Analisa Kasus Permasalahan Otonomi Daera
TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA
ANALISA ARTIKEL OTONOMI DAERAH
Oleh :
Nama
: Danang Kusuma
NIM
: 1431140042
Kelas
: MI-1D
PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMATIKA
POLITEKNIK NEGERI MALANG
TAHUN 2014
Artikel Asli
PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN
HUTAN DI BALI
Seiring dengan perkembangan reformasi di Indonesia, Pembangunan Nasional di
Indonesia lebih menekankan pada prinsip-prinsip Demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Pada era reformasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan
politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem
demokrasi, dan dari sistem sentralistik ke sistem desentralisasi/ otonomi. Perubahan
paradigma ini sudah tentu berdampak kepada sistem hukum yang dianut selama ini, yaitu
yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak kepada kepentingan
penguasa daripada kepentingan rakyat, dan juga produk-produk hukum yang lebih
mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah
daerah. Diawali dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun
1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat. UU No.32 tahun 2004, pasal 10 mengatur bahwa : Pemerintah Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah (yang dimaksud Pemerintah Pusat) meliputi:
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Dalam urusan pemerintahan di bidang Kehutanan memasuki era reformasi UU Pokok
Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
diganti dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Kehutanan ini
senapas dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan
Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan hutan kepada
Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Bali.
Ringkasan Artikel
Diawali dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun
1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
Dalam urusan pemerintahan di bidang Kehutanan memasuki era reformasi UU Pokok
Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
diganti dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Kehutanan ini
senapas dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan
Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan hutan kepada
Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Bali.
Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah!
Apa saja tujuan Otonomi Daerah?
Bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia?
Bagaimanakah Pengaruh Sistem Otonomi Daerah terhadap Kewenangan Pengelolaan
Hutan di Bali ?
Pembahasan
1. Penjelasan Tentang Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata
otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos
berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan
sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna
mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai
implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah
kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur,
memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
2. Tujuan otonomi daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut:
Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
Pengembangan kehidupan demokrasi.
Keadilan nasional.
Pemerataan wilayah daerah.
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam
rangka keutuhan NKRI.
Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Secara konseptual, di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi: tujuan
politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan
politik dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi
politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan
administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya
pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber kuangan, serta
pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang
ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya
peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan
masyarakat Indonesia
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak
aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi
Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah
untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan
yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada
daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya,
mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan
pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari
pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan
yang tidak menguntungkan tersebut.
Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan
Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan
Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya
datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin
agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang
tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.
Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang
tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali
diberlakukan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya
dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul
karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan
dengan
tuntutan
kebutuhan
dana
(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut
memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan
perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut
pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang
harus ditanggung warga masyarakat.
2. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah.
Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari
Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana
Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa
mempertimbangkan
dampak
negatif/kerusakan
lingkungan
dan
prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan
dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran
sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses
yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap
tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang
berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air.
Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya
habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian
varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat
untuk menjaga kelestarian alam.
4. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan
jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh
lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
5. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh
dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
4. Pengaruh Sistem Otonomi Daerah terhadap Kewenangan Pengelolaan Hutan di
Bali.
Apabila dicermati secara teliti, maka sesungguhnya urusan bidang Kehutanan pada
awalnya bersifat sentralistik. Dalam UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 4 ayat
(2) huruf a disebutkan bahwa : Penguasaan hutan oleh Negara memberikan kewenangan
kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Pemerintah di sini maksudnya adalah Pemerintah Pusat
(Pasal 1, ayat 14). Disini jelas amanat undang-undang bahwa kewenangan asli (atribusi)
untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan diberikan kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan.
Menurut Teori Kewenangan, cara memperoleh kewenangan dapat dilakukan melalui 3
cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat
keputusan yang langsung bersumber kepada undang-undang. Kewenangan yang di dapat
melalui atribusi oleh organisasi pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu
diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan yang melibatkan peran serta rakyat
sebagai pemegang asli kewenangan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan
untuk membuat suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Dalam
penyerahan kewenangan ini terjadi perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi
kepada yang menerima delegasi. Pengertian mandat adalah suatu pelimpahan wewenang
kepada bawahan. Dalam mandat, tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat.
Selanjutnya Pasal 66 ayat (1) UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan:
“Dalam rangka penyelenggaraan Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan
kepada Pemerintah Daerah”. Pada ayat (2) disebutkan “ Pelaksanaan penyerahan sebagian
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas
pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Dari pasal 4 dan 66 UU
No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan disimpulkan bahwa Urusan Pemerintahan di Bidang
Kehutanan bersifat “Concurrent” artinya urusan pemerintah yang dapat dilaksanakan
bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kemudian dalam ketentuan pelaksanaannya yaitu dalam PP No.6 tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan diatur bahwa :
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan serta pemanfaatan hutan merupakan bagian
dari pengelolaan hutan (pasal 3) dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah (pasal 4). Untuk mengelola serta memanfaatkan hutan secara optimal dan lestari perlu
dibentuk suatu lembaga atau organisasi pemerintahan yang memiliki tugas dan kewenangan
mengelola kawasan hutan, yaitu satuan kerja yang bernama Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH). Menurut PP No.6 tahun 2007, pasal 9, Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi:
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi :
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
b. pemanfaatan hutan
c. penggunaan kawasan hutan;
d. rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan
e. perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan Kehutanan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota bidang
Kehutanan untuk diimplementasikan;
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan
di wilayahnya;
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Organisasi KPH ini bisa dibentuk oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Depatemen
Kehutanan maupun Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Provinsi. Provinsi Bali merupakan
satu kesatuan ekosistem pulau yang merupakan satu kesatuan wilayah, ekologi, sosial
budaya, sehingga kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang diperlukan mengacu pada
kelestarian ekosistem. Pembentukan KPH di Provinsi Bali merupakan kebutuhan nyata dalam
rangka pengelolaan hutan di Provinsi Bali agar hutan Bali dapat memberikan manfaat yang
optimal dari segi ekologi, sosial budaya dan ekonomi.
Pemerintah Provinsi kemudian membentuk 4 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Kehutanan
Provinsi Bali dengan Peraturan Daerah (Perda) No.2 Tahun 2008, tanggal 8 Juli 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali, yang kemudian dijabarkan
dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No.48 tahun 2008, tanggal 22 Juli 2008 tentang
Rincian Tugas Pokok Dinas Kehutanan Provinsi Bali, dan kemudian dikukuhkan/ ditetapkan
dengan SK Menteri Kehutanan No. 800/Menhut-II/2009, tanggal 7 desember 2009tentang
Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Bali. Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dibentuk adalah :
-
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat.
-
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Tengah
-
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur
-
UPT Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai, yang khusus mengelola kawasan hutan
bakau (mangrove) di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Pembentukan KPH di Provinsi Bali diharapkan agar hutan Bali dapat memberikan manfaat
yang optimal dari segi ekologi, sosial budaya dan ekonomi.
Daftar Pustaka
http://lawyersinbali.wordpress.com/2012/10/23/pengaruh-otonomi-daerah-terhadapkewenangan-pengelolaan-hutan-di-bali/
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
ANALISA ARTIKEL OTONOMI DAERAH
Oleh :
Nama
: Danang Kusuma
NIM
: 1431140042
Kelas
: MI-1D
PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMATIKA
POLITEKNIK NEGERI MALANG
TAHUN 2014
Artikel Asli
PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN
HUTAN DI BALI
Seiring dengan perkembangan reformasi di Indonesia, Pembangunan Nasional di
Indonesia lebih menekankan pada prinsip-prinsip Demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Pada era reformasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan
politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem
demokrasi, dan dari sistem sentralistik ke sistem desentralisasi/ otonomi. Perubahan
paradigma ini sudah tentu berdampak kepada sistem hukum yang dianut selama ini, yaitu
yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak kepada kepentingan
penguasa daripada kepentingan rakyat, dan juga produk-produk hukum yang lebih
mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah
daerah. Diawali dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun
1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat. UU No.32 tahun 2004, pasal 10 mengatur bahwa : Pemerintah Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah (yang dimaksud Pemerintah Pusat) meliputi:
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Dalam urusan pemerintahan di bidang Kehutanan memasuki era reformasi UU Pokok
Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
diganti dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Kehutanan ini
senapas dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan
Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan hutan kepada
Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Bali.
Ringkasan Artikel
Diawali dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun
1999 yang kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
Dalam urusan pemerintahan di bidang Kehutanan memasuki era reformasi UU Pokok
Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
diganti dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Kehutanan ini
senapas dengan Undang-undang Otonomi Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan
Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan hutan kepada
Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Bali.
Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah!
Apa saja tujuan Otonomi Daerah?
Bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia?
Bagaimanakah Pengaruh Sistem Otonomi Daerah terhadap Kewenangan Pengelolaan
Hutan di Bali ?
Pembahasan
1. Penjelasan Tentang Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata
otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos
berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan
sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna
mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai
implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah
kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur,
memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
2. Tujuan otonomi daerah
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut:
Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
Pengembangan kehidupan demokrasi.
Keadilan nasional.
Pemerataan wilayah daerah.
Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam
rangka keutuhan NKRI.
Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Secara konseptual, di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi: tujuan
politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan
politik dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi
politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan
administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya
pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber kuangan, serta
pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang
ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya
peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan
masyarakat Indonesia
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak
aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi
Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah
untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan
yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada
daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya,
mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan
pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari
pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan
yang tidak menguntungkan tersebut.
Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan
Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan
Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya
datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin
agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang
tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.
Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang
tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali
diberlakukan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya
dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul
karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan
dengan
tuntutan
kebutuhan
dana
(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut
memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan
perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut
pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang
harus ditanggung warga masyarakat.
2. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah.
Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari
Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana
Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa
mempertimbangkan
dampak
negatif/kerusakan
lingkungan
dan
prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan
dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran
sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses
yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap
tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang
berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air.
Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya
habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian
varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat
untuk menjaga kelestarian alam.
4. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan
jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh
lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
5. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh
dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
4. Pengaruh Sistem Otonomi Daerah terhadap Kewenangan Pengelolaan Hutan di
Bali.
Apabila dicermati secara teliti, maka sesungguhnya urusan bidang Kehutanan pada
awalnya bersifat sentralistik. Dalam UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 4 ayat
(2) huruf a disebutkan bahwa : Penguasaan hutan oleh Negara memberikan kewenangan
kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Pemerintah di sini maksudnya adalah Pemerintah Pusat
(Pasal 1, ayat 14). Disini jelas amanat undang-undang bahwa kewenangan asli (atribusi)
untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan diberikan kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan.
Menurut Teori Kewenangan, cara memperoleh kewenangan dapat dilakukan melalui 3
cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat
keputusan yang langsung bersumber kepada undang-undang. Kewenangan yang di dapat
melalui atribusi oleh organisasi pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu
diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan yang melibatkan peran serta rakyat
sebagai pemegang asli kewenangan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan
untuk membuat suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Dalam
penyerahan kewenangan ini terjadi perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi
kepada yang menerima delegasi. Pengertian mandat adalah suatu pelimpahan wewenang
kepada bawahan. Dalam mandat, tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat.
Selanjutnya Pasal 66 ayat (1) UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan:
“Dalam rangka penyelenggaraan Kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan
kepada Pemerintah Daerah”. Pada ayat (2) disebutkan “ Pelaksanaan penyerahan sebagian
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas
pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Dari pasal 4 dan 66 UU
No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan disimpulkan bahwa Urusan Pemerintahan di Bidang
Kehutanan bersifat “Concurrent” artinya urusan pemerintah yang dapat dilaksanakan
bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kemudian dalam ketentuan pelaksanaannya yaitu dalam PP No.6 tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan diatur bahwa :
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan serta pemanfaatan hutan merupakan bagian
dari pengelolaan hutan (pasal 3) dan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah (pasal 4). Untuk mengelola serta memanfaatkan hutan secara optimal dan lestari perlu
dibentuk suatu lembaga atau organisasi pemerintahan yang memiliki tugas dan kewenangan
mengelola kawasan hutan, yaitu satuan kerja yang bernama Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH). Menurut PP No.6 tahun 2007, pasal 9, Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi:
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi :
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
b. pemanfaatan hutan
c. penggunaan kawasan hutan;
d. rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan
e. perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan Kehutanan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota bidang
Kehutanan untuk diimplementasikan;
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan
di wilayahnya;
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Organisasi KPH ini bisa dibentuk oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Depatemen
Kehutanan maupun Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Provinsi. Provinsi Bali merupakan
satu kesatuan ekosistem pulau yang merupakan satu kesatuan wilayah, ekologi, sosial
budaya, sehingga kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang diperlukan mengacu pada
kelestarian ekosistem. Pembentukan KPH di Provinsi Bali merupakan kebutuhan nyata dalam
rangka pengelolaan hutan di Provinsi Bali agar hutan Bali dapat memberikan manfaat yang
optimal dari segi ekologi, sosial budaya dan ekonomi.
Pemerintah Provinsi kemudian membentuk 4 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Kehutanan
Provinsi Bali dengan Peraturan Daerah (Perda) No.2 Tahun 2008, tanggal 8 Juli 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali, yang kemudian dijabarkan
dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No.48 tahun 2008, tanggal 22 Juli 2008 tentang
Rincian Tugas Pokok Dinas Kehutanan Provinsi Bali, dan kemudian dikukuhkan/ ditetapkan
dengan SK Menteri Kehutanan No. 800/Menhut-II/2009, tanggal 7 desember 2009tentang
Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Bali. Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dibentuk adalah :
-
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat.
-
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Tengah
-
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur
-
UPT Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai, yang khusus mengelola kawasan hutan
bakau (mangrove) di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Pembentukan KPH di Provinsi Bali diharapkan agar hutan Bali dapat memberikan manfaat
yang optimal dari segi ekologi, sosial budaya dan ekonomi.
Daftar Pustaka
http://lawyersinbali.wordpress.com/2012/10/23/pengaruh-otonomi-daerah-terhadapkewenangan-pengelolaan-hutan-di-bali/
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html