KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DIN

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DINI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliah Perkembangan Anak Usia Dini
Kode Mata Kuliah : 506 / 3 SKS
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Myrnawati Crie Handini, M.S, PKK

DISUSUN OLEH:
MAHASISWA S2 PRODI PAUD KELAS D TAHUN 2013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena

atas rahmat dan

hidayah-Nya


diselesaikan. Makalah yang

tugas Makalah

ini

dapat

berjudul ”Kekerasan Seksual Terhadap

Anak Usia Dini” merupakan tugas akhir semester mata kuliah
Perkembangan Anak Usia Dini pada Program Studi PAUD Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Materi yang di bahas dalam makalah ini
adalah perkembangan psioseksual anak, bagaimana peran sekolah
menyusun SOP untuk keamanan anak, apa sangksi bagi pelanggar
kebijakan serta analisis beberapa jurnal yang berkaitan dengan kekerasan
terhadap anak usia dini.
Dalam menyelesaikan makalah ini kami mendapat dukungan dari
berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Myrnawati Crie Handini, M.S, PKK selaku Dosen

Pembimbing Mata Kuliah Perkembangan Anak Usia Dini.
2. Rekan-rekan sesama mahasiswa PAUD kelas D Pascasarjana UNJ
Angkatan 2013 atas partisipasi dalam penyusunan makalah dan
presentasi.
3. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga
kebaikannya di beri imbalan yang setimpal oleh Tuhan Yang Maha
Esa.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
dari pembaca pada umumnya, guna terciptanya makalah yang lebih baik
lagi pada pembuatan makalah yang akan datang. Kurang dan lebihnya
penulis sampaikan terimakasih.
Jakarta,

Juni 2014

Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................

i

KATA PENGANTAR..............................................................................

ii

DAFTAR ISI...........................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................

1

B. Identifikasi Masalah....................................................................

6


C. Rumusan Masalah......................................................................

6

D. Tujuan Penulisan........................................................................

7

BAB II KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DINI
A. Perkembangan psikoseksual anak ............................................

8

B. Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan anak................

20

C. Seks policy bagi pelanggar kebijakan..........................................


41

D. Analisis jurnal kekerasan seksual terhadap anak........................

54

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................

61

B. Saran..........................................................................................

62

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................

63

Lampiran

Lampiran 1 Contoh Kegiatan: Monitoring dan
Evaluasi Kebijakan Sekolah...............................................

65

Lampiran 2 Contoh Refleksi Guru dan Kecakapan Hidup....................

68

Lampiran 3 Jurnal kekerasan terhadap anak........................................

69

Lampiran 4 Handout Power Point

iii

1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini merupakan dasar awal yang menentukan
kehidupan suatu bangsa dimasa yang akan datang, sehingga diperlukan
persiapan generasi penerus bangsa dengan mempersiapkan anak untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal baik dalam perkembangan
moral, fisik/motorik, kognitif, bahasa, maupun sosial emosional. Setiap
anak berhak untuk mendapatkan penghidupan dan perlindungan yang
layak, serta dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dalam UU
Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 mengenai Perlindungan Anak 1, yaitu
setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan

serta

mendapat

perlindungan


dari

kekerasan

dan

diskriminasi.
Perlindungan

dimaksudkan

untuk

melindungi

anak

yang

tereksploitasi secara ekonomi, seksual, anak yang diperdagangkan, anak

yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika
dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan, anak korban kekerasan seksual, anak korban kekerasan
fisik/mental, anak penyandang cacat, dan anak korban penelantaran.
Akhir-akhir ini terdapat berbagai fenomena perilaku negatif terlihat
dalam kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau
televisi dapat dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik
itu kekerasan fisik, verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan
seksual juga sudah menimpa anak-anak. Bentuk kekerasan seperti ini
biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga,
1

Kemendag, UU No.23 tahun 2002, 2002, diakses dari
http://riau.kemenag.go.id/fie/dokumen/UUNo23tahun
2003PERLINDUNGANANAK.pdf pada tanggai 24 mei
2014 pada pukui 09.16
1

2
ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga, guru maupun teman

sepermainannya sendiri.
Banyak terdapat kasus-kasus mengenai kekerasan pada anak di
dunia.

Di

Afrika

selatan

misalnya

terdapat

kejadian pemerkosaan terhadap anak dan bayi terbesar di dunia. Sebuah
survei oleh Central Institute of Education Technology menemukan bahwa
60% anak laki-laki dan perempuan menyangka bahwa perlakuan
pemaksaan seks dari seseorang yang mereka tahu bukanlah kekerasan
seksual, sementara sekitar 11% dari anak laki-laki dan 4% anak
perempuan mengaku mereka dipaksa berhubungan seks dengan orang

lain. Pada survei yang berkaitan melibatkan 1.500 anak sekolah di
Johannesburg di kota Soweto, seperempat dari anak laki-laki yang
diwawancara mengatakan 'jackrolling', sebuah istilah untuk pemerkosaan
bersama, adalah menyenangkan. Lebih

dari separuh dari yang

diwawancara menyatakan bahwa jika anak perempuan mengatakan tidak
untuk melakukan seks.2
Selain itu lebih dari 67.000 kasus pemerkosaan dan pelecehan
seksual terhadap anak-anak dilaporkan pada tahun 2000 di Afrika
Selatan, sementara pada tahun 1998 terjadi 37.500 kasus. Kelompok
pemerhati anak-anak percaya bahwa insiden yang tidak dilaporkan bisa
10 kali lipat dari angka kasus yang dilaporkan. Peningkatan terbesar
kejahatan seksual terjadi pada anak-anak di bawah tujuh tahun.
Prevalensi

pelecehan

seksual

anak

di

Afrika

juga

didasarkan

kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anak perawan akan
menyembuhkan pria dari HIV atau AIDS. Kepercayaan ini adalah umum
di Afrika Selatan, dimana terdapat jumlah penduduk penyandang HIVpositif terbesar di dunia. Menurut data resmi, satu dari delapan penduduk
Afrika Selatan terinfeksi virus ini.3

2

Wikipedia. Pelecehan Seksual Terhadap Anak.
http://id.wikipedia.org/wiki/Peiecehan_seksuai_terhad
ap_anak

