TUGAS HUKUM LINGKUNGANNN DAN ID

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Lingkungan hidup merupakan anugerah terbesar yang telah diberikan oleh Allah SWT
dan wajib dilestarikan serta dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber
penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan pembangunan yang selaras
dengan alam semesta ini.
Manusia sejak dilahirkan dunia ini, telah berada pada suatu lingkungan hidup,
lingkungan hidup adalah bagian mutlak yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia.
Manusia dengan segala aktivitas hidupnya mencari makan, minum serta memenuhi kebutuhan
lainnya, adalah karena terdapatnya lingkungan hidup sebagai sumber pertama dan terpenting
bagi pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, seharusnya manusia menjaga
dan melestarikan lingkungan dengan baik, serta tidak melakukan hal-hal yang dapat
menyebabkan kerusakan pada lingkungan, karena lingkungan adalah bagian terpenting dari
kehidupan manusia, berkaitan dengan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penegakan pembangunan di sektor industri, di samping telah memperbesar usaha
pendayagunaan sumber daya alam, baik langsung maupun tidak langsung, juga
mempengaruhi perubahan rona lingkungan fisik yang seringkali kurang menguntungkan bagi

kelestarian fungsi dan kesinambungan lingkungan hidup, walaupun pembangunan lingkungan
hidup telah mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan pembangunan selama ini. Menurunnya
fungsi lingkungan hidup dipengaruhi pula oleh semakin meningkatnya satuan limbah industri
maupun domestik yang menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara.
Tantangan terhadap kelestarian lingkungan hidup kini menjadi salah satu masalah
terbesar yang dihadapi oleh manusia. Bahkan sudah menjadi masalah yang menembus batasbatas negara, dan mempertaruhkan eksistensi manusia di muka bumi. Manusia hanyalah salah
satu unsur dalam mata rantai kehidupan di bumi, yang menyebabkan ketergantungan pada
sistem planet bumi sebagai life support system. Sifat kebergantungan manusia terhadap
lingkungan ini dikuasai oleh hukum-hukum ekologi. Kerusakan lingkungan sudah menjadi

1

masalah yang sangat mendesak untuk segera ditangani bagi kehidupan manusia, karena dalam
hal ini manusia menjadi pelaku sekaligus sebagai korbannya. Keadaan semacam ini membuat
lingkungan terancam oleh potensi krisis lingkungan.
Tragedi bencana lumpur Lapindo terjadi 7 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2006,
namun permasalahannya belum terselesaikan hingga saat ini, ini para korban lumpur Lapindo
belum mendapatkan semua hak-haknya dari PT Lapindo. Berdasarkan Perpres Nomor 68
tahun 2011, pembayaran ganti rugi sudah selesai pada 2011. Perpres tentang lumpur lapindo
mengalami beberapa kali perubahan yaitu Perpres No 14/2007, kemudian Perpres No.

40/2009. Bencana Lumpur Lapindo tidak hanya merugikan warga masyarakat Porong
Sidoarjo, namun juga merugikan pemerintah yang mengalokasikan aggaran dari APBN untuk
menenggulangi bencana serta membayar ganti rugi kepada masyarakat. Ketika, dana APBN
digunakan untuk menanggulangi kerugian yang terjadi tentunya, semua masyarakat Indonesia
menanggung akibat dari lumpur Lapindo karena dana APBN berasal dari hasil pajak yang
dibayarkan oleh warga masyarakat kepada negara.
Berlarutnya proses penyelesaian lumpur Lapindo menambah daftar panjang lemahnya
Pemerintahan SBY dalam menghadapi berbagai permasalahan besar di negeri ini. Lemahnya
pemerintah menghadapi korporasi besar menunjukkan bukti bahwa sebuah korporasi dapat
mempengaruhi kebijakan politik suatu negara. Korporasi dengan kemampuan finansial yang
besar akan menjadi ancaman stabilitas suatu negara apabila negara tersebut tidak membuat
suatu sistem kontrol dan regulasi yang tepat tentang korporasi. Korporasi menjadi pedang
bermata ganda, disatu sisi mempunyai kemampuan meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi
suatu negara, disisi lain korporasi mempunyai potensi untuk merugikan negara yang
bersangkutan.
Tujuh tahun sudah lumpur panas Lapindo merendam ribuan rumah warga di Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Tanda-tanda lumpur akan berhenti menyembur dari
permukaan tanah juga tidak terlihat. Sementara para korban yang harus merelakan harta
bendanya terendam, hingga kini nasibnya masih terkatung-katung.1[2] Meski sudah tujuh
tahun berlalu, proses ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan PT Lapindo,

belum juga terselesaikan.

