KUMPULAN HADITS HADITS PERNIKAHAN DAN PE

Kumpulan hadis hadits pernikahan – perkawinan – munakahat – nikah – kawin – cerai
dalam islam
Posted on Desember 20, 2008 by Fulan

Kumpulan hadis hadits pernikahan – perkawinan – munakahat – nikah – kawin – cerai dalam islam
Kitab Nikah
Dari Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam Oleh Ibnu Hajar Al ‘Ashqalani

Hadits ke-1
Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami:
“Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia
dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-2
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan
menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan.
Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-3
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami

berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan
penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari
kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-4
Hadits itu mempunyai saksi menurut riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil Ibnu Yasar.

Hadits ke-5
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambersabda: “Perempuan itu
dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat
beragama, engkau akan berbahagia.” Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.

Hadits ke-6
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambila mendoakan seseorang
yang nikah, beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta
mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut
Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-7
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallammengajari kami khutbah pada suatu

hajat: (artinya = Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan
ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami. Barangsiapa mendapat hidayah
Allah tak ada orang yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak ada yang kuasa
memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu
hamba-Nya dan utusan-Nya) dan membaca tiga ayat. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut

Tirmidzi dan Hakim.

Hadits ke-8
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang
di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik
untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi
yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadits ke-9
Hadits itu mempunyai saksi dari hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa’i dari al-Mughirah.

Hadits ke-10
Begitu pula riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Muhammad Ibnu Maslamah.
Hadits ke-11
Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada

seseorang yang akan menikahi seorang wanita: “Apakah engkau telah melihatnya?” Ia menjawab: Belum.
Beliau bersabda: “Pergi dan lihatlah dia.”

Hadits ke-12
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah
seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama
meninggalkan atau mengizinkannya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-13
Sahal Ibnu Sa’ad al-Sa’idy Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seorang wanita menemui Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai RasulullahShallallaahu ‘alaihi wa Sallam, aku datang untuk menghibahkan
diriku pada baginda. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memandangnya dengan penuh perhatian,
kemudian beliau menganggukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak
menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: “Wahai Rasulullah, jika
baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: “Apakah engkau mempunyai
sesuatu?” Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu, lalu
lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu.” Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku
tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Carilah, walaupun hanya
sebuah cincin dari besi.” Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah,
walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang

setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambersabda: “Apa yang engkau
akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia
memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa.” Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya.
Setelah ia datang, beliau bertanya: “Apakah engkau mempunyai hafalan Qur’an?” Ia menjawab: Aku hafal surat
ini dan itu. Beliau bertanya: “Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda:
“Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur’an yang engkau miliki.” Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat: Beliau bersabda padanya: “berangkatlah, aku telah nikahkan
ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur’an.” Menurut riwayat Bukhari: “Aku serahkan ia kepadamu dengan
(maskawin) al-Qur’an yang telah engkau hafal.”

Hadits ke-14
Menurut riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu beliau bersabda: “Surat apa yang engkau

hafal?”. Ia menjawab: Surat al-Baqarah dan sesudahnya. Beliau bersabda: “Berdirilah dan ajarkanlah ia dua
puluh ayat.”

Hadits ke-15
Dari Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: “Sebarkanlah berita pernikahan.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Hakim.


Hadits ke-16
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih
menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.

Hadits ke-17
Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: “Tidak sah nikah kecuali
dengan seorang wali dan dua orang saksi.”

Hadits ke-18
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallambersabda: “Perempuan yang
nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib
membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka
penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali
Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Hadits ke-19
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang
janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali

setelah diminta izinnya.” Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: “Ia diam
(tidak menolak).” Muttafaq Alaihi.

Telaah Hadis
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.”
Derajat hadis: Lemah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2178), Baihaqi, dan Ibnu adi, dari jalan Mu’arrof bin Washil, dari
Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar secara marfu’.
Setelah memaparkan takhrij hadis ini dengan panjang lebar. Syaikh al-Albani berkata,
“Kesimpulannya bahwa yang meriwayatkan hadis ini dari Mu’arrof bin Washil ada empat
orang tsiqoh. Mereka adalah Muhammad bin Kholid al-Wahibi, Ahmad bin Yunus, Waki’ bin
Jarroh, dan Yahya bin Bukai. Keempat orang ini berselisih dalam riwayat hadis ini. Orang
pertama meriwayatkannya dari Mu’arrof, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar secara marfu’.
Sedangkan tiga yang lainnya meriwayatkannya dari Mu’arrof, dari Muharib secara mursal. Dan
tidak diragukan lagi bahwa riwayat yang mursal itulah yang lebih rojih (kuat).”
Abu Yusuf berkata, “Ketahuilah –barakallahu fikum– bahwa asal hukum cerai adalah makruh dan
terlarang, namun bisa berubah pada hukum lainnya. Hal ini sangat tergantung pada kondisi
rumah tangga tersebut, bisa menjadi haram, boleh, sunah bahkan wajib.
Hukum asal larangan cerai ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya:



Nikah adalah sebuah akad yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Islam, maka talak
yang merupakan pemutus pernikahan berarti juga pemutus sesuatu yang dianjurkan dan
diperintahkan. Dan semua itu terlarang kecuali kalau ada sebuah keperluan mendesak.



Perceraian banyak membawa mafsadah bagi istri dan anak-anak, juga bisa menjadi
sebab perpecahan dan pertengkaran antara keluarga, yang semua itu adalah terlarang.



