TEORI TEORI BELAJAR YANG RELEVAN DENGAN

TEORI-TEORI BELAJAR
YANG RELEVAN DENGAN PEMBELAJARAN AGAMA HINDU
Tugas Mata Kuliah Landasan Pembelajaran
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Prof. Dr. I Wayan Suastra, M.Pd.

Oleh: Komang Trisna Mahartini
Semester 2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
PROGRAM PASCASARJANA
STAH N MPU KUTURAN
SINGARAJA
2018

TEORI-TEORI BELAJAR
YANG RELEVAN DENGAN PEMBELAJARAN AGAMA HINDU
Banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang belajar. Melalui
pertimbangan tertentu, para ahli telah melakukan penelitian dari sudut pandang
yang berbeda. Dari perbedaan pandangan tentang belajar, dilahirkan teori-teori
belajar yang berbeda sesuai dengan sudut pandangan yang diyakini. Teori yang
dimaksud antara lain teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar

sosial, dan teori belajar humanistik. Beberapa tokoh aliran teori belajar
behavioristik antara lain (1) Thorndike, (2) Watson, (3) Clark Hull, (4) Edwin
Guthrie, dan (5) Skinner. Adapun tokoh yang menganut aliran teori belajar
kognitif, diantaranya (1) Jean Piaget, (2) Brunner, dan (3) Ausubel. Sedangkan
penganut teori belajar sosial, diantaranya (1) Albert Bandura dan (2) Lev
Vygotsky. Teori belajar humanistik dianut oleh (1) Kolb, (2) Money dan
Mumford, (3) Hebermas, serta (4) Bloom dan Krat Wohl (Marhaeni, 2013).
Berdasarkan beberapa teori belajar di atas, setelah dianalisis diketahui bahwa
semua teori belajar tersebut relevan dengan pembelajaran Agama Hindu. Hanya
saja, perlu dikaji terlebih dahulu, kesesuaian antara pembelajaran Agama Hindu
dengan teori belajar yang akan digunakan/dikembangkan. Berikut ini akan
dipaparkan relevansi teori-teori belajar di atas dengan pembelajaran Agama Hindu
secara lebih rinci.
1. Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik memandang belajar merupakan perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon.
Seseorang dapat dikatakan belajar jika mampu menunjukan perubahan tingkah
lakunya. Menurut Uno (2005) belajar merupakan perubahan tingkah laku yang
dialami siswa dengan menunjukkan perubahan dalam hal kemampuan untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai


hasil interaksi stimulus dan

respon. Sejalan dengan Uno, Budiningsih (2005) juga menyatakan bahwa yang
terpenting dalam teori ini adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan
keluaran berupa output yang berupa respon. Stimulus merupakan rangsangan yang
diberikan guru kepada siswa untuk membantu siswa dalam belajar. Sedangkan

1

yang dimaksud respon adalah tanggapan atau reaksi siswa terhadap stimulus yang
diberikan guru. Teori behavioristik menekankan pada pengukuran. Oleh karena
itu, apapun stimulus yang diberikan guru dan respon yang ditunjukan siswa
haruslah dapat diukur, karena dengan melakukan pengukuran perubahan tingkah
laku siswa dapat dilihat. Hal penting lain yang ditekankan adalah reinsforcement
atau penguatan. Penguatan mampu mengarahkan siswa untuk memperkuat
timbulnya respon dan respon yang ditunjukan pun bermacam-macam.
Beberapa tokoh penganut teori behavioristik setuju dengan teori belajar
behavioristik namun ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka. Tokohtokoh dalam aliran behavioristik sebagai berikut.
a. Teori Belajar menurut Thorndike

