Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

TRANSFORMASI BUDAYA:

  

UPACARA ADAT TOTOKNG

DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Hendrikus Kurniawan

  

NIM: 044314001

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2010

  

MOTTO

“Me n ga p a kita h a ru s m e n d e n ga rka n s u a ra h a ti kita ?”

S e b a b , d i m a n a h a tim u b e ra d a, d i s itu la h h a rta m u be ra d a ”

  ( P a u lo Cu e lh o , d a la m S a n g Alkh e m is ) .

  

H ALAMAN P ERS EMB AH AN

S e bu a h ka d o ke cil in i a ku p e rs e m ba h ka n ke p a d a :

Pa p a ku :

  

Y.V. Ma d a riu s

Ma m a ku :

Yu lita Kris n a h

Ad ik-a d iku :

  

Ro s a lin a ( Alm a rh u m )

N e tty W id ia s tu ty

W in a rs ih Ra tn a S a ri

Irm a s u rya n i

  

D e lla Ra tu

“Te rim a ka s ih a ta s ka s ih s a ya n g, d o ro n ga n , n a s ih a t, m o tiva s i

d a n d o a n ya

Tu h a n Ye s u s Me m be rka ti, Ale lu ya Am in …”

  

Ca h a ya H a tiku :

Pa u lin a Re te

“Ma ’ Ka s ih a ta s ka s ih s a ya n gm u ya n g b e gitu d a la m p a d a ku ,

s e h in gga m e m b u a t h id u p in i m e n ja d i le bih be rm a kn a , ba gi

m e w u ju d ka n cita -cita in i...”

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali seperti yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya- karya ilmiah.

  Yogyakarta, 25 Juni 2010 Penulis,

  Hendrikus Kurniawan

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Hendrikus Kurniawan Nomor Mahasiswa : 044314001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

TRANSFORMASI BUDAYA : UPACARA ADAT TOTOKNG DALAM

MASYARAKAT DAYAK KANAYATN.

  

Beserta perangkat yang perlu (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan

data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau

media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya

maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 13 Juli 2010 Yang menyatakan Hendrikus Kurniawan

  

ABSTRAK

Hendrikus Kurniawan

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng

  

Dalam Masyarakat Dayak Kanayatn” , ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan

  budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan hampir punah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan awal kemunculan Upacara Adat Totokng, dinamika, makna atau simbol dan sejauh mana fungsinya bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Lebih dari itu, untuk mencari kausalitas munculnya ketegangan budaya sebagai bentuk transformasi budaya dalam masyarakat Dayak Kanayatn.

  Secara khusus, penelitian ini menggunakan sumber lisan atau metode wawancara. Selanjutnya, sebagai data-data pendukung menggunakan sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian dan majalah. Sementara dalam upaya untuk memahami masyarakat Kanayatn dan Upacara Adat Totokng menggunakan teori Emile Durkheim tentang pilar-pilar utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred (yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas. Sedangkan, untuk melihat simbol-simbol dalam Upacara Adat Totokng menggunakan metode thick description atau anthropology interpretative milik Clifford Geertz.

  Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, upacara adat totokng merupakan bentuk wujud masyarakat Dayak Kanayatn untuk mengaktualisasi diri kepada adat istiadat, leluhur dan Sang Penciptanya Jubata (Tuhan). Upacara Adat totokng melambangkan sikap “pertobatan” si pengayau”, sebagai upaya memperoleh jalan keselamatan. Selain itu, dengan melaksanakan Upacara Adat Totokng diyakini akan mendatangkan berkah, terutama di bidang pertanian serta untuk menghindari berbagai musibah. Namun demikian dalam perkembangannya, Upacara Adat

  

Totokng telah mengalami transformasi budaya yang signifikan. Setidaknya ada

  tiga hal yang menyebabkan munculnya transformasi budaya dalam Upacara Adat

  

Totokng yaitu; Perjanjian Tumbang Anoi 1894, Masuknya Ajaran Agama Katolik

dan Modernisasi Upacara Adat Totokng.

  Kata kunci: Upacara Adat Totokng, masyarakat Dayak Kanayatn dan Transformasi budaya.

