Konsepsi dan Solusi Konflik Daerah

Konsepsi dan Solusi Konflik Daerah
Oleh Bambang Cipto

ADAKAh hubungan antara gejala konflik daerah yang telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini
dengan kebijakan otonomi daerah? Konflik daerah yang terjadi di Indonesia sejak lama biasanya
disebabkan oleh perbedaan persepsi antara kepentingan pemerintah di Jakarta dan kepentingan daerah.
Perbedaan persepsi bisa bermula dari ketidakpuasan daerah atas pembagian rizki yanhg berasal dari
daerah yang biasanya terlalu banyak diserap dan dikuasai pusat. Konflik Aceh yang hingga kini tidak
menunjukkan adanya perbaikan dan bahkan cenderung semakin keraas dengan dibentuknya Komando
Daerah Militer Iskandar Muda disebabkan, antara lain, karena keserakahan Jakarta dalam mengeruk
keuntungan yang diperoleh dari sumber-sumber alam di Aceh. Keserakahan ini kemudian ditutupi dengan
berbagai macam dalih sehingga akhirnya membuat sebagian masyarakat Aceh mulai melawan dan
akhirnya mengangkat senjata melawan pemerintah Jakarta. Di masa Suharto jangankan perlawanan
bersenjata oleh anti pemerintah pusat di daerah, oposisi sipil di Jawa pun ditindas dengan cara-cara
represif.
Konflik di daerah juga disulut oleh menguatnya simbolisasi kelompok di pusat yang mungkin dirasakan
oleh kepentingan daerah sebagai sesuatu yang sangat tidak bisa diterima. Pola konflik daerah ini oleh
sementara pengamat dikatakan bahwa bila kelompok minoritas tidak mendapatkan representasi di pusat
besar kemungkinan mereka akan melakukan tindak kerusuhan di daerah di mana mereka merasa sebagai
kelompok paling dominan. Konflik di Maluku dan Poso merupakan contoh dalam mana kelompok
dominan yang kebetulan non-Muslim di kawasan tersebut merasa kepentingan mereka tidak terwujudkan

di pusat. Kondisi semacam dapat memicu semacam konflik daerah dengan adanya kelompok minoritas
yang lemah di daerah tersebut. Konflik Muslim vs non-Muslim di kawasan tersebut antara lain juga
disulut keinginan kelompok yang kuat melakukan balas dendam sehingga menimbulkan korban jiwa yang
tak terhitung banyaknya.
Konflik daerah bisa juga terjadi karena sebuah kelompok mayoritas merasa bahwa simbolisme mereka di
pusat terancam bahaya sehingga melampiaskan kemarahan mereka terhadap apa yang dianggap sebagai
"penyebab" ancaman tersebut. Konflik antara massa pendukung Gus Dur dan komunitas Muhammadiyah
yang pada umumnya tergolong minoritas di Jawa Timur juga dipicu oleh kemarahan mereka karena
simbol kepemimpinan mereka (Gus Dur) terancam posisinya oleh MPR yang kebetulan dipimpin oleh
Amien Rais yang kebetulan bekas Ketua PP Muhammadiyah.
Konflik daerah juga terjadi karena perbedaan bahasa dari dua kelompok etnis tertentu yang merembes
pada perbedaan kultur keduanya. Konflik bahasa akhirnya berkembang menjadi konflik antara budaya.
Jenis konflik semacam ini banyak terjadi, antara lain di negara-negara Eropa. Sering konflik daerah di
kawasan Eropa telah berlangsung selama ratusan tahun sehingga memerlukan solusi yang tepat dan
bijaksana.
Pada dasarnya konflik daerah terjadi di berbagai belahan bumi ini dan telah berlangsung selama berabadabad. Etnis Bask di Spanyol telah terlibat konflik berdarah dengan etnis mayoritas di Spanyol yang
hingga kini tak juga berakhir. Bangsa Eropa bahkan melakukan pembersihan etnis terhadap suku Indian
Amerika pada awal-awal masa kemerdekaan Amerika sehingga kini suku Indian tinggal segelintir jumlah
dan menjadi kelompok minoritas di negeri sendiri. Suku-suku Islam di Cina bagian barat telah ratusan
tahun tidak pernah mendapatkan kebebasan mengembangkan agama mereka. Konflik daerah dengan