Thorndike sependapat bahwa belajar adalah hasil dari interaksi stimulus
dan respon. Menurut Thorndike (Budianingsih, 2005) stimulus adalah semua yang
dapat merangsang terjadinya respon seperti pikiran, perasaan atau hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon merupakan reaksi yang
ditunjukkan siswa dapat berupa pikiran, perasaan atau tindakan. Jadi perubahan
tingkah laku akibat dari kegiatan belajar tidak hanya saja bersifat konkret namun
juga bersifat tidak konkret/abstrak. Meskipun aliran behaviorisme mengutamakan
pengukuran namun ada tingkah laku yang tidak dapat diukur. Teori Thorndike
juga disebut aliran koneksionisme.
Hukum-hukum dalam teori koneksionisme menurut Abimanyu (2008)
sebagai berikut.
1) Hukum Kesiapan (Low of Readiness)
Kaitan antara stimulus dan respon mudah terbentuk jika ada kesiapan pada
diri seseorang. Hukum kesiapan meliputi:
a) Jika seseorang memiliki kesiapan merespon atau bertindak akan memberi
kepuasan dan kepuasan akan mengakibatkan tindakan lain;
b) Jika seseorang memiliki kesiapan untuk merespon, tetapi tidak dilakukan
akibatnya orang tersebut memiliki tindakan lain.
c) Jika seseorang belum memiliki kesiapan merespon, maka respon yang
diberikan menimbulkan ketidakpuasan.


2

Jadi erat kaitannya persiapan seseorang dalam belajar dengan keberhasilan
belajar. Kesiapan yang matang mempermudah seseorang untuk memahami
pembelajaran.
2) Hukum Latihan (Low of Exercise)
Hukum latihan ini meyakini bahwa hubungan stimulus dan respon akan lebih
kuat karena latihan yang dilakukan. Semakin sering suatu pelajaran diulang
maka pelajaran itu semakin dipahami, begitu pula sebaliknya hubungan
stimulus dan respon akan semakin lemah jika jarang dilakukan latihan
apalagi dihentikan.
3) Hukum Akibat (Low of Effect)
Hukum akibat ini didasarkan atas pendapat yang menyatakan bahwa suatu
tindakan yang diikuti oleh akibat yang menyenangkan akan cenderung
diulang-ulang. Akibat dari tindakan yang tidak menyenangkan cenderung
akan dihindari. Maka dari itu, untuk membentuk respon yang positif, siswa
diusahakan merasa senang misalnya dengan cara memberikan pujian atau
hadiah kepada siswa.
4) Transfer Latihan (Transfer of Training)

Teori transfer latihan merupakan teori yang mengutamakan implikasi
pembelajaran di sekolah. Apa yang pernah dipelajari siswa di sekolah harus
berguna di masa yang akan datang. Throndike berkeyakinan bahwa
pengajaran yang baik diawali dengan memahami apa yang akan diajarakan.
b. Teori Belajar menurut Watson
Tokoh aliran behavioristik yang muncul setelah Throndike adalah Watson.
Watson meyakini bahwa belajar memang hasil interaksi antara stimulus dan
respon. Tingkah laku yang terbentuk akibat hasil interaksi memang berupa
tingkah laku yang dapat diukur maupun yang tidak dapat diukur, namun bagi
Watson tingkah laku yang dapat diukurlah yang merupakan hasil interaksi
stimulus dan respon. Perubahan tingkah laku siswa yang tidak dapat diukur
memang hal yang penting, namun perubahan yang tidak dapat diamati tidak dapat
menjelaskan apakah siswa tersebut mengalami tindak belajar.

3

c. Teori Belajar menurut Clark Hull
Clark hull adalah tokoh behavioristik yang terpengaruh oleh teori Carles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Menurut Hull (dalam Uno,

2005) menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuas biologis adalah penting
dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus
dalam belajar pun selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang muncul tidak selalu sama.
d. Teori Belajar menurut Edwin Guthrie
Hubungan antara stimulus dan respon juga digunakan Guthrie dalam
menjelaskan pengertian belajar. Guthrie tidak sependapat dengan Clark dan Hull
mengenai stimulus yang selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis. Menurut
Guthrie (Uno, 2005) hubungan antar stimulus dengan respon merupakan faktor
kritis dalam belajar. Pemberian stimulus yang sering akan memperkuat respon.
Respon yang lebih kuat inilah akan menjadi suatu kebiasaan. Hal lain yang
ditekankan dalam teori ini adalah hukuman (punishment) dalam belajar. Hukuman
mampu memberikan mengubah kebiasaan seseorang jika diberikan pada saat yang
tepat.
e. Teori Belajar menurut Skinner
Pendapat Skinner mengenai belajar mampu mengungguli konsep-konsep
lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Hubungan antara stimulus
dan respon disajikan secara sederhana yaitu perubahan tingkah laku melalui
interaksi dalam lingkungannya. Stimulus yang diberikan kepada seseorang akan
saling berinteraksi dan menghasilkan respon. Respon yang dihasilkan juga