  

ABSTRACT

Hendrikus Kurniawan

SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

  Researching which tittled “Culture Transformation: Upacara Adat

  

Totokng in Dayak Kanayatn Society”, emerged from concerning of Dayak

  Kanayatn’s culture which abandoned day by day and no longer existed. This research aimed to describe the appear of Upacara Adat Totokng, the dynamics, the meaning or symbol and the founction of Upacara Adat Totokng for the Dayak

  

Kanayatn society. More than that to find the causality the emerge of culture

tension as a form of culture transformation in Dayak Kanayatn society.

  This research used interview methods. The supporting data used written sources such as book, research report and magazine. Meanwhile in understanding Kanayatn society and Upacara Adat Totokng used Emile Durkheim’s theory about main pilars supporting society which combined internaly. They were the sacred, clarification, ritus and solidarity. On the other hand to figure out the symbols in Upacara Adat Totokng used thick description method or anthropology intepretative by Clifford Geertz.

  The results of the research showed that Upacara Adat Totokng was a form of Dayak Kanayatn society to actualize themselves to their ancestors, culture and God. Upacara Adat Totokng symbolized repented of “si pengayau” as a way to get safety. The process of doing Upacara Adat Totokng believed could give blessing, especially in farming and avoided many kinds of disaster. In the development, Upacara Adat Totokng had been experienced culture transformation which were significance. At least there were three things which emerged culture transformation in Upacara Adat Totokng. There were: Tumbang Anoi agreement in 1894, the enter of Catholic doctrine and the modernization of Upacara Adat Totokng .

  Key words: Upacara Adat Totokng, Dayak Kanayatn society and culture transformation.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kasih atas berkat dan bimbingan tangannya kasihNya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”.

  Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua bantuannya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Pada kesempatan ini penulis dengan penuh ketulusan hati menghaturkan limpah terima kasih kepada: 1.

  Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra.

  2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah.

  3. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M. Hum., selaku dosen pembimbing yang telah perhatian dan meluangkan waktunya dengan sabar membimbing, mengarahkan, memberi masukan, sehingga penulisan ini dapat terselesaikan.

  4. Dosen-dosen pembimbing akademik seperti bapak Prof. P.J. Soewarno, S.H. (almarhum), bapak Dr. St. Sunardi, Romo Dr. FX Baskara T.

  Wardaya SJ, Romo Dr. G. Budi Subanar SJ, bapak Dr. Anton Haryono M. Hum., Drs. H. Purwanta M. A., Ibu Dra. Lucia Juningsih M. Hum., dan bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, yang berkenan menjadi pengajar dan membimbing kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi mahasiswa di Universitas Sanata Dharma.

  5. Karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma kerja sama yang diberikan kepada penulis penyelesaian skripsi ini.

  6. Para-para Informan antara lain, Bapak Maniamas Midden (Mantan Aktivis

  Institut Dayakology ), Bapak Amuk Jolak (Kepala Adat Binua Satolo,

  Menyuke) dan Pastor Yeremias Ofm. Cap (biarawan), yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya.

  7. Bruder Bram, MTB, selaku pimpinan Kongregasi Maria Tak Bernoda (MTB) yang selalu memberikan nasihat, dorongan dan motivasi.

  8. Bapak Jhon Bamba, selaku Direktur utama Lembaga Penelitian Institut

  Dayakology (ID) yang dengan senang hati memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

  9. Kepada keluarga besarku di Darit, Jabeng, Kayuara, Mamek, Bengkayang, dan di Pontianak. Terima kasih atas tempat tumpangan selama melakukan penelitian di lapangan dan berserta nasihat-nasihatnya yang membangun. Tarima kasih manyak boh…(Terima kasih banyak ya…) 10. Bapak Lambertus Rete dan sekeluarga, terima kasih atas dorongan, motivasi dan nasihat-nasihatnya yang membangun. Terima Kasih banyak ya…Tuhan Yesus Memberkati. AMIN….

