KONFIGURASI STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP GE

PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA
KONFIGURASI STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP GEOMETRI AKUIFER AIRTANAH
DENGAN METODE GEOLISTRIK SCHLUMBERGER DAN POLE-DIPOLE
KECAMATAN GEDANGSARI, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, DIY
Yulian Kurnia Munandar 1)
M. Ridwan Massora 1)
Kathana Didin Fakhrudin 2)
) T. Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta 2) T. Geofisika UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. SWK 104, Condongcatur, Kec. Depok, Kab. Sleman, D.I. Yogyakarta, Kode Pos 55283.
E-mail: yulian.kurnia@yahoo.co.id
1

ABSTRAK
Kabupaten Gunungkidul memiliki jumlah penduduk 698,825 jiwa dengan kebutuhan air yang
cukup besar untuk berbagai keperluan. Kabupaten Gunungkidul, khususnya bagian utara menempati
wilayah yang sebagian besar terdiri dari perbukitan vulkanik berumur Tersier. Hal tersebut membuat
Kabupaten Gunungkidul bagian utara menjadi wilayah yang kesulitan akan air. Kondisi akuifer airtanah
yang ada di Kabupaten Gunungkidul bagian utara dikontrol oleh sistem geologi maupun hidrogeologi.
Kondisi akuifernya termasuk kedalam akuifer celah atau sarang dengan produktifitas yang kecil yang

ditemukan setempat dan sebagian besar termasuk ke dalam daerah airtanah langka. Persebaran akuifer
celah tersebut dikontrol oleh sistem rekahan yang tersebar secara sistematis mengikuti pola struktur
sesar baik mengontrol persebaran secara vertikal maupun horisontal. Pemetaan hidrogeologi meliputi
pemetaan sumur gali, mata air yang didukung oleh pemetaan geolistrik metode Sounding Schlumberger
dan Pole-Dipole. Berdasarkan hasil pengukuran geolistrik menunjukkan bahwa sistem akuifer dikontrol
oleh struktur geologi sebagai porositas sekunder/celah airtanah terperangkap, yang dikonfigurasikan
dengan data geologi permukaan sebagai zona sesar dan perlapisan batuan jenuh air akibat kekar dan
pelapukan batuan. Geometri akuifer airtanah secara horisontal tersebar pada lembah Pegunungan
Baturagung berarah W-E dengan kedalaman akuifer antara 10-200 meter.
Kata kunci: airtanah, struktur geologi, geolistrik.
1. PENDAHULUAN
Airtanah yang ada di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian utara khususnya daerah Gedangsari
dan sekitarnya dikontrol oleh sistem geologi maupun sistem hidrogeologi. Geomorfologi daerah
penelitian dikontrol oleh kondisi persebaran batuan membentuk perbukitan homoklin yang terpotongpotong oleh suatu sistem struktur geologi membentuk daerah tangakapan dan luahan airtanah
(groundwater recharge & discharge area). Kondisi akuifer airtanahnya sendiri merupakan satuan yang
tersusun atas batuan vulkanik Tersier membentuk perbukitan dengan komposisi akuifer berupa litologi
batuan vulkanik klastika halus dan kasar. Hal tersebut menjadi salah satu pengontrol kondisi akuifer,
dimana akuifer yang berkembang berupa akuifer celah atau sarang dengan produktifitas kecil yang
ditemukan setempat dan sebagian besar tersusun atas daerah airtanah langka (non akuifer). Keterdapatan
airtanahnya merupakan kondisi akuifer dengan kedalaman > 15 meter (kedalaman airtanah dalam),

sedangkan pada daerah yang membentuk lembah memiliki kondisi akuifer dengan kedalaman 7-15
meter (kedalaman airtanah sedang).
Kondisi geologi dan hidrogeologi wilayah Gedangsari menarik untuk diteliti dan dikaji karena
stratigrafi daerah penelitian secara umum terdiri dari batuan vukanik klastik dengan daya simpan
airtanah yang rendah; struktur geologi daerah penelitian cukup kompleks, merupakan pengontrol dari
morfologi perbukitan, lembah dan dataran; kondisi hidrogeologi daerah penelitian sebagian besar
merupakan daerah airtanah langka dan setempat berkembang akuifer celah atau sarang.
Hal menarik tersebut yang menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian terkait geometri
akuifer dalam ruang lingkup kecil berdasarkan gejala struktur geologi yang dikonfigurasikan dengan
data geolistrik metode Schlumberger dan Pole-Dipole sebagai suatu kegiatan identifikasi dan eksplorasi
air tanah.

PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA
2. METODE PENELITIAN
Akuifer airtanah yang berada di Gedangsari dan sekitarnya belum banyak dieksploitasi secara
menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Dalam hal ini terdapat beberapa metode yang
dapat digunakan untuk mengetahui potensi terdapatnya akuifer airtanah di daerah Gedangsari. Salah
satunya adalah metode geolistrik yang mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi. Keunggulan

metode ini adalah dapat digunakan untuk mengadakan eksplorasi dangkal yang tidak bersifat merusak
dalam pendeteksiannya. Pendeteksian di atas permukaan bumi meliputi pengukuran medan potensial
arus, yang terjadi baik secara alamiah maupun akibat penginjeksian arus ke dalam bumi. Tujuan survey
geolistrik tahanan jenis adalah untuk mengetahui resistivitas bawah permukaan bumi dengan melakukan
pengukuran di permukaan bumi dan bisa digunakan oleh peneliti untuk meneliti adanya air di bawah
permukaan. Resistivitas bumi berhubungan dengan mineral, kandungan fluida dan derajat saturasi air
dalam batuan.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah pemetaan geologi permukaan baik pengamatan
geomorfologi, struktur geologi dan stratigrafi; serta pemetaan hidrogeologi berupa pengukuran sumur
gali, mata air dan survey geolistrik metode Sounding Schlumberger dan Pole-Dipole. Pemetaan muka
airtanah melalui pengukuran sumur gali dan mata air sebagai dasar pembuatan peta muka airtanah dan
peta aliran airtanah. Sedangkan data geologi permukaan tersebut dijadikan acuan sebagai dasar-dasar
penentuan zona airtanah yang dikorelasikan dengan hasil survey geolistrik. Airtanah dengan nilai
konduktivitas hidrolik yang berbeda-beda dapat dipengaruhi oleh struktur geologi yang berkembang
ditandai dengan ditemukannya sumur-sumur gali dengan elevasi muka airtanah mendekati topografi.
Sedangkan mata air yang muncul pada struktur geologi dapat mengindikasikan bahwa struktur geologi
tersebut bertindak sebagai channel tempat airtanah mengalir ke atas permukaan.
3. DATA
Pemetaan geologi dan hidrogeologi yang dilakukan meliputi Desa Hargomulyo, Mertelu, Terbah,
Ngoro-Oro, Nglegi dan sekitarnya didapatkan 9 stasiun pengamatan struktur geologi, 76 titik

pengukuran sumur gali, 11 titik pengukuran mata air, yang dikorelasikan dengan 9 titik pengukuran
Sounding Schlumberger, 3 lintasan Pole-Dipole, dan 1 titik sumur bor dalam dimuat dalam peta muka
airtanah dan struktur geologi (Gambar 1).
Pemetaan geologi yang dilakukan menghasilkan tiga pola arah struktur geologi berdasarkan hasil
analisis lapangan dan studio dengan mengamati ciri-ciri sesar dan melalui gejala geologi lainnya. Tiga
pola arah sesar tersebut meliputi pola arah N-S, NE-SW dan pola arah NW-SE yang memotong Formasi
Kebo-Butak, Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran. Pola arah sesar N-S meliputi Sesar Mendatar
Ngalang, Sesar Mendatar Manggung, Sesar Mendatar Geduro, Sesar Mendatar Padangan. Pola arah
sesar NE-SW meliputi Sesar Mendatar Mertelu. Sedangkan pola arah sesar NW-SE meliputi Sesar
Mendatar Banjarejo, Sesar Mendatar Pace, Sesar Mendatar Karang, Sesar Mendatar Kacangan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Geologi daerah penelitian berdasarkan keadaan geomorfologi dapat dibagi menjadi 2 bentuk lahan
antara lain lembah struktural sesar dan perbukitan homoklin. Persebaran lembah sesar memanjang relatif
W-E yang diapit oleh perbukitan homoklin pada bagian utara berupa Pegunungan Kebo-Butak dan pada
bagian selatan berupa Pegunungan Baturagung (Gambar 4).
Gejala geologi berupa stratigrafi dan struktur geologi menunjukkan kedudukan perlapisan batuan
secara umum memiliki kemiringan relatif ke selatan, dengan dominasi litologi yaitu batupasir vulkanik
dan breksi pada bagian bawah, batupasir tufan, tuf dengan sisipan breksi, batulapili dan lava andesit
pada bagian tengah, dan breksi dengan sisipan lava andesit dan batupasir vulkanik pada bagian atas.
Keadaan litologi tersebut sangat segar dengan persebaran yang sangat baik diamati. Adapun batuan yang

bertindak sebagai akuifer airtanah yaitu pada litologi batupasir tuffan, tuff, dan batupasir vulkanik pada
Formasi Semilir dengan dasar akuifer yaitu batuan vulkanik massif yang lebih tua diperkirakan termasuk
kedalam Formasi Kebo-Butak. Persebaran struktur geologi lainnya berupa kekar dan sesar memanjang
E-W sebagai suatu zona sesar dan kekar dengan intensitas yang tinggi membentuk celah sebagai bentuk
porositas sekunder pada akuifer daerah penelitian (Gambar 5 dan Gambar 6). Kekar-kekar sistematis
banyak dikontrol oleh pembentukan sesar. Persebaran sesar dapat dikelompokkan menjadi 3 pola arah
umum antara lain pola N-S pola NE-SW dan pola NW-SE. Pola berarah NE-SW dan NW-SE merupakan
pola yang mengontrol persebaran akuifer daerah penelitian. Pada umumnya orientasi sesar SE-NW

PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA
berkisar antara N 275°W hingga N 310° W dan NE-SW berkisar antara N20°E hingga 50°E. Diantara
sesar-sesar tersebut merupakan sesar yang penting karena mengontrol geomorfologi lembah sesar,
pemunculannya mata air dan merupakan pengontrol dari suatu sistem geometri airtanah (sistem akuifer).
Sedangkan pola N-S merupakan pola sesar yang tegak lurus terhadap arah dari morfologi perbukitan
homoklin yang bertindak sebagai channel airtanah keluar sebagai run-off. Pola persebaran struktur
geologi sesar dapat dilihat pada Gambar 1 dengan permodelan 3 dimensi menjadi diagram balok yang
disajikan pada Gambar 3.
Pemetaan hidrogeologi meliputi pemetaan sumur gali, mata air dan didukung oleh pemetaan

geolistrik metode Sounding Schlumberger dan Pole-Dipole. Persebaran sumur gali banyak berada pada
bagian lembah dan rendahan, sedangkan mata air berada pada tekuk lereng antara morfologi perbukitan
dan lembah. Berdasarkan pemetaan tersebut maka pola muka airtanah dapat diketahui menuju ke bagian
lembah bagian tengah Kec. Gedangsari tepatnya Desa Hargomulyo. Arah aliran ini merupakan penunjuk
bahwa perbukitan tersebut merupakan daerah imbuhan, sedangkan lembah “depresi Baturagung” ini
merupakan daerah luahan atau lepasan dengan Kali Juwet dan Ngalang sebagai channel mengalirnya
airtanah yang terkumpul pada “depresi Baturagung” ini menjadi run-off.
Berdasarkan hasil pengukuran geolistrik menunjukkan bahwa sistem akuifer dikontrol oleh struktur
geologi sebagai porositas sekunder/celah airtanah terperangkap, ditunjukkan dengan nilai resistivitas
yang rendah. Hasil pengukuran geolistrik metode Sounding Schlumberger resistivitas menunjukkan
persebaran stratigrafi baik yang jenuh air maupun yang tidak (Gambar 2). Berdasarkan titik pengukuran
1, 2, 4, 5, 7, 8 dan 9 menunjukkan zona akuifer airtanah dibuktikan dengan nilai resistivitas berkisar
antara 2-32 ohm.m. Sedangkan pada titik pengukuran 3 dan 6, menunjukkan dasar dari akuifer airtanah
dibuktikan oleh nilai resistivitas antara 44-55 ohm.m. Sedangkan hasil pengukuran geolistrik metode
Pole-Dipole menunjukkan anomali resistivitas yang diindikasikan sebagai zona sesar dan perlapisan
batuan (Gambar 2). Pada Lintasan 1 & 2 Pole-Dipole menunjukkan pola anomali miring ke utara
sebagai Sesar Mendatar Kacangan dan Sesar Mendatar Mertelu dan pola anomali miring ke selatan
sebagai lapisan batuan. Persebaran akuifer pada lintasan ini dikontrol oleh struktur sesar yang
ditunjukkan oleh nilai resistivitas < 35 ohm.m. Lintasan 3 Pole-Dipole menunjukkan pola anomali ke
selatan sebagai lapisan batuan. Akuifer pada lintasan ini merupakan akuifer bebas yang dangkal pada

bagian permukaan dengan kedalaman berkisar antara 10-20 meter ditunjukkan oleh nilai resistivitas <
35 ohm.m, dasar akuifer airtanah tersebut ditunjukkan oleh nilai resistivitas >35 ohm.m.
Pengukuran gejala geologi, hidrogeologi tersebut dikonfigurasikan menjadi beberapa diagram balok
dan penampang yang menghasilkan orientasi persebaran secara vertikal, lalu data geofisika sebagai
pengontrol interpretasi dan dasar penarikan penampang konfigurasi dan hidrostratigrafi disajikan dalam
Gambar 7.
5. KESIMPULAN
Penelitian menunjukkan bahwa struktur geologi pada daerah telitian mengontrol pelamparan baik
secara vertikal maupun horisontal serta kelimpahan airtanah pada daerah Gedangsari, Kabupaten
Gunungkidul.
Hasil pengamatan geomorfologi menunjukkan persebaran lembah sesar memanjang relatif W-E
yang diapit oleh perbukitan homoklin searah dengan persebaran kekar dan sesar sebagai suatu zona sesar
dan kekar dengan intensitas yang tinggi membentuk celah sebagai bentuk porositas sekunder pada
akuifer daerah penelitian. Kekar-kekar sistematis dikontrol oleh pembentukan sesar yang
dikelompokkan menjadi 3 pola arah umum dengan pola arah NE-SW dan NW-SE merupakan pola yang
mengontrol persebaran akuifer daerah penelitian.
Pemetaan hidrogeologi menunjukkan sumur gali tersebar pada bagian lembah dan rendahan,
sedangkan mata air berada pada tekuk lereng antara morfologi perbukitan dan lembah. Hasil pengukuran
geolistrik menunjukkan akuifer berada pada kedalaman antara 2-200 meter, ditunjukkan dengan nilai
resistivitas berkisar antara 2-32 ohm.m.


PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gunungkidul. (2011). Publikasi Data
Spasial, bappeda.gunungkidul.go.id. Yogyakarta: Bappeda Gunungkidul.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gunungkidul. (2015). Gunungkidul Dalam Angka 2015.
Yogyakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gunungkidul.
Bemmelen, R.W. Van. (1949). The Geology of Indonesia. Vol IA. General Geology. The Hague.
Martinus Nijhof.
Cosgrove, J.W. and M.S. Ameen. (2000). A Comparison of The Geometry, Spatial Organization and
Fracture Patterns associated with forced folds and buckle folds. Geological Society Special
Publication No.169, London, pp. 7-21.
Hamblin, W. Kenneth and Eric H. Christiansen. (2009). Earth’s Dynamic System, Tenth Edition.
Prentice Hall College Div.
J. Kodoite, Robert. (1996). Pengantar Hidrogeologi. Yogyakarta. ANDI Yogyakarta.
Juanda P., D. dan D. Erwin I. (2012) Hidrogeologi Umum. Bandung: Kelompok Keahlian Geologi
Terapan, ITB.
Juanda P., Deny. (2006). Tipologi Sistem Akuifer, www.fiktm.itb.ac.id. Bandung: Teknik Geologi ITB.

Rodhi, A., Edi Indrajaya, C. Prasetiyadi, Jatmiko Setiawan and Puji Pratiknyo. (2016). Fractures
Control of Groundwater Aquifer Configuration at Baturagung Volcanic Range, A Potential
New Geosite of Gunung Sewu Geopark. In Regional Geoheritage Conference 2016 the 9th
Indonesia-Malaysia Conference, 24-25, Yogyakarta.
Satyana, Awang H. (2007). Central Java, Indonesia – a “Terra Incognita” in Petroleum Exploration:
New Considerations on the Tectonic Evolution and Petroleum Implications, dalam Proceedings,
Indonesian Petroleum Association (IPA) Thirty-First Annual Convention and Exhibition, May
2007.
Singhal, B.B.S. dan R.P. Gupta. (2010). Applied Hydrogeology of Fractured Rocks, Second Edition.
New York: Springer Dordrecht Heidelberg London.
Surono, Sudarno, Ign, dan Toha B. (1992). Peta geologi Lembar Surakarta-Giritontro, skala 1:100.000.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Surono. (2009). Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi Vol.19 No.3 Juni 2009, 31-43.
Todd, D.K. (1980). Groundwater Hydrology. New York: John Wiley and Sons.
U. S. Geological Survey (USGS). (2000). Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) 1-Arc Second (30
meters), https://earthexplorer.usgs.gov/, was flown aboard the space shuttle Endeavour
February 11-22, 2000.
Wartono, R., dkk. (1995). Peta geologi Lembar Yogyakarta, skala 1:100.000. Bandung: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.

Zeffitni. (2011). Indentifikasi Batas Lateral Cekungan Airtanh (CAT) Palu. Jurnal SMARTek, Vol.9,
No.4 November 2011: 337-349.

PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA
LAMPIRAN

Gambar 1. Peta Struktur Geologi dan Muka Air Tanah, persebaran titik survey geolistrik metode
Schlumberger dan Pole-Dipole dan kemenerusan struktur geologi sesar berdasarkan data lapangan
(garis tegas) dan sesar diperkirakan (garis putus-putus)

PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA

Gambar 2. Hasil Pengukuran Survey Geolistrik,
metode Schlumberger (kiri) dan metode Pole-Dipole (kanan)

Gambar 3. Diagram Balok Struktur Geologi Daerah Penelitian


PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA

Gambar 4. Geomorfologi diambil dari D. Mertelu ke arah utara (A) dan tenggara (B), Nampak
morologi lembah sesar dengan gejala triangular facet yang tersebar pada bagian selatan.

Gambar 5. Bukti sesar Mertelu pada bagian barat: (A, B) zona sesar pada sungai musiman
D. Mertelu; (C, D) zona sesar tepat di bawah lereng bagian utara G. Baturagung

PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA

Gambar 6. Bukti sesar Mertelu pada bagian timur : (A) zona sesar dengan mata air pada bagian kanan
bawah foto (B, C) zona sesar keadaan singkapan jenuh air; (D, E) zona sesar dengan intensitas kekar
gerus yang tinggi

PROCEEDING, KONGRES & PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE-2
PERHIMPUNAN AHLI AIRTANAH INDONESIA (PIT-PAAI)
13 – 15 SEPTEMBER 2017, YOGYAKARTA

Gambar 7. Diagram Balok dan Penampang Detil Satuan Batuan & Akuifer Airtanah
Daerah Penelitian Berdasarkan Pemetaan Geologi Permukaan dan Profil Resistivitas Geolistrik