menimbulkan konsekuensi. Maka dari itu, konsekuensi yang muncul menciptakan
perilaku. Skiner juga mempercayai penguatan negatif. Penguatan negatif tidak
sama dengan hukuman. Menurut Skinner (dalam Budiningsih, 2005) perbedaan
hukuman dan penguatan negatif terletak pada bila hukuman diberikan sebagai
stimulus respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguatan negatif sebagai stimulus harus dikurangi agar respon yang
sama semakin kuat. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif,
keduanya bertujuan untuk memperkuat respon.

4

Berdasarkan paparan teori belajar behavioristik, yang secara umum
memandang belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon, dapat dikaji keterkaitan teori belajar
behavioristik dengan pembelajaran Agama Hindu. Beberapa keterkaitan teori
belajar behavioristik dengan pembelajaran Agama Hindu diketahui melalui proses
pembelajaran, di antaranya: (1) guru hendaknya paham tentang jenis stimulus
yang tepat diberikan kepada siswa; (2) guru juga mengerti tentang jenis respons
yang akan muncul pada diri siswa; dan (3) untuk mengetahui apakah respons yang
ditunjukkan siswa benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru

harus mampu menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable), dapat
diukur (measurable), dan senantiasa menjadi kebiasaan dalam bertingkah laku.
Maka,sangat diperlukan adanya semacam hadiah (reward).
2. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif mengacu pada wacana psikologi kognitif, dan
berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau
cognition dalam aktifitas belajar.

Cognition diartikan sebagai aktifitas

mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan.
Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan
pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjang (long-term
memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu
aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perhatian utama psikologi
kognitif adalah pada upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi,
mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung
berdasar skemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil
pengamatannya. Beberapa tokoh penganut aliran ini adalah Jean Piaget, Bruner,
dan Ausubel.

a. Belajar menurut pandangan Piaget
Seorang pakar biologi dari Swiss Jean Piaget menyatakan bahwa
perkembangan kognitif merupakan suatu proses di mana tujuan individu melalui
suatu rangkaian yang secara kualitatif berbeda dalam berpikir. Hal yang diperoleh
dalam satu peringkat akan merupakan dasar bagi peringkat selanjutnya. Piaget

5

memandang bahwa kognitif merupakan hasil dari pembentukan adaptasi biologis.
Perkembangan kognitif terbentuk melalui intreaksi yang konstan antara individu
dengan lingkungan melalui dua proses yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi
ialah proses penataan segala sesuatu yang ada di lingkungan, sehingga menjadi
dikenal oleh individu. Adaptasi ialah proses terjadinya penyesuaian antara
individu dengan lingkungan. Adaptasi terjadi dalam dua bentuk, yaitu asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi ialah proses menerima dan mengubah apa yang
diterima dari lingkungan agar bersesuaian dengan dirinya. Akomodasi ialah
proses individu mengubah dirinya agar bersesuaian dengan apa yang diterima dari
lingkungannya. Di samping itu, interaksi dengan lingkungan dikendalikan oleh
adanya


prinsip keseimbangan

(equilibrium) yaitu upaya individu

agar

memperoleh keadaan yang seimbang antara keadaan dirinya dengan tuntutan yang
datang dari lingkungannya.
Inteligensi merupakan dasar bagi perkembangan kognitif. Inteligensi
merupakan suatu proses berkesinambungan yang menghasilkan struktur dan
diperlukan dalam interaksi dengan lingkungan. Dari interaksi dengan lingkungan,
individu akan memperoleh pengetahuan dengan menggunakan asimilasi,
akomodasi, dan dikendalikan oleh prinsip keseimbangan. Pada masa bayi dan
kanak-kanak, pengetahuan itu bersifat subjektif, dan akan berkembang menjadi
objektif apabila sudah mencapai perkembangan remaja dan dewasa.
Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan berpikir logis dari masa
bayi hingga dewasa, yang berlangsung melalui empat peringkat, yaitu:
Peringkat sensomotorik