  11. Rekan-rekan seperjuangan 2004, The Best My Friend (Gusse, Darwin, Bay), Anon (Semaun), Mexez dan Maria. Rekan-rekan 05, 06, 07, 08 dan

  09. Tetap semangat dan jangan pernah menyerah, bangkitkan terus jurusan Ilmu Sejarah. “VIVA HISTORY”.

12. Sahabat-sahabatku, Anggoro, Budi, Ibet, Hanu, Tri, Theo Sigit (Dorce

  Gama Baru), Alek, Doni, Sedo, Petrus, Ucilo, Denny (Joshua), Jezz Castro, Bene, Bosse, Ade Bayor, Mukry, Boncel, Niko, kak Githa, kak Nina, Monik, Vina Rete dan masih banyak lagi yang lainnya.

  Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna karena terbatasanya data-data yang diperoleh. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati dan penuh keterbukaan, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut.

  Yogyakarta, 25 Juni 2010 Penulis,

  Hendrikus Kurniawan

DAFTAR ISI

  Halam an HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii HALAMAN MOTTO………………………………………………………….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………. …. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………....... vi ABSTRAK……………………………………………………………………… vii ABSTRACT……………………………………………………………………. vii KATA PENGANTAR………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI………………………………………………………………... … xii

  BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. …. 1

  1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1

  1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………. 8

  1.3 Tujuan Penelitian.…………………………………………………….. 8

  1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………. 9

  1.5 Tinjauan Pustaka………………………………………………………9

  1.6 Landasan Teori………………………………………………………..12

  1.7 Metode Penelitian……………………………………………………..14

  1.8 Sistematika Penulisan………………………………………………... 16

  

BAB II MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN…………………… 17

  2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn…………………………………………17

  2.2 Asal Usul…………………………………………………………… 18

  2.2.1 Penciptaan yang dilakukan oleh tiga pribadi Jubata (Tuhan). 18

  2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar………………………………………………………… 19

  2.3 Sistem Kepercayaan……………………………………………… 20

  2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia……………………… 20

  2.3.2 Pandangan Tentang Kematian……………………………… 21

  2.4 Sistem Pemerintahan……………………………………………… 23

  2.5 Sistem Perekonomian……………………………………………… 24

  2.6 Sistem Kekerabatan……………………………………………….. 25

  2.7 Adat Perkawinan..................................................................................26

  BAB III UPACARA ADAT TOTOKNG…………………………………… 28

  3.1 Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak

  Kanayatn ......…………….................................................................. 29

  3.1.1 Tradisi Mengayau …………………………………………. 29

  3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau……………………………. 30

  3.1.3 Tujuan Mengayau……………............................................... 31

  3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng……………...................................... 34

  3.2.1 Bahaump…………………………………………………… 34

  3.2.2 Ngampar Bide……………………………………………… 35

  3.2.3 Na’ap Tariu………………………………………………… 36

  3.2.4 Pasinyangan………………………………………………… 37

  3.2.5 Mare’ Topeng Makatn……………………………………… 38

  3.2.6 Ngantat Tariu Pulakng……………………………………… 39

  3.2.7 Macah Bantatn……………………………………………… 40

  3.2.8 Balamur……………………………………………………… 40

  3.2.9 Malutn Bide…………………………………………………. 41

  3.2.10 Mulangkatn Kapala Kayo…………………………………… 41

  3.3 Simbolisme Upacara Adat Totokng………………………………… 41

  BAB IV TRANSFORMASI UPACARA ADAT TOTOKNG………………. 45

   4.1 Perjanjian Tumbang Anoi 1894…………………………………. 45

  4.2 Pengkristenan Orang Dayak……………………………………… 50

  4.2.1 Masuknya Agama Katolik…………………………………. 50

  4.2.2 Enkulturasi Budaya………………………………………… 52

  4.2.3 Upacara Adat Totokng Dalam Tinjauan Ajaran Katolik….…. 55

  4.3 Modernisasi Upacara Adat Totokng………………………………… 56

  BAB V FUNSI UPACARA ADAT TOTOKNG BAGI MASYARAKAT DAYAK KANAYATN……………………………………………… 60

  5.1 Konsep Kosmis…………………………………………………… 60

  5.2 Penghormatan Kepada Roh Leluhur……………………………… 61

  5.3 Melindungi Pertanian……………………………………………… 63

  5.4 Membangun Identitas……………………………………………… 64

  5.4.1 Pelestarian Tradisi Lisan…………………………………… 64

  5.4.2 Upaya Membangun Identitas……………………………… 66

  BAB VI PENUTUP………………………………………………………… 68

  6.1 Kesimpulan……………………………………………………… 68

  6.2 Saran……………………………………………………………… 70

  

