KURIKULUM DAN PENGAJARAN DI SD DAN PAUD

KURIKULUM DAN PENGAJARAN DI SD DAN PAUD
Roberto W. Marpaung1
Universitas Pendidikan Indonesia
robertomarpaung@student.upi.edu
Abstrak
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menggambarkan permasalahan dan isu
yang muncul tentang kurikulum pendidikan dasar yaitu di Sekolah Dasar dan Pendidikan
Anak Usia Dini. Selain menggali permasalahan dan isu yang mucul, artikel ini juga
bertujuan untuk memberikan gambaran solutif untuk permasalahan ataupun isu-isu yang
timbul di dunia pendidikan Indonesia. Metode penulisan yang digunakan adalah studi
pustaka yaitu dengan menggali teori dan informasi yang berhubungan dengan kurikulum
dan pengajaran pada pendidikan dasar yaitu pada penyelenggaraan Sekolah Dasar dan
Pendidikan Anak Usia Dini. Setelah melakukan studi pustaka, ditemukan bahwa
Kurikulum Sekolah Dasar dan Pendidikan Anak Usia Dini masih perlu untuk diperbaiki
dengan mempertimbangkan empat landasan kurikulum yang berlaku yaitu Kurikulum
2013. Pelaksanaan instruksional pada pendidikan dasar juga masih perlu mendapatkan
evaluasi dan perbaikan dengan menyesuaikan dengan keadaan peserta didik di setiap
daerah bukan sentralistik.

Kata Kuci: kurikulum, pengajaran, Sekolah Dasar, Pendidikan Anak Usia Dini.
Pendahuluan

Kemajuan suatu bangsa bergantung pada kualitas pendidikan. Pendidikan merupakan
salah satu pilar penting di Indonesia. Kualitas pendidikan yang buruk berimplikasi kepada
kemajuan yang lambat. Potret pendidikan Indonesia hingga saat ini masih menggambarkan
daya saing yang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia ataupun di
Asia. Pendidikan itu awalnya diterima secara informal dan non formal [ CITATION Nan111 \
p 57 \l 1033 ]. Sebelum mengenal sekolah atau pendidikan formal, peserta didik dipastikan
sudah mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Dengan
demikian, pemerintah harus membenahi pendidikan demi kemajuan bangsa baikitu
pendidikan formal ataupun pendidikan informal.
Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Mulai dari penetapan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional hingga PERMENDIKBUD yang terus diperbaharui. Hal-hal tersebut
dilakukan guna meningkatkan daya saing pendidikan nasional di kancah internasional.
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu
peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan [ CITATION Nan111 \p 1 \l 1033 ].
Membenahi pendidikan berarti membenahi tenaga pendidik, peserta didik, sarana dan
prasarana dan hal-hal krusial lainnya. Namun, di tengah semua usaha dan upaya pemerintah,
terdapat beberapa hal yang terabaikan yaitu monitoring dan evaluasi pelaksanaan pendidikan
itu sendiri.
Monitoring dan evaluasi sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Beberapa masalah telah timbul diakibatkan oleh kurangnya monitoring dan evaluasi. Salah
satu contohnya adalah pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kepada tenaga pendidik ataupun
tenaga kependidikan. Tidak sedikit lembaga yang menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan sebagai program kerja semata tanpa mempertimbangkan esensi dari Diklat itu
sendiri. Contoh lain dari lemahnya monitoring dan evaluasi adalah pelaksanaan ujian
1

Mahasiswa Magister di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Program Studi Pengembangan Kurikulum
angkatan 2016.

nasional. Sebagian besar ujian nasional dilaksanakan hanya sebagai formalitas. Berbagai cara
dilakukan oleh
Pendidikan dan Kurikulum merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan dalam
suatu sistem pendidikan. Pendidikan maupun kurikulum masing-masing memiliki tujuan, isi,
proses dan evaluasi. Pendidikan memiliki komponen yang saling berkaitan yaitu pengajaran
dan kurikulum. Pada hakekatnya, pengajaran atau instruksional merupakan bagian dari
kurikulum. Pengajaran merupakan turunan dari salah satu komponen kurikulum yaitu
komponen proses. Penulis mengharapkan pembaca mendapatkan manfaat setelah membaca
artikel ini. penulis juga mengharapkan tulisan ini sebagai suatu autokritik dan saran kepada
pemerintah terutama instansi terkait bidang pendidikan.

Kajian Teori
Sebelum membicarakan pengembangan kurikulum, terlebih dahulu kita perlu
memahami apa yang dimaksud dengan kurikulum. Setiap orang, kelompok masyarakat, atau
bahkan ahli pendidikan dapat mempunyai penafsiran yang berbeda tentang pengertian
kurikulum [ CITATION Oem132 \p 3 \l 1033 ]. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Secara tradisional, kurikulum dapat diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh murid untuk memperoleh ijazah. Di sisi lain, menurut pandangan baru, Romine
dalam [ CITATION Oem132 \p 4 \l 1033 ] menjelaskan bahwa “curriculum is interpreted to
mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under
direction of the school, whether in the classroom or not.” Menurut [ CITATION Rob76 \p 6 \
l 1033 ], kata kurikulum berasal dari akar Kata Latin yaitu “race course”. Selengkapnya, dia
mengatakan “the word curriculum comes from a Latin root meaning “racecourse,” and
traditionally, the school’s curriculum has represented something like that figuratively
speaking, of course-to most people. Menurut [ CITATION Mur93 \p 1 \l 1033 ] kurikulum
merupakan seperangkat jawaban dari pertanyaan; what to teach?; how to teach?; when to
teach?; dan what is the impact of the teaching?. Dalam hal ini, Print setuju bahwa kurikulum
memiliki seperangkat komponen yang terdiri dari; tujuan, isi, proses dan evaluasi.
Selanjutnya, [ CITATION Nan112 \p 4 \l 1033 ] mengatakan “menurut pandangan

lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru
atau dipelajari oleh siswa.” Selanjutnya Caswell dan Campbell dalam [ CITATION Nan112 \
p 4 \l 1033 ] menambahkan bahwa kurikulum …to be composed of all experiences children
have under the guidance of teachers.” Pendapat tersebut lebih ditegaskan lagi oleh Doll
dalam [ CITATION Nan112 \p 4 \l 1033 ] …the commonly accepted definition of the
curriculum has changed from content of courses of study and list of subjects and courses to
all experiences which are offered to learners under the auspices direction of the school…
Defenisi Doll di atas tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari isi kepada
proses, tetapi juga menunjukkan adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit
kepada yang lebih luas. Apa yang dimaksud dengan pengalaman siswa yang diarahkan atau
menjadi tanggung jawab sekolah mengandung makna yang cukup luas, pengalaman tersebut
dapat berlangsung di sekolah, di rumah ataupun di masyarakat, bersama guru atau
pengajaran, kurikulum berisi tujuan yang ingin dcapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan
pengajaran, alat-alat pengajaran dan jadwal waktu pengajaran, [ CITATION Nan112 \p 4-5 \l
1033 ].
Lebih jauh lagi, [ CITATION Nan09 \p 58-59 \l 1033 ] mengemukakan bahwa
kurikulum bisa dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan yang menentukan pelaksanaan
dan hasil pendidikan. Pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun

ke lingkungan masyarakat. Pendidikan merupakan proses untuk memanusiakan manusia.

