GEREJA yang SESAMA DAN ALAM

GEREJA, SESAMA DAN ALAM ?
Kalis Stevanus, M.Th

Abstrak
Isu tentang lingkungan hidup dewasa ini menjadi isu yang sangat krusial
untuk diperhatikan. Isu tentang pemanasan global (global warming) menyedot
perhatian dunia. Itu masalah besar, dan bersifat global (mendunia), yang kini
menjadi masalah yang semakin genting. Dunia sedang menghadapi bahaya krisis
ekologis, dan ternyata manusia merupakan penyebab utamanya. Bagaimana pun,
manusialah yang menyalahgunakan lingkungan.
Gereja memunyai salah satu tugas yang diberikan Allah kepadanya yaitu
mandat pembangunan atau mandat kultural. Allah memerintahkan manusia untuk
mengelola dan merawat bumi. Tugas untuk mengelola dan merawat bumi itu
adalah bagian dari mandat pembangunan atau mandat kultural. Merawat alam,
lingkungan hidup (bumi) merupakan perwujudan—realisasi terhadap ketaatan
kepada kehendak Allah dan juga kasih kepada sesama.
Kata kunci: Gereja, Kasih, Sesama, Panggilan, Alam, Pemanasan Global
Abstract
The issue of the environment has become a crucial issue to concern about
in the present. The issue of global warming draws the attention of the world. It's a
big problem and global which now becomes an increasingly critical issue. The

world is facing the danger of an ecological crisis, and it turns out that humans are
the cause. How extinct, human beings have been misusing the environment.
The Church has one of the duties that God has given as a development
mandate or cultural mandate. God has set man to serve and care for the earth. The
task of managing and nurturing the earth is part of the development mandate or
cultural mandate. Caring for nature and the environment (the earth) is the
realizations of an obedience to God's will and also love to others.
Keywords: Church, Love, Fellow, Call, Nature, Global Warming
Pendahuluan
Terjadinya kekeringan, tanah-tanah tandus, erosi tanah, hilangnya pohon
pelindung, banjir, tanah longsor, pencemaran atmosfir, air, tanah, dan merosotnya
kesuburan serta struktur tanah, degradasi tanah (penurunan kualitas tanah),
perubahan iklim, semua itu semestinya menyadarkan kita bahwa alam atau
lingkungan hidup di mana kita tinggal ini terancam kelestariannya. Semua ulah
manusia yang hanya mengeksploitasi alam demi keuntungan (ekonomis) semata,
tanpa memerdulikan kesehatan alam ciptaan dan kelestarian serta
keberlangsungnya untuk jangka panjang di masa depan, akan berakibat negatif
1

bahkan bisa fatal, yaitu merusak tatanan ekosistem. Alam menjadi tidak ramah

dan bersahabat dengan manusia. Alam tidak menjadi tempat yang memberikan
kenyamanan dan ketentraman untuk manusia menyelenggarakan hidup.
Prof.Norman L. Geisler mengatakan bahwa “pemanasan global merupakan
masalah besar yang dihadapi bukan hanya bangsa melainkan (juga) dunia.” 1 Hal
ini juga ditegaskan oleh Prof.Glen H. Stassen dan Prof.David P.Gushee bahwa
“kini kita sedang menghadapi ancaman global terhadap kapasitas alam untuk
memproduksi bagi umat manusia dan untuk meregenerasi dirinya sendiri. Bumi
kita tidak lagi dapat dengan mudah memulihkan dirinya… tetapi semakin lemah
dan merosot kondisinya, seperti seorang yang sedang sekarat”2
Merawat alam, lingkungan hidup berarti juga menyelamatkan manusia.
Sebaliknya, mengeksploitasi alam, sumber daya ada tanpa memedulikan
kelestarian, kesehatan alam ciptaan dan kelangsungannya untuk jangka panjang
sama artinya menghancurkan manusia. Benar, apa yang dikatakan oleh Dr.John
Stott bahwa “jika kita menghabiskan semua sumber daya yang ada, maka kita
menghancurkan manusia”.3 Badan Pertanggungjawaban Sosial dari Gereja
Anglikan di Inggris mengatakan bahwa “merusak bumi bukanlah sekadar sebuah
pertimbangan yang keliru, atau kesalahan biasa, melainkan sebuah penghujatan.
Suatu dosa melawan Allah dan kemanusiaan.4
Mengingat mengenai gentingnya situasi ekologi sekarang ini, apakah
tanggung jawab Gereja dan peran sertanya terhadap permasalahan terjadinya

kerusakan alam, lingkungan hidup yang berdampak pada pemanasan global? Jelas
bahwa ancaman pemanasan global bukan hanya pada “alam” saja, tetapi pada
seluruh ciptaan, di mana Gereja merupakan bagian darinya. Gereja adalah bagian
di dalamnya dan terpanggil untuk menjalankan panggilannya, yaitu mengemban
mandat kultural atau mandat pembangunan untuk memelihara ciptaan bagi
kesejahteraan kehidupan umat manusia.
Kenyataan inilah yang mendorong ditulisnya artikel ini. Kerusakan alam
adalah tanggung jawab bersama—semua umat manusia. Inilah masalah besar dan
bersifat global yang dihadapi umat manusia dewasa ini dan juga di masa depan.
Peringatan ini harus terus diperdengarkan dan ditindaklanjuti secara konkrit serta
berkesinambungan.
Gereja dan Mandat Pembangunan
Gereja mengemban mandat yang ganda dari Allah, yaitu mandat pembaruan,
dan mandat kultural atau mandat pembangunan. Mandat pembaruan ini sifatnya
khusus dan eksklusif, artinya hanya diperuntukan bagi orang-orang tebusan-Nya,
yakni Gereja-Nya saja untuk mewartakan kabar keselamatan melalui pemberitaan
Injil. Mandat pembaruan ini seperti tertulis di Matius.28:19-20; Markus 16:15-16;
Lukas 24:47; Yohanes 20:21 dan Kisah Para Rasul 1:8. Setelah Yesus menang atas
kuasa maut (bangkit dari kematian), sebelum naik ke surga, Dia mengutus
(memberi mandat) pada kita, Gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Tuhan yang

1 Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan & Isu (Malang: SAAT, 2010), hlm.373
2 Glen H. Stassen, David P.Gushee, Etika Kerajaan (Surabaya: Momentum, 2008), hlm.560-561
3 John Stott, Isu-isu Global (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2015), hlm.150
4 Ibid. hlm.155

