Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam
Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam
Oleh: Zainal Arifin
ABSTRAK
Konsep hukum Islam tentang arbitrase bukanlah konsep yang sudah jadi dalam bentuk aturan hukum, tetapi masih bersifat ideologi yang dapat dikembangkan menjadi dasar keabsahan arbitrase. Hal itu karena arbitrase tidak pernah dibicarakan dalam fikih-fikih Islam, selain konsep hakam dalam masalah keluarga. Sedangkan praktik tahkim sudah pernah dilakukan oleh para sahabat Rasul, jadi masalah-masalah yang diselesaikan oleh lembaga arbitrase/tahkim tidaklah bertentangan dengan hukum Islam, karena hukum Islam sendiri mengakui keabsahan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa.
Ditinjau dari segi hukum Islam, keberadaan lembaga arbitrase, baik yang berskala nasional maupun internasional, bisa diakui. Oleh karena arbitrase itu sendiri mempunyai dasar yang kuat dalam hukum Islam. Hanya saja, dalam pembentukan lembaga arbitrase itu, tidak boleh ada unsur-unsur yang terlarang oleh agama dan putusan-putusannya juga tidak bertentangan dengan hukum
agama.
Jika suatu perkara sudah terkait dengan lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya, maka menurut hukum Islam dan hukum positif lembaga peradilan resmi tidak berwenang lagi untuk mengadilinya, kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak.
Kata Kunci: Arbitrase, Perspektif dan Islam.
64 | HIMMAH Vol. VII No. 18 Januari -April 2006
A. Pendahuluan
Pada umumnya perkara per- data atau pidana diselesaikan me- lalui jalur hukum (pengadilan) danjalur kekeluargaan (perdamai- an). Sekiranya suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur keke- luargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya dipilih. Tapi bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan segala konsekuensinya.
Penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluar- gaan ini, khususnya dalam perkara perdata, dibenarkan menurut hukum Islam dan hukum Positif. Maka dalam hal ini tidakmasalah.
Selain penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut ada jalur penyelesaian perkara lain yang disebut dengan arbitrase. Jalur arbitrase ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa- sengketa perdata nasional ddan internasional.
Arbitrase merupakan prosedur penyelesaian sengketa diluar pera- dilan atas kesepakatan antara pihak yang bersangkutan oleh seorang wasit atau lebih (Subekti, 1992:181).
Ada beberapa ciri yang harus dipenuhi untuk dapat menyele- saikan perkara melalui jalur arbitrase:
Ciri yang pertama, yakni
bahwa badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyele- saian sengketa;
Kedua, sengketa tersebut di- selesaikan oleh pihak ketiga dan pihak-pihak netral atau arbitrator yang secara khusus ditinjuk;
Ketiga, bahwa para arbitrator mempunyai wewenang yang diberikan oleh para pihak;
Keempat, para arbitrator di- harapkan memutuskan sengketa menurut hukum;
Kelima, arbitrase merupakan sistem pengadilan perdata, artinya bahwa para pihaklah, dan bukan negara, yang mengawasi kewe- nangan dan kewajiban para pihak;
Keenam, keputusan yang dikeluarkan oleh badan ini bersifat final dan mengakhiri perseng- ketaan para pihak;
Ketujuh, keputusan para arbi- trator mengikat para pihak ber- dasarkan persetujuan diantara mereka untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase bahwa mereka akan menerima dengan sukarela memberi kekuat- an kepada keputusan arbitrase tersebut;
Kedelapan, bahwa pada pokoknya proses berperkara melalui badan arbitrase dan putusannya terlepas dan bebas dari campurtangan negara (Huala Zainat Arifm j Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam | 65 Adolf,1991:11-12).
Keuntungan penyelesaian sengketa perdata melalui jalur arbitrase diantaranya adalah:
1. Terhindar dari publisitas, maksudnya melalui arbitrase suatu perkara yang disele- saikan tanpa publisitas aatau pemberitaan oleh media massa, sebagaimana sering ditemui pada Pengadilan.
Banyak orang takut berpekara di Pengadilan justru untuk menghindari pemberitaan tersebut.
2. Tidak banyak formalitas, maksudnya penyelesaian lewat jalur arbitrase lebih sederhana, tidak perlu proseduryang bertele-tele.
cepat dalam menyelesaikan suatun perkara. Hal ini karena para pihak yang berperkara cenderung untuk mentaati dan menganggap putusan dari lembaga ini sebagai putusan final (Sudargo Gautama, 1979: 3-4). Meski begitu, ada j u g a beberapa kelemahan penyelesaian perkara melalui arbitrase, yaitu:
1. Untuk mempertemukan ke- hendak para pihak yang berperkara untuk membawa- nya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak harus sepakat dan untuk mencapai kesepekatan ini kadang- kadang memang sulit.
2. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi soal yang sulit.
3. Dalam arbitrase tidak dikenal
adanya keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase
sebelumnya.
4. Arbitrase tidak mampu mem- berikan Jawaban yang defmitif terhadap semua sengketa hukum.
5. Keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator m e n g e l u a r k a n putusan yang memuaskan keinginan para pihak. (Huala Adolf,1991:17). Beranjak dari keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa penyelesaian perkara diluar persidangan, dalam hal ini melalui arbitrase, memang memiliki ber- bagai kelebihan disamping ter- dapat beberapa kelemahan. Mengingat semakin banyaknya bermunculan perkara, khususnya dibidang perdata, baik nasional maupun internasional, maka kelihatannya peranan arbitrase semakin diperlukan. Pada sisi lain kemampuan lembaga pengadilan untuk menangani semua perkara d e n g a n cepat, m u d a h dan memuaskan berbagai pihak, masih
3. Arbitrase lebih mudah dan
66 | H1MMAH Vol. VII No. 18 Januari -April 2006
kungan kehidupan hubungan
Karena telah mempunyai dasar hukum yang kuat dan diakui dalam sistem hukum nasional. maka di indonesia sekarang ini, meskipun belum dikenal secara luas oleh masyarakat, telah berdiri dua buah badan arbitrase nasional, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
diberlakukan peraturan perun- dang-undangan tersendiri yang mengatur tentang arbitrase ini, yaitu UU. No.30 Tahun 1999.
Bahkan sekarang sekarang sudah
Berdasarkan keterangan ini, maka lembaga arbitrase telah mempunyai dasar hukumyang tetap dalam hukum nasional.
Dispute (ICSID) dengan undang-undang Nomor 5 tahun 1968. Dengan demikian, konvensi- konvensi internasional tersebut merupakan sumber hukum yang merupakan salah satu kontribusi bagi hukum nasional. (Yahya Harahap, 1990:112).
antar negara di bidang arbi- trase. Untuk mengisi kekos- ongan arbitrase asing ini, pemerintah rermotivast untuk mengaturnya yang dapat di- lihat dari konvensi-konvensi internasional dimana Indone- sia telah meratifikasinya seper- ti Internasional Center for the Settelment of Investment
Ketentuan arbitrase yang di- atur dalam Rv sama sekali tidak menyinggung tentang arbitrase asing. Seolah-olah peraturan ini memencilkan bangsa Indonesia dari ling-
dipertanyakan.
3. Landasan Arbitrase Asing.
adalah Buku Ketiga Reglemen Hukum Acara Perdata atau Rv, dimulai dari pasal 615 samapai dengan pasal 651 Rv. (Yahya Harahap, 1991:21).
Landasan umum arbitrase
2. Landasan Urnum Arbitrase.
Landasan titik tolak arbitrase adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg yang berbunyi : 'iJika orang Indonesia atau orang Timur Asing meng- hendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa".
1. LandasanTitikTolakArbitrase.
Keberadaan lembaga arbitrase ini telah mempunyai dasar hukum yang tetap dalam sistem hukum nasional Indonesia. M. Yahya Harahap menyebutkan ada tiga dasar hukum lembaga ini, yaitu:
Sejak tahun 1977 Kamar
68 | H1MMAH Vol. VII No. 18 Januari -April 2006
itu sudah memenuhi syarat-syarat 1 di sebutkan : " Arbitrase adalah yang ditentukan oleh fikih Islam ? cara penyelesaian suatu sengketa Kalau suatu perkara sudah dipu- di luar peradilan umum yang tuskan oleh badan arbitrase, didasarkan pada perjanjian arbit- bisakah perkara itu kemudian rase yang dibuat secara tertulis dibawa ke Pengadilan Negeri dan oleh para pihakyang bersengketa". bagaimana konsep Islam terhadap (UU. No.30.1999 : Pasal 1 ayat 1). haltersebut? Sampai saat ini masih belum
Untuk menjawab persoalan- terdapat batasan pengertian persoalan tersebut, maka tulisan arbitrase yang dapat dijadikan ini mencoba untuk mengali patokan. Oleh karena untuk perspektif hukum Islam tentang membuat definisi arbitrase, arbitrase. sebagaimana dinyatakan oleh
Huala Adolf, memang tidaklah B. Konsep Arbitrase dalam mudah. (Huala Adolf, 1991:9).
