IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46PUU-VIII2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

  

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR

46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR

KAWIN

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

AMIN UDIN

  

NIM : 21113009

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2018

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Hidup adalah perjuangan, dalam sebuah perjuangan akan selalu

ada pengorbanan, setiap pengorbanan dibutuhkan keikhlasan

  

PERSEMBAHAN

 Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku

hanya untuk Allah Tuhan seluruh sekalian alam;

 Ibuku yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan

kasih sayang yang tak terbatas;

 Kepada Adikku yang selalu memberikan inspirasi dan

semangat;  Keluarga Besar di rumah Wonosobo;

 Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang

Salatiga;

 Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat

Karnoto Zarkasyi;

   Teman-teman seperjuanganku.

KATA PENGANTAR

  Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

  SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “IMPLIKASI

  

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46/PUU-VIII/2010

TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN

  ” tanpa halangan yang berarti. Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan Syafaatnya min hadza ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.

  Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1.

  Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga; 2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah; 3. Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam IAIN

  Salatiga; 4. Farkhani S.H., M.H., M.HI., Sebagai dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan; 5. Drs. Mubasirun M. Ag., selaku dosen Pembimbing Akademik 6.

  Seluruh Dosen dan Staff IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat;

  7. Kepada Ibuku dan Keluarga Besar di rumah yang selalu memberikan semangat, dukungan, doa dan kasih sayang yang tak terbatas;

  

Abstrack

Udin, Amin. 2018.

  Implikasi Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin”. Skripsi. Fakultas Syariah.

  Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.H., SHI., M.H.

  Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Anak Luar Kawin, Hak Waris.

  Kelahiran anak di luar kawin baik karena perkawinan di bawah tangan atau sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan di luar perkawinan. Berakibat pada kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum status anak tersebut sebagai anak di luar nikah. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai kedudukan hukum Anak Luar Kawin. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat menolong anak-anak yang ada di Indonesia mendapatkan kedudukan yang jelas dan mendapatkan pertanggung jawaban dari ayah bilogisnya. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata Islam, KUH Perdata dan Hukum Adat? Dan (2) Bagaimana akibat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya?

  Untuk menjawab permasalahan diatas, maka penulis menggunakan penelitian hukum dengan menggunakan penelitian yuridis normatif (hukum normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.

  Putusan

  Dari penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa

  

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang anak luar kawin, tidak

  menghapus atau merubah ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan hanya saja mengubah makna asalkan memenuhi syarat

  

(conditionaly unconstitusional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut

  dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunayi hubunga darah sebagai ayahnya. Berdasarkan putusan tersebut, hubungan perdata anak luar kawin tidak hanya timbul dari pengakuan saja tetapi dapat timbul karena hubungan darah antara anak luar kawin dengan orang tuannya. Dengan hubungan darah antara anak luar kawin dengan orangtuanya maka di situ timbullah hubungan perdata antara anak luar kawin dengan orang tuanya. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan sebagai penguat kedudukan anak luar kawin untuk memperoleh hak waris terhadap ayah bilogisnya karena hubungan darah antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya.

  

DAFTAR ISI

NOTA PEMBIMBING ....................................................................................... i

PENGESAHAN ................................................................................................... ii

PERNYATAAN KEASLAIAN .......................................................................... iii

MOTTO ............................................................................................................... iv

PERSEMBAHAN ................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

ABSTRAK ........................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................

  1 A.

Latar Belakang Masalah ........................................................................

  1 B.

Rumusan Masalah ...................................................................................

  5 C.

Tujuan Penelitian ....................................................................................

  6 D.

Kegunaan Penelitian ...............................................................................

  6 E.

Penegasan Istilah .....................................................................................

  7 F.

Tinjauan Pustaka ....................................................................................

  9 G.

  Metode Penelitian .................................................................................... 11 1.

  Jenis Penelitian dan Pendekatan.......................................................... 12 2. Sumber Data ........................................................................................ 12 3. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 13 4. Analisis data ........................................................................................ 13 H.

   Sistematika Penulisan ............................................................................. 13

  BAB II KAJIAN PUSTAKA ..............................................................................

  16 A. TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK .............................................. 16 1. Pengertian Anak Pada Umumnya ................................................... 16 2. Anak Sah ............................................................................................ 17 a.

  Anak Sah Menurut Hukum Islam ................................................. 17 b. Anak Sah Mneurut UU Pekawinan dan KHI ................................ 19 c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata .............................................. 22 d. Anak Sah Menurut Hukum Adat................................................... 24 3.

   Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin) .............................................. 25 a.

  Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam .................................... 26 b. Anak Luar Kawin Menurut Uu Perkawinan Dan KHI ................. 27 c. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata ................................. 29 d. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat ..................................... 29 B.

   TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ............................ 30 1. Pengertian Waris Pada Umumnya .................................................. 30 2. Macam-macam Hukum Waris......................................................... 32 3. Hak Waris Anak Luar Kawin .......................................................... 34 a. Menurut Hukum Perdata Islam di Indonesia .........................................

  34 b.

  Menurut Hukum Perdata ............................................................... 35 c. Menurut Hukum Adat ................................................................... 37 BAB III DATA PENELITIAN ..........................................................................

  39 A.

  Mahkamah Konstitusi ............................................................................ 39

  1. Sejarah Mahkamah Konstitusi ............................................................ 39 2.

  Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ............................................ 42 3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi ................................................... 42 B.

   Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi ......................... 43 C. Tinjauan Perkara .................................................................................... 45 D. Pokok Permohonan ................................................................................. 48 E. Pertimbangan-pertimbangan ................................................................. 49 1.

  Pertimbangan Pemerintah ................................................................... 49 2. Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ........................................... 53 3. Pertimbangan MK ............................................................................... 55 F.

   Amar Putusan .......................................................................................... 59 BAB IV ANALISIS DATA .................................................................................

  63 A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

  

VIII/2010 Terhadap Kedudukan Anak Luar Kawin dalam

perspektif Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hukum Perdata,

dan Hukum Adat .....................................................................................

  63 B. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

  

VIII/2010 Tentang Hak Keperdataan Anak Luar Kawin dalam

hal Mewarisi dengan Ayah Biologisnya ................................................

  69 BAB V PENUTUP ...............................................................................................

  72 A. Kesimpulan .............................................................................................. 72 B. Saran ........................................................................................................ 73

  DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

  75 LAMPIRAN .........................................................................................................

  78

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan dua anak manusia yang berbeda jenis kelamin sehingga menjadi suami isteri. Secara umum perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan

  keluarga yang lestari, utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin. Oleh karena itu, dengan sendirinya diperlukan kesesuaian dari kedua belah pihak yang akan menyatu menjadi satu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat, sehingga latar belakang kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan salah satu latar belakang kehidupan itu adalah agama.

  Untuk memahami hakikat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, maka perlu ditinjau rumusan perkawinan yang terdapat dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 pada undang-undang tersebut. Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan men yebutkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  Dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahu n 1974 berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu ”. Ayat (2) nya berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

  ”. Selanjutnya di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1947 mengatakan:

  “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami

  ”. Ayat (2) berbunyi :“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

  ”. Ketentuan mengenai perkawinan yang berlandaskan agama pada uraian di atas, merupakan pencerminan dari kewajiban pemerintah dalam rangka mewujudkan ketentuan dalam pasal 29 UUD yang menyatakan bahwa : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

  Sehubungan dengan hal yang di atas, maka bagi kaum muslimin di Indonesia, berlaku Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengertian perkawinan di dalam KHI terdapat pada Pasal 2 da n Pasal 3, dinyatakan bahwa: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

  

mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

  merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah ”.

  Menurut Ahmad Azhar Basyir tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriyah manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasulnya (Ahmad Azhar Basyir, 1995: 11). Namun apa yang direncanakan atau yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan ketika ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi, maka konsekwensinya tidak ada jaminan perlindungan hukum dari pemerintah misalnya kelahiran anak diluar kawin baik karena perkawinan di bawah tangan atau sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan diluar perkawinan.

  Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya secara hukum agama, tetapi tidak dicatatkan dalam kantor urusan agama atau kantor catatan sipil. Nikah di bawah tangan biasanya hanya dilakukan di hadapan tokoh masyarakat saja sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan adat istiadat saja. Pernikahan di bawah tangan adalah pernikahan yang sah secara agama akan tetapi mempunyai dampak negatif karena tidak dicatatkan di hadapan penjabat pemerintahan sehingga tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti yang autentik. Karena hubungan pernikahan yang tidak jelas di mata hukum, maka kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum status anak tersebut sebagai anak di luar nikah. Pada pasal 43 UU No 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya”. Maka hak-hak selayaknya anak-anak yang dari perkawinan yang sah secara norma agama dan norma hukum tidak ia dapatkan. Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriyah lainnya.