Dengan kata lain, manusia yang siap terjun ke masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk
pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai
untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik
berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam
lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan
sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul
manusia–manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui
pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan
masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan
dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di
masyakarakat. Kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut ia mengatakan
kurikulum “curriculum is a product of its time … curriculum responds to and is changed by
social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge,
and educational leadership at its moment in history” [ CITATION Pet136 \p 39-41 \l 1033 ].
Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran karena
kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu program,
bidang studi dan mata pelajaran dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional,
sehingga kurikulum dapat dikatakan sebagai syarat mutlak dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

pendidikan atau pembelajaran. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kurikulum
sebagai suatu sistem keseluruhan memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan
antara satu dengan yang lain yakni: tujuan, materi, metode, organisasi dan evaluasi.
Komponen-komponen tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
menjadi dasar utama dalam upaya mengembangkan sistem pembelajaran. Kurikulum juga
merupakan suatu rencana pendidikan, memberi pedoman dan pegangan tentang jenis,
lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Disamping kedua fungsi itu, Kurikulum juga
merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang
menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoritis bagi
pengembangan kurikulum berbagai institusi pendidikan.
Dalam konteks pengembangan kurikulum, ada dua bidang psikologi yang mendasari
pengembangan kurikulum tersebut, yakni psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Keduanya diperlukan untuk merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, serta
memilih metode dan teknik penilaian. Menurut[ CITATION Nan111 \p 46 \l 1033 ],
“psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu
masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.” Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa psikologi perkembangan mempelajari seorang manusia sebelum dia
dilahirkan ke bumi, yaitu sejak dua insan yang berbeda jenis kelamin menghasilkan sel telur
hingga sel itu menjadi bayi kemudian bertumbuh dewasa. Selanjutnya, [ CITATION
Nan111 \p 52 \l 1033 ] mendefinisikan “psikologi belajar sebagai suatu studi tentang

bagaimana individu belajar. Secara sederhana, belajar dapat diartikan sebagai perubahan
tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku baik yang
berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat
dikategorikan sebagai proses belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi karena
instink atau karena kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk
belajar.” Dapat dikatakan bahwa psikologi belajar adalah suatu studi tentang bagaimana
individu mengalami perubahan tingkah laku dari segi pengetahuan, sikap dan juga
keterampilan.

Ada enam fungsi kurikulum menurut Alexander Inglis dalam [ CITATION Oem132 \p
13 \l 1033 ] yaitu; fungsi penyesuaian (the adjustive of adaptive function), fungsi
pengintegrasian (the integrating function), fungsi diferensiasi (the differentiating function),
fungsi persiapan (the propaedeuitic function), fungsi pemilihan (the selective function) dan
fungsi diagnostic (the diagnostic function). Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa
dalam literatur lain, Alexander Inglis mengemukakan 6 fungsi kurikulum yaitu fungsi
penyesuaian, fungsi integrasi, fungsi diferensiasi, fungsi persiapan, fungsi pemilihan, dan
fungsi diagnostik. Dengan demikian, kurikulum selayaknya harus bisa berperan dalam
menciptakan penyesuaian, persatuan/integrasi, differensiasi, memberikan persiapan,
pemilihan dan diagnosa. Kurikulum harus mampu menjadi suatu pedoman dan acuan dalam
pelaksanaan pendidikan yang bertujuan untuk menggapai semua kebutuhan dan cita-cita

masyarakat.
Suatu kurikulum yang baik harus dirancang di atas landasan-landasan yang kokoh.
Menurut (Zais, 1976, p. 16) ada empat landasan pengembangan kurikulum, yaitu: Philosophy
and the nature of knowledge, society and culture, the individual, dan learning theory. Zais
menjelaskan keempat landasan kurikulum yang terdiri dari; landasan filafat, landasan sosial
budaya, landasan individu, dan landasan teori. Kurikulum sebagai suatu sistem terdiri atas
empat komponen, yaitu: komponen tujuan (aims, goals, objectives), isi/materi (contents),
proses pembelajaran (learning activities), dan komponen evaluasi (evaluations). Agar setiap
komponen bisa menjalankan fungsinya secara tepat dan bersinergi, maka perlu ditopang oleh
sejumlah landasan (foundations), yaitu landasan filosofis sebagai landasan utama, masyarakat
dan kebudayaan, individu (peserta didik), dan teori-teori belajar. Dengan demikian, dalam
mengembangkan kurikulum diperlukan azas-azas yang kuat agar tujuan kurikulum tercapai
sesuai dengan kebutuhan. Hidayat mengutarakan azas-azas tersebut yang terdiri dari azas
religious, azas filsofis, azas psikologis, azas sosiologis, azas organisatoris dan azas ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
mengembangkan kurikulum diperlukan landasan atau azas yang kuat untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat [ CITATION Sho151 \p 33 \l 1033 ].
Model dapat diartikan sebagai suatu replika dari realitas yang biasanya dituangkan
dalam bentuk atau berbentuk diagramatik. Dalam Pengembangan Kurikulum ada beberapa
model konsep kurikulum yang setiap modelnya memiliki karakteristik tertentu, di antaranya