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 72

LAMPIRAN…………………………………………………………………… 75

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1 Suku Dayak identik dengan masyarakat yang mendiami pulau

  Kalimantan, sampai saat ini masih memiliki adat istiadat yang kuat. Secara kompleks, adat istiadat tersebut sangat mempengaruhi pola pikir atau pandangan hidup masyarakat suku Dayak dalam setiap kehidupannya. Dalam adat istiadat tercakup sistem nilai budaya, norma dan hukum. Singkatnya adat istiadat adalah

  2 sistem budaya.

  Sistem budaya yang tercermin dalam adat istiadat masyarakat Dayak memiliki hubungan yang sangat erat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan ungkapan ekspresi fisik-mental dalam suatu kebudayaan yang disebarkan secara

  3

  lisan dan diwariskan secara turun temurun oleh suatu masyarakat. Dengan

  1 Berdasarkan hasil kesepakatan dalam Seminar Kebudayaan Dayak yang

  bertemakan “Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi” antar etnis Dayak se-Kalimantan tahun 1992 di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, secara resmi nama atau istilah “Dayak” mengalami perubahan di mana sebelumnya,

  

Dayak, Dyak, Daya’, kemudian lebih dipertegaskan menjadi “Dayak”. Untuk

  lebih jelasnya lihat, Jhon Bamba, 2008. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku

Dayak Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat . Pontianak: Institut Dayakology,.

hlm. 9-10, Stepanus Djuweng,. Dayak, Dyak, Daya’, Dan Daya (Cermin

  

Kekaburan Sebuah Identitas) dalam Kalimantan Review No.I/Th.I, Januari-Juni,

1992, dan Edi Petebang, 2003. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah.

  Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.

  2 Paulus Yusnono, 1997. “Peranan Strategis Yang Semestinya Diperankan

  Dewan Adat” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi . Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 106.

  3 Albert Rufinus, 1997. “Tradisi Dalam Tata Upacara Adat Pada Teknologi demikian, tradisi lisan sangat erat hubungannya dengan cara pandang atau gagasan dalam menuntun dan menjiwai pedoman kehidupan masyarakat dalam lingkungan beserta kebudayaannya.

  Tradisi lisan juga hidup pada masyarakat Dayak Kanayatn. Adapun jenis- jenis tradisi lisan yang ditemukan oleh para peneliti lembaga Dayak (Institut

  

Dayakology ) meliputi dua kelompok yaitu: (1) yang bercorak cerita seperti cerita

  biasa tales, mitos, legenda, epik; dan (2) yang bukan bercorak cerita seperti ungkapan, nyanyian, puisi lisan, peraturan/ upacara adat.

  1. Bercorak Cerita

  a) Singara yaitu jenis cerita rakyat, seperti cerita tentang binatang, pelipur lara percintaan, dan cerita jenaka.

  b) Gesah yaitu cerita yang berhubungan dengan kepercayaan lama, semisalnya asal usul orang Dayak Bukit (Kanayatn).

  c) Osolant yaitu kisah atau tentang asal usul keturunan (sisilah). Osolant dan

  Gesah memiliki hubungan yang sangat erat. Sehingga, dalam menjelaskan

  tentang asal usul digunakan arti yang sama atau secara bolak-balik oleh masyarakat.

  d) Batimang yaitu cerita yang dibacakan oleh orang tua saat anaknya beranjak akan tidur.

  2. Bercorak Non Cerita

a) Renyah, merupakan sebuah nyanyian atau pantun yang dilantunkan.

  Semisalnya, berbentuk sindiran atau berupa nasihat. Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59.

b) Murat’an, biasanya berupa doa agar seseorang tidak tertimpa malapetaka.

  c) Gawe, merupakan upacara atau pesta ucapan syukur atau menandai awal suatu kehidupan baru, seperti, naik dango (pasca panen), gawe balak (awal masa remaja) dan gawe panganten (menempuh hidup baru berkeluarga).

  d)

  Liatn, merupakan upacara asli adat Dayak Kanayatn yang memiliki kekuatan magis dan sakral. Liatn biasanya berbentuk tarian, doa dan prosa berirama. Upacara adat ini biasanya dilaksanakan ketika adanya pengobatan, permohonan niat dan sebagainya.

  e) Totokng, merupakan upacara adat besar sebagai penerimaan dan

  4 pemeliharaan kepala hasil mengayau.