3
Di Indonesia, menurut data Komnas Perlindungan Anak pada
tahun 2010 telah diterima laporan kekerasan pada anak mencapai
2.046 kasus, laporan kekerasan pada tahun 2011 naik menjadi 2.462
kasus, pada tahun 2012 naik lagi menjadi 2.629 kasus dan melonjak
tinggi pada tahun 2013 tercatat ada 1.032 kasus kekerasan pada anak
yang terdiri dari: kekerasan fisik 290 kasus (28%), kekerasan psikis
207 (20%), kekerasan seksual 535 kasus (52%). 4 Sedangkan dalam
tiga bulan pertama pada tahun 2014 ini, Komnas perlindungan anak
telah menerima 252 laporan kekerasan pada anak. Jadi, menurut
Komnas perlindungan anak bahwa laporan kekerasan pada anak
didominasi oleh kejahatan seksual dari tahun 2010-2014 yang berkisar
42-62%.5 Dari data tersebut terlihat bahwa kasus mengenai kekerasan
pada anak meningkat setiap tahunnya. Terlebih mengenai kasus
pelecehan seksual yang mendomonasi.
Banyak terdapat kasus-kasus mengenai pelecehan seksual
pada anak usia dini yang terjadi didaerah-daerah, diantaranya di
Tuban di Jawa Timur, yang dilakukan oleh pedagang asongan buku
dan poster yang melakukan kekerasan seksual pada 9 orang anak.
Sedangkan di Sukabumi, Jawa Barat (5/5/2014), tindakan pelecahan
seksual yang dilakukan oleh AS (24) yang berjumlah 89 anak. Dan
baru-baru ini terjadi pelecahan seksual kepada anak-anak Taman

United Nations HIV/AIDS Fact Sheet, United Nations
Deveiopment Programme, 2002.
4
Kompasiana. 2013. Darurat Nasional: Eksploitasi
Seksual Anak. diakses pada
http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/daruratnasional-eksploitasi-seksual-anak--579268.html
(diakses pada tanggai 21 Mei 2014 pada pukui 11.21
WIB)
5
Kompas. 2014. Indonesia Darurat Kekerasan pada
Anak. diakses pada http://nasionai.kompas.com/read/
2014/05/07/0527140/Indonesia.Darurat.Kekerasan.pa
da.Anak (diakses pada tanggai 21 Mei 2014 pada
pukui 11.21 WIB)
3

4
Kanak-kanak di JIS yang dilakukan oleh para petugas kebersihan
sekolah.
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk
penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua
menggunakan anak untuk rangsangan seksual. 6 Bentuk pelecehan
seksual anak termasuk meminta anak atau menekan seorang anak
untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak
senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk
anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik
dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu
seperti

pemeriksaan

medis),

atau

menggunakan

anak

untuk

memproduksi pornografi anak.
Anak

perlu

untuk

diberikan

pemahaman

oleh

orangtua

mengenai sex education. Sehingga melalui sex education ini
diharapkan dapat tercapainya tujuan dalam menjaga keselamatan,
kesucian,

dan

kehormatan

anak

ditengah

masyarakat 7.

Cara

penyampaiannya tentu harus disesuaikan kehidupan masyarakat
Indonesia yang berlandaskan agama dan tata krama, sehingga anak
didik baik laki-laki maupun perempuan dapat terjaga akhlak dan
agamanya hingga jenjang keluarga sekalipun. Selain itu, keluarga dan
masyarakat juga memiliki pengaruh besar terkait sex education
sebagai pihak pemberi informasi dan teladan, keluarga sebagai
lingkungan terdekat anak didik harus siap dengan berbagai pertanyaan
dengan jawaban yang benar, dan tidak membiarkan rasa ingin tahu

Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Peiecehan_seksuai_terhad
ap_anak (diakses pada tanggai 21 Mei 2014 pada
pukui 11.21 WIB)
7
Nuriaiii Lisdiya, 2013, sex education untuk-anakanak, why not? Diakses dari
http://sisimikro.biogspot.com/2013/01/sex-educationuntuk-anak-anak-why-not.htmi pada tanggai 20 mei
2014 pada pukui 16.14 WIB
6

5
mereka dijawab oleh teman atau media yang belum tentu sesuai untuk
usia

mereka.

Keluarga

menjadi

pengawas

bagi

anak

dalam

mengontrol musik yang didengar, televisi yang ditonton, majalah yang
dibaca, serta pakaian yang dikenakan.
Sekolah juga mempunyai peranan dalam sex education untuk
anak. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh memastikan
pelajaran sistem reproduksi masuk dalam kurikulum 2014. Kebijakan
itu merupakan salah satu bentuk pencegahan tindak kekerasan
seksual pada anak.
M Nuh mengungkapkan bahwa " Dalam kurikulum tersebut,
anak kelas 1 SD sudah mulai diberikan pelajaran sistem
reproduksi. Pelajaran reproduksi untuk anak kelas 1 SD
jangan dibayangkan dijelaskan secara biologi, tapi masuk
dalam tema, misalnya tema tentang kebersihan diri bisa
memuat materi soal pelajaran reproduksi itu. Menyangkut
kebersihan diri, (dijarkan) termasuk underwear awareness.
Jadi, anak-anak diajarkan untuk lebih perhatian terhadap
daerah-daerah tubuh yang ditutupi underwear. Yang ditutupi
itu barang mahal. Barang mahal pasti dirangkapi dobel-dobel.
Beda dengan kuping, dahi yang dibiarkan terbuka kan,” 8
Kekerasan seksual terhadap anak dinyatakan tidak sah hampir
di manapun di dunia ini, umumnya diganjar dengan hukum pidana
berat, termasuk hukuman mati dan penjara seumur hidup.9 Hubungan
seksual seorang dewasa dengan anak di bawah umur dinyatakan
sebagai pemerkosaan menurut hukum, didasarkan pada prinsip bahwa

Laia Rahmawati, Nuh: Cegah Kekerasan Seksual,
Kurikulum Ajarkan Kesadaran Soal Pakaian Dalam,
2014, Kompas, diakses dari
http://edukasi.kompas.com/read/2014/05/17/074534
3/Nuh.Cegah.Kekerasan.Seksuai.Kurikuium.2014.Ajar
kan.Kesadaran.soai.Pakaian.Daiam (pada tanggai 20
Mei 2014 pada pukui 16.16 WIB )
9
Levesque, Roger J. R. (1999). Sexual Abuse of Children: A
Human Rights Perspective. Indiana University Press.
hlm. 1,5–6,176–180. ISBN 0253334713. (pada tanggai 20
Mei 2014 pada pukui 16.40 WIB )
8

6
seorang anak tidak dapat memberikan persetujuan dan setiap
persetujuan yang nyata oleh seorang anak tidak dianggap sah.
Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah
perjanjian internasional yang secara resmi mewajibkan negara untuk
melindungi hak anak. Ayat 34 dan 35 dalam konvensi tersebut
meminta negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi
dan pelecehan seksual. Hal ini termasuk pernyataan bahwa ancaman
kepada seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, prostitusi
anak, dan eksploitasi anak dalam menciptakan pornografi dianggap
melawan hukum. Negara juga diminta mencegah penculikan dan
perdagangan

anak.10 Sejak

bulan November

2008,

193

negara

sepakat dengan Konvensi Hak-Hak Anak, 11 termasuk setiap anggota
PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.12
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sex education ini
penting

untuk

diberikan

kepada

anak,

sehingga

anak

dapat

mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk melindungi dirinya
dari orang lain.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan
indentifikasi masalah, sebagai berikut:
1. Perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud dan
Erik Erikson.
2. Peran

sekolah

dalam

membuat

SOP

(Standar

Oprasional

Prosedur) keamanan pada anak.
3. Seks policy bagi pelanggar kebijakan

United Nations Convention on the Rights of the
Child.