Hukum Positif. Pengertian arbitrase itu sendiri
1. Pengertian Arbitrase. jika menurut pengertian Indonesia
Kata "arbitrase" berasal dari berarti perwasitan, arbitrase bahasa Inggris " arbitration", yang (Belanda), arbitration (Inggris),
menurut Henry Campbell Black Arbitrage (Francis), dan dari
berarti: bahasa Latin "orbit-rare" yang
"The reference of a dispute to artinya adalah suatu penyelesaian impartial (third) person chosen by atau pemutusan sengketa oleh the parties to the dispute who seseorang atau para hakim ber- agree in advance to abide by the dasarkan persetujuan bahwa arbitrator's award issued after a mereka akan tunduk dan mentaati hearing at which both parties have keputusan yang diberikan oleh an apportunity to be heard". (Hery hakim atau para hakim yang
CampbellBlack,1979:96). mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Menurut Stanford, Arbitration (Badrul zaman, 1994:58). berarti : 'An alternative dispute Pengertian arbitrase menurut resolution system that is agreed to para ahli secara prinsipil tidaklah by all parties to a disputes in a j a u h berbeda. Seperti yang speedy fashion". (Stanford, 1994: dikemukakan oleh R. Subekti senada dengan pendapat Sudikno 11). Pengertian arbitrase menurut Merokusumo yang mengartikan arbitrase atau perwasitan sebagai
UU. No. 30 Tahun 1999 pada pasal
Zainal Arifin | Arbitrase Dalam Perspektif Hukurn Islam | 69
Undang Nomor 14 tahun 1970
Piasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Per- data menyatakan : "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- Undang bagi mereka yang membuatnya". (KUHPdt. Pasal 1338 ayat 1 ). Oleh karena itu, dalam dunia usaha atau bisnis, para pihak dalam membuat perjanjian tidak hanya menen- tukan hak dan kewajiban bag! masing-masing pihak, tetapi juga menentukan bagaimana cara penyelesaian jika timbul
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Tahun 1970 sebagai Undang- Undang Pokok Kehakiman membuka kemungkinan pen- yelesaian sengketa melalui badan Arbitrase.
Penjelasan pasal 3 kalimat terakhir itulah yang menjadi landasan hukum kebolehan perjanjian arbitrase. Berarti Undang-undang Nomor 14
disebutkan : "Penyelesaian perkara diluar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) terap diper- bolehkan".
mengakui keabsahan arbit- rase, dimana pada bagian akhir
Secara tidak langsung pasal 3 bagian penjelasan Undang-
suatu prosedur penyelesaian sengketa diluar peradilan atas kesepakatan para pihak bersang- kutan oleh seorang wasit atau lebih. (Subekti, 1992:181).
1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Yang menjadi dasar hukum arbitrase menurut hukum positif adalah:
resmi dibentuk pemerintah) yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan kepada- nya, oleh pihak-pihak yang bersengketa.
lembaga peradilan swasta (bukan
Dari beberapa pengertian yaog dikemukakan dalam uraian sebe- lumnya, dapat disimpulkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang tidak melalui badan peradilan resmi, tetapi dengan cara menunjuk hakim partikuler untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak. Artinya bahwa arbitrase (tahkim) adalah suatu
(Sudargo Gautama, 1979:5 ).
Sudargo Gautama berpen- dapat bahwa arbitrase adalah cara- cara penyelesaian hakim parti- kuler yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan dan mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati oleh para pihak.
2. Dasar Hukum Arbitrage.
70 | HIMMAH Vol. VII No. 18 Januari -April 2006 sengketa dikemudian hari. sebagaiberikut: Mengenai cara penyelesaian Bagian I (615-623) :
sengketa yang mungkin tim- Persetujuan Arbitrase dan
bul, para pihak dapat, mem- Pengangkatan arbiter. buat klausula perjanjian yangBagian II (624-630) :
didalamnya mencantumkan Pemeriksaan dimuka Badan
bahwa apabila timbul suatu Arbitrase. sengketa maka penyelesaian-Bagian III (631-640) : nya dilakukan secara musya- Putusan Arbitrase.
warah atau melalui badan
Bagian IV (641-647) : Upaya Arbitrase. - upaya terhadap putusan 3. Pasal 377 HIR atau pasal 705 Arbitrase. RBg. Bagian V (648-651) : Pasal 377 HIR atau 705 RBg ini Berakhirnya Acara-acara
berbunyi : ^ika orang Indone- Arbitrase. (Yahya Harahap.