2

begitu terhormat dan mulia menyerahkan tugas itu kepada kita. Barangsiapa
menaati mandat atau pengutusan ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus,
menikmati penyertaan Allah dan mereka menjadi rekan sekerja Allah untuk
memberitakan Injil.
Mandat pembaruan ini memiliki satu tujuan, yaitu soteriologis—adalah untuk
menunjukkan jalan keselamatan (Yoh.3:16). Allah telah memercayakan kepada
Gereja-Nya (kita), para pendosa yang telah ditebus ini, tanggung jawab untuk
mengerjakan maksud Allah dalam sejarah, yaitu penyelamatan manusia melalui
pemberitaan Injil. Yesus Kristus berkata,”Waktunya telah genap; Kerajaan Allah
sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Mrk. 1:15). Sejak
Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan, maksud penyelamatan Allah dalam sejarah
sedang diwujudkan melalui Gereja-Nya, Anda dan saya. Mengapa Ia
menyerahkannya kepada Saudara dan saya? Begitulah kehendak Allah. Paulus

berkata,”Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan
tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita
pendamaian itu kepada kami” (2 Kor.5:19).
Sedangkan mandat pembangunan adalah bersifat umum, yakni merupakan
tanggung jawab sosial semua orang tanpa kecuali termasuk orang Kristen di
dalamnya. Mandat pembangunan ini telah diberikan oleh Allah kepada Adam dan
Hawa sejak di taman Eden. Allah memberi perintah kepada manusia untuk
menjaga dan memelihara kelestarian ciptaan-Nya. Hal ini juga demi
terpeliharanya kelangsungan hidup manusia itu sendiri dan keturunannya di masa
mendatang.
Gereja mempunyai tanggung jawab etis yang universal terhadap ciptaan
Allah, yaitu alam (ekologi). Allah menciptakan alam sesuai dengan maksud dan
fungsinya masing-masing dalam hubungan harmonis dan saling memengaruhi
satu dengan yang lain demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan umat manusia.
Mandat ini merupakan mandat kepada manusia sebagai masyarakat (apa pun
agamanya), untuk menjadikan bumi ini menjadi tempat yang baik untuk dihuni.
Jadi mandat ini bukan saja untuk orang Kristen, tetapi juga untuk semua umat
manusia. Semua manusia bertanggung jawab untuk ikut memelihara lingkungan
hidup.
Di dalam Kejadian 1:28,31; 2:15: Allah menciptakan manusia dengan tujuan

salah satunya agar menghuni; memenuhi; menguasai; memelihara alam semesta
sebagai tempat tinggal yang lestari. Perlu dipahami bahwa kata “menguasai” di
sini bukan berarti ijin untuk mengeksploitasi kekayaan alam demi kesenangan
pribadi atau kelompok tanpa memerdulikan kelangsungan hidup (kelestariannya)
seterusnya demi keturunan umat manusia (sosial). Alam telah diserahkan
pengelolaannya kepada manusia untuk digunakan dan dimanfaatkan demi
kehidupan dan kesejahteraan manusia. Manusialah yang bertanggungjawab atas
kelestarian alam ini.
Dosa Manusia dan Hubungannya dengan Krisis Ekologi
Tidak dapat dipungkiri ada relasi antara krisis ekologi dan dosa manusia.
Perusakan alam, lingkungan hidup disebabkan oleh kerakusan manusia dan karena
dosa manusia. Kerakusan manusia dengan mengeksploitasi alam tanpa
3

memedulikan kelestarian dan keberlangsungannya di masa depan seperti
penanaman berlebihan dan pengerukan berlebihan adalah bentuk ketidaksetiaan
utama manusia kepada Allah Sang Pemilik.
Perilaku pembangunan yang cenderung eksploitatif dan destruktif terhadap
sumber daya alam di bumi karena alam tidak dilihat sebagai suatu sistem
kehidupan yang utuh. Lingkungan hidup hanya dilihat dalam konteks ekonomi,

khususnya keuntungan materi. Eksploitatif, karena hanya menekankan
pertumbuhan sehingga mengeruk sumber daya alam, tetapi kurang memerhatikan
keseimbangan ekosistem bumi. Destruktif, sebab dalam proses eksploitasi dan
konsumsi manusia cenderung mencemari lingkungan dengan beraneka ragam
limbah kimia berupa bahan gas, cair dan padat. Akibatnya, lingkungan hidup
terancam parah. Contoh nyata adalah terjadinya perubahan iklim karena
pemanasan global.5
Itulah sebabnya, tanpa melebih-lebihkan, benar apa yang dikatakan oleh
Dr.Robert P.Borrong:
“Bahwa dari perspektif Kristen, perlakuan destruktif-eksploitatif manusia
terhadap lingkungan bersumber dari kegagalan manusia memenuhi
panggilannya karena manusia jatuh ke dalam dosa…dengan demikian,
‘kerusakan alam bersumber dari kerusakan manusia.’ Dosa itu yang telah
menyebabkan pencemaran atau polusi moral dan spiritual. Akibatnya,
manusia cenderung bertindak destruktif, termasuk merusak alam yang
digunakan untuk memenuhi ambisi dan keserakahannya itu.”6
Hal serupa dinyatakan oleh Dr.Celia Deane-Drummond bahwa kejatuhan manusia
ke dalam dosa, menyebabkan terganggunya hubungan antara umat manusia, Allah
dan bumi.7 Keberdosaan manusia telah menciptakan keterasingan antara manusia
dan ciptaan lainnya (Kej.3:14-19;9:1-6).8

Kerakusan dan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya dalam lingkungan
akhirnya menghancurkan lingkungan, dan menyebabkan krisis ekologi. Tindakan
korup dan kerakusan manusia (sebagai akibat dosa), maka manusia lebih banyak
dikendalikan oleh nafsu dan semangat untuk memeroleh dan memiliki serta
mengonsumsi sebanyak mungkin materi, dan pengendalian diri cenderung
diabaikan. Sikap hidup seperti ini hanya memikirkan keuntungan ekonomi dengan
mengorbankan kepentingan ekologi.
Dr. Robert Borrong mengatakan demikian:9
“Krisis ekologis yang dihadapi oleh umat manusia dewasa ini berakar
dalam sikap manusia yang kurang memperhatikan norma-norma moral
dalam hubungan dengan lingkungan hidupnya, bahkan juga dalam
hubungan dengan sesamanya manusia…manusia memandang alam hanya
sebagai obyek, yang berguna untuk menjadi alat memenuhi kebutuhan