  Padahal dalam pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Konvensi Hak Anak juga menghendaki bahwa setiap anak harus dihormati dan dijamin hak-haknya tanpa diskriminatif dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, bangsa, etnik, kekayaan, kelahiran atau kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengasuh yang sah maka hak-hak anak luar kawin juga dijamin tanpa diskriminasi. Dalam Undang- Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (2) menyatakan, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita- cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

  Pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status hukum Anak Luar Kawin. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayahny a”.

  Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat menolong anak-anak yang ada di Indonesia mendapatkan status yang jelas dan mendapatkan pertanggung jawaban dari ayah bilogisnya.

  Akan tetapi, Putusan Mahkamah Konstitusi di atas belum sepenuhnya memberikan kejelasan mengenai kedudukan dan hak keperdataan anak luar kawin secara utuh terutama dalam hal kewarisan. Maka dari itu penulis tertarik menyusun skripsi yang berjudul

  : “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN”.

B. Rumusan Masalah

  Untuk mempermudah pembahasan dan lebih memfokuskan kajian dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hukum Perdata Islam di

  Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?

2. Bagaimana Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-

  VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

  1. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin dalam hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.

  2. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin dalam hal mewarisi terhadap ayah bilogisnya sebagai implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VII/2010.

  D. Kegunaan Penelitian

  Dalam suatu penelitian, terdapat suatu kegunaan penelitian. Selain berguna bagi penulis, diharapkan juga dapat berguna bagi semua pihak dan tentunya mempunyai kegunaan yang dianggap positif. Kegunaan penelitian dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis.

  Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1.

   Secara teoritis a.

  Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengenmbangan studi Islam khususnya dalam bidang studi Ahwal-Al-syakhsiyyah; b.

  Menghasilkan suatu penjelasan mengenai kedudukan anak luar kawin dan hak keperdataan anak luar kawin terutama dalam bidang hak waris pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pencerahan pada masyartakat yang berkenaan dengan hukum keluarga.

2. Secara praktis

  Mengembangkan pola pikir, penalaran dan pengetahuan bagi penulis dalam a. menyusun suatu penulisan hukum; b.

  Sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Salatiga.

E. Penegasan Istilah

  Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda dengan maksud utama penulis dalam pengunaan kata pada judul, maka perlu penjelasan beberapa kata pokokyang menjadi inti penelitian.

  Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut: 1. Implikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti keterlibatan, keadaan terlibat, dampak atau akibat langsung.

2. Waris adalah adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan

  fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-

  kata itu berasal dari waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.

  3. Anak : a.

  Anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; b.

  KUH Perdata Tahun 1847 pasal 330 ayat (1) ʻʻseseorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali orang tersebut sudah menikah sebelum umur 21 tahun

  ”; c. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23

  Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1) ʻʻanak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  4. Anak Luar kawin dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak luar kawin dalam pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 memiliki 2 pengertian, pengertian pertama adalah anak hasil dari nikah siri atau nikah bawah tangan dan pengertian kedua anak karena kehamilan di luar perkawinan. (M Nurul Irfan, 2015:149) 5.

  Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana di maksud pada Undang-Undang Dasar. Mahkamah

  Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a.

  Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

  Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik, dan; d.

  Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

F. Tinjauan Pustaka

  Sesungguhnya penelitian dan pembahasan tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin, sudah pernah diangkat menjadi karya tulis ilmiah baik dalam bentuk buku, skripsi maupun karya tulis yang lainnya. Penulis menemukan beberapa tema yang sama yaitu: 1)

  Skripsi Abdul Latief yang berjudul Status Anak Yang Lahir Diluar Nikah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) yang isinya membahas anak yang dilahirkan di luar pernikahan tidak dapat diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena perzinahan sama sekali tidak tersentuh pernikahan. Karena bukan anak yang dilahirkan dari perzinahan maka mempunyai hubungan perdata dengan ayah bilogisnya, tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sesuai realitas yang ada. Artinya setiap anak yang dilahirkan harus memperoleh hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (bapak-ibunya).

  2) Skripsi Ahmad Fariz Ihsanuddin yang berjudul Anak Luar Nikah Dalam

  Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Analisis Putusan MK Tentang Status Anak Luar Nikah) yang isinya adalah status anak luar nikah menurut fiqih dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikah wanita hamil. Mazhab Syaf i’i menyatakan sah-sah saja dilakukan pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh untuk berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan. Mazhab Hanafi menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim sampai dengan melahirkan dan melewati masa nifas. Sedangkan Hambali dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan.