:0


- 1,5 tahun

Peringkat preoperasional

: 1,5 - 6 tahun

Peringkat concrete operasional

: 6

Peringkat formal operasional

: 12 tahun ke atas

- 12 tahun

Dalam peringkat sensorimotor (0 – 1,5 tahun), aktivitas kognitif berpusat
pada aspek alat indera (sensori) dan gerak (motor). Artinya, dalam peringkat ini
anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat
inderanya dan pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan
kognitif selanjutnya. Aktivitas

sensori motor terbentuk melalui proses

penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
6

Dalam peringkat pre-operasional (1,5 – 6 tahun), anak telah menunjukkan
aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal di luar dirinya. Aktivitas
berpikirnya belum mempunyai sistem yang terorganisasikan. Anak sudah dapat
memahami realitas di lingkungan dengan menggunakan tanda-tanda dan simbol.
Cara berpikir anak pada peringkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten,
dan tidak logis. Cara berpikir anak pada peringkat ini ditandai dengan ciri-ciri : (a)
tranductive reasoning, yaitu cara berpikir yang bukan induktif dan deduktif tetapi
tidak logis, (b) ketidakjelasan hubungan sebab akibat, yaitu anak mengenal
hubungan sebab akibat secara tidak logis, (c) animism, yaitu menganggap bahwa
semua benda itu hidup seperti dirinya, (d) artificialism, yaitu kepercayaan bahwa
segala sesuatu di lingkungannya itu mempunyai jiwa seperti manusia, (e)
perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang ia lihat atau
dengar, (f) mental experiment, yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk
menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya, (g) centration, yaitu anak
memusatkan perhatiannya

kepada sesuatu cirri yang paling menarik dan

mengabaikan ciri yang lainnya, (h) egocentrism, artinya anak melihat dunia
lingkungannya menurut kehendak dirinya sendiri.
Dalam peringkat concrete operational (6 – 12 tahun), anak telah dapat
membuat pemikiran tentang situasi atau hal konkrit secara logis. Perkembangan
kognitif pada peringkat operasi konkret, memberikan kecakapan anak untuk
berkenaan dengan konsep-konsep klasifikasi, hubungan dan kuantitas. Konsep
kualifikasi adalah kecakapan anak untuk melihat secara logis persamaanpersamaan suatu kelompok objek dan memilihnya berdasarkan ciri-ciri yang
sama. Konsep hubungan ialah kematangan anak memahami hubungan antara
suatu perkara dengan perkara lainnya. Konsep kuantitas yaitu kesadaran anak
bahwa suatu kuantitas akan tetap sama meskipun bentuk fisiknya berubah, asalkan
tidak ditambah atau dikurangi.
Peringkat formal operational (12 tahun ke atas), perkembangan kognitif
ditandai dengan kemampuan individu untuk berpikir secara hipotesis dan berbeda
dengan fakta, memahami konsep abstrak, dan mempertimbangkan kemungkinan
cakupan yang luas dari perkara yang sempit. Perkembangan kognitif pada
peringkat ini merupakan ciri perkembangan remaja dan dewasa menuju kearah

7

proses berpikir dalam tingkat yang lebih tinggi. Peringkat berpikir ini sangat
diperlukan dalam pemecahan masalah (problem solving).
Proses pembelajaran akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
peringkat perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaknya banyak diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya, dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.
Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau
berinteraksi dengan lingkungan dan secara aktif mencari dan menemukan
berbagai hal di lingkungannya. Kurikulum hendaknya dibuat sedemikian rupa
agar tidak terpisahkan dari lingkungan sosial budaya anak.
b. Teori Belajar Bruner
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori
Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning).
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang
paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna.
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika
mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang
dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana
mereka harus mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya
sekedar menerima penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan
masalah yang mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan penemuan
(Trianto, 2007).
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika siswa menemukan suatu
aturan (konsep, teori, definisi) melalui contoh-contoh yang mewakili aturan yang
menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif untuk memahami
kebenaran. Pandangan Bruner bahwa teori belajar bersifat deskriptif sedangkan
teori pembelajaran itu bersifat preskriptif (Uno, 2005).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga
berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang.