adalah model subject academic curriculum; model humanistic curriculum; model
technological/competence based curriculum; dan model social reconstruction curriculum.
Menurut [ CITATION Joh85 \p 249-250 \l 1033 ], ada tiga model pengembangan kurikulum
yaitu; The Concerns-Based Adaption, Leithwood model dan TORI model. The ConcernBased Adaption Model (CBAM) merupakan model deskriptif yang dikembangkan melalui
pengidentifikasian tingkat kepedulian guru terhadap sebuah inovasi kurikulum. Model
Leithwood menekankan peluang atau kesempatan kepada para guru dan pengembang
kurikulum mengembangkan citra yang merupakan hambatan untuk perubahan dan juga
bagaimana para guru dapat mengatasi hambatan tersebut. Model TORI memiliki inti yaitu:
(1) Trusting - menumbuhkan rasa percaya diri, (2) Opening - menumbuhkan dan mebuka
keinginan, (3) Realizing - mewujudkan, dalam arti setiap orang bebas berbuat dan
mewujudkan keinginanya untuk perbaikan, (4) Interpending - yaitu salain ketergantungan
dengan lingkungan, model ini memfokuskan pada perubahan personal dan perubahan sosial
yang membantu guru mengidentifikasi bagaimana lingkungan akan menerima ide-ide baru
sebagai harapan untuk mengimplementasikan inovasi dalam praktik serta menyediakan
beberapa petunjuk untuk menyediakan perubahan. Menurut [ CITATION All092 \p 260-262 \
l 1033 ], terdapat empat model implementasi kurikulum yaitu; 1) Overcoming Resistance to
Change Model [ CITATION All092 \p 259 \l 1033 ], Organizational-development Model,
Concerns-Based Adoption Model, dan Systems Model

Dalam Overcoming Resistance to Change Model, keberhasilan dan kegagalan suatu

perubahan dalam suatu organisasi ditentukan oleh kemampuan pemimpin untuk mendorong
staffnya menghadapi suatu perubahan. Untuk menghadapi suatu perubahan maka seorang
pemimpin harus bisa membuat staffnya atau anggotanya tahan terhadap perubahan atau
tantangan. Salah satu strategi untuk menjadi kebal dengan perubahan adalah dengan
memberikan kesempatan kepada para administrator dan guru kekuatan yang sama. Jadi,
dalam model implementasi ORC guru dan administrator mempunyai peluang dan kesempatan
yang sama dalam menghadapi perubahan ataupun tantangan. Ketua pengembang kurikulum
yang menggunakan model implementasi ORC mengidentifikasi dan peka terhadap staffnya.
Pemimpin harus mengerti bahwa individu harus dirubah sebelum merubah sebuah organisasi
dimana individu itu berada. Berdasarkan penelitian dalam inovasi kurikulum, Gene Hall dan
Susan Loucks dalam [ CITATION All092 \p 260 \l 1033 ] membagi implementasi ORC
menjadi empat tahap yaitu. Tahap pertama, yaitu tahap keperihatinan atau kecemasan terkait
atau unrelated concerns. Pada tahap ini, guru belum melihat hubungan antara diri mereka
dengan perubahan yang datang dan oleh sebab itu, mereka tidak mampu membendung
perubahan tersebut. Kemudian, tahap kedua, tahap sadar diri atau personal concerns. Pada
tahap ini individu memberikan reaksi terhadap temuan baru yang berhubungan dengan situasi
dirinya. Selanjutnya, pada tahap ketiga, tahap sadar akan tugas terkait atau task-related
concerns. Kesadaran tersebut berhubungan dengan pemanfaatan temuan baru di dalam kelas
secara nyata. Selanjutnya adalah tahap kesadaran akan akibat terkait atau impact-related
concerns. Pada tahap ini guru sadar bagaimana inovasi bisa mempengaruhi siswa, teman

kerja, dan kelompok atau komunitas. Dalam menggunakan model implementasi ORC,
pendidik harus peka terhadap pribadi orang, tugas-tugas terkait, dan kesadaran akan dampak
terkait. Jika tidak, orang akan menolak inovasi yang datang atau diperkenalkan.
Organizational-development Model digagas pertama kali pada tahun 1970 an. Richard
Schmuck dan Matthew Miles mengatakan bahwa banyak pendekatan terhadap perbaikan
pendidikan gagal karna para pemimpin berasumsi bahwa adopsi merupakan proses yang
rasional dan terlalu bergantung pada penemuan bidang teknis. Sehingga dengan masalahmasalah yang muncul tersebut, Schmuck and Miles mengusulkan model OD atau
organizational-development model. Model OD merupakan upaya jangk panjang untuk
memperbaiki pemecahan masalah suatu organisasi dan memperbaharui proses, khususnya
melalui diagnosa dan manajemen secara colaboratif. Penekanan Model OD adalah pada
budaya kerja dalam organisasi dan kerja sebagai tim.
Concerns-Based Adoption Model or CBA masih berhubungan dengn Model OD.
Namun, orang orang yang menggunakan pendekatan CBA meyakini bahwa semua perubahan
berawal dari semua individu. Tidak seperti Model Pengembangan Organisasional atau OD,
Model pendekatan CBA hanya menguatkan adopsi implementasi kurikulum tidak pada
pengembangan dan rancangan kurikulum. Jadi, dapat dikatakan bahwa sebelumnya pendidik
dan guru sudah memilih dan menciptakan kurikulum sebelumnya. Langkah-langkah
perhatian (guru) berkaitan dengan penerapan inovasi adalah; a) Kesadaran inovasi, b)
Kesadaran informasi mengukur, c) Perhatian untuk diri, d) Berhubungan dengan untuk
mengajar dan e) Berhubungan dengan untuk para siswa.
Jika Model OD dan juga CBA fokus pada individu atau orang, maka Model Sistem
fokus pada sekolah. Perubahan yang direncanakan dalam suatu sekolah seharusnya
dipandang sebagai win-win atau semua harus menang tanpa ada yang merasa kalah. Dalam
mengimplementasikan perubahan, ada ada potensi konflik antar individu dan juga kelompok,
termasuk departemen. Konflik harus diatasi supaya setiap orang bisa menang baik itu siswa,
guru, ketua jurusan dan juga kepala sekolah. Namun supaya implementasi berhasil,
diperlukan tenaga, waktu dan kesabaran. Supaya berhasil, suatu implementasi harus dianggap