10

11

United Nations Treaty Coiiection. Convention on the Rights of the Child .
(Diakses 25 Mei 2014)

Chiid Rights Information Network
(2008). Convention on the Rights of the Child.
(Diakses 25 Mei 2014)

12

7
4. Analisis jurnal tentang kekerasan seks terhadap anak usia dini,
guna memberi wawasan dan mempertegas tentang dampak kasus
seks abuse serta cara penanganannya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita tarik beberapa
pertanyaan sebagai rumusan masalah, yang akan dibahas secara lebih
mendalam dalam makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah
sebagai berikut
1. Bagaimanakah

perkembangan

psikoseksual

anak

menurut

Sigmund Freud dan Erik Erikson?
2. Bagaimana Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan pada
anak?
3. Bagaimana seks policy bagi pelanggar kebijakan?
4. Bagaimana kasus-kasus seks abuse terhadap anak yang ada di
dunia, diperoleh dari analisis jurnal?

D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan umum penulisan
makalah ini adalah memberikan wawasan kepada pembaca tentang
kekerasan seksual terhadap anak usia dini, secara khusus tujuan
penulisan makalah ini yaitu agar pembaca memahami tentang
1. Untuk mengetahui perkembangan psikoseksual anak menurut para
ahli.
2. Untuk mengetahui peran sekolah dalam membuat sop keamanan
pada anak.
3. Untuk mengetahui seks policy bagi pelanggar kebijakan.
4. Untuk mengetahui dampak kasus seks abuse di dunia serta cara
penanganannya melalui analisis jurnal tentang kekerasan seks
terhadap anak usia dini.

8

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tahap Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud dan Erik Erikson
Teori-teori tentang tahap perkembangan psikoseksual identik dengan
teori

psikoanalitis/psikoanalisis,

psikoseksual

merupakan

hal

kajian

ini
yang

disebabkan
mendalam

perkembangan
pada

tahap

perkembangan manusia dan melibatkan emosi di dalamnya. Psikoanalisis
merupakan suatu sistem dinamis dari psikologi yang mencari akar-akar
tingkah laku manusia di dalam motivasi dan konflik yang tidak disadari.
Titik awal sistem ini, mencari atau bertolak dari konsep libido yang secara

9
asasi dirumuskan sebagai energi seksual baik dalam bentuknya secara
asli maupun dalam bentuk yang diubah sepanjang perkembangan diri
manusia, dalam segala bentuk cinta, afeksi, dan kemauan untuk hidup. 13
Para ahli teori psikoanalitis menekankan bahwa perilaku hanyalah
merupakan

karakteristik

di

permukaan,

pemahaman

sepenuhnya

mengenai perkembangan hanya dapat dicapai melalui analisis maknamakna simbolis dari perilaku serta menelaah pikiran yang lebih dalam.
Karakteristik ini disoroti dalam teori psikoanalitis utama oleh Sigmund
Freud. Teori Freud terlalu berfokus pada insting seksual, yang kemudian
direvisi

secara

mengedepankan

signifikan oleh

para

pengalaman

budaya

ahli

teori

sebagai

psikoanalitis yang
determinan

dari

perkembangan individu. Salah satu pakar yang merevisi gagasan Freud
adalah Erik Erikson. Erik Erikson mengakui kontribusi Freud namun
berpendapat bahwa Freud keliru dalam menilai sejumlah dimensi penting
dari perkembangan manusia.Erik Erikson menyatakan bahwa individu
berkembang menurut tahap-tahap psikososial, bukan menurut tahap-tahap
psikoseksual sebagaimana dikemukakan oleh Freud. Berikut pembahasan
teori psikoseksual menurut Sigmund Freud dan psikososial menurut Erik
Erikson:
8
1. Teori Perkembangan Psikoseksual
Sigmund Freud 14
Penelitian Freud telah membawanya untuk percaya bahwa perasaan
seksual mestinya aktif pada masa kanak-kanak, namun begitu konsep
konsep seksualitas Freud ini sangat luas. Tahap-tahap perkembangan
psikoseksual Freud adalah tahap oral, anal, falik atau odipal, latensi, dan
pubertas/genital.
a) Tahap Oral
Beberapa bagian pada tahap oral adalah

13

J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi:Terjemahan Kartini
Kartono,(Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h. 394
14
William Crain, Teori Perkembangan:Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), h. 388-405

10
Bagian Pertama, bagian ini mendeskripsikan kegiatan menghisap
sebagai aktivitas bayi dalam memperoleh makanan untuk bertahan
hidup, namun Freud melihat juga kalau tindakan menghisap
menyediakan perasaan menyenangkan bagi bayi. Itu sebabnya, bayi
sampai terbawa-bawa menghisap jarinya sendiri atau objek lain
meskipun perutnya tidak lapar. Freud menyebut kesenangan dari
menghisap ini otoerotik, artinya ketika bayi menghisap jarinya sendiri,
mereka tidak mengarahkan impuls-impuls kepada orang lain selain
menemukan

kenikmatan

menekankan

sifat

lewat

otoerotik

di

tubuh

mereka

tahap

oral

sendiri.

ini

karena

Freud
ingin

memperlihatkan bayi terbungkus di dalam tubuh mereka sendiri,
Freud melihat bahwa selama enam bulan pertama atau lebih dari
kehidupan pertamanya, dunia bayi tidak berobjek, artinya bayi tidak
memliki konsepsi tentang orang atau hal-hal yang eksis dalam dirinya
sendiri. Karena itu, meskipun bayi sungguh-sungguh bergantung
pada orang lain, mereka tidak akan sadar akan fakta ini karena belum
bisa menyadari keberadaan orang lain yang berbeda darinya.
Bagian

kedua,

kira-kira

sejak

usia

6

bulan,

bayi

mulai

megembangkan konsepsi tentang orang lain, khususnya ibu, sebagai
pribadi yang berbeda dan terpisah darinya namun dibutuhkan.
Mereka jadi cemas jika ibu meninggalkannya atau ketika mereka
bertemu orang asing tanpa ibunya. Pada saat yang sama,
perkembangan penting lainnya sedang terjadi yaitu pertumbuhan gigi
dan dorongan untuk menggigit.
Bagian Ketiga (Fiksasi dan Regresi), Freud mengatakan bahwa dia
tidak begitu pasti dengan penyebab fiksasi, namun para psikoanalis
umumnya percaya bahwa fiksasi dihasilkan oleh kesenangan
berlebihan atau rasa frustasi berlebih-lebihan di tahap perkembangan
tertentu. Contoh: menghisap atau menggigit objek tertentu seperti
pensil atau memperoleh kesenangan terbesar dari aktivitas-aktivitas
seksual yang bersifat oral, atau merasa kecanduan merokok dan
minum. Bayi yang menerima perawatan panjang dan sangat

