PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO

PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

OLEH

SAIDUL IRFAN HUTABARAT

NIM: 040707028

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

OLEH

SAIDUL IRFAN HUTABARAT

NIM: 040707028 Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan

untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2010

PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

OL SAIDUL IRFAN HUTABARAT NIM: 040707028

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Kumalo Tarigan, M.A Dra.Heristina Dewi, M.Si NIP: 195812131986011002

NIP:

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2010

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

JURUSAN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA,

Dra. Frida Deliana, M.Si

NIP: 196011181988032001

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rrabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah penulis ucapkan atas segala nikmat dan karunia yang diberikan-Nya untuk hidup dan kehidupan penulis, buat segala kesehatan, kesabaran, kekuatan dan bantuan yang terus mengalir khususnya untuk membantu penulis dalam perjalanan penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi yang berjudul “PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO.” ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra, USU Medan.

Dalam proses penyelesaian studi dan skripsi ini, tentunya banyak orang- orang yang secara bersama membantu dan memberi semagat. Untuk itu pada kesempatan ini penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Teristimewa kedua orang tua tercinta, almarhum Ayahanda Muhammad Ali Umar Hutabarat dan Ibunda Fauziah Adnan, atas segala cinta, do’a dan pengorbanan kalian, juga buat kakak dan abang-abangku yang memberi dorongan, semangat dan do’a.

2. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, dan Ibu Dra. Heristina Dewi M.Pd. selaku pembimbing yang telah memberi bantuan, samangat dan membimbing dengan baik dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ketua Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Frida Deliana M.Si dan Ibu Dra. Heristina Dewi M.Pd. selaku sekretaris departemen etnomusikologi yang telah 3. Ketua Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Frida Deliana M.Si dan Ibu Dra. Heristina Dewi M.Pd. selaku sekretaris departemen etnomusikologi yang telah

4. Seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi, atas segala bantuan, saran dan arahannya. terkhusus Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A, selaku pembimbing akademik.

5. Teman dan rekan-rekan seperjuangan : khususnya stambuk ’04 dan seluruh anggota Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi atas bantuan, semangat dan kerjasama kalian selama ini.

6. Seluruh informan yang telah bersedia membantu dan menerima penulis selama melakukan penelitian. Terutama Bapak Jasa Tarigan selaku informan utama yang dengan baik melayani penulis dalam proses penelitian.

7. Keluarga kecil ku ‘RZ’ dan ‘AWYNE’, dan semua yang masih menjadi api dan air. Tetaplah menjadi keluarga dan jangan berakhir. Semoga Allah SWT. Membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan

dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya pada kita semua Amin.

Medan, Juni 2010

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Jasa Tarigan adalah seorang Seniman tradisi karo senior yang berasal dari desa Ujung bawang – sebuah desa di pegunungan Tanah Karo. Berawal dari ketertarikannya akan musik tradisi semenjak kecil, Dia pun berniat untuk menjadi pemain musik tradisi, dan dengan bakat musik yang ada pada dirinya, dia serius mendalami ilmu bermusiknya dengan belajar kepada beberapa orang musisi tradisi Karo, walau pun banyak sekali kesulitan yang harus dijalaninya.

Akhirnya, keberhasilannya dalam belajar dan meniti karier dalam dunia musik tradisi dan budaya Karo dapat dilihat dari karya-karya yang sudah dihasilkannya. Bermula dari masuknya Jasa Tarigan ke Universitas Sumatera Utara Jurusan Etnomusikologi sebagai mahasiswa dan pengajar praktek musik tradisi Karo di Etnomusikologi pada pertengahan tahun 1982, walaupun Jasa Tarigan tidak berhasil menyelesaikan studinya di Etnomusikologi tersebut.

Dalam tahun-tahun studinya di Etnomusikologi Jasa Tarigan mulai bermain dan menyukai instrumen musik Keyboard, dari sinilah berawal ide Jasa Tarigan

untuk memulai karya Gendang Kibod 1 -nya yang kemudian menjadi sebuah fenomena dalam musik tradisi Karo. Dia juga yang pertama sekali memperkenalkan

Gendang Kibod sebagai ensambel musik pengiring dalam upacara adat Karo.

Gendang Kibod merupakan sebutan atau istilah yang lazim diucapkan oleh orang Karo terhadap jenis irama musik yang diprogram secara khusus di dalam Keyboard. Kata Gendang mengacu kepada pengertian musik Karo dan kata Kibod merupakan ucapan orang Karo terhadap kata Keyboard itu sendiri.

