv.

  Ritual dan ceremony Ritual merupakan program rutin yang dijalankan oleh organisasi. Ritual yang diperkenalkan kepada karyawan baru dapat mempercepat proses integrasi. Sedangkan ceremonies merupakan aktivitas yang direncanakan secara khusus. Baik ceremonies yang formal maupun informal sering memberikan arti yang penting bagi organisasi. Pesta perpisahan atau pensiun dapat digunakan sebagai tanda sebuah keluarga bahagia atau sebuah organisasi yang penuh kehangatan. v.

  Sejarah Sejarah sering sebagai cara untuk menunjukkan nilai-nilai utama dan asumsi kepada orang lain dan menjadi hal yang menarik untuk didengar.

  b.

  Espoused Values Merupakan nilai untuk mendirikan gambaran publik yang ingin ditunjukkan oleh pemimpin organisasi. Nilai tersebut secara sadar dibangun dan secara moral atau etis mengarahkan perilaku dengan mengembangkan asumsi ke dalam perilaku. Oleh karena itu, nilai mengarahkan perilaku dalam organisasi. Elemen-elemen pada level tersebut antara lain: Strategi, tujuan ataupun filosofi organisasi.

  c.

  Basic Assumptions Merupakan level terdalam pada budaya. Hal ini merupakan dasar beliefs yang dianut oleh banyak orang tanpa disadari. Setiap organisasi juga cenderung berbeda dalam basic assumptions yang ada dalam budaya mereka. Elemen- elemen pada basic assumptions terdiri dari: beliefs, nilai-nilai, perasaan, persepsi, pemikiran dan asumsi.

3. Fungsi Budaya Organisasi

  Sebuah budaya organisasi yang kuat memiliki potensi untuk meningkatkan kesuksesan organisasi melalui tiga fungsi penting dari budaya organisasi menurut McShane dan Glinow (2003), yaitu: a.

  Control system Budaya organisasi merupakan sebuah kontrol sosial yang tertanam dalam organisasi yang mempengaruhi keputusan dan perilaku karyawan. Budaya bekerja secara tidak sadar, dan fungsinya mengarahkan karyawan untuk bekerja sesuai dengan harapan organisasi.

  b.

  Social glue Budaya organisasi merupakan perekat sosial (social glue) yang mengikat karyawan dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari pengalaman organisasi. Karyawan termotivasi untuk menganut budaya organisasi karena hal tersebut memenuhi kebutuhan mereka akan identitas sosial. Social glue sangat penting karena dapat menarik perhatian karyawan baru dan mempertahankan kinerja yang optimal.

  c.

  Sense making Budaya organisasi membantu proses sense-making. Budaya membantu karyawan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan mengapa sesuatu hal terjadi di dalam organisasi. Budaya organisasi juga membantu karyawan untuk memahami apa yang diharapkan dari diri mereka dan untuk berinteraksi dengan karyawan lain yang juga mengetahui dan percaya akan budaya organisasi tersebut.

C. PERSEPSI

1. Pengertian Persepsi

  Luthans (2005) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses mediasi kognitif yang penting dimana orang membuat interpretasi dari stimulus atau situasi yang mereka alami.

  Persepsi merupakan suatu proses mental yang meliputi seleksi, organisasi, struktur dan interpretasi informasi dalam usaha menyimpulkan dan memberi arti terhadap informasi yang ada (Rollinson, 2005).

  Robbins (dalam George dan Jayan, 2012) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

  Mc Shane dan Glinow (2003) juga menambahkan bahwa persepsi merupakan proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, termasuk penetapan informasi untuk membentuk pengkategorian dan penafsiran.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, dimana individu membentuk interpretasi dan penafsiran dalam usaha memberi makna dan arti terhadap informasi yang ada.

D. HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN AFEKTIF

  Berdasarkan fenomena yang ditemukan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap karyawan yang bekerja dalam PT ini menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi, dimana terlihat pada setiap karyawan yang bersedia secara aktif turut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai dengan definisi komitmen organisasi oleh Herseovitch dan Meyer (dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012) yaitu suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta bersedia untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan tersebut.

  Karyawan yang berkomitmen berarti karyawan tersebut memiliki keterlibatan yang tinggi dalam organisasi seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi (Mathieu dan Zajac, dalam Nasina & doris, 2011).

  Komitmen organisasi dibagi kedalam tiga tipe yaitu komitmen afektif,

continuance commitment, dan normative commitment (Meyer & Allen, 1997).

  Komitmen afektif merupakan ketertarikan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Continuance

  

commitment merupakan pengakuan dan kesadaran akan biaya yang harus dibayar

  ketika meninggalkan organisasi. Sedangkan normative commitment merupakan suatu perasaan pada kewajiban seorang karyawan untuk melanjutkan pekerjaannya.

  Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa dari ketiga tipe komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen, karyawan tersebut menonjolkan tipe komitmen afektif dimana sesuai dengan beberapa indikator-indikator perilaku yang terdapat pada tipe komitmen afektif.

  Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa menguasai banyak hal, dapat berhubungan dengan banyak orang dan menambah wawasan mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan mereka, maka dapat mengembangkan komitmen afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan kepuasan yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen 2007). Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka.

  Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki

  

sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi,

  keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades, Eisenberger dan Armeli, 2001).

  Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer dan Allen, 1997). Hal ini juga ditemukan pada beberapa karyawan PT. X yang menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan pemimpin mereka, dimana pemimpin mereka memperlakukan setiap karyawan secara adil dan pemimpin juga dapat memberikan kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil keputusan, dengan demikian mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin mereka.

  Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati karyawan yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk, dalam Mariatin, 2009). Dengan membangun suatu budaya organisasi yang baik maka akan meningkatkan komitmen pada karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010), karena budaya organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada komitmen organisasi karyawan (O’Reilly, dalam Silverthorne, 2004). Budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi.

  Budaya organisasi muncul dalam berbagai bentuk pada level yang berbeda. Menurut Schein (1984), setiap budaya organisasi memiliki tiga level yaitu surface

  

level, espoused values, dan basic assumption. Pada surface level terdiri dari bahasa,

  simbol, lingkungan fisik, dress code, ritual atau upacara dimana merupakan artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi dimana merupakan nilai yang dibentuk oleh pemimpin. Sedangkan pada basic assumptions terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs.

  Ketiga level pada budaya organisasi tersebut memiliki dampak terhadap komitmen organisasi pada karyawan yang menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pada surface level, lingkungan fisik terdiri dari orang-orang dari latar belakang serta bahasa yang berbeda. Organisasi fokus pada lingkungan fisik tersebut dimana karyawan berinteraksi satu dengan yang lain. Lingkungan yang efektif memberikan kebahagiaan bagi karyawan yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut (George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dengan demikian komitmen afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja dan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang pantas. Komunikasi yang efektif dalam organisasi tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga meningkatkan komitmen afektif pada karyawan dalam organisasi tersebut. Ritual dan upacara dalam organisasi mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan dengan organisasi dan sejarah organisasi juga dapat mendorong komitmen afektif karyawan baru. Oleh karena itu artefak atau

  

surface level pada budaya organisasi mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat

  kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson dan Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

  Pada espoused values menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused

  

values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi

  menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi yang dilakukan oleh pemimpin organisasi berdasarkan budaya organisasi mendukung komitmen karyawan dan strategi pemimpin mengurangi ketidakpastian pada karyawan serta menjaga komitmen mereka dengan organisasi (Whetten dan Cameron, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

  Level terakhir pada budaya organisasi adalah basic assumptions dimana terdiri dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs yang meningkatkan komitmen pada karyawan. Asumsi dasar dan nilai yang dibangun dengan baik sesuai dengan

  

attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada

  komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). McShane dan Glinow (2006) juga menyatakan bahwa dasar dari nilai-nilai dan asumsi dapat membangun komitmen karyawan. Organisasi dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan membagikan nilai-nilai kepada para karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai pada budaya organisasi. Faktor- faktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi.

  Dalam hal ini menunjukkan bahwa setiap level pada budaya organisasi mempengaruhi komitmen afektif. Walaupun setiap organisasi mempunyai tipe budaya yang berbeda-beda, akan tetapi setiap budaya organisasi sesuai dengan tiga level pada budaya organisasi tersebut dimana dapat mendukung organisasi dalam meningkatkan dan membangun karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasi (Schein, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

  Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka bekerja, hal ini akan meningkatkan komitmen pada karyawan dalam organisasi tersebut. Persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong culture) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya (Robbins, dalam George dan Jayan, 2012). Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana persepsi karyawan terhadap budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap peningkatan efektifitas suatu organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena budaya organisasi yang efektif pada suatu organisasi membangun lingkungan komitmen yang tinggi (Denison, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010).

  Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif.

E. HIPOTESIS PENELITIAN

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian berupa “Ada hubungan positif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif

  .”

Dokumen yang terkait

I. Pengetahuan mengenai SADARI - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Hkbp Nomensen Pematang Siantar Tahun 2013

0 2 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Payudara 2.1.1. Pengertian Kanker Payudara - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Univers

0 0 46

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Hkbp Nomensen Pematang Siantar Tahu

0 0 7

Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Hkbp Nomensen Pematang Siantar Tahun 2013

0 1 18

Lampiran 1 FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN Pengaruh Latihan Fleksibilitas Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Di Klinik Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 30

Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Motivasi Mahasiswa Sarjana Keperawatan Kelas Reguler Menjalani Pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 1 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Motivasi Mahasiswa Sarjana Keperawatan Kelas Reguler Menjalani Pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 0 19

Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

0 0 25

Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

0 0 15

A. UJI COBA DAN HASIL UJI COBA ALAT UKUR 1. Reliabilitas Skala Komitmen Afektif Case Processing Summary - Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Budaya Organisasi Dengan Komitmen Afektif

0 0 29