8

Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif,
dimana individu melakukan aktivitas dalam upaya memahami lingkungannya.
Kedua, tahap ekonik, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Ketiga, tahap simbolik, dimana individu mempunyai gagasan
abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi
dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem simbol.
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak
perlu menunggu sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu.
Apabila bahan pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat
belajar meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun
asalkan materi pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang
sederhana dan sesuai dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya,
perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi
pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat
perkembangannya.
2.3 Teori Belajar Ausubel
Sebelum sampai pada pengertian belajar menurut Ausubel, terlebih dahulu
diperkenalkan empat macam belajar, yaitu belajar penerimanaan (reception
learning), belajar penemuan (discovery/inquiry learning), belajar hafalan (route
learning), dan belajar bermakna (meaningful learning). Untuk memperjelas
gambaran ke empat macam belajar dapat dilihat pada gambar berikut.
Belajar
Bermakna

Menjelaskan hubungan
antara konsep-konsep

Pengajaran audiotutorial yang baik

Penelitian ilmiah

Penyajian melalui
ceramah atau buku

Bekerja di lab
sekolah/kampus

Sebagaian besar
penelitian ilmiah

Daftar perkalian

Menerapkan rumusrumus untuk memecahkan masalah

Pemecahan dengan
coba-coba

Belajar Penerimaan

Belajar Penemuan

Belajar Mandiri

Belajar
Hafalan

Dari gambar di atas, tampak bahwa ada tiga macam belajar, dengan dua
Gambar Dua Kontinum Belajar

dimensi yang terpisah. Dimensi berhubungan dengan cara informasi (materi

9

pelajaran) itu disajikan pada pebelajar melalui penerimaan atau penemuan.
Dimensi kedua iakah menyangkut cara bagaimana pebelajar dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah faktafakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan
diingat pebelajar.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan
pada pebelajar baik dengan bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi
itu dalam bentuk final, maupun bentuk belajar penemuan yang mengharuskan
pebelajar untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh informasi itu. Dalam
tingkat kedua, pebelajar menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna.
Tetapi pebelajar itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru
itu tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada pada struktur
kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Ausubel dalam bukunya yang berjudul Educational Psychology : A
Cognitive View mengatakan bahwa :
"The most important single factor influencing learning is what the learner
already knows. Ascertain this and tech him accordingly"
Pernyataan Ausubel inilah yang menjadi inti teori belajarnya, yaitu belajar
bermakna. Jadi agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau pengetahuan baru
harus dikaitkan dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif pebelajar.
Berdasarkan paparan teori belajar kognitif dari berbagai pandangan ahli,
diketahui keterkaitan teori belajar kognitif dengan pembelajaran Agama Hindu, di
antaranya: (1) dalam mengajar Agama Hindu, guru hendaknya menggunakan
bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak; (2) anak-anak akan belajar lebih
baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu
agar anak dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya; (3) bahan
pelajaran yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing
baginya; (3) memberi peluang agar anak belajar sesuai dengan peringkat
perkembangannya; dan (4) di dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi
peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi.