Selain itu, dalam keberhasilannya dibidang programmer pada Keyboard, ia mendapat sertifikat nasional dari Era Musika, Roland, dan Yamaha dalam program pertunjukan Keyboard. Itu membuktikan bahwa eksistensi jasa tarigan di dunia musik modern juga mendapat tempat.

Bermodalkan ilmu, keterampilan dan kreatifitasnya itu lah Jasa Tarigan mulai mengembangkan musik tradisi Karo, dengan menyuguhkan musik yang ‘baru’ yaitu Gendang Kibod , dan juga beberapa perubahan baru pada musik tradisi Karo khususnya pada ensambel Gendang Lima Sendalanen.

Memang kesenian tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang paling penting dalam kebudayaan adalah kesenian yang merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan, demikian pula kesenian mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, serta menularkan, mengembangkan serta kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. (Umar Kayam, 1981:38).

Perkembangan kebudayaan juga telah menyentuh etnis Karo, sebagai hasil dari potensi dan perkembangan masyarakat penggunanya sendiri, seni musik tradisi dalam budaya Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling banyak mendapat pengaruh dari luar budaya Karo, dalam hal ini adalah teknologi. Teknologi sendiri merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

Era masuknya instrumen musik Keyboard ini ke dalam kesenian tradisi Karo sekitar tahun 1991an. Diawali oleh Jasa Tarigan yang mengkolaborasikan Keyboard dengan Kulcapi dan ensambel Gendang Lima Sendalanendalam konteks seni Era masuknya instrumen musik Keyboard ini ke dalam kesenian tradisi Karo sekitar tahun 1991an. Diawali oleh Jasa Tarigan yang mengkolaborasikan Keyboard dengan Kulcapi dan ensambel Gendang Lima Sendalanendalam konteks seni

Bahkan belakangan telah muncul sebuah instrumen baru dalam Gendang Kibod, yaitu sebuah gendang konikal double side yang berfungsi sebagai instrumen pengaya struktur ritem dari pola-pola ritem yang di hasilkan oleh Keyboard dalam Gendang Kibod. Juga secara otomatis Gendang Kibod menghasilkan harmonisasi baru dalam musik tradisi Karo, dengan dimainkannya akord dan harmonisasi- harmonisasi lain pada Keyboard dalam Gendang Kibod. Hal ini juga merupakan dampak nyata dari perkembangan teknologi terhadap budaya Karo.

Dewasa ini Gendang Kibod sudah mendominasi kesenian Karo, walaupun banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran Gendang Kibod ini membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran Gendang Kibod akan berdampak buruk terhadap eksistensi Gendang Lima Sendalanen dan keaslian kesenian Karo lainnya.

Tapi dari sisi lain, kemudahan dalam menyajikan, serta murahnya biaya pertunjukan Gendang Kibod mengakibatkan Gendang Kibod ini semakin eksis pada masyarakat Karo, selain itu banyaknya lagu-lagu populer yang mudah dimainkan dengan Gendang Kibod juga semakin memojokkan keberadaan Gendang Lima Sendalanen .

Dari contoh fenomena di atas dapat kita lihat, memang tampak jelas sekali bahwa modernisasi telah begitu banyak mempengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo dewasa ini. Misalnya, dengan munculnya Gendang Kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara ritual Dari contoh fenomena di atas dapat kita lihat, memang tampak jelas sekali bahwa modernisasi telah begitu banyak mempengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo dewasa ini. Misalnya, dengan munculnya Gendang Kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara ritual

Jasa Tarigan sendiri yang merintis lahirnya Gendang Kibod menjadi orang yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun di sisi lain pemusik yang juga menguasai beberapa alat musik tradisional Karo ini, juga dianggap berperan aktif telah mempopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di luar wilayah Karo sendiri.

Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya peranan seorang Jasa Tarigan yang sebelumnya telah mahir dan aktif dalam pertunjukan musik tradisi Karo ini bisa menjalankan pranannya tersebut dan bagaimana hal ini bisa bertahan di masyarakat.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menelitinya serta membuat suatu tulisan ilmiah dengan mengangkat Peranan Jasa Tarigan Sebagai Musisi dalam

Perkembangan Ensambel Musik Tradisi Karo.

