KEKERASAN IBU SINGLE PARENTS TERHADAP AN

KEKERASAN IBU SINGLE PARENTS TERHADAP ANAK
( Studi Fenomenologi pada Keluarga Ibu Single Parents di Kota Malang)
Agustin Ikawati
Mahasiswa : Psikologi/ Fisip
Universitas Brawijaya
Malang, Jawa Timur

ABSTRACT
This study aims to know violent behavior by single parent mothers to her children, a
phenomenological study on mothers of single parent families in Malang City. This
study applied the theory of violence factor by Mu’tadin (2002). This study used
qualitative methods with phenomenological approach. The collected data were
analyzed data reduction methods by Milles and Huberman (2007). Techniques of
data collection used semi-structured interviews with primary and secondary subjects,
and also used the non-participant observation. Validity and realibility used
credibility and confirmability. The results of this research are each subjects has
performed violent behavior either verbally and non-verbally to their children.
Dominants factor of the emergence of violent behavior of the four subjects are
frustration factor and anger factor.
Key words : Violent Behavior, Single Parent mothers


ABSTRAKSI
Penelitian ini mengangkat tentang perilaku kekerasan oleh ibu single parents
terhadap anaknya, studi fenomenologi pada keluarga ibu single parents di Kota
Malang. Penelitian ini menggunakan teori faktor kekerasan dari Mu’tadin (2002).
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis metode
reduksi data. Teknik pengambilan data menggunakan wawancara semi terstruktur
dengan subyek primer dan sekunder serta menggunakan obsevasi non-partisipan.
Analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif, validitas dan realibilitas
menggunakan kredibilitas dan konfirmabilitas. Hasil penelitian ini adalah setiap

1

2

subyek melakukan perilaku kekerasan baik secara verbal maupun non-verbal terhadap
anaknya. Faktor dominan timbulnya perilaku kekerasan dari ke empat subyek adalah
faktor frustasi dan faktor marah.
Kata kunci: Perilaku kekerasan, ibu single parent

PENDAHULUAN

Pengasuhan oleh orang tua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman
modern ini. Sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita
sebagai kepala keluarga merangkap sebagai ibu rumah tangga, dengan kata lain
wanita menjalankan peran ganda. Fenomena yang terjadi di negara-negara maju
menunjukkan hal sama yang terjadi pada negara lain termasuk Indonesia. Orang tua
yang lengkap memang memiliki keuntungan dibanding orang tua tunggal, yaitu bisa
berbagi dan menyediakan kondisi yang harmonis bagi perkembangan anak mereka
(Dwiyani,2009).
Menjadi orangtua tunggal pada dasarnya bukan pilihan hidup, namun bagi
mereka yang bersatatus single parent yang mampu mempersiapkan dengan matang
akan tidak menjadi beban berat. Hal ini dapat menjadikan solusi atas berbagai
kebutuhan, misalnya kebutuhan berbagi, kebutuhan untuk mengatasi kesepian,
kebutuhan akan peran sebagai orangtua. Lain halnya bila menjadi orangtua tunggal
yang belum mampu mempersiapkan dengan matang, sungguh tidak mudah untuk
dihadapi karena banyaknya persoalan yang mengelilingi. Terlebih lagi dengan
kondisi ekonomi yang memprihatinkan tanpa dukungan sosial yang memadai,
kadang-kadang keadaan menjadi sangat dramatis (Dwiyani, 2009).
Ada kecenderungan masyarakat modern bisa menerima fenomena orang tua
tunggal (single parent), karena pasangan bercerai atau meninggal sebagai hal biasa.
Meski begitu, sebaiknya orang dewasa tidak menganggap ringan dampak

psikologisnya terhadap anak yang baru saja ditinggal salah satu orang tuanya.
Pasalnya, anak yang belum siap menghadapi rasa kehilangan akan terpukul, dan
kemungkinan besar mengalami perubahan tingkah laku (Khaltarina, 2004).
Terdapat kekhawatiran dalam keluarga dengan orang tua tunggal dimana orang
tua tersebut harus bekerja sekaligus membesarkan anaknya, seorang yang menjadi
orang tua tunggal harus memenuhi kebutuhan akan kasih sayang dan juga keuangan,
berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus, serta mengendalikan kemarahan atau
depresi yang dialami oleh anaknya maupun dirinya sendiri. Orang tua yang demikian
mengalami masalah karena terkucil secara sosial dari kelompok orang tua yang masih