sebagai upaya jangka panjang yang memerlukan keterlibatan dan kerjasama manusianya dan
departemennya.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa model implementasi kurikulum yang diakukan
oleh Ornstein dan Hunkins fokus pada manajemen yaitu interaksi antar manusia dalam
organisasi itu yang diatur oleh sebuah sistem yang membatasi setiap individu dalam
bertindak. Selanjutnya Mars dalam [ CITATION Rus09 \p 22 \l 1033 ] berpendapat “terdapat
lima elemen yang mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu: dukungan dari kepala
sekolah, dukungan dari rekan sejawat guru, dukungan dari siswa, dukungan dari orang tua,
dan dukungan dari dalam diri guru unsur yang utama”. Sedangkan [ CITATION MGF91 \p
67 \l 1033
] mengemukakan faktor-faktor yang menjadi kunci dalam proses
implementasi berdasarkan karakteristik lokal (local characteristies) yaitu; a) School
district ( lingkungan sekolah ), berkaitan dengan kondisi sekolah, fasilitas dan sarana
pendukung yang memadai, b) Community (masyarakat), dukungan masyarakat sekitar,
kerjasama dengan dunia usaha dan industri, c) Principal (kepala sekolah), berkaitan dengan
manajemen dan kepemimpina kepala sekolah. d) Teacher (guru), adanya respon, dukungan,
partisipasi guru dalam pelaksanaan kurikulum, e) External factors (faktor eksternal),
dukungan dari pemerintah (administrator pendidikan), swasta. Dengan adanya dua model
tersebut, pengembang kurikulum dan pelaksana pendidikan akan mengalami hambatan, baik
itu secara umum ataupun secara khusus. Untuk itu, seperti yang dikatakan Oliva (2013)
dalam salah satu aksiomanya bahwa kurikulum itu inevitable. Dengan kata lain, kurikulum
harus siap berubah sesuai dengan perkembangan yang ada di masyarakat ataupun lingkungan.
Kurikulum rekonstruksi sosial merupakan kurikulum yang paling tepat untuk
diimplementasikan di Indonesia saat ini. “Kurikulum rekonstruksi sosial lebih memusatkan
perhatian pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Kurikulum ini
bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Dalam model kurikulum ini, pendidikan
dianggap bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi kerja sama. Kerjasama
atau interaksi tidak hanya terjadi antara siswa dengan guru, tetapi juga antara siswa dengan
siswa, siswa dengan orang orang di lingkungannya, dan dengan sumber belajar lainnya.
Melalui interaksi dan kerja sama ini, siswa berusaha memecahkan problema-problema yang
dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik”
[ CITATION Nan111 \p 91 \l 1033 ]. Brameld [ CITATION Nan111 \p 92 \l 1033 ]
menegaskan bahwa “dalam Kurikulum Rekonstruksi Sosial, siswa didorong untuk
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak dan
kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.” Dengan mempertimbangkan
Negara Kesatuan Indonesia yang memiliki banyak masalah-masalah sosial, pendidikan harus
mampu membentuk siswa yang bisa bekerja sama dan bergotong royong dalam
menyelesaikan masalah-masalah krusial yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Komponen tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Dalam
sekala macro rumusan tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai
yang dianut masyarakat. Menurut Sukmadinatam (2011:42) mengutarakan tujuan
pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis yaitu sebagai cara
hidup (way of life). Maka dapat dikatakan bahwa rumusan tujuan menggambarkan suatu
masyarakat yang dicita-citakan. Seorang ahli kurikulum yaitu [ CITATION Oem134 \p 78 \l
1033 ] berpendapat bahwa implikasi tujuan (objective) adalah; 1) suatu pengertian tentang
arah (sasaran) bagi setiap orang yang tertarik dengan proses pendidikan, 2) basis perencanaan
kurikulum harus yang rasional dan logis, 3) memberikan suatu basis untuk penilaian siswa.
Dorongan untuk belajar (learning motives), membangkitkan rasa ingin tahu dari peserta didik
sehingga mereka mencari informasi sebanyak mungkin tentang pembasan yang sedang
dipelajari dalam upaya pemenuhan tujuan pembelajaran. Dari pendapat di atas, maka
komponen tujuan merupakan langkah strategis dalam mengakomodasi nilai-nilai yang dianut

oleh suatu kumpulan masyarakat (Negara) dan menjadi acuan dalam pencapaian pendidikan
yang direncanakan. Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang
sangat umum sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur,yang kemudian
dinamakan kompetensi. Lebih jauh lagi, [ CITATION Nan111 \p 129 \l 1033 ] berpendapat
yang sama bahwa “tujuan belajar lebih dari sekedar untuk mendapatkan kepuasan atau
menguasai pengetahuan. Belajar menyiapkan peserta didik untuk menghadapi masa yang
akan datang.” Sukmadinata menganggap bahwa yang paling penting adalah peserta didik
mampu untuk menghadapi masa yang akan datang dengan kemampuan memecahkan
masalah-masalah yang akan dihadapi. [ CITATION Nan111 \p 129 \l 1033 ] ada dua macam
belajar untuk menghadapi masa yang akan datang. Pertama, applikasi belajar dalam tugastugas khusus, atau pekerjaan-pekerjaan khusus. Hal ini merupakan transfer belajar dalam
berbagai bentuk keterampilan. Kedua, transfer belajar dalam bentuk prinsip-prinsip dan
sikap-sikap yaitu tipe belajar yang bukan merupakan belajar keterampilan tapi belajar ide-ide
yang bersifat umum, yang dapat digunakan untuk mengenal dan memecahkan berbagai
masalah kehidupan. Sukmadinata berpendapat bahwa jenis transfer yang kedua merupakan
inti proses pendidikan, merupakan proses perluasan dan pendalaman yang terus menerus dari
ide-ide umum.
Mata pelajaran bukanlah menjadi tujuan utama proses pembelajaran dilaksanakan.
Namun, mata pelejaran seharusnya menjadi suatu medium untuk meningkatkan keperibadian
siswa termasuk dalam hal sikap belajar. [ CITATION Nan111 \p 59 \l 1033 ] mengatakan
“tujuan umum pendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan generasi muda menjadi
orang dewasa anggota masyarakat yang mandiri dan produktif. Hal itu merefleksikan konsep
adanya tuntutan individual dan sosial dari orang dewasa kepada generasi muda. Tuntutan
individual merupakan harapan orang dewasa agar generasi muda dapat mengembangkan
pribadinya sendiri, mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya.”
Dalam penyusunan konten atau bahan pelajaran perlu memperhatikan beberapa hal
[ CITATION Oem134 \p 178 \l 1033 ] yang terdiri dari; 1) signifikansi: seberapa penting isi
kurikulum pada suatu disiplin atau tema studi, 2) validitas: berkaitan dengan keotentikan dan
keakuratan isi kurikulum tersebut, 3) relevansi sosial: keterkaitan isi kurikulum dengan
moral, nilai-nilai, cita-cita, permasalahan sosial untuk membantu siswa menjadi anggota yang
efektif dalam masyarakat, 4) daya guna (utility): kegunaan isi kurikulum dalam
mempersiapkan siswa dalam kehidupan dewasa, 5) dapat dipelajari (learnability):
kemampuan siswa dalam memahami isi kurikulum tersebut, 6) minat, minat siswa terhadap
isi kurikulum tersebut. Dalam kerangka kurikulum 2013, Struktur kurikulum merupakan
pengorganisasian Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, muatan pembelajaran, mata pelajaran,
dan beban belajar pada setiap satuan pendidikan dan program pendidikan. Struktur kurikulum
dimulai dari pengorganisasian kompetensi inti. Kompetensi Inti merupakan tingkat
kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki oleh peserta
didik pada setiap tingkat kelas atau program yang menjadi landasan pengembangan
kompetensi dasar. Kompetensi inti dirancang seiring dengan meningkatnya usia peserta didik
pada kelas tertentu. Melalui kompetensi inti, integrasi vertikal berbagai kompetensi dasar
pada kelas yang berbeda dapat dijaga. Rumusan kompetensi inti menggunakan notasi; a)
Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual; b) Kompetensi Inti-2 (KI-2)
untuk kompetensi inti sikap sosial; c) Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti
pengetahuan; dan d) Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan.
Kompetensi Inti kemudian diturunkan ke dalam Kompetensi Dasar. Kompetensi Dasar (KD)
merupakan tingkat kemampuan dalam konteks muatan pembelajaran, pengalaman belajar,
atau mata pelajaran yang mengacu pada Kompetensi Inti. Kompetensi Dasar mencakup sikap
spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan dalam muatan pembelajaran, mata
pelajaran, atau mata kuliah.

