28312465 STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI DI RANCAEKEK KABUPATEN BANDUNG

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Dalam memasuki Pembangunan nasional saat ini, semakin terasa bahwa aspek manusia

sebagai sumber daya pembangunan sangat vital eksistensinya dan merupakan ª kunc

i ª untuk berhasil tidaknya pembangunan tersebut. Masyarakat Indonesia saat ini menghadapi tiga tantangan utama, yaitu tantangan k ependudukan, tantangan lingkungan, dan tantangan pembangunan. Dapat dikatakan pu la bahwa untuk mampu menjawab ketiga tantangan tersebut, maka kunci jawabannya t erletak pada keperluan meningkatkan kualitas, sebagaimana dikemukakan didalam tu juan pembangunan nasional. Kualitas manusia Indonesia perlu dikembangkan demi ªsurvival ª bangsa Indonesia sendiri yang sedang menghadapi pertambahan penduduk yang besar di atas wilayah t anah air Indonesia yang terbatas sumber daya alamnya ( Emil Salim 1993:29 ) Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia perlu melihat aspek-aspek ª inte rn ª dan ª ekstern ª yang ada pada diri manusia. Menurut Munandar ( 1981:9), asp ek intern yang perlu didorong dan dikembangkan adalah motivasi serta semangat ku at untuk berusaha mengubah hambatan-hambatan yang ada didalam dirinya dan masyar akatnya menjadi kekuatan-kekuatan pembaharuan dan perubahan kehidupan masyarakat

menjadi individu dan masyarakat yang maju dan modern, aspek ekstern yang memba ntu dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatkan pemerata an memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam arti luas.

Bagi Indonesia, meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan tant angan yang berat. Menurut Sansus Nasional 1990 ternyata bahwa penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin berjumlah sekitar 27,2 juta jiwa, yang berarti sekita r 15 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, ternyata bah wa sekitar 65 persen berada di pedesaan. Saat ini, jumlah penduduk miskin terseb ut semakin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk dan krisi ekonomi nasi onal yang tak kunjung selesai.

Kemiskinan di pedesaan paling tidak, disebabkan oleh faktor-faktor : per tumbuhan ekonomi yang lamban, stagnasi produktivitas tenaga kerja, tingkat semi pengangguran yang tinggi, tingkat pendidikan formal yang rendah, fertilitas ling kungan ( Burki, 1990: 1-17).

Situasi kemiskinan di pedesaan mendorong penduduk pedesaan tersebut untu k bergeser ke kota sebagai ª urban poor ª. Pada umumnya mereka ini terjun dibida ng ª Self Employed ª atau sering disebut dengan sektor informal, mengingat merek

a juga mempunyai bobot pendidikan dan keterampilan yang rendah dan tidak memadai . Salah satu orang atau kelompok masyarakat yang dikategorikan sektor info rmal dalam statusnya sebagai ª urban poorº adalah para pemungut sampah atau dike nal dengan sebutan ª Pemulung ª.

Pemulung adalah orang-orang yang melakukan kerja memungut mencari baran

g rongsokan di tempat-tempat seperti bak sampah, rumah-rumah penduduk, jalan-jal an, sungai, daerah pertokoan, daerah industri, dan tempat pembuangan sampah akhi r ( Ade Emka, 1981 : 3 ). Perkiraan Bank Dunia tentang jumlah Pemulung di Kota B andung sekitar 1-2 persen dari jumlah penduduk Bandung atau sebanyak 14.000-28. 000 orang ( Listianto, 1982:2). Saat ini, kalau kita perhatikan, ternyata semaki n banyak saja jumlah pemulung tersebut.

Realitas menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan Pemulung dalam kondisi te rjepit. Selain mereka bergelut dengan lingkaran kemiskinan yang dihadapi dalam kehidupannya, juga eksistensi dirinya dan pekerjaannya seringkali dihadapkan pad Realitas menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan Pemulung dalam kondisi te rjepit. Selain mereka bergelut dengan lingkaran kemiskinan yang dihadapi dalam kehidupannya, juga eksistensi dirinya dan pekerjaannya seringkali dihadapkan pad

Pemulung oleh pemerintah dianggap sebagai perusak martabat daerah ( re gional dignity ), sehingga untuk kepentingan tersebut mereka memberlakukan kebij aksanaan usaha-usaha pembersihan pemulung, dengan jalan mengoperasikan Ketertiba n Umum(TIBUM). Kebijaksanaan tersebut telah memakan waktu dan biaya yang tidak s edikit, namun ternyata pemerintah belum berhasil menghilangkannya ( Mawardi, 198

3 : 1 ). Ditinjau dari aspek ekonomi, Pemulung tergolong ª urban poor ª yang dip erkirakan mempunyai penghasilan antara Rp.3500,- sampai 8.500,- per hari. Posisi mereka selalu dalam keadaan lemah karena nilai tambah yang mereka peroleh sanga t tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Berdasarkan kenyataan di atas, sudah sejak tahun 1980-an beberapa Lembag

a Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM), seperti Lembaga Studi Pembangunan (LSP) yang bekerjasama dengan informal Sector Projexct (LSP), turun tangan untuk meng atasi masalah tersebut dengan cara mengorganisir mereka dalam suatu organisasi u saha tukang sampah atau Pemulung.

Untuk mengatasi persoalan pemulung tersebut, LSP dan ISP mengorganisir Pemulung dalam sebuah struktur dan fungsi masyarakat baru yang berbentuk Koperas

i Serba Usaha Daur Ulang. Kegiatan mereka didasarkan pada proses perubahan dan p ertumbuhan masyarakat atas kekuatan sendiri atau menggali potensi yang dimiliki oleh Pemulung itu sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, LSP dan ISP menetapkan s yarat yang memungkinkan bagi pemulung itu sendiri membangun dirinya dari, oleh d an untuk Pemulung itu sendiri. Dalam upaya ini bagaimana agar mekanisme system k emasyarakatannya berfungsi seperti berfungsinya mekanisme system pada masyarakat

lainnya yang sudah baik. Mengingat Pemulung adalah termasuk sector informal, maka adanya struktur dan fungsi baru masyarakatnya akan memungkinkan para Pemulung dapat mengadakan perubahan serta pertumbuhan hidupnya secara swadaya. Pendekatan system yang di lakukan oleh LSP-ISP dalam pengorganisasian ma syarakat Pemulung adalah menciptakan sebuah koperasi, sebagaimana telah dikemuka kan di atas, membentuk koperasi dalam usaha-usaha pengorganisasian masyarakat pe mulung merupakan strategi yang tepat, karena bentuk dan sifat sebuah koperasi da pat menampilkan struktur dan fungsi suatu organisasi masyarakat serta juga karen

a wataknya yang merupakan gerakan ekonomi untuk mengentaskan rakyat dari belengg u kemiskinan ( Mawardi , 1985 ). Namun demikian, nampaknya apa yang dilakukan oleh LSP-ISP tersebut saat ini tidak dilakukan lagi. Padahal jika dilihat dari hasil yang diperoleh, menunj ukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh LSP-ISP dapat meningkatkan mar tabat pemulung, baik dari sisi sosial maupun ekonomi.