Tujuh tahun berlalu seakan penegakan hukum terhadap PT.

Lapindo tidak terdengar.
Untuk itulah kelompok kami mengambil kajian penegakan hukum lingkungan dalam
kasus PT Lapindo. Selain sebagai tugas struktural kajian ini diharapkan dapat
1

2

mengembangkan wawasan hukum lingkungan terutama dalam permasalahan penegakan
hukum lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo yang
menimbulkan kerugian bagi masyarakat Sidoarjo ?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang menghambat penegakan hukum lingkungan terhadap kasus
PT. Lapindo ?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Kasus PT. Lapindo Yang
Menimbulkan Kerugian Bagi Masyarakat Sidoarjo
Secara konsepsional arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaiadah yang mantap dan mengejawantah serta

3

sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara,
dan memepertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum terjadi apabila nilai, kaidah dan pola perilaku tidak berjalan seiring
sejalan. Sehingga penegakan hukum bukan hanya bicara mengenai pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tetapi keseluruhan komponen komperhensif yang mendukung
penegakan hukum. Penegakan hukum terkait sebuah sistem terdiri dari sub-sub sistem atau
elemen yang menentukan bagaimana suatu hukum bekerja sebuah sinergi. Meminjam
pendapat dari Lawrence M Friedman, yang menyatakan bahwa dalam bekerjanya sistem
hukum dipengaruhi oleh 3 elemen (Three Elements of Legal System), yaitu:

1. Komponen struktur, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan
berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen
ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan
terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
2. Komponen Substantif, yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturanperaturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun
yang diatur.
3. Komponen kultural, yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi
bekerjanya hukum atau oleh Lawrence M Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur
hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan
hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.
Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan
yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid),
yaitu di dalamnya terdapat unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum
perdata. Oleh sebab itu, penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan
atau penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi,
hukum pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi
sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrumen
dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau
badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan sarana hukum administrasi
negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan hukum perdata terhadap instansi atau

pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang secara formal atau
materiil bertentangan peraturan perundangundangan lingkungan.

4

Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi
pemerintah. Penggunaan instrumen hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan
oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan di
antara ketiga bidang hukum, sebagian besar norma-norma hukum lingkungan termasuk ke
dalam wilayah hukum administrasi negara.
Berdasarkan dua konsepsi penegakan hukum secara umum dan penegakan hukum
lingkungan secara khusus, maka kami sepakat bahwa, penegakan hukum lingkungan dalam
kasus PT. Lapindo adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaiadah yang mantap dan mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkaian
pejabaran nilai atau penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi
dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dalam kasus PT.
Lapindo.
Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar pukul 05.00.
Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar
150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc.Selama

tiga bulan Lapindo Brantas Inc, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi
geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki. Sampai semburan lumpur pertama
itu, yang dalam dunia perminyakan dan gas disebut blow out, telah dicapai kedalaman 9.297
kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow
out.Sesuai kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada
lapisan, disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas
atau kick, antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang merupakan pengaman
sumur. Ketika penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick. Penanggulangan
ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata bor macet pada 3.580 kaki,
dan upaya pengamanan lain dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish,
yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan. Kemudian yang terjadi adalah
semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya.
Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan
sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo.
Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang
seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering.
Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian
lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari

5


peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah
188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru
Porong.
Melihat dampak yang begitu besar dari semburan lumpur Lapindo, maka dilakunanlah
penegakan hukum dalam ranah pindana. Kepolisian mencoba menangani kasus lumpur
lapindo dengan menggunakan peraturan lingkungan yang lama yaitu Undang-Undang 23
Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan KUHP. Hal ini dikarenakan kasus yang terjadi
ada di tahun 2006 yang meluas hingga tahun-tahun berikutnya, hingga sekarang.
Polri sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi ini tentu tidak mempunyai
kapasitas atau kemampuan terkait dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Pencarian alat
bukti yang dapat dilakukan oleh Polri adalah dengan melakukan pemeriksaan terhadap para
saksi yang terlibat atau terkait dengan bencana lumpur lapindo, memeriksa dokumen
pendukung hasil pemeriksaan para saksi dan tentunya mempedomani pendapat ahli untuk
mengetahui atau mengkonfirmasi hasil penyidikan dengan ahli terkait bidang tersebut.
Pendapat ahli terkait peristiwa lumpur lapindo bukan merupakan hal yang sulit bagi Polri
untuk mendapatkannya karena peristiwa tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dalam
lingkup nasional maupun internasional sebagai bahan kajian keilmuan, karena peristiwa
tersebut langka terjadi dan menjadi referensi mereka (para ahli) untuk memperoleh
pengetahuan yang baru terkait ilmu geologi.

Kertertarikan internasional terkait peristiwa bencana lumpur lapindo diwujudkan
melalui serangkaian konferensi internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral,
Lapindo dianggap menyebabkan semburan Lumpur panas di Sidoarjo. Adalah dua konferensi
yang diadakan secara berurutan, yaitu yang diselenggarakan di London, Inggris dan Cape
Town, Afrika Selatan, membahas tentang penyebab semburan Lumpur panas Lapindo. Dan
dalam hasil akhir yang dicapai, kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli sebagai
penyebab semburan Lumpur panas di Sidoarjo. Konferensi yang diadakan oleh American
Association of Petroleum Geologist, mengundang para pakar yang berseberangan pendapat
terkait dengan penyebab semburan. Selama ini memang terjadi perbedaan pendapat tentang
hal ini. Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur diakibatkan oleh
gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur pada tanggal 29
Mei 2006. Sementara sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak
yang terlalu jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai penerbitan di
jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa

6

penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah
lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick,
sehingga Lumpur akhirnya menyembur.

Proses pidana dilakukan oleh penyidik kepolisian dari POLDA Jawa Timur, dalam
kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici
Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 2 orang dari PT Energi Mega Persada dan
3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan
UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan
ancaman hukum 12 tahun penjara. Adapun nama-nama tersangka yang ditetapkan adalah
sebagai berikut:
1.

Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT. Energy Mega Persada, Tbk;

2.

Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice President Drilling Share Services
PT. Energy Mega Persada, Tbk.;

3. Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa;
4.

SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa;


5.

SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa;

6.

SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici Citra Nusa;

7.

YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra Nusa

8.

SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent PT. Tiga Musim Mas Jaya;

9.

SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas Jaya

10. LILIK MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas Jaya.
11. WILLEM HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc;
12. Ir. H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager Lapindo Brantas, Inc: dan
13. Ir. ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan General Manager Lapindo
Brantas, Inc.
Proses penyidikan tentang dugaan tindak pidana oleh polda Jawa timur berujung pada
penerbitan Surat penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kepolisian Daerah Jawa
Timur (Polda Jatim) kasus Lumpur Lapindo pada Jum’at 7 Agustus 2009 dengan alasan:
1)

Dikarenakan keluarnya penolakan dua putusan gugatan perdata YLBHI dan Walhi di PN
Jakpus dan PN Jaksel yang menyatakan tak ada perbuatan melawan hukum dalam kasus
Lapindo.
2) Ketiadaan bukti kuat, factual proving, ketidaksanggupan Penyidik memenuhi petunjuk
Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk membuktikan korelasi semburan lumpur dengan
kegiatan eksplorasi Sumur Banjarpanji I.