I.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain;

1. Apa saja peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo?

2. Aspek-aspek apa saja yang telah berubah dan yang tetap dipertahankan dalam perkembangan musik tradisi karo tersebut?

3. Bagaimana tanggapan pendukung budaya Karo terhadap peranan-peranan Jasa Tarigan tersebut?

I.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas maka tujuan utama dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo sebagai akibat dari akulturasi budaya

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan dalam ensambel musik tradisi Karo setelah masuknya pengaruh Jasa Tarigan.

3. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Karo terhadap perubahan- perubahan yang dilakukan Jasa Tarigan. Penelitian ini direalisasikan dalan bentuk skripsi yang menjadi salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

I.4 Manfaat Penelitian

Selain sebagai skripsi, manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang telah berubah, baik bertambah, berkurang maupun dimodifikasi oleh Jasa Tarigan dalam musik tradisi Karo khususnya ensambel musik tradisional Karo dan bagaimana tanggapan masyarakat pendukungnya. Tulisan ini juga bermanfaat untuk menambah referensi dan dokumentasi budaya Karo. Dan sebagai bahan dokumentasi ilmiah pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU Medan.

1.5 Konsep dan Teori

I.5.1 Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).

Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat, konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu penelitian (Koentjaraningrat,1987:36).

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian.

Kata “Peranan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,2005) diartikan sebagai tindakan yg dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Namun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara yaitu :

1. Suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga drama atau teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno (Romawi). Dalam arti ini, peran menunjuk pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama.

2. Suatu penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam strukt ur sosial.

3. Suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa peran seorang aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/unjuk peran (role performance).

Dari penjelasan diatas ”Peranan” yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah apa yang telah dilakukan Jasa Tarigan sebagai musisi tradisi Karo dalam ‘perkembangan’ (menambah, mengurangi dan memodifikasi) ensambel musik tradisi Karo.

Adapun defenisi musisi dalam KBBI online adalah orang yg mencipta, memimpin, atau menampilkan musik; pencipta atau pemain musik. Kemudian untuk melihat perkembangan ensamble musik tradisi Karo yang di lakoni Jasa Tarigan, ada baiknya kita mengerti defenisi “Perkembangan” itu sendiri, Secara singkat, perekembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan sendiri (growth) berarti tahapan peningkatan Adapun defenisi musisi dalam KBBI online adalah orang yg mencipta, memimpin, atau menampilkan musik; pencipta atau pemain musik. Kemudian untuk melihat perkembangan ensamble musik tradisi Karo yang di lakoni Jasa Tarigan, ada baiknya kita mengerti defenisi “Perkembangan” itu sendiri, Secara singkat, perekembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan sendiri (growth) berarti tahapan peningkatan

Dalam hal ini penulis bermaksud melihat perkembangan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan dalam inovasi, kreatifitas dan perjalanan budaya bagi masyarakat pendukungnya, dengan berbagai konsekuensi yang harus hadir bersama perkembangan tersebut.

Ensamble musik yang disebut dalam tulisan ini merujuk pada pengertian bahwa ensambel adalah kelompok pemain musik (penyanyi) yg bermain bersama secara tetap, (KBBI online). Selanjutnya Sztompka (2004: 71) mengatakan bahwa dalam arti sempit, tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi pun mengalami perubahan. Tradisi bertahan dalam jangka tertentu dan mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Ada dua faktor yang menyebabkan suatu tradisi mengalami perubahan, yaitu: faktor dari dalam (internal) masyarakat, dan faktor dari luar (eksternal) masyarakat. Faktor dari dalam disebabkan oleh sifat kebudayaan yang selalu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan secara alamiah. Faktor dari luar disebabkan oleh masuknya pengaruh budaya global. Mardimin (1994: 12-13) juga mengatakan bahwa kebudayaan tradisi pun juga berkembang, meskipun sangat lambat dan dalam kurun waktu yang lama.

Jadi, musik tradisional yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah musik yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana adat, Jadi, musik tradisional yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah musik yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana adat,

Berdasarkan konsepsi diatas, maka dalam tulisan ini penulis mengkaji peran dan proses dari hasil karya Jasa Tarigan sebagai seorang pencipta atau pemain musik tradisional Karo dalam menghasilkan ide-ide inovasi dan kreatifitas dalam kemajuan unsur budaya yaitu kesenian musik tradisi Karo khususnya ensamble musik. Tidak terlepas juga pembahasan tentang apa saja yang telah berubah (bertambah, berkurang dan dimodifikasi) sebagai akibat dari ‘pekembangan’ tersebut dalam struktur dan fungsi Musik tradisi Karo serta pro dan kontranya dalam masyarakat Karo.