Bertolak dari permasalahan yang telah dikemukakan, kajian ini berupaya m engembangkan lebih jauh tentang upaya-upaya memberdayakan ªpemulungº agar martab at mereka meningkat, terutama dari aspek sosial dan ekonomi.

1.2. Fokus Penelitian Studi ini akan mengungkap argumentasi-argumentasi atau motivasi yang mendorong s ubjek penelitian menjadi pemulung. Oleh karena itu, akan terkait dengan aspek: ª Bagaimana Pemulung mempertahankan hidupnya, serta berupaya untuk ªmenjagaº kehor matan dirinya untuk tidak menjadi pengemis?º

1.3. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan:

1. Mengapa seseorang itu mau menjadi pemulung?

2. Bagaimana pemulung itu bekerja dan memaknai pekerjaannya?

3. Mengapa pemulung bertahan dengan pekerjaannya, mengapa mereka tidak jadi pengemis?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh penjelasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi seseor ang menjadi pemulung.

2. Memperoleh penjelasan tentang cara kerja pemulung dan pemaknaan mereka t erhadap pekerjaannya.

3. Memperoleh penjelasan tentang cara-cara yang digunakan pemulung dalam me mpertahankan pekerjaannya, serta prinsip-prinsip yang dipegang untuk tidak menja di pengemis.

1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teori maupun p raktis.

1 Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan i lmu pengetahuan tentang fenomena pemulung dengan berbagai aspek yang melatarbela kangi dan makna yang terkandung dalam setiap aspek yang berkaitan dengan aktivit as yang dilakukan pemulung. Dengan pemahaman ini diharapkan dapat menanggulangi berbagai permasalahan yang ada didalam masyarakat, seperti pemulung, sehingga pe mbangunan masyarakat madani dapat direalisasikan.

2 Secara praktis hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan alternatif soluasi kepada institusi-institusi yang menyelenggarakan aktivitas pe mberdayaan masyarakat, seperti Departemen Sosial, LSM-LSM, serta siapapun yang p erduli terhadap sesama manusia.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ªFundamental science is phenomenological science. Phenomenological science is sc ience understood as phenomenologyº (Peter Wiberg, 2002).

2.1. Konsep Fenomenologi Berdasarkan etimologi, istilah `fenomenologi' menunjukkan bahwa istilah ini ber asal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu phenomenon, dan logos. Istilah phenomeno n dari sudut bahasa bisa diartikan sebagai ªpenampilanº , yakni penampilan sesu atu yang ªmenampilkan diriº.

Istilah fenomenologi telah terbentuk pada pertengahan abad ke -19, dan k emudian digunakan dalam sejarah filsafat dengan arti yang berbeda-beda. Kant, He gel (yang menulis buku Phenomenology of Mind tahun 1807), Mach, Brentano, dan St umpf memahami sendiri-sendiri tentang fenomenologi.

Edmund Husserl menggunakan istilah fenomenologi pada permulaan abad ke-

20. Fenomenologi menurut Husserl merupakan ilmu pengetahuan tentang fenomena, t entang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri da lam kesadaran manusia. Menurut Standard Encyclopedia of Philosophy (2003), fenom enologi adalah studi tentang struktur kesadaran sebagai pengalaman dari pandanga n seseorang dalam melihat sesuatu. Struktur pusat dari pengalaman adalah intensi 20. Fenomenologi menurut Husserl merupakan ilmu pengetahuan tentang fenomena, t entang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri da lam kesadaran manusia. Menurut Standard Encyclopedia of Philosophy (2003), fenom enologi adalah studi tentang struktur kesadaran sebagai pengalaman dari pandanga n seseorang dalam melihat sesuatu. Struktur pusat dari pengalaman adalah intensi

Fenomenologi sebagai disiplin ilmu, merupakan satu kesatuan yang utuh de ngan disiplin kunci yang lain dalam filsafat, seperti ontologi, epistemologi, lo gika, dan etika. Fenomenologi telah diterapkan dalam berbagai bentuk selama bera bad-abad, namun baru eksis dalam abad ke 20, melalui Husserl, Heidegger, sartre,

Merleau-Ponty dan yang lainnya. Isyu-isyu fenomenologi seperti intensionalitas , kesadaran, esensi kualitas, dan perspektif pertama seseorang telah menjadi te rkenal dalam filsafat pikiran (philosophy of mind) dewasa ini.

Secara umum, pandangan fenomenologi dapat dilihat dari dua posisi, yaitu pertama, pandangan fenomenologi merupakan reaksi terhadap dominasi postivisme, dan kedua, merupakan kritik terhadap pemikiran kritisisme Imannuel kant, terutam

a yang berkaitan dengan konsep fenomenon-numenon (Muslih, 2004). Konsepsi Kant tentang proses pengetahuan manusia adalah suatu proses sin tesa apa yang disebutnya apriori dan aposteriori. Apriori mengungkapkan aktivita s rasio yang dinamis dalam membangun dan berfungsi sebagai bentuk pengetahuan. A posteriori merupakan cerapan pengalaman yang berfungsi sebagai `isi' pengetahua n, yang terdiri dari fenomena objek. Karena rasio bersifat aktif dalam mengkonst ruksi fenomena menjadi pengetahuan sesuai dengan kategori-kategori rasio, maka p engetahuan manusia tidak mungkin menjangkau noumena. (Ibid, 2004). Oleh karena i tu, Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam ke sadaran, adapun nuomena adalah realitas ( das ding an sich) yang berbeda diluar kesadaran pengamat. Manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak d alam kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar yang kita kenal. Noumena akan selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai ªxº yang tidak dapat dik enal karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam kesad aran kita ketika berhadapan dengan realitas (noumena) itulah yang kita kenal.

