Gambaran Gangguan Menstruasi Pada Penderita Kista Ovarium Di RSUP H. Adam Malik Pada Tahun 2012-2013

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi 2.1.1. Uterus

Uterus terdiri dari fundus uterus, korpus uterus, dan serviks uterus (Pearce, 2009). Menurut Prawirohardjo (2010), secara histologi uterus terdiri dari:

1. Endometrium di korpus uterus dan endoserviks di serviks uterus. Endometrium mempunyai arti penting dalam siklus menstruasi karena selama masa menstruasi endometrium sebagian besar dilepaskan dan tumbuh kembali dalam masa proliferasi.

2. Miometrium

Otot polos uterus di sebelah dalam berbentuk sirkular dan disebelah luar berbentuk longitudinal. Di antara otot tersebut terdapat lapisan otot oblik yang berbentuk anyaman.

3. Perimetrium, yaitu lapisan serosa.

Uterus diperdarahi oleh arteri uterina kanan dan kiri. Pembuluh darah ini berasal dari arteria iliaka interna. Inervasi uterus terutama terdiri atas sistem saraf simpatetik dan untuk sebagian terdiri atas sistem parasimpatetik dan serebrospinal (Prawirohardjo, 2010).

2.1.2. Tuba Falloppii

Menurut Prawirohardjo (2010), tuba falloppii terdiri dari:

1. Pars interstisialis, yaitu bagian yang terdapat di dinding uterus. 2. Pars ismika, yaitu bagian medial tuba yang sempit.

3. Pars ampullaris, yaitu bagian yang agak lebar, tempat terjadinya konsepsi. 4. Infundibulum, yaitu bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan

mempunyai fimbria. Fimbria berfungsi untuk menangkap ovum dan menyalurkannya ke dalam tuba.


(2)

2.1.3. Ovarium

Menurut Prawirohardjo (2010), struktur ovarium terdiri dari:

1. Korteks, bagian luar yang diliputi oleh epitelium germinativum berbentuk kubik dan di dalamnya terdiri atas stroma serta folikel-folikel primordial. 2. Medulla, bagian di sebelah dalam korteks terdapat stroma dengan

pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf, dan sedikit otot polos.

Ovarium berisi sejumlah besar ovum yang belum matang, yang disebut oosit primer. Folikel ini akan berkembang menjadi folikel de Graaf. Setiap bulan folikel akan berkembang dan melepaskan sebuah ovum. Ovulasi ini terjadi pada saat pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi (Pearce, 2009). Ovarium juga menghasilkan hormon yaitu progesteron dan estrogen (hormon seks wanita), inhibin, dan relaksin (Tortora & Derrickson, 2009).

Gambar 2.1. Alat Reproduksi Interna Wanita (Sumber: Tortora & Derrickson, 2009)


(3)

2.2. Menstruasi

Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2008). Proses siklus menstruasi sangat kompleks karena dipengaruhi oleh hormonal dan keadaan mikrointra folikel (Manuaba et al., 2010).

Usia remaja wanita pada waktu pertama kalinya mendapat menstruasi (menarche) bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukan bahwa usia menarche dipengaruhi oleh faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan umum (Prawirohardjo, 2008).

Panjang siklus menstruasi adalah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi berikutnya (Prawirohardjo, 2008). Panjang siklus menstruasi normal biasanya 21-35 hari. Seorang wanita rata-rata mengalami 400 siklus menstruasi sebelum menopause dan siklus menstruasi rata-rata berlangsung selama 5 hari (Kumar et al., 2013).

Jumlah darah setiap menstruasi rata-rata 50 ± 30 cc (Kumar et al., 2013). Apabila jumlah darah menstruasi lebih dari 80 cc, keadaan tersebut dianggap patologis (Prawirohardjo, 2008). Darah menstruasi normal tidak membentuk bekuan karena adanya fibrinolisin. Apabila perdarahan menstruasi banyak, jumlah fibrinolisin tidak cukup untuk mencegah pembekuan, sehingga terbentuk gumpalan darah. Hal ini merupakan bukti klinis dari adanya kelainan dari uterus (Manuaba et al., 2010).

2.2.1. Siklus menstruasi 1. Siklus Ovarium

Siklus ovarium menurut Guyton & Hall (2007) yaitu: a. Fase folikel

Tahap pertama, pertumbuhan folikel berupa pembesaran sedang dari ovum, diameter ovum menjadi 2-3 kali lipat dan diikuti dengan pertumbuhan lapisan


(4)

sel-sel granulosa tambahan. Folikel ini disebut dengan folikel primer. Sesudah dimulainya menstruasi, konsentrasi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) meningkat. Peningkatan FSH sedikit lebih besar dan lebih awal beberapa hari dari LH. Hormon-hormon ini, khususnya FSH, mempercepat pertumbuhan 6-12 folikel primer, hingga terbentuknya teka, yaitu teka interna dan teka eksterna.

Sesudah tahap awal pertumbuhan proliferasi yang berlangsung beberapa hari, masa sel granulosa menyekresi cairan folikular yang mengandung estrogen dalam konsentrasi tinggi. Pengumpulan cairan ini menyebabkan terbentuknya antrum di dalam masa sel granulosa. Apabila antrum sudah terbentuk, sel granulosa dan teka berproliferasi lebih cepat, laju kecepatan sekresinya meningkat, dan masing-masing folikel tumbuh menjadi folikel antral. Peningkatan pertumbuhan secara besar-besaran terjadi di dalam folikel antral, menuju ke arah pembentukan folikel vesikular. Ketika folikel vesikular membesar, ovum tetap tertanam di dalam massa sel granulosa yang terletak di sebuah kutup dari folikel. Ovum bersama sel granulosa di sekelilingnya disebut kumulus ooforus. Setelah pertumbuhan selama satu minggu atau lebih, tetapi sebelum ovulasi, salah satu dari folikel mulai tumbuh melebihi folikel lainnya, sisanya mengalami involusi (atresia) dan sisa folikel ini disebut atretik.

b. Fase Ovulasi

Ovulasi pada wanita dengan siklus menstruasi normal 28 hari terjadi pada hari ke-14 setelah menstruasi. Ovulasi dipengaruhi oleh LH. LH mempunyai efek khusus terhadap sel granulosa dan sel teka, sehingga membuat sel tersebut menyekresikan banyak progesteron. Ada dua paristiwa yang dibutuhkan untuk ovulasi:

1) Teka eksterna, mulai melepaskan enzim proteolitik dari lisozim yang menyebabkan pelarutan dinding kapsul sehingga dinding melemah. Hal


(5)

ini menyebabkan semakin membengkaknya seluruh folikel dan degenerasi stigma.