sia dan orang Timur asing 1991 : 21). menghendaki perselisihan 5. Undang-Undang Nomor 30 mereka diputuskan oleh juru Tahun1999. pemisah, maka mereka wajib Undang-undang ini adalah undang-undang khusus ten- menuruti peraturan penga- dilan perkara yang berlaku tang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yang bagi bangsa Eropa". (YahyaHarahap,1991:21). disahkan di Jakarta pada
Pasal ini menegaskan keboleh- tanggal 12 Agustus 1999 oleh
an pihak-pihak yang berseng- Presiden B.J. Habibie. Undang- undang ini secara lengkap keta menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase. Arbitrase mengatur tentang Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luarjalur peradilan u n t u k menyelesaikannya resmi. dalam bentuk keputusan.
Secara umum, kerangka isi UU.
4. Pasal 615-651 Rv.
Buku Ketiga Reglemen Hukum Ini adalah: Acara Perdata atau Rv dengan
Bab I : Ketentuan Umum, terdiri dari 5 pasal.
judul "Aneka Acara" dari pasal
Bab I I : Alternatif Penyelesaian 615-651 Rv merupakan salah Sengketa, hanya 1 Pasal. satu dasar hukum Arbitrase,
Bab III : Syarat Arbitrase, dengan liputan pengaturan ZainalArifin ] Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam ] 71
Pengangkatan Arbiter dan Hak atau perjanjian Arbitrase yang Ingkar, terdiri dari 20 Pasal. berlaku;
Bab IV : Acara yang berlaku di
c. Perjanjian atau masalah yang Hadapan Majlis Arbitrase, menjadi sengketa; terdirir dari 25 Pasal.
d. Dasar tuntutan atau jumlah
Bab V : Pendapat dan Putusan yang dituntut, apabila ada; Arbitrase, terdiri dari 7 Pasal.
e. Cara penyelesaian yang
Bab VI : Pelaksanaan Putusan dikehendaki ; (Muhammad Arbitrase, terdiri dari 11 Pasal. Irianto,1999:8). Bab VII: Pembatalan Putusan Dari keterangan tersebutjelas- Arbitrase, terdiri dari 3 Pasal. lah bahwa unsur-unsur Arbitrase Bab VIII : Berakhirnya Tugas itu adalah : adanya pihak; adanya Arbiter, 3 Pasal. perjanjian Arbitrase; adanya objek Bab IX : Biaya Arbitrase, 2 yang menjadi sengketa dan adanya Pasal, kesepakatan untuik menyele- saikan sengketa melalui badan
Bab X : Ketentuan Peralihan, 2 Pasal. Arbitrase. Bab XI : Ketentuan Penutup, 2 Pasal.
4. Peranan Arbitrase dalam Jadi Undang-undang ini Penyelesaian Sengketa.
mengandung 11 Bab dan 82 P e r a n a n A r b i t e r d a l a m penyelesaian sengketa adalah Pasal. sama dengan peranan hakim pada
3. Unsw-unsur Arbitrase. pengadilan negeri, yaitu meme-
riksa, mengadili dan memutuskan
Unsur-unsur yang menjadi
syarat sahnya Arbitrase diatur perkara/sengketa yang diajukan
kepadanya.secara umum pada bab III pasal 7-
11 Undang-undang Nomor 30 Dalam proses pemeriksaan,
tahun 1999. Secara khusus syarat- arbiter berwewenang meminta
syarat Arbitrase itu diatur pada paara pihak untuk menghadirkan
pasal 8 ayat (2) yang berbunyi: bukti-bukti atau saksi, seperti yang Surat pemberitahuan untuk diatur pada pasal 49 ayat (1) UU. No 30 tahun 1999 yang berbunyi: mengadakan Arbitrase sebagai- "Atas perintah arbiter atau majelis mana dimaksud dalam ayat (1)
arbitrase atau atas permintaan
memuatdenganjelas:
para pihak, dapat dipanggil
a. Nama dan alamat para pihak; seorang saksi atau atau lebih atau b. Penunjukan kepada klausula
72 | HiMIVlAH Vol. VII No. 18 Januari-April 2006 saksi ahli atau lebih, untuk di- dengar keterangannya".
Karena wewenang arbitrase/ iembaga arbitrase sama dengan wewenang hakim/Pengadilan Negeri, maka putusannya juga bersifat inengikat dan mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan Pengadilan Negeri tidak berhak mengadiii perkara yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (pasal 3). (Muhammad Irianto, 1999 : 8). Namun kewenangan- nya hanya terbatas pada sengketa d i b i d a n g p e r d a g a n g a n dan terhadap hak yang sepenuhnya dikuasai oleh para pihak (pasal 5).