  Berdasarkan pengelompokkan di atas, upacara adat totokng tergolong ke dalam tradisi lisan yang bercorak non cerita. Upacara adat totokng adalah ritual yang dilakukan oleh nenek moyang suku Dayak pada zaman dahulu setelah melakukan kegiatan mengayau. Mengayau artinya mencari kepala atau memotong kepala musuh. Dalam tradisi masyarakat Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, ”mengayau” berasal dari kata “kayau” atau “kayo” yang artinya mencari. Mengayau artinya mencari kepala; “ngayau” adalah orang yang mencari kepala. Kata “ngayau”, bisa juga diartikan dengan orang yang mencari

  5

  kepala atau memotong kepala musuh. Menurut masyarakat Dayak Kanayatn, kata “mengayau” mempunyai 3 komponen makna. “Kayo” artinya mencari, “ngayo

  4 Ibid. , hlm. 98-99. Lihat juga Stepanus Djuweng dkk (ed), 2003. Tradisi

Lisan Dayak: Yang Tergusur Dan Terlupakan . Pontianak: Institut Dayakology.,

hlm. 59-66.

  5 Edi Petebang, 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah.

  Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 3. artinya adalah orang yang mengayau, dan “mengayo” adalah kata kerja yang

  6 artinya melakukan praktek kayo.

  Mengayau adalah adat atau ritual yang dilakukan secara khusus sesuai

  dengan aturan-aturan adat yang berlaku. Jadi, dalam hal ini mengayau tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Menurut adat, mengayau sesungguhnya adalah

  7

  hukuman yang teramat berat bagi pihak yang “menang”. Dalam konteks ini, bagi pihak yang menang harus membayar adat dengan melaksanakan upacara adat

  

totokng selama tujuh keturunan. Dengan melaksanakan upacara adat tersebut,

  maka pihak si pengayau diyakini akan mendapat semacam pengampunan dari

  8 kepala orang yang di kayau dan dipercaya akan terhindar dari jukat (musibah).

  Namun demikian sejarah kemunculan pengayauan dalam masyarakat Dayak sebenarnya sampai saat ini belum ada yang mengetahui dengan jelas, kapan praktek dari kegiatan itu mulai terjadi. Salah satu sumber untuk mengetahui kapan dimulainya adat mengayau ini dengan merekonstruksi tradisi lisan (cerita rakyat) orang Dayak, karena adat mengayau terdapat dalam berbagai cerita rakyat dari berbagai sub-suku Dayak. Menurut tradisi lisan Dayak, adat mengayau sudah dilakukan jaman purbakala, ketika manusia dengan Tuhannya serta semua

  9 binatang masih dapat saling berkomunikasi (berbicara).

  6 Ibid .

  7 Ibid. , hlm. 4.

  8 Hasil wawancara dengan Maniamas Midden. Tanggal 7 Maret 2009. Di dusun Saleh, Simpakng Aur, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak.

  9 Edi Petebang., op. cit., hlm. 9.

  Terkait dengan hal di atas, secara historis dalam tradisi lisan Dayak

  

Kanayatn , kegiatan adat totokng sejaman atau sama tuanya dengan adat

mengayau . Secara kronologis, kedua ritual adat tersebut memiliki kesinambungan

  dan keterkaitan. Upacara adat totokng merupakan perayaan terakhir dari kegiatan

  

mengayau . Karena setelah berhasil mendapatkan kepala dari si pengayau, maka

upacara ritual adat itu baru bisa dilaksanakan.