1.5.2 Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,1987:10).

Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini. Untuk melihat bagaimana kebudayaan luar bisa mempengaruhi kebudayaan yang lain kita bisa merujuk pada teori-teori perubahan yang ada, antara lain seperti Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini. Untuk melihat bagaimana kebudayaan luar bisa mempengaruhi kebudayaan yang lain kita bisa merujuk pada teori-teori perubahan yang ada, antara lain seperti

Sealin itu, Edi Sudyawati (1987) juga mengatakan bahwa perubahan terjadi bukan semata-mata disebabkan karena lingkaran pemilikan suatu seni tradisi menjadi lebih luas, tetapi bisa pula karena manusia-manusia pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah, karena perubahan gaya hidup, dan pergantian generasi.

Tidak jauh dari pandangan Edi diatas, Umar Kayam (1981:48) menjelaskan bahwa sudah waktunya kreatifitas kesenian dipahami dalam konteks perkembangan masyarakat, agar strategi pengembangan kesenian mengacu kepada perkembangan masyarakat.

Tulisan ini juga membahas tentang perubahan unsur kebudayaan khususnya dalam ensambel musik Karo, penulis mengacu pada teori akulturasi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1981:149) akulturasi adalah perpaduan kebudayaan yang terjadi bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri. Akulturasi budaya pada dasarnya juga merupakan pertemuan wahana atau area dua kebudayaan, dan masing- masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya.

1.6 Metode Penelitian

Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Taylor, 1975:4-5).

Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sachs dan Nettll (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Selain itu, untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan tulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: (1) menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires); (2) menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (Observation) dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984:25).

Jadi, kerja lapangan dalam skripsi ini meliputi studi kepustakaan, wawancara dan kerja laboratorium. Dan kerja laboratorium sendiri meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.

I.6.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan

I.6.2 Penelitian lapangan

Penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung terhadap daerah penelitian, juga mencari nara sumber dari masyarakat pendukungnya yang diakui oleh masyarakat pendukung kebudayaan yang memiliki otoritas.

Penulis juga melakukan wawancara antara peneliti dan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan agar memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan.

I.6.3 Wawancara

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1977:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.

I.6.4 Kerja Laboratorium

Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan dengan cara menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

I.6.5 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di kotamadya Medan.

BAB II KESENIAN KARO

2.1 Pendukung Kesenian Karo

Secara umum, pendukung budaya dan kesenian Karo adalah masyarakat suku Karo. Secara garis besar suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, dan beberapa tempat lain seperti Kabupaten Deliserdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.

Untuk lebih jelas penulis akan memaparkan tentang siapa, bagaimana dan dimana suku Karo berada.

2.1.1 Wilayah Kultural Masyarakat Karo

Suku Karo merupakan salah satu dari beberapa sub suku bangsa Batak di Sumatera Utara, sehingga sering juga suku Karo disebut Batak Karo. Selain sebutan untuk suatu kumpulan masyarakat dari salah satu sub suku Batak tersebut, Karo juga merupakan sebutan untuk satu wilayah administratif kabupaten yaitu kabupaten Karo yang wilayahnya meliputi seluruh dataran tinggi Karo.

Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku lentera kehidupan orang Karo dalam berbudaya (Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:

“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), disebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan disebelah Utara wilayah itu meluas sampai kedataran rendah Deli dan Serdang.”

Dari gambaran luas daerahnya diatas, domisili masyarakat Karo ini memang tidak dapat dibantah, bahwa ada beberapa kelompok yang berdomisili di daerah pantai dan hidup berdampingan dengan penduduk Melayu, dan secara bertahap kedua suku tersebut saling berbaur dan berakulturasi antara sesamanya.

