BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/201

  .

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika atau sering distilahkan sebagai drug adalah sejenis zat. Zat

  narkotik ini merupakan zat yang memiliki ciri-ciri tertentu. Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Namun dikemudian diketahui pula bahwa zat-zat narkotik memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada obat-obat narkotik itu. Hal tersebut dapat dihindarkan apabila pemakaianya diatur menurut dosis yang dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan farmakologis. Untuk itu pemakaian narkotika memerlukan pengawasan dan pengendalian. Pemakaian di luar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara. Untuk pengawasan dan pengendalian penggunaan narkotika dan pencegahan, pemberantasan dalam rangka penanggulangannya diperlukan

  • Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Dapartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

  1 kehadiran hukum yaitu hukum narkotika yang sarat dengan tuntutan

  2 perkembangan zaman.

  Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu bagi tubuh si pemakai, yaitu:

  a. mempengaruhi kesadaran

  b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap prilaku manusia c. adapun pengaruh-pengaruh tersebut adalah :

  1) penenang 2) perangsang 3) menimbulkan halusinansi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

  Pengertian lain dari narkotika mungkin bisa dipaparkan sebagai bahan- bahan yang tidak dapat dipergunakan dengan sembarangan sebab bisa memberi

  3 pengaruh pada kesadaran, badan dan tingkah laku manusia.

  Sehubungan dengan pengertian narkotika ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian/pembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.

  Menurut Sudarto, dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengatakan bahwa, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani

  4 “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.

  2 Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, halaman 3-4. 3 Susi Adisti, Belenggu Hitam Pergaulan “Hancurnya Generasi Akibat Narkoba”, Restu Agung, Jakarta, 2007, halaman 25-26. 4 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006, halaman 36. Sedangkan Smith Kline dan Freech Clinical Staff mengemukakan definisi tentang narkotika

  

Narcotics are drugs which product insensibility or stuporduce to their

depressant offer on the central nervous system, included in this

(Artinya adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan

  ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut berkerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine,

  5 codein, methadone).

  Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku

  “Narcotics Identification Manual”, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso,

  Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan. Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang

  6

  tergolong dalam Hallucinogen dan Srimulant. Sedangkan menurut

  Verdoovende Middelen Ordonantie Staadblaad 1972 No.278 jo. No. 536 yang

  telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang-undang obat bius narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran. Di samping menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya

  

7 ketergantungan pada bahan-bahan tersebut”. 5 Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, halaman 18. 6 Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 2005, halaman 480. 7 Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, op.cit, halaman 19. Narkotika pada Pasal 4 V.M.O. staatblad 1972 No. 278 jo. No. 536 adalah untuk tujuan pengobatan atau ilmu pengetahuan. Obat bius kecuali candu olahan, cocaine kasar, codeine hanya dapat diolah dan dikeluarkan oleh mereka

  1. apoteker dan ahli kedokteran 2. dokter hewan 3. pengusaha pabrik obat

  Dalam undang-undang obat bius tersebut, yang dikategorikan sebagai narkotika ternyata tidak hanya obat bius saja melainkan disebut juga candu, ganja, kokain, morphin, heroin, dan zat-zat lainya yang membawa pengaruh atau akibat pada tubuh. Zat-zat tersebut berpengaruh karena bergerak pada hampir seluruh sistem tubuh. Terutama pada syaraf otak dan sumsum tulang belakang. Selain itu karena mengkonsumsi narkotika akan meyebabkan lemahnya daya

  8 tahan serta hilangnya kesadaran.

  Setelah berbicara mengenai pengertian narkotika diatas maka sampailah kita pada pembahasan tentang akibat penggunaan narkotika, Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika adalah penggunaan secara tidak benar, ialah untuk kenikmatan yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan yang normal. Penggunaan narkotika untuk pengobatan guna menghilangkan rasa nyeri dan penderitaan tidak termasuk dalam pembicaraan ini.

  Penggunaan narkotika secara berkali-kali membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa 8 Ibid. berat. Berat ringannya ketergantungan ini diukur dengan kenyataan seberapa jauh ia bisa melepaskan diri dari penggunaan itu.

  Ketergantungan-ketergantungan yang dapat disebabkan akibat penggunaan

  a. Ketergantungan psikis Salah satu akibat penggunaan narkotika ialah timbulnya suatu “keadaaan lupa” pada si pemakai, sehingga ia tidak dapat melepaskan diri dari suatu konflik. Ia melarikan diri dari suatu situasi yang tidak dapat ia atasi. Akan tetapi sebab dari kesulitan ini sendiri tidak dapat ia hilangkan, persoalannya tetap menjadi persoalan yang tidak terpecahkan. Penggunaan narkotika itu kerap kali memperlebar ketegangan antara orang itu dengan masyarakat sekitarnya, karena ia makin tidak dapat sesuai atau menyesuaikan diri dengan sekitarnya, sehingga makin besar dirasakan kesulitannya itu dan dengan demikian makin besar pula rasa kebutuhannya akan narkotika. Itulah yang disebut dengan ketergantungan psikis (psychological dependence). Kebutuhannya itu untuk memperoleh perasaan senang (euphorie).

  b. Ketergantungan fisik Penggunaan narkotika selama beberapa waktu menimbulkan kepekaan terhadap bahan itu, badan menjadi terbiasa sehingga sampai pada tingkat kekebalan atau tolerance. Misalnya dalam penggunaan morfin, dosis yang digunakan itu makin lama harus makin banyak untuk mencapai effek yang dikehendaki.