11
memuaskan bisa terus mencari kesenangan oral ini, di sisi lain bayi
yang mengalami frustasi dan keputussaan besar di tahap oral bisa
bertindak seolah-olah, dia tidak ingin menyerah pada kepuasan oral
atau dia akan terjun pada kepuasan oral ini jika tidak ada bahaya
jangka panjang yang akan ditemuinya.
Kadang-kadang seseorang menunjukkan sejumlah ciri oral di dalam
hidup mereka sehari-hari sampai mereka kemudian mengalami
sejumlah frustasi dan kemudian mundur (regress) ke titik fiksasi oral.
Contoh: Seorang anak kecil yang tiba-tiba menemukan diri terpisah
dari kasih sayang orang tua saat adiknya lahir bisa mundur lagi
ketingkah laku oral dan mulai menghisap ibu jarinya lagi.
b) Tahap Anal
Selama tahun kedua atau ketiga kehidupan anak, wilayah anal
menjadi fokus ketertarikan seksual. Anak-anak jadi semakin sadar
akan sensasi-sensasi menyenangkan ketika sudah dapat mengontrol
otot-otot dubur ini, kadang-kadang mereka belajar untuk menahan
gerakan perut sampai detik terakhir untuk kemudian meningkatkan
tekanan di dubur yang membawa kesenangan tertinggi saat feses
akhirnya terlepas (Freud, 1905). Anak-anak juga sering tertarik untuk
menikmati kegiatan memegang dan membaui feses mereka sendiri
(Freud,1913).
Pada tahap anal ini anak pertama kali diminta mengendalikan
kesenangan instingtual mereka dengan cara yang dramatis. Disinilah
anak mulai diberikan pengajaran toilet sebelum waktunya. Sejumlah
anak mungkin awalnya menentang pelajaran ini dengan merusak diri
sendiri secara sadar, mereka juga terkadang memberontak dengan
menjadikan dirinya tidak berguna, tidak teratur dan kacau. Ciri-ciri
yang kadang masih bertahan pada masa dewasa sebagai aspekaspek dari karakter “anal ekspulsif”. Namun Freud juga tertarik
dengan reaksi yang berlwanan dari tuntutan-tuntutan orang tua ini.
Anak merasa seolah mereka sebagaia anak yang terlalu beresiko

12
memberontak terhadap tuntutan orang tua sehingga dengn penuh
kecemasan mereka mengiyakan saja aturan orang tua. Orang-orang
seperti ini menyimpan kebencian terhadap ketundukan pada otoritas
namun tidak berani mengekspresikan kemarahan secara terbuka,
sebaliknya mereka lebih banyak mengembangkan sikap pasif,
menegaskan bahwa mereka melakukan sesuatu menurut jadwal
sendiri, sehingga orang lain seringkali dipaksa menunggu, mereka
juga bisa menjadi hemat dan kikir. Orang-orang seperti ini yang
terkadang disebut “Anal Kompulsif”.
c) Tahap Falik atau Odipal
Antara usia 3 sampai 6 tahun, anak memasuki tahap falik atau odipal.
Freud memahami tahapan ini lebih baik pada anak laki-laki daripada
anak perempuan. Daerah erogen (daerah yang sensitif terhadap
stimulasi seksual, penis pada anak laki-laki dan klitoris pada anak
perempuan). Konflik antara orang tua dan anak mungkin terjadi
karena masturbasi , menggesekkan daerah phallic untuk kepuasan
seksual dimana orang tua mungkin bereaksi dengan memberikan
ancaman dan hukuman.15
Krisis odipal anak laki-laki. Krisis odipal dimulai saat anak laki-laki
mulai tertarik kepada penisnya. Organ ini yang begtitu mudah dibuat
senang dan berubah bentuk, dan begitu kaya akan sensasi (Freud
1923), anak lalu ingin membandingkan penisnya dengan penis anak
lain dan penis hewan, dan berusaha melihat organ seksual anak
perempuan

dan

wanita.

Anak

mungkin

juga

menikmati

memperlihatkan penisnya, dan yang lebih umum memainkan peran
yang bisa dmainkannya sebagai pria dewasa. Anak memulai
eksperimen dan memtar fantasi dimana dia menjadi pria heroik dan
agresif, seringkali mengarahkan intensinya menuju objek cinta
utamanya, sang ibu. Dia mulai menciumi ibu dengan agresif, atau
tidur bersamanya ketika malam, atau membayangkan menikahinya.
15

Jeffrey S. Nevid, Psikologi Abnormal, Edisi V jilid 1 ,
(Jakarta:Erlangga, 2005), h. 44

13
Namun anak akan segera menyadari jika tindakannya salah dengan
alasan sudah menjadi “anak besar”.
Krisis odipal anak perempuan, Pandangan Freud sendiri tentang
topik ini secara luas adalah mencatat bahwa anak perempuan di usia
5 tahun atau lebih menjadi kecewa dengan ibunya. Anak merasa
dicampakkkan karena ibunya tidak lagi memberi cinta yang dipeoleh
ketika dulu masih bayi. Lebih jauh lagi, dia semakin marah dengan
larangan ibu seperti masturbasi. Akhirnya, dan yang paling
mengecewakan, si anak menemukan bahwa dia tidak memiliki penis.
Denga kata lain anak perempuan merasakan yang disebut Feud
kecemburan akan penis, sebuah harapan memiliki penis seperti
dimiliki anak laki-laki. Namun akhirnya anak perempuan mulai bisa
memulihkan kebanggaan feminimnya, ketika dia mengapresiasi
perhatian sang ayah.
d) Tahap Latensi
Anak memasuki periode latensi sampai usia 11 tahun. seperti
ditunjukkan

olehnya

, fantasi-fantasi

sekarang

tersembunyi

dibawah,

di

dalam

ketidaksadaran.

mengarahkan

kembali

konkret

bisa

yang

dalam-dalam
energinya

diterima

seksual
(laten)
Anak

pada

secara

dan

agresivitas

dijaga

rapat-rapat

sekarang

bebas

pengejaran-pengejaran

sosial,

seperti

olahraga,

permainan, dan aktivitas-aktivitas intelektual.
e) Tahap Pubertas/Genital
Pada fase pubertas, yang dimulai sekitar usia 11 tahun untuk anak
perempuan, dan 13 tahun untuk anak laki, energi seksual sudah
terbentuk dalam kekuatan penuh orang dewasa dan mengancam
membobol pertahanan yang sudah dibangun selama ini. Perasaan
odipal mengancam untuk membobol keluar menuju kesadaran dan
membawanya ke dalam realitas, (Freud, 1920). Freud mengatakan
bahwa dari pubertas ke depan, tugas terbesar individu adalah
membebaskan diri dari perwalian orangtua. Bagi remaja laki-laki ini
artinya membebaskan ikatan dengan ibu dan menemukan waktu

14
yang disukainya. Untuk remaja putri, tugasnya adalah harus bisa
memisahkan diri dari perwalian orang tua dan membangun hidupnya
sendiri, namun freud mencatat bahwa independensi tidak pernah
datang dengan mudah.
Teori Freud sangat kompleks termask teori tentang id, ego dan
super ego yang menjadi bagian dari jiwa manusia termasuk dalam
memandang
bagian

tahapan perkembangan psikoseksualnya.

dari

kepribadian

yanga

awalnya

Id adalah

disebut

Freud

ketidaksadaran, dan mengandung refleks dan dorongan biologis
dasar. Jika diselidiki motivasinya maka id di dominasi oleh prinsip
kesenangan, tujuannnya adalah memaksimalkan kesenangn dan
meminimalkan

rasa

sakit.