2) Terjadi pertumbuhan pembuluh darah baru yang berlangsung sangat cepat ke dalam dinding folikel dan sekresi prostaglandin dalam jaringan folikular.

Kedua efek ini menyebabkan transudasi plasma ke dalam folikel, yang berperan dalam pembengkakan folikel. Kombinasi dari pembengkakan folikel dan degenerasi stigma menyebabkan folikel pecah disertai pengeluaran ovum.

c. Fase Luteal

Beberapa jam setelah ovum dikeluarkan dari folikel, sel-sel granulosa dan teka interna yang tersisa berubah menjadi sel lutein. Perubahan sel ini sangat bergantung pada LH yang dihasilkan hipofisis anterior. Diameter sel ini membesar 2 kali atau lebih dan berisi inklusi lipid sehingga memberi tampilan kekuningan, yang disebut korpus luteum. Pada wanita normal, korpus luteum tumbuh menjadi ± 1,5 cm, perkembangan ini dicapai selama 7-8 hari setelah ovulasi. Kemudian, korpus luteum mulai berinvolusi dan akhirnya kehilangan fungsi sekresi, warna kekuningan serta sifat lipidnya dalam waktu ± 12 hari setelah ovulasi. Kemudian, korpus luteum berubah menjadi korpus albikans; selama beberapa minggu korpus albikans akan digantikan oleh jaringan ikat dan diserap dalam hitungan bulan. Pada saat ini, penghentian tiba-tiba sekresi estrogen, progesteron, dan inhibin dari korpus luteum menghilangkan umpan balik halangan kelenjar hipofisis anterior, sehingga meningkatkan sekresi FSH dan LH yang merangsang pertumbuhan folikel baru. Terhentinya sekresi progesteron dan estrogen saat ini menyebabkan menstruasi.


(6)

2. Siklus Endometrium

Menurut Prawirohardjo (2008), fase endometrium selama siklus menstruasi terdiri dari:

a. Fase menstruasi atau fase deskuamasi

Dalam fase ini endometriosis terlepas dari dinding uterus disertai perdarahan, tetapi stratum basale tetap tinggal utuh. Darah menstruasi mengandung darah arteri dan vena, sel-sel epitel dan stroma, serta sekret dari uterus, serviks, dan kelenjar-kelenjar vulva. Fase ini berlangsung selama 3-4 hari.

b. Fase pascamenstruasi atau fase regenerasi

Luka endometrium berangsur-angsur sembuh dan ditutup kembali oleh selaput lendir baru yang tumbuh dari sel-sel epitel endometrium. Pada fase ini tebal endometrium ± 0,5 mm. Fase ini dimulai sejak fase menstruasi dan berlangsung selama ± 4 hari.

c. Fase intermenstruum atau fase proliferasi

Pada fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal ± 3,5 mm. Fase ini berlangsung dari hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus menstruasi.

d. Fase pramenstruasi atau fase sekresi

Fase ini dimulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke-14 sampai hari ke-28. Fase sekresi dibagi menjadi 2 fase, yaitu:

1) Fase sekresi dini, endometrium lebih tipis karena kehilangan cairan. 2) Fase sekresi lanjut, tebal endometrium sekitar 5-6 mm. Endometrium

sangat banyak mengandung pembuluh darah yang berkeluk-keluk dan kaya dengan glikogen. Fase ini ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel stroma bertambah. Sel stroma menjadi sel desidua jika terjadi kehamilan.


(7)

Gambar 2.2. Siklus Menstruasi Normal (Sumber: Tortora & Derrickson, 2009)

2.2.2. Pengaturan Siklus Menstruasi

Menurut Guyton & Hall (2007), mekanisme ritmik dasar yang menyebabkan terjadinya variasi siklus menstruasi, yaitu:

1. Hipotalamus tidak menyekresikan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) secara terus menerus tetapi secara pulsatil selama 5-25 menit setiap 1-2 jam. Pelepasan GnRH secara pulsatil menyebabkan pengeluaran LH secara intermiten setiap 90 menit. Aktivitas saraf yang menyebabkan pelepasan GnRH secara pulsatil terutama terjadi di hipotalamus mediobasal, khususnya di nukleus arkuatus. Banyak pusat saraf dalam sistem limbik otak (sistem yang mengatur psikis) menghantarkan sinyal ke nukleus arkuatus untuk memodifikasi intensitas pelepasan GnRH dan frekuensi pulsasi. Hal inilah yang menyebabkan faktor psikis dapat memodifikasi fungsi seksual wanita.


(8)

2. Estrogen memiliki efek yang kuat dalam menghambat produksi LH dan FSH. Efek penghambatan akan berlipat ganda bila ada progesteron. Efek umpan balik ini bekerja langsung pada hipofisis anterior dan bekerja sedikit pada hipotalamus untuk menurunkan sekresi GnRH, terutama mengubah pulsasi GnRH. Selain itu, hormon inhibin juga berperan dalam menghambat sekresi FSH dan LH. Hormon ini disekresikan bersama hormon seks steroid oleh sel-sel granulosa dari korpus luteum.

3. Efek umpan balik positif dari estrogen untuk merangsang peningkatan LH sebelum ovulasi. Tanpa peningkatan LH sebelum ovulasi yang normal, tidak akan terjadi ovulasi.