10

3. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik). Teori belajar sosial (sosial learning theory)
menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang
secara kebetulan lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh
orang itu melalui perilakunya sendiri. Penganut aliran ini Albert Bandura dan Lev
Vigotsky.
a. Belajar Sosial-Kognitif menurut Pandangan Albert Bandura
Albert Bandura mengemukakan teori pembelajaran yang dikenal dengan
teori pembelajaran sosial-kognitif atau pembelajaran melalui peniruan. Teori
Bandura berdasarkan tiga asumsi, yaitu: pertama, bahwa individu melakukan
pembelajaran dengan meniru apa yang ada dilingkungannya, terutama perilakuperilaku orang lain. Perilaku orang lain yang ditiru disebut perilaku model atau
perilaku contoh. Apabila peniruan itu memperoleh penguatan, maka perilaku yang
ditiru itu akan menjadi perilaku dirinya. Proses pembelajaran menurut proses
kognitif individu dan kecakapan dalam membuat keputusan. Asumsi yang kedua,
ialah terdapat hubungan yang erat antara pelajar dengan lingkungannya.
Pembelajaran terjadi dalam keterkaitan antara tiga pihak, yaitu lingkungan,
perilaku, dan faktor-faktor pribadi. Asumsi yang ketiga, ialah bahwa hasil
pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang diwujudkan
dalam perilaku sehari-hari.
Atas dasar ketiga asumsi tersebut, maka teori pembelajaran Bandura
disebut sosial-kognitif karena proses kognitif dalam diri individu memegang
peranan dalam pembelajaran, sedangkan pembelajaran terjadi karena adanya
pengaruh lingkungan sosial. Individu akan mengamati perilaku di lingkungannya
sebagai model, kemudian ditirunya sehingga menjadi perilaku miliknya. Dengan
demikian, maka teori Bandura ini disebut teori pembelajaran melalui peniruan.
Perilaku individu terbentuk melalui peniruan terhadap perilaku di lingkungan,
pembelajaran merupakan suatu proses bagaimana membuat peniruan yang sebaikbaiknya sehingga bersesuaian dengan keadaan dirinya dan tujuannya.

11

Proses pembelajaran menurut Bandura, terjadi dalam tiga komponen
(unsur) yaitu: (1) perilaku model (contoh), (2) pengaruh perilaku model, dan (3)
proses internal pelajar. Jadi individu melakukan pembelajaran dengan proses
mengenal

perilaku

model

(perilaku

yang

akan

ditiru),

kemudian

mempertimbangkan dan memutuskan untuk meniru sehingga menjadi perilakunya
sendiri. Perilaku model ialah berbagai perilaku yang dikenal di lingkungannya.
Apabila bersesuaian dengan keadaan dirinya (minat, pengalaman, cita-cita, tujuan,
dan sebagainya) maka perilaku itu akan ditiru. Fungsi perilaku model ialah (1)
untuk memindahkan informasi ke dalam diri individu, (2) untuk memperkuat atau
memperlemah perilaku yang telah ada, (3) untuk memindahkan pola-pola perilaku
yang baru.
Model-model yang ada di lingkungan senantiasa memberikan rangsangan
kepada individu yang membuat individu memberikan tindak balas apabila terjadi
hubungan antara rangsangan dengan keadaan dirinya. Macam-macam model
boleh berasal dari ibu bapak, orang tua, orang dewasa, guru, pemimpin, teman
sebaya, anggota keluarga, anggota masyarakat, tokoh-tokoh yang berprestise
seperti penemu, pahlawan, bintang film dan sebagainya. Dalam kaitan dengan
pembelajaran, ada tiga macam model, yaitu: (1) live model, (2) symbolic model,
dan (3) verbal description model. Live model ialah model yang berasal dari
kehidupan nyata, misalnya perilaku orang tua di rumah, perilaku guru, teman
sebaya, atau perilaku yang dilihat sehari-hari di lingkungannya. Symbolic model,
ialah model-model yang berasal dari sesuatu perumpamaan, misalnya dari cerita
dalam buku, radio, TV atau dari berbagai peristiwa lainnya. Verbal description
model, ialah model yang dinyatakan dalam suatu uraian verbal (kata-kata),
misalnya petunjuk atau arahan untuk melakukan sesuatu seperti arahan
menggunakan alat, mendemonstrasikan percobaan, melakukan eksperimen dan
sebagainya.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran di kelas, guru hendaknya
merupakan tokoh perilaku bagi siswa-siswanya. Proses kognitif siswa hendaknya
memberikan dukungan bagi proses pembelajaran, dan guru membantu siswa
dalam mengembangkan perilaku pembelajaran. Guru hendaknya memperhatikan
karakteristik siswa, terutama yang berkenaan dengan perbedaan individual,

12

kesediaan, motivasi, dan proses kognitifnya. Hal lain yang harus diperhatikan
ialah kecakapan siswa dalam pembelajaran untuk belajar dan penyelesaian
masalah dalam pengajaran. Proses pembelajaran hendaknya tidak terpisah dari
lingkungan sosial, artinya apa yang dilakukan dalam pembelajaran hendaknya
memiliki keterkaitan dan padanan dengan kehidupan sosial budaya nyata siswa.
Dalam mengembangkan proses pembelajaran yang efektif, teori ini
menyarankan strategi sebagai berikut:
1.