Kajiwaan

bayi

hampir

seluruhnya

didominasi oleh “id”. Freud mengatakan jia “id” berisi hasrat-hasrat
yang tak terjinakkan maka “ego” berisi penalaran dan pemahaman
yang tepat. Karena ego memahami realitas, ego berusaha menahan
tindakan sampai dia memliki kesempatan untuk memahami realitas
secara akurat memahami apa yang sudah terjadi di dalam situasi
serupa dimasa lalu, dan membuat rencana-rencana realistik dimasa
depan (Freud, 1940) sering dkenal sebagai proses kognisi atau
perseptual.

Freud

menulis

tentang

“superego”

seolah-olah

mengandung dua bagian, salah satu bagiannya disebut suara hati. Ini
adalah bagian superego yang Yang bersifat menghukum, negatif dan
kritis yang mengatakan pada kita apa yang tidak boleh dilakukan dan
menghukum kita dengan rasa bersalah

jika kita melanggar

tuntutannya. Hal ini yang menjadi standar anak pada krisis odiipal
agar krisis odipal tidak menjadi kompleks. Sedangkan bagian yang
lain disebutnya ego ideal, karena terdiri atas aspirasi-aspirasi positif,
berisi ide-ide positif seperti keinginn menjadi lebih murah hati, berani
atau berdedikasi tinggi.
Pemikiran Freud tentang pendidikan tidaklah seradikal yang seperti
umumnya diduga. Dia percaya bahwa masyarakat akan selalu
membuat sejumlah penolakan instingtual, sehingga tidak adil jika

15
mengirim anak ke dunia dengan harapan mereka dapat melakukan
apa saja yang diinginkan (Freud, 1933). Di sisi lain Freud juga
melihat kalau disiplin biasanya bersifat memaksa, membuat anak jadi
merasa malu dan bersalah oleh karena hal yang tidak perlu
mengenai tubuh dan fungsi-fungsi alamiah mereka. Freud secara
khusus berempati terhadap kebutuhan akan pendidikan seks yang
benar dan merekomendasikan agar pendidikan seks dipegang
sekolah agar anak bisa mempelajari reproduksi di dalam pelajaran
tentang alam dan hewan, dari situ mereka dapat menarik kesimpulan
yang benar mengenai kondisi manusia.
2. Teori Perkembangangan Psikoseksual/ Psikososial Erik Erikson
Erikson memperdalam penggalian psikoanalisis Freud , karena itu,
di setiap tahapan Freudian dia mulai memperkenalkan sejumlah konsep
yang secara bertahap mengarah kepada hubungan paling umum
sekaligus krusial antara anak dan dunia sosial, berikut pembahasannya:
a) Tahap oral – Kepercayaan vs ketidakpercayaan (trust vs
mistrust)
Erikson memperluas deskripsi Freud mengenai tahapan oral. Erikson
menunjukkan bukan hanya zona oral yang penting, namun juga
mode-mode ego menghadapi dunia. Pertama-tama Erikson berusaha
memberikan generalitas lebih besar pada pentahahapan Freudian
dengan menunjukkan bahwa di tiap zona libidinal kita bisa
menemukan mode ego yang khas. Di tahap awal zona utamanya
adalah mulut, bayi memiliki mode aktivitas yang disebut inkoporasi
yaitu memasukkan benda ke dalam mulunya secara pasif namun
sangat mendambakan sesuatu itu. Menurut Erikson, bayi tidak hanya
memasukkan sesuatu lewat mulutnya, tapi juga lewat matanya.
Ketika melihat sesuatu yang menarik dia membuka mata lebar-lebar
dengan penuh semangat berusaha memasukkan objek itu ke dalam
dirinya,sejalan dengan itu mereka memasukkan perasaan-perasaan
lewat indera mereka yang masih rapuh.

16
Bayi mengumpulkan informasi dan kemudian menggenggam benda
lewat beragam inderanya. Perkembangan ego bayi berhadapan
dengan dunia sosial dalam hal ini para pengasuhnya, dilakukan
dengan cara umum dan tertentu. Karena itu bayi perlu tahu bahwa
pengasuh mereka bisa diprediksi dan bisa memahami rasa aman
yang dibutuhkan oleh batin mereka. Sehingga Erikson mencoba
menghubungkan dengan kondisi sosial yang terjadi. 16
Tahap pertama Erik Erikson dari perkembangan psikososial adalah
tahap kepercayaan vs ketidakpercayaan ( trust vs mistrust), yang
dialami dalam satu tahun pertama kehidupan seseorang. Di masa
bayi kepercayaan akan menentukan landasan bagi ekspektasi
seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik
dan menyenangkan.17
b) Tahap Anal- Otonomi vs Rasa malu dan ragu-ragu (autonomy vs
shame and doubt).
Erikson setuju dengan Freud kalau mode dasar tahapan ini adalah
retensi dan eliminasi yaitu, menahan atau melepaskan. Diantara dua
hal yang bertentangan ini anak berusah melatih kemampuan memilih.
Anak yang berusia dua tahun ingin memegang apapun yang
diinginkan, dan mendorong apapun yang tidak diinginkan. mereka
melatih kehendak mereka tepatnya otonomi. Setelah memperoleh
kepercayaan dari pengasuhnya, bayi mulai menemukan bahwa
perilaku mereka adalah keputusan mereka sendiri. Mereka mulai
menyatakan rasa kemandirian atau otonominya. Jika bayi terlalu
banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras, mereka cenderung
mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.18
Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis
yang mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal
16

William Crain, op.cit.,hh. 428
John W. Santrock, Life Span Development: Perkembangan
Masa Hidup, Edisi XIII Jilid 1, (Jakarta: Erlangga,2012), h. 26
18
John Santrock, loc.cit. h. 27
17

17
dengan caranya sendiri seerti mengontrol otot mereka sendiri,
menggunakan tangannya sendiri untuk makan, sedangkan rasa malu
dan ragu-ragu datang dari kesadaran akan ekspetasi dan tekanan
sosial.19
c) Tahap Falik - Inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guilt)
Erikson menyebut mode utama tahap ini sebagai intrusi. Lewat
istilah ini dia berharap bisa menangkap pendapat Freud tentang anak
yang semakin tumbuh dalam keberanian, keingintahuan dan rasa
persaingan. Istilah intrusi melukiskan aktivitas penis anak laki-laki
namun sebagai mode umum, istilah ini mengacu pada banyak hal
seperti intrusi pada tubuh orang lain lewat serangan fisik, intrusi ke
dalam telinga orang lain lewat percakapan agresif, instrusi dalam
ruang lewat gerakan menyolok, dan instrusi dalam hal-hal yang tidak
diketahui lewat keingintahuan(Erikson, 1983).