Dalam menanggapi konsepsi Immanuel Kant, Huserl mengenalkan beberapa kon sepsi, yaitu prinsip Epoche dan Eidetic Vision. Menurut Husserl, tugas utama fen omenologi adalah menjalin keterkaitan manusia dan realitas. Realitas bukan sesua tu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mew ujudkan diri. ªSifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusiaº ungkap Martin Heideger. Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang na mpak dalam kesadaran manusia dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanp

a memasukan kategori pikiran manusia padanya. Fenomena bagi Husserl adalah reali tas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran manusia cair dengan realitas. Tuju an fenomenologi menurut Husserl adalah mencari yang esensial atau eidos dari apa

yang disebut fenomena. Kata ªepocheº berasal dari bahasa Yunani, yang berarti ªmenunda putusanº atau ªmengosongkan diri dari keyakinan tertentuº. Epoche bisa juga berarti tand

a kurung terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang ta mpil tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Menurut Husserl, e poche merupakan thesis of the natural stand-point, dalam arti bahwa fenomena yan

g tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupo sisi pengamat. Metode epoche merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fen omena dengan menunda putusan terlebih dahulu. Langkah kedua, yaitu eidetic visio n atau membuat ide. Eidetic vision disebut juga ªreduksiº, yakni menyaring fenom ena untuk sampai ke eidos-nya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya (wesen) . Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenchau, artinya sampai pada hakikatny

a. Dengan demikian, fenomenologi berusaha untuk mengungkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (veils itself). Konsep lain yang dikemukakan oleh Husserl adalah Lebenswelt (dunia kehid upan). Lebenswelt adalah ªdunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitas nya, sebagai basis tindakan komunikasi antarsubjek. Dunia kehidupan merupakan un a. Dengan demikian, fenomenologi berusaha untuk mengungkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (veils itself). Konsep lain yang dikemukakan oleh Husserl adalah Lebenswelt (dunia kehid upan). Lebenswelt adalah ªdunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitas nya, sebagai basis tindakan komunikasi antarsubjek. Dunia kehidupan merupakan un

kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Selain itu, penafsiran-penafsi ran tersebut juga diwarnai oleh kepentingan-kepentingan manusia, situasi kehidup an dan kebiasaan-kebiasaan manusia tersebut.

Manusia telah melupakan dunia ap

a adanya, yaitu dunia kehidupan, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Fe nomenologi berupaya untuk ªmenemukan kembaliº dunia- kehidupan tersebut.

2.2. Sekilas Akar sejarah Fenomenologi Dalam sejarah filsafat, fenomenologi dapat mengandung tiga pengertian, pertama mengacu pada G.W.F Hegel tahun 1807, kedua Edmund Husserl tahun 1920, dan keti

ga Martin Heidegger tahun 1927. Bagi Hegel, fenomenologi adalah pendekatan dalam filsafat yang diawali d engan penggalian fenomena dalam arti memahami secara utuh segala sesuatu dibalik fenomena, seperti logika, ontologi, dan spritiual metafisika. Pendekatan ini di sebut juga dengan fenomenologi dialektik (dialectical phenomenology). Edmund Husserl memaknai fenomenologi sebagai pendekatan filsafat yang me mberikan pengalaman intuitif tentang fenomena sebagai titik awal dan mencoba mem buat pemadatan tentang esensi masa depan pengalaman dan esensi apa itu pengalam an. Pendekatan Husserl disebut juga dengan fenomenologi transendental (trancende ntal phenomenology ). Pandangan-pandangan Husserl berasal dari Brentano, kemudia n dikembangkan lebih jauh oleh para filosofi selanjutnya, seperti Maurice Merlea u-Ponty, Max Scheler, Hannah Arendt, Dietrich von Hildebrand dan Emmanuel Levina s.

Bagi Martin Heidegger, fenomenologi merupakan pandangan tentang keberada an dunia yang dibedah melalui penangkapan yang ada dibelakang semua yang ada, ha l ini, misalnya seperti dalam pengantar ontologi, yang mengkritisi metafisika. P endekatannya disebut fenomenologi eksistensial (Existential phenomenology).

Pertentangan fenomenologi antara Husserl dan Heidegger mempengaruhi perk embangan fenomenologi eksistensial dan paham eksistensial (existentialism) di Pe rancis, yang ditunjukkan hasil kerjanya Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir ; fenomenologi Munich ( Johannes Daubert, Adolf Reinach, Alexander Pfander di je rman, dan Alfred Schutz di Austria); dan Paul Ricoeur. Apa yang dikemukakan Huss erl dan Heidegger juga merupakan aspek yang sangat penting bagi Jacques Derrida dan Bernard Stiegler.

Secara kronologis, istilah fenomenologi telah digunakan sebelum dipopule rkan oleh Husserl. Pada awalnya, Fredrich Christoph Oetinger (1702 - 1782) seora ng jerman yang mendukung gerakan gereja Luther, dalam studi yang dilakukannya te ntang ª sistem peramalan untuk hubungan (divine system of relations). Selanjutn Secara kronologis, istilah fenomenologi telah digunakan sebelum dipopule rkan oleh Husserl. Pada awalnya, Fredrich Christoph Oetinger (1702 - 1782) seora ng jerman yang mendukung gerakan gereja Luther, dalam studi yang dilakukannya te ntang ª sistem peramalan untuk hubungan (divine system of relations). Selanjutn

Istilah fenomenologi, kemudian diungkapkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-1777) seorang ahli matematika, fisika dan filosof, dalam teorinya Gejala yang mendasari pengetahuan empiris. Immnauel Kant (1724-1804) dalam ªCritique of

Pure Reasonº membedakan antara objek sebagai fenomena (objek sebagai bentuk dan dipahami oleh sensitifitas dan yang dipahami manusia) dan objek sebagai sesuatu

- dalam dirinya sendiri (things-in-themselves) atau Noumena, yang tidak nampak k epada kita dalam ruang dan waktu dan tentang kita dapat membuat tidak ada keputu san yang resmi. Georg Hegel (1770-1831) menentang doktrin Kant tentang ketidakta huan sesuatu dalam dirinya, serta mendeklarasikan bahwa fenomena yang diketahui akan lebih sepenuhnya dipahami yang ditangkap manusia secara gradual, melalui ke sadaran tentang kebenaran absolut keagamaan dan sipritual. Tulisan Hegel ªPhenom enology of Spiritº diterbitkan tahun 1807. Tulisan tersebut diacu oleh Soren Kie rkegaard, Martin Hiedegger dan Jean Paul Sartre, yang berpaham eksitensial.

Franz Brentano (1838-1917) menggunakan istilah fenomenologi dalam bebera pa perkuliahannya di Vienna. Ia menganut pemikiran Edmund Husserl, dan mempengar uhi pandangannya tentang intensionalitas. Carl Stumpf (1848-1936) menggunakan is tilah fenomenologi untuk ontologi tentang isi pensensoran. Edmund Husserl (1859 - 1938) mendefinisikan kembali fenomenologi untuk yang pertama kali dalam psiko logi deskriptif yang kemudian epistemologis, dasar dalam memahami studi esensi. Ia dikenal sebagai ªBapakº fenomenologiº.

Max Scheler (1874-1928) mengembangkan lebih jauh metode fenomenologis Hu sserl dan dikembangkan dalam mereduksi metode ilmu pengetahuan. Pemikiran Schel er mempengaruhi Pope John Paul II dan Edith Stein. Selanjutnya Martin Heidegger

(1889 -1976) mengkritisi teori fenomenologi Husserl, sebagaimana ia usahakan da lam mengembangkan teori ontologi yang membawa ia pada teorinya tenang Dasein, ya itu ªthe-non-dualistic human beingº.