Gambar 2.3. Regulasi Hormon pada Siklus Menstruasi (Sumber: Tortora & Derrickson, 2009)

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Siklus Menstruasi

Faktor-faktor yang memegang peranan dalam siklus menstruasi menurut Prawirohardjo (2008) yaitu:


(9)

1. Faktor enzim

Dalam fase proliferasi estrogen mempengaruhi tersimpannya enzim-enzim hidrolitik dalam endometrium dan merangsang pembentukan glikogen dan asam-asam mukopolisakarida. Pada pertengahan fase luteal sintesis mukopolisakarida terhenti, sehingga meningkatkan permeabilitas pembuluh-pembuluh darah yang sudah berkembang sejak permulaan fase proliferasi. Dengan demikian, zat-zat makanan banyak mengalir ke stroma endometrium sebagai persiapan implantasi ovum apabila terjadi kehamilan. Jika kehamilan tidak terjadi, penurunan kadar progesteron menyebabkan pelepasan enzim-enzim hidrolitik, dan merusak sel-sel yang berperan dalam sintesis protein. Oleh karena itu, timbul gangguan metabolisme endometrium, yang menyebabkan regresi endomentrium dan perdarahan.

2. Faktor vaskuler

Pertumbuhan endometrium diikuti oleh pertumbuhan arteri-arteri, vena-vena dan hubungan diantaranya. Regresi endometrium menyebabkan statis dalam vena serta saluran-saluran yang menghubungkannya dengan arteri, sehingga terjadi nekrosis dan perdarahan dengan pembentukan hematom, baik dari arteri maupun dari vena.

3. Faktor prostaglandin

Endometrium mengandung banyak prostaglandin. Dengan desintegrasi endometrium, prostaglandin terlepas dan menyebabkan kontraksi miometrium sebagai suatu faktor untuk membatasi perdarahan pada menstruasi.

2.2.4. Faktor Risiko Gangguan Menstruasi

1. Berat badan

Berdasarkan penelitian Rakhmawati (2012), pada kelompok subjek yang mengalami obesitas memiliki risiko mengalami gangguan siklus menstruasi sebesar 1,89 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok subjek dengan status gizi normal. Menurut Hupitoyo (2011) dalam Adnyani (2013), pada wanita obesitas terjadi peningkatan kadar androgen dan estrogen. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi ovarium dan kelainan siklus menstruasi.


(10)

2. Stres

Stres menyebabkan peningkatan kadar Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dan Glucocorticoid sehingga menghambat GnRH oleh hipotalamus. Hal ini menyebabkan fluktuasi kadar FSH dan LH sehingga masa proliferasi dan sekresi mengalami pemendekan atau pemanjangan. Wanita yang mengalami stres memiliki risiko gangguan siklus menstruasi 2 kali lebih besar dibandingkan wanita yang tidak mengalami stres (Rakhmawati, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian Mesarini & Astuti (2013) yaitu wanita dengan stres yang berat cenderung mengalami gangguan siklus menstruasi lebih besar. 3. Penggunaan kontrasepsi

Menurut Laely & Fajarsari (2011), kontrasepsi hormonal yang hanya mengandung progesteron dapat menyebabkan gangguan menstruasi. Amenorea yang tinggi disebabkan oleh hormon progesteron menekan LH sehingga endometrium menjadi lebih dangkal dan mengalami kemunduran sehingga kelenjarnya menjadi tidak aktif.

4. Dysfunctional Uterine Bleeding (DUB)

Dysfunctional Uterine Bleeding (DUB) adalah gangguan perdarahan dalam

siklus menstruasi yang tidak berhubungan dengan kondisi patologis. DUB meningkat selama proses transisi menopause (Kusmiran, 2011).

5. Mioma uteri

Menurut Kurniasari (2010), hipermenorea dan menometroragia merupakan gejala klasik mioma uteri. Diperkirakan 30% wanita dengan mioma uteri mengalami kelainan menstruasi, menoragia. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur vena pada endometrium dan miometrium sehingga terjadinya venule

ectasia.

6. Gangguan endokrin a. Diabetes melitus

Prevalensi amenorea dan oligomenorea lebih sering terjadi pada pasien diabetes (Kusmiran, 2011).


(11)

Hipertiroid berhubungan dengan oligomenorea dan lebih lanjut menjadi amenorea. Sedangkan hipotiroid berhubungan dengan polimenorea dan menoragia (Kusmiran, 2011).

c. Polikistik ovarium

Amenorea dan oligomenorea pada penderita polikistik ovarium berhubungan dengan insensitivitas hormon insulin dan menjadikan wanita tersebut obesitas (Kusmiran, 2011). Resistensi insulin dan obesitas menyebabkan keadaan hiperandrogen pada ovarium, sehingga menghambat perkembangan folikel dan memicu terjadinya siklus anovulatorik (Baziad, 2012).

2.2.5. Gangguan Menstruasi 1. Gangguan Siklus Menstruasi

Menurut Manuaba et al. (2010), gangguan siklus menstruasi dalam masa reproduksi dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Polimenorea

Polimenorea adalah siklus menstruasi kurang dari 21 hari. Jumlah dan lama perdarahan sama. Biasanya disebabkan oleh gangguan hormonal, korpus luteum defisiensi. Penyebab lainnya adalah endometriosis dan infeksi ovarium. Gangguan menstruasi ini disebut juga dengan polimenoragia atau epimenoragia.

b. Oligomenorea

Oligomenorea yaitu siklus menstruasi yang lebih dari 35 hari. Perdarahan pada oligomenorea biasanya berkurang dan durasinya semakin pendek. Menurut Guyton & Hall (2007), siklus ovarium yang memanjang disebabkan oleh kegagalan ovulasi akibat insufisiensi sekresi LH pada waktu lonjakan LH praovulasi.

c. Amenorea

Secara fisiologis, wanita mengalami amenorea pada saat sebelum menarche, saat kehamilan dan laktasi, serta setelah menopause. Amenorea dibagi menjadi 2 yaitu :


(12)

1) Amenorea primer, seorang wanita tidak pernah mendapatkan sampai umur 18 tahun. Biasanya disebabkan oleh faktor hormonal, kongenital organ dan kelainan genetik.

2) Amenorea sekunder, pernah beberapa kali mendapat menstruasi sampai umur 18 tahun dan diikuti oleh kegagalan menstruasi dengan melewati waktu 3 bulan atau lebih.

2. Gangguan perdarahan

Menurut Manuaba et al. (2010), gangguan perdarahan menstruasi terdiri dari: a. Hipermenorea yaitu perdarahan yang banyak, melebihi 8 hari dan volume lebih

dari 80 cc. Hal ini disebabkan oleh estrogen dominan sehingga pelepasan endometrium tidak normal atau tidak teratur.

b. Hipomenorea yaitu perdarahan yang sedikit, kurang dari 3 hari. Gangguan ini disebabkan oleh kurangnya reseptor estrogen di uterus.