  Terkait dengan kedudukan anak luar kawin perspektif fiqih anak luar nikah tidak dianggap sebagai anak sahkarena itu berakibat hukum : tidak adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah.

  3) Skripsi Khairul Anam yang berjudul Status Anak Dalam Putusan

  Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Perpektif Hukum Islam yang isinya membahas anak yang terbukti terlahir sebagai akibat dari pernikahan sirri yang sah secara

  syar’i, maka hubungan perdata dapat

  dimaknai secara umum, sehingga anak bisa dinasabkan pada ayahnya, bisa saling mewarisi, berlaku pula ketentuan wali nikah serta kewajiban pemberi nafkah. Untuk anak yang terlahir sebagai akibat perzinahan, maka “hubungan perdata” harus dimaknai secara khusus yakni terbatas pada adanya kewajiban perdata untuk memberikan nafkah atau memenuhi segala kebutuhan hidup anak tersebut sampai dewasa dan bisa berdiri sendiri serta tidak bisa terjadi hubungan nashab dan saling mewarisi.

  Secara umum, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya ialah, penelitian ini berpijak pada Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Kitap Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat. Sehingga pembahasannya lebih lengkap mengenai kedudukan anak luar kawin dalam hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. Dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.

G. Metode Penelitian

  Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode penelitian yang diantaranya adalah:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan a. Jenis penelitian

  Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.( Seorjono Seokanto, 1986: 32) Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas permasalahan yang diangkat.

b. Pendekatan

  Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (hukum normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. (Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 1994: 24). Metode ini digunakan untuk memperoleh data ilmiah dan informasi yang berkaitan dengan skripsi ini, baik yang berupa literature-literature seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan serta sumber-sumber informasi lainnya yang berbentuk tertulis.

  2. Sumber Data

  Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk data sekunder dapat diperoleh dari bahan-bahan pustaka (penelitian kepustakaan). Dimana data yang diperlukan dapat diperoleh dan bersumber dari: (Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 1994: 12) a.

  Bahan hukum primer, yang terdiri dari: i. Putusan Mahkamah Konstitusi b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang mendukung atau menunjang skripsi ini yang berupa buku-buku, artikel, jurnal dan bahan kepustakaan lainnya.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Untuk memperoleh data dilakukan dengan studi dokumen atau bahan pustaka. (Seorjono Seokanto, 1986: 66)

  4. Analisis Data

  Penulis menggunakan metode deskriptif analisi dalam menganalisis data. Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas permasalahan yang diangkat. (Seorjono Seokanto, 1986:69)

H. Sistematika Penulisa

  Untuk memberika pemahaman dalam memahami penelitian ini, penyusun membuat sistematika penelitian yang terbagi menjadi lima bab, dan setiap bab terbagi menjadi sub bab, yaitu sebagaimana berikut:

  Bab I, Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunanaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metodelogi penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data pengecekan keabsahan ) dan sistematika penulisan.

  Bab II, dipaparkan tinjauan umum tentang anak meliputi pengertian anak, hak anak, status dan kedudukan anak serta tinjauan umum tentang hukum waris dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata.

  Bab III, adalah Deskripsi Yurispudensi. Dalam bab ini membahas tentang Mahkamah Konstitusi, tinjauan perkara, pertimbangan-pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

  Bab IV, Analisis Data. Dalam bab ini akan membahas tentang analisis kedudukan anak luar kawin dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.

  Bab V, kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan akhir yang diperoleh penyusun setelah mengkaji, mencermati, dan memahami dari hasil penelitian serta beberapa rekomendasi/saran untuk penelitian selanjutnya.

BAB II Kajian Pustaka A. Tinjauan Umum Tentang Anak 1. Pengertian Anak pada umumnya Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan

  hukum yang berbeda. Ini dapat dimengerti, karena pluralitas bangsa, utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan, akibatnya ketentuan hukum yang berlaku pun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata yang termuat dalam KUH Perdata atau BW (Burgelijk Wetbook), dan Hukum Adat, sebagai hukum tidak tertulis.

  Masing-masing hukum tersebut, dalam hal asal-usul anak memiliki persamaan dan perbedaan terutama dalam segi hak, etika dan moral. (Ahmad Rofiq, 2017: 177)

  Terlepas dari asal-usulnya, setiap anak dilahirkan memiliki hak yang melekat secara otomatis dalam dirinya, dimana dalam hubungan orangtua- anak, hak-hak anak tersebut merupakan kewajiban bagi orang tuanya. Hak- hak anak tersebut antara lain menurut I Nyoman Sujana: a.