Muatan pembelajaran dalam struktur kurikulum untuk pendidikan dasar berisi muatan
umum. Muatan umum yang dimaksud adalah muatan nasional untuk satuan pendidikan, dan
muatan lokal untuk satuan pendidikan sesuai dengan potensi dan keunikan lokal. Muatan
pembelajaran ini yang kemudian dijabarkan dalam mata pelajaran. Struktur kurikulum terdiri
atas sejumlah mata pelajaran dan beban belajar. Beban belajar memuat jumlah jam belajar
yang dialokasikan untuk pembelajaran suatu tema, gabungan tema, dan mata pelajaran.
Beban belajar juga memuat keseluruhan kegiatan yang harus diikuti peserta didik dalam satu
minggu, semester, dan satu tahun pelajaran. Beban belajar meliputi kegiatan tatap muka,
kegiatan terstruktur, dan kegiatan mandiri. Menanggapi hal tersebut, [ CITATION Nan09 \p
129 \l 1033 ] mengatakan bahwa hal pokok dalam proses pendidikan dalam kaitannya
dengan konten kurikulum mencakup; 1) Struktur bahan menjadi pusat kegiatan belajar dan
bagaimana memberikan pengertian kepada siswa tentang struktur yang mendasar terhadap
tiap mata pelajaran, 2) Menekankan pada berpikir intuitif, yaitu berpikir teknik intelektual. 3)
Kesiapan dalam belajar (readiness), memperhatikan tahapan struktur belajar yang dilakukan
dari materi yang paling mudah (simple) kepada materi yang paling sulit (complex).
Pengajaran atau sering disebut dengan instruction terdiri dari beberapa konsep desain.
Berikut dipaparkan konsep pengajaran menurut tiga sumber yang berbeda. Menurut
[ CITATION Rob92 \p 4 \l 1033 ], instruction is a human undertaking whose purpose is to
help people learn. Dia menambahkan bahwa instruction is a set of events that affect learners
in such a way that learning is facilitated. Instructional design centers on individual learning,
has immediate and long-term range phase, is systematic, and uses a systems approach about
knowledge and human learning. Dalam hal ini, mereka menakankan instruksion sebagai
langkah untuk membantu orang lain belajar. Selanjutnya, menurut [ CITATION Wil97 \p 6 \l
1033 ], the field of instructional design is associated with analyzing human performance
problems systematically, identifying the root causes of those problems, considering various
solutions to address the root causes, and implementing the solutions in ways designed to
minimize the unintended consequences of corrective action. Bidang instructional adalah
tentang analisa kemampuan manusia secara sistematis. Kemudian [ CITATION Geo06 \p 3 \l
1033 ], menambahkan “instructional design in generalities is a science, an art, a way to
create training. These are all fine concepts, and perhaps good definitions, but instructional
design is really a set of rules—or procedures, you could say—for creating training that
does what it is supposed to do”. Piskurich mengatakan bahwa desain instruksional adalah
secara umum adalah suatu ilmu pengetahuan, yang berhubungan dengan cara-cara
melaksanakan pelatihan. Lebih jauh lagi, [ CITATION Rob091 \p 8 \l 1033 ] menjelaskan
bahwa “Instructional design is an iterative process of planning performance objectives,
selecting instructional strategies, choosing media and selecting or creating materials, and
evaluation”. Beberapa sumber yang membahas tentang istilah “instruction” dan “teaching”
yaitu [ CITATION Rob92 \p 3 \l 1033 ] dikatakan bahwa teaching adalah bagian dari
instruction.
Pengajaran dan kurikulum dibahas oleh [ CITATION Muk01 \l 1033 ]. Beliau juga
memberikan pandangan yang sama dengan Gagne dkk bahwa instruction dan teaching
merupakan dua hal yang saling berkaitan. Namun, teaching merupakan bagian dari
instruction. Dengan kata lain, Mukhidin menegaskan bahwa cakupan instruction lebih luas
daripada teaching. Perbedaan antara instructional dan teaching terletak pada posisinya.
teaching merupakan bagian dari instruksional. Dalam perancangan desain instruksional,
peranan teaching sangat central. Kedua istilah ini saling terikkat dalam sistem pembelajaran.
Teaching merupakan bagian dari instruksional sedangkan instruksional juga terikat dengan
teaching. Salah satu ahli yang mengatakan pendapat di atas adalah [ CITATION Rob091 \p
8 \l 1033 ] yang mengatakan instructional design centers on individual learning, has
immediate and long-range phases, is systematic, and uses a systems approach about