3. Dismenorea

Menurut Pangulu (2011), dismenorea terdiri dari 2 macam yaitu: a. Dismenorea primer

Dismenorea primer adalah nyeri yang dirasakan saat menstruasi tanpa adanya kelainan anatomis. Nyeri dimulai beberapa jam sebelum menstruasi dan berlangsung selama 2-3 hari. Intensitas nyeri bervariasi. Pada nyeri yang berat, penderita biasanya harus meninggalkan aktivitas sehari-hari.

b. Dismenorea sekunder

Dismenorea sekunder terjadi karena adanya kelainan anatomis dalam pelvis. Nyeri dismenorea sekunder tidak dibatasi masa menstruasi. Nyeri sering dimulai sejak 1-2 minggu sebelum menstruasi dan menetap hingga beberapa hari setelah menstruasi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar prostanglandin atau kontraksi uterus yang abnormal akibat adanya obstruksi servikal, massa intrauterus, dan adanya benda asing. Etiologi dismenorea sekunder perlu dievaluasi bila terdapat gejala berupa dispareuni, menoragia,


(13)

dyschezia, perdarahan abnormal pada vagina, perdarahan pascacoitus, dan

ketidakteraturan siklus bulanan. Penyebab dismenorea sekunder antara lain: 1) Endometriosis pelvis dan adenomiosis

2) Penyakit radang pelvis kronik seperti salpingitis 3) Uterus miomatoses

4) Kelainan bentuk uterus seperti hipoplasi dan anomali kongenital traktus genital

5) Kelainan letak uterus (retrofleksi atau hiperantefleksi) 6) Stenosis kanalis servikalis

7) Adanya Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) 8) Tumor ovarium

2.3. Kista Ovarium 2.3.1. Definisi

Kista ovarium merupakan rongga berbentuk kantong yang berisi cairan di dalam jaringan ovarium. Kista ovarium disebut juga dengan kista fisiologis karena terbentuk selama siklus menstruasi dan biasanya menghilang setelah 1-3 bulan (Yatim, 2005).

2.3.2. Klasifikasi Kista Fisiologis

1. Kista folikel

Kista ini berasal dari folikel yang tidak ruptur. Kista ini biasanya dapat menghilang secara spontan dan memiliki ukuran kurang dari 6 cm (Umami & Safitri, 2007).

2. Kista korpus luteum

Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan menjadi korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum mempertahankan diri (korpus luteum persistens); perdarahan yang sering terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya kista yang berisi cairan berwarna merah coklat karena darah tua. Kista korpus luteum dapat menimbulkan gangguan menstruasi seperti


(14)

amenorea diikuti oleh perdarahan tidak teratur. Kista ini juga dapat menyebabkan rasa berat di perut bagian bawah (Prawirohardjo, 2008).

3. Kista lutein

Pada kasus mola hidatidosa, ovarium banyak terdapat kista teka lutein yang disebabkan oleh pengaruh HCG yang berlebihan. Kista ini dapat mengalami torsi, infark, dan perdarahan (Leveno et al., 2009).

4. Kista inklusi germinal

Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari epitel germinativum pada permukaan ovarium. Kista ini lebih banyak terdapat pada wanita yang lanjut usia, dan besarnya jarang melebihi diameter 1 cm (Prawirohardjo, 2008).

5. Kista endometrium

Kista endometrium terbentuk dari jaringan endometrium yang berkembang di luar tempat normalnya, paling sering terdapat di ovarium. Terdapat tiga teori tentang patogenesis dari kista endometrium, yaitu transpor retrograd dan implantasi, transpor retrograd dan transformasi metaplastik pada peritonium yang berdekatan, dan penyebaran limfatik atau hematogen (Graber et al., 2006).

6. Kista Stein-Leventhal atau Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)

Kelainan ini disebabkan oleh gangguan proses pengaturan ovulasi dan ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen di ovarium. Pada perempuan dengan PCOS, tidak dijumpai gangguan sintesis estrogen, tetapi justru ditemukan produksi estrogen yang tinggi yang meningkatkan risiko terkena kanker endometrium dan payudara (Baziad, 2012).

Kista Patologis

Menurut Prawirohardjo (2008), kista ovarium yang patologis terdiri dari: 1. Kistoma ovarii simpleks

Kista ini mempunyai permukaan rata dan halus, biasanya bertangkai sehingga dapat terjadi torsi (putaran tangkai), sering bilateral dan dapat membesar.


(15)

Dinding kista tipis dan cairan di dalamnya jernih, serus dan berwarna kuning. Pada dinding kista terlihat lapisan epitel kubik

2. Kistadenoma ovarii serosum

Kista ini berasal dari epitel permukaan ovarium. Ukurannya tidak lebih besar dari kistadenoma musinosum. Permukaannya licin, tetapi dapat pula berbagala sehingga dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya berongga satu. Warna kista putih keabu-abuan dan isi kista cair, kuning, dan kadang-kadang cokelat. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar 50%, dan keluar pada permukaan kista sebesar 5%.

3. Kistadenoma ovarii musinosum

Asal tumor ini belum diketahui dengan pasti. Menurut Meyer, kista ini berasal dari suatu teratoma di mana dalam pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen-elemen lainnya. Tumor berbentuk multilokuler sehingga permukaan berbagala (lobulated), dapat mencapai ukuran yang sangat besar, unilateral atau bilateral. Dinding kista agak tebal dan berwarna putih keabu-abuan yang berisi cairan lendir yang khas, kental seperti gelatin, melekat dan berwarna kuning sampai cokelat. Dinding kista dilapisi oleh epitel torak tinggi dengan inti pada dasar sel.

4. Kista endometroid

Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin. Pada dinding dalam terdapat satu lapisan sel-sel, yang menyerupai lapisan epitel endometrium. 5. Kista dermoid

Kista ini merupakan satu teratoma kistik yang jinak di mana struktur-struktur ektodermal dengan diferensiasi sempurna, seperti epitel kulit, rambut, gigi, dan produk glandula sebasea berwarna putih kuning seperti lemak terlihat lebih menonjol dibandingkan elemen entoderm dan mesoderm.