Perceraian tanpa sebab adalah mengkufuri nikmat pernikahan yang disebutkan oleh
Allah dalam firman-Nya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia telah
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tentram padanya, dan dijadikannya di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum:
21)




Perceraian itu hanya diperintahkan oleh setan dan tukang sihir, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Mereka belajar dari keduanya sihir yang bisa memisahkan
antara seseorang dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 102)

Dari Jabir berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iblis
meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang
akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu
ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka iblis berkata, ‘Engkau tidak
berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan

seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka iblis mendekatkan dia
padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku’.” (Muslim, no.2167)


Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda, “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram
baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283,
dengan sanad hasan)

Lihat Badai Shona’i (3:95), Al-Mufashol (7:354), Jami’ Ahkamin Nisa’ (4:130) Syaikh Musthofa

Adawi, Fiqih Sunnah (2:2790), Roudhoh Nadiyah (2:238) Syaikh Shidiq Hasan Khan.
Adapun jika sikon rumah tangga itu berubah, maka hukum ini pun bisa berubah menjadi:
1. Wajib
Yaitu perceraian yang sudah ditetapkan oleh dua juru damai dari keluarga suami dan istri, lalu
keduanya menetapkan bahwa suami istri tersebut harus dipisahkan sebagaimana yang
digambarkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya surat an-Nisa: 35.
Juga yang termasuk dalam perceraian yang wajib adalah kalau seorang suami bersumpah untuk
tidak mengumpuli istrinya lagi, maka setelah masa tunggu selama empat bulan, wajib bagi suami
menceraikan istrinya kalau dia tidak mau rujuk kembali. Sebagaimana yang digambarkan oleh
Allah dalam firman-Nya surat Al-Baqarah: 226.
2. Sunah
Terkadang perceraian itu dianjurkan dalam beberapa keadaan, seperti jika si istri adalah wanita
yang kurang bisa menjaga kehormatannya, atau dia adalah wanita yang meremehkan
kewajibannya kepada Allah, dan suami tidak bisa mengajari atau memaksanya untuk
menjalankan kewajiban seperti sholat, puasa, atau lainnya. Bahkan sebagian ulama mengatakan
bahwa dalam keadaan yang kedua ini wajib untuk menceraikannya.
3. Mubah
Contohnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah, “Perceraian itu mubah kalau perlu
untuk melaksanakannya, disebabkan oleh akhlak istri yang jelek dan suami merasa
mendapatkan mafsadah dari pergaulan dengannya tanpa bisa mendapatkan tujuan dari

pernikahannya tersebut.” (Al-Mughni, 10:324)
4. Makruh
Yaitu perceraian tanpa sebab syar’i. Imam Said bin Manshur no.1099 meriwayatkan dari
Abdullah bin Umar dengan sanad shahih mauquf, bahwasanya beliau menceraikan istrinya,

maka istrinya pun berkata, “Apakah engkau melihat sesuatu yang tidak engkau senangi dariku?”
Ibnu Umar menjawab, “Tidak.” Maka dia pun berkata, “Kalau begitu, kenapa engkau
menceraikan seorang wanita muslimah yang mampu menjaga kehormatannya?” Maka akhirnya
Ibnu Umar pun merujuknya kembali.
5. Haram
Di antaranya adalah menceraikan istri saat haidh atau suci, namun sudah berjima dengannya.
Dan inilah yang dinamakan dengan talak bid’ah yang keharamannya disepakati oleh para ulama
sepanjang masa.
(Lihat Al-Mughni, 10:323, Ad Dur al-Mukhtar Ibnu Abidin, 3:229), Mughnil Muhtaj, 3:307, Jami
Ahkamin Nisa,4:18)
Sumber: Hadis Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu
Yusuf, Pustaka Al Furqon, Cetakan:III 1430 H

Kritik Hadis: ”Talak Dibenci Allah”, “Talak
Menggetarkan Singgasana Tuhan”

21JAN
Kajian Literatur

Kritik Hadis:
”Talak Dibenci Allah”
“Talak Menggetarkan Singgasana Tuhan”
Oleh. Umar Fayumi

”Janganlah menjatuhkan talak, karena sesungguhnya singgasana Tuhan akan
tergetar olehnya”. ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. Dua
ungkapan ini, oleh banyak kalangan, terutama para da’i, sering dianggap sebagai
hadis atau sabda Nabi. Benarkah anggapan tersebut?

Karena adanya dua ung-kapan di atas,
banyak kalangan beranggapan, talak merupakan hal yang ”harus” dihindari, meski resikonya adalah ”hidup tersiksa” dalam
ikatan perkawinan yang ”menyakitkan”. Sebab, apapun alasannya, talak merupakan hal buruk yang meskipun dihalalkan
namun tetap saja dibenci Tuhan. Bahkan, singgasana-Nya pun akan tergetar (murka) karenanya.
Di satu sisi, anggapan semacam itu ada baiknya bila berkembang di masyarakat, karena dua ungkapan di atas bisa
mengurangi angka perceraian, dan terutama lagi bisa turut membendung terjadinya perceraian yang tidak bertanggung