knowledge and human learning. Branch ingin menjelaskan bahwa pembelajaran itu sendiri
bisa diatur dan disusun oleh pembelajar atau peserta didik itu sendiri.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum pengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
atau KTSP. Terdapat beberapa kendala dalam implementasi Kurikulum 2013. Kendala dalam
implementasi kurikulum 2013 terletak pada koordinasi, komunikasi dan supervisi antar pihak.
Kondisi saat ini masih dirasakan terjadinya tumpang tindh antar kementerian maupun aantara
pusat dan daerah serta kurang terintegrasinya penetapan prioritas serta target kinerja
pendidikan di pusat dan di daerah. Untuk menyikapi hal ini, [ CITATION Oem132 \p 188 \l
1033 ] mengatakan bahwa perlu dilakukan koordinasi antar kementrian dengan mengacu
antara lain pada kebijakan-kebijakan seperti; peningkatan koordinasi antara Kemendikbud
dengan lembaga terkait untuk menyinergikan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan
evaluasi kurikulum, peningkatan koordinasi antara KEMENDIKBUD dengan pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten dan kota, LPMP, serta satuan pendidikan untuk
menyinergikan perencanaan, pengendalian dan evaluasi kurikulum.
Dengan demikian perlu ditekankan bahwa kurangnya koordinasi, komunikasi dan
supervisi menghambat implementasi Kurikulum 2013. Sebaliknya jika koordinasi,
komunikasi dan supervisi berjalan lancar, akan menentukan keberhasilan Implementasi
Kurikulum 2013. Maka masalah koordinasi, komunikasi dan supervisi perlu diperhatikan
berbagai pihak agar dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi keberhasilan implementasi
Kurikulum 2013. Dalam menaggapi Kurikulum 2013, [ CITATION HEM16 \p 227 \l 1033 ]
menyampaikan bahwa Kurikulum 2013 seharusnya bisa dijadikan sebagai tonggak perbaikan
berkesinambungan dalam pendidikan; perbaikan-perbaikanselanjutnya dapat dilakukan oleh
guru dan kepala sekolah sehingga tidak harus ganti orang ganti kurikulum. Beliau
menrekomendasikan bahwa pergantian menteri tidak harus diikuti dengan perubahan
kurikulum. Perbaikan atau perubahan seharusnya tidak perlu secara makro malainkan cuku di
tingkat satuan pendidikan atau sekolah saja.
Implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam rangka otonomi dihadapkan
dengan beberapa masalah. Menurut [ CITATION NSS12 \p 201 \l 1033 ], kendala dalam
implementasi kurikulum dalam rangka otonomi adalah; (1) tidak adanya keseragaman, oleh
karena itu untuk daerah dan situasi yang memerlukan keseragaman dan persatuan dan
kesatuan nasional, kurikulum ini sulit diterapkan (2) tidak adanya standard penilaian yang
sama, sehingga sukar untuk memperbandingkan keadaan dan kemajuan suatu sekolah/distrik
dengan sekolah/distrik lain, (3) adanya kesulitan bila terjadi perpindahäh siswa ke
sekolah/distrik lain, (4) sukar untuk melakukan pengelotaan dan penilaian secara nasional, (5)
belum semua sekolah/distrik memiliki kesiapan untuk menyusun dan rnengembangkan
kurikulum sendiri. Kendala tersebut dapat diatasi dengan lebih melibatkan guru. Guru
dilibatkan bukan dalam penjabaran kurikulum induk ke dalam program tahunan/caturwulan
atau satuan pelajaran, tetapi juga untuk menyusun kurikulum menyeluruh di sekolahnya. Jika
sejak awal guru dilibatkan dalam penyusunan kurikulum, mereka akan memahami benar
substansi kutikulum dan cara implementasinya secara tepat.
Adapun beberapa kendala yang ada di lapangan ketika implementasi kurikulum
diantaranya; a) tidak semua sekolah memiliki fasilitas penunjang untuk mengimplmentasikan
Kurikulum 2013 Kemampuan setiap sekolah berbeda-beda dalam menyediakan fasilitas
penunjang ketika semua sekolah harus memenuhi standar kompetensi lulusan yang sudah
ditetapkan, b) penyaluran buku paket yang tidak lancar, keterlambatan atau ketiadaan buku,
akibatnya bahkan hingga saat ini, masih ada sekolah negeri maupun yang berstatus swasta
yang belum menerima buku paket, c) sistem penilaian yang terdiri dari terlalu banyak aspek;
dalam satu kegiatan, masing-masing siswa harus dinilai sedetail mungkin, melibatkan kurang
lebih sepuluh aspek. Dengan demikian, jika pada suatu kelas terdiri dari 30 murid guru bisa
kewalahan untuk menilai setiap aspek. Guru akan menghabiskan banyak waktu untuk