2.3.3. Faktor Risiko

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya kista ovarium yaitu:


(16)

1. Riwayat Keluarga

Sekitar 10% dari kanker ovarium disebabkan oleh mutasi gen yang diwariskan dalam gen tertentu sehingga dapat meningkatkan risiko kanker ovarium. Misalnya, mutasi pada gen Breast Cancer 1 (BRCA1) dan Breast

Cancer 2 (BRCA2) meningkatkan risiko kanker payudara. Kanker payudara

pada wanita dapat bermetastasis ke ovarium, sehingga wanita yang memiliki riwayat anggota keluarga dengan kanker payudara dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (American Cancer Society, 2013).

2. Usia

Risiko peningkatan kanker ovarium semakin tinggi seiring bertambahnya usia. Kebanyakan kanker ovarium berkembang setelah menopause (American

Cancer Society, 2013).

3. Siklus menstruasi

Menurut penelitian Hariyanti (2012) tentang faktor risiko kista ovarium, didapatkan sebesar 80 % wanita mengalami siklus menstruasi tidak teratur. Dari hasil rasio prevalensi menunjukan bahwa siklus menstruasi tidak teratur mempengaruhi kejadian kista ovarium. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.

4. Obesitas

Beberapa penelitian menemukan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan kanker ovarium. Body Mass Index (BMI) yang lebih dari 30 memiliki risiko lebih besar terhadap pekembangan kanker ovarium (American Cancer

Society, 2013).

5. Merokok

Beberapa penelitian epidemiologi membuktikan adanya hubungan antara merokok dengan perkembangan kista fungsional. Meskipun mekanisme merokok menyebabkan kista ovarium tidak diketahui, diduga adanya perubahan pada sekresi gonadotropin dan fungsi ovarium (Schorge et al., 2008).


(17)

Beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa paparan bahan kimia lingkungan seperti pestisida dan herbisida berhubungan dengan kista ovarium. Hubungan antara atrazine dan tumor ovarium telah diamati dalam dua penelitian di Italia, yang menunjukkan bahwa atrazine adalah karsinogenik pada manusia (Hariyanti, 2012).

7. Hipotiroid

Menurut Shivaprasad et al. (2013), ada beberapa teori yang menjelaskan hubungan hipotiroid dengan kista ovarium yaitu:

a. Kesamaan struktural antara Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dengan

Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR), sehingga tingginya level

TSH dapat menyebabkan aktivasi sel folikel.

b. Pada pasien hipotiroid yang parah terjadi perubahan kadar gonadotropin. Mereka memiliki tingkat FSH relatif tinggi dan tingkat LH yang rendah. c. FSHR memperkuat efek Human Chorionic Gonadotropin (HCG) atau

TSH pada folikel.

d. TSH memiliki efek pada ovarium untuk menstimulasi gonadotropin dengan stimulasi reseptor nuklir tiroid dalam sel granulosa. Gangguan dalam steroidogenesis oleh jenis myxedematou infiltrasi ovarium hipotiroidisme mempengaruhi perubahan kistik dalam ovarium.

2.3.4. Patogenesis

Kista ovarium terbentuk dari folikel dominan yang tidak berovulasi. Hal ini disebabkan oleh gagalnya memperoleh lonjakan GnRH/LH berikutnya atau lonjakan GnRH/LH yang tidak tepat waktu/tertunda (gambar 2.4.) (Vanholder et

al., 2006). Menurut Samsulhadi (2009), pada keadaan tersebut sekresi estrogen

tetap ada tetapi tidak ada progesteron. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa oligomenorea, amenorea atau DUB

Menurut Schorge et al. (2008), angiogenesis merupakan komponen penting dari folikel dan fase luteal pada siklus ovarium. Itu juga berperan dalam berbagai proses kelainan ovarium, termasuk pembentukan kista folikel, PCOS, sindrom


(18)

hiperstimulasi ovarium, dan neoplasma ovarium baik jinak maupun ganas. Faktor pertumbuhan endotel vaskular berfungsi sebagai mediator utama angiogenesis, dan faktor itu berpengaruh dalam pengembangan neoplasma ovarium.

Gambar 2.4. Patogenesis Kista Ovarium (Sumber: Vanholder et al., 2006)

2.3.5. Patofisiologi

1. Faktor pertumbuhan

Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan benjolan perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Apabila tumor mendesak kandung kemih, dapat menimbulkan gangguan miksi, sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas di rongga perut kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta mengakibatkan obstipasi edema pada tungkai. Pada tumor


(19)

yang besar juga dapat terjadi tidak nafsu makan, rasa sesak, dan lain-lain (Prawirohardjo, 2008).

2. Faktor aktivitas hormonal

Penderita kista ovarium juga dapat mengalami gangguan hormonal. Misalnya, peningkatan produksi estrogen dari sel granulosa yang dapat mengganggu menstruasi normal (Schorge et al., 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian Yan-min et al. (2010) yaitu menemukan gangguan siklus menstruasi sebesar 76 % pada penderita PCOS di masyarakat dan 92,1 % pada penderita PCOS di rumah sakit, sama dengan tingkat kejadian yang dilaporkan sebelumnya. 3. Faktor inflamasi

Menurut Harada (2013), penyebab nyeri saat menstruasi (dismenorea) pada penderita endometriosis adalah konsentrasi prostaglandin yang tinggi. Bulletti

et al. menemukan peningkatan frekuensi, amplitudo, dan tekanan basal

kontraksi uterus pada wanita dengan endometriosis. Nyeri juga disebabkan oleh lesi endometriosis yang memicu terjadinya reaksi inflamasi dan mengeluarkan prostaglandin, sitokin, histamin dan kinin. Infiltrasi endometriosis yang dalam menyebabkan kerusakan jaringan dan saraf, serta kista coklat yang pecah dapat mengiritasi peritoneum. Terbentuknya jaringan parut, fibrosis, dan adhesi menyebabkan penurunan mobilitas organ sehingga nyeri dapat terasa selama adanya gerakan atau ovulasi. Bila terjadi adhesi pada usus maka dapat menyebabkan nyeri saat buang air besar (dyschezia).