Dengan demikian, orang-orang Karo yang tersebar dan berakulturasi dengan suku-suku lain tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan julukan atas dasar wilayah komusitasnya seperti : Karo Kenjulu, Karo Teluh Dereng, Karo Singalor Lau, Karo

Baluren, Karo Langkat, Karo Timur dan Karo Dusun. 2

. Karo Kenjulu adalah sebahagian besar wilayah Kabupaten Karo, yakni kecamatan Kabanjahe, Berastagi, Tiga Panah, Barusjahe, Simpang Empat, Payung. Yang termasuk dalam Karo Teruh Deleng adalah kecamatan Kuta Buloh, Kec. Payung, kec. Lau Baleng dan kec. Mardinding. Sementara Karo Singalor Lau meliputi kecamatan Tiga Binanga, kecamatan Juhar, dan kecamatan Munte.Yang termasuk Karo Baluren adalah kecamatan Tanah Pinem dan kecamatan Tigalingga. Kecamatan Tanah Pinem sudah merupakan bagian dari kabupaten Dairi.Yang termasuk Karo Langkat adalah masyarakat Karo yang tinggal di kabupaten Langkat dan kabupaten Binjei yang meliputi kecamatan-kecamatan: Padang Tualang, Bahorok, Salapian, Kwala, Selesai, Sungai Bingei, Binjei dan Stabat. Yang termasuk Karo Timur adalah yang tinggal di wilayah kecamatan Lubuk Pakam, kecamatan Bangun Purba, kecamatan Galang, kecamatan Gunung Meriah, kecamatan Dolok Silau dan kecamatan Silimakuta. Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Simalungun. Yang termasuk dalam wilayah Karo Dusun adalah kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan Namorambe, Kecamatan Sunggal, kecamatan Kutalimbaru, kecamatan STM-Hilir, Kecamatan STM-Hulu, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa dan Kecamatan Biru-biru. (ibid : 37)

Gambar.1. Peta Provinsi Sumatera Utara (Sumber: Badan Meteorologi Indonesia)

Selain wilayah-wilayah tempat tinggal yang telah dijelaskan di atas, masih ada wilayah yang cukup penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo, yaitu wilayah kota Medan (ibukota propinsi Sumatera Utara). Di sepanjang jalan dari Kabanjahe/Kabupaten Karo menuju kota Medan juga terdapat beberapa desa dan semi kota (sub-urban) yang juga menjadi domisili orang Karo seperti: kota Berastagi, desa Bandarbaru, desa Sibolangit, desa Sembahe, dan Pancurbatu (kecuali Berastagi, semua desa tersebut termasuk dalam wilayah kabupaten Deliserdang).

Memasuki wilayah kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti: desa Lau Cih, Kelurahan Simpang Selayang, Simpang Kuala dan Padang Bulan yang sebagian besar penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah tersebut, walaupun telah lama tinggal secara menetap, namun secara kekerabatan masih mempunyai hubungan dengan masyarakat Karo yang tinggal di wilayah kabupaten Karo.

2.2 Jenis-Jenis Kesenian Karo

Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan.

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih.

Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo ini lah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya.

Untuk itu dibawah ini penulis memapaparkan kesenian-kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Karo dalam budayanya.

2.2.1 Seni Sastra

Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan. Namun, sastra bentuk, lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dibandingkan tulisan.

2.2.1.1 Sastra Lisan

Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan

Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi, dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata yang dimaksud adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat adalah dialog yang diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat seperti Upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan).

Berdasarkan dari beberapa sumber,, penulis menyimpulkan bahwa seni sastra Karo dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya:

1. Tabas-abas (mantra), yaitu sejenis mantra yang diucapkan atau dilantunkan untuk mengobati orang yang sakit. Mantra ini biasanya diucapkan/digunakan oleh seorang Guru sibaso (dukun).

2. Kuning-kuningan, yaitu sejenis teka-teki yang biasa digunakan oleh anak-anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu senggang, sebagai permainan untuk mengasah otak.

3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi.

4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang sedang berduka. Misalnya kerana teringat dengan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan dirinya kerana sesuatu hal. Dahulu Bilang-bilang ini ditulis dengan aksara Karo di sepotong bambuatau kulit kayu, isinya 4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang sedang berduka. Misalnya kerana teringat dengan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan dirinya kerana sesuatu hal. Dahulu Bilang-bilang ini ditulis dengan aksara Karo di sepotong bambuatau kulit kayu, isinya

5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal- usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau cucunya pada malam hari sebagai pengantar tidur. Beberapa judul ceritanya antara lain: Beru Patimar, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, dan sebagainya .(ibid & blog Julianus Limbeng)

2.2.1.2 Sastra Tulis

Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong, Komering dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India Selatan, kemudian ke Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip dengan aksara Simalungun dan Pakpak Dairi, yaitu berupa huruf silabis (semua huruf atau silabel dasarnya berbunyi a) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabel pertama.