7

3)

Belum ada ahli yang bisa membuktikan korelasi antara sebab semburan lumpur dan
keberadaan sumur pengeboran.
Dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh Polda Jatim, 5 Agustus

2009: memperhatikan karena tidak cukup bukti setelah empat kali berkas perkara
dikembalikan kejaksaan karena kepolisian tidak bisa memenuhi petunjuk formil dan materiil
serta memperhatikan putusan perkara perdata yang sudah inkracht, yang pertama antara Walhi
dengan Pemerintah RI dan Lapindo yang kedua antara YLBHI dengan Pemerintah RI dan
Lapindo, maka pada para tersangka tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum dan
perbuatan/peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Kemudian Sidang putusan Pengadilan Surabaya: Tanggal 30 Maret 2010, No:
07/PRAPER/2010/PN.SBY, menolak gugatan Pra Peradilan atas putusan SP3 Polda Jatim,
dengan konsekuensi hukum: SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan pengadilan tersebut,
sehingga secara pidana, Lapindo Brantas, Inc tidak bersalah. Hal inilah yang mengakibatkan
penegakan hukum pidana terhadap permasalahan ingkungan PT. Lapindo berhenti.
Penegakan hukum yang bersifat keperdataan pun dilaksanakan yaitu dengan
melakukan gugatan legal standing. Pada 27 November 2007, Pengadilan Jakarta Selatan
menolak gugatan legal standing Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap pihak-pihak
yang dinilai bertanggung jawab atas menyemburnya lumpur panas. Hakim menyatakan
munculnya lumpur akibat fenomena alam. Pengadilan Jakarta Pusat menolak gugatan korban
yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hakim beralasan,
Lapindo sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi semburan lumpur dan
membangun tanggul. Terakhir, Mahkamah Agung juga menolak permohonan uji materi atas
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.
Putusan PT Jakarta 13 Juni 2008 Menguatkan putusan PN Jakarta Pussat 27
November 2007 bahwa adanya kejadian Lumpur Sidoarjo karena kecenderungan gejala alam
lebih dominan, bukan kesalahan manusia. Putusan Kasasi MA 3 April 2009 Menolak
permohonan Kasasi YLBHI , bahwa semburan lumpur merupakan fenomena alam dan bukan
kesalahan industri dan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Tidak berhenti sampai disana, Walhi juga melakukan gugatan Legal Standing
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Putusan PN Jaksel 27 Desember 2007 Menolak
seluruh gugatan Walhi. Walhi juga mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Selatan,
namun Putusan PT Jakarta 27 Oktober 2008 menguatkan putusan PN Jakarta Selatan 27
Desember 2007 Semburan Lumpur panas di Sidoarjo disebabkan fenomena alam. Surat

8

Panitera PN Jakarta Selatan 14 Januari 2009 yang menyatakan masing-masing pihak tidak
mengajukan Kasasi, sehingga secara hukum Putusan PT Jakarta 27 Oktober 2008 mempunyai
kekuatan hukum tetap (Inkracht).
Manusia mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Aktifitasnya
mempengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, manusia juga dipengaruhi oleh lingkungannya.
Hubungan timbal balik demikian terdapat antara manusia sebagai individu atau kelompok
atau masyarakat dan lingkungan alamnya. Perkembangan selanjutnya pada abad ke-20, dalam
waktu yang relatif singkat, keseimbangan antara kedua bentuk lingkungan hidup manusia
tersebut mengalami gangguan, secara fundamental mengalami konflik. Inilah yang dianggap
sebagai awal krisis lingkungan, karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.
Sangat sulit jika sesama manusia mengklaim benar atau salah terhadap lingkungan,
sehingga alternatif solusi yang dikedepankan ialah bagaimana cara memperbaiki lingkungan.
Secara administratif permasalahan hukum lingkungan tidak dapat berdiri sendiri-sediri antara
pihak korban dan pelaku, selalu ada peranan pemerintah di dalamnya. Atas kejadian
semburan Lumpur Lapindo, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun
2007, Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli tanah dan bangunan masyarakat yang
terkena dampak luapan lumpur lapindo. Berdasarkan hal tersebut maka Lapindo mau
bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dengan cara membeli tanah dan
bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo.
Berdasarkan data Kementerian PU bulan April 2012, ada beberapa kondisi objektif
atas kasus lumpur Lapindo yang perlu diketahui untuk menghindari prasangka negatif.
Pertama, terkait dengan penanganan masalah sosial kemasyarakatan, di mana sesuai dengan
rencana PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) pada 30 Maret 2010 menetapkan untuk melakukan
pelunasan pembelian tanah dan bangunan yang direncanakan selesai Desember tahun 2012,
sebesar Rp. 3.830.568.730.620 sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Peta Area Terdampak (PAT) awal. Selanjutnya PT
MLJ juga merencanakan pembelian tanah dan bangunan per April 2012 sebesar Rp.
3.409.206.170.252, dan untuk rencana ini mencapai realisasi sebesar 89 %. Secara
keseluruhan dari dua agenda rencana yang disebutkan tersebut dapat direalisasikan oleh PT
MLI per April 2012 sebesar Rp. 2.911.801.629.454 atau 76,01 %, artinya terjadi
keterlambatan realisasi sebesar Rp. 497.404.540.798 atau 12,99 %. Jika data ini ditotalkan
maka kekurangan realisasi pembayaran PT MLJ sebesar Rp. 918.767.101.166 atau 23,99 %.
Tambahan, bahwa kasus PAT tahun 2007 ini meliputi 641 Ha, 13.237 Kepala Keluarga (KK),
dan 39.947 jiwa.

9

Kedua, progres pembelian tanah dan bangunan oleh BPLS di wilayah 3 (tiga) desa
yaitu Kedungcangkring, Besuki, dan Pejarakan, termasuk untuk fasilitas umum/sosial, sesuai
Perpres Nomor 48 tahun 2008 mengikuti tahapan pembayaran PT MLJ. Dalam hal ini
realisasi per April 2012 mencapai Rp. 508.097.357.976 atau 80,94 % dari target penyelesaian
sebesar RP. 627.782.942.810. Artinya masih tersisa 19,06 % yang belum terealisasi, namun
pemerintah tetap optimis terhadap penyelesaian sisa pembayaran karena penanganan masalah
sosial kemasyarakatan ini direncanakan selesai pada tahun anggaran 2012. Tambahan lagi,
bahwa penanganan pembelian tanah dan bangunan warga dengan satuan yang telah dijelaskan
tersebut meliputi 70 Ha, 1.790 Kepala keluarga, dan 6.094 jiwa.
Ketiga, Perpres Nomor 40 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 68 tahun 2011 tentang PAT
9 (sembilan) Rukun Tetangga (RT) melalui penanganan BPLS per Maret 2012 telah
menyalurkan bantuan uang jaminan bulan ketiga kepada warga 9 RT dan pembayaran 20 %
pembelian tanah dan bangunan di wilayah 3 RT di Kelurahan Siring dan Jatirejo direncanakan
pada pertengahan Maret 2012. Sedangkan pembayaran 20 % pembelian tanah dan bangunan
di wilayah 3 RT di Kelurahan Mindi belum dapat dilaksanakan karena masih adanya
resistensi warga 18 RT di Kelurahan Mindi. Dalam konteks kasus ini, BPLS merencanakan
pembayaran 80 % akan dilakukan pada Mei 2012. Secara keseluruhan persoalan penanganan
masalah sosial kemasyarakatan direncanakan selesai pada tahun anggaran 2012 dengan total
biaya Rp. 436.797.455.650 dan bantuan sosial berupa kontrak rumah 2 tahun, tunjangan
hidup 6 bulan, dan biaya evakuasi Rp. 15.954.468.000. Perlu pula diketahui bahwa
pertimbangan sebagai daerah yang dianggap tidak layak huni didasarkan pada rekomendasi
gubernur setempat dari hasil studi Tim Kajian Kelayakan Permukiman yang meliputi 9 RT
dan 3 Desa, yaitu Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi serta mencakup 31 Ha, 761 KK, dan 2.942
jiwa.
Keempat, tentang wilayah tidak aman di luar Peta Area Terdampak (PAT) Hasil kajian
Tim Terpadu (65 RT), hingga 5 April 2012 telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 37
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS.
Atas dasar Perpres tersebut pembayaran bantuan sosial akan dibayarkan pada tahun anggaran
2012 sebesar Rp. 55.761.200.000. Pembayaran jual beli tanah dan bangunan dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu untuk 65 RT (329 Ha) diperkirakan sebesar
Rp. 2.171.944.760.000, dan pada tahun 2012, sesuai APBN-P telah teralokasi dana uang
muka sebesar 20 % untuk pembelian tanah dan bangunan bagi 65 RT (sekitar Rp. 435 milyar)