2.3.6. Gejala Klinis

Kista ovarium biasanya tidak menimbulkan gejala (Gulati & Goyal, 2013). Menurut Sain Mary’s Hospital (2012), gejala kista ovarium dapat ditemukan apabila massa berukuran besar, pecah (splits), atau terjadi torsi. Dalam keadaan seperti itu dapat ditemukan gejala berupa:

1. Nyeri panggul karena ukuran kista yang besar, dan nyeri tajam yang tiba-tiba karena kista pecah atau torsi.

2. Kesulitan mengosongkan perut.


(20)

4. Nyeri panggul selama hubungan seksual. 5. Menstruasi yang tidak teratur.

6. Merasa kenyang dan kembung.

2.3.7. Diagnosis 1. Anamnesis

Setiap mengevaluasi pasien dengan kista ovarium harus mencakup riwayat kesehatan menyeluruh. Mencari tahu faktor risiko dan risiko keganasan pada pasien. Gejala seperti nyeri panggul, perut kembung, cepat kenyang, dan perubahan nafsu makan harus diwaspadai adanya keganasan dan penatalaksanaan yang dipilih harus tepat. Hal ini juga penting untuk mencari gejala yang menunjukkan endometriosis, terutama pada pasien wanita usia reproduksi dengan infertilitas (Rofe et al., 2013).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan abdominal dan pemeriksaan pelvis, termasuk pemeriksaan palpasi bimanual untuk mencari massa (Rofe et al., 2013). Bila dijumpai massa, maka karakteristik dari massa harus dievaluasi dengan baik sehingga asal massa dapat diketahui dengan pasti untuk penanganan lebih lanjut. Karakteristik massa yang harus dievaluasi meliputi lokasi, ukuran, konsistensi, bentuk, mobilitas, unilateral atau bilateral dan penemuan lain yang bermakna seperti demam, asites (Hadibroto, 2005). Demam menunjukan proses infeksi atau torsi ovarium (Ross & Kebria, 2013) dan asites menandakan adanya kemungkinan keganasan. Namun, perlu diingat bahwa pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi massa ovarium (15 % - 51 %) (Rofe et

al., 2013).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Penanda adanya tumor adalah protein, yang dihasilkan oleh sel-sel tumor atau oleh tubuh sebagai respons terhadap sel-sel tumor. Cancer Antigen 125 (CA-125) adalah antigen penentu glikoprotein dengan berat molekul besar. CA-125 bukan


(21)

antigen spesifik tumor, tetapi penentuan serum CA-125 dapat membantu dan sering digunakan dalam evaluasi kista ovarium (Schorge et al., 2008). Pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada wanita yang berisiko memiliki keganasan (Yatim, 2005). CA-125 pada wanita usia reproduksi meningkat dalam berbagai kondisi seperti fibroid, endometriosis, adenomiosis, infeksi panggul dan selama siklus menstruasi normal. CA-125 digunakan untuk membedakan massa jinak dengan massa ganas (Rofe et al., 2013).

Anti-Mullerian Hormone (AMH) adalah penanda yang relatif baru pada cadangan

ovarium dan dianggap paling akurat pada saat ini. Serum AMH diatas 0,5 ng/mL menunjukan cadangan ovarium yang baik, sedangkan serum AMH yang rendah menunjukan adanya penurunan folikel ovarium. Tingkat serum AMH dapat memberikan petunjuk manajemen yang tepat untuk pasien kista ovarium. Penurunan AMH mungkin kontraindikasi untuk bedah pada pasien tertentu. AMH juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kerusakan ovarium setelah operasi (Rofe et al., 2013).

4. Pemeriksaan penunjang

Pencitraan yang paling banyak digunakan adalah ultrasonography (USG) transvaginal. Pencitraan ini sering digunakan untuk wanita usia reproduksi dan asimtomatik (Rofe et al., 2013). Melalui USG dapat diketahui tempat lesi (unilateral atau bilateral), ukuran, konsistensi (kistik atau solid), struktur internal (septa tipis atau tebal), permukaan kista (rata atau tidak rata) (Edmonds, 2007). Pada USG gambaran khas yang menunjukan adanya lesi jinak adalah dinding yang tipis, tidak adanya eko internal, kurangnya septa internal. Kista sederhana yang berukuran kurang dari 6 cm harus dipantau dengan USG. Jika USG memberikan gambaran yang kurang jelas atau jika terdapat kecurigaan adanya keganasan, maka dapat digunakan Computerized Tomography (CT) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) untuk melihat pencitraan yang lebih akurat (Umami &


(22)

2.3.8. Penatalaksanaan 1. Konservatif

Menurut konsensus yang diterbitkan oleh Society of Radiologists in Ultrasound dalam Levine et al. (2010), kista ovarium dan kista adneksa lainnya pada wanita yang asimtomatik dapat ditatalaksana dengan cara berikut ini:

a. Kista adneksa dengan ukuran fisiologis pada wanita usia reproduksi, atau kista sederhana yang berukuran ≤ 1 cm pa da wanita pascamenopause, cenderung jinak dan tidak berbahaya.

b. Kista sederhana dengan ukuran lebih dari 3 cm pada wanita usia reproduksi atau lebih besar dari 1 cm pada wanita pascamenopause harus diperiksa dengan USG. Meskipun kista sederhana dari berbagai ukuran tidak mungkin menjadi lesi ganas, tetapi perlu dilakukan USG tahunan untuk mengawasi kista yang lebih dari 5 cm pada wanita pramenopause dan 1 cm pada wanita pascamenopause. Batas 5 cm juga digunakan sebagai rekomendasi tindak lanjut untuk kista hemoragik pada wanita pramenopause.

c. Penggunaan pedoman ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan pasien dan dokter, serta membatasi kebutuhan tindak lanjut pemeriksaan.