3

lengkap (berpasangan) sehingga semuanya ini memperberat tugas sebagai orang tua
tunggal (Ratri, 2006).
Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang
mudah bagi seorang wanita, terutama dalam hal membesarkan anak. Hal ini
dikarenakan, di satu sisi harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya
(pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain, harus memenuhi
semua kebutuhan fisik anak-anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan,
pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi). Artinya, wanita yang

berstatus sebagai single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan
domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yakni membentuk
anak yang berkualitas, karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai pasangan untuk
saling menopang (Ratri, 2006).
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi wanita sebagai single parent
adalah ekonomi. Papalia, Olds dan Feldman (2002) menyebutkan bahwa kemiskinan
akan memberikan efek gangguan emosional kepada orangtua tunggal, yang kemudian
akan mempengaruhi cara mereka dalam mengasuh anak-anak. Sudah tentu, oleh
karena mengalami gangguan emosional, maka orangtua boleh jadi mengasuh anak
dengan cara yang tidak tepat dan tidak proporsional sehingga, anak-anak pun
berpotensi menjadi korbannya yang bisa berujung pada terciptanya keluarga broken
home.
Menurut psikolog dari Pusat Krisis Universitas Indonesia Dini (1996),
kekerasan itu sendiri dibagi ke dalam dua bentuk yakni kekerasan psikis (verbal) dan
fisik (non verbal). Kekerasan verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang
tua dengan bentuk kemarahan menggunakan makian, ataupun kritik tajam. Orang tua
menyebut anak sebagai anak bodoh, nakal, anak kurang ajar, anak tidak tahu diri,
anak tidak berguna dan segala bentuk kata-kata yang merendahkan diri anak. Adapun
kekerasan non verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan
bentuk kekerasan terhadap fisik baik menggunakan alat ataupun tidak. Orang tua

melakukannya dalam bentuk tamparan, pukulan, tendangan, dan segala bentuk
kekerasan yang menyebabkan luka fisik.
Zein (2005), mendefinisikan kekerasan oleh ibu sebagai setiap tindakan bersifat
menyakiti fisik dan psikis yang bersifat traumatik yang dilakukan ibu terhadap
anaknya baik yang dapat diiihat dengan mata telanjang atau dilihat dari akibatnya
bagi kesejahteraan fisik dan mental anak. Menurut Gelles (Suyanto, 2002) kekerasan
oleh ibu dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik dan mental yang
umumnya dilakukan oleh ibu yang mempunyai tanggung jawab terhadap

4

kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman
terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anaknya.
Kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2012 di Kota Malang, melonjak
secara signifikan. Kekerasan meliputi kekerasan fisik, seksual, dan psikologis. Data
Unit Penanganan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Malang Kota menyebutkan
terdapat 182 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah tersebut naik 31 persen
dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan di Kabupaten Malang selama 2012 terdapat
350 kasus. Sebanyak 60 persen di antaranya berupa kekerasan seksual terhadap anak,
30 persen berupa KDRT, dan 10 persen kasus penganiayaan (Oktavia, 2013).

Berikut artikel mengenai kasus kekerasan yang terjadi di Kota Malang, dikutip
pada harian Surabaya Post, Rabu 13 Juni 2012 :
“Data laporan setiap hari yang diterima oleh pihak kepolisian, dimana
masih ada saja satu sampai dua pengaduan akan kekerasan terhadap
anak di Malang. Kabar tersebut dibenarkan oleh Staf Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kota
Malang, Brigadir Dina Fitria. "Setidaknya ada satu sampai dua
laporan yang kami terima setiap harinya. Itu belum terhitung mereka
yang tidak mau melaporkan kasus ini ke kepolisian," ungkapnya usai
memberikan sosialisasi tentang perlindungan anak di Balai Kota
Malang seperti dikutip dari Surabaya Post, Rabu (13/6/2012).
Kekerasan terhadap anak itu biasanya meliputi kekerasan fisik, seksual,
dan psikologis. Menurut Dina, faktor lingkungan memiliki pengaruh
yang sangat kuat terhadap tindakan kekerasan terhadap anak. Seperti,
kehidupan anak jalanan dan keluarga broken home. "Seorang anak dari
keluarga broken home dan dari keluarga kurang mampu paling rentan
mengalami kekerasan”.
Kutipan yang diambil dari Surabaya Post menunjukkan bahwa tingkat
kekerasan terhadap anak di wilayah Malang ternyata masih tinggi. Berdasarkan
catatan Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Malang, selama

tahun 2012 terjadi 532 kasus kekerasan. Kekerasan yang terjadi selama tahun 2012
mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, baik secara fisik maupun
psikologis. Peningkatan yang sangat signifikan adalah tindakan kekerasan pada anak.
Hal ini menunjukan bahwa semua kalangan untuk mensosialisasikan Undang-Undang
nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga
anak tidak mengalami tindakan kekerasan seperti yang terjadi selama ini (Ridwan,
2013).

5

Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan
dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan
kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian
semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan
pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan
diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Ridwan,
2013).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti akan mengkaji mengenai faktor apa
saja yang paling dominan terhadap pemicu timbulnya perilaku kekerasan pada anak
yang dilakukan oleh Ibu Single parents di Kota Malang.