Mengidentifikasikan model-model perilaku yang akan digunakan
dalam kelas.

2.

Mengembangkan perilaku yang memberikan nilai-nilai secara
fungsional, dan memilih perilaku-perilaku model.

3.

Mengembangkan urutan atau peringkat proses pembelajaran.

4.

Menerapkan aktivitas pembelajaran dan membimbing aktivitas
pembelajaran siswa dalam membentuk proses kognitif dan motorik.

b. Belajar Sosial-Kognitif menurut Pandangan Lev Vygotsky
Lev Vygotsky melihat pengalaman langsung siswa sebagai kunci dalam
pembelajaran. Satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa.
Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa
untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa
menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk
belajar. (Trianto, 2007)
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yaitu hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas. Menurut piaget, manusia memiliki
struktur pengetahuan dalam otaknya. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang
akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disampaikan
struktur pengetahuan dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dalam
otak manusia melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
struktrur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan
yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada
dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman

13

baru. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang
siap untuk diambil dan diingat. Menurut Vygotsky (dalam Djamarah, 2006)
pemerolehan pengetahuan seseorang berasal dari sumber-sumber sosial diluar
dirinya. Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman
berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan
pengalaman baru. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada
hakikatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan
interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky,
fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep
budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam
“zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah
jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan
perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah
di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah
memberikan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut serta memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, serta menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain
dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir
dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami
dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki
fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan
masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat
kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat
itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua

14

selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain
secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin
anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama
dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Inti dari teori Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam
pengembangan intelektual atau kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa
kognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak mengalami interaksi
dengan orang yang lebih tahu.
Secara singkat, teori perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi
sosial dengan budaya mendahului. Maksudnya dari relasi dengan budaya
membuat seorang anak mengalami kesadaran dan perkembangan kognisi. Jadi
intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik antara
individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan. Pengetahuan
terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak.
Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kurang
teridentifikasi secara jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan pengetahuan
ilmiah sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya
lebih luas, logis, dan sistematis. Kemudian proses belajar adalah sebuah
perkembangan dari pengertian spontan menuju pengertian yang lebih ilmiah.
Berdasarkan paparan teori belajar sosial dari berbagai pandangan ahli,
diketahui keterkaitan teori belajar sosial dengan pembelajaran Agama Hindu, di
antaranya: (1) diperlukan setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang
efektif dalam masing-masing zone of proximal development mereka; (2) teori
belajar sosial sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam
model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa
dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsepkonsep dan pemecahan masalah.
4. Teori Belajar Humanistik