2. Pembedahan

Sebagian besar kista ovarium tidak memerlukan pengobatan, tetapi yang lebih besar dari 5 cm dapat diangkat melalui pembedahan (Tortora & Derrickson, 2009). Bedah laparoskopi merupakan standar baku untuk pengobatan kista ovarium jinak. Ini adalah prosedur yang sangat efektif dan aman (Coccia et al., 2011). Menurut Hadibroto (2005), dengan laparoskopi trauma dinding abdomen lebih minimal, waktu operasi lebih singkat, risiko perlengketan lebih minimal dan masa penyembuhan lebih cepat dibanding dengan prosedur pembedahan laparotomi. Ketika melakukan operasi laparoskopi pada kista ovarium jinak, penghapusan kapsul lengkap harus dilakukan. Apabila hanya melakukan aspirasi, pengobatan menjadi kurang efektif dan tingkat kekambuhan lebih tinggi (46% - 84%) (Rofe et al., 2013).


(23)

Gambar 2.5. Penatalaksanaan Kista Ovarium (Sumber: Ross & Kebria, 2013)

2.3.9. Komplikasi 1. Torsi

Kista ovarium dengan diameter besar dari 4 cm memiliki tingkat torsi sekitar 15%. Torsi menyebabkan obstruksi vena, sehingga aliran arteri dapat mengalami infark. Sebagian besar kasus torsi terjadi pada wanita pramenopause usia subur, tetapi 17% dari kasus terjadi pada wanita prapubertas dan pascamenopause. Torsi ovarium lebih umum di sisi kanan karena kolon sigmoid membatasi mobilitas ovarium kiri. Massa ovarium yang paling umum yang terkait dengan torsi adalah kista dermoid (Helm, 2014).

2. Ruptur

Kista folikular menyebabkan timbulnya nyeri yang akut dan singkat. Kista korpus luteum yang ruptur dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa karena kista tersebut memiliki banyak pembuluh darah. Nyeri akut tidak dapat dibedakan dari kehamilan ektopik yang ruptur tetapi HCG serum negatif. Nyeri tekan pelvis yang difus terdeteksi pada pemeriksaan pelvis dan sering terjadi unilateral pada sisi yang terkena. Suatu massa dapat terdeteksi melalui palpasi (Sinclair, 2009).


(1)

hiperstimulasi ovarium, dan neoplasma ovarium baik jinak maupun ganas. Faktor pertumbuhan endotel vaskular berfungsi sebagai mediator utama angiogenesis, dan faktor itu berpengaruh dalam pengembangan neoplasma ovarium.

Gambar 2.4. Patogenesis Kista Ovarium (Sumber: Vanholder et al., 2006) 2.3.5. Patofisiologi

1. Faktor pertumbuhan

Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan benjolan perut. Tekanan terhadap alat-alat disekitarnya disebabkan oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Apabila tumor mendesak kandung kemih, dapat menimbulkan gangguan miksi, sedangkan kista yang lebih besar tetapi terletak bebas di rongga perut kadang-kadang hanya menimbulkan rasa berat dalam perut serta mengakibatkan obstipasi edema pada tungkai. Pada tumor


(2)

yang besar juga dapat terjadi tidak nafsu makan, rasa sesak, dan lain-lain (Prawirohardjo, 2008).

2. Faktor aktivitas hormonal

Penderita kista ovarium juga dapat mengalami gangguan hormonal. Misalnya, peningkatan produksi estrogen dari sel granulosa yang dapat mengganggu menstruasi normal (Schorge et al., 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian Yan-min et al. (2010) yaitu menemukan gangguan siklus menstruasi sebesar 76 % pada penderita PCOS di masyarakat dan 92,1 % pada penderita PCOS di rumah sakit, sama dengan tingkat kejadian yang dilaporkan sebelumnya. 3. Faktor inflamasi

Menurut Harada (2013), penyebab nyeri saat menstruasi (dismenorea) pada penderita endometriosis adalah konsentrasi prostaglandin yang tinggi. Bulletti

et al. menemukan peningkatan frekuensi, amplitudo, dan tekanan basal

kontraksi uterus pada wanita dengan endometriosis. Nyeri juga disebabkan oleh lesi endometriosis yang memicu terjadinya reaksi inflamasi dan mengeluarkan prostaglandin, sitokin, histamin dan kinin. Infiltrasi endometriosis yang dalam menyebabkan kerusakan jaringan dan saraf, serta kista coklat yang pecah dapat mengiritasi peritoneum. Terbentuknya jaringan parut, fibrosis, dan adhesi menyebabkan penurunan mobilitas organ sehingga nyeri dapat terasa selama adanya gerakan atau ovulasi. Bila terjadi adhesi pada usus maka dapat menyebabkan nyeri saat buang air besar (dyschezia).

2.3.6. Gejala Klinis

Kista ovarium biasanya tidak menimbulkan gejala (Gulati & Goyal, 2013). Menurut Sain Mary’s Hospital (2012), gejala kista ovarium dapat ditemukan apabila massa berukuran besar, pecah (splits), atau terjadi torsi. Dalam keadaan seperti itu dapat ditemukan gejala berupa:

1. Nyeri panggul karena ukuran kista yang besar, dan nyeri tajam yang tiba-tiba karena kista pecah atau torsi.

2. Kesulitan mengosongkan perut.


(3)

4. Nyeri panggul selama hubungan seksual. 5. Menstruasi yang tidak teratur.

6. Merasa kenyang dan kembung.

2.3.7. Diagnosis 1. Anamnesis

Setiap mengevaluasi pasien dengan kista ovarium harus mencakup riwayat kesehatan menyeluruh. Mencari tahu faktor risiko dan risiko keganasan pada pasien. Gejala seperti nyeri panggul, perut kembung, cepat kenyang, dan perubahan nafsu makan harus diwaspadai adanya keganasan dan penatalaksanaan yang dipilih harus tepat. Hal ini juga penting untuk mencari gejala yang menunjukkan endometriosis, terutama pada pasien wanita usia reproduksi dengan infertilitas (Rofe et al., 2013).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan abdominal dan pemeriksaan pelvis, termasuk pemeriksaan palpasi bimanual untuk mencari massa (Rofe et al., 2013). Bila dijumpai massa, maka karakteristik dari massa harus dievaluasi dengan baik sehingga asal massa dapat diketahui dengan pasti untuk penanganan lebih lanjut. Karakteristik massa yang harus dievaluasi meliputi lokasi, ukuran, konsistensi, bentuk, mobilitas, unilateral atau bilateral dan penemuan lain yang bermakna seperti demam, asites (Hadibroto, 2005). Demam menunjukan proses infeksi atau torsi ovarium (Ross & Kebria, 2013) dan asites menandakan adanya kemungkinan keganasan. Namun, perlu diingat bahwa pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi massa ovarium (15 % - 51 %) (Rofe et

al., 2013).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Penanda adanya tumor adalah protein, yang dihasilkan oleh sel-sel tumor atau oleh tubuh sebagai respons terhadap sel-sel tumor. Cancer Antigen 125 (CA-125) adalah antigen penentu glikoprotein dengan berat molekul besar. CA-125 bukan