5. Syarat-Syarat Arbiter.
Syarat-syarat orang yang menjadi arbiter diatur pada pasal
12 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 sebagai berikut: (1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter hams memenuhi syarat:
a. Cakap melakukan tinda- kan hukum; b. Berumur paling rendah 35 tahun; c. Tidak mempunyai hubung- an keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan sa- lah satu pihak bersengketa;
d. Tidak mempunyai kepen- tingan f i n a n s i a l atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 (limabelas) tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. (Muhammad Irianto, 1999:23). Berdasarkan syarat-syarat arbiter sebagaimana diuraikan diatas tadi, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi arbiter, orang tersebut harus cakap hukum, ahli dan berpengalaman dibidangnya, adil dan tidak mengharapkan pamrih atas putusannya, serta bukan seorang pejabat peradilan.
6. Kelembagaan Arbitrase.
Dengan adanya UU. No. 30 Tahun 1999 tersebut, maka setiap Iembaga arbitrase baik berskala nasional maupun internasional adalah sah apabila lembaga/badan arbitrase itu telah memenuhi syarat-syarat/ketentuan-keten- tuan yang diatur dalam Undang- undang tersebut.
Tentang eksistensi arbitrase internasional dicantumkan pada pasal 1 ayat (1) UU. Tersebut yang berbunyi: "Putusan Arbitrase Internasional Zainal Arifin | Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam | 73
adalah putusan yang dijatuhkan dicampuri oleh sesuatu kekuasaan oleh suatu lembaga arbitrase atau lain. arbiter perorangan diluar wilayah
Unsur-unsur yang terdapat hukum R.L, atau putusan suatu dalam struktur kelembagaan BANI lembaga arbitrase atau arbiter terdiri dari : seorang ketua; perorangan yang menurut keten- seorang wakil ketua; beberapa tuan hukum RI., dianggap sebagai orang anggota tetap; beberapa suatu putusan internasionar. orang anggota tidak tetap; dan
CMuhammad Irianto, 1999:5). sebuah sekretariat yang dipimpin Dengan demikian, keberadaan oleh seorang sekretaris, yang lembaga atau badan arbitrase diangkat dan diberhentikan atas
Nasional seperti Badan Arbitrase usulan BANI dan KADIN. Nasional Indonesia (BANI) adalah BANI juga telah menanda- sah dan diakui keberadaannya tangani beberapa perjanjian diwilayah hukum RI. kerjasama bilateral dengan organisasi arbitrase asing, yaitu
Badan arbitrase Nasional
dengan lembaga arbitrase di Indonesia atau disingkat BANI didirikan pada tanggal 3 Desember Jepang, Korea dan Belanda.
Perjanjian kerjasama bilateral 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) antara BANI dan Asosiasi Arbitrase dengan maksud agar BANI dapat Dagang Jepang (JVAA) yang m e m e n u h i k e b u t u h a n akan dilakukan pada tanggal 6 juni adanya sarana penyelesaian 1980, mencakup kerjasama pengembangan arbitrase dagang sengketa bagi para pengusaha
Indonesia, termasuk penyelesaian internasional dengan peningkatan s e n g k e t a d a l a m k a i t a n n y a penggunaan fasilitas masing- masing organisasi yang menga- terhadap usaha perdagangan, dakan kerjasama. Para pihak telah demi menjaga kelancaran usaha. sepakat u n t u k memberikan
BANI bertujuan memberikan rekomendasi kepada perusahaan- penyelesaian yang adil dan cepat perusahaan yang terlibat dalam dalam sengketa-sengketa perdata perdagangan antara Indonesia dan yang timbul, yang berkenaan
Jepang untuk mencantumkan
dengan soal-soal perdagangan,
suatu klausula arbitrase dan industri dan keuangan, baik yang ketentuan-ketentuan yang akan bersifat nasional maupun inter- nasional. Pelaksanaan tugas BANI diterapkan.