5 Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm.281-282
6 Ibid. hlm.247-248
7 Celia Deane-Drummond,Op.Cit. hlm.23
8 Glen H. Stassen, David P.Gushee, Op.Cit. hlm.577
9 Robert P. Borrong, Op.Cit. hlm.281


4

material saja… lingkungan hidup hanya dilihat dalam konteks ekonomi,
khususnya keuntungan materi.”
Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dijadikan satu-satunya penyebab
adanya krisis ekologis dewasa ini. Namun, kerusakan itu tentu tidak diakibatkan
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi oleh manusia yang telah menciptakan
dan yang memperalatnya. Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mengubah perilaku manusia menjadi manusia hedonistik dan materialistik.
Eksploitasi dan pencemaran lingkungan, bukan kemauan ilmu pengetahuan dan
teknologi, melainkan kemauan dan kehendak manusia. Jadi, akar dari perbuatan
yang mengeksploitasi dan mencemari lingkungan, alam secara berlebihan agtau
melampaui batas adalah “nir etik”—tidak adanya atau kurangnya norma etis
dalam diri manusia. Norma etis di sini adalah norma penghargaan dan norma
keadilan serta kasih terhadap lingkungan.10
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapai
oleh umat manusia (seluruh bumi) bersumber dalam krisis moral. Akibat krisis
moral tersebut, mereka mengeksploitasi dan mencemari alam, lingkungan hidup
tanpa rasa bersalah.
Jadi, kita berdosa bukan hanya terhadap Allah yang menjadikan bumi baik

sebagai penyataan diri-Nya maupun demi kebaikan kita, melainkan juga berdosa
terhadap lingkungan dan diri sendiri serta terhadap orang-orang atau generasi
yang akan mendiami bumi di masa mendatang.11
Alam Menurut Perspektif Kristen
Orang Kristen harus memercayai penghargaan dan penggunaan sumbersumber alam yang tepat. Penggunaan atau pemanfaatan lingkungan fisik kita yang
penuh penghargaan berdasar pada Injil mengenai penciptaan dan kewajiban kita
yang telah ditentukan untuk menjadi penatalayanan yang baik atas apa yang telah
Allah berikan kepada kita.12
Untuk memahami mengenai pokok persoalan (isu) tentang alam ciptaan
menurut perspektif Kristen, maka kita harus mengacu pada Alkitab (Injil) sebagai
fondasi/pijakan berpikir dan sekaligus bertindak. Dr.John Stott menegaskan
bahwa “bumi ini kepunyaan Allah maupun manusia”. Dikatakan kepunyaan Allah
karena Dia yang menciptakannya, dan sekaligus kepunyaan kita (manusia), karena
Dia telah memberikan bumi kepada kita. Menyerahkan di sini, bukan berarti Allah
menyerahkan sepenuhnya kepada kita sehingga Dia tidak mempertahankan hak
maupun penguasaan atas bumi lagi, melainkan Dia telah memberikan bumi
kepada kita agar kita memerintah atas nama-Nya. Bumi yang kita miliki adalah
hak pakai, artinya kita hanya sebagai penyewa atau penggarap, bukan hak milik
sebab Allah sendiri tetap sebagai “tuan tanah” (landlord). Jadi, bumi adalah milik
Allah dan milik manusia, seperti yang dikatakan oleh Alkitab berikut ini:13


10 Robert P. Borrong, Op.Cit.hlm.4
11 Norman L. Geisler, Op.Cit. hlm.396-397
12 Ibid. hlm.374
13 John Stott, Op.Cit. hlm.162-163

5

Mzm.24:1
Mazmur Daud. Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta
yang diam di dalamnya.
Mzm.115:16
Langit itu langit kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada
anak-anak manusia.
Prof. Norman L. Geisler mengatakan demikian:14
“Allah memberi manusia kuasa atas ciptaan (Kej.1:28), tetapi Dia juga
memerintahkan Adam mengusahakan tanah, dan menjaga taman. Ini
membutuhkan pengolahan dan perawatan. Bumi adalah taman Allah, dan
manusia adalah pengelola taman Allah”
Lagi, Dr.John Sott menegaskan bahwa kekuasaan kita atas bumi ini adalah
suatu pendelegasian, maka kekuasaan itu perlu dipertanggungjawabkan. Artinya,
kekuasaan yang kita jalankan atas bumi, tidak kita miliki sebagai hak, melainkan
sebagai suatu kepercayaan. Benar, bumi adalah “milik” kita, bukan karena kita
menciptakan atau juga memilikinya, tetapi karena Penciptanya memercayakan
pemeliharaan bumi kepada kita. Kita bukan pemilik, tetapi pengurus yang
mengelola dan mengolahnya atas nama pemilik. Jadi, kekuasaan kita atas bumi
merupakan delegasi dari Allah Sang Pemilik (bumi) dengan maksud agar kita
bekerja sama dengan Dia dan berbagi hasilnya dengan orang lain, maka kita
bertanggung jawab kepada-Nya melalui penatalayanan yang kita lakukan. Kita
tidak memiliki kebebasan untuk berbuat sekehendak hati kita atas alam,
lingkungan hidup dan tidak berhak mengeksploitasinya sesuka hati kita. Memang
Allah berkata kepada manusia: “Supaya mereka berkuasa … atas seluruh bumi”.
Kata “berkuasa atas” tidak sinonim dengan “menguasai” (dengan seenaknya atau
keras), apa lagi “menghancurkan”. Oleh karena alam, lingkungan hidup telah
dipercayakan kepada kita, kita perlu mengelolanya secara bijak,
bertanggungjawab dan tepat serta seproduktif mungkin untuk kepentingan kita
sendiri dan juga generasi di masa mendatang.15
Prof.Glen H. Stassen dan Prof.David P.Gushee menjelaskan yang dimaksud
kata “taklukkanlah” yang diperintahkan kepada manusia, adalah menyiratkan
tentang keterutamaan manusia, bukan sebagai suatu persetujuan terhada dominasi
ke arah eksploitatif atas alam.16
Dr.Celia Deane-Drummond menjelaskan dengan tepat mengenai perintah
Allah kepada manusia untuk “menaklukkan” bumi dan “berkuasa” atas semua
makhluk hidup. Berdasarkan analisis eksegetis menunjukkan bahwa kata itu
hanya menunjukkan pengusahaan bumi, bukan dorongan untuk memperlakukan
binatang-binatang dengan kasar. Dan bukan juga sebagai surat izin untuk
mengeksloitasi bumi bagi keuntungan manusia. Jika tugas “menaklukkan” dan
14 Norman L. Geisler, Op.Cit. hlm.382
15 John Stott, Op.Cit. hlm.166-168
16 Glen H. Stassen, David P.Gushee, Op.Cit. hlm.578