15

Teori belajar humanistik merupakan teori yang bersifat abstrak dan lebih
mendekati bidang kajian filsafat. Teori ini lebih menekankan pada isi yang
dipelajari daripada proses pembelajaran itu sendiri. Teori ini lebih sering
memaparkan tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang
diinginkan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Pemahaman belajar yang ideal yang menjadikan teori humanistik dapat
memanfaatkan apapun asalkan tujuannya untuk memanusiakan manusia. Banyak
tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya Kolb, Honey dan Mumford,
Habermas, Bloom dan Krathwohl.
a. Teori Belajar Menurut Pandangan Kolb
Kolb memiliki pandangan yang berbeda tentang belajar. Menurut Kolb
(Uno, 2005) belajar dibagi menjadi empat tahapan yaitu pengalaman konkret,
pengamatan aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif. Tahap
paling awal dalam proses belajar adalah siswa dapat mengalami peristiwa,
merasakannya, dan mampu menceritakan peristiwa tersebut tanpa perlu
mengetahui kenapa dan bagaimana kejadian itu. Kemampuan inilah yang pertama
terjadi dalam proses belajar. Tahap kedua dalam belajar adalah semakin lama
siswa akan mampu mengamati peristiwa yang dialaminya. Siswa akan mencari
tahu dan memikirkan peristiwa tersebut. Rasa ingin tahu siswa akan makin
berkembang, dan inilah kedua yang terjadi dalam proses belajar. Pada tahap
ketiga, siswa akan mulai membuat abstaksi atau teori mengenai sesuatu yang
pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa sudah mampu membuat generalisasi
meskipun tampak berbeda. Pada tahap akhir, siswa mampu mengaplikasikan
konsep-konsep, teori dan aturan dalam situasi nyata.
b. Teori Belajar Menurut Pandangan Honey dan Mumford
Tokoh lainnya yang mengikuti aliran humanistik adalah Honey dan
Mumford yang juga membagi belajar menjadi empat golongan. Golongan yang
pertama adalah kelompok aktivis. Kelompok ini adalah orang-orang yang
memiliki kesenangan melibatkan diri dalam aktifitas untuk memperoleh
pengalaman baru. Kelompok ini cenderung kurang mempertimbangkan secara
matang karena hanya menjalankan kesenangan. Kelompok yang kedua adalah
kelompok reflektor. Kelompok ini adalah lawan dari kelompok aktivis. Dalam

16

melakukan suatu tidakan mereka lebih berhati-hati dan mempertimbangkan segala
sesuatunya. Kelompok Teoris adalah kelompok ketiga dalam kelompok belajar
menurut Honey dan Mumford. Kelompok ini cenderung bersifat kritis, suka
menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan nalar. Dan kelompok
yang terakhir adalah kelompok pragmatis. Kelompok ini memiliki sifat yang
praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori dan konsep, yang terpenting
adalah sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan serta bermanfaat jika
dipraktikan.
c. Teori Belajar Menurut Pandangan Habermas
Habermas dalam pandangannya menyatakan bahwa belajar sangat
dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungannya maupun dengan sesama
manusia. Maka dari itu, Habermas membagi belajar menjadi tiga yaitu belajar
teknis, belajar praktis, dan belajar emansipatoris. Yang dimaksud dengan belajar
teknis adalah belajar dengan mengaitkan lingkungan alam secara tepat. Belajar
teknis menekankan pada menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitar
dengan baik. Sedangkan belajar praktis adalah belajar dengan cara berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya. Dalam tahap belajar ini siswa menciptakan
hubungan yang baik dengan sesamanya. Yang terakhir adalah belajar
emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan pada upaya seseorang dalam
mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadi perubahan dan
transformasi budaya dengan lingkungan sosialnya.
d. Teori Belajar Menurut Pandangan Bloom dan Krat Wohl
Benjamin S. Bloom dalam teorinya yang dijelaskan oleh Arikunto (2009)
dikatakan bahwa tujuan belajar dirangkum dalam tiga ranah yang dikenal dengan
sebutan taksonomi Bloom. Melalui taksonomi ini, banyak pakar pendidikan
mengembangkan teori maupun praktek pembelajaran. Tiga kawasan yang
dimaksud adalah (1) domain kognitif, yang berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, tingkatannya adalah pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) domain afektif yang berisi perilakuperilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, tingkatannya adalah
pengenalan, merespon, penghargaan, pengorganisasian, pengamalan dan; (3)
domain psikomotor yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek

17

keterampilan motorik, tingkatannya adalah peniruan, penggunaan, ketepatan,
perangkaian dan naturalisasi.
Teori belajar humanistik merupakan konsep belajar yang lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia
untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan
mengembangkan kemampuan tersebut. Teori humanisme ini cocok untuk
diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
Maka dari itu, teori belajar humanistic ini sangat relevan digunakan untuk
pembelajaran Agama Hindu.

18

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Abimanyu, S, dkk. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Budiningsih, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Marhaeni, A.A.I.N. 2013. Landasan dan Inovasi Pembelajaran. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
prestasi pustaka publisher.
Uno, H. B. 2010. Perencanaan Pembelajaran. Cetakan ke-enam. Jakarta: Bumi
Aksara.

19