20

Tahap inisiatif vs rasa bersalah, berlangsung pada masa
prasekolah (3-6 tahun), ketika anak prasekoah memasuki dunia
sosial yang luas, mereka dihadapkan pada tantangan baru yang
menuntut mereka untuk mengembangkan perilaku yang aktif dan
bertujuan.

Anak-anak diharapkan mampu bertanggung jawab

terhadap tubuh, perilaku, mainan dan hewan peliharaan mereka.
Namun, perasaan bersalah dapat muncul bila anak dianggap tidak
bertanggung jawab dan menjdi merasa sangat cemas. 21 Orang tua
bisa membantu proses ini dengan memperlunak otoritas dan
memperbolehkan anak berpartisipasi dalam proyek-proyek kehidupan
yang menarik. Lewat cara ini orang tua bisa membantu anak keluar
dari krisis pada tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai
tujuan yang tidak rusak oleh rasa bersalah maupun larangan. 22
d) Tahap Latensi - Semangat vs rendah diri (Industry vs Inferiority)
19

William Crain, op.cit h. 436
Ibid., h.437
21
Santrock, op.cit., h. 26
22
Willianm Crain. op.cit., h.438
20

18
Erikson mengatakan pada tahap ini anak belajar menguasai
kemampuan kognitif sosial. Tahap ini berlangsung selama sekolah
dasar (6-11 tahun). Prakarsa anak-anak membawa mereka terlibat
dalam kontak pengalaman-pengalaman baru yang kaya. Ketika
mereka beralih kemasa kanak-kanak pertengahan dan akhir, mereka
mengarahkan

energinya

untuk

menguasai

pengetahuan

dan

keterampilanintelektual. Tidak adasaat lain yang lebih penuh
semangat atau antusiasme untuk belajar dibandingkan pada akhir
periode pengembangan imajinasi pada kanak-kanak awal. Bahaya
yang

dihadapi

di

masa

sekolah

dasar

adalah

anak

dapat

mengembangkan rasa rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak
produktif23. Hal yang seperti ini yang kemudian diberikan solusi oleh
Erikson melalui penguatan ego atau kompetensi yang merupakan
sebuah latihan inteligensio dan kemampuan secaa beas dalam
menyelesaikan tugas-tugas tanpa diganggu perasaan inferioritas
yang berlebihan sebab menurutnya setiap anak itu berbeda dan
unik.24
e) Tahap Pubertas – Identitas Vs Kebingungan identitas
Pada masa remaja (10-20 tahun) individu dihadapkan pada
tantangan untuk menemukan siapa dirinya, bagaimana mereka
nantinya, dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam
hidupnya. Remaja dihadapkan pada peran-peran baru dan status
oang dewasa, pekerjaan dan romantisme. Contohnya jika mereka
menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan
sampai pada suatu jalur yang positif, untuk diikuti dalam kehidupan,
maka identitas positif yang akan dicapai. Jika tidak maka mereka
akan mengalami kebingungan identitas.
Remaja hanya berpusat pada diri sendiri, lebih bergulat
dengan bagaimana penampilan mereka di mata orang lain, Merka
jadi tertarik secara seksual kepada orang lain bahkan jatuh cinta,
23
24

Santrock, loc.cit. h. 27
William, Op.cit., h.440

19
namn kedekatan itu seringkali hanya bertujuan untuk mendefinisikan
dirinya saja.
f) Tahap Dewasa Muda – Intim Vs Isolasi (Intimacy Vs Isolation)
Tahap perkembangan dewasa Erikson berisi langkah-langkah
manusia memperlebar dan memperdalam kapasitas mencintai dan
memperhatikan orang lain. Masa remaja sebelumnya memiliki hasrat
seksual seperti jatuh cinta namun hanya untuk mendefenisikan
dirinya sendiri. Untuk menyongsong dewasa muda

intinya adalah

mencapai sebuah keintiman.
Keintiman yang riil adalah satu-satunya perasaan identitas
paling masuk akal yang sudah dibangun selama masa ini. Tidak ada
pasangan yang yang dapat mengalami sebuah keintiman total, maka
kaum dewasa muda dapat mengembangkan kekuatan ego

yang

disebut “cinta dewasa”, sebuah mutualisme kesetiaan yang sampai
kapanpun bisa mengatasi antagonisme apapun diantara mereka
berdua (Erikson 1964). Namun hanya orang yang merasa aman
dengan identitasnya saja yang sanggup kehilangan dirinya dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Bila anak muda begitu
khawatir maskulinitasnya maka dia tidak akan dapat menjadi kekasih
baik, karena dia terlalu sadar diri, terlalu khawatir dengan bagaimana
cara mebuktikan diri dan bagaimana cara menarik diri dengan bebas
dan lembut dari pasangan seksualnya. Di tingkatan ini mereka yang
gagal mencapai mutualitas akan mengalami isolasi
g) Tahap Dewasa - Generativitas Vs Stagnasi (Generativity Vs
Stagnation)
Sekali dua insan muda sanggup membangun keintiman yang
benar, ketertarikan mereka mulai berkembangn melampaui fokus
pada diri sendiri. Mereka jadi peduli dengan membesarkan generasi
selanjutnya. Di dalam terminologi Erikson, mereka memasuki
tahapan semanngat-berbagi vs penyerapan diri-stagnasi. Semangat
berbagi merupakan istilah yang sangat luas mengacu bukan hanya
kepada memproduksi anak, tetapi juga memproduksi hal-hal dan juga

20
ide-ide lewat kerja. Disisi lain ada juga banyak orang yang menikah
tapi kekurangan semanngat berbagi ini . Di dalam kasus-kasus yang
demikian pasangan ini seringkali muncul ke dalam pseudo keintiman
(Erikson, 1959). Erikson sering melihat pasangan seperti ini terus
menganalisis tanpa henti hubungan mereka untuk mencari seberapa
banyak bisa memperoleh sesuatu dari pasangannya. Individu seperti
ini lebih peduli dengan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan
anak mereka.
h) Tahap Usia Senja - Integritas Vs Keputusasaan (Integrity Vs
Despair)
Erikson sangat menyadari bahwa banyak penyesuaian, fisik
maupun sosial, harus dilakukan para lansia. Beliau meyadari fakta
bahwa para lansia tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan
mestinya bukan diberikan pada penyesuaian eksternal, melainkan
penguatan batin di periode ini, sebuah pergulatan yang berpotensi
untuk tumbuh bhkan mencapai kebijaksanaan . Erikson menyebut ini
sebagai pergulatan integritas ego vs keputusasaan.
Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka
akan semakin menemukan pengertian mengenai integritas ego.
Integritas ego kata Erikson sangat sulit didefenisikan namun
mencakup perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya
dan “penerimaan atas suratan tersebut, sebuah siklus yang harus
terjadi dan niscaya dan tidak ada yang menggantikannnya...”(Erikson,
1963). Pergulatan batin ini cenderung membuat seorang lansia
seperti

seorang

menumbuhkan

filsuf,

bergulat

kekuatan

ego

dengan
yang

diri

disebut

sendiri

untuk

kebijaksanaan.