Perjanjian kerjasama Arbitrase
74 |HIMMAHVol.VII No, 18 Januari-April 2006
Dagang Indonesia-Belanda antara pernah dilakukan oleh para Bani dan Institut Arbitrase Belanda sahabat Rasul, seperti cerita
(NAI), ditandatangani pada tang- mengenai kejadian yang dialami gal 27 Pebruari 1982. Tujuannya oleh Umar bin Khattab, yang adalah untuk mempermudah sedang mengadakan tawar me- penggunaan arbitrase dagang nawar terhadap seekor kuda. dalam perdagangan antara Indo-
Kemudian Umar mengendarai nesia dan Belanda. BANI juga kuda tersebut untuk menguji melakukan perjanjian kerjasama kondisi kuda tersebut. Pada saat uji sejenis dengan Badan Arbitrase coba itulah, kuda tersebut menga-
Dagang Korea, dengan ditandai lami patah kaki, sehingga Umar oleh penandatanganan perjanjian bermaksud untuk mengembalikan pada tanggat 31 Maret 1982 dan
kuda itu kepada pemiliknya. Pemi-
tanggal 6 Mei 1982. (Supriadi, lik kuda keberatan dan menolak 1995:24). menerima kembali kudanya yang
Hal tersebut menunjukan
telah mengalami patah kaki terse-
bahwa keberadaan BANI sudah but. Lantas Umar berkata : diakui oleh Badan Arbitrase asing,
"Tunjuklah seorang yang engkau sehingga berbagai Badan Arbitrase percayai untuk menjadi hakam asing tersebut bersedia menga- (arbiter) antara kita berdua". dakan perjanjian kerjasama dalam
Pemilik kuda itu berkata : " Aku bidang arbitrase. rela Syuraih untuk menjadi
hakam". Maka mereka berdua C. Pembahasan. menyerahkan sengketa itu kepada
1. Konsep Hukum Islam
Syuraih, yang kemudian memutus- tentang Arbitrase. kan bahwa Umar harus membayar
Konsep hukum Islam tentang harga kuda itu. Dalam putusannya, arbitrase bukanlah konsep yang
Syuraih berkata kepada Umar : sudah jadi dalam bentuk aturan "Ambillah apa yang telah kamu beli hukum, tetapi masih bersifat dan bayarlah harganya, atau ideologi yang dapat dikembang- kembalikan kepada pemiliknya kan menjadi dasar keabsahan kuda itu seperti sedia kala tanpa arbitrase. Hal itu karena arbitrase ada cacat". (Satria Effendi, 1994 : tidak pemah dibicarakan dalam 11). fikih-fikih Islam, selain konsep Cerita tadi memberikan pema-
hakam dalam masalah keluarga. haman bahwa Syuraih sebenarnya
Dalam praktiknya, arbitrase bukanlah hakim yang resmiZainal Arifin | Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam | 75
hal itu tidaklah bertentangan
secara bergantian, karena pada
dan arbitrase digunakan
tahkim
Dalam tulisan ini, istilah
2. Takim dan Arbitrase
dengan hukum Islam, karena hukum Islam sendiri mengakui keabsahan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa.
Dengan demikian, praktik tahkim sudah pernah dilakukan oleh para sahabat Rasul, walaupun hingga sekarang dalam Islam belum ada lembaga arbitrase/ tahkim yang menyelesaikan masalah-masalah perdagangan. Namun jika lembaga itu didirikan,
diangkat oleh Rasul saw, tapi ia dipercaya/ditunjuk oleh kedua belah pihak yang bersengketa, untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka, dan kedua belah pihak yang berseng- keta menerima keputusan arbiter tersebut.
Cerita dalam hadits ini bila disimak isinya memberitakan tentang perbuatan Abu Syuraih, yang meskipun bukanlah hakim resmi yang diangkat oleh peme- rintah, tapi sering dipercaya oleh masyarakat dilingkungannya untuk menyelesaikan persengketa- an yang mereka hadapi. Rasulullah saw tidak melarang perbuatan Abu S y u r a i h t e r s e b u t , b a h k a n Rasulullah memuji Abu Syuraih atas tindakannya tersebut. Artinya Rasulullah saw mengakui eksis- tensi Abu Syuraih sebagai seorang hakam [arbiter), Pengakuan yang diberikan oleh Rasulullah saw itu dapat menjadikan dalil bagi k e a b s a h a n t a h k i m sebagai penyelesaian sengketa. (Satria Effendi, 1994:11).
Syuraih". (Satria Effendi, 1994 : 10).
Syuraih. Kata Rasulullah saw : "Kalau begitu, engkau adalah Abu
Abu Syuraih menjawab:"Ya, saya punya anak, y a i t u S y u r a i h , A b d u d a n Musallam. "Siapakah yang paling tua?" Yang paling tua adalah
tt
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i bah- wa Rasulullah saw berkata kepada Abu Syuraih yang sering disebut Abul-Hakam : "Sesungguhnya hakam itu adalah Allah dan kepada-Nyalah diminta keputusan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abul-Hakam"? Abu Syuraih menjawab : " Bahwa sesungguh- nya kaumku bila bertengkar akan meminta penyelesaian dan kedua belah pihak akan rela dengan keputusanku". Mendengar jawab- an Abu Syuraih itu Rasulullah saw lalu berkomentar : "Alangkah baiknya perbuatanmu itu". Apakah kamu punya anak?
dasarnya kedua kata tersebut
Zainal Arifin | Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam ) 77 niscaya Allah member! taufiq 92).
kepada suami isteri itu". (an-Nisa : Ayat ini dipahami sebagai
35) (DepariemenAgamaRI, 1984: pemberian peluang dari Allah 123). untuk m e n y e l e s a i k a n s u a t u
Ayat tersebut diturunkan masalah tertentu, seperti sengketa karena peristiwa yang terjadi pada suami isteri, untuk diselesaikan seorang sahabat yang bemama secara kekeluargaan, tidak mesti diangkat ke pengadilan.
Sa'id bin Ar-Rabr dan isterinya Prinsip ini oleh para utama
Habibah binti Sa'id. Keduanya dan tidaklah dipahami sebagai keten- golongan Anshar. Isterinya itu tuan hukum yang kaku da lam arti berbuat nusyuz dan dipukul oleh tidak dapat dianalogikan. Bila al- suaminya. Ayah sang isteri (mertua Sa'id) tidak senang Qur'an memberi peluang untuk melakukan tahkim dalam sengketa dengan perlakuan Sa'id terhadap anaknya. Lalu ia mengadu kepada suami isteri, sudah tentu dalam
Rasulullah saw seraya berkata : masalah selain itu yang menyang- "Ditidurinya putriku dan dipukul- kut hak pribadi diperbolehkan nya". Mendengar pengaduan itu juga. Dengan demikian, keabsahan Rasulullah saw segera membenar- arbitrase pada bidang hak-hak kan dan menuntut suami yang perseorangan selain sengketa suami isteri dilandaskan atas melakukan pemukulan itu. Men- dengar putusan Rasulullah saw itu, pentunjuk al-Quran. keduanya lalu berniat segera pergi Karena itu, arbitrase komer- untuk melaksanakan petunjuk sialpun dibenarkan menurut Rasulullah saw tersebut. Namun Islam, dan sebagai contoh nyata Rasulullah saw segera memanggil adalah peristiwa yang dialami oleh
Umar bin Khattab yang sedang kembali dan berkata : " Tunggu ! Sekarang telah datang Malaikat menawar kuda. Umar ingin Jibril membawa ayat tentang mengembalikan kuda itu (tidak jadi membeli), tapi pemiliknya masalah kalian". (Maksudnya adalah ayat 35 surah An-Nisa). menolak. Akibatnya terjadi seng- Rasulullah saw selanjutnya ber- keta yang akhirnya diselesaikan sabda : "Putusan kita lain, dan secara tahkim, seperti yang putusan Allah lain dari apa yang diceritakan sebelumnya. Jadi kita putuskan. Ketahuilah bahwa kasus arbitrase yang dialami oleh putusan Allah adalah Maha Baik Umar ini adalah dalam per- (bijaksana)".(As-Suyuti, 1986 : dagangan.
Zainal Arifin | Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam j 81
nangan penyelesaian sengketa Oleh karena itu, jika timbul yang terjadi pada arbitrase, suatu sengketa dari apa yang namun peralihan kewenangan diperjanjikan, kewenangan tersebut tidak mutlak. untuk menyelesaikan dan Oleh karena itu, meskipun memutus sengketa mutlak suatu perjanjian dibarengi menjadi kewenangan badan dengan adanya isi kalusula arbitrase, Dengan demikian, arbitrase, baik berbentuk pengadilan tidak berwenang pactum de compromittendo memeriksa dan mengadili maupun akta kompromis, sengketa secara mutlak, dan pengadilan negeri tetap berwe- gugurnya klausula arbitrase nang untuk memeriksa dan hanya terjadi apabila secara mengadili persengketaan yang tegas ditarik kembali oleh terjadi karena adanya suatu kedua belah pihak, serta tidak dibenarkan oleh hukum. perjanjian, apabila salah satu pihak mengajukan gugatan Penarikan secara diam-diam tentang sengketa tersebut dan Jika penarikan dilakukan
kepada Pengadilan. secara sepihak, Jelas sangat 2. Isi Klausula arbitrase merupa- tidak dibenarkan.