  Hanya saja, tradisi adat totokng ini menjadi langka setelah pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat kesepakatan damai atau yang lebih dikenal dengan “Perjanjian Tumbang Anoi”, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1894 sampai dengan 30 Maret 1894 di rumah Damang Bahtu, Lovu kampung Tumbang Anoi (Kalimantan Tengah). Perjanjian damai itu dihadiri hampir seluruh pemuka adat suku Dayak di Borneo (Kalimantan). Dalam pertemuan

  10 tersebut, seluruh para pemuka adat Dayak sepakat tidak lagi saling mengayau.

  Kesepakatan damai tersebut tidak begitu saja ditaati, bahkan tetap saja berlanjut sampai dengan tahun 1930-an. Di mana sekitar 1930-an, kegiatan

  

mengayau masih berlaku dalam masyarakat Dayak Punan (Kapuas Hulu-

  Kalimantan Barat), Dayak Iban (Sarawak-Malaysia) dan Dayak Lamandau

  11

  (Kalimantan Tengah). Namun, setidaknya melalui kesepakatan damai tersebut membuat kegiatan pengayauan antar sub-suku Dayak menjadi sedikit berkurang.

  Sehubungan dengan itu, kemunculan para missionaris Katolik dan zending Protestan juga mempengaruhi tingkat kesadaran orang-orang Dayak untuk

  10 Elias Ngiuk, 2003. “Totokng, Menghapus Dosa Mengayau” dalam Majalah Kalimantan Review (KR) ., Agustus 2003., hlm. 39.

  11 Ibid. , hlm. 4. perlahan-lahan menghilangkan kebiasaan adat mengayau. Dalam hal ini, para

  

missionaris dan zending banyak keluar-masuk ke daerah pedalaman suku Dayak

untuk memberikan khotbah tentang ajaran cinta kasih.

  Dalam perkembangannya, para missionaris dan zending di Kalimantan Barat telah berhasil mengemban misi suci untuk memajukan masyarakat Dayak.

  Untuk memajukan suku Dayak, mereka membuka sekolah-sekolah dengan

  12

  maksud memerangi apa yang mereka sebut sebagai “kebodohan”. Oleh karena itu, melalui pendidikan memberikan peradaban yang lebih maju yang kadangkala disertai dengan tindakan pelecehan atau penolakan terhadap adat istiadat, budaya

  13 dan agama adat.

  Pada tahun 1950-an di daerah Jangkang (Sanggau Kapuas), terjadi

  14

  penghapusan terhadap upacara ritual totokng, belian (dukun), dan yang lainnya karena dianggap kuno, primitif, tidak beradab (uncivilized), kotor, takhayul dan

  15

  ateis. Dengan penghapusan tersebut, secara tidak langsung memutus ikatan orang-orang Dayak dan budayanya dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih beradab (maju).

  Pada masa kini kebudayaan Dayak telah mengalami masa transformasi budaya yang sangat signifikan. Namun, perubahan-perubahan tersebut kerap membuat kebudayaan Dayak berada di persimpangan jalan. Salah satu

  12 Ricardus Giring, 2004. “Agama Adat Orang Dayak di “Titik” Degradasi”

  dalam Petronella Regina (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 19.

  13 Ibid.

  14 Belian merupakan upacara ritual adat untuk memohon kesembuhan dari berbagai macam bentuk penyakit.

  15 Ricardus Giring., op.cit., hlm. 22. penyebabnya adalah ketidakmampuan orang Dayak dalam mempertahankan dan melestarikan budayanya.

  Sebagaimana uraian di atas, budaya masyarakat Dayak Kanayatn juga mengalami hal yang sama. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan dalam budaya masyarakat Dayak Kanayatn; (1) faktor intern meliputi melemahnya struktur-struktur adat dan pemerintahan setempat; (2) faktor

  

ekstern meliputi teknologi dan informasi. Dari kedua penyebab tersebut, tentunya

  sangat mempengaruhi tradisi lisan Dayak Kanayatn. Transformasi budaya yang cenderung meninggalkan tradisi asli Dayak Kanayatn dapat dilihat dari keengganan generasi muda untuk belajar ritual upacara adat totokng. Menurut mereka upacara adat totokng identik dengan tradisi kuno atau primitif di tengah- tengah modernitas yang menggejala di Kalimantan Barat.

  Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng

  

Dalam Masayarakat Dayak Kanayatn, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan

  budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan hampir punah. Selain itu, munculnya sejumlah pandangan atau pemahaman yang terkadang kabur dalam memahami budaya Dayak. Semisalnya, mengenai adat

  

mengayau yang kerap membuat suku Dayak dicap sebagai suku yang tidak

  beradab, ateis, kotor, kanibal dan yang lainnya. Dalam rangka untuk menjawab sejumlah pandangan atau pemahaman yang bernada negatif tersebut, maka penelitian ini mencoba menguraikan bagaimana awal kemunculan upacara adat

  

totokng , makna, simbol-simbol, dinamika dan sejauhmana fungsinya bagi

masyarakat Dayak Kanayatn.

1.2 Rumusan Masalah

  Bertolak dari latarbelakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa masyarakat Dayak Kanayatn melakukan Upacara Adat totokng? 2.

  Bagaimana dinamika Upacara Adat totokng pada masyarakat Dayak

  Kanayatn ? 3.

  Sejauhmana fungsi Upacara Adat totokng bagi masyarakat Dayak

  Kanayatn ?

1.3 Tujuan Penelitian 1. Akademis

  Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan serta menganalisa latarbelakang munculnya upacara totokng dalam masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan tata cara pelaksanaan upacara adat totokng serta peranan upacara adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn.

2. Praktis

  Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa upacara adat totokng masih memiliki fungsi yang sangat signifikan. Dengan mengingat akan begitu pentingnya upacara adat ini bagi aspek kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn, maka upacara adat ini harus tetap di laksanakan secara turun temurun.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Teoretis

  Penelitian ini bermanfaat bagi penelitian-penelitian tentang kebudayaan Dayak, serta lebih khusus lagi menyangkut soal adat istiadat Dayak Kanayatn.

  Sumbangan dari tinjauan historis adalah memberikan konteks kesejarahan atas munculnya sebuah tradisi. Dalam konteks upacara adat totokng, penelitian ini memberikan penjelasan historis tentang kemunculan upacara adat totokng serta perkembangannya di kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

2. Praktis

  Dalam dimensi praksis, keterangan sejarah menyangkut upacara adat

  

totokng bermanfaat bagi masyarakat Dayak Kanayatn terlebih bagi generasi

  muda agar tidak melupakan budaya leluhur serta melestarikannya. Dengan demikian, sehingga pemahaman atas upacara adat totokng tidak hanya dimaknai sebagai ritualitas kebudayaan yang bersifat monumental. Melainkan dapat bermanfaat bagi pembentukan serta pelestarian identitas Dayak Kanayatn.

1.5 Tinjauan Pustaka

  Penelitian ini berdasarkan hasil riset di lapangan berupa wawancara dan pengamatan. Sedangkan untuk mendukung data-data yang diperoleh dari lapangan, maka diperlukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku, laporan penelitian, majalah dan artikel di internet.

  Patut diakui bahwa penelitian sejenis sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Hasil-hasil penelitian yang sudah dibukukan atau ditulis dalam jurnal hasil penelitian itu antara lain adalah “Totokng, Menghapus Dosa Mengayau” dalam Majalah Kalimantan Review (KR) terbitan Agustus 2003 yang ditulis oleh Elias Ngiuk. Majalah ini menguraikan awal kemunculan upacara adat totokng, prosesi, makna simbol-simbol dan fungsinya. Namun, majalah ini belum lengkap menguraikan apa yang mendasari orang Dayak Kanayatn untuk melaksanakan upacara adat totokng.

  Selanjutnya adalah Buku Narasi Upacara Adat Totokng yang ditulis oleh Maniamas Midden S. Buku ini menuliskan tentang prosesi upacara adat totokng secara lebih terperinci. Selain itu, buku ini juga menjelaskan awal kemunculan upacara adat totokng, makna dan simbol-simbol dari upacara adat tersebut. Namun, buku ini tidak menjelaskan munculnya transformasi budaya dalam upacara adat totokng.

  Buku yang ditulis Edi Petebang Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu,

  

Mangkok Merah. Buku ini menguraikan awal kemunculan tradisi mengayau

  dalam masyarakat Dayak dan hanya sedikit menjelaskan tentang upacara adat

  

totokng , sehingga belum mampu untuk menjawab apa yang melatarbelakangi

orang Dayak Kanayatn dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat tersebut.