Kebijaksanaan bisa diungkapkan dengan banyak cara, namun selalu
merefleksikan upaya yang penuh pertimbangan dan pengharapan
demi menemukan nilai dan makna hidup sewaktu menghadapi
kematian (Erikson, 1976).
Tahapan perkembangan psikoseksual dari Sigmund Freud dan
Erik Erikson menghasilkan analisis bahwa jika Freud beranggapan

21
bahwa motivasi utama manusia pada hakekatnya bersifat seksual
maka Erikson menganggap bahwa motivasi utama manusia bersifat
sosial dan mencerminkan hasrat untuk bergabung dengan orang lain.
Menurut Freud kepribadian dasar manusia dibentuk dalam lima tahun
pertama

kehidupan,

perkembangan

Erikson

berlangsung

beranggapan
sepanjang

perubahan

masa

hidup.

dalam
Dengan

demikian menyangkut pandangan mengenai pengenalan masa awal
dan masa selanjutnya. Freud berpendapat bahwa pengalaman masa
awla lebih penting dibandingkan pengalaman di masa selanjutnya.
Sementara erikson menekankan pentingnya pengalmn dimasa awal
maupun masa selanjutnya.
B. PERAN SEKOLAH DALAM MEMBUAT SOP KEAMANAN ANAK
Sebagaimana kita ketahui seksama bahwa Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, secara tegas

menyatakan bahwa “Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan
usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut”.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan anak usia dini
dapat

diselenggarakan

melalui

jalur

formal

(Taman

Kanak-kanak/Raudhatul Athfal), jalur nonformal (Taman Penitipan Anak,
Kelompok Bermain dan bentuk lainnya yang sederajat), dan pada jalur
informal

(pendidikan

keluarga

atau

lingkungan).

Dalam

rangka

mendukung kebijakan pembinaan layanan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) yang terarah, terpadu dan terkoordinasi, pada tahun 2010
Kementerian Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja

Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam peraturan tersebut

22
ditegaskan bahwa

pembinaan

PAUD baik formal, nonformal maupun

informal, menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI), yang secara teknis
dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Anak Usia Dini.
Meskipun selama ini berbagai kebijakan yang terkait dengan
pembinaan PAUD telah ditetapkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan
masyarakat, namun pada kenyataannya

belum semua anak terlayani

PAUD dan diperkirakan hingga tahun 2010 dari 28,8 juta anak usia 0-6
tahun yang terlayani baru 53,7%. Masih rendahnya jumlah anak yang
terlayani PAUD, antara lain disebabkan (1) belum semua orang tua dan
masyarakat menyadari pentingnya PAUD, (2) masih terbatasnya jumlah
lembaga PAUD, terutama di daerah-daerah pedesaan, daerah terpencil,
dan daerah perbatasan, (3) tidak semua lembaga PAUD yang dapat
memberikan layanan bagi anak-anak yang ada disekitarnya, dan (4)
terbatasnya sarana, prasarana dan fasilitas yang dimiliki oleh lembaga
PAUD. Berpijak dari kondisi tersebut di atas, dalam rangka mendukung
keterjangkauan,

ketersediaan,

mutu/kualitas

dan

kesetaraan

serta

keterjaminan layanan PAUD diseluruh pelosok tanah air, berdasarkan hal
tersebut

1. Membuat Kebijakan Tentang Lingkungan Sekolah yang Sehat Dan
Aman Bagi Peserta Didik
Memastikan bahwa semua peserta didik sehat, aman, dan dapat
belajar adalah bagian penting dari lingkungan pembelajaran inklusif yang
efektif. Banyak sekolah memiliki program seperti ini, karena mereka
menyadari bahwa faktor kesehatan, gizi yang baik dan lingkungan yang
aman akan berpengaruh dalam mengembangkan potensi peserta didik
secara

optimal.

Kebijakan

sekolah

tentang

kesehatan

adalah

mengupayakan peningkatan kesehatan, kebersihan, gizi dan keamanan
bagi semua peserta didik dengan beragam latar belakang dan

23
kemampuan. Kebijakan tersebut harus menjamin dapat menciptakan
sekolah yang sehat, aman dan lingkungan yang ramah. Sehingga anak
dapat belajar karena mereka merasa aman. Melibatkan berbagai pihak
terkait adalah cara terbaik untuk mengembangkan kebijakan sekolah
tentang kesehatan. Tujuannya agar mereka memberikan sumbangan
pemikiran dan memberikan kegiatan yang dapat digunakan untuk
mengadvokasikan kebijakan tentang kesehatan sekolah. Melaksanakan
kebijakan untuk menjamin lingkungan belajar yang inklusif, melindungi,
dan sehat memerlukan dukungan yang luas. Untuk memperoleh
dukungan ini dimulai dengan advokasi, yaitu, mengembangkan pesan
persuasif dan bermakna yang membuat para pengambil keputusan
melihat bahwa kebijakan tersebut memang dibutuhkan. Berikut akan
disajikan contoh kebijakan kesehatan dan perlindungan sekolah: 25

25

No
1

Isu Kebijakan
Kehamilan dini yang tidak
diinginkan dan
konsekuensinya

2

Sekolah Bebas Rokok dan
Penyalahgunaan NAPZA

Contoh Kebijakan Sekolah
 Memberikan kesempatan
peserta didik yang hamil tetap
bersekolah
 Melibatkan pendidikan
kehidupan keluarga dalam
kurikulum
 Melarang semua jenis
diskriminasi
 Larangan merokok di lingkungan
sekolah
 Larangan menjual rokok kepada
anak
 Larangan adanya iklan dan

Focusing Resources on Efective Schooi Heaith. Core Intervention 1: Health
Related School
Policies. http://www.freshschools.org/schoolpolicies-0.htm
(diakses 27 Mei 2014)