mengamati siswa dan menilai aspek-aspek yang dituntuut dalam kurikulum 2013. Kendala
selanjutnya adalah d) sosialisasi tentang kurikulum 2013 masih minim. Hal ini digambarkan
oleh banyaknya kepala sekolah dan guru-guru yang belum mengetahui sepenuhnya rancangan
induk Kurikulum 2013 tersebut, e) susahnya merubah mindset para guru yang masih
tradisional yaitu masih memegang kuat sistem bank dimana guru mengarahkan semua
kegiatan siswa di ruangan kelas, f) Guru mendapatkan pelatihan yang kurang sehingga belum
mampu menerapkan pendekatan saintifik dalam kegiatan belajar mengajar, g) Seperti yang
dirilis oleh PISA bahwa dari lima langkah pendekatan saintifik, yakni mengamati, menanya,
menalar, mencoba, dan membentuk jejaring, yang sering terlewatkan adalah menalar, h)
belum semua guru mampu membuat siswa aktif dan menjadikan proses pembelajaran
terpusat kepada siswa, h) pelatihan guru yang masih sangat minim, i) kurikulum 2013
diterapkan di seluruh sekolah sebelum dievaluasi kesesuaian antara ide, desain, dokumen
hingga dampak kurikulum, j) kompetensi Spiritual dan Sikap terlalu dipaksakan sehingga
menganggu substansi keilmuan dan menimbulkan kebingungan dan beban administratif
berlebihan bagi para guru, dan k) berganti-gantinya regulasi kementerian akibat revisi yang
berulang.
Evaluasi merupakan cara untuk mengetahui suatu implemntasi kurikulum berhasi atau
tidak. Seperti yang ditekankan oleh [ CITATION Joh85 \p 329 \l 1033 ] bahwa evaluasi
kurikulum perlu dilakukan untuk méndapatkan informasi yang digunakan untuk perbaikanperbaikan di sekolah. Dengan demikian, evaluasi memiliki peran untuk menentukan apakah
suatu kurikulum perlu diteruskan atau tidak. Selanjutnya, [ CITATION NSS12 \p 180 \l 1033
] menyatakan bahwa evaluasi kurikulum minimal berkenaan dengan tiga hal, yakni: (1)
moral judgment, (2) penentuan keputusan, (3) konsensus nilai. Untuk memahami evalusi
dalam dunia pendidikan kita harus memahami perbedaan antara produk evaluasi dan proses
evaluasi. Lebih lanjut lagi [ CITATION Mur93 \l 1033 ] memaparkan bahwa produk evaluasi
berfokus pada penilaian terhadap kemampuan siswa dalam menguasi berbagai kemampuan.
Contoh dari produk evaluasi adalah rapor yang dikeluarkan oleh sekolah untuk siswa.
Sedangkan proses evaluasi adalah rangkaian kegiatan dalam menilai berbagai aspek diluar
siswa. Dengan kata lain Proses Evaluasi adalah kegiatan penilaian semua kegiatan
pembelajran dengan melibatkan banyak aspek seperti situasi pembelajaran dalam kelas,
intraksi siswa dengan guru, metode pembelajaran, kurikulum sekolah, program untuk siswa
berbakat, dan sebagainya.
Menurut [ CITATION Sai09 \p 42-43 \l 1033 ] ada empat tujuan dari evaluasi
kurikulum yaitu; menyediakan informasi mengenai pelaksanaan pengembangan dan
pelaksanaan suatu kurikulum sebagai masukan untuk pengambilan keputusan, menentukan
tingkat keberhasiln dan kegagalan suatu kurikulum serta factor-faktor yang berkontribusi
dalam suatu lingkungan tertentu, mengembangkan berbagai alternative pemecahan masalah
yang dapat digunakan dalam upaya nperbaikan kurikulum, dan memahami dan menjelaskan
karakteristik suatu kurikulum dan pelaksanaan kurikulum. Kemudian, [ CITATION Nan09 \p
173 \l 1033 ] berpendapat bahwa evaluasi kurikulum adalah proses yang luas dan upaya
terus-menerus untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam
mencapai tujuan. Pada tingkat informal, evaluasi berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat
tentang dugaan perubahan yang telah dicapai oleh suatu program, sedangkan pada tingkat
formal, evaluasi kurikulum meliputi pengumpulan data dan pencatatan data. Pada tingkat
yang lebih formal berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan ke arah tujuan yang telah
ditentukan.
Selanjutnya, [ CITATION Nan09 \p 174 \l 1033 ] mengemukakan dua konsep evaluasi
kurikulum yaitu evaluasi kurikulum secara luas dan evaluasi kurikulum secara sempit.
Evaluasi kurikulum secara luas yaitu evaluasi kurikulum yang membahas tentang desain dan
implementasi kurikulum, kemampuan unjuk guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana,

fasilitas dan sumber lainnya. Berangkat dari pendapat Doll (1976) yang menyebutkan bahwa
evaluasi kurikulum harus memiliki syarat-syarat: (1) acknowledge presence of valuesand
valuing, memiliki nilai dan penilaian; (2) orientation to goals, punya tujuan dan sasaran yang
jelas; (3) comprehensiveness, menyeluruh; (4) continuity, terus menerus; (5) diagnostic
worth, berfungsi diagnostic; (6) validity and integration, mempunyai validitas dan integritas.
Sedangkan evaluasi kurikulum secara sempit (pembelajaran) adalah pengumpulan data hasil
belajar siswa dan proses belajarnya. Lebih jauh lagi, [ CITATION Pet136 \p 295 \l 1033 ]
evaluasi pembelajaran meliputi pembahasan materi sebelumnya, dalam hal ini penilaian
tentang: (1) Pencapaian belajar peserta didik; (2) Kinerja para guru atau instruktur; (3)
efektifitas dari suatu pendekatan atau metode. Sedangkan evaluasi kurikulum mencakup
evaluasi pembelajaran itu sendiri, dan model pembelajaran merupakan bagian dari model
pengembangan kurikulum secara keseluruhan, tujuan dari evaluasi kurikulum akan lebih luas
dibandingkan dengan evaluasi pembelajaran.
Metode
Penulisan artikel ini berbasis pada kajian-kajian yang sudah ada. Penulis mengkaji teori
dan hasil penelitian dari berbagai sumber. Dengan demikian, dalam menulis artikel ini,
digunakan metode pengakjian pustaka atau yang sering disebut dengan Library Research.
Hasil penelusuran teori kemudian dirangkai menjadi suatu tulisan yang sistematis dengan
cara mereduksi, menganalisis, mengklarifikasi data yang terkumpul dan kemudian menarik
kesimpulan. Dari kesimpulan, penulis kemudian memberikan beberapa saran dan
rekomendasi untuk peneliti berikutnya dan kepada semua pihak yang terkait dengan tulisan
ini.
Hasil dan Diskusi
Kurikulum dan pengajaran seringkali mendapatkan pengertian dan definisi yang
berbeda. Pada hakekatnya, pengajaran merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri.
Kurikulum memiliki empat komponen dasar yaitu tujuan, isi, proses, dan evaluasi.
Pengajaran merupakan bagian dari komponen kurikulum yaitu komponen proses. Kurikulum
Sekolah Dasar dan Pendidikan Anak Usia Dini belum relevan dengan capaian pendidikan abad
ke-21. Hal ini dapat digambarkan oleh masih maraknya kenakalan remaja di Indonesia.
Dengan kata lain, ranah afeksi dan psikomotor belum berhasil dicapai. Secara nasional,
capaian APK PAUD 3-6 tahun masih jauh di bawah target pembangunan yaitu hanya 34,62
persen. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, APK PAUD di perkotaan (36,96 persen)
lebih besar dibandingkan di perdesaan (32,29 %). Begitu pula untuk APK PAUD 3-5 tahun,
capaian secara nasional sekitar 46,99 persen (di perkotaan sebesar 49,90 persen dan di
perdesaan 44,07 persen). Hal ini mungkin disebabkan oleh akses dan fasilitas untuk
pelayanan PAUD yang belum merata, dimana fasilitas PAUD lebih banyak tersedia di
perkotaan. Selama tahun 2016, satu dari empat penduduk umur 5 tahun ke atas masih
bersekolah, sedangkan sisanya tidak/belum pernah bersekolah dan tidak bersekolah lagi. Jika
dikaji menurut kelompok umur, terlihat kesenjangan yang cukup nyata antar kelompok umur
sekolah (7-24 tahun). Semakin tinggi kelompok umur sekolah, maka semakin rendah tingkat
partisipasi sekolahnya. Partisipasi bersekolah penduduk umur 7-24 tahun relatif tinggi pada
kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, masing-masing sebesar 99,09 persen dan 94,88
persen. Tingginya partisipasi penduduk kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun dalam
bersekolah sebagai dampak positif adanya kebijakan pemerintah tentang wajib belajar
sembilan tahun yang sudah dilaksanakan selama dua dekade terakhir [ CITATION BPS \l
1033 ].