Alfred Schultz (1899 - 1959) mengembangkan fenomenologi tentang dunia so sial yang didasarkan pada pengalaman sehari-hari, yang mempengaruhi para sosiolo

g utama, seperti Harold Garfinkel, Peter Berger dan Thomas Luckmann. Schultz ªmenyuling ª pemikiran-pemikiran Husserl yang dipadatkan dalam t ulisannya tentang sosiologi melalui pendekatan yang relevan. Ia mengelompokkan t entang penjelasan kenapa pemaknaan subjektif mendorong munculnya objektivitas du nia sosial secara jelas.

Alfred Schutz bermigrasi ke Amerika Serikat pada awal perang Dunia II, d imana pada saat itu fenomenologi cenderung mulai dikaji secara akademik. Ia berh asil mentransmisikan pendekatannya dan dikembangkan dalam sosiologi interpretif.

Dua aspek yang menonjol dalam pendekatan ini adalah ªreality constructionismº d an ªethnomethodologyº. Konstruksionisme realitas di sintesis Schutz yang didest ilasi dari fenomenologi dan kumpulan pemikiran sosiologi klasik yang diperhitung kan untuk realitas sosial yang mungkin. Etnometodologi mengintegrasikan Personi an yang dihubungkan dengan aturan-aturan sosial kedalam fenomenologi dan menguji nya melalui aktor yang membuat kehidupan biasa memungkinkan untuk dikonstruksi. Konstruksionalisme realitas dan etnometodologi diakui sebagai orientasi yang pal ing jernih dalam lapangan sosiologi.

2.3. Teori tentang Fenomenologi Schutz, menjelaskan bahwa segala tindakan manusia berlangsung dalam dunia-kehid upan sosial yang mendahului segala penafsiran individu. Dunia-kehidupan sosial y ang bersifat pra-teoritis dan pra-ilmiah kata Schutz, bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis menurut struktur yang ditetap kan oleh masyarakat, namun terbangun sebagai ªhasilº dari interaksi sosio-kutura l masyarakat itu sendiri. Menurut Schutz, objek ilmu sosial itu meliputi segala sesuatu yang termasuk ke dalam dunia-kehidupan, yaitu segala bentuk objek-objek simbolis yang dihasilkan dalam percakapan dan tindakan, mulai dari ungkapan-ungk 2.3. Teori tentang Fenomenologi Schutz, menjelaskan bahwa segala tindakan manusia berlangsung dalam dunia-kehid upan sosial yang mendahului segala penafsiran individu. Dunia-kehidupan sosial y ang bersifat pra-teoritis dan pra-ilmiah kata Schutz, bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis menurut struktur yang ditetap kan oleh masyarakat, namun terbangun sebagai ªhasilº dari interaksi sosio-kutura l masyarakat itu sendiri. Menurut Schutz, objek ilmu sosial itu meliputi segala sesuatu yang termasuk ke dalam dunia-kehidupan, yaitu segala bentuk objek-objek simbolis yang dihasilkan dalam percakapan dan tindakan, mulai dari ungkapan-ungk

Lebih jauh Schutz menjelaskan bahwa wilayah operasi fenomenologi adalah dunia-kehidupan sosial, yang dijumpai oleh subjek (peneliti) sebagai objek-objek yang belum terstruktur secara simbolik. Objek demikian merupakan pengetahuan pr a-teoretis yang dihasilkan para pelaku yang bertindak maupun berbicara (aktor). Jadi, objek fenomenologi itu adalah pengalaman pra-ilmiah sehari-hari dari subje k-subjek yang bertindak dan berbicara dalam suatu dunia sosial. Para pelaku dala m dunia-kehidupan tersebut menurut Schultz, bukan berbicara dengan silogisme dan

bukan bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, melainkan berbicara dalam l anguage game, yang melibatkan aspek-aspek kognitif, emotif, dan volisional manus ia, dalam kondisi manusiawi yang wajar.

Lebenswelt, menurut Schutz, tak dapat diketahui begitu saja melalui obse rvasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (vers tehen). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia-sosial adalah makna, bukan suatu ka usalitas yang kaku. Dalam fenomenologi, tujuan peneliti mendekati wilayah observ asinya adalah untuk memahami makna (sinnverstehen). Dalam konteks ini, peneliti tidak lebih tahu dari para pelaku dalam dunia sosial (aktor). Dengan cara terten tu, peneliti harus masuk ke dalam dunia-kehidupan yang unsur-unsurnya ingin dij elaskan. Untuk dapat menjelaskannya, ia harus memahaminya. Untuk memahami unsur- unsur tersebut peneliti harus berpartisipasi dalam proses yang menghasilkan duni a-kehidupan itu. Dengan berpartisipasi, berarti ia telah masuk ke dalam dunia-ke hidupan.

Kontribusi dan tugas fenomenologi adalah mendeskripsikan sejarah dunia-k ehidupan, untuk menemukan ªendapan maknaº yang merekonstruksi kenyataan sehari-h ari. Oleh karena itu, walaupun pemahaman terhadap makna dilihat dari sudut inten sionalitas individu, namun akurasi kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek int ersubjektivitas, yakni sejauhmana ªendapan maknaº yang ditemukan itu benar-benar

direkonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terl ibat dan menghayati. Intinya, dalam fenomenologi, unsur subjek dilihat sebagai b agian yang tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan, sekal igus mendapatkan dukungan metodologisnya (Muslih, 2004)

Yang menjadi tugas pokok dalam fenomenologi sosial adalah bagaimana men demonstrasikan interaksi timbal balik antara proses tindakan manusia, strukurisa si situasi, dan konstruksi realitas. Berdasarkan hal itu, kemudian memberikan is

i pada berbagai aspek yang bersifat faktor sebab akibat. Fenomenologi memandang semua dimensi sebagai pembentukan bagi semua hal. Ahli fenomenologi menggunakan istilah ªreflexitivityº untuk karakteristik cara-cara dimana dimensi unsur-unsu r pokok menjembatani antara hal-hal yang mendasar dan konsekuensi semua kegiata n manusia. Tugas fenomenologi, adalah membuktikan secara terus menerus ketidakt eraturan atau refleksitas dari tindakan, situasi, dan realitas dalam model yang

beragam tentang berada di dunia (being in the world). Fenomenologi dimulai dengan analisis tentang sikap alami (natural attitu de). Hal ini dipahami sebagai cara individu biasa berpartisipasi secara alami di dunia, keberadaan itu terjadi begitu saja, mengasumsikannya secara objektif, se rta berusaha mengambil tindakan-tindakan itu sebagai predeterminan. Bahasa, kebu dayaan, dan pendapat umum merupakan pengalaman dalam sikap alami sebagai bagian dari dunia ekternal yang dipelajari melalui aktor-aktor dalam lapangan kehidupan