24
No

Isu Kebijakan


3

Sanitasi dan Kesehatan






4

HIV dan AIDS dan Penyakit
Menular lainnya









5

Kekerasan dan Pelecehan
Seksual terhadap peserta
Didik






Contoh Kebijakan Sekolah
promosi rokok
Pendidikan kesehatan yang
memfokuskan kepada bahaya
penyalahgunaan NAPZA
Pemisahan WC untuk guru lelaki
dan perempuan dan juga untuk
peserta didik laki-laki dan
perempuan.
Penggunaan air bersih di semua
sekolah
Komitmen aktif dari Persatuan
Guru dan Orang Tua serta
Komite Sekolah untuk
memelihara fasilitas air dan
sanitasi
Pendidikan kesehatan berbasis
kecakapan yang memfokuskan
pada pencegahan HIV dan
AIDS.
Pemberdayaan teman sebaya
dankonseling HIV dan AIDS di
sekolah.
Tidak ada diskriminasi kepada
guru dan peserta didik yang
mengidap HIV DAN AIDS dan
penyakit menular lainnya
Pendidikan kesehatan yang
memfokuskan kepada
pencegahan dan bahaya
penyakit menular lainnya.
Adanya akses terhadap upaya
pencegahan melalui media
Jaminan hukum bahwa
kekerasan dan pelecehan
seksual itu dilarang di sekolah
Sosialisasi perundangan agar
dikenal dan diterima semua
orang.
Pemberdayaan remaja untuk
melaporkan kasus-kasus yang
ditemukan.
Memperkuat tindakan
kedisiplinan yang efektif untuk
mereka yang melakukan
kekerasan

25
No
6

Isu Kebijakan
Sosialisasi tentang
Kesehatan dan Gizi
Sekolah.

Contoh Kebijakan Sekolah
 Pelatihan dan pemanfaatan
tenaga guru untuk ikut
menangani kesehatan dan gizi
peserta didik, serta melakukan
kerja
 sama dengan tenaga kesehatan,
juga melibatkan masyarakat
setempat.
 Peraturan untuk pengelola
kantin dan pedagang makanan
kaki lima di sekitar sekolah
berkenaan dengan kualitas,
kebersihan, dan stiker makanan
yang dijual

2. Monitoring dan Evaluasi Tentang Kebijakan Sekolah
Beberapa alasan untuk menciptakan kebijakan sekolah untuk
kesehatan yakni sekolah bekerja keras untuk memberikan pengetahuan
dan kecakapan yang dibutuhkan sebagai bekal kehidupan peserta didik.
Tetapi sekolah akan ditinggalkan peserta didiknya jika sekolah kotor,
fasilitas toilet tidak memadai atau tidak ada jaminan keamanan ketika
peserta didiknya pergi dan pulang dari sekolah. Olehnya itu pengelolaan
dana, waktu, dan sumber daya yang baik di sekolah merupakan investasi
yang sangat penting, tetapi jika pengelolaan sumber daya pendidikan
tersebut tidak baik, ini tidak menjadi jaminan bagi peserta didik untuk
betah bersekolah di tempat tersebut.
Kemudian kehadiran peserta didik di sekolah akan menurun, jika
orang tua khawatir akan keselamatan anaknya atau ketika sekolah tidak
memiliki sumber daya yang cukup untuk memberikan layanan kesehatan
dan gizi yang bermanfaat untuk anak mereka. Untuk mengatasi hal
tersebut, perlu adanya kerja sama dengan keluarga dan masyarakat.
Ketika kita mempromosikan kebutuhan akan kebijakan dan program
kesehatan sekolah khususnya yang ditujukan untuk melayani kebutuhan
peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam, kita
langsung akan mengetahui masyarakat yang mendukung kebijakan
tersebut. Orang-orang ini bisa saja menjadi advokat yang kuat, dan

26
mereka dapat membantu kita sekaligus mencarikan jalan keluarnya jika
timbul penolakan atau kesalahpahaman yang mungkin muncul mengenai
masalah kesehatan sekolah.
Cara lain yang bermanfaat untuk hal ini adalah dengan menciptakan
suatu Komite Penasehat Kesehatan yang beranggotakan berbagai lapisan
masyarakat. Olehnya itu kebijakan sekolah tentang kesehatan harus
memberikan manfaat pada semua peserta didik dari berbagai kelompok
masyarakat. Kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik
tampaknya yang paling banyak mendapat dukungan. Setelah kita
mendapatkan dukungan untuk mengembangkan kebijakan kesehatan dan
keamanan sekolah, langkah berikutnya adalah melaksanakan evaluasi
dan monitor kebijakan sekolah tentang kesehatan (pedoman terlampir).
3. Mengatasi Kekerasan: Pemetaan Kekerasan dan Pelaksanaan
Program di Sekolah
a. Pemetaan Kekerasan
Di sekolah, peserta didik yang berbeda latarbelakang maupun
kemampuan rentan akan terjadi diskriminasi dan kekerasan, misalnya,
upaya untuk menjauhkan mereka dari yang lain di dalam sekolah dan
kadang-kadang di luar sekolah. Bahkan terjadinya pelecehan seksual
dan kekerasan fisik yang mengakibatkan luka-luka, kematian,
gangguan psikologis, perkembangan fisik yang buruk atau kerugian.
Ada tiga bentuk tindak kekerasan, yaitu:
 Kekerasan terhadap diri sendiri: adalah perilaku membahayakan
yang sengaja dilakukan untuk menyakiti diri sendiri, termasuk
upaya melakukan bunuh diri.
 Kekerasan antarpribadi: adalah perilaku kekerasan antarindividu
yang

berakibat

pada

hubungan

korban-pelaku,

misalnya

penghinaan dan pelecehan.
 Kekerasan yang diorganisir: adalah bentuk perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh kelompok sosial atau politik yang mempunyai

27
tujuan politik, ekonomi atau sosial. Contoh: konflik agama atau ras
yang terjadi di antara kelompok, geng atau mafia.
Kemudian ditinjau dari sebab terjadinya Kekerasan: kekerasan di
sekolah, keluarga, dan masyarakat berikut akan diuraikan beserta faktorfaktor yang melatarbelakanginya:
 Faktor penyebab pada anak:
 Anak

mempunyai

kekurangan

yang

berkaitan

dengan

pengetahuan, misalnya: sikap cara berfikir, kurang cakap
berkomunikasi, dan sebagainya
 Penggunaan NAPZA
 Menyaksikan atau korban kekerasan antarpribadi; dan
 Adanya akses pada penggunaan pistol dan senjata tajam
lainnya.
 Faktor penyebab pada keluarga:
 Kurangnya kasih sayang dan dukungan orang tua
 Adanya kekerasan di rumah
 Hukuman fisik dan penyiksaan anak; dan
 Memiliki orang tua atau saudara kandung yang terlibat perilaku
criminal
 Faktor penyebab yang ada di masyarakat dan lingkungan
lainnya:
 Ketidak setaraan ekonomi, urbanisasi dan terlalu padat
 Tingkat pengangguran yang tinggi pada generasi pemuda
 Pengaruh media
 Norma sosial mendukung perilaku kekerasan
 Ketersediaan senjata
Banyak di antara kita yang tidak berpikir bahwa sekolah dan
masyarakat

bisa

menjadi

tempat

terjadinya

kekerasan.

Tapi

sayangnya, banyak kekerasan yang tidak kelihatan karena korban
tidak melaporkannya pada guru. Lagi pula, peristiwa kekerasan bisa
terjadi di luar sekolah, seperti ketika seorang anak dianiaya atau

28
dilecehkan dalam perjalanan ke sekolah, tapi penga