  Buku selanjutnya adalah Tradisi Lisan Dayak yang Tergusur dan

  

Terlupakan ditulis oleh Stephanus Djuweng dkk. Buku ini merupakan hasil

  penelitian dari tim peneliti lembaga Institut Dayakology (ID) yang dilakukan di berbagai tempat dalam sub-sub suku Dayak di Kalimantan Barat, seperti Dayak

  

Simpakng , Bukit (Kanayatn), Pompakng dan Krio. Karena topik penelitianya

  tentang Dayak Kanayatn, maka itu, lebih difokuskan untuk memahami tradisi lisan Dayak Kanayatn. Dalam buku ini hanya sedikit menjelaskan tentang upacara adat totokng, sehingga belum mampu untuk menjawab latar belakang kemunculan, dinamika, simbol-simbol dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat Dayak Kanayatn.

  Kemudian, buku yang berjudul Mencermati Dayak Kanayatn tulisan Nico Andasputra dan Vincentius Julipin bercerita tentang awal kemunculan orang-orang Dayak Kanayatn serta tradisi-tradisi yang melingkupinya. Buku ini sangat penting dijadikan sebagai sumber penelitian untuk memahami sejauhmana proses dari budaya Dayak Kanayatn lewat ide-ide, konsep-konsep dan aktivitasnya.

  Buku Mickhail Commans yang berjudul Manusia Daya; Dahulu,

  

Sekarang dan Masa Depan menuliskan perjalanan sejarah masyarakat Dayak

  secara umum di Kalimantan Timur. Dalam hal ini, Commans, ingin memaparkan tentang realitas sosial masyarakat Dayak dan kebudayaanya. Selain itu, juga dijelaskan mengenai masalah-masalah munculnya proses transformasi dalam budaya Dayak.

  Buku yang berjudul Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi yang ditulis oleh Paulus Florus dkk. Bercerita tentang realitas sosial kehidupan dari suku Dayak pada umumnya, serta peranannya dan sejauhmana eksistensi budaya Dayak dalam proses terciptanya pembangunan Nasional.

  Berdasarkan sumber-sumber di atas, penelitian ini tidak hanya untuk mendeskripsikan tentang masyarakat Dayak kanayatn dan upacara adat totokng semata, tetapi sejarah munculnya ketegangan budaya. Penelitian ini akan mencoba mencari kausalitas munculnya ketegangan sebagai bentuk dari transformasi budaya Dayak, terutama masyarakat Dayak Kanayatn. Inilah yang membedakan penulisan ini dengan karya-karya peneliti terdahulu.

1.6 Landasan Teori

  Dalam kajian sejarah, penggunaan landasan teori dimaksudkan untuk mengidentifikasi fakta-fakta sejarah menjadi klasifikasi-klasifikasi tertentu, sehingga penyusunan narasi sejarah dapat lebih kronologis dan sistematis. Secara lebih spesifik, landasan teori atau “kerangka pemikiran” bertujuan untuk

  16 menangkap, menerangkan dan menunjukan masalah yang telah didefinisikan.

  Dengan demikian, untuk melengkapi semuanya tersebut ilmu sejarah membutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, agama, politik dan ekonomi. Dalam kajian sejarah, ilmu-ilmu sosial tersebut bermanfaat untuk memperkaya wacana penulisan sejarah. Artinya, teori-teori ilmu sosial itu memiliki daya penjelas yang lebih besar bagi sejarawan dalam memberikan keterangan historis (historical explanation).

  Penelitian ini menggunakan teori Emile Durkheim, tentang pilar-pilar utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred

  17

  (yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas. Pada dasarnya, keeempat pilar- pilar tersebut tidak dapat dipisahkan, di mana the sacred merupakan induk utama yang berperan penting untuk menciptakan kesatuan masyarakat.

  16 Dudung Abdurahman, 2007. Metodologi Penelitian Sejarah.

  Yogyakarta: Az-Ruzz Media., hlm. 61.

  17 Johanes Supriyono, 2005. “Paradigma Kultural Masyarakat Durkheim” dalam Mudji Sutrisno & Hendra Putranto (ed)., Teori-Teori Kebudayaan.