TINJAUAN PUSTAKA
PERILAKU KEKERASAN
Lie (Suyanto, 2002) menyatakan bahwa kekerasan adalah suatu perilaku yang
disengaja oleh seorang individu pada individu lain dan memungkinkan menyebabkan
kerugian fisik dan psikologis. Kekerasan adalah tindakan intimidasi yang dilakukan
pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, kekerasan dapat berupa
beragam bentuk yaitu kekerasan fisik, mental, dan seksual (Coloroso,2006).
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,
pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk
menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu
tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada
situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah
“kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang
merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan
dengan kekerasan terhadap orang. Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua
bentuk- kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang
tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompokkelompok baik yang diberi hak maupun tidak (Suyanto & Sanituti, 2002).
FAKTOR-FAKTOR TIMBULNYA PERILAKU KEKERASAN
Pandangan kriminologi terhadap asal muasal kekerasan memang beragam. di
satu sisi dapat dilihat secara individual, di sisi lain dapat pula dilihat dalam konteks

kolektif. Bentuk kekerasan banyak ragamnya, meliputi kekerasan fisik, kekerasan
verbal, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, kekerasan simbolik dan
penelantaran. Kekerasan dapat dilakukan oleh perseorangan maupun secara

6

berkelompok, secara serampangan (dalam kondisi terdesak) atau teroganisir. Adapun
faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku kekerasan menurut Mu’tadin (2002) yaitu
sebagai berikut :
a.

Faktor Marah
Rasa marah seringkali menjadi pemicu timbulnya perilaku agresif, meskipun
perilaku semacam itu juga dapat terjadi tanpa adanya rasa marah. Menurut Berkowitz
(Mu’tadin, 2002), marah bisa dipahami sebagai reaksi tekanan perasaan. Artinya
bahwa orang cenderung menjadi marah dan terdorong menjadi agresif jika harus
menghadapi keadaan yang menggangu.
Marah, sebagai bagian dari bentuk emosi memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf
parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang
biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau

mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju,
menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran kejam. Bila
semua hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Bagi Berkowitz
(Mu’tadin, 2002), pengaruh rasa tersinggung atau ancaman terhadap harga diri
seseorang bisa jelas dipahami dalam kerangka ini. Tantangan terhadap citra diri
seseorang yang baik sangat mungkin mendorong reaksi agresif karena jelas tidak
senang. Bukan terusiknya harga diri seseorang itu sendiri yang menghasilkan
dorongan untuk menyerang pengganggu, melainkan sifat negatif luka psikologis
tersebut. Kemudian, betapapun perasaan negatif timbul, dorongan agresif mungkin
tidak terungkap secara terbuka karena mungkin tertutup atau tertahan oleh
kecenderungan tindakan yang lebih kuat. Walaupun demikian, orang yang tidak
merasa nyaman sedikit banyak cenderung agresif.
Emosi negatif menimbulkan perilaku agresif untuk mengurangi emosi negatif
dan ketegangan yang dihasilkan, sedangkan dukungan instrumental ditandai dengan
bantuan yang lebih nyata atau berwujud. Misalnya, nasehat-nasehat membantu
individu yang stres secara aktual mengubah lingkungan yang memicu stres. Misalnya,
secara aktif menyelesaikan masalah atau mengubah persepsi terhadap sumber stress.
Dukungan sosial bisa berupa dukungan emosional atau instrumental, seperti yang
dikemukan oleh Sarason (Tasfiah, 2011). Dukungan emosional, ditandai dengan
perhatian yang simpatik terhadap orang lain yang mengalami stres.

b.

Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff,
1991) yaitu:

7

c.

1.

Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang
mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap
binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing
amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang
berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.

2.

Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat
atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan
sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang
sistem limbic (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia)
sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman.
Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada
kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak
pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk
melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa
keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera
otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

3.

Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian
ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikkan hormon testosteron pada
tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen
utama yang memberikan ciri kelamin jantan), maka tikus-tikus tersebut
berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi
hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak
banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan
menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid,
kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun
jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka
mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak
wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi)
pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan
orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin

8

minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak
diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
Permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa
selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah
ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
d.

Faktor Frustasi
Frustasi terjadi apabila gerak ke arah tujuan yang diinginkan terhambat atau
tertunda. Berbagai hambatan, baik eksternal maupun internal, dapat mengganggu
usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
Frustasi bisa menjadi sumber agresi yang diekspresikan secara langsung terhadap
orang atau benda lainnya. Atau dengan kata lain agresi merupakan salah satu bentuk
respon terhadap frustasi. Ketika dalam situasi frustasi, biasanya seseorang tampak
gelisah dan tidak senang, mereka menggerutu, resah, dan lain sebagainya. Sebagian
diantara mereka mengungkapkan perasaan marah, mereka menendang dan memukul,
bahkan seringkali merusaknya.
Contoh-contoh frustasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak.
Misalnya, lingkungan fisik menimbulkan hambatan seperti kemacetan lalu lintas,
antrian yang penuh sesak di supermarket, musim kemarau yang menghancurkan hasil
pertanian, dan keributan yang mengganggu konsentrasi. Lingkungan sosial
menimbulkan hambatan dalam bentuk larangan yang ditetapkan orang lain, yang bisa
berkisar dari penolakan orang tua sampai pada masalah diskriminasi rasial dan
diskriminasi seksual yang lebih luas. Kadang-kadang rintangan terhadap pencapaian
tujuan berasal dari keterbatasan individu sendiri. Cacat tubuh, ketiadaan kemampuan
tertentu, atau ketidakadekuatan kendali diri, bisa menghambat usaha individu untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Jika seseorang menetapkan tujuan di luar
jangkauan kemampuannya, kemungkinan besar akan terjadi frustasi.
e.

Faktor Lingkungan
Dari sekian faktor penyebab agresi seperti yang disebutkan di atas, faktor
lingkungan juga memberi pengaruh terhadap proses terciptanya perilaku agresi.
Diantara faktor-faktor yang disebabkan oleh lingkungan meliputi :
1. Kemiskinan. Bila seseorang dibesarkan dalam lingkungan miskin, perilaku
agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal ini dapat dilihat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat di kota-kota besar di Indonesia. Persaingan
ekonomi semakin ketat sementara sumber daya manusianya terbatas.

9

Sehingga potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan kesulitan
mengatasinya semakin kompleks.
2. Anominitas. Kondisi-kondisi seperti di kota-kota besar di Indonesia yang
serba kompleks dapat mengarahkan seseorang bersifat Impersonal dan
individualis. Artinya, antara satu orang dengan yang lainnya bisa saling tidak
mengenal dan mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu
cenderung anonim yaitu tidak mempunyai identitas diri. Jika yang terjadi
demikian, seseorang akan cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena
merasa tidak lagi terikat dengan norma dan kurang bersimpati pada orang lain.
3. Suhu Udara yang Panas. Biasanya, kekerasan yang terjadi seperti tawuran
yang terjadi di Indonesia dan belahan dunia lainnya timbul pada waktu siang
hari di saat cuaca panas. Ketika cuaca dingin kejadian-kejadian tersebut relatif
menurun. Hal tersebut sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan
yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan
agresivitas. Pada tahun 1968 misalnya, US Riot Commission pernah
melaporkan bahwa dalam musim-musim panas, rangkaian kerusuhan dan
agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat daripada musimmusim lain
f.

Poses Pendisiplinan yang Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama
dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh
yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja
menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang
memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya
melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan
dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang
lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya, sedangkan yang tidak berkuasa
menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan,
terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan
alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang
untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya
karena kesibukan mereka).
Orang tua yang mendidik anak dengan menggunakan pola asuh otoriter akan
sangat berpengaruh pada karakter anak itu sendiri. Pola asuh otoriter adalah sistem

10

pengasuhan orang tua yang membatasi individu untuk menuruti keinginan orang tua
akan memicu individu melakukan tindak kekerasan. Mengajari anak memahami dan
mengkomunikasikan emosinya akan mempengaruhi banyak aspek dalam
perkembangan dan keberhasilan hidupnya. Sebaliknya, gagal mengajari anak
memahami dan mengkomunikasikan emosinya dapat membuat mereka rentan
terhadap konflik-konflik dengan orang lain (Shapiro, 1998).
Anak-anak yang pernah menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga dan yang
mengalami tindak kekerasan cenderung menggunakan kekerasan dalam relasinya di
kemudian hari (Roberts dan Gilbert, 2009). Menurut Straus dan Gelles (Roberts dan
Gilbert, 2009) menemukan bahwa dalam suatu perbandingan antar laki-laki pelaku
kekerasan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari laki-laki non kekerasan, anak
lelaki dari orang tua yang mengalami tindak kekerasan mempunyai tingkat memukul
istri 900 kali lebih banyak dari pada anak lelaki dari orang tua yang non kekerasan.
Hal ini sama seperti pendapat Adinda (2008) bahwa sekitar 75% pelaku kekerasan
mengatakan bahwa mereka menyaksikan bagaimana sang ayah telah menyiksa ibu
mereka, sisanya karena faktor pencitraan laki-laki yang hebat dan wujud kontrol.
Teori di atas dapat disimpulkan bahwa, penggunaan pola asuh otoriter
memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk
perilaku sosial pada anak. Pola asuh yang diberikan orang tua pada anak berbedabeda hal ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
Pola asuh yang termasuk faktor internal, misalnya latar belakang keluarga orang
tuanya, usia orang tua dan anak, pendidikan dan wawasan orang tua, jenis kelamin
orng tua dan anak, karakter anak dan konsep peranan orang tua dalam keluarga,
sedangkan yang termasuk faktor eksternal, misalnya adalah tradisi yang berlaku
dalam lingkungannya, sosial ekonomi dalam lingkungannya, dan semua hal yang
berasal dari luar lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi pola asuh
keluarganya.
JENIS-JENIS KEKERASAN
Menurut Dini (1996), kekerasan dibedakan dalam dua jenis yaitu sebagai
berikut :
a.

Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang tua dengan
bentuk kemarahan menggunakan makian, ataupun kritik tajam. Orang tua menyebut
anak sebagai anak bodoh, nakal, anak kurang ajar, anak tidak tahu diri, anak tidak
berguna dan segala bentuk kata-kata yang merendahkan diri anak. Kekerasan jenis

11

ini, tidak begitu mudah untuk dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak
memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini
akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunkan harga
diri serta martabat korban. Wujud konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini
adalah; penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan
orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan katakata dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa
rendah diri, minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan
(deccision making) (Suyanto dan Sanituti, 2002).
b.

Kekerasan Non Verbal
Adapun kekerasan non verbal adalah kekerasan yang ditunjukkan oleh orang
tua dengan bentuk kekerasan terhadap fisik baik menggunakan alat ataupun tidak.
Orang tua melakukannya dalam bentuk tamparan, pukulan, tendangan, dan segala
bentuk kekerasan yang menyebabkan luka fisik. Sementara menurut Suyanto dan
Sanituti (2002), mengemukakan bahwa perilaku kekerasan dapat berupa non verbal
yaitu agresi fisik, yaitu tindakan ini merupakan penyerangan yang biasa menimbulkan
luka fisik, seperti memaksa, memukul, mencubit, menendang, dan mencekik.
Kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti; luka
memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat.
Menurut Albertina (2013) di Inggris orang tua tidak secara eksplisit dilarang
memukul anak-anak mereka. Tetapi, hukum yang berlaku sekarang menunjukkan
mencederai anak hingga kulitnya memerah adalah illegal.
DEFINISI SINGLE PARENT
Menurut Sager, dkk (Perlmutter & Hall,1999), menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan orang tua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian
membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab
pasangannya. Menurut Hamner dan Turner (Perlmutter & Hall, 1999), bahwa suatu
keluarga dianggap sebagai keluarga orang tua tunggal bila hanya ada satu orang tua
yang tinggal bersama anak-anaknya dalam satu rumah. Ada beberapa sebab mengapa
individu sampai menjadi orang tua tunggal, yaitu karena kematian suami atau istri,
perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah, pengangkatan atau
adopsi anak oleh wanita atau pria lajang.

12

METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini menggunakan 4 subyek ibu single
parent. Karakteristik pemilihan subyek yaitu ibu single parent baik karena perceraian
maupun karena suami yang meninggal, memiliki anak, melakukan perilaku kekerasan
baik secara verbal maupun non-verbal terhadap anaknya. selain dari data primer yaitu
ibu single parent, peneliti juga mendapatkan data sekunder dari anak, anggota
keluarga yang tinggal satu atap, dan pembantu rumah tangga.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan
observasi non partisipan. Teknik analisa data menggunakan reduksi data dari Miles
& Huberman. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan Credibility dan
Confirmability.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh setelah melakukan proses reduksi data,
diketahui bahwa faktor-faktor pemicu timbulnya perilaku kekerasan pada anak yang
dilakukan oleh masing-masing subyek cukup beragam.
Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara mengenai faktor penyebab
munculnya perilaku kekerasan responden akan disajikan dalam tabel di bawah ini :

Subyek
KR

LI
DN
LN

Tabel 3. Display Data
Faktor Dominan Pemicu Tindakan Kekerasan
Faktor Marah, Faktor Frustasi, Faktor Lingkungan,
Faktor Pendisiplinan yang Keliru.
Faktor Marah, Faktor Kesenjangan Generasi, Faktor
Frustasi, Faktor Lingkungan
Faktor Marah, Faktor Kesenjangan Generasi, Faktor
Frustasi, Faktor Lingkungan.
Faktor Marah, Faktor Frustasi, Faktor Pendisiplinan
yang Keliru.

13

Dari keempat subyek tersebut, dapat dilihat bahwa faktor yang paling
dominan terhadap pemicu timbulnya perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan
oleh Ibu Single Parent adalah faktor faktor frustasi, dan faktor marah.
Berikut ini gambaran mengenai perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan
oleh Ibu Single Parent berdasarkan hasil penelitian dari keempat subyek, yaitu :
Peran ibu:
-Memberikan perlindungan
-Memenuhi kebutuhan anak
-Mendidik anak

Sikap Positif:
- Berusaha menerima
keadaan sebagai Single
Parent
- Selalu berusaha untuk
menutupi kebutuhan
RTnya

SIKAP

Sikap Negatif:
- Cenderung frustasi
- Mengurung diri
- Anak sebagai
pelampiasan emosinya

- Tidak memberi kebebasan pada
anak
- Otoriter terhadap anak
- Cenderung keras pada anak
(verbal/nonverbal)

Gambar 3
Gambaran Perilaku Kekerasan pada Anak yang
Dilakukan Oleh Ibu Single Parent

a.

Faktor Marah
Rasa marah seringkali menjadi pemicu tindakan agresif, dimana rasa marah
tersebut akibat dari keadaan yang mengganggu maupun reaksi dari tekanan perasaan

14

ibu single parent itu sendiri. Faktor marah dialami oleh ketiga subyek ibu single
parent dimana masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, seperti rasa marah akibat
kurangnya dukungan moril maupun materil dari pihak keluarga maupun lingkungan
sosial, tekanan yang dialami pasca bercerai/meninggalnya suami, stress akibat
berbagai permasalahan yang di alami subyek di lingkungan pekerjaaan maupun
lingkungan rumah. Beragamnya permasalahan yang dialami oleh subyek maka tidak
dapat dipungkiri bahwa tindakan kekerasan dilakukan untuk menyalurkan apa yang
menjadi bebannya.

b.

Faktor Frustasi

Frustasi dalam penelitian ini adalah suatu harapan oleh Ibu Single Parent yang
diinginkan dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Frustasi
inipun terjadi juga bila tujuan yang dicapai mendapatkan rintangan. Perasaan dan
emosi yang muncul adalah kesal, marah dan perasaan-perasaan lainnya yang muncul,
ketika kondisi ekonomi, keluarga dan lingkungan yang tidak mendukung. Hal inipun
dirasakan oleh setiap subyek yang telah melakukan kekerasan terhadap anaknya.
Setiap subyek memilih banyak pemikiran, berputar-putar silih berganti, mulai
mencari sebab-sebab ketidakharmonisan dengan anaknya, upaya mencari jalan lain
supaya lebih berhasil sampai pada pemikiran-pemikiran buruk, sehingga nantinya
akan terlintas jalan pintas dan lain sebagainya. Saat ini subyek bersikap agresif,
karena subyek merasa lebih kuat dari anaknya.
Perlakuan subyek terhadap anaknya yang keras, tegas dan disiplin dengan
harapan bisa mandiri. Dampak psikologi dari anak subyek justru menjadi pendiam
karena sering dibentak, terlebih lagi jika subyek sedang memiliki banyak masalah
dirumah maupun masalah di lingkungan pekerjaannya, sehingga subyek seringkali
melampiaskan kemarahannya pada anak-anaknya. Perilaku subyek justru membuat
keadaan emosioal anaknya semakin tidak menentu, anaknya yang selama ini
mendapatkan orang tuanya tidak lengkap lagi telah merasakan belum siap
menghadapi rasa kehilangan salah satu orang tuanya akan terpukul, dan kemungkinan
besar berubah tingkah lakunya. Ada yang menjadi pemarah, ada yang suka melamun,
mudah tersinggung, atau suka menyendiri (Aqsyaluddin, 2007).
Adapun macam-macam perilaku kekerasan baik secara verbal maupun non
verbal yang dilakukann oleh masing-masing subyek sebagai berikut :

15

Tabel 4. Bentuk Kekerasan Subyek
Kekerasan Verbal
Membentak
(KR/W1/NO.122-127)
Mengatakan “bodoh”,
“kurang ajar”
(KR/W2/NO.119-123)
Mengatakan
“bodoh”,”idiot”,”cacat”
(PS/W1/NO.74-77)
Berkata kasar
(PS/W1/NO.150-154)

Kekerasan Non Verbal
a. Memukul
(KR/NO.171174)
b. Mencubit (KR/W2/NO.8690)
c. Memukul (PS/W1/NO.150154)

a. Mengatakan kata “kurang
ajar” (LI/W1/NO.144-150)
b. Membentak (AB/W1/NO.
60-65)

a. Memukul (LI/W2/NO. 6468)
b. Keinginan menampar
(L1/W3/54-71)
c. Mencubit (AB/W1/NO.5658)
a. Memukul
(RN/W1/NO.105-111)
b. Mencubit, Menjambak,
Melempar barang
(RN/W1/113-114)
c. Mencakar, Menjambak
(RN/W2/NO.62-67)
d. Memegang lengan tangan
sangat kuat
(RN/W2/NO.80-82)
e. Melempar dengan tutup
panci panas
(RN/W2/NO.131-137)
f. Menjambak, Menampar,
Menendang.(RN/W2/NO.1
56-176)
a. Mencubit
(LN/W2/186-

Subyek
a.
b.

1.

c.

d.

2.

a. “kon” , “bedhes” ,
“goblok” (RN/W1/NO. 6371)
b. Bodoh (RN/W2/NO.51)

3.

4.

c. “kebacut tenan kon dadi
anak”, “goblok”
(RN/W2/NO.89-93)

a. Membentak, memarahi

16

(LN/W2/186-202)
b.
c.
d.
e.

202)
Menjewer,
mencubit
(LN/W3/NO.97-101)
Tidak
memperhatikan
(LN/W4/NO.113-124)
Memukul
(LN/W4/NO.
211-215)
Mencubit,
menjewer,
memukul (AT/W1/34-36)

Banyak diantara para orangtua yang menjalani kehidupannya dengan berperan
sebagai single parent, baik yang pasangannya meninggal, ataupun akibat perceraian.
Terlepas dari penyebabnya, sosok single parent terkadang diibaratkan 'bagaikan
burung bersayap satu, yang tak mampu terbang tinggi karena memiliki keterbatasan
dan kekurangannya. Tak hanya itu, menjadi seorang single parent (karena faktor
bercerai) sering pula dijadikan bahan gunjingan, fitnah, bahkan diberi predikat negatif
dari masyarakat sekitar. Tak heran, banyak single parent yang menjadi minder saat
harus bersosialisasi dalam masyarakat.
Hasil penelitian pada setiap subyek primer maupun sekunder maka dapat
diketahui bahwa setiap subyek telah melakukan kekerasan terhadap anaknya baik
secara verbal maupun non verbal yang didasari oleh beberapa faktor dominan yaitu
faktor marah dan faktor frustasi. Kekerasan tersebut didasari karena setiap subyek
memiliki banyak pemikiran yang berputar-putar silih berganti, mulai mencari sebabsebab ketidakharmonisan dengan anaknya, sehingga sebagai jalan pintasnya subyek
memilih untuk bersikap agresif dimana sikap agresif tersebut berbentuk perilaku
kekerasan. Perilaku kekerasan tersebut ditunjukan sebagai media pelampiasan atas
permasalahan yang dimiliki oleh masing-masing subyek, selain itu subyek juga
merasa memiliki pengaruh lebih kuat dari pada anaknya.
Dilematika yang dihadapi single parents berangkat dari berbagai macam
kebutuhan hidup yang sekarang semakin meningkat. Bahkan kebutuhan sekunder
dimasukkan dalam kebutuhan premier. Orangtua selalu menginginkan yang terbaik
untuk anaknya. Kebutuhan anak sendiri sudah mendominasi kebutuhan secara
kesulurahan, dan berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik dari mulai susu,
pakaian, pendidikan, hingga kesenangan untuk anak itu sendiri. Permasalahan ini
akan lebih berat jika dialami oleh wanita yang sebelumnya menggantungkan hidup
pada seorang suami dan memilih tidak bekerja. Banyak wanita yang setelah menikah

17

dilarang bekerja oleh suaminya untuk mengurus keluarga. Pada saat ditinggalkan oleh
suaminya (meninggal atau bercerai), tidak ada kestabilan secara ekonomi. Saat
mencoba mencari pekerjaan, tingkat penghasilan tidak terlalu besar karena faktor
pengalaman kerja yang masih minim. Belum lagi belum terbiasa dalam mengurus
keluarga sekaligus mencari nafkah. Saat ini kondisi mental mulai terganggu. Gaya
hidup pun berubah secara signifikan, yang akhirnya muncul rasa depresi.
Oleh karena itu, wanita single parents seringkali terlihat lebih keras dalam
mengasuh anak-anaknya. Proses kehidupan yang keras menjadikan pola pikir dan
perilaku seperti itu. Pada titik tertentu, seringkali dihadapi kondisi “lelah” dan
membutuhkan ruang untuk bernapas. Kodrat sebagai wanita memang tidak bisa
dipisahkan. Kehilangan waktu bersama anak untuk bekerja merupakan salah satu
dilematika yang dihadapi. Belum lagi kondisi psikologis sebagai akibat dari proses
yang mendasari seorang wanita mendapat pilihan menjadi single parents. Perasaan
yang meliputi rasa sedih atas kehilangan atau karena sakit hati. Single parents
sesungguhnya hanya manusia bisa, yang rentan untuk mengalami sebuat depresi.
Dukungan orang sekitar, yang bisa mengacu pada keluarga atau sosial sangat
berarti. Dukungan sosial bisa berupa dukungan emosional atau instrumental, seperti
yang dikemukan oleh Sarason (1990). Dukungan emosional, ditandai dengan
perhatian yang simpatik terhadap orang lain yang mengalami stres. Tujuannya adalah
untuk mengurangi emosi negatif dan ketegangan yang dihasilkan. Dukungan
instrumental, Dukungan instrumental, ditandai dengan bantuan yang lebih nyata atau
berwujud. Misalnya, nasehat-nasehat membantu individu yang stres secara aktual
mengubah lingkungan yang memicu stres. Misalnya, secara aktif menyelesaikan
masalah atau mengubah persepsi terhadap sumber stress.
Kondisi sebagai single parent memang tidak semua bisa menghadapi, apalagi
jika ditambah pandangan dan komentar miring sebagian masyarakat. Pengakuan dan
penerimaan untuk struktur keluarga yang menganut pola single parents dari
masyarakat juga merupakan faktor yang membantu mental bagi pelaku single parent.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan di lapangan berdasarkan hasil observasi
dan wawancara adalah sebagai berikut :
1. Perilaku kekerasan yang di lakukan oleh masing-masing ibu single
parents terhadap anak memiliki berbagai macam bentuk. Kekerasan

18

tersebut dapat berupa kekerasan verbal seperti membentak, mengejek, dan
merendahkan harga diri anak, sedangkan kekerasan non verbal dapat
berupa memukul, menampar, mencubit, melempar anak dengan benda
mati, dan tidak memperhatikan anak.
2. Bahwa kekerasan yang dilakukan ibu single parents terhadap anaknya
dipicu oleh beberapa faktor diantaranya faktor frustasi, faktor marah,
faktor lingkungan, faktor pendisiplinan yang keliru, dan faktor
kesenjangan generasi.
3. Dari beberapa faktor pemicu perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
masing-masing subyek maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor
dominan pemicu perilaku kekerasan oleh ibu single parents terhadap anak
adalah :
a. Faktor marah, rasa marah seringkali menjadi pemicu tindakan agresif,
dimana rasa marah tersebut akibat dari keadaan yang mengganggu
maupun reaksi dari tekanan perasaan ibu single parent itu sendiri.
Faktor marah dialami oleh ketiga subyek ibu single parent dimana
masing-masing memiliki ciri khas tersendiri seperti rasa marah akibat
kurangnya dukungan moril maupun materil dari pihak keluarga
maupun lingkungan sosial, tekanan yang dialami pasca
bercerai/meninggalnya suami, stress akibat berbagai permasalahan
yang di alami subyek di lingkungan pekerjaaan maupun lingkungan
rumah. Beragamnya permasalahan yang dialami oleh subyek maka
tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan kekerasan dilakukan untuk
menyalurkan apa yang menjadi bebannya.
b. Faktor frustasi, kondisi fisik maupun psikis yang lelah merupakan
bagian dari sifat frustasi yang membuat subyek lebih agresif terhadap
anaknya terlebih pada kondisi himpitan ekonomi yang harus
ditanggung subyek untuk memenuhi kebutuhan anak disamping
tanggungjawabnya untuk membesarkan anak mereka seorang diri.
SARAN
Berdasarkan hasil dan analisis data penelitian, maka saran yang diajukan oleh
penulis terhadap penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Ibu Single Parent diharapkan dapat mengontrol emosi dan mengalihkannya ke
hal-hal yang lebih positif. Subjek juga diharapkan lebih bisa membuka diri