Pada umumnya tulisan atau aksara Karo tempo dulu digunakan untuk menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini di ukir di kulit kayu atau bambu yang di bentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu.

Gambar 2 . Aksara Karo

2.2.2 Seni Suara (Vokal)

Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende- ende . Jika seorang perende-ende juga pandai menari (Landek) dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang guro-guro aron, maka sebutan uuntuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong..

Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu- lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu.

Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal seni suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang dibawakan seseorang sebagai ‘Perende-rende’ (penyanyi). Lagu-lagunya masih cenderung berteme kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk pengantar Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal seni suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang dibawakan seseorang sebagai ‘Perende-rende’ (penyanyi). Lagu-lagunya masih cenderung berteme kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk pengantar

Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya Karo mengenal beberapa jenis seni vokal diantara:

• Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), • Didong dong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat), • Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa), • Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah), • Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita), • Ende-enden (nyanyian muda-mudi).

Penyajian seni vokal Katoneng-katoneng dan Ende-enden dilakukan oleh seorang penyanyi dan penari tradisional Karo (Perkolong-kolong) di dalam acara adat dan hiburan. Sementara nyanyian Mangmang dilakukan oleh seorang Guru sibaso (Dukun) di dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan tradisional (ritual). Sedangkan, nyanyian Tangis-tangis dilakukan pada upacara kematian, dan didong-dong biasanya dinyanyikan dalam upacara perkawinan.

2.2.3. Seni Tari

Secara umum, tari pada masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam budaya Karo, penyajian Landek sangat kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan Landek

ditentukan dengan konteks penyajiannya. Selain itu setiap gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat Karo juga berhubungan dengan perlambangan- perlambangan dan makna-makna tertentu.

Adapun beberapa makna gerakan dalam Landek masyarakat Karo adalah sebagai berikut:

1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur , maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.

2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten , maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.

3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten , artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang,

4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat,

5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan,

6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna,

7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba , artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,

8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan

9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa 9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa

Sejauh ini dari beberapa referensi yang penulis peroleh, bahwa konteks penyajian Landek pada masyarakat. Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Konteks penyajian dalam adat istiadat

2. Konteks penyajian dalam religi/ritual, dan

3. Konteks penyajian untuk hiburan. Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga) unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan tari Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan ncemet jari (lentik jari).

Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo, di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di posisi atas.

Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan

Sementara itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak.

Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak, maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari. Lempir tan diperlukan ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya ketika posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka kening penari) terutama pada tari muda-mudi.

Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main mata tidak diperbolehkan, kerana dianggap tidak sopan dan melanggar norma-norma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo, gerakan kaki harus dilakukan dengan melangkah atau odak, gerakan pinggang harus mengikuti ayunan badan atau ole, serta pandangan mata penari hanya boleh mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya.

Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain- Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-

Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dibedakan dalam tiga bagian, yaitu:

2.2.3.1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal

Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, bersama- sama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah), masing-masing kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan. Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat. Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasehat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.

2.2.3.2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual

Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan oleh seorang Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh Guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari tungkat (tari untuk mengusir roh-roh jahat), Tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain sebagainya.

Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh Guru sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Kerana ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya beliau memanggil jinujung-nya (junjungan-nya) untuk ‘masuk’ ke dalam dirinya. sehingga gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo pada umumnya. Tetapi secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian).

2.2.3.3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan

Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah: Tari pecat-pecat seberaya, Tari lima serangke, Tari piso surit, Tari roti manis , dan lain sebagainya. Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang baku, dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan tetap.

Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, diantaranya adalah Ndikar (tari pencak silat), Adu Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang Perkolong-kolong dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

2.2.4 Seni Pahat (Ukir)

Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang “Pande tukang” (sebutan bagi orang yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya. Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang “Pande tukang” (sebutan bagi orang yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya. Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak

Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya (mistis) saja. Tetapi lukisan itu telah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai keindahan sehingga kemudian dikembangkan sebagai sebuah karya seni.