(4)

antigen spesifik tumor, tetapi penentuan serum CA-125 dapat membantu dan sering digunakan dalam evaluasi kista ovarium (Schorge et al., 2008). Pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada wanita yang berisiko memiliki keganasan (Yatim, 2005). CA-125 pada wanita usia reproduksi meningkat dalam berbagai kondisi seperti fibroid, endometriosis, adenomiosis, infeksi panggul dan selama siklus menstruasi normal. CA-125 digunakan untuk membedakan massa jinak dengan massa ganas (Rofe et al., 2013).

Anti-Mullerian Hormone (AMH) adalah penanda yang relatif baru pada cadangan

ovarium dan dianggap paling akurat pada saat ini. Serum AMH diatas 0,5 ng/mL menunjukan cadangan ovarium yang baik, sedangkan serum AMH yang rendah menunjukan adanya penurunan folikel ovarium. Tingkat serum AMH dapat memberikan petunjuk manajemen yang tepat untuk pasien kista ovarium. Penurunan AMH mungkin kontraindikasi untuk bedah pada pasien tertentu. AMH juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kerusakan ovarium setelah operasi (Rofe et al., 2013).

4. Pemeriksaan penunjang

Pencitraan yang paling banyak digunakan adalah ultrasonography (USG) transvaginal. Pencitraan ini sering digunakan untuk wanita usia reproduksi dan asimtomatik (Rofe et al., 2013). Melalui USG dapat diketahui tempat lesi (unilateral atau bilateral), ukuran, konsistensi (kistik atau solid), struktur internal (septa tipis atau tebal), permukaan kista (rata atau tidak rata) (Edmonds, 2007). Pada USG gambaran khas yang menunjukan adanya lesi jinak adalah dinding yang tipis, tidak adanya eko internal, kurangnya septa internal. Kista sederhana yang berukuran kurang dari 6 cm harus dipantau dengan USG. Jika USG memberikan gambaran yang kurang jelas atau jika terdapat kecurigaan adanya keganasan, maka dapat digunakan Computerized Tomography (CT) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) untuk melihat pencitraan yang lebih akurat (Umami &


(5)

2.3.8. Penatalaksanaan 1. Konservatif

Menurut konsensus yang diterbitkan oleh Society of Radiologists in Ultrasound dalam Levine et al. (2010), kista ovarium dan kista adneksa lainnya pada wanita yang asimtomatik dapat ditatalaksana dengan cara berikut ini:

a. Kista adneksa dengan ukuran fisiologis pada wanita usia reproduksi, atau kista sederhana yang berukuran ≤ 1 cm pa da wanita pascamenopause, cenderung jinak dan tidak berbahaya.

b. Kista sederhana dengan ukuran lebih dari 3 cm pada wanita usia reproduksi atau lebih besar dari 1 cm pada wanita pascamenopause harus diperiksa dengan USG. Meskipun kista sederhana dari berbagai ukuran tidak mungkin menjadi lesi ganas, tetapi perlu dilakukan USG tahunan untuk mengawasi kista yang lebih dari 5 cm pada wanita pramenopause dan 1 cm pada wanita pascamenopause. Batas 5 cm juga digunakan sebagai rekomendasi tindak lanjut untuk kista hemoragik pada wanita pramenopause.

c. Penggunaan pedoman ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan pasien dan dokter, serta membatasi kebutuhan tindak lanjut pemeriksaan.

2. Pembedahan

Sebagian besar kista ovarium tidak memerlukan pengobatan, tetapi yang lebih besar dari 5 cm dapat diangkat melalui pembedahan (Tortora & Derrickson, 2009). Bedah laparoskopi merupakan standar baku untuk pengobatan kista ovarium jinak. Ini adalah prosedur yang sangat efektif dan aman (Coccia et al., 2011). Menurut Hadibroto (2005), dengan laparoskopi trauma dinding abdomen lebih minimal, waktu operasi lebih singkat, risiko perlengketan lebih minimal dan masa penyembuhan lebih cepat dibanding dengan prosedur pembedahan laparotomi. Ketika melakukan operasi laparoskopi pada kista ovarium jinak, penghapusan kapsul lengkap harus dilakukan. Apabila hanya melakukan aspirasi, pengobatan menjadi kurang efektif dan tingkat kekambuhan lebih tinggi (46% - 84%) (Rofe et al., 2013).


(6)

Gambar 2.5. Penatalaksanaan Kista Ovarium (Sumber: Ross & Kebria, 2013) 2.3.9. Komplikasi

1. Torsi

Kista ovarium dengan diameter besar dari 4 cm memiliki tingkat torsi sekitar 15%. Torsi menyebabkan obstruksi vena, sehingga aliran arteri dapat mengalami infark. Sebagian besar kasus torsi terjadi pada wanita pramenopause usia subur, tetapi 17% dari kasus terjadi pada wanita prapubertas dan pascamenopause. Torsi ovarium lebih umum di sisi kanan karena kolon sigmoid membatasi mobilitas ovarium kiri. Massa ovarium yang paling umum yang terkait dengan torsi adalah kista dermoid (Helm, 2014).

2. Ruptur

Kista folikular menyebabkan timbulnya nyeri yang akut dan singkat. Kista korpus luteum yang ruptur dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa karena kista tersebut memiliki banyak pembuluh darah. Nyeri akut tidak dapat dibedakan dari kehamilan ektopik yang ruptur tetapi HCG serum negatif. Nyeri tekan pelvis yang difus terdeteksi pada pemeriksaan pelvis dan sering terjadi unilateral pada sisi yang terkena. Suatu massa dapat terdeteksi melalui palpasi (Sinclair, 2009).