19

pada anak jika memiliki masalah dan tidak mudah terpengaruh oleh
lingkungan yang tidak mendukung. Orang tua tunggal (single parent) wanita
yang memiliki anak remaja, diharapkan untuk melihat masa
perkembangannya dan memberikan penjelasan dan pengertian agar tidak
terpengaruh oleh faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi masa
perkembangan dan kepribadiannya.
2. Bagi anak diharapkan mampu menerima gejolak-gejolak perubahan pasca
perceraian kedua orangtua maupun meninggalnya ayah. Selain itu, diharapkan
anak dapat melakukan komunikasi yang baik dengan ibu maupun anggota
keluarga lain agar terwujudnya suatu tujuan yang sama dalam kehidupan di
masa depan.
3. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat memperdalam teori yang
dipergunakan dan mengembangkan penelitian mengenai keluarga Ibu Single
Parent. Diharapkan juga dapat mengembangkan variabel penelitian yang
berbeda, misalnya mengenai subjective well being remaja yang memiliki
orang tua tunggal. Ada baiknya peneliti seharusnya mencoba menggunakan
metode penelitian yang lain, agar dapat diperoleh data maupun informasi
secara akurat dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Adinda, T. (2008). Kekerasan Itu Berulang Padaku. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Albertina, S.C. (2013). Memukuli Anak Tidak Berbahaya, Jika Anak-Anak Merasa
Dicintai, klaim studi. http://www.shnews.co/detile-18160-memukulanak-tak-berbahaya-asal.html
Alvita, N.O. (2008). Wanita Sebagai Single Parent Dalam Membentuk Anak yang
Berkualitas. http://okvina.word press.com/html
Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku Agresif Anak, Yogyakarta : KANISUS
Coloroso, B. (2006). Penindas, Tertindas, dan Penonton. Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta
Davidoff. (1991). Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Dini P. D.S. (1996). Metode Mengajar di Taman Kanak-Kanak (Bagian II).
Depdikbud Dirjen Dikti : Jakarta.
Dwiyani, (2009). Jika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri. Jakarta: P.T Alex
Media Komputindo
Khaltharina, (2004). Wanita Muslimah. http://group.yahoo.com/ html
Miles, M.B. & Huberman, A.M. (2007). Analisa Data Kualitatif . UI-Pers Jakarta

20

Mu’tadin, Z. (2002). Penyebab Agresi. www.e.psikologi.com/remaja/10062.html
Oktavia, H. (2013). 350 Kasus Kekerasan Perempuan Terjadi di Malang.
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum_&_Kriminal/20
13-02-12/161569/350_ Kasus_ Kekerasan_ Perempuan_ Terjadi_
di_Malang.
Papalia, Olds SW & Feldman RD. (2002). Human Development. 8th ed. Boston:
McGraw-Hill.
Perlmutter,M.E., & Hall. (1999). Adult Development and Aging. New York: John
Willey & Sons
Ratri S. (2006). Orang Tua Tunggal. http://kompas.com/ html
Ridwan, M. (2013). 532 Perempuan di Malang Jadi Korban Kekerasan Selama 2012.
http://www.lensaindonesia.com/2013/02/15/532-perempuan-dimalang-jadi-korban-kekerasan-selama-2012.html
Roberts, A. R., Gilbert. (2009). Buku Pintar Pekerja Sosial- Jilid 2 Alih bahasa.
Jakarta: Gunung Mulia
Shapiro, L. E. (1998). Mengajarkan Emotional Intelegence pada Anak. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Sulitnya Menjadi Orang Tua Tunggal. (2009). http://gayahidupsehatonline.com/
Suyanto, (2002). Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar, Dalam Pekerja
Anak: Masalah Kebijakan dan Penanggulangan. Surabaya, Lutfansa
Meditama
Suyanto, B dan Sanituti,S. (2002). Krisis & Child Abuse, (Kajian Sosiologis Tentang
Kasus Pelanggaran Hak Anak dan Anak-anak yang Membutuhkan
Perlindungan Khusus). Universitas Airlangga Press, Surabaya.
Tasfiah, F. (2011). Single Parent: Struktur Keluarga dan Kompleksitas Peran :
Bandung : Edsa Mahkota.
Zein, A.Y. (2005). Psikologi Ibu dan Anak. Yogyakarta: fitramaya