Secara garis besar ada empat tempat dimana karya seni ini biasa ditempatkan, antara lain: • Pada bangunan tradisional Karo seperti rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron,

• Pada benda-benda pecah-belah seperti gantang beru-beru, cimba lau, abal- abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian, dan • Pada pakaian adat Karo seperti pada uis kapal, uis nipes, dan baju, serta

• Ukiran pada berbagai benda perhiasan seperti gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya. Di bawah ini penulis memaparkan beberapa jenis pola dan gambar ukiran

masyarakat Karo dan tempat di mana ukiran itu biasa di terapkan. • Ampik-ampik Alas (Indung Bayu-bayu)

Motif

: Terdiri dari bermacam-macam motif yang bergabung yaitu: Bunga Gundur, Duri Ikan, Tempune-tempune, Pakau-pakau, Anjak-anjak beru Ginting dan Pancung-pancung Cekala.

Fungsi

: Tolak bala / hiasan

Tempat

: Pada anyaman ayo-ayo rumah adat.

• Ukiran pada Piso Tumbuk Lada

• Anyaman pada Gapura Makam Pahlawan Kabanjahe

• Tapak Raja Sulaiman

:Tolak bala

Tempat

:Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

• Bindu Matagah

Motif

:Geometris

Pelambang :Tolak bala

Tempat

:Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

Pelambang : Tolak bala, Ngenen gerek-gereken

: Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dl • Bindu Matoguh

Pelambang : Tolak bala

Tempat

: Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll

Pelambang : Hiasan

Tempat

: Ujung kiri dan kanan Melmelen

Bila dilihat dari bentuk dan nama ukiran Karo tersebut , beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kite- kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta, Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidu-kidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk Bila dilihat dari bentuk dan nama ukiran Karo tersebut , beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kite- kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta, Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidu-kidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk

2.2.5 Seni Tenun (Mbayu)

Pakaian tradisional Karo tentunya merupakan salah satu hasil dari kebudayaan Karo, oleh karena itu, seiring berkembangnya kebudayaan, masyarakat Karo telah memiliki banyak ragam pakaian dengan fungsi-fungsi yang berbeda. Secara tradisional pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (sejenis tumbuhan).

Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian yang biasa digunakan pria adalah pakaian dengan model batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang dan sarung, sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan.

Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan baik, sehingga terlihat lebih sopan, dan pakaian kebesaran terdiri dari pakaian dengan aksesoris-aksesoris yang lengkap serta digunakan pada saat pesta saja, seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian.

Di bawah ini akan dijabarkan beberapa ragam/jenis Uis yang ada pada masyarakat Karo, yaitu antara lain;

• Uis Arinteneng Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya

hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu tempat emas kawin dan tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam hari setelah selesai pesta adat, uis ini juga digunakan sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara adat memasuki rumah baru, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam upacara adat kematian.

• Uis Julu Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris-liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam

dan disebut Keteng-ketang Bujur. Ada juga yang disebut keteng-keteng sirat denan diberi ragam corak ukiran serta di sisi ujungnnya terdapat rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai Gonje (sarung laki-laki), membayar hutang adat (maneh- maneh ), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan digunakan juga sebagai selimut (cabin).

• Uis Teba Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan pasu • Uis Teba Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan pasu

• Uis Gatip Uis Gatip ini berwarna hitam dan berbintik-bintik putih di tengah, tepian kain

warnanya hitam pekat dan ujungnya terjalin dan berumbai. Jenis kainnya lebih tebal sehingga sering disebut dengan Uis kapal (kain tebal). Uis ini dipakai sebagai ose (pakaian) laki-laki pada upacara-upacara adat perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro aron (pesta muda-mudi) dsb.

• Uis Jongkit Warna dan bahan Uis ini sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit memakai benang emas dengan motif melintang pada bagian tengah kain tersebut,

hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Penggunaan Uis ini juga sama seperti Uis Gatip, tapi kain ini sekarang lebih disenangi dan banyak dipakai pada upacara- upacara adat.

• Uis Beka Buluh Warna dasar kain Uis Beka Buluh ini merah cerah, bagian tengah bergaris

Kuning, Ungu, Putih dan pada tepian dan ujung kain terdapat motif-motif ukiran Karo yang dibuat dengan benang emas. Kain ini dipakai sebagai Bulang (penutup kepala/topi) pada laki-laki, dan juga dipakai sebagai cekok-cekok (penghias bahu) yang diletakan sedemikian rupa pada bahu laki-laki, selain itu kain ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita.