HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
A. Pendahuluan
Dalam kajian sosiologi, perubahan sosial dalam masyarakat merupakan
wacana utama dimana penelitian dan perbedaan pendapat terjadi diantara para
ahli sosiologi. Selama manusia sebagai pendukung dan pelaku kehidupan sosial
dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan
budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru,
perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik
terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya
antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan.
Perkembangan dunia dalam berbagai bidang pengetahuan yang semakin
maju seperti medis, hukum, sosial dan ekonomi dan disertai dengan era
globalisasi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk dalam persoalanpersoalan hukum. Islam dan masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak
terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan dari persoalan-persoalan yang
menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.
Kasus-kasus baru yang status hukumnya secara jelas dan tegas dinyatakan
dalam al-Qur’an dan al-Sunah, tidak akan menimbulkan kontra dikalangan umat
Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang kedua sumber tersebut
tidak secara jelas dan tegas menyebutkan hukumnya, menuntut umat Islam yang
telah mempunyai kapasitas berijtihad untuk memberi solusi dan jawaban yang
cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Maka dari itu,

banyak kita jumpai perbedaan pendapat diantara ulama’ mengenai satu kasus
dikarenakan perbedaan kondisi dan kultur tempat mereka tinggal. Dan disinilah
letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan “social
engineering”. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau
ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial
dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
B. Islam dan Perubahan Sosial
Masyarakat dengan berbagai aktifitas yang dilakukan menuntut adanya
perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan
adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim
menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam

masyarakat”.1 Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Soerjono Soekanto
dengan menyetir pendapat Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang
perubahan sosial yang berhubungan dengan perubahan hukum. Menurut Arnold,
perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor:
1. Adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan dibidang teknologi.
2. Adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat.
3. Adanya gerakan sosial (social movement).2
Berdasarkan teori-teori yang kami kutip diatas, maka jelas bahwa hukum

ada sebagian besar karena merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab
terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh-pengaruh

unsur

perubahan

diatas

dapat

menimbulkan

perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk didalamnya
pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam
hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa
mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa
adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan
dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada

umumnya.3 Untuk menumbuhkan dan menghidupkan ruh Islam agar tetap
dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan
perubahan

dalam masyarakat,

adalah

dengan cara

menghidupkan

dan

menggairahkan kembali semangat berijtihad dikalangan umat Islam. 4 Pada posisi
ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal
cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman
wal makan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual
sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru dibidang hukum

banyak bermunculan di tengah-tengah masyarakat dan tidak terbatas jumlahnya.
Kaitannya dengan hal ini, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid
1 ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.
2 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 96.
3 ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

4

menyatakan bahwa persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas
jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Sunah), jumlahnya
terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa
menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.
Dari staemen Ibnu Rusyd diatas, semangat atau pesan moral dapat kita
ambil adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru
yang tidak dijelaskan sumber hukumnya dalam nash baik al-Qur’an maupun alSunah secara eksplisit . Dengan demikian, aktivitas Ijtihad dalam Islam
merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran yang rahmah li
al-‘alamin ini sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai
kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Mengingat hukum Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang
penting, maka perlu ditegaskan aspek mana yang bisa mengalami perubahan

(wilayah ijtihadiyah). Menurut hasil seminar yang diselenggarakan oleh IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada awal Desember 1994 disebutkan “Agama dalam
pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia
tentang ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan
ditengah-tengah masyarakat, mungkin berubah”. Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka perubahan dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual, tetapi secara
kontekstual. Al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh FKI 2004 menggariskan
bahwa permasalahan-permasalahan yang boleh dijadikan objek ijtihad adalah
setiap hukum syara’ yang tidak terdapat dalil qath’iy yang menjelaskannya.
C. Dinamisasi Ajaran Islam Melalui Ijtihad
Ijtihad merupakan pilar pokok tegaknya syari'at islam, tentunya harus
mempunyai landasan normatif sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi
istinbath hukum dalam rangka dinamisasi ajaran agama.
Terdapat

banyak

dalil

yang


menganjurkan

untuk melaksanakannya,

diantaranya adalah firman Allah:
         
      
Artinya: Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah

wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.QS. al-Nisa’(4):105.
Pada ayat ini mengandung ketetapan ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas.
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:
         
            

Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
QS. Al-rūm (30): 21
Dan dari al-Sunah ialah hadits yang diriwayatkan Muazd bin Jabal ketika
beliau mendapat pembekalan oleh nabi sebelum hijrah ke Yaman untuk menjadi
qodhi (hakim) di daerah Yaman. Ketika Nabi bertanya, dengan apa kamu memberi
keputusan? Muazd menjawab, dengan kitabullah (Al-qur’an). Kemudian Nabi
berkata, kalau kamu tidak menemukan didalam al-quran? Aku akan menghukumi
dengan sunah Rasul-Nya. Nabi berkata lagi, kalau dalam sunah tidak kamu temukan?
Aku akan berijtihad dengan ro'yu. Selain hadits Mu’azd terdapat hadits dari Amr ibn
al-'Ash, ia mendengar utusan Allah bersabda:
"‫اذا فحكفم الحاكمم فاجتهفد فاصاب فله ا فخجرانن اذا فحكفم فاجتهفد ففاخخطأ فله اجدر واح دد "رواه البخارى و مسلم‬
Artinya: jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad
kemudian benar, maka bginya dua pahala, jika menghukumi dengan berijtihad dan
ternyata salah, maka baginya satu pahala. "HR. Bukhari dan Muslim".
Hadits yang kami sebut terakhir ini secara implisit menunjukkan bahwa hasil
ijtihad bisa benar dan bisa salah, tapi baik yang benar maupun yang salah tetap
mendapatkan pahala, dalam artian keduanya mendapat legitimasi hukum dari syâri'
(yang mempunyai syari'at). Oleh karena itu perbedaan pendapat dari masing-masing
imam yang telah mencapai kapasitas untuk berijtihad harus disikapi dengan benar,

jangan dijadikan perpecahan. Karena itu adalah rahmat bagi kita. Nabi SAW bersabda
"perbedaan pendapat umatku adalah suatu rahmat".

Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunah, menurut
Amir Syarifudin dapat dilihat dari dua segi sebagai berikut:
1. Kedua sumber hukum Islam tersebut secara jelas dan langsung memang tidak
menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya.
2. Al-Qur’an dan al-Sunah memang tidak menyinggung hukum suatu kasus,
namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh
hukum memukul kepala orang tua tidak ada aturan secara eksplisit dalam alQur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar (uff) terhadap orang
tua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih
hidup (tranplantasi) tidak ada ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk
pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas
dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-Hadits, maka diperlukan
upaya ijtihad.
Sementara itu, menurut Muhammad Musa al-Tiwana, objek ijtihad itu
dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash.
2. Ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan
telah disepakati.

3. Ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu.
Pandangan al-Tiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek
ijtihad yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan
nashnya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini,
cara yang ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam atau alkhash, al-mutlaq dan al-muqayyad. Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali
belum ada nashnya. Pada hal yang semacam ini, maka pemecahannya dilakukan
melalui ijtihad dengan menggunakan qiyas, istihsan dan dalil-dalil hukum
lainnya.
D. Pendekatan Studi Keislaman
Bertitik tolak dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu
dikemukakan dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak penalaran
dalam berijtihad tersebut adalah penalaran ta’lili, dan penalaran istislahi.
1. Penalaran ta’lili, adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Asumsi dasar dari
penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah hukum sebagian diiringi

dengan penyebutan illat-nya. Dalam kajian ushul fiqh, corak ta’lili ini
mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan.
2. Penalaran Ishtilahi, adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan diri nash.

Kedua model penalaran diatas bertumpu pada penggunaan rasio. Oleh
karena itu, terdapat tiga karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas.
1. Pendekatan dengan mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat secara
kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari
semangat moral yang terkandung dalam nash.
2. Pendekatan kedua yaitu upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada
pendekatan ta’aquli.
3. Pendekatan ketiga berupa upaya merumuskan ‘illat hukum dan pesan moral
nash dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan
dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya
masalah yang kompleks, maka dua corak pendekatan penalaran di atas tampak
lebih responsif dan solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik
dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar
pijakannya kemaslahatan.
Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari.
Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk
berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan
lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk
kemaslahatan hidup manusia. Disinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan
muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan

konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi.
Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi
variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu
Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa:
‫تغير الحكام بتغير الزمنة والمكنة والحوال والعواعد والنيات‬
"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan
niat."
Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan:
‫الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما‬

“Hukum itu berputar bersama ‘illatnya (alasan hukum), baik dari sisi wujudnya
maupun ketiadaan ‘illatnya.”
Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya
berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i
yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim)
adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Baghdad. Untuk
lebih jelas, berikut kami paparkan hal-hal yang melatarbelakangi timbulnya qaul
qadim dan qaul jadid imam Syafi’i.
1. Faktor geografis. Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan
dan pembentukan hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan
tersebut adalah iklim dan perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah
diketahui iklim di Hijaz berbeda dengan iklim di Iraq dan berbeda pula
dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga melahirkan fatwa Imam Syafi’i
yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul jadid, membuktikan adanya
berbedanya iklim dan geografi.
2. Faktor Kebudayaan dan Adat Istiadat. Faktor kebudayaan dan adat istiadat
sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perubahan hukum Islam.
Setelah banyaknya negara-negara yang dikuasai oleh Islam, padahal negaranegara yang dikuasai tersebut telah memiliki kebudayaan-kebudayaan dan
adat-istiadat masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja,
kebudayaan dan adat-istiadat mereka telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi
(percampuran) antara kebudayaan (adat istiadat) setempat dengan kebudayaan
Islam sering terjadi, sehingga menimbulkan akibat lain dari hukum Islam itu
sendiri. Walaupun masyarakat telah mempunyai kebudayaan-kebudayaan lain
yang mempengaruhinya, namun para fuqoha dapat pula menimbulkan
pengaruh baru, karena adanya dua faktor yang mempengaruhi perkembangan
fiqh di daerah-daerah itu, pertama milieu (lingkungan), ke dua system yang
ditempuh oleh fuqoha dalam memberikan hukum. Penafsiran-penafsiran itu
lahir sesuai dengan susunan masyarakat yang ada ditempat dan jaman itu
muncul. Jaman terus menerus membawa perubahan pada suasana masyarakat.
Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran dijaman
tertentu belum tentu sesuai untuk jaman lain.

3. Faktor Ilmu Pengetahuan. Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil
ijtihad para imam mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum.
Imam Syafi’i seorang yang ahli hadits, beliau belajar hadits kepada
ImamMalik bin Anas di Madinah, Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu,
karena beliau belajar kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamamd bin
Hasan murid Imam Abu Hanifahdi Iraq. Dengan faktor ilmu pengetahuan
Imam Syafi’i tersebut, maka hasil ijtihad Imam Syafi’i tidak sama dengan
gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli ra’yu.
Ringkasnya Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari
seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor keilmuan yang dimiliki,
struktur sosial, budaya dan letak geografis yang berada antara daerah Iraq
(Baghdad) dan Mesir.
Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya
memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap
perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya
sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar
belakang sisio-kultural dan politik dimana madzhab itu tumbuh dan berkembang.
Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan
relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka
ciptakan. Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa
didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah almursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, hukum Islam akan
berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan
perubahan dalam masyarakat.
Untuk menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul fungsional
dalam menghadapi setiap perubahan sosial, diperlukan terobosan metodologis
disertai kemampuan membaca fenomena zaman. Banyak perangkat ilmu bantu
yang bisa menopang perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmu-ilmu tafsir,
tarikh, dan ilmu tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi
antara ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme
hukum Islam. Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari
perspektif nilai saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural
dalam kehidupan sosial. Disinilah letak pentingnya fenomena transformasi
pemikiran hukum Islam, tidak hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja.
Transformasi pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan

kreatif antara Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai Islam dengan
kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program pembaruan
pemikiran hukum Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses
kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Akan tetapi, untuk melakukan upaya
pembaruan pemikiran hukum Islam (fiqh) diperlukan beberapa syarat, yaitu;
pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat
muslim; kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang sebagai variasi suatu
keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan
waktu; ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatar
belakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari
pemikiran hukum tersebut; keempat, mengorientasikan istinbat hukum dari aspek
qaulan (materi hukum) kepada aspek manhaj (kerangka metodologis). Disamping
itu, perlu juga memahami pemikiran hukum yang tidak dibatasi sekat-sekat
madzhab. Keterbatasan alternatif yang dibingkai dengan sekat madzhab akan
menghasilkan produk pemikiran yang rigid (kaku) dan akan mempersulit upaya
pembaruan hukum Islam itu sendiri.
E. Simpulan
Islam adalah agama yang hanafiah, mudah dan tidak memberatkan pada
umatnya. Dalam perjalanannya, hukum Islam selalu sesuai dan disesuaikan
dengan kondisi struktur sosial, budaya dan letak geografis masyarakat tertentu.
Meminjam kaidah:
‫تغير الحكام بتغير الزمنة والمكنة والحوال والعواعد والنيات‬
"Berubahnya hukum dikarenakan berubahnya zaman, tempat, kebiasaan dan
niat."
Kami mencoba untuk membuat konklusi bahwa dari kaidah tersebut, hukumhukum yang diterapkan dapat sesuai dan relevan dimanapun dan kapanpun.
BIBLIOGRAFI
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin, Bairut: Daar
al-Fikr, tt.
Al-Zuhaili, Wahbah bin Musthofa, Usul al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr alMu'ashir, 1986
ash-Shiddiqie, Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqhashid Syari’ah Menurut as-Syatibi, Jakarta:
Rajawali Press, 1996
Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas balik Teoritis Fikih Islam, Lirboyo: PP. Liboyo,
Kediri, 2006
Hakim, Abdul Hamid, Al-sulam, Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra, tt. Mabâdi'
Awwaliyah
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.
Jazuli. A., Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syari'ah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Indonesia: Daar al-Kutub
al-Arabiyyah, tt.
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo
Persada,1994
Syarifudin, Amir, Ilmu Ushul Fiqh 2 Jakarta: Logos, 1999
www.pta-banten.net/makalah/imam_syafii.pdf
Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta, RajaGrafindo
Persada, 1994), hal. 96.
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
Ijtihad secara harfiah berasal dari kata kerja jahada dapat diartikan dengan
kerja keras, sungguh-sungguh, dan pengetahuan mengenai hukum atau yurisprudensi.
Secara terminologi ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk
mendapatkan pengetahuan atas hukum-hukum syara' dengan jalan menggali dari
sumbernya (al-ishtinbath) yang berupa Al-quran Al-sunah. Abdul Hamid hakim, Alsulam, ( Jakarta: Al-maktabah al-sa'adiyah putra, tt.), hal. 47 Adapun isim fa'il
(pelaku, orang yang melakukan) dari ijtihad adalah mujtahid.
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia, Daar
al-Kutub al-Arabiyyah, T.T.), hal. 2.
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.

Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme
Islam (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hal. 58
Dalil qath’iy adalah dalil yang tidak memiliki kemungkinan arahan lain selain
makna yang secara sekilas pendengaran dapat difahami oleh akal pikiran.
Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas balik Teoritis Fikih Islam, ( Lirboyo: PP.
Liboyo, Kediri, 2006, ) hal. 322
Wahbah bin Musthofa al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islamiy, ( Beirut: Dar alFikr al-Mu'ashir, 1986 ), juz II hlm. 1039
Wahbah bin Musthofa al-Zuhaili, Op. Cit., juz II hlm. 1039. Adapun
pengertian ijtihad dengan ro'yu dikalangan sahabat ialah sama artinya dengan ijtihad
dalam istilah yang dipakai ushuliyin (ulama' ahli usul).
Amir Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2 (Jakarta, Logos, 1999), hal. 287.
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
Al-'‫نن‬Am (‫ )العام‬adalah sesuatu yang meliputi dua hal atau lebih tanpa adanya
batasan.
Al-khas (‫ )الخاص‬adalah sesuatu yang tidak mengandung dua makna atau lebih
tanpa adanya batasan.
Mutlaq (‫ )المطلق‬adalah lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu hal tanpa
adanya batasan.
Sedangkan muqoyyad (‫ )المقيد‬adalah lafal yang menunjukkan suatu hal dengan
adanya batasan (taqyid).
Qiyas secara etimologi adalah hipotesis, Sedangkan qiyas secara terminologi
adalah menyamakan hukum suatu kasus syara' yang tidak ada nash hukumnya dengan
suatu kasus lain yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nash, dikarenakan
adanya persamaan diantara keduanya dalam 'illat (kausa, latio legis) yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum.
istihsan berarti berpaling dari dalil satu kepada dalil yang lain. Atau dengan
kata lain meninggalkan dalil satu ke dalil lainnya yang lebih kuat
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.,
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqhashid Syari’ah Menurut as-Syatibi (Jakarta, Rajawali
Press, 1996), hal. 100.
Asafri Jaya Bakri, Ibid.
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
Ibid.

Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut,
Daar al-Fikr, TT), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam
(Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hal. 444.
A. Jazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam RambuRambu Syari'ah, (Jakarta Timur, Prenada Media, 2003) hlm. 57. Mukhtar Yahya dan
Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung, PT AlMa’arif, 1996), hal. 550. Abdul Hamid Hakim, Mabâdi' Awwaliyah, op., cit., hlm. 46
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
www.pta-banten.net/makalah/imam_syafii.pdf
ibdajurnal.googlepages.com/7-HukumIslamdanPerubahanSosial. Op., Cit.
Ibid.