jawab. Namun, di sisi lain, tidak sedikit juga ”korban” yang harus menanggung ”akibat buruk” dari berkembangnya
anggapan semacam itu.
Inilah yang ironis, karena tak jarang ditemukan fenomena rumah tangga yang ”mati” tidak, tapi ”hidup” juga tidak. Garagaranya adalah karena ”ketidakberanian” menalak atau menggugat talak, meskipun kondisi rumah-tangganya jelas-jelas
sangat tidak kondusif, dan ”kisah penindasan” pun terus berlangsung di dalamnya. Maka, yang kemudian terjadi adalah talak
tidak ada, tapi hidup berumah tangga secara sakinah mawaddah wa rahmah juga tidak terwujud. Persoalannya, masyarakat
sudah terlanjur ”mengimani” stigma buruk atas kasus perceraian, apa pun alasan dan latar belakangnya.
Dan stigma ini, sadar atau tidak, sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinan sebagian masyarakat tentang ”kebenaran”
ungkapan-ungkapan di atas yang selama ini terlanjur diyakini sebagai hadis dan sabda Nabi. Ironisnya, jika perempuan yang
mengajukan gugat talak misalnya, maka akan muncul satu stigma buruk yang dilabelkan kepadanya, yaitu dianggap sebagai
”bukan perempuan salehah”, meskipun penyebabnya adalah penyelewengan suami atau karena kasus KDRT yang
menimpanya.
Inilah yang akan kita kaji lebih lanjut. Patutkah hal yang semacam itu diyakini bersumber dari sabda Nabi? Apakah ini hanya
karena pemahamannya saja yang salah, atau sebaliknya memang teks itulah yang tidak shahih penisbatannya kepada Nabi?
Kritik Sanad (Sejarah Teks)
Teks pertama, yakni ”Janganlah menalak, karena sesungguhnya singga-sana Tuhan akan tergetar olehnya”, riwayatnya
dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya, Akhbar Ashbahan, dan al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh-nya, dari
riwayat ‘Amr ibn Jami’, dari Juwaibir, dari ad-Dhahhak, dari an-Nazal ibn Sabrah, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, dari Nabi. Bunyi
(terjemahan) lafalnya begini: ”Menikahlah kalian dan janganlah menalak, karena sesungguhnya singga-sana Tuhan akan
tergetar olehnya.” (HR. Abu Nu’aim, al-Khathib al-Baghdadi, dan ad-Dailami).
Status riwayat ini dinilai maudhu’ atau palsu oleh banyak ulama ahli hadis, diantaranya Ibn al-Jauzi dalam kitabnya, al-‘Ilal
al-Mutanahiah, as-Suyuthi dalam kitabnya, al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, dan Ibn ‘Arraq dalam
kitabnya, Tanzih as-Syari’ah. Sumber persoalan utama-nya terletak pada perawi bernama ‘Amr ibn Jami’. Perawi ini dikenal
sebagai sosok yang ”banyak mera-wikan hadis-hadis munkar dan hadis-hadis maudhū’ dari tokoh-tokoh ahli hadis yang
terkenal dan terpercaya (yang mereka itu karena kredibilitasnya yang tinggi tidak mungkin merawikan hadis-hadis yang
semacam itu)”. Demikian dinyatakan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh-nya.
Berkenaan dengan ini, Ibn Ma’in berkomentar, ”Dia (‘Amr ibn Jami’) adalah perawi yang pembohong dan buruk
(tindakannya).” Semen-tara itu, Ibn al-Jauzi dalam kitabnya, al-‘Ilal al-Mutanahiah, menjelaskan, ”Hadis ini tidak benar
adanya. Di situ banyak masalah. Perawinya bernama ad-Dhahhak dicela (majruh) oleh banyak ulama ahli hadis. Juwaibir
periwayatnya tidak bernilai apa-apa (laisa bi syai’). Dan ‘Amr ibn Jami’, oleh Ibn ‘Ady, dinyatakan sebagai perawi yang
diindikasikan kuat sebagai pemalsu hadis-hadis (yuttaham bi al-wadh’).”
Jadi, kesimpulannya, hadis ”Ja-nganlah menalak, karena sesungguh-nya singgasana Tuhan akan tergetar olehnya” adalah
hadis palsu (maudhū’), artinya Nabi sama sekali tidak menyabdakaannya.
Sedangkan teks kedua, yakni ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu
Dawud dalam kitab Sunan-nya, juga al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya, dan Ibn ‘Ady dalam kitabnya, al-Kamil, dari riwayat
Muhammad ibn Khalid, dari Mu’arrif ibn Washil, dari Muharib ibn Ditsar, dari Ibn ‘Umar ra., dari Nabi, dengan bunyi
(terjemahan) lafalnya sebagaimana telah disebutkan tadi.
Dalam konteks ini, Ibn Abi Hatim dalam kitabnya, al-‘Ilal, menambahkan, riwayat tersebut pada kesempatan yang berbeda
juga dirawikan oleh Muhammad ibn Khalid (perawi yang sama yang merawikan dengan sanad di atas), tapi dia
merawikannya dari al-Wadhdhah (bukan dari Mu’arrif ibn Washil, seperti yang dirawikannya pada sanad di atas), dari
Muharib ibn Ditsar, dari Ibn ‘Umar ra., dari Nabi.
Ibn Majah dalam kitab Sunan-nya, menambahkan, Muhammad ibn Khilid ini di saat yang lain juga merawikannya dari
‘Ubaidullah ibn al-Walid dan Mu’arrif ibn Washil (secara bersamaan), dari Muharib ibn Ditsar, dari Ibn ‘Umar ra., dari Nabi.
Namun, yang jelas, semua riwayat yang dikemukakan oleh Muhammad ibn Khalid di sini adalah berstatus maushul (yakni
tersambung sanadnya hingga na-rasumber pertama ”pencetus” matan, alias Nabi).
Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya, menambahkan, ungkapan ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak” ini
dirawikan juga oleh Ahmad ibn Yunus, dari Mu’arrif ibn Washil, dari Muharib ibn Ditsar, dari Nabi. Di sini, Ibn ‘Umar tidak
disebutkan dalam rentetan perawi. Karena itu, maka status hadisnya adalah mursal (sanadnya terputus di tingkatan perawi