  Hak atas kelangsungan hidup (Survival Rights) b. Hak untuk tumbuh berkembang (Development Rights) c. Hak atas perlindungan (Protection Rights) d.

  Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights). (I Nyoman Sujana, 2015: 50) Dari uraian di atas mengenai anak, dapat dikatakan bahwa pengertian anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan perempuan, tetapi untuk lebih jelasnya maka perlu dikaji mengenai anak sah maupun anak tidak sah atau anak luar kawin.

2. Anak Sah a.

  Anak Sah menurut Hukum Islam Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang diyakini dalam fiqih, p ara ulama’ sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai nasab kepada ibu dan saudara ibunya. (Ahmad Rofiq, 2017: 177).

  Dalam rangka menjaga nasab atau keturunan agama Islam mensyariatkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga dan memelihara nasab. Kata nasab sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu yang artinya keturunan. Nasab yang sudah

  ابسن – – بسني بسن menjadi bahasa Indonesia dalam KBBI diartikan sebagai keturunan atau pertalian keluarga.

  Secara terminologi nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah baik ke atas, ke bawah, maupun kesamping, yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan secara syubhat. (M Nurul Irfan, 2015: 26).

  Menurut Abdul Manan dalam pandangan hukum Islam ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu (1) kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar; (2) tenggang waktu kelahiran dan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqaha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan; (3) anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang waktu kehamilan; (4) suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. (Abdul Manan, 2006: 79).

  Memelihara dan menjaga kemurnian nasab dalam ajaran agama Islam sangat penting sebab hukum Islam akan selalu terkait dengan struktur keluarga, baik hukum yag berkaitan dengan perkawinan maupun yang berkaitan dengan kewarisan. Kalau dalam hukum perkawinan, nasab merupakan penyebab adanya hukum keharaman untuk saling menikah, sementara dalam hukum kewarisan nasab merupakan salah satu penyebab seseorang mendapatkan hak waris terhadap harta warisan. (M Nurul Irfan, 2015: 15).

  Jadi, jelas sekali anak yang sah menurut hukum Islam adalah anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah.

  Sepanjang bayi itu lahir dari ibu yang berada dalam perkawinan yang sah, ia disebut sebagai anak sah. ( Ahmad Rofiq, 2017: 181).

  b.

  Anak Sah Menurut UU Perkawinan dan KHI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang asal- usul anak sah dalam pasal 42, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Jadi, selama bayi yang di kandung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. (Ahmad Rofiq, 2015: 178).

  Berkenaan dengan hal tersebut di atas, mengenai sah atau tidaknya anak harus ada bukti yang jelas. Pembuktian asal usul anak yang dapat dibuktikan bahwa anak itu sah, terdapat dalam pasal 55 UU No 1 tahun 1974 yang menyatakan:

  1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;

  2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat;

  3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluaran akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

  Dalam pasal 55 UU No 1 tahun 1974 di atas, tampak bahwa satu-satunya yang dapat membuktikan keabsahan seorang anak hanyalah akte kelahiran. Mengenai penetapan yang dilakukan oleh Pengadilan sebagaimana pasal 55 ayat (2) di atas, hanyalah suatu cara untuk mendapatkan akte kelahiran.

  Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dijelaskan tentang kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal tersebut yang berbunyi anak yang sah adalah:

  1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

  2) Hasil pembuahan suami-isteri yang sah di luar rahim dan di lahirkan oleh isteri tersebut.

  Dalam KHI juga menentukan bahwa akta kelahiran merupakan bukti sah atau tidaknya anak, sebagaimana pasal 103 KHI yaitu:

  1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya;

  2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah;

  3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatatan Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yag bersangkutan.

  Dalam UU Perkawinan dan KHI menjelaskan bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah, baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran bayi, maka status anaknya sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikatnya” hasil dari perzinaan, secara formal dianggap anak sah. (Ahmad Rofiq, 2017, 181). Karena secara formal yang dapat membuktikan sah atau tidaknya anak sama yaitu akta kelahiran.

  c.