10

sehingga ada optimism bahwa masalah penanganan pembayaran bantuan sosial oleh BPLS
dapat diselesaikan pada tahun anggaran 2012 ini.
Berdasarkan data yang diungkapkan di atas, jelas bahwa pemerintah sangat serius dan
konsisten dalam penanganan lumpur Lapindo, di mana kewajiban pihak swasta yang
bertanggungjawab terhadap terjadinya masalah lumpur Lapindo telah dipagari dengan norma
peraturan yang cukup tegas dan mengikat. Namun, pemerintah juga menyadari bahwa
tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk penyelesaian penanganan lumpur Lapindo
dengan segera dapat dipahami dan diterima, tetapi di lain pihak, publik diharap dapat
menyadari bahwa terapi penyelesaian lumpur Lapindo memerlukan kecermatan dan
pendekatan komprehensif agar setiap tahapan penanganan tidak menimbulkan persoalan baru
dari aspek hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan hak-hak warga negara itu sendiri.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa, penegakan hukum
lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat
Sidoarjo tidak hanya dilakukan dalam ranah hukum pidana, tetapi juga bidang hukum
lainnya. Hukum pidana maupun hukum perdata terbukti tidak dapat menanggulangi kerugian
korban lumpur lapindo. Atas kejadian semburan Lumpur Lapindo, Presiden mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli
tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo. Berdasarkan
hal tersebut maka Lapindo mau bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan
dengan cara membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur
lapindo.

2.2 Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap
Kasus PT. Lapindo
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya terletak
pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.Faktor faktor tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Faktor Hukum/ Undang-undang
Undang-undang merupakan peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
penguasa pusat maupun daerah yang sah. Undang-undang merupakan pengejawantahan
nilai-nilai yang disepakati pemerintah. Permasalahan yang sering terjadi adalah Undangundang belum memiliki peraturan pelaksana padahal dalam undang-undang tersebut

11

diamanatkan demikian, kemudian adapula undang-undang yang tidak diikuti asas-asas
berlakunya undang-undang serta ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran dan penerapannya.
Pada saat bencana lumpur lapindo, Pemerintah belum memiliki aturan yang jelas mengenai
bencana yang disebabkan manusia yang juga merupakan bencana alam, sehingga Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS. Kendala terbesar
dalam proses penyidikan lumpur lapindo adalah adanya celah yang menguntungkan
dengan terjadinya bencana gempa di Yogyakarta dengan peristiwa tersebut, sehingga ada
alasan berlindung bagi korporasi untuk tidak bertanggung jawab sehingga ketika dianggap
menjadi sebuah bencana alam maka pemerintah yang bertangunggjawab. Kedua persepsi
antara bencana alam dan bencana teknologi yang dimanfaatkan oleh korporasi untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah dan proses hukumnya.
b. Faktor Penegak Hukum
Ruang lingkup suatu penegakan hukum adalah sangat luas, karena mencakup mereka
yang secara langsung maupun tidak langsung berkecimpung dalam penegakan hukum.
Untuk membatasi hal yang luas tersebut maka mengartikan penegakan hukum skala
subjektif penegakan hukum haruslah tertentu yaitu polisi, jaksa, hakim, dan pengacara.
Faktor penegak hukum memegang peran dominan. Beberapa permasalahan yang dihadapi
penegak hukum antara lain:
1)
2)