kan fakta sunt servenda. Jika berpegang kepada asas Asas facta sunt servanda dalam yang pertama, maka pengadilan
pasal 1338 KUH Perdata, pada berhak turut campur (mengadili) h a k i k a t n y a m e n g a n d u n g perkara yang telah diputuskan makna bahwa setiap perjanjian secara arbitrase, apabila jika salah mengikat kepada para pihak. satu pihak mengadukan perkara- Kekuatan mengikat sama nya ke Pengadilan. Sedangkanjika dengan kekuatan undang- menurut asas yang kedua, maka undang, tetapi jika disepakati Pengadilan tidak berwenang bersama oleh para pihak, sedikitpun untuk turut campur perikatan tersebut dapat dalam menyelesaikan persengke- ditarik kembali. Hal ini berlaku taan yang timbul dari perjanjian sepenuhnya terhadap perjan- arbitrase.
Namun menurut hukum positif jian arbitrase dengan acuan sebagaimana diatur dalam UU. No. penerapan, persetujuan arbi- 30 tahun 1999, pendapat yang trase mengikat secara mutlak kedua itulah yang diakui. Artinya kepada para pihak. (Supriadi, bahwa pengadilan tidak berhak
1995:33-35).
Zainal Arifin [ Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam | 83 secara nasional maupun inter- nasional, asal memenuhi keten- tuanyangberlaku.
Para ahli berbeda pendapat dalam menilai kewenangan peng- adilan untuk mengadili sengketa yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Kelompok pertama menyatakan bahwa pengadilan tetap memiliki kewenangan untuk mengadili perkara yang disengke- takan, apabila salah satu pihak atau kedua mengadukan perseng- ketaan tersebut kepengadilan.
Kelompok kedua menyatakan bahwa pengadilan sama sekali tidak berhak untuk mengadili perkara tersebut, kecuali jika kedua belah pihak telah sepakat u n t u k mencabut p e r j a n j i a n arbitrase yang telah dibuat, dan m e n g a j u k a n p e r k a r a n y a ke pengadilan. Dari kedua pendapat tersebut, pendapat kedualah yang sesuai dengan pasal 3 UU. No 30 tahun 1999.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala., Arbitrase Komersial Intemasional, Jakarta : Rajawali Pers,
1991.As-Suyuti., Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Furu, Semarang : Usaha
Keluarga, tanpa tahun. As-Suyuti., Asbab al-NuqulfiAsbab aiNuzul, Beirut: DarulFikri, 1986.BadrvAzaman., Arbitrase Islam dilndonesia, Jakarta: BAMUI 1994.
Campbell, Henry, Black., Black's Law Dictionary, London : West
Publishing Co., 1979.Departemen Agama RL, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek
Pengadaan Kitab Suci, 1984/1985.Departemen Kehakiman RI., Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Jakarta, 1981.Departemen Kehakiman RI-, Undang-undang. No. 30 Tahun 1999,
Jakarta, 1999.84 [ HfMMAH Vol. VII No. 18 Januari -April 2006
Djamil, Fathurrahman., Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, Jakarta
: BAMUI, 1994. Effendi, Satria., Arbitrase dalam Syari'at Islam, Jakarta: Bamui, 1994.Gautama, Sudargo., Arbitrase Dagang Internasional, Bandung : Alumni,
1979.Harahap, Yahya., Arbitrase Ditinjau dariReglemenAcaraPerdata, Jakarta
:PustakaKartini,1991.
Irianto, Muhammad, et.al., Lima Undang-Undang Republik Indonesia
tahun 1999, Jakarta: Pasca Usaha, 1999.
Soeknrdor\o.,Hukum Dagang Indonesia, Jakarta :Rajawali Press, 1991.
Stanford., The Most Important Legal Terms, Connecticut: Longmeadow
Press, 1994.Subekti, Aneka Perfanjian, Bandung: CitraAditya, 1992.
Sumitro, Warkum., Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga
Terkait, Jakarta: Raja Grafindo, 1996.Supriadi, Eksistensi Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dalam
Perbandingan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Skripsi, Banjarmasin, Unlam, Fakultas Hukum, 1995.
Yahya, Muhammad, Harahap., Arbitrase Ditinjau dari Reglemen Acara
Perdata, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, Uncitral Arbitration Rules, the 1958 New York Convention dan PERMANomor 1 Tahun1990, Jakarta: Pustaka Kartini, 1991.
Yahya, Muhammad, Harahap., Penerapan Klausula Arbitrase serta
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam dan Luar Negeri difndonesia.Varia Peradilan, LXI, Tahun VI, Oktober 1990.