dari kalangan sahabat Nabi, dan langsung meloncat kepada Nabi sebagai nara sumber pertama ”pencetus” matan). Riwayat
mursal ini dirawikan juga oleh Ibn al-Mubarak dalam kitabnya, al-Birr wa as-Shilah, dan Abu Nu’aim al-Fadhl ibn Dukain,
dari Mu’arrif ibn Washil, dari Muharib ibn Ditsar, dari Nabi.
Jadi, pada intinya, riwayat yang menyebutkan, ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, secara historitas teks
dirawikan oleh dua perawi secara berbeda, yakni dirawikan oleh Muhammad ibn Khalid al-Wahbi secara maushul, dan oleh
Ahmad ibn Yunus dirawikan secara mursal. Terhadap kedua sanad yang berbeda ini, para ulama ahli hadis menegaskan
bahwa yang terkuat dan bisa diterima validitasnya adalah riwayat Ahmad ibn Yunus yang mursal. Ini ditegaskan oleh
maestro-maestro kritikus hadis, seperti Abu Hatim dan Abu Dawud. Sedangkan riwayat Muhammad ibn Khalid yang
maushul dinyatakan sebagai ”bermasalah karena pada sanadnya terjadi idhthirāb (kesimpangsiuran)” (lihat al-Albani dalam
kitabnya, Irwa’ al-Ghalil).
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ungkapan ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah
talak”, karena alasan ke-musrsal-an (pada sanadnya Ahmad ibn Yunus) dan idhthirab (pada sanadnya Muhammad ibn
Khalid), maka berdasarkan kriteria ilmu hadis, riwayat yang demikian itu statusnya adalah dha’if (lemah), dan karena itu
tidak bisa dikatakan sebagai bersumber dari sabda Nabi.
Kritik Matan (Pemahaman Teks)
Ditinjau dari segi matan, kedua ”hadis” di atas masing-masing mengandung makna yang dalam ilmu hadis biasa disebut
sebagai ”fihi nakarah” (terindikasi mengundang penolakan), karena pemahaman yang ditimbulkannya berbenturan dengan
teks-teks lain (Alquran dan Hadis) yang notabene berstatus ”lebih sahih” (ashahh) atau ”lebih kuat” (aqwa).
Teks pertama, yakni ”Janganlah menalak, karena sesungguhnya singgasana Tuhan akan tergetar olehnya”, ditinjau dari segi
matan, bahasa dan redaksi yang digunakan terindikasi kuat berseberangan, atau at least tidak senafas dengan al-ma’luf min
kalam an-nubuwwah (yang biasa berlaku sebagai gaya bahasa yang khas digunakan oleh Nabi).
Dalam banyak hadis yang shahih, misalnya, ungkapan ”singgasana Tuhan tergetar” justru banyak digunakan oleh Nabi untuk
menggambarkan apresiasi dan ekspresi ”kegembiraan” Tuhan yang ”spesifik” terhadap apa yang terjadi atau dilakukan oleh
hamba-Nya yang luhur budi dan ”berjasa” bagi umat, bukan untuk menggambarkan ”ekspresi kemurkaan”. Misalnya, sabda
Nabi: ”Singgasana Tuhan (arsy ar-Rahman) tergetar karena kematian Sa’d ibn Mu’adz.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari
Jabir ra.), atau ”Singgasana Tuhan tergetar karena kematian Sa’d ibn Mu’adz, disebabkan oleh kegembiraan (farah) Tuhan
atasnya.” (HR. Tammam dalam kitabnya, al-Fawa’id, dari Abu Sa’id al-Khudri ra.). Dan Sa’d ibn Mu’adz sendiri, menurut
catatan sejarah, dikenal sebagai pejuang dan pahlawan yang gigih membela Islam. Dia tercatat sebagai kelompok sahabat
yang pertama kali mengajukan diri sebagai ”perisai” Nabi di saat perang Uhud. Dia juga sebagai pelopor dakwah Islam di
kalangan bani Aus. Seluruh anggota klan bani ‘Abd al-Asyhal berbondong-bondong memeluk Islam dengan suka rela berkat
jasa dan kepemimpinan Sa’ad. Saking ”hebatnya”, karena ”kegembiraan” Tuhan menerima kehadirannya di sisi-Nya,
singgasana-Nya sampai tergetar oleh kematian Sa’d.
Jadi, seperti itulah ungkapan ”singgasana Tuhan tergetar” digunakan oleh Nabi, yakni untuk menggambarkan apresiasi dan
”kegembiraan” Tuhan atas apa yang terjadi atau dilakukan oleh hamba-Nya yang luhur budi, gigih dan berjasa bagi umat.
Bukan, sebaliknya, untuk mengungkapkan makna dan ekspresi ”kemurkaan” sebagaimana yang terdapat dalam teks riwayat
yang berkenaan dengan talak di atas. Uniknya, hadis-hadis yang redaksinya menggunakan ungkapan tersebut untuk konotasi
makna yang menggambarkan ”kemurkaan ataupun kebencian” Tuhan, semuanya adalah dha’if , alias berstatus lemah karena
validitasnya diragukan. Hal ini tentunya turut memperkuat indikasi ke-dha’if-an riwayat yang menyebutkan bahwa
singgasana Tuhan akan tergetar karena persoalan talak. Sebagai contoh, sebut saja, misalnya, riwayat ”Apabila seorang fasik
dipuji-puji, maka Allah menjadi murka dan singgasanya pun akan tergetar oleh karenanya.” (HR. al-Baihaqi dalam kitabnya,
Syu’ab al-iman, dari Abu Khalaf salah seorang pembantunya Anas ibn Malik, dari Anas ra., dari Nabi. Hadis ini disebutkan
oleh al-Dzahabi dalam kitabnya, Mizan al-I’tidal, dan ditegaskan olehnya sebagai ”hadis munkar”. Penyebabnya adalah Abu
Khalaf yang dinyatakan sebagai ”pembohong” oleh Ibn Ma’in dan dinyatakan ”munkar al-hadits” oleh Abu Hatim).
Adapun teks kedua, yakni ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (juga teks riwayat sebelumnya yang
menyebutkan bahwa singgasana Tuhan tergetar karena persoalan talak), secara matan maknanya juga bertentangan dengan
apa yang terkandung dalam QS. an-Nisa’, 4: 130 yang menyebutkan, ”Apabila keduanya (suami-isteri yang berselisih)
berpisah (secara baik-baik dan demi kebaikan bersama), niscaya Allah akan menjadikan bagi masing-masing dari keduanya
ghina’ (ketercukupan dalam penyelesaian masalah) karena kemaha lapangan-Nya”.