mereka. Manusia membuka pengalaman sosial yang dipolakan dan berusaha keras mema hami keterlibatan yang berarti dalam dunia yang bisa dipahami. Mereka dicirikan oleh model tipikasi kesadaran yang cenderung mengklasifikasi data yang diamati . Dalam terminologi fenomenologi pengalaman manusia di dunia disebut dengan tif ipikasi (typifications). Anak-anak diterpa oleh suara-suara dan dibentuk pandan gannya oleh lingkungannya, termasuk badannya sendiri, orang lain, binatang, kend araan, dan lain-lain. Mereka mencoba menangkap pengkategorian identitas dan men tifikasi arti untuk masing-masing istilah dalam bentuk bentuk linguistik konvens mereka. Manusia membuka pengalaman sosial yang dipolakan dan berusaha keras mema hami keterlibatan yang berarti dalam dunia yang bisa dipahami. Mereka dicirikan oleh model tipikasi kesadaran yang cenderung mengklasifikasi data yang diamati . Dalam terminologi fenomenologi pengalaman manusia di dunia disebut dengan tif ipikasi (typifications). Anak-anak diterpa oleh suara-suara dan dibentuk pandan gannya oleh lingkungannya, termasuk badannya sendiri, orang lain, binatang, kend araan, dan lain-lain. Mereka mencoba menangkap pengkategorian identitas dan men tifikasi arti untuk masing-masing istilah dalam bentuk bentuk linguistik konvens

action ( cara mempersiapkan untuk berbuat). Tipifikasi dan cara menyiapkan, mer upakan sesuatu yang bersifat internal, cenderung untuk menyelesaikan dibawah tin gkat kesadaran penuh. Oleh karena itu, menjadi tersedimentasi (sedimented), sepe rti lapisan bebatuan. Oleh karena itu, dalam sikap yang alami, yang menjadi fond asi pengetahuan aktor tentang arti dan tindakan adalah sukar dan samar-samar ba gi aktor sendiri.

Aktor berasumsi bahwa pengetahuan itu objektif dan semua pemikiran manus ia adalah dalam batas tertentu. Masing-masing aktor berasumsi bahwa masing-masin

g aktor yang lain mengetahui bahwa apa yang diketahuinya tentang dunia ini: ªse mua mempercayai bahwa mereka berbagi common sense (pengetahuan umum)º. Bagaimana pun, masing-masing biografi orang itu bersifat unik. Hal itu masing-masing berke mbang relatif jelas untuk tipifikasi dan cara mempersiapkan untuk berbuat. Ole

h karena itu, interpretasi mungkin menyebar. Interaksi sosial sehari-hari penuh dengan cara-cara dimana aktor menciptakan perasaannya, bahwa ªcommon senseº itu dibagi-bagikan (berbagi), bahwa pengertian bersama adalah ditemukan, dan segala sesuatu itu baik-baik saja.

Fenomenologi menekankan bahwa kehidupan manusia itu ada dalam dunia inte rsubjektif, termasuk dalam memperkirakan berbagi realitas. Sementara itu, realit as tertinggi (paramount reality) adalah pengalaman yang bersifat umum, dalam ha l ini, realitas tertentu atau ªbagian yang terbatas dari pengertianº (finite pr ovinces of meaning) juga dikonstruksi dan dialami oleh kebudayaan, sosial dan pe ngelompokan keahlian yang beragam.

Bagi fenomenologi, semua kesadaran manusia itu bersifat praktis - termas uk juga segala sesuatu. Aktor menuangkan kegiatan-kegiatannya kedalam kata-kata ; tindakan mereka diarahkan untuk menerapkan tujuan-tujuannya yang didasari oleh

tipifikasi dan cara mempersiapkan untuk berbuat, kumpulan pengetahuan mereka ad

a ditangannya. Kesadaran sebagai proses intensional terdiri dari berpikir, mempe rsepsi, merasakan, mengingat, berimajinasi, dan mengantisipasi, yang diarahkan u ntuk dunia. Objek kesadaran, adalah tindakan-tindakan intensional, yang merupaka n sumber semua realitas sosial tersebut, sebaliknya, materi adalah pengetahuan u mum.

Tipifikasi mengacu pada pengetahuan umum yang diinternalisasikan; menjad

i sebuah alat dimana kesadaran individual menggunakannnya untuk menyusun dunia-k ehidupan(lifeworld), yang menyatukan wilayah kesadaran manusia dan tindakannya. Common sense membantu dalam meyakinkan aktor bahwa realitas itu, diproyeksikan

dari subjektivitas manusia sebagai realitas objektif. Ketika semua aktor diliba tkan dalam pekerjaan intensional ini, mereka melanjutkan usaha-usaha kolaboratif untuk mengabstraksi proyeksi mereka dan dengan demikian menguatkan setiap keran gka yang melengkapi alat-alat konstruksi. Interaksi sosial dipandang fenomenologi sebagai sebuah proses timbal bal ik pengkonstruksian interpretatif dimana aktor menerapkan pengetahuannya untuk k esempatan tertentu. Orang yang berinterakasi, berorientasi pada dirinya sendiri

dengan orang lain melalui penghitungan jenis-jenis arti aktor dalam tifikasi s ituasi yang diketahui mereka, melalui common sense. Skema tindakan yang disesuai kan melalui masing-masing aktor untuk memperkirakan rencana kegiatan yang lain.

Perilaku yang dihasilkan dari interseksi tindakan intensional mengindikasikan bahwa anggota kolektivitas adalah komunikasi atau koordinasi atau sesuatu yang t erjadi diantara mereka. Untuk keanggotaan tersebut, perilaku dan ucapan digunaka n sebagai ekpresi indek (indexial expressions) untuk menggambarkan situasi yang

memungkinkan masing-masing diproses melalui interaksi ketika menginterpretasika n orang lain, konteks, dan dirinya sendiri. Melalui penggunaan praktek interpret atif tertentu, anggota mengarahkan situasi untuk dirinya sendiri dalam pengertia n hal itu masuk akal, sesuai perasaan dan konsisten. Dalam percakapan mereka,

mereka memberi komentar melalui hal-hal yang tidak berhubungan secara jelas, me ngisi kesenjangan yang banyak sekali, mengabaikan ketidakkonsistenan, dan menga sumsikan makna secara keberlanjutan, dengan demikian, yang terjadi adalah memfor mulasikan alasan itu sendiri.