6

“berkuasa” ditafsirkan keliru menjadi penguasaan/pengeksploitasian, itulah yang
menjadi penyebab yang sangat penting di balik krisis ekologis.17
Dengan demikian, kita sebagai penatalayan Allah, hendaknya berkomitmen
untuk merawat alam ciptaan-Nya bagi kesejahteraan sesama—generasi masa
mendatang. Kekuasaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah kuasa
sebagai penatalayan yang bertanggungjawab, termasuk penggunaan atau
pemanfaatan sumber daya yang ada. Suatu hal yang mustahil jika Allah
menciptakan bumi dan menyerahkan kepada manusia hanya untuk dihancurkan
atau dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengorbankan
kesejahteraan atau “mengkhianati anak cucu kita” di masa mendatang.
Sebaliknya, kuasa tersebut merupakan pendelegasian atas alam ciptaan, yang di
dalamnya memuat unsur pertanggungjawaban baik kepada Allah sebagai Sang
Pemilik bumi dan kepada sesama (sebuah kesolidaritasan) serta rasa hormat
terhadap lingkungan hidup kita.
Pandangan Kristen mengenai lingkungan didasarkan atau berasal dari
doktrin penciptaan. Prof.Norman L. Geisler memaparkan beberapa unsur dari
pandangan Kristen tentang lingkungan dan tanggung jawab manusia di dalamnya
sebagai berikut:18
1. Dunia adalah ciptaan Allah
Firman Allah dengan jelas menyatakan bahwa alam semesta memiliki
permulaan,”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”(Kej.1:1).
Pernyataan atau doktrin penciptaan ini memiliki dua implikasi penting untuk
ekologi, yaitu kepemilikan ada pada pihak Allah dan pelanatalayanan ada pada
pihak manusia. Allah memilikinya dan manusia memelihara bagi-Nya.
Dr.Celia Deane-Drummond menjelaskan berdasarkan teks Kej.1:27,
bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah. Manusia
diciptakan sebagai gambar Allah karena peranannya selaku penatalayan atau
pelaksana atas ciptaan.19 Selanjutnya, ia juga menjelaskan di mana gagasan
bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah menempatkan manusia
dalam suatu hubungan yang unik dengan Allah dibandingkan dengan ciptaan
yang lain. Hubungan yang unik itu memberikan tanggung jawab khusus
kepada manusia untuk bertindak selaku penatalayanan dan pelaksana harian
pemeliharaan ciptaan. Allah memerintahkan manusia menguasai ciptaan dan
mengelola bumi. Tugas ini berisi mandat memlihara bumi, bukan mandat
mengeksploitasi. Kalau manusia gagal memelihara bumi, maka ia gagal dalam
tanggung jawab sebagai penatalayanan ciptaan.20
2. Dunia adalah milik Allah
Seperti yang dikatakan di dalam kitab Mazmur 24:1,”Tuhanlah yang
empunya bumi serta segala isinya.” Allah menyatakan,”Sebab punya-Kulah
segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung… sebab punya-Kulah
17 Celia Deane-Drummond, Teologi & Ekologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1999), hlm.19
18 Norman L. Geisler, Op.Cit. hlm.382-386
19 Celia Deane-Drummond,Op.Cit. hlm.21
20 Ibid. hlm.81

7

dunia dan segala isinya” (Mzm 50:10,12). Tuhan berkata kepada Ayub,”Apa
yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku . (Ayub. 41:11 ).
Cukup jelas bahwa Allahlah pemilik lingkungan, dan manusia hanya
mengusahakannya.
Umat manusia diberi kuasa atas ciptaan lainnya. Ada dua kata untuk
menjelaskan hal ini : “taklukkan” dan “berkuasalah.” Kata “taklukkan” berarti
menginjak-injak atau membawa ke dalam perbudakan. Kata ini menunjukkan
gambaran tentang seorang penakluk yang menaruh kakinya di atas leher orang
yang ditaklukkan. Kata ini juga menyiratkan bentuk dari kendali atau kuasa
atas alam. Sedangkan kata “berkuasa” berarti menginjak-injak atau menang
atas. Gambaran yang disampaikan adalah mengenai seseorang yang dominan
atas yang menang. Jika digabungkan, maka kedua kata tersebut (“taklukkan”
dan “berkuasalah”) memastikan bahwa manusia bukan hanya di dalam alam,
melainkan juga ditempatkan mengatasinya. Selanjutnya ada kata “bekerja” atau
“mengerjakan.” Selain berkembang biak dan berkuasa, manusia berkewajiban
memelihara. Kata “bekerja” atau “mengerjakan” di sini berarti “melayani”
(kej.2:15). Kata yang satunya, “memelihara”, berarti “menjaga, mengawasi,
atau memelihara”. Dalam hal ini, tidak ada kontradiksi antara “memanfaatkan”
(taklukkan dan berkuasa) dengan kewajiban untuk melayani dan memelihara di
dalam alam ciptaan Allah. Dr.J.Verkuyl menjelaskan bahwa manusia boleh
memanfaatkan alam secara bertanggungjawab, sesuai dengan maksud Tuhan.
(termasuk kehidupan tumbuh-tumbuhan dan kehidupan binatang) ditaklukkan
kepada manusia. Manusia dipanggil menjadi “atasan” atas nama Tuhan bagi
ciptaan yang lain. Yang dilarang adalah merusak dan menggunakan alam
ciptaan dengan sembarangan dan tanpa rasa tanggung jawab, sehingga maksud
Tuhan dengan alam ciptaan itu tidak tercapai.21
Jadi, kepemilikan Allah merupakan dasar penatalayanan kita terhadap
alam ciptaan-Nya. Allah adalah Pencipta dan pemilik bumi, tetapi manusia
adalah pemeliharanya. Manusia terikat kewajiban untuk melayani dan
memelihara bumi (Kej.2:15).
Berkenaan dengan tugas kepelayanan kepada alam, Dr. Robert P. Borrong
menyatakan demikian:22
“Umat Kristen sebagai ‘koinonia’ persekutuan orang yang percaya akan
penebusan Allah terpanggil menjalankan misi di mana tercakup di
dalamnya usaha memelihara kelestarian alam. Umat Kristen juga
terpanggil untuk melaksanakan tugas ‘ibadah’ dan ‘diakonia’ serta
‘oikumene’ dalam rangka pelayanan yang luas, baik kepada sesama
manusia maupun kepada lingkungan hidupnya. Dalam menjalankan tugas
kepelayanan kepada alam, manusia tidak hanya memanfaatkan sumbersumber daya alam, tetapi juga menjaga dan memelihara alam agar terjamin
kelestariannya dan sekaligus menjadi sumber nafkah yang tak habishabisnya.”
3. Bumi adalah cermin Allah
21 J.Verkuyl, Etika Kristen: Kapita Selekta (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
22 Robert P. Borrong, Op.Cit.hlm.284