  Anak Sah Menurut Hukum Perdata Dalam KUH Perdata atau BW (Burgerlijk Wetbook) yang membahas tentang anak sah ada dalam pasal 250 yaitu, “Tiap-tiap anak yang di lahirkan atau tumbuh sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”

  Ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan atau anak yang ditumbuhkan dalam suatu perkawinan dan mendapatkan si suami sebagai bapaknya, dan pengertian sebaliknya dari rumusan pasal di atas dapat di kategorikan sebagai anak yang tidak sah. Dua kategori keabsahan anak dalam ketentuan Pasal 250 BW dapat diuraikan menjadi : a. anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, dan b. anak yang ditumbuhkan sepanjang perkawinan. ( I Nyoman Sujana, 2015: 63)

  Dalam Hukum Perdata (BW) juga menetukan bahwa sah atau tidaknya harus dibuktikan dengan jelas. Pembuktian anak sah atau tidak ada pada pasal 261-262 yang menyatakan :

  Pasal 261, keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan dalam register catatan sipil;

  Dalam hal tak adanya akta-akta yang demikian, maka, jika anak itu terus menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak- anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup;

  Pasal 262, penikmatan akan kedudukan itu dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang mana, baik dalam keseluruhannya, maupun masing-masing, memperhatikan suatu pertalian karena kelahiran, dan karena perkawinan, antara seorang tertentu dan keturunan harus dibuktikan. Antara lain peristiwa-peristiwa yang terpenting ialah:

  1) Bahwa orang itu selalu memakai nama bapak, yang mana katanya telah menurunkan dia;

  2) Bahwa bapaknya itu selalu memperlakukan dia sebagai anaknya dan sebagai anaknya pun telah mengatur pendidikan, pemeliharan dan penghidupannya;

  3) Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak di bapak;

4) Bahwa anak-saudarnya mengakui dia sebagai anak si bapak.

  Dalam pasal 261-261 BW jelas bahwa kelahiran dapat di buktikan dengan akta kelahiran, apabila tidak ada akta kelahiran, maka apabila sudah menikmati suatu kedudukan adalah bukti yang cukup, kedudukan dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang penting. Peritiwa yang penting ada pada pasal 262 KUH Perdata.

  d.

  Anak Sah menurut Hukum Adat Tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Apabila di dalam suatu perkawinan telah ada keturunan (anak) maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan.

  Anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan, oleh masyarakat disebut sebagai anak kandung. (Soerjono Soekanto & Soleman b.

  Taneko, 1986: 276) Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak kandung. Maka anaknya adalah anak kandung yang sah.

  Untuk menghilangkan atau menutup malu akibat terjadinya wanita hamil sebelum kawin, dibeberapa daerah orang mengusahakan supaya dilaksanakan “kawin paksa” dengan pria yang membuahinya, atau melakukan “kawin paksa” (nikah tambelan, Jawa; patongkok siriq, Bugis) dengan pria yang membuahinya atau pria lain yang mau disuruh mengawininya, sehingga anak yang lahir mempunyai ayah

  (kappang tubas, Lampung) dan dapat menjadi waris dari orang tuanya yang sah. Dikalangan orang Jawa adakalanya jika tidak ada pria yang mau mengawini wanita yang telah hamil itu, terpaksa diantara pamong desa yang harus mengawininya. (Hilman Hadikusuma, 1977: 146)

  Selanjutnya anak kandung memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap somah (gezin) dalam suatu masyarakat adat.

  Anak tersebut dilihat sebagai generasi penerus, juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya di kelak kemudian hari wajib di tumpahkan dan dipandang sebagai pelindung orang tuanya ketika orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah. (Bushar Muhammad, 1995: 5) 3.

   Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin)

  Anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki dua pengertian, anak yang lahir sebagai akibat dari nikah siri atau nikah bawah

  pertama,

  tangan; kedua, anak yang lahir sebagai akibat dari perzinahan, perselingkuhan samen leven (kumpul kebo) dan jenis-jenis kontak seksual dalam bentuk hubungan khusus yang lain. (M Nurul Arifin, 2015: 150). a.

  Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelaku tersebut gadis, bersuami atau janda, jejaka beristeri atau duda. Ada dua macam istilah bagi pezina, yaitu (1) zina muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah; (2) zina ghairu muhson adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau masih perawan. (Abdul Manan, 2006: 83).

Dokumen yang terkait

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

0 1 26

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

0 0 14

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

0 0 16

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 102

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBIAYAAN GRIYA BANK SYARIAH MANDIRI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 119

ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 91

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA (Studi Analisis Putusan No.1465Pdt.G2014PA.Bi) SKRIPSI Diajukan untuk Memenui Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 82

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MAGELANG NOMOR PERKARA 0054Pdt.G2015PA.Mgl TENTANG PERMOHONAN NOVASI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 2 179

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN DI RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 1 88

Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep dan Kegiatan “Komunitas Rumah Jodoh” dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah di Salatiga SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 189