Ayat ini jelas-jelas menyebutkan, apabila talak memang merupakan jalan terbaik bagi suami-isteri yang berselisih, kemudian
dilakukan secara baik-baik dan demi kemaslahatan bersama, maka yang demikian itu ”direstui” oleh Allah dan karenanya
Allah akan melimpahkan berkah berupa ghina’ kepada mereka. Isi dan makna yang terkandung dalam ayat ini tentunya
sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam teks riwayat di atas. Kalau memang shahih bahwa talak merupakan
perkara halal yang paling dibenci Tuhan, lalu mengapa kemudian dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa talak dalam kondisi
tertentu justru direstui dan mendapatkan limpahan keberkahan dari-Nya?
Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua riwayat di atas, yakni ”Janganlah menalak, karena sesungguhnya
singgasana Tuhan akan tergetar olehnya”, dan ”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, status sanad dan
matannya adalah lemah, dan karena itu tidak bisa dikatakan sebagai ”bersumber dari sabda Nabi”.
Kalupun oleh beberapa kalangan kedua riwayat tersebut (terutama riwayat yang kedua) cukup ”layak” dijadikan ”dasar”
dalam konteks memberikan motivasi yang berkenaan dengan fadha’il al-a’mal (perilaku dan tindakan yang luhur), maka
pemahamannya harus diluruskan terlebih dahulu, karena riwayat yang semacam itu, dalam beberapa riwayat disebutkan
berbarengan dengan konteks yang melatarbelakanginya. Nah, berdasarkan konteks itulah pemahaman atas riwayat yang ada
mesti diarahkan.
Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, mengeluarkan riwayat dari Muharib ibn Ditsar, dia berkata: ”Di zaman
Nabi, ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, ke-mudian ia menceraikannya. Na-bi bertanya
kepadanya: ”Apa-kah kamu sudah menikah?”. ”Sudah”, jawabnya. ”Lalu, apa yang terjadi?” tanya Nabi. ”Aku telah
menceraikannya.” ”Apakah karena ada sesuatu yang mencuri-gakan dari isterimu?”. ”Tidak”. Kemudian, laki-laki itu
menikah dengan perempuan lain dan menceraikannya lagi. Dan begitu dia melakukannya hingga dua atau tiga kali,
sementara Nabi selalu mengomentarinya dengan hal yang sama. Oleh karena itu Nabi kemudian bersabda: ”Sesungguhnya
perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. Hadis ini statusnya adalah mursal. Dengan demikian, ketentuan bahwa
talak merupakan perkara halal yang paling dibenci Tuhan, kalau hal itu memang ”harus” dikemukakan pada ceramahceramah atau tausiah-tausiah, maka pemahamannya adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat al-Baihaqi di atas.
Yaitu, bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang suka kawin-cerai hanya untuk bersenang-senang dan tanpa
alasan tertentu yang dibenarkan menurut syariat.
Kemudian, terkait masalah khulu’ (perceraian karena gugatan dari pihak isteri), perempuan yang mengajukan gugat cerai
karena alasan yang sah ternyata tidak ”dikomentari” secara tidak baik oleh Nabi, apalagi dikenai label sebagai “bukan
perempuan salehah”. Contohnya adalah kasus gugat cerai yang dialami oleh Jamilah isteri Tsabit ibn Qais. Tsabit sendiri
orangnya lurus-lurus saja, alias seorang yang saleh dan perlakuannya kepada isterinya juga baik, dan Jamilah sendiri
memang tidak mengeluhkan hal itu di hadapan Nabi. Jamilah mengajukan gugat cerai kepada Nabi atas suaminya, hanya
karena (maaf) penampilan fisik suaminya yang ”buruk rupa” dan tidak sedap dipandang (damim). Inilah yang menyebabkan
Jamilah selalu merasa khawatir apabila suatu saat ketika dia menjadi ”tidak tahan” lagi dengan ”ketidaknyamanan” itu
kemudian dia justeru akan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan menurut syariat. Karena itulah Jamilah mengajukan
gugat cerai secara baik-baik. Tujuannya untuk menghindarkan terjadinya mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Menyikapi
hal ini, apa gerangan yang dilakukan oleh Nabi? Ternyata Nabi meloloskan permintaan gugat cerai Jamilah (tentunya atas
persetujuan dari Tsabits) dengan syarat membayar tebusan berupa pengembalian maskawin kepada Tsabit. Selain itu, Nabi
tidak berkomentar apa-apa. Tidak mengkritik ataupun mencela tindakan Jamilah! (lihat as-Shan’ani dalam kitabnya, Subul
as-Salam, bab al-Khul’, HR. al-Bukhari dari riwayat Ibn ‘Abbas ra.)[***]

Disebut sepotong karena dalam tulisan ini hanya menguraikan sedikit dari permasalahan 
seputar dunia pernikahan.
Dalam menentukan kriteria calon pasangan, Islam memberikan beberapa sisi yang perlu 
diperhatikan. Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab, harta maupun kecantikan. 
Kedua, sisi lain yang lebih terkait dengan selera pribadi, seperti masalah suku, status sosial,
corak pemikiran, kepribadian, serta hal­hal yang terkait dengan masalah fisik termasuk 
masalah kesehatan dan seterusnya.
Topik pertama terkait dengan standar umum. Yaitu masalah agama, keturunan, harta dan 
kecantikan. Masalah ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW dalam haditsnya yang cukup 
masyhur.
Dari Abi Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Wanita itu dinikahi karena empat 
hal: karena agamanya, nasabnya, hartanya, dan kecantikannya. Maka perhatikanlah 
agamanya kamu akan selamat.” (HR. Bukhari, Muslim)
Berdasar hadits di atas, banyak orang mengartikan bahwa seorang muslim hendaknya 
menikahi wanita dengan mempertimbangkan kualitas agama, nasab, harta, dan 
kecantikannya. Benarkah demikian?
Dalam teks hadits di atas, Rasulullah SAW menyuruh kita untuk memperhatikan agamanya. 
Bahwa pertimbangan nasab, harta, dan kecantikan itu adalah faktor­faktor yang jamak 
ditemui pada lelaki yang hendak melamar wanita. Padahal nasab, harta, dan kecantikan jika 
dijadikan pertimbangan untuk menikah, justru bisa mencelakakan.
Hal ini diperkuat dengan adanya hadits yang menjelaskannya.
“Barangsiapa mengawini seorang wanita karena memandang kedudukannya maka Allah 
akan menambah baginya kerendahan, dan barangsiapa mengawini wanita karena 
memandang harta­bendanya maka Allah akan menambah baginya kemelaratan, dan 
barangsiapa mengawininya karena memandang keturunannya maka Allah akan menambah 
baginya kehinaan, tetapi barangsiapa mengawini seorang wanita karena bermaksud ingin 
meredam gejolak mata dan menjaga kesucian seksualnya atau ingin mendekatkan ikatan 
kekeluargaan maka Allah akan memberkahinya bagi isterinya dan memberkahi isterinya 
baginya.” (HR. Bukhari)