8

Dunia fisik adalah baik untuk dinikmati. Sesudah penciptaan setiap
harinya,
dikatakan
bahwa
“Allah
melihat
hal
itu
baik”
(Kej.1:4,10,12,18,21,25). Pada akhir penciptaan itu, ayat 31 menegaskan
bahwa,”Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”
Dunia fisik bukan hanya baik pada hakikatnya, tetapi juga dikatakan
mencerminkan kemuliaan Allah. Mazmur 19:2 dikatakan,”Langit menceritakan
kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”;
Mazmur 8:4-5,”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintangbintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau
mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?”
Ciptaan mencerminkan kemuliaan Sang Pencipta. Alam adalah pencerminan
Allah.
4. Bumi ditopang dan diselenggarakan oleh Allah
Allah bukan hanya menjadikan segala sesuatunya eksis, Dia juga yang
menyebabkan segala sesuatunya terus eksis. Karena oleh Dia “segala sesuatu
ada” (Kol.1:17). Dia bukan hanya yang menyebabkan terjadinya dunia, Dia
juga yang menopangnya. Dia “menopang segala yang ada dengan firman-Nya
yang penuh kekuasaan” (Ibr.1:3). Itu artinya, Allah aktif bukan hanya pada
awal mula alam semesta, tetapi juga dalam menyelenggarakan. Sungguh, Dia
tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Alkitab tidak mendukung
pandangan tentang alam yang deistis.
Injil Adalah Kabar Baik Bagi Umat Manusia
Kata Injil terjemahan dari bahasa Yunani εὐαγγέλιον (Rm 1:16), yaitu terdiri
dari dua kata: eu berarti indah atau baik, dan anggelion berarti berita, kabar atau
pesan. Kata εὐαγγέλιον berarti membawakan atau menyampaikan/mengumumkan
kabar baik. Jadi, dalam pengertian sempit, Injil berarti Kabar Baik.
Gereja ada di muka bumi karena kehendak Allah dan untuk melaksanakan
kehendak-Nya semata. Bila kita mencermati pelayanan yang telah dilakukan oleh
Kristus sangatlah holistik, yaitu meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia
menyampaikan Injil yang adalah Kabar Baik kepada orang-orang miskin,
memberitakan pembebasan bagi orang tawanan, menyembuhkan orang-orang
sakit, membebaskan orang-orang tertindas (Luk 4:18-19). Ia juga memberikan
makan kepada mereka yang lapar (Yoh 8:1-3). Itulah isi Kabar Baik yang
seharusnya diberitakan oleh Gereja.
Bila kita merenungkan kembali peristiwa Natal, kelahiran Kristus, di mana Ia
dilahirkan di dalam palungan (Lukas 2). Pada zaman itu di Israel, di rumah
penginapan selalu disediakan tempat khusus untuk hewan. Hewan pada waktu itu
merupakan alat transportasi. Di tempat hewan itulah Kristus dilahirkan karena
tidak ada tempat bagi Yusuf dan Maria untuk menginap di rumah penginapan
(Luk.2:7).
Apakah ada makna kelahiran-Nya di palungan tersebut? Tentu itu memiliki
makna teologis yang mendalam bagi umat manusia. Dr. Andar Ismail menjelaskan
bahwa palungan yang merupakan tempat hewan itu sebagai tanda solidaritas-Nya
dengan sesamanya, yaitu mereka yang tiada mendapat tempat dalam masyarakat.
9