Selanjutnya situasi sosial diwujudkan dalam perilaku rutin yang dipolaka Selanjutnya situasi sosial diwujudkan dalam perilaku rutin yang dipolaka

f atau petunjuk aturan. Secara fenomenologis, aturan-aturan adalah indeks ekpre si untuk proses interpretatif yang diterapkan oleh anggota dalam arena interaksi mereka. Aturan-aturan ditetapkan dalam dan melalui aplikasi mereka. Mengacu pa

da pencatatan, subjek berusaha keras menggunakan aturan sebagai petunjuk yang je las. Bagaimanapun, subjek tersebut harus menggunakan semua jenis latarbelakang harapan objek untuk dikelola , menyusun ketidaktahuan antara yang khusus dan yan

g umum dibawah kondisi yang dikonteks-kan untuk interaksi, dan hal itu dikerjaka n melalui tindakan kreatif. Aturan, kebijaksanaan, hirarkhi, dan organisasi dise lesaikan melalui tindakan-tindakan interpretatif atau negosiasi para anggota m elalui usaha-usaha yang serasi untuk memformulasikan sentuhan-sentuhan pengopera sian yang sesuai dengan rasio, yaitu sistem yang dapat diperhitungkan. Pekerjaa n ini adalah struktur kerja untuk situasi lebih lanjut, yang merupakan fondasi s ensasional-umum sebagai fakta.

Fenomenologist menganalisis yang berkaitan dengan realitas sosial dan b agaimana bentuk-bentuk tertentu dari pengetahuan memberikan kontribusi kepada ke adaan tersebut. Hal ini merupakan usulan sebagai dasar argumentasi bahwa tipe-t ipe tindakan dan interaksi menjadi pembiasaan (habitualized). Melalui sedimentas

i dalam lapisan kesadaran, asal-usul manusia tentang perilaku pembiasaan adalah sukar dimengerti dan produk bersifat eksternalisasi. Sebagai pengertian-berusaha keras, manusia menciptakan penjelasan teoritis dan jastifikasi moral untuk diar ahkan pada legitimasi perilaku pembiasaan. Pengalokasian dalam konteks yang lebi

h tinggi tentang makna, perilaku menjadi objektif. Ketika penginternalisasian o leh generasi yang berhasil, perilaku diinstitusionalisasikan secara penuh serta menggunakan tekanan yang tinggi melalui kemauan individu. Secara periodik, insti tusi mungkin diperbaiki melalui respons terhadap ancaman, atau individu mungkin

menyadarinya jika mereka berpindah secara kognitif atau afektif. Suatu kenyataan bahwa orang biasa mencegah pengkonstitusian melalui legi timasi perilaku pembiasaan tersebut. Deretan mulai dari tipifikasi common sense bahasa biasa sampai dengan pengkonstruksian teologi sampai dengan filosofi yang canggih, kosmologi, dan pengkonseptualisasian ilmu pengetahuan, legitimasi terse but terdiri dari realitas puncak kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, segmentasi k ehidupan modern dengan perkembangbiakan makna-sektor generasi, menghasilkan real itas yang majemuk, beberapa diantaranya melalui kompetisi dengan masing-masin

g pendukung. Dalam dunia realitas perdagangan saat ini, konsumen, dalam berbaga

i jenjang, memilih legitimasi mereka, seperti halnya mereka memilih pekerjaan da n mengembangkan agama mereka (Berger, 1967)

2.4. Fenomenologi dalam Praktik Praktik fenomenologi adalah dengan cara mengembangkan kejadian dalam suatu kajia n sebagaimana apa yang dihasilkan pekerjaan peneliti fenomenologi melalui berba gai publikasi. Analisis fenomenologi terhadap isi budaya media massa misalnya, m enerapkan unsur-unsur melalui pendekatan untuk menghasilkan pemahaman refleksif keadaan yang saling mempengaruhi dunia-kehidupan audiens dan materi program (Wil son, 1996). Kemudian, diskursus Talk show dalam TV barangkali dijelaskan sebaga

i teks sosial yang dibiaskan oleh programer dari identitas konstruk common sense . Realisasi visual menghasilkan imajinasi naratif dimana khalayak disesatkan ked alam pemrosesan penggunaan pengalaman mereka sendiri. Dunia-kehidupan penonton d an representasi TV diaduk kedalam realitas kekuasaan yang menyediakan penonton dengan sebuah skema untuk menggambarkan orientasi personal mereka. Kemudian, pro gramer menjelaskan atas orientasi tersebut sebagai identitas materi tambahan unt uk pengembangan isi yang baru.

Fenomenologi juga mengkaji untuk memahami anak-anak tentang bagaimana di antara keluarganya berinteraksi dan praktek kehidupan sehari-hari yang dihubungk an dengan konstruksi tentang masa kecil. Hal ini mengungkapkan tentang bagaimana

tipifikasi unsur-unsur anak-anak dalam kehidupan keluarga dan pengetahuan umum hadir melalui interaksi biasa. Penetrasi dalam dunia anak-anak menunjukkan bahwa praktisi fenomenologi memandang subjek dalam pengertian dirinya sendiri, melalu

i jenjang dan pandangan anak-anak. Sejumlah investigasi menjauhkan otoritas ora ng dewasa. Kemudian mencari dan mendapatkan ªsuaraº pengalaman anak-anak tentang i jenjang dan pandangan anak-anak. Sejumlah investigasi menjauhkan otoritas ora ng dewasa. Kemudian mencari dan mendapatkan ªsuaraº pengalaman anak-anak tentang

Dalam profesi kesehatan, perawat-perawat tertentu, nampaknya secara mend alam diilhami oleh fokus fenomenologi tentang cara-cara merawat yang didasari ol

eh keketatan pentingnya pengalaman subjektif pasien. Substansi perhatian adalah pengabdian atau ketaatan pada penerapan etika untuk definisi berbagai penyakit, bagaimana bahasa dalam membentuk respons pasien terhadap sakit, dan bagaimana

definisi penyakit model paradigmatik mempengaruhi komunikasi antara profesional dan pasien. Kerja yang signifikan dalam fenomenologi tentang cacat telah didem onstrasikan bagaimana kehidupan tubuh (live body) yang dialami dalam perubahan bentuk dan bagaimana menjamin rutinitas dapat mengganggu tindakan baru berhubung an dengan cara menyiapkan sesuatu. Praktek nonkonvensional kesehatan juga menguj

i penilaian bagaimana orang yang menjadi bagian tersebut dan orientasi subjekti

f aktor secara reflektif saling berkaitan dengan lambang budaya dan diskursus te rhadap merubah diri. Selanjutnya, kerja fenomenologi menunjukkan bahwa emosi m erupakan analisis sangat baik sebagai proses interpretasi yang dapat disisipkan kedalam konteks pengalaman.

2.5. Implikasi Bagi Fenomenologi, masyarakat, realitas sosial, aturan sosial, institusi, organi sasi, situasi, interaksi dan tindakan individual adalah sebuah konstruksi yang d apat dipahami sebagai entitas ªSuprahumanº. Fenomenologi beranggapan lebih jauh

bahwa manusia merupakan agen yang kreatif (creative agents) dalam mengkonstruks

i dunia sosial (social worlds) (Ainlay, 1986). Hal ini berasal dari kesadaran ya ng semuanya dapat dimunculkan. Alternatif pekerjaan kreatif mereka adalah berka itan dengan ketidakmengertian, solipisme, dan kekacauan (chaos): dunia adalah b oneka yang membisu, dimana masing-masing saling tidak berhubungan satu sama lain , dan kehidupan bersifat tidak beraturan (Abercrombie, 1980). Hal ini merupakan mimpi buruk fenomenologi .