Dijelaskan dalam Mabadi’ul Fiqhiyah juz 2, definisi hukum wajib/fardhu adalah “fa idza 
fa’alahu al­mukallafu yanaalu tsawaban, wa idza tarokahu yanaalu ‘iqooban”, yaitu jika 
dilakukan oleh para mukalaf maka memperoleh pahala, dan jika meninggalkannya maka 
mendapat iqab. Jika seseorang memilih pasangan hidup bukan karena faktor agama, maka 
jelaslah balasan/iqob dari Allah.
Mempertimbangkan faktor agama di atas, ada 3 hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, memilih istri yang agamanya lebih baik dengan harapan bisa membimbing suami 
lebih dekat dengan Allah. Pilihan ini digunakan jika seorang suami sejak awal sudah berniat 
untuk menjadi lebih dekat dengan Allah.
Kedua, memilih istri yang agamanya lebih buruk dengan harapan sang suami hendak 
menyelamatkan agama sang istri. Ada banyak kasus seperti ini, tentang adanya seorang 
wanita hampir terjerumus ke hal­hal nista namun dinikahi pria baik agar sang wanita 
terselamatkan.
Ketiga, memilih istri yang se­kufu atau seimbang dalam hal agama. Hal ini berdasar dari 
Surah An Nuur ayat 26:
“Wanita­wanita yang keji adalah untuk laki­laki yang keji, dan laki­laki yang keji adalah buat 
wanita­wanita yang keji (pula), dan wanita­wanita yang baik adalah untuk laki­laki yang baik 
dan laki­laki yang baik adalah untuk wanita­wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) 
itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rezeki yang mulia (surga).”
Dengan demikian jelaslah bahwa faktor agama adalah pertimbangan muthlaq dan 
hukumnya wajib yang harus diperhatikan untuk memilih pendamping hidup.
Masalah selanjutnya terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasangan 
hidupnya. Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yang wajib diperhatikan, namun 
sesungguhnya Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup 
berdasarkan subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya. 
Intinya, meski pun dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari sisi 
yang kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal yang tidak 
bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu dan hubungannya 
dengan orang lain. Sebagai contoh adalah kecenderungan dasar yang ada pada tiap 
masyarakat untuk menikah dengan orang yang sama sukunya atau sama rasnya. 
Kecenderungan ini tidak ada kaitannya dengan masalah fanatisme darah dan warna kulit, 

melainkan sudah menjadi bagian dari kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan 
Islam bisa menerima kecenderungan ini meski tidak juga menghidup­hidupkannya. Sebab 
bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar belakang 
budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul hal­hal yang secara 
watak dan karakter sulit dihilangkan.
Contoh lainnya adalah selera seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter
dan sifat tertentu. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai. Misalnya seorang 
wanita menginginkan punya suami yang serius atau yang humoris, merupakan bagian dari 
selera seseorang. Atau sebaliknya, seorang laki­laki menginginkan punya istri yang bertipe 
wanita pekerja atau yang tipe ibu rumah tangga. Ini juga merupakan selera masing­masing 
orang yang menjadi haknya dalam memilih. Islam memberikan hak ini sepenuhnya dan 
dalam batas yang wajar dan manusiawi memang merupakan sebuah realitas yang tidak 
terhindarkan.
Karena menurut Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, salah satu tujuan pernikahan dalam 
Ar Ruum ayat 21 adalah “litaskunuu”, yakni agar seseorang menjadi tentram. Seseorang 
cenderung menjadi tentram ketika memiliki apa yang diharapkan. Tentu dengan 
pertimbangan yang bijaksana.
Tentang khitbah atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara
yang dikenal di tengah masyarakat. Tentu saja pinangan itu tidak semata­mata ditujukan 
kepada si gadis tanpa sepengetahuan ayahnya yang menjadi wali. Sebab pada hakikatnya, 
ketika berniat untuk menikahi serang gadis, maka gadis itu tergantung dari ayahnya. 
Ayahnyalah yang menerima pinangan itu atau tidak dan ayahnya pula yang nantinya akan 
menikahkan anak gadisnya itu dengan calon suaminya. Sedangkan ajakan menikah yang 
dilakukan oleh seorang pemuda kepada seorang pemudi tanpa sepengetahuan ayah si 
gadis tidaklah disebut dengan pinangan. Sebab si gadis sangat bergantung kepada 
ayahnya. Hak untuk menikahkan anak gadis memang terdapat pada ayahnya, sehingga 
tidak dibenarkan seorang gadis menerima ajakan menikah dari siapapun tanpa 
sepengetahuan ayahnya. Meminang adalah muqaddimah dari sebuah pernikahan.
Dari uraian di atas sangat terasa bahwa kaum wanita cenderung pasif dalam hal 
pernikahan. Maksudnya, wanita hanya bisa dipilih tanpa bisa memilih. Padahal menurut Dr. 
Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al­Maliki dalam kitab Adab al­Islam fi Nidham al­
Usrah, walaupun pria bebas memilih, wanita bebas menolak. Tentunya masih dalam koridor 
agama.
Sebuah hadits sering dijadikan justifikasi agar setiap lamaran dari pria yang dirasa sholeh 
tidak boleh ditolak.