demikian merupakan gejala universal sehingga memerlukan kewaspadaan penuh agar tidak berkelanjutan
di masa depan karena dapat mengganggu jalannya proses sejarah bangsa Indonesia.
Lalu bagaimana hubungan konflik daerah dan otonomi daerah? Otonomi daerah diterapkan di Indonesia
tidak sepenuhnya sebagai jawaban terhadap konflik yang pecah di daerah-daerah sebagaimana kita lihat
saat ini. Misi utama otonomi daerah sesungguhnya adalah untuk mengurangi beban ekonomi pusat yang
nyaris lumpuh karena tekanan internasional. Untuk mengurangi beban ekonomi itulah sebagian beban
dari pusat kemudian ditransfer ke daerah-daerah. Persoalan inilah yang membuat otonomi daerah tidak
berdampak positif terhadap daerah-daerah konflik. Sebagai misal, setelah setahun otonomi dilaksanakan
mengapa konflik Aceh tetap membara? Mengapa pula konflik di Ambon tak kunjung reda dalam arti
sepenuhnya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya dapat ditemukan dalam UndangUndang Otonomi Daerah. Namun dalam kenyataan Undang-Undang tersebut sama sekali tidak
menyinggung urusan konflik atau mengantisipasi potensi konflik di daerah. Akibatnya implementasi
otonomi daerah tidak menjamin terciptanya stabilitas politik dan ekonomi daerah konflik.
Pertanyaannya adalah dapatkah otonomi daerah diarahkan untuk mengkondisikan daerah sedemikian
rupa sehingga gejala konflik dapat diatasi dan kehidupan normal yang telah berlangsung bertahun-tahun

dapat dipulihkan kembali? Pada prinsipnya sudah tentu dapat sejauh ada keinginan kuat untuk mencapai
tujuan tersebut. Sekali pun demikian diperlukan perbaikan-perbaikan yang difokuskan pada upaya
menemukan solusi dari konflik dan bukan sekadar dipenuhi harapan agar beban pusat berkurang sematamata.
Di beberapa negara Eropa konflik daerah yang berabad-abad dicarikan solusinya dengan membentuk
semacam federalisme khusus. Federalisme khusus, yaitu federalisme yang lebih mengutamakan

pertimbangan-pertimbangan budaya setempat. Pertimbangan ini merupakan persyaratan pokok agar aspek
budaya kawasan konflik dapat disentuh sehingga mudah dicari titik temunya. Konflik antara kelompok
sering bermuara pada perbedaan budaya yang mungkin sangat bertentangan. Bahkan jika muara konflik
tersebut adalah perbedaan agama persoalannya bisa menjadi lebih rumit dan berjangka panjang dengan
korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak.
Untuk dapat merumuskan titik temu khususnya pada konflik-konflik yang bernuansa agama, maka hal
pertama yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah mengakui adanya perbedaan agama di sekitar
wilayah konflik. Langkah selanjutnya adalah memberi keleluasaan kepada masing-masing agama untuk
tampil sesuai dengan kondisi masing-masing. Sebagai misal, aturan main di Jogja yang mayoritas Islam
jelas berbeda dengan di daerah lain yang mayoritas non-Muslim. Jika ketentuan-ketentuan Muslim
diperlakukan secara kaku di semua daerah termasuk daerah non-Muslim dalam arti non-Muslim
merupakan kekuatan mayoritas, maka sama halnya dengan menanam investasi konflik di masa depan.
Bagi pemerintah Indonesia persoalan ini harus mulai ditinjau kembali secara seksama dengan
menemukan apakah benar ada ketentuan atau simbol-simbol Islam yang terlalu kuat di daerah dalam
mana mayoritas penduduknya adalah non-Muslim? Sudah tentu cara pandang ini tidak dapat dipahami
semua orang. Namun beberapa negara Eropa telah mempraktikkan model pengelolaan konflik daerah ini
dengan memberikan perhatian penuh dan seksama pada masing-masing kelompok yang bertikai.
Kunci dari solusi ini adalah keadilan. Bukankah umat Islam diciptakan untuk menumbuhkan keadilan di
muka bumi? Bukankah Nabi Daud diutus ke bumi agar menggunakan nalar keadilan untuk menjalankan
roda pemerintahan? Ketetapan-ketetapan Qur'an sesungguhnya mengisyaratkan agar kaum Muslim

bertindak adil dan seadil-adilnya terhadap semua orang agar rahmatan lil alamin dapat terwujud. Jika
umat Islam mengingkari perintah tentang mewujudkan keadilan di muka bumi ini sudah tentu umat akan
menghadapi malapetaka.
Ke depan apa pun bentuk konflik daerah harus ditemukan cara penyelesaian yang berdasarkan pada
konsep keadilan bukan sekadar pamer arogansi mayoritas. Prinsip mayoritas tak akan ada artinya jika
tidak disertai dengan penghargaan tulus terhadap minoritas. Pemerintah dan ormas-ormas Islam perlu
mengembangkan konsep yang lebih matang dan dewasa. Umat Islam sebagai kelompok mayoritas tidak
lagi memerlukan pengakuan. Apa yang dibutuhkan umat mayoritas adalah kesediaan menghormati dan
melindungi kelompok-kelompok minoritas. Selanjutnya sikap, pernyataan, dan tindakan umat mayoritas
mesti disesuaikan dengan prinsip kedewasaan dan kematangan berpikir untuk menjaga dan memelihara
kesatuan bangsa sebagai bagian dari usaha membumikan rahmatan lil alamin bukan sekadar rahmatan lil
muslimin semata-mata.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002