Fenomenologist berupaya untuk mencatat substansi yang menyesatkan dari p roduk sosial dan menghindari jebakan memperlakukan konsep sebagai objek (reifica tion). Dalam memandang fenomena sosial, dengan sikap alami (natural attitude) se bagai objek, dan tidak hanya menekankan aspek yang bersifat legitimasi, namun l ebih bersifat analisis. Dalam menginvestigasi produk-produk sosial, ditekankan p ada tindakan-tindakan manusia yang penuh arti, bagaimana produk-produk tersebut disepakati atau diartikan sebagai sikap, perilaku, keluarga, usia, kelompok etni k, klas, masyarakat, dan lain-lain (Armstrong, 1979). Produk sosial dikupas untu k menyingkap bagaimana aktor mengkonstruksi dirinya sendiri, yang menyadari bah wa diri mereka adalah aktor yang mengkonstruksi subjek mereka dan dirinya sendir i.

Fenomenologi memahami bahwa masyarakat merupakan konstruksi manusia yang mudah pecah, dengan lapisan yang tipis oleh pemikiran abstrak. Fenomenologi itu sendiri bersifat evaluatif dan netral secara politis. Secara inheren, hal ini m

empromosikan bukan hanya pekerjaan yang bersifat transformatif, melainkan juga s tabilisasi. Dalam pekerjaannya, secara konservatif cenderung praktis, proses

legitimasi mungkin didukung, dimana praktisi liberal mungkin berusaha mendapat kan kebocoran atau membuktikan ketidakbenaran legitimasi (Morris, 1975). Fenome nologi dapat digunakan untuk menyingkap dan mendukung konstruksi terbaik tentan

g manusia atau mengungkap dasar-dasar teoritis tentang penindasan dan represi (S mart, 1976). Fenomenologis bersikeras atas kebutuhan untuk pemaknaan, keterkaita n secara subjektivitas, dan peka terhadap kelompok masyarakat atau sekelompok or ang yang hidup bersama karena kepercayaan, minat yang serupa. Kebutuhan tersebut

mungkin dipenuhi melalui apa yang ada atau emansipasi realitas (Murphy, 1986). Pengaruh fenomenologi terhadap sosiologi kontemporer dapat dilihat dalam kerangka teoritis pengembangan kemanusiaan, metode riset, prosedur penilaian pe ndidikan, dan model instruksional. Pemikiran fenomenologi mempengaruhi kerja pos tmodernis, poststrukturalis, kritis, dan teori neo-fungsional (Ritzer, 1996). A nggapan seperti konstruksionalisme, situasionalisme, dan refleksifitas adalah i nti dari fenomenologi yang juga memberikan dasar-dasar untuk formulasi baru-baru mungkin dipenuhi melalui apa yang ada atau emansipasi realitas (Murphy, 1986). Pengaruh fenomenologi terhadap sosiologi kontemporer dapat dilihat dalam kerangka teoritis pengembangan kemanusiaan, metode riset, prosedur penilaian pe ndidikan, dan model instruksional. Pemikiran fenomenologi mempengaruhi kerja pos tmodernis, poststrukturalis, kritis, dan teori neo-fungsional (Ritzer, 1996). A nggapan seperti konstruksionalisme, situasionalisme, dan refleksifitas adalah i nti dari fenomenologi yang juga memberikan dasar-dasar untuk formulasi baru-baru

i sosial menolak kemungkinan untuk pemaknaan yang objektif, merupakan akar yang sangat jelas bagi fenomenologi. Prosedur ini dikenal dengan dekonstruksi (decon struction) yang secara esensial terbalik dengan proses reifikasi yang menonjol d alam fenomenologi (Dickens dan Fontana, 1994). Postmodernis berargumen bahwa pen getahuan dan realitas merepresentasikan dunia sebagai konstruktor realitas lebih

lanjut menjadi contoh dari tujuan fenomenologi berkenaan dengan refleksivitas ( Bourdieu, 1992). Dengan kata lain, fenomenologi telah digunakan untuk mengubah l ebih dari sekedar nihilistik postmodernisme dan poststrukturalisme (O'Neil, 1994 ). Neo-fungsionalisme, lebih inklusif untuk pendahulunya, dalam mendapatkan rua ng untuk fondasi mikro sosial, yang memfokuskan diri pada aktor sebagai agen kon struktif (Layder, 1997).

Fenomenologi, berkesempatan mengingat kembali dan mengidentifikasi peru bahan dalam disiplin sosiologi, seperti mempengaruhi arus penelitian, termasuk p endekatan penelitian kualitatif dalam penelitian konvensional yang secara umum m engekspresikan akomodasi tersebut (Bentz and Shapiro, 1998). Penerimaan terbesar

tentang wawancara intensif, observasi partisipatori, dan fokus group merefleksi kan kesediaan sosiologis non-fenomenologis untuk mengintegrasikan pendekatan sub jektivis kedalam kegiatan akademik mereka. Studi tentang konstruksi kesadaran se bagai metode penelitian telah menjadi luas dan lebih kuat berdiri dalam sosiolog

i dalam komunitas akademik (Aho, 1998). Fenomenologi telah membuat semacam ªmerekº dalam area kebijaksanaan pen didikan atas sejumlah jenjang pendidikan. Kesalahan dalam ujian objektif telah d ialamatkan menggunakan alat fenomenologi. Isyu tentang validitas konstruk , kait an antara observasi dan pengukuran, telah dipelajari etnografik sebagai aktivita s dikursif untuk menjernihkan praktek pekerjaan melalui riset pendidikan dalam menetapkan validitas (Cherryholmes, 1988). Test terhadap anak-anak telah mengemb angkan respek subjektivitas pemberi test. Pendidik lebih waspada terhadap kebutu han untuk memahami pembelajar sosial dan proses kognitif, untuk dibawa kedalam p erhitungan pembatasan parameter kesadaran, dan untuk mendorong refleksi kesadara n diri. Praktek instruksional yang menekankan pendekatan aliran konstruktif tela

h mendapatkan dukungan yang besar dari para profesional dan telah mengimplementa sikan secara luas manfaatnya bagi para pelajar (Marlowe dan Page, 1997).

Masa depan dampak fenomenologi akan tergantung pada gaung dengan kebutu han dan apirasi munculnya generasi ahli ilmu sosial. Pengendalian beberapa diant ara generasi yang muncul ini, memikirkan dengan seksama dengan kesabaran yang t idak terbatas dan daya tahan bahwa hal itu membutuhkan pencapaian dengan penetra si pengertian yang mendalam. Area analisis diskursus barangkali tergantung pada harapan terbesar pencapaian ini dan akan seperti menimbulkan usaha substansial.