“Apabila datang laki­laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya 
maka kawinkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan 
kerusakan yang meluas.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Maksud dari terjadinya fitnah disini, dikhawatirkan jika wanita menolak maka wanita bisa 
mendapat jodoh yang agamanya lebih buruk. Atau sebaliknya, sang pria mendapat jodoh 
yang lebih buruk.
Suatu ketika, Imam Hasan Al­Bashri didatangi seseorang, ayah seorang putri yang sangat 
cantik. Lelaki itu bertanya kepadanya, “Wahai Imam, putriku adalah seorang wanita yang 
sangat cantik dan sudah banyak lelaki yang meminangnya. Dia antara mereka ada anak 
orang kaya, anak pejabat, dan anak seorang qadhi (hakim). Lalu, kepada siapa aku 
nikahkan putriku?” Imam Hasan al­Bashri menjawab “Nikahkan ia dengan yang paling 
bertaqwa diantara mereka. Karena, bagi seorang lelaki yang bertaqwa, jika dia mencintai 
putrimu, ia akan memuliakan putrimu. Dan jika ia tidak menyukai putrimu, ia tak akan 
menzhaliminya”
Ketika orang tua yang notabene wali perempuan sudah meridhoi bahkan memaksa untuk 
menikah, bukan berarti wanita tidak bisa menolak.
Dalam Bulughul Maram Kitab an­Nikah, ada sebuah hadits yang menjelaskannya.
“Dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang gadis menemui Nabi SAW lalu bercerita bahwa 
ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Maka Rasulullah Shallallaahu 
‘alaihi wa Sallam memberi hak kepadanya untuk memilih.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan 
Ibnu Majah)
Dalam hadits yang lain, diceritakan juga.
“Dari Abi Sa’id al­Khudri ra, seorang ayah dengan putrinya mendatangi Rasulullah SAW lalu 
berkata, ‘Wahai Rasulallah, ini putriku menolak untuk di nikahkan’. Maka Rasulullah berkata 
kepada putri ayah tersebut ‘taatilah ayahmu’. Putri itu berkata kepada Nabi SAW, ‘Demi 
Dzat Yang Mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tak akan menikah hingga 
engkau memberitahukan aku hak seorang suami atas istrinya’. Nabi SAW menjawab ‘Hak 
seorang suami atas istrinya adalah sekiranya seorang suami itu memiliki luka koreng dari 
kakinya hingga atas kepala lalu dijilatnya, itu masih belum terpenuhi hak­nya’. Putri itupun 
berkata ‘Kalau begitu,Wahai Rasulullah, aku tidak akan menikah.” (HR An­Nasa’i)

Mudahnya, untuk melamar wanita itu pertama mendapat ridho orang tua baru kemudian 
ridho wanita itu sendiri.
Abdul Wahid bin Zahid, salah seorang yang alim lagi zahid, pernah datang melamar Rabi’ah
al­Adawiyah. Dan nihil, ia ditolak oleh Rabi’ah. Imam Hasan al­Bashri yang merupakan alim 
faqih dan zahid yang juga hidup semasa itu, pernah juga jatuh cinta pada Rabi’ah al­
Adawiyah dan juga hendak melamarnya. Namun ia juga tidak diterima oleh Rabi’ah. 
Padahal, Rabi’ah adalah salah seorang murid yang sering mengikuti majelis pengajian yang 
diasuh Imam Hasan al­Bashri. Imam Hasan al­Bashri bukannya marah karena penolakan 
tersebut, justru memuji dan menjadi murid Rabi’ah dan sering meminta nasihat juga 
bertanya masalah fiqh.
Masih dari Bulughul Maram, dalam sebuah hadits juga dijelaskan cara mengetahui ridho 
wanita.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang janda tidak boleh 
dinikahkan kecuali setelah diajak bermusyawarah dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan 
kecuali setelah diminta izinnya.” Mereka bertanya: Wahai Rasulallah, bagaimana izinnya? 
Beliau bersabda: “Ia diam.” (Muttafaq Alaih). Hadits tersebut menunjukkan bahwa wanita 
harus dimintai ridhonya dan tak ada paksaan.
Meskipun wanita berhak menolak dengan alasannya, jauh lebih baik jika wanita tidak 
menunda pernikahan terlalu lama.
“Rasulullah Saw bersabda kepada Sayyidina Ali Kw: ‘Wahai Ali, ada tiga perkara yang 
janganlah kamu tunda­tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah 
bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki­laki 
sepadan yang meminangnya’.” (HR. Ahmad)
Oleh: Abu Azhad

Filosofi Perkawinan dalam Islam
Tujuan jangka pendek dari sebuah perkawinan adalah menghindari zina. Seorang laki-laki secara natural akan bangkit
hasrat seksualnya seiring dengan sampainya dia pada tahap baligh dalam istilah fiqih. Tanda balighnya seorang lakilaki adalah saat dia mulai mimpi basah. Itu artinya, hasrat libido sudah mulai tumbuh. Karena pria adalah gender
manusia yang memiliki sifat agresif dalam hal seks sedang di sisi lain Islam melarang perbuatan zina (QS Al-Isra’ 17:32)
[1], maka Rasululullah menganjurkan anak muda untuk segera menikah. Karena perkawinan akan memelihara mata
dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina.[2] Pada akhir hadits yang sama Nabi bersabda bahwa kalau tidak mampu
menikah maka dianjurkan untuk berpuasa agar nafsu syahwatnya menurun.[3] Puasa adalah salah satu cara
menurunkan syahwat. Cara lain seperti olahraga dan mengurangi atau menghindari makanan-makanan tertentu dapat
juga dipakai..
Jadi, tujuan awal dan mendesak dari perkawinan adalah menghindari zina. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat tidak
mentolerir pergaulan bebas antar lawan jenis yang berujung pada perzinahan dan secara signifikan akan merusak
tatanan kekeluargaan, kemasyarakatan dan cita-cita Islam untuk mendidik umat menjadi komunitas terbaik di dunia (QS
Ali Imron 3:110).[4]
Tentu, perkawinan tidak hanya bertujuan sebagai pemenuhan hasrat libido semata. Ada beberapa tujuan jangka
panjang berkaitan dengan perkawinan yang antara lain adalah, pertama, sebagai wujud ketaatan pada Allah.dan RasulNya. Islam telah menysriatkan perkawinan dan menjadikannya sebagai salah satu syiar agama[5].
Kedua, mengikuti sunnah Nabi Muhammad dan para Rasul sebelumnya. Perkawinan merupakan salah satu tauladan
para Rasul seperti tersurat dalam QS Ar-Ra’d 13:38) yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa
Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.”[6] Al-Qurtubi dalam Tafsir AlQurtubi mengatakan bahwa maksud dari ayat di atas adalah anjuran untuk menikah dan mennyegerakan menikah
serta larangan untuk tabattul (tidak menikah selamanya seperti yang dilakukan pendeta Katolik). [7]
Ketiga, memperbanyak jumlah umat Islam. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda, “Nikahilah
perempuan yang subur karena aku suka melihat umat yang banyak kelak di hari kiamat.”[8]
Keempat, agar memiliki anak cucu yang dapat berjihad memakmurkan bumi dan menyembah Allah. Untuk tujuan ini,
maka Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Syarh Sahih Bukhari menganjurkan setiap kali akan berhubungan intim
dengan istri untuk berniat mendapatkan anak yang dapat berjihad.[9] Pendapat ini disetujui oleh Al Mawardi
dalam Nasihatul Muluk.[10] Jihad yang dimaksud tidak harus bermakna perang di jalan Allah, tapi juga jihad atau
beramal di bidang ekonomi, keilmuan, dan lain-lain. (QS Al-Anfal 8:72).[11]
Kelima, mencari kerihaan Allah. Pernikahan adalah ibadah yang keutamaan dan pahalanya sangat luas. Karena di
dalam kehidupan rumah tangga yang baik akan banyak sekali amal kebaikan yang mendapatkan pahala dari Allah.
Seperti pahala menjaga diri dan keluarga dari perbuatan dosa, pahala memperlakukan istri dengan baik, pahala
mendidik anak, pahala bersabar dalam mencari rejeki untuk anak istri, dan lain-lain.
Keenam, mendapatkan ketentraman hati. Dalam QS Ar-Rum 30:21 Allah berfirman yang artinya: “Dan di antara tandatanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[12]
Ketujuh, selamat dari fitnah dan praduga. Orang yang sudah menikah dianggap lebih memiliki kredibilitas dan integritas.
Kata-katanya akan lebih didengar. Orang dewasa yang tidak menikah cenderung diasumsikan macam-macam karena
dianggap menyalahi insting natural dan norma masyarakat.
Kesimpulan

Karena filosofi pernikahan memiliki banyak aspek bukan hanya sekedar pelepas hasrat biologis, maka seorang muslim
hendaknya berhati-hati dalam memilih pasangan. Kualitas agama hendaknya lebih didahulukan dari kualitas fisik,
materi, status sosial, ijazah dan keturunan. []
RUJUKAN
[1] Teks ayat: ‫ إنه كان فاحشة وساء سبيل‬, ‫ول تقربوا الزنا‬. Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
[2] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq aliah). Teks hadits: ‫يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج‬
‫فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء‬. Wahai pemuda, barangsiapa yang mampu
menikah, maka menikahlah. Karena perkawinan itu dapat menutup mata (dari godaan) dan menjaga kemaluan (dari
zina). Bagi yang tidak mampu menikah, maka hendaknya berpuasa karena itu adalah obat (penurun syahwat)
[3] ibid
[4] ‫ منهم‬, ‫ ولو آمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم‬, ‫كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله‬
‫المؤمنون وأكثرهم الفاسقون‬. Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
[5] Lihat QS An-Nisa’ 4:3; Annur 24:32; An-Nisa’ 4:25.
[6] Teks ayat: ‫ولقد أرسلنا رسل من قبلك وجعلنا لهم أزواجا وذرية‬
‫هذه الية تد ص‬
[7] ‫صت عليه هذه‬
‫ وهذه سصنة المرسلين كما ن ص‬،‫ وهو ترك النكاح‬،‫ وتنهى عن الت تب بتتل‬،‫ل على الترغيب في النكاح والحض عليه‬
‫ “تزصوجوا فإني مكاثثر بكم المم‬:‫ والس صنة واردة بمعناها؛ قال صلى الله عليه وسلم‬،‫الية‬
[8] Teks hadits: ‫تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم المم‬
‫عند ال ممجامعة حصول ال موبلد ل ثيجاهد في سبيل التله فبيحصل ل به بذ بل ث ب ب‬
‫ب‬
‫قع ذ بل ث ب‬
[9] Teks asal: ‫ك‬
‫مي ب‬
‫ه ب ث ث‬
‫وي ث م‬
‫جر وبإ ث م‬
‫كأ م‬
‫ن لب م‬
‫ه ث‬
‫ب ث‬
‫ب م ه‬
‫ه ب ب ب ه ه‬
‫ب‬
‫أيم ي بن م ث‬
[10] Al Mawardi dalam Nasihatul Muluk hlm 66 mengatakan: ‫ وأن يتعوذ بالله من الشيطان‬،‫وأن ينوي في ذلك كله نية الولد‬
‫ ومنفعة‬،‫ وتأييد الصدق‬،‫ وإقامة الحق‬،‫ و يجري على يديه صلح الخلق‬،‫ وينوي في الولد أن الله لعله يرزقه من يعبد الله ويوجده‬،‫الرجيم‬
‫العباد وعمارة البلد‬
[11] Teks ayat: , ‫إن الذين آمنوا وهاجروا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله والذين آووا ونصروا أولئك بعضهم أولياء بعض‬
‫ وإن استنصروكم في الدين فعليكم النصر إل على قوم بينكم‬, ‫والذين آمنوا ولم يهاجروا ما لكم من وليتهم من شيء حتى يهاجروا‬
‫ والله بما تعملون بصير‬, ‫وبينهم ميثاق‬.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan
Allah dan