Terbukti sepanjang hidup pelayanan Kristus di bumi (kurang lebih selama 3,5
tahun), Ia telah menunjukkan rasa solider, terbuka, simpati dan empati dengan
sesamanya—mereka yang tiada mendapat tempat dalam masyarakat, misalnya
karena faktor status sosialnya (pemungut cukai, pelacur), atau karena faktor
ekonominya (nelayan), atau karena faktor jasmaninya (orang lumpuh, orang buta,
orang kusta), atau karena faktor etnis (orang-orang Samaria).23
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pelayanan Kristus sangat
komprehensif, karena yang menjadi goal bukan hanya hal-hal rohani saja, tetapi
juga memerdulikan kebutuhan jiwani dan jasmani untuk menyatakan shalom24
kepada mereka yang memerlukan.
Pelayanan Kristus yang bersifat komprehensif tersebut sangat relevan dan
dibutuhkan sebagai jawaban untuk mengentaskan persoalan atau kondisi bangsa
Indonesia saat ini, yang bergumul mengatasi berbagai masalah, salah satunya
adalah pencemaran dan kerusakan alam, lingkungan hidup.
Implementasi Kasih Kepada Sesama
Selama ini Gereja lebih banyak memfokuskan pelayanannya pada persoalan
yang bersangkut paut dengan pembinaan kerohanian saja, dan masih sedikit terjun
kepada bentuk-bentuk pelayanan yang bersifat komprehensif yaitu mendatangkan
shalom secara utuh. Padahal pelayanan Gereja seharusnya juga meneladani
pelayanan Kristus, yaitu pelayanan yang merangkumi segi kehidupan manusia
secara menyeluruh, baik rohani, jiwani dan jasmaninya.
Mari kita perhatikan Matius 25:31-46, di mana Kristus mengidentikkan
diri-Nya sebagai orang lapar, orang yang sakit, haus, telanjang, terpenjara dan
orang asing. Kristus juga menegaskan bahwa apa yang kita perbuat kepada
mereka yang membutuhkan uluran tangan kita seperti memberi makan, memberi
minum, memberi tumpangan, memberi pakaian, mendoakan dan mengobati,
mengunjungi orang dalam penjara, sama seperti melakukannya kepada diri-Nya.
Prof.J.Douma menyatakan bahwa dasar etis orang Kristen adalah
berdasarkan perintah rangkap dalam Matius 22:37-39 yaitu kasihilah Allah dan
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Melalui hubungan perseorangan yang
rangkap itu semua aspek kehidupan manusiawi diperhatikan: Gereja, perkawinan,
keluarga, masyarakat serta perlindungan dan pelestarian alam. Dalam perhatian
terhadap tingkah laku (etis) bertanggungjawab terhadap Allah, kita akan bertemu
dengan perintah untuk menguasai dunia ini secara baik (kej.1:28). Dan
barangsiapa memikirkan pertanggungjawabannya terhadap sesamanya manusia
tidak bisa melupakan lingkungan yang sehat untuk kita semua.25
Dasar etis dalam Matius 22:37-39 yaitu kasihilah Allah dan sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri juga mencakup perilaku yang mencerminkan
norma keadilan dan kasih (solidaritas) untuk terwujudnya kesejahteraan semua
23 Andar Ismail, Selamat Natal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm.25
24 Kata shalom sebenarnya memiliki arti yang luas, tidak hanya damai sejahtera, melainkan juga
bisa diartikan keutuhan, keselarasan dan kemakmuran. Keutuhan dan keselarasan di sini tentunya
bukan hanya menyangkut hubungan antara sesama atau kedua orang atau kelompok, yang tidak
ada friksi, melainkan juga bisa diartikan keselarasan dengan alam—menyangkut hubungan
manusia dengan alam, di mana manusia adalah pengelola ciptaan-Nya.
25 J. Douma, Kelakuan yang Bertanggung Jawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm.21

10

manusia sehingga memerhatikan keseimbangan antara kepentingan manusia masa
kini dan manusia di masa depan; antara kepentingan ekonomi dan kepentingan
ekologi yang terjalin utuh.
Berikut pernyataan James Nash yang dikutip oleh Dr. Robert P.Borrong:26
“Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia tidak dapat
diberlakukan kepada alam. Menurut Nash, manusia dan alam berbeda
walaupun memiliki ikatan biologis. Alam tidak dapat merespon perlakuan
manusia. Tetapi justru, karena itu manusia harus menerapkan kasih dalam
bentuk penghargaan, penghormatan dan belas kasih pada ciptaan lain yang
juga menerima hidup dari Allah … keduanya menerima kasih yang
berkelanjutan”.
Dr. Robert P.Borrong menambahkan bahwa karena kasih Allah menjadi norma
moral (orang Kristen), itulah sebabnya dapat diimplementasikan sebagai etika
biologis, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadaop seluruh kehidupan. Atas
dasar itu, manusia terpanggil untuk menunjukkan penghargaan terhadap alam dan
memeliharanya dengan baik. Hal dilakukan bukan saja karena kita membutuhkan
sumber-sumber alam, melainkan terutama karena Allah telah menunjukkan kasihNya yang besar kepada kita.27
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bukankah manusia penatalayan atas
penciptaan? Maksudnya manusia itu sebagai pengelola/pelayan atas alam ciptaan
Allah, bukan sebagai penguasa bagi kepuasan diri sendiri, melainkan untuk
mewujudkan kehendak Allah atas bumi ini. Kesadaran ini seharusnya
menghasilkan sikap etis yang memperlakukan alam dan makhluk ciptaan-Nya
yang lain dengan baik, bukan sewenang-wenang.
Bukankah Kristus disebut Raja Damai, Raja Shalom (Yes 9:5)? Pada
kelahiran-Nya malaikat mengatakan,”Damai sejahtera (shalom) di antara
manusia” (Luk 2:14). Arti kata shalom di dalam Alkitab memang sangat “holistik”
tidak hanya soal moral-spiritual atau keselamatan rohani saja, tetapi juga
bersangkut paut soal kebahagiaan, kedamaian, kesatuan, keselarasan dan
berkat/makmur. Keselarasan, kedamaian dan kebahagiaan di sini bukan sekadar
menyangkut relasi antara manusia dengan Allah Sang Pencipta, antara manusia
dengan sesamanya, tetapi juga relasi/keselarasan manusia dengan lingkungan
hidupnya.
Manusia dan alam merupakan dua hal yang saling terkait dan integral.
Manusia tidak diciptakan sebagai makhluk yang independent atau berdiri sendiri
dan terpisah dari ciptaan-Nya yang lain. Manusia dan alam adalah sesama ciptaan.
Manusia adalah bagian dari ciptaan-Nya. Sebelum Allah menciptakan manusia, Ia
terlebih dahulu menciptakan alam semesta beserta isinya. Kemudian diciptakanlah
manusia itu menurut gambar dan rupa Allah. Manusia diciptakan Allah dari debu
tanah dan diperintahkan untuk mengelola alam—Taman Eden untuk kelangsungan
hidupnya dan juga keturunannya.
Dr.Robert P.Borrong menjelaskan hubungan antara manusia dan alam.
Manusia adalah bagian dari alam, sebab ia diciptakan dari debu tanah (Kej.2:7);
26 Robert P.Borrong,Op.Cit. hlm.170-171
27 Ibid. hlm.171