Fenomenologi tentang emosi juga muncul menggoda para akademisi muda. Analisis r epleksif media budaya dan populer dalam hubungannya dengan identitas formasi aka n seperti menarik perhatian lebih jauh, seperti dalam studi virtualitas, cybersp ace, dan komputer simulcra. Studi tentang anak-anak, keluarga dan pendidikan aka n berkembang yang dinformasikan melalui penekanan atas konstruksi kesadaran.

Fenomenologi pada prinsipnya adalah mencari atau mengamati fenomena seba gaimana yang tampak. Ada tiga prinsip yang tercakup didalamnya, yaitu: (1) sesua tu itu berwujud, (2) sesuatu itu tampak, dan (3) karena sesuatu itu tampak denga n tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara y ang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat tanpa melakukan modifikasi. (G.

Van der Leeuw, dalam Muslih, 2004). Fenomenologi merupakan gerakan yang mencakup berbagai doktrin yang memil iki inti umum. Inti umum atau penyebut umum ini mempersatukan berbagai sistem da n pembenar bahwa suatu sistem adalah fenomenologi (Misiak dan Sexton, 2005).

Peran fenomenologi dalam filsafat dan ilmu pengetahuan masih signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan fenomenologi dalam mengatasi berbagai masa lah yang dihadapi. Misalnya berkaitan dengan pertanyaan dan pengembangan sistem nilai yang memiliki kegunaan bagi kelangsungan hidup manusia.

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk mengungkapkan fenomena dunia pemul ung berdasarkan pandangan mereka sendiri, sehingga metode yang dianggap paling s esuai adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan kualitat if. Denzin dan Lincoln (1994) mengatakan bahwa penelitian kualitatif bersifat m ulti metode dalam fokusnya. Menggunakan pendekatan naturalistik interpretif terh adap subjek yang diteliti. Hal ini berarti bahwa penelitian kualitatif mempelaja ri apapun di dalam setting alamiahnya, dengan berusaha untuk memberikan makna at au menafsirkan fenomena menurut makna yang diberikan orang kepadanya. Sementara itu, Creswell (1998) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah pro ses penelitian untuk memahami-yang didasarkan pada tradisi penelitian dengan met ode yang khas- yang meneliti masalah-masalah manusia atau masyarakat. Dalam hal

ini, peneliti berupaya untuk membangun gambaran yang kompleks dan holistik, men ganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan melakuk an penelitian dalam setting alamiah. Miles dan Huberman (1994) memberikan karakteristik penelitian kualitatif, yakni:

(1) penelitian kualitatif dilakukan dengan kontak yang intens dan/atau lama dil apangan atau situasi kehidupan. Situasi tersebut secara tipikal adalah situasi n ormal atau ªbanalº yang mencerminkan kehidupan sehari-hari individu, kelompok, m asyarakat dan organisasi; (2) peranan peneliti adalah memperoleh pandangan holis tik (sistemik, komprehensif, terpadu) mengenai konteks yang diteliti, baik dari aspek logika, susunan aturan eksplisit dan implisit; (3) peneliti berusaha menan gkap data berdasarkan persepsi ªaktor lokalº dari orang dalamº, melalui proses p erhatian yang mendalam, pengertian yang empatis (verstehen), dan dengan menanggu hkan atau ªbracketingº prakonsepsi tentang topik yang diteliti. Dengan membaca b ahan-bahan ini, peneliti dapat memisahkan tema-tema dan pernyataan tertentu yan

g dapat dikaji ulang bersama informan, tetapi yang harus dipertahankan adalah da lam bentuknya yang awal selama penelitian; (4) tugas utama peneliti adalah menje laskan bagaimana orang dalam setting tertentu memahami, menjelaskan, bertindak, dan menghadapi situasi keseharian mereka; (5) ada berbagai interpretasi tentang bahan, namun interpretasi yang paling urgen adalah berdasarkan alasan teoretis a tau konsistensi internal; (6) dalam penelitian kualitatif, peneliti b/ merupakan

instrumen utama; (7) kebanyakan analisis dilakukan dengan kata-kata. Kata-kata tersebut dikumpulkan, diklasifikasi, dipecah-pecah ke dalam segmen semiotik. Kat a-kata diorganisasikan agar peneliti mampu mengkontraskan, membandingkan, mengan alisis, serta menetapkan pola-pola padanya. Menurut Creswell (1998), dalam penelitian kualitatif, peneliti harus bersedia un tuk: (a) menghabiskan waktu seluas-luasnya dilapangan, menjalin hubungan baik de ngan partisipan, serta memperoleh perspektif ªorang dalamº; (b) terlibat dalam p roses analisis data yang kompleks dan ªtime consumingº. Sejumlah besar data har us harus dipilah-pilah dan direduksi menjadi beberapa tema dan kategori; (c)menu lis paragraf panjang, karena bukti harus mendukung pernyataan dan penulis perlu menunjukkan perspektif yang majemuk; serta (d) berperan serta dalam bentuk penel itian manusia dan masyarakat, dimana sedikit sekali petunjuk jelasnya atau prose dur spesifiknya, serta terus menerus berkembang dan berubah. Selain aspek peneliti, aspek rancangan penelitian kualitatif harus menggambarkan

aspek-aspek berikut: (a) bersifat holistik, memandang gambaran lebih besar, gam baran keseluruhan, serta dimulai dengan sebuah upaya untuk memahami keseluruhan, (b) mengamati hubungan-hubungan di dalam sebuah sistem atau budaya; (c)merujuk kepada proses yang personal, tatap muka, dan langsung; (d) difokuskan pada upaya untuk memahami setting sosial yang terjadi, tanpa harus membuat prediksi tentan

g setting itu; (e) memerlukan kehadiran peneliti pada setting penelitian untuk w aktu yang lama; (f) membutuhkan alokasi waktu analisis yang sama dengan waktu ya ng dihabiskan di lapangan; (g) peneliti harus mengembangkan sebuah model yang me nyerupai apa yang terjadi di setting sosial; (h) peneliti diwajibkan untuk menja g setting itu; (e) memerlukan kehadiran peneliti pada setting penelitian untuk w aktu yang lama; (f) membutuhkan alokasi waktu analisis yang sama dengan waktu ya ng dihabiskan di lapangan; (g) peneliti harus mengembangkan sebuah model yang me nyerupai apa yang terjadi di setting sosial; (h) peneliti diwajibkan untuk menja

peran peneliti sebagaimana juga deskripsi bias peneliti dan rujukan ideologisny

a, serta (k) memerlukan analisis yang berkelanjutan terhadap data yang dikumpulk an.

3.2. Prosedur penelitian