Tingkat aspirasi yang belum tinggi
Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali
untuk membuat suatu proyeksi.
3) Belum adanya kemampuan menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan materil.
4) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
5) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan
siapa dia berinteraksi.
Polri sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi ini tentu tidak mempunyai
kapasitas atau kemampuan terkait dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Berdasarkan
hal tersebut maka terlihat ada kekurangan atau kelemahan dalam bidang struktural, yaitu
penguasaan pembuktian terhadap tindak pidana yang memerlukan teknologi tinggi.
Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum secara preventif berarti
pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian langsung
yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum

12

telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif adalah penyuluhan,
pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel,
penghentian mesin dan sebagainya). Dengan demikian izin penegak hukum yang utama di
sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan dalam hal
perbuatan yang melanggar peraturan.
Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997 dan UU
32 Tahun2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memungkinkan
Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri
pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan dan pemulihan. Disamping paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat
dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu
instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan
efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara
sukarela

untuk

memverifikasi

ketaatan

terhadap

peraturan

perundang-undangan

lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan standar yang diterapkan
secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang bersangkutan. Seharusnya
Kepala daerah dapat melakukan pengawaasan yang baik, namun keenangan tersebut tidak
dilaksanakan.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup dan lainnya.
Penegakan hukum lingkungan terhadap kasus lingkungan di pengaruhi juga oleh
teknologi yang kurang mendukung. Penegakan hukum lingkungan terhadap kasus
lingkungan menemui hambatan apabila berkaitan dengan proses pembuktian, apakah
lumpur lapindo di pengaruhi kesalahan manusia atau kehendak alam. Hal ini tentunya
diperlukan alat-alat atau tekhnologi canggih.
d. Faktor Kebudayaan

13

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga
dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya
merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan.
Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR.
Korupsi dana jual beli lahan lapangan sepak bola oleh pihak desa kepada Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) segera dituntaskan proses hukumnya.
Budaya korup inilah yang menyengsarakan rakyat di samping bencana semburan
lumpur yang menimbulkan kerugian. Budaya korupsi ini menghambat penegakan hukum
lingkungan, karena pelaksanaan ganti rugi berupa jual beli tanah terdampak tidak berjalan
sebagaimana mestinya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, maka di dapatkan simpulan sebagai
berikut:
1. Penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo yang menimbulkan kerugian
bagi masyarakat Sidoarjo tidak hanya dilakukan dalam ranah hukum pidana, tetapi juga
bidang hukum lainnya. Hukum pidana maupun hukum perdata terbukti tidak dapat
menanggulangi kerugian korban lumpur lapindo. Atas kejadian semburan Lumpur
Lapindo, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo
Brantas bertanggung jawab membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena
dampak luapan lumpur lapindo. Berdasarkan hal tersebut maka Lapindo mau

14

bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dengan cara membeli tanah dan
bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo.
2. Faktor faktor yang menghambat penegakan hukum lingkungan dalam kasus Lapindo
antara lain faktor Hukum/ Undang-undang yaitu, pada saat bencana lumpur lapindo,
Pemerintah belum memiliki aturan yang jelas mengenai bencana yang disebabkan manusia
yang juga merupakan bencana alam, sehingga Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS. Faktor Penegak Hukum yaitu, Polri sebagai
penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi ini tentu tidak mempunyai kapasitas atau
kemampuan terkait dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Selain itu kepala daerah
seharusnya dapat melakukan pengawaasan yang baik, namun keenangan tersebut tidak
dilaksanakan. Sarana dan prasarana juga mempengaruhi penegakan hukumhal ini
dikarenakanbelum adanya alat-alat atau tekhnologi caanggih. Budaya korupsi juga ikut
menghambat penegakan hukum lingkungan, karena pelaksanaan ganti rugi berupa jual beli
tanah terdampak tidak berjalan sebagaimana mestinya.

3.2 Saran
1. Sebaiknya dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ganti rugi Lapindo terhadap
korban oleh pemerintah.
2. Seharusnya penegakan hukum pidana dalam kasus Lapindo tetap dilanjutkan, karena
bagaimanapun pemicu semburan lumpur Lapindo akibat perbuatan manusia.

15