11

dan kalau ia mati, ia akan kembali pada tanah (Mzm.90:3). 28 Itulah sebabnya
manusia harus memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan Allah, sekali pun
manusia diberi wewenang menaklukkan alam. Maka selain menjaga dan
memelihara, manusia harus juga mengembangkan sikap solidaritas 29 terhadap
alam.30
Manusia membutuhkan lingkungan alam yang bersih, segar, dan sehat.
Faktanya perkembangan manusia juga sangat dipengaruhi oleh factor
lingkungannya. Lingkungan di sini pertama adalah lingkungan social, yaitu
interaksi seseorang dengan orang lain yang akan berperan membentuk kepribadian
seseorang, dan kedua adalah lingkungan alam (abiotik) seperti air, udara, tanah,
tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya (termasuk benda-benda mati di sekitarnya).
Jadi pelayanan Gereja meliputi seluruh aspek kehidupan manusia—
manusia seutuhnya, baik roh, jiwa dan tubuh (1 Tes. 5:23). Itulah tugas Gereja
yang diberikan Allah kepadanya dengan menjadi shalom bagi umat manusia di
bumi. Menurut Dr. Robert P. Borrong menyatakan sebagai berikut:
“Menghadirkan tanda-tanda shalom Allah di bumi, yaitu semakin
berkualitasnya kehidupan baik kehidupan manusia maupun seluruh
ciptaan. Tujuan-tujuan ini harus dinyatakan melalui kehidupan sehari-hari
dengan mempraktikkan hidup hemat, sederhana dan penuh pengucapan
syukur.”31
Gereja harus Berjejaring
Untuk mengemban mandat kultural atau mandat pembangunan—
memelihara bumi ini, maka Gereja baik secara institusi maupun perorangan (pada
setiap individu) harus bersinergi dengan sesamanya (nonKristen) baik melalui
institusi pemerintah maupun nonpemerintah dan juga secara perorangan (pada
setiap individu), bersama-sama mewujudkan alam, lingkungan hidup yang
nyaman, bersih, sehat dan layak untuk ditinggali baik bagi kehidupan masa kini
dan juga demi kehidupan generasi di masa mendatang—anak cucu kita.
Gereja harus mematuhi mandat pembangunan ini. Mandat pembangunan
ini dimaksudkan yaitu untuk mengurangi penderitaan masyarakat maupun untuk
mengembangkan kehidupan manusia. Dengan kata lain, mandat kultural untuk
mewujudkan keadaan sosial yang lebih baik yang terdapat dalam masyarakat.
Krisis ekologis sebagai akibat perlakuan buruk manusia terhadap alam
seharusnya menyadarkan kita bahwa manusia perlu menata kembali hubungannya
dengan sesama ciptaan, yaitu dengan sesama manusia dan lingkungan hidupnya.32
Permasalahan lingkungan adalah permasalahan semua orang tanpa kecuali.
Sebab itu, Gereja perlu menjalin kerjasama atau berjejaring dengan sesamanya,
maupun pemerintah dengan hati tulus untuk mewujudkan shalom di bumi yang
28 Robert P.Borrong,Op.Cit. hlm.165
29 Dr.Robert P.Borrong menjelaskan bahwa solidaritas yang dimaksud adalah bahwa manusia
mengembangkan sikap dan perilaku menghargai alam dalam konteks sebagai sesama ciptaan.
Dalam konteks sesama ciptaan, terutama penderitaan ciptaan, istilah solidaritas dapat mengandung
makna pertalian dan kesaling-bergantungan manusia dengan alam.
30 Robert P.Borrong,Op.Cit. hlm.166
31 Ibid. hlm.284
32 Ibid. hlm.285

12

kita cintai. Gereja harus berjejaring untuk menyelamatkan lingkungan hidup dari
kerusakan. Gereja harus berjejaring dengan lembaga/instansi pemerintah maupun
nonpemerintah untuk mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab terhadap
lingkungan hidup demi terwujudnya kesejahteraan semua makhluk dan seluruh
unsur dalam alam, baik untuk kepentingan manusia masa kini dan generasi di
masa depan secara berkesinambungan maupun untuk kepentingan alam ini secara
keseluruhan sebagai penyangga kehidupan manusia.
Seperti yang dikatakan Prof.Glen H. Stassen dan Prof.David P.Gushee
bahwa kita bukannya melawan alam atau lingkungan, sebab kita adalah bagian
dari bumi ciptaan Allah, dan kita bergantung pada bumi ini untuk hidup kita, sama
seperti bumi ini bergantung pada kita untuk kehidupannya. Dalam Matius 6:1934, Yesus dengan sangat jelas menyatakan bahwa Allah memelihara burungburung di udara dan bunga bakung di ladang, dan bahwa kita ditempatkan di
tengah-tengah komunitas yang dipelihara Allah ini. Banyak perumpamaan Yesus
yang lain yang menunjuk kepada pemeliharaan Allah untuk pertumbuhan benih,
untuk ladang-ladang, untuk karunia hujan dan sinar matahari bagi semua orang.
Semua menyadarkan semestinya bahwa kita berada dalam pemerintahan Allah. 33
Jadi, kita harus terlibat dalam pemeliharaan Allah terhadap alam ciptaan-Nya.
Pemeliharaan kita terhadap ciptaan bukan menggantikan Allah, tetapi
berpartisipasi dalam pemeliharaan Allah yang berkesinambungan.34
Berikut saran baik dari Dr.Robert P. Borrong mengenai pentingnya Gereja
membangun jejaring kerja sama untuk melaksanakan kegiatan cinta lingkungan:35
“Gereja-gereja perlu pula menggalang kerja sama dengan pemerintah,
organisasi masyarakat swasta dan golongan beragama lain dalam
mengkaji, merencanakan dan melaksanakan kegiatan cinta lingkungan
secara bersama, baik pada aras nasional maupun regional dan lokal sesuai
dengan kebutuhan di daerah masing-masing. Kerja sama ini didasarkan
atas kesadaran bahwa persoalan lingkungan bukan masalah kelompok
tertentu, melainkan masalah bersama umat manusia dari semua golongan
… dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis dan seimbang dengan
alam sebagai bagian dari tujuan kehidupan dan pembangunan bangsa kita.
Karena itu, semua orang terpanggil untuk memberikan kontribusinya
sesuai keyakinannya masing-masing.”
Penataan Hubungan Manusia dengan Sesama Ciptaan
Menjawab permasalahan mengenai isu pemanasan global (global
warming) akibat kerusakan alam, Gereja (orang Kristen) tentu ada di dalamnya.
Gereja sebagai mitra Allah untuk mendatangkan shalom di bumi, sebagai salah
satu wujud implementasi kasih kepada sesama adalah berpartisipasi baik secara
langsung maupun tak langsung. Untuk mengimplementasikan pemeliharaan
terhadap alam, Gereja dapat melakukan beberapa tindakan sederhana baik secara
langsung maupun tidak langsung
33 Glen H. Stassen, David P.Gushee, Op.Cit. hlm.561
34 Ibid. hlm.576
35 Ibid. hlm.289-290