Di sisi lain, jika dilihat dari segi kuantitas sekolah, pemerintah sudah memenuhi
kebutuhan sesuai dengan jumlah siswa atau peserta didik. Menurut [ CITATION BPS \l 1033
], pemerintah telah berupaya menambah dan mengembangkan fasilitas sekolah untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan yang bermutu. Pertumbuhan jumlah sekolah TK,
SD, SMP dan SM terus meningkat pada periode tahun ajaran 2015/2016 dibandingkan tahun
ajaran sebelumnya. Menurut data dari BPS, pada tahun ajaran 2015/2016, jumlah sekolah
yang berada dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk jenjang PAUD
sebanyak 85.499 sekolah, SD sebanyak 147.536 sekolah, SMP sebanyak 37.023 sekolah, dan
SM sebanyak 25.348 sekolah. Secara umum, dari segi kuantitas, potret pendidikan Indonesia
sudah memadai. Hal ini dapat digambarkan oleh tabel di bawah ini (dikutip dari Data Badan
Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2016 tentang potret pendidikan di Indonesia).
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Sekolah dan Peserta Didik Menurut Jenjang Pendidikan,
Tahun Ajaran 2014/2015-2015/2016.

Jenjang
Pendidika
n
(1)
PAUD
SD
SMP
SM

2014/201
5
(2)
79.368
147.513
36.518
24.934

Sekolah
2015/201 Pertumbuha
6
n (%)
(3)
(4)
85.499
7,72
147.536
0,02
37.023
1,38
25.348
1,66

2014/201
5 (000)
(5)
4 358,2
26 132,1
9 930,6
8 443,8

Peserta Didik
2015/201 Pertumbuha
6 (000)
n (%)
(6)
(7)
4 495,4
3,15
25 885,1
-0,95
10 040,3
1,10
8 647,4
2,41

Sumber: BPS Indonesia tahun 2016.
Kompetensi guru belum memadai Pada tahun ajaran 2015/2016, persentase seluruh
guru yang memiliki ijazah S1 atau lebih sebesar 84,86 persen. Artinya, masih terdapat
sebanyak 15,14 persen guru yang belum memiliki ijazah S1. Oleh karena itu, peningkatan
kualitas guru juga harus menjadi prioritas perbaikan pendidikan. Dalam data [ CITATION
BPS \l 1033 ], ketersediaan guru dan kelas sudah mencukupi kebutuhan. Namun, di sisi lain,
dikatakan bahwa kualitas guru masih harus ditingkatkan. Jika dilihat dari tahun 2013 sampai
dengan tahun 2016, persentase guru yang sudah memiliki ijasah S1 di tahun 2013 sebanyak
85,06 %, tahun 2014 sebanyak 83,22 % dan di tahun 2015 dan 2016 sebanyak 84,86 %.
Artinya, masih terdapat sebanyak 15, 14 % guru yang belum memiliki ijazah S1. Berdasarkan
data Kemdikbud pada tahun ajaran 2015/2016, masih terdapat guru yang belum memnuhi
kualifikasi akademik (under-qualified) terutama pada jenjang pendidikan dasar [ CITATION
BPS \p 17 \l 1033 ].
Beberapa capaian pendidikan sudah memenuhi target yang tertera dalam Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Rata-rata lama
sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas adalah sebesar 8,35 tahun. Angka tersebut sedikit
lebih besar dari target yang ditetapkan dalam Renstra, yakni 8,3 pada tahun 2016. Angka
Melek Huruf (AMH) penduduk umur 15-59 tahun sebesar 97,93 persen juga sudah mencapai
target Kemdikbud yaitu 97 persen pada tahun 2016. Akan tetapi, AMH penduduk umur 15
tahun ke atas masih di bawah target yang diharapkan. Berdasarkan Susenas tahun 2016,
penduduk umur 15 tahun ke atas yang bisa baca tulis sebesar 95,38 persen, sedangkan target
dalam Renstra sebesar 96,43 persen. Tingkat pendidikan yang ditamatkan merupakan salah
satu ukuran kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), semakin banyak penduduk yang
berpendidikan tinggi menunjukkan keadaan kualitas penduduk yang semakin baik. Secara
umum, tingkat pendidikan penduduk Indonesia mencapai pendidikan menengah. Separuh
penduduk umur 15 tahun ke atas menyelesaikan SMP/sederajat. Sedikitnya satu dari empat
penduduk tamat SM/sederajat. Kurang dari 10 persen penduduk umur 15 tahun ke atas yang
lulus perguruan tinggi.

Kesimpulan dan Saran
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan adalah salah satu aspek yang sangat penting dan strategis dalam kehidupan
manusia. Pendidikan secara signifikan dan terus menerus menjadi wadah untuk membekali
masa depan yang penuh dengan tantangan dan perubahan. Pendidikan juga dianggap sebagai
suatu investasi masa depan yang sangat baik bagi suatu negara. Dengan demikian, pendidikan
harus disusun untuk bisa mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kualitas pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan yang diinginkan
walaupun beberapa target yang ditetapkan oleh KEMDIKBUD sudah tercapai. Kurikulum
yang ada belum mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang ada. Dengan kata lain,
kurikulum belum relevan dengan kebutuhan dan tuntutan yang harus dicapai siswa dalam
menghadapi abad ke 21. Kompetensi guru juga belum sesuai dengan standar yang sudah
ditentukan. Selain itu, sarana dan prasarana pendidikan harus memadai dan merata hingga ke
pelosok negeri. Seorang guru berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup murid atau
peserta didik. Pengaruh guru tidak akan pernah diketahui kapan berakhir. Pendidikan belum
mampu menjawab banyaknya akhlak dan moral remaja yang semakin merosot.
Pemerintah harus mengerahkan lebih banyak tenaga untuk meingkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia. Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan tujuan nasional
seperti RPJPN. Selain itu, pengembangan kurikulum juga harus didasarkan pada UU nomor
20 tahun 2003. Kurikulum juga harus relevan dengan tuntutan global yaitu dengan tujuan
keempat dari SDGs tentang pendidikan. Seorang guru harus mampu menggandeng tangan,
membuka pikiran, menyentuh hati, dan membentuk masa depan peserta didiknya. Pendidikan
dan pelatihan yang diadakan harus dievaluasi kembali keefektifan dan efisiensinya. Tujuan
harus ditentukan dengan berdasarka