Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012 T1 132008042 BAB II

(1)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Motivasi Berprestasi

2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi

Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti “dorongan atau daya penggerak”. Motivasi adalah penting karena dengan adanya motivasi ini diharapkan setiap individu mau balajar keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi dalam berprestasi. (McClelland dalam Hasibuan, 2001) mengatakan motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk mengatasi atau mengalahkan suatu tantangan yang bertujuan untuk kemajuan dan pertumbuhan.

Motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik, mengatasi rintangan, dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk melebihi yang lampau dan mengungguli orang lain (Hall & Linzey dalam Wirabayu, 2005). Selanjutnya Merhrabian & Bank (dalam Hapsari, 2004) menyatakan bahwa pada umumnya motivasi berprestasi merupakan dorongan dari individu untuk melakukan aktivitas dan usaha yang maksimal agar dapat mencapai prestasi yang sebaik-baiknya.

Weinner (dalam Hapsari, 2004) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai suatu kecenderungan positif yang berada dalam individu yang pada dasarnya mempunyai reaksi terhadap suatu tujuan yang ingin atau harus dicapai .


(2)

Sementara itu Edward (As’ad dalam Wirabayu, 2005) menguraikan motivasi berprestasi sebagai kebutuhan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas lebih sukses untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Dari beberapa pengertian diatas dapat dinyatakan bahwa motivasi berprestasi sebagai dorongan yang ada dalam diri individu untuk melakukan aktivitas tertentu dan usaha yang maksimal serta mengatasi rintangan yang ada guna mencapai hasil yang sebaik-baiknya.

2.1.2. Aspek-aspek Motivasi berprestasi

Lebih lanjut McClelland (dalam Wirabayu 2005) mengemukakan aspek-aspek motivasi berprestasi sebagai berikut:

a. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tanggung jawab secara pribadi atas tindakan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan.

Individu merasa puas dengan prestasinya sekarang meskipun belum melebihi prestasi orang lain karena sanggup dapat berbuat suatu hal yang merubah prestasinya yang lampau. Individu menikmati kesibukkannya sepanjang hari karena baginya semakin banyak kemampuan yang dimiliki maka semakin berhasil dan senang melakukan ketrampilan tingkat tinggi. Individu menikmati kesibukkannya setiap hari dan penting baginya untuk melebihi prestasi orang lain.

b. Menetapkan arah tujuan untuk berhasil dan sukses.

Individu menetapkan arah dan tujuan sukses dalam dirinya dengan standar optimis akan berhasil, dengan memilih pekerjaan yang bersifat moderat membuat individu merasa santai dan mudah dikuasai daripada tugas yang bersifat sulit. Suka belajar dan berkerja keras, apabila mengalami kesulitan akan terus mencoba hingga berhasil daripada beralih ke pekerjaan lainnya, bagi individu menjadikkan diri sendiri untuk menang adalah penting.

c. Menempatkan tujuan yang sedang dan bekerja lebih keras, oleh karena itu individu berusaha memaksimalkan kepuasan akan prestasinya.

Individu merasa puas apabila melakukan pekerjaan sebaik-baiknya oleh karena itu bila mengerjakan suatu tugas berusaha terus menerus menekuninnya hingga berhasil, oleh karena itu individu memilih tugas yang merasa dikerjakan. Apabila mengerjakkan tugas maka akan dikerjakan secara maksimal sehingga kepuasan individu akan lebih besar dalam persaingan


(3)

terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat melebihi prestasinya yang lalu.

2.1.3. Faktor-faktor Motivasi Berprestasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi ada 2 yaitu: faktor internal dan eksternal (dalam Wirabayu, 2005). Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu, yang termasuk faktor internal adalah:

1. Keadaan jasmani

Keadaan jasmani antara lain bentuk wajah, warna kulit, dan sebagainya. Sebaliknya Kartikawati (1995) mengemukakan bahwa cacat fisik yang dimiliki individu akan dapat menghambat dirinya untuk mempunyai motivasi berprestasi. 2. Jenis kelamin

Jung (Hananto, 2000) berpendapat bahwa faktor jenis kelamin mem-pengaruhi motivasi berprestasi. Ada kecenderungan wanita untuk menghindari sukses merupakan faktor yang melatarbelakangi rendahnya motivasi berprestasi pada wanita.

3. Usia

Neugarten (1987) mengatakan bahwa kesadaran akan umur yang semakin bertambah (menjadi suatu pendorong untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi). Orang yang berusia lebih tua akan semakin banyak pengalaman dalam kehidupan dan mempunyai suatu kiat-kiat tertentu untuk menghindari kegagalan dan tidak akan melakukan kegagalan yang sama.

4. Inteligensi

Individu dengan taraf kecerdasan yang tinggi diharapkan memiliki motivasi berprestasi tinggi. Hal ini didukung oleh Pietrofesa dan Splete (dalam Ariani, 1995) bahwa intelegensi akan mempengaruhi motivasi berprestasi individu, semakin tinggi inteligensi akan semakin tinggi pula motivasi berprestasinya.

5. Kepribadian

Tiap-tiap individu mempunyai kepribadian yang berbeda. Salah satu contoh adalah 2 tipe kepribadian individu, yaitu kepribadian locus of control internal dan locus of control external. Individu dengan locus of control internal lebih suka menentang pengaruh dari luar serta tanggung jawab pribadi terhadap kegagalan dari usaha yang dilakukannya, sedangkan individu dengan locus of control eksternal memiliki anggapan bahwa kegagalan berasal dari hal-hal yang di luar dirinya, misalnya dari guru, orang tua, teman, dan lain-lain.

6. Minat

Individu mempunyai minat untuk belajar, berkompetisi dan tidak mengharapkan kegagalan akan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi (Setiawan, 1993).


(4)

Ratnawati & Sinabela (1996) menyatakan bahwa individu yang mempunyai citra diri positif akan tampak percaya diri, aktif dan berani menghadapi sesuatu. Sebaliknya individu yang memiliki citra diri negatif akan tampak ragu-ragu, kurang percaya diri dan kurang berani dalam menghadapi sesuatu meskipun sebenarnya memiliki kemampuan. Dilihat dari ciri-ciri yang ada, maka individu yang mempunyai citra diri positif akan memiliki motivasi berprestasi tinggi daripada individu yang memiliki citra diri negatif.

8. Keberhasilan yang pernah dicapai

Greene (Hananto, 2000) menyatakan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan memiliki arti bahwa individu mampu mengatasi kesulitan dan tantangan yang dihadapi, keberhasilan ini akan menumbuhkan kepercayaan pada diri serta penghargaan atas usaha yang dilakukannya. Individu akan berpandangan positif pada dirinya sehingga menimbulkan suatu harapan baru untuk mencapai prestasi yang lebih baik.

9. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan individu akan berpengaruh pada kebutuhan-kebutuhannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menuntut timbal balik nyata, misalnya memiliki aspirasi yang realistik terhadap dirinya. Klein & Mahen (Hananto, 2000) mengungkapkan bahwa individu yang berpendidikan tinggi akan lebih banyak menuntut peranan bagi dirinya daripada individu yang berpendidikan rendah.

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu : 1. Lingkungan keluarga

Terbentuknya motivasi berprestasi bersumber dari cara orang tua mendidik dan mengasuh anak. Orang tua yang mendidik anaknya untuk berusaha menentukan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan dan mampu mengerjakan tugas-tugas tanpa bantuan orang lain, disertai dengan sikap orang tua yang selalu menghargai setiap prestasi yang telah dicapai anaknya, akan menumbuhkan motivasi berprestasi yang lebih tinggi pada anak. Heckhausen (Martaniah,1975) menambahkan latihan yang diberikan oleh orang tua untuk percaya diri sendiri dapat membantu tumbuhnya motivasi berprestasi.

2. Lingkungan masyarakat

Mencakup tempat individu hidup dan bergaul, berbudaya, tradisi nilai hidup dan pola hidup yang dianut masyarakat lingkungannya, semua itu memperngaruhi motivasi berprestasinya individu. McClelland (1978) mengatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan bagian dari kebudayaan secara keseluruhan, yaitu bagian dari agama, gaya hidup atau lebih khusus lagi dari cara orang tua mengasuh anaknya. Motivasi berprestasi berkembang karena pengaruh kebudayaan dan lingkungan yang mementingkan perkembangan kebebasan pada anggota keluarganya, orang tua pada umumnya mengasuh anak sesuai dengan pola hidup yang dianut lingkungannya.

3. Lingkungan sekolah

Sementara itu, Ratnawati & Sinambela (1996) menjelaskan bahwa sejauh mana sekolah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa dalam berprestasi di sekolah yang meliputi fasilitas yang disediakan, hubungan antar siswa dan guru,


(5)

hubungan antara siswa dengan siswa itu sendiri. Siswa merasakan kebutuhannya terpenuhi jika pihak sekolah mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang mampu memuaskan rasa ingin tahu siswa yang tinggi, hubungan siswa dengan guru, dan dengan siswa lain terjalin harmonis. Selanjutnya, siswa akan memperoleh iklim yang menyenangkan dan siswa akan terus menerus terdorong untuk meningkatkan prestasinya.

Dari faktor-faktor tersebut dapat digolongkan kedalam 2 faktor yaitu faktor internal meliputi: keadaan jasmani, jenis kelamin, usia, intelegensi, citra diri, keberhasilan yang pernah dicapai, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah.

2.2 Pola Asuh Orang Tua

2.2.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Keluarga merupakan sebuah kelompok sosial pertama di mana anak melakukan interaksi dan mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan perkembangan sikap sosial yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak salah satunya faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan sikap sosial anak yaitu faktor latar belakang keluarga, ekonomi, agama dan budaya

Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Faktor lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan sikap sosial anak karena di dalam kehidupan bersosial manusia tidak bisa hanya berinteraksi dengan keluarga sendiri melainkan dengan masyarakat sekitar.


(6)

Dalam keluarga orang tua mempunyai cara sendiri dalam menjadikan anak sebagai pribadi yang berguna dan tidak menyimpang dari norma yang berlaku dimasyarakat. Bagaimana anak bertindak dan berperilaku tidak lepas dari bagaimana orang tua menanamkan nilai dan membentuk pribadi anak sejak kecil. Oleh karena cara pengasuhan yang dilakukan orang tua tidak lepas dalam membentukan karakter seorang anak.

Menurut Gunarsa (2000) peranan yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mendidik, mengatur dan mengendalikan anak, menjadi contoh dan teladan bagi anak. Oleh karena itu cara pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua tidak lepas dalam pembentukan kepribadian anak.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah metode yang digunakan orang tua dalam menjalin hubungan dengan anak. Dari berbagai pengertian pola asuh orang tua adalah metode yang mendidik, mengajar, membimbing untuk mengarahkan perilaku anak serta cara orang tua untuk berkomunikasi dengan anak.

2.2.2. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua ada bermacam-macam antara lain pola asuh orang tua otoriter, otoritatif (demokratis) dann pola asuh permissive. Adapun jenis pola asuh orang tua menurut Rice; Santrock; Turner & Helms (dalam Gunarsa, 2004) dan Hurlock (1999) dikategorikan menjadi tiga yaitu:


(7)

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter orang tua menerapkan pola pengasuhan otoriter pada anak, orang tua memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan anak tanpa mempedulikan pendapat dari anak. Orang tua menerapkan gaya hukuman kepada setiap tindakan anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Anak diajarkan mengikuti tuntutan orang tua dan keputusan orang tua tanpa bertanya dan berdiskusi terlebih dahulu dengan anak. Anak tidak diperbolehkan mengambil keputusan sendiri.

Orang tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak. Biasanya, komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari orang tua ke anak, dengan orang tua memberikan perilaku kepada anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan keterampilan berkomunikasi anak menjadi berkurang.

b. Pola Asuh Permisif

Pola asuh yang permisif dibedakan menjadi pola pengasuhan yang mengabaikan dan pola pengasuhan yang memanjakan. Pada pengasuhan yang mengabaikan, orang tua, dengan tidak mempedulikan anak, memberi izin bagi anak bertindak semaunya sendiri. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan ini akan menunjukkan kurangnya kontrol diri yang dapat menjadi salah satu penyebab kenakalan pada anak.

Pola pengasuhan yang memanjakan, orang tua sangat menunjukkan dukungan emosional kepada anak tetapi kurang memberikan kontrol kepada anak. Orang tua mengizinkan anak untuk melakukan apa yang anak mau, bahkan tampak bahwa anak lebih berkuasa daripada orang tua dalam pengambilan berbagai keputusan. Hal ini ternyata menyebabkan remaja tidak memiliki kontrol diri yang baik, mereka menjadi egois, selalu memaksakan kehendak sendiri tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Dapat dikatakan bahwa pola asuh permisif, baik yang mengabaikan atau yang memanjakan, menyebabkan anak tidak memiliki kontrol diri yang baik.

c. Pola Asuh Otoritatif (Demokratis)

Orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif (demokratis) selalu melibatkan anak dalam segala hal yang berkenaan dengan anak itu sendiri dan dengan keluarga. Orang tua mempercayai pertimbangan dan penilaian dari anak serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan anak. Anak pun belajar untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan juga belajar mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua. Orang tua yang otoritatif (demokratis) menekankan pentingnya peraturan, norma, dan nilai-nilai, tetapi orang tua juga bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan, dan bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang orang tua lakukan lebih bersifat verbal yang ternyata merupakan sesuatu yang efektif. Orang tua yang menunjukkan atau menyatakan kekecewaan atas tindakan anak yang mengecewakan akan lebih memotivasi anak untuk bertindak lebih hati-hati di kemudian hari daripada orang tua yang menghukum dengan keras (Papalia, Wendkos & Feldman,, dalam Gunarsa, 2004).


(8)

Ketiga bentuk jenis pola asuh ini dalam kehidupan sehari-hari yang diterapkan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak baik secara terpisah maupun secara bersama yang artinya ada orang tua yang melaksanakan pola asuh demokratis tetapi juga kadang-kadang menerapkan pola asuh otoriter dan permisif. Untuk menentukan bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan dalam mengembangkan atau mendidik anak-anaknya sangat sulit karena orang tua cenderung menggunakan perpaduan ketiga jenis pola asuh tersebut untuk mendidik anak-anaknya.

Sementara Baumrind mengatakan bahwa ada 4 pola asuh, yang kemudian dikembangkan oleh Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga, 2010) menjadi empat macam pola asuh, yaitu pola asuh authoritative, pola asuh authoritarian, pola asuh indulgent, dan neglectful.

a. Pola Asuh Authoritative

Orang tua tipe ini menerapkan tingkat pengawasan yang tinggi terhadap anak. Orang tua juga mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang tinggi dalam kehidupan anak. Orang tua menerapkan aturan-aturan dalam keluarga tetapi juga terbuka secara demokratis kepada anak tentang aturan-aturan yang orang tua terapkan.

b. Pola Asuh Authoritarian

Orang tua dengan tipe pola asuh ini mempunyai tingkat pengawasan yang tinggi terhadap anak tanpa adanya kehangatan dari orang tua dan keterlibatan orang tua yang rendah dalam kehidupan anak.

c. Pola Asuh Indulgent

Orang tua mempunyai penerimaan terhadap anak dan memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi terhadap kehidupan anak. Orang tua menerima dan mencintai anak, tetapi menerapkan aturan-aturan yang kuat dalam keluarga. d. Pola Asuh Neglectful

Orang tua mempunyai pengawasan yang rendah terhadap anak dan mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang rendah terhadap kehidupan anak serta tidak menetapkan aturan dan pengawasan yang kuat dalam kehidupan anak.


(9)

2.2.3. Aspek- Aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua

Hurlock (1999) mengungkapkan aspek-aspek pola asuh orang tua sebagai berikut:

1) Kontrol orang tua, yaitu usaha yang dilakukan orang tua untuk membatasi pola asuh anak yang didasarkan pada sasaran yang bertujuan memodifikasi perilaku anak.

2) Hukuman dan hadiah, yaitu usaha orang tua dalam memberikan hukuman dan hadiah yang didasarkan pada perilaku anak.

3) Komunikasi, yaitu pencapaian informasi antara orang tua dan anak yang di dalamnya bersifat mendidik, menghibur dan pemecahan masalah.

4) Disiplin, yaitu usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk mendisiplinkan nilai agar anak dapat menghargai dan menaati peraturan yang berlaku.

Menurut Baumrind dalam Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga, 2010) aspek-aspek pola asuh orang tua antara lain:

1. Strictness adalah tingkat keketatan orang tua dalam membuat banyak peraturan untuk mengatur perilaku anak.

2. Supervision adalah tingkat pengawasan orang tua terhadap perilaku dan aktivitas anak di kehidupan sehari-hari.

3. Acceptance adalah tingkat penerimaan orang tua terhadap perilaku anak. 4. Involvement adalah tingkat keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak.

Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan aspek pola asuh bedasarkan teori Hurlock (1999). Alasan menggunakan teori Hurlock karena aspek-aspek mengarah pada pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam setiap pola asuh mengandung unsur kontrol, hukuman dan hadiah, komunikasi serta disiplin yang diterapkan orang tua pada anak.

2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Pada masing-masing orang tua mempunyai pola pengasuhan tersendiri pada anak mereka yang berbeda, dengan bermacam-macam lingkungan keluarga.


(10)

Perbedaan dapat terlihat dalam hal mengungkapkan pikiran dan perasaan serta sikap orang tua dan anaknya atau sebaliknya anak dengan orang tua.

Menurut Gunarsa (1983 dalam Kurniawati, 2010) dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1) Pengalaman masa lalu anak berhubungan erat dengan pola pengasuhan atau

sikap orang tua.

Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk mengulangi sikap dan pola asuh dahulu apalagi hal tersebut dirasakan manfaatnya. Sebaliknya orang tua cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap atau pola asuh orang tua bila tidak dirasakan manfaatnya.

2) Nilai-nilai yang dianut orang tua.

Kedua orang tua masing-masing mempunyai nilai tersendiri untuk mengatur dan mendidik anak, nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak dan diterapkan oleh orang tua dalam keluarga.

3) Tipe kepribadian orang tua.

Orang tua mempunyai watak sendiri walaupun berbeda kepribadian tetapi orang tua selalu menghargai antara pendapat Ayah atau Ibu sehingga dapat mendidik anak menjadi anak yang dapat diandalkan oleh kedua orang tua.

4) Faktor perkawinan orang tua.

Perkawinan orang tua dalam dua belah pihak baik Ayah atau Ibu pasti mempunyai sifat bawaan yang berbeda dan kebiasaan yang berbeda dibawa dari masing-masing pola pengasuhan orang tuanya, dari sinilah orang tua memadukan cara tersendiri dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi anak yang dapat menjadi kebanggaan bagi orang tua.

5)Alasan orang tua mempunyai anak.

Keinginan setiap orang dalam menjalani sebuah perkawinan adalah mempunyai keturunan yang diharapkan akan menjadi penerus generasi dari orang tua, dengan cara mendidik dengan pengasuhan yang baik orang tua mengharapkan anak dapat menjadi individu yang dapat berguna bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya sendiri.

Dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu: pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut orang tua, tipe-tipe kepribadian orang tua, faktor perkawinan orang tua, dan alasan orang tua mempunyai anak.


(11)

2.3. Hasil Penelitian yang relevan tentang Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi

Hasil penelitian Aswar pada tahun 2003 yang berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Motivasi Berprestasi (Studi Kasus Siswa Kelas 2 SMA Muhammadiyah Se-Kota Malang) menunjukkan bahwa jenis pola asuh orangtua termasuk dalam kategori Authoritarian yaitu sebesar 68,32%, sedangkan tingkat motivasi berprestasi termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 66,30%. Dari hasil analisis diperoleh Chi square hitung (105,811) > Chi square tabel (5,99) yang berarti semakin positif pola asuh orang tua maka semakin baik motivasi berprestasipada bidang studi matematika. Dengankoefisien kontingensi C = 0.72 dan C maks. = 0.82 yang berarti derajat hubungan sangat besar. Adapun sumbangan efektif pola asuh orang tua terhadap motivasi berprestasi sebesar 66.34%, sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antarapolaasuhorangtuadanmotivasi beprestasi pada bidang studi matematika

Motivasi berprestasi siswa erat kaitannya dengan motivasi belajar siswa saat di sekolah yang akan menghasilkan prestasi bagi siswa dan pola asuh orang tua sebagai hubungan dari motivasi belajar siswa maka penulis juga mencantumkan hasil penelitian dari Arif Isnani pada tahun 2010 sebagai hasil penelitian yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas V Semester I SD Negeri Gugus Kalimasada Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung 2010/2011, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan


(12)

prestasi belajar sedangkan motivasi belajar ada hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh C = 0,263 dengan sig 7,359 < 9,488. Sedangkan analisis korelasi Spearman rho menunjukkan ada hubungan signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh sig: 0,00.

Berdasarkan uraian di atas bahwa pola asuh memiliki hubungan dengan motivasi berprestasi siswa, dengan ini peneliti akan membuktikan adakah hubungan pola asuh orang tua dengan motivasi berprestasi siswa kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang tahun pelajaran 2011/2012.

2.4. Hipotesis

Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan yang diteliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002).

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Ada hubungan yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012”.


(1)

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter orang tua menerapkan pola pengasuhan otoriter pada anak, orang tua memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan anak tanpa mempedulikan pendapat dari anak. Orang tua menerapkan gaya hukuman kepada setiap tindakan anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Anak diajarkan mengikuti tuntutan orang tua dan keputusan orang tua tanpa bertanya dan berdiskusi terlebih dahulu dengan anak. Anak tidak diperbolehkan mengambil keputusan sendiri.

Orang tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak. Biasanya, komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari orang tua ke anak, dengan orang tua memberikan perilaku kepada anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan keterampilan berkomunikasi anak menjadi berkurang.

b. Pola Asuh Permisif

Pola asuh yang permisif dibedakan menjadi pola pengasuhan yang mengabaikan dan pola pengasuhan yang memanjakan. Pada pengasuhan yang mengabaikan, orang tua, dengan tidak mempedulikan anak, memberi izin bagi anak bertindak semaunya sendiri. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan ini akan menunjukkan kurangnya kontrol diri yang dapat menjadi salah satu penyebab kenakalan pada anak.

Pola pengasuhan yang memanjakan, orang tua sangat menunjukkan dukungan emosional kepada anak tetapi kurang memberikan kontrol kepada anak. Orang tua mengizinkan anak untuk melakukan apa yang anak mau, bahkan tampak bahwa anak lebih berkuasa daripada orang tua dalam pengambilan berbagai keputusan. Hal ini ternyata menyebabkan remaja tidak memiliki kontrol diri yang baik, mereka menjadi egois, selalu memaksakan kehendak sendiri tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Dapat dikatakan bahwa pola asuh permisif, baik yang mengabaikan atau yang memanjakan, menyebabkan anak tidak memiliki kontrol diri yang baik.

c. Pola Asuh Otoritatif (Demokratis)

Orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif (demokratis) selalu melibatkan anak dalam segala hal yang berkenaan dengan anak itu sendiri dan dengan keluarga. Orang tua mempercayai pertimbangan dan penilaian dari anak serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan anak. Anak pun belajar untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan juga belajar mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua. Orang tua yang otoritatif (demokratis) menekankan pentingnya peraturan, norma, dan nilai-nilai, tetapi orang tua juga bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan, dan bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang orang tua lakukan lebih bersifat verbal yang ternyata merupakan sesuatu yang efektif. Orang tua yang menunjukkan atau menyatakan kekecewaan atas tindakan anak yang mengecewakan akan lebih memotivasi anak untuk bertindak lebih hati-hati di kemudian hari daripada orang tua yang menghukum dengan keras (Papalia, Wendkos & Feldman,, dalam Gunarsa, 2004).


(2)

Ketiga bentuk jenis pola asuh ini dalam kehidupan sehari-hari yang diterapkan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak baik secara terpisah maupun secara bersama yang artinya ada orang tua yang melaksanakan pola asuh demokratis tetapi juga kadang-kadang menerapkan pola asuh otoriter dan permisif. Untuk menentukan bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan dalam mengembangkan atau mendidik anak-anaknya sangat sulit karena orang tua cenderung menggunakan perpaduan ketiga jenis pola asuh tersebut untuk mendidik anak-anaknya.

Sementara Baumrind mengatakan bahwa ada 4 pola asuh, yang kemudian dikembangkan oleh Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga, 2010) menjadi empat macam pola asuh, yaitu pola asuh authoritative, pola asuh authoritarian, pola asuh indulgent, dan neglectful.

a. Pola Asuh Authoritative

Orang tua tipe ini menerapkan tingkat pengawasan yang tinggi terhadap anak. Orang tua juga mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang tinggi dalam kehidupan anak. Orang tua menerapkan aturan-aturan dalam keluarga tetapi juga terbuka secara demokratis kepada anak tentang aturan-aturan yang orang tua terapkan.

b. Pola Asuh Authoritarian

Orang tua dengan tipe pola asuh ini mempunyai tingkat pengawasan yang tinggi terhadap anak tanpa adanya kehangatan dari orang tua dan keterlibatan orang tua yang rendah dalam kehidupan anak.

c. Pola Asuh Indulgent

Orang tua mempunyai penerimaan terhadap anak dan memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi terhadap kehidupan anak. Orang tua menerima dan mencintai anak, tetapi menerapkan aturan-aturan yang kuat dalam keluarga. d. Pola Asuh Neglectful

Orang tua mempunyai pengawasan yang rendah terhadap anak dan mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang rendah terhadap kehidupan anak serta tidak menetapkan aturan dan pengawasan yang kuat dalam kehidupan anak.


(3)

2.2.3. Aspek- Aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua

Hurlock (1999) mengungkapkan aspek-aspek pola asuh orang tua sebagai berikut:

1) Kontrol orang tua, yaitu usaha yang dilakukan orang tua untuk membatasi pola asuh anak yang didasarkan pada sasaran yang bertujuan memodifikasi perilaku anak.

2) Hukuman dan hadiah, yaitu usaha orang tua dalam memberikan hukuman dan hadiah yang didasarkan pada perilaku anak.

3) Komunikasi, yaitu pencapaian informasi antara orang tua dan anak yang di dalamnya bersifat mendidik, menghibur dan pemecahan masalah.

4) Disiplin, yaitu usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk mendisiplinkan nilai agar anak dapat menghargai dan menaati peraturan yang berlaku.

Menurut Baumrind dalam Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga, 2010) aspek-aspek pola asuh orang tua antara lain:

1. Strictness adalah tingkat keketatan orang tua dalam membuat banyak peraturan untuk mengatur perilaku anak.

2. Supervision adalah tingkat pengawasan orang tua terhadap perilaku dan aktivitas anak di kehidupan sehari-hari.

3. Acceptance adalah tingkat penerimaan orang tua terhadap perilaku anak. 4. Involvement adalah tingkat keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak.

Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan aspek pola asuh bedasarkan teori Hurlock (1999). Alasan menggunakan teori Hurlock karena aspek-aspek mengarah pada pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam setiap pola asuh mengandung unsur kontrol, hukuman dan hadiah, komunikasi serta disiplin yang diterapkan orang tua pada anak.

2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Pada masing-masing orang tua mempunyai pola pengasuhan tersendiri pada anak mereka yang berbeda, dengan bermacam-macam lingkungan keluarga.


(4)

Perbedaan dapat terlihat dalam hal mengungkapkan pikiran dan perasaan serta sikap orang tua dan anaknya atau sebaliknya anak dengan orang tua.

Menurut Gunarsa (1983 dalam Kurniawati, 2010) dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1) Pengalaman masa lalu anak berhubungan erat dengan pola pengasuhan atau

sikap orang tua.

Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk mengulangi sikap dan pola asuh dahulu apalagi hal tersebut dirasakan manfaatnya. Sebaliknya orang tua cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap atau pola asuh orang tua bila tidak dirasakan manfaatnya.

2) Nilai-nilai yang dianut orang tua.

Kedua orang tua masing-masing mempunyai nilai tersendiri untuk mengatur dan mendidik anak, nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak dan diterapkan oleh orang tua dalam keluarga.

3) Tipe kepribadian orang tua.

Orang tua mempunyai watak sendiri walaupun berbeda kepribadian tetapi orang tua selalu menghargai antara pendapat Ayah atau Ibu sehingga dapat mendidik anak menjadi anak yang dapat diandalkan oleh kedua orang tua.

4) Faktor perkawinan orang tua.

Perkawinan orang tua dalam dua belah pihak baik Ayah atau Ibu pasti mempunyai sifat bawaan yang berbeda dan kebiasaan yang berbeda dibawa dari masing-masing pola pengasuhan orang tuanya, dari sinilah orang tua memadukan cara tersendiri dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi anak yang dapat menjadi kebanggaan bagi orang tua.

5)Alasan orang tua mempunyai anak.

Keinginan setiap orang dalam menjalani sebuah perkawinan adalah mempunyai keturunan yang diharapkan akan menjadi penerus generasi dari orang tua, dengan cara mendidik dengan pengasuhan yang baik orang tua mengharapkan anak dapat menjadi individu yang dapat berguna bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya sendiri.

Dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu: pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut orang tua, tipe-tipe kepribadian orang tua, faktor perkawinan orang tua, dan alasan orang tua mempunyai anak.


(5)

2.3. Hasil Penelitian yang relevan tentang Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi

Hasil penelitian Aswar pada tahun 2003 yang berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Motivasi Berprestasi (Studi Kasus Siswa Kelas 2 SMA Muhammadiyah Se-Kota Malang) menunjukkan bahwa jenis pola asuh orang tua termasuk dalam kategori Authoritarian yaitu sebesar 68,32%, sedangkan tingkat motivasi berprestasi termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 66,30%. Dari hasil analisis diperoleh Chi square hitung (105,811) > Chi square tabel (5,99) yang berarti semakin positif pola asuh orang tua maka semakin baik motivasi berprestasi pada bidang studi matematika. Dengan koefisien kontingensi C = 0.72 dan C maks. = 0.82 yang berarti derajat hubungan sangat besar. Adapun sumbangan efektif pola asuh orang tua terhadap motivasi berprestasi sebesar 66.34%, sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh orang tua dan motivasi beprestasi pada bidang studi matematika

Motivasi berprestasi siswa erat kaitannya dengan motivasi belajar siswa saat di sekolah yang akan menghasilkan prestasi bagi siswa dan pola asuh orang tua sebagai hubungan dari motivasi belajar siswa maka penulis juga mencantumkan hasil penelitian dari Arif Isnani pada tahun 2010 sebagai hasil penelitian yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas V Semester I SD Negeri Gugus Kalimasada Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung 2010/2011, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan


(6)

prestasi belajar sedangkan motivasi belajar ada hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh C = 0,263 dengan sig 7,359 < 9,488. Sedangkan analisis korelasi Spearman rho menunjukkan ada hubungan signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh sig: 0,00.

Berdasarkan uraian di atas bahwa pola asuh memiliki hubungan dengan motivasi berprestasi siswa, dengan ini peneliti akan membuktikan adakah hubungan pola asuh orang tua dengan motivasi berprestasi siswa kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang tahun pelajaran 2011/2012.

2.4. Hipotesis

Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan yang diteliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002).

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Ada hubungan yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012”.


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

AN ANALYSIS OF GRAMMATICAL ERRORS IN WRITING DESCRIPTIVE PARAGRAPH MADE BY THE SECOND YEAR STUDENTS OF SMP MUHAMMADIYAH 06 DAU MALANG

44 306 18

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2