13

Partisipasi Gereja (perseorangan) secara langsung seperti membuang
sampah pada tempatnya, menggunakan air secara efektif, meminimalkan polusi
udara, penananam pohon, tidak melakukan penebangan hutan sembarangan,
penataan lingkungan hidup yang bersih di sekitarnya, pola hidup hemat (dengan
cara mengurangi gaya hidup mewah dan menggantinya dengan gaya hidup
berkecukupan atau mengambil secukupnya), kedisiplinan dalam memanfaatkan
benda-benda potensial merusak alam/lingkungan baik melalui penggunaan
berulang-ulang maupun melalui daur ulang. Selain itu, orangtu haruslah mendidik
anak-anaknya agar mereka sayang tanaman/tumbuh-tumbuhan, sehingga mereka
belajar memelihara dan merawat tanaman/tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian,
terlatihlah mereka dengan pola hidup yang menghargai alam, lingkungan hidup
dan dalam hal bertanggungjawab.
Menurut Dr.Robert P. Borrong, dengan mempraktikkan pola hidup seperti
di atas, maka manusia dapat hidup menurut irama daur alam, yakni alam,
dimanfaatkan sekaligus dipelihara kelestariannya. Untuk maksud itu, maka
manusia harus melakonkan perilaku yang menjaga kelestarian alam bukan saja
untuk kepentingan alam melainkan sekaligus untuk kenyaman, kesejahteraan dan
kesehatan manusia sehingga kualitas hidup manusia lebih terjamin baik pada masa
kini maupun di masa depan. Norma moral seperti ini bisa dikembangkan secara
perseorangan maupun kelompok masyarakat, misalnya dalam Gereja.36
Sedangkan partisipasi Gereja (lembaga) secara tidak langsung, misalnya,
Gereja merencanakan dan mengorganisir program-program yang bersangkut paut
dengan kegiatan cinta lingkungan (sesuai dengan kondisi lingkungan masingmasing), seperti gerakan kebersihan, gerakan penghematan, gerakan daur ulang
sampah, dan sebagainya. Tujuan gerakan-gerakan ini adalah untuk penyadaran
tentang pentingnya kelestarian alam, mengajak umat membudayakan gaya hidup
yang ramah terhadap alam, tidak serakah/rakus, materialisme, dsb), dalam
menjaga dan mengusahakan keberlangsungan atau kelestarian alam—
keharmonisan manusia dengan lingkungan hidupnya.
Untuk itu, Gereja perlu membentuk jaringan kerja sama yang dapat
menjadi pelopor dalam memikirkan, merencanakan dan mengorganisasikan
program-program yang bersangkut paut dengan kegiatan cinta lingkungan untuk
mendorong dan menggerakkan umat agar berperan serta dalam kegiatan
mencegah pencemaran dan memulihkan lingkungan yang terlanjur rusak akibat
pencemaran. Jaringan kerja ini perlu dibuat agar Gereja-gereja dari berbagai
tempat dapat bekerja sama dan saling mengisi dalam meningkatkan berbagai
kegiatan mereka sesuai dengan pengalaman masing-masing.37
Hasil-hasil dari kegiatan cinta lingkungan tersebut, dapat dipublikasikan
melalui buletin gereja atau warta gereja sebagai bentuk kampanye cinta
lingkungan sehingga akan terus mendorong umat/warga gereja untuk memberikan
kontribusinya supaya shalom Allah terwujud secara konkrit dalam ‘koinonia’—
kebersamaan umat, kebersamaan dan solidaritas (cinta kasih) pada sesama. Bila
Gereja ingin melakukan konservasi (pelestarian), maka Gereja juga dapat
mengajarkan para anggota Gereja untuk melakukan hal yang sama di rumah.
36 Ibid. hlm.286
37 Ibid. hlm.289

14

Penutup
Pola pelayanan Gereja secara komprehensif yaitu melayani masyarakat
secara seutuhnya adalah sebagai wujud ketaatan pada kehendak Allah yaitu
mandat kultural/pembangunan. Gereja perlu melihat kebutuhan manusia dari dua
sisi yaitu kebutuhan rohani dan jasmani.
Gereja diutus oleh Kristus untuk menjadi berkat dalam masyarakat. Iman
itu riil (nyata). Maka iman kita harus diwujudnyatakan dalam perbuatan yang riil
pula seperti mengulurkan tangan bagi mereka yang memerlukan. Kita melakukan
hal ini bukan sekedar aksi sosial, tetapi untuk mewujudkan Injil sebagai Kabar
Baik dalam realitas.
Kelestarian alam, baik air, udara, tanah maupun tumbuh-tumbuhan adalah
kebutuhan vital bagi kehidupan manusia. Karena itu, Gereja harus turut ambil
bagian dalam upaya preventif/pencegahan maupun penanggulangan masalah
lingkungan hidup. Pelayanan Gereja tidak boleh dipersempit hanya pada
pemenuhan kebutuhan moral-spiritual belaka (mandat pembaruan), tetapi juga
kepedulian pada alam, lingkungan hidup (mandat pembangunan) sebagai bentuk
pengucapan syukur kepada Allah Sang Pencipta.
Kerusakan alam, lingkungan hidup adalah tanggung jawab semua orang.
Semua umat manusia terpanggil untuk memulihkan dan melestarikan alam
ciptaan-Nya, sehingga hubungan keduanya (manusia dan alam) adalah hubungan
yang saling menguntungkan. Tidak ada satu orang manusia pun di dunia ini yang
dapat “merasa” bebas dari tanggung jawab atas kelestarian alam. Itulah sebabnya,
orang Kristen bertanggungjawab memelihara dan menjaga dunia alam;
menciptakan suatu lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta nyaman dihuni
untuk kehidupan masa kini dan generasi mendatang.

Daftar Kepustakaan
Borrong, Robert P. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
Drummond ,Celia Deane, Teologi & Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1999
Douma, J. Kelakuan yang Bertanggung Jawab. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002
Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan & Isu. Malang: SAAT, 2010
Ismail, Andar. Selamat Natal. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999
Stott, John. Isu-isu Global. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2015
Stassen, Glen.H dan Gushee, David P. Etika Kerajaan. Surabaya: Momentum,
2008.
15

Verkuyl, J. Etika Kristen: Kapita Selekta. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1992.

16