  Akhirya effek itu tidak tercapai meskipun dosis pun ditambah terus. Sebaliknya jika penggunaannya itu dihentikan sama sekali, maka terjadilah malapetaka yang berlangsung lama dan apabila tidak ditolong oleh dokter dapat

  Dapat dipahami, bahwa ketergantungan psikis maupun fisik apabila itu

  9 berlangsung bersama-sama menimbulkan keadaan kecanduan yang besar sekali.

  Penyalahgunaan narkotika inilah yang membahayakan, Karena di samping akan membawa pengaruh terhadap diri pribadi si pemakai di mana ia akan kecanduan dan hidupnya akan tergantung kepada zat-zat narkotika, yang bila tidak tercegah (terobati), jenis narkotika yang akan digunakan semakin kuat dan semakin besar dosisnya, sehingga bagi dirinya akan semakin parah. Bila hal ini terjadi maka si pecandu untuk memenuhi kebutuhannya, akan berbuat apa saja asal ketagihannya bisa terpenuhi, kalau kebetulan si pemakai keuangannya cukup, mungkin mungkin tidak akan membawa efek-efek lain di luar pribadinya bahkan si pecandu bisa tidak ketahuan (masih dapat bersembunyi) tetapi apabila pecandu-pecandu narkotika tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi ketagihannya secara terus-menerus maka akibatnya akan meluas, tidak saja terhadap diri pribadinya juga terhadap masyarakat, karena sipecandu yang di saat ketagihan tidak dapat memenuhi kebutuhannya dari uang atau barang milik sendiri, dia akan berusaha dengan berbagai cara, yang tidak mustahil dapat

  10 melakukan tindakan-tindakan yang termasuk kejahatan. 9 10 Sudarto, op.cit., halaman 39-40.

  Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Remaja, Aumni, Bandung, 1983, halaman 2-3. Efek dari penggunaan nerkotika adalah sebagai berikut :

  a. Depresant yaitu mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat, sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik seseorang

  c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak riil atau khayalan-khayalan yang menyenangkan. Akibat yang ditimbulkan adalah akibat kecanduan antara lain :

  Lemahnya fisik, moral dan daya pikir

  • Timbul kecendrungan melakukan penyimpangan social dalam
  • masyarakat, seperti berbohong, berkelahi, seks bebas, dan lain sebagainya Timbulnya kegiatan/aktivitas dis-sosial seperti mencuri,
  • monodong, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang guna membeli narkotika yang jumlah dosisnya semakin tinggi.

  Adapun fase penggunaan narkotika sejak awalnya adalah dimulai dari coba-coba (expremental use), yaitu memakai narkotika dengan tujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu. Apabila pemakaian beranjut, maka tingkat penggunaan meningkat ke tahap yang lebih berat yaitu untuk tujuan senang- senang. Jika tidak berhenti juga, maka pemakaian meningkat lagi ke tingkatan pemakaian situasional, yaitu memakai narkotika saat mengalami keadaan tertentu seperti pada waktu menghadapi keadaan tegang, sedih, kecewa, dan lain sebagainya. Tingkatan terparah apabila sipemakai tidak juga berhenti dari ketergantungan yang diindikasikan dengan tidak lagi mampu menghentikan konsumsi narkotika yang akhirnya bias menimbulkan gangguan fungsional atau

  occupational dengan timbulnya prilaku agresif dan dis-sosial (terganggunya hubungan sosial).

  Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika di antaranya sebagai berikut.

  a. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang.

  b. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh teman. Kondisi keluarga di sini merupakan kondisi yang dis- harmonis seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang dirumah serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam pengaruh teman misalnya karena berteman dengan seseorang ternyata pemakai narkoba dan ingin diterima dalam suatu kelompok. mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis anak dan kurangya perhatian terhadap anak, juga bisa mengarahkan seseorang anak untuk menjadi

  11 user/pemakai narkotika.

  Di Indonesia trend perkembangan penyalahgunaan Narkotika dan obat- obatan terlarang semakin hari semakin marak dan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Makin meningkatnya penyalahgunaan obat-obat (terlarang) oleh sementara generasi muda dan kalangan remaja khususnya, semakin mencemaskan mengingat intensitas penyalahgunaan obat akhir-akhir ini selain

  12 makin marak, juga makin meluas sehingga dapat membahayakan.

  Penggunaan Narkotika pada dewasa ini tidak lagi digunakan untuk tujuan kepentingan pengobatan atau kepentingan ilmu pengetahuan melainkan bertujuan unuk memperoleh untung yang besar. Tujuan tersebut diatas tercapai melalui lalu lintas perdagangan Narkotika illegal baik transaksi yang bersifat transnasional maupun transaksi yang bersifat internasional. Transaksi transnasional ialah transaksi lintas batas di antara dua Negara atau lebih Negara, 11 AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta timur, 2011, halaman 6-7. 12

  

://ferli1982.wordpress.com/2011/01/04/trend-perkembangan-narkotika-di-indonesia (diakses pada Selasa, 4 Januari 2011) sedangkan transaksi internasional ialah bentuk transaksi yang sudah bersifat global baik lingkup maupun jaringannya.

  Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, kurang lebih meliputi tiga belas ribu pulau dan perairan Indonesia meliputi kurang lebih tujuh buah selat yang sangat penting bagi pelayaran internasional. Ketujuh buah Selat ini adalah, Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai, Selat Wetar, dan Selat Makasar.

  Luas tersebut di atas telah menempatkan Indonesia sebagai keududukan yang sangat strategis baik dari dilihat kepentingan ketahanan nasional pada umumnya maupun dilihat dari kepentingan penegakan hukum (pidana) nasional pada khusunya, apalagi Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia.

  Letak geografis ini juga, secara tidak langsung telah meningkatkan perkembangan tindak pidana transnasional pada umumnya dan pada khusunya,

  13 tindak pidana narkotika.

  Begitu pula tindak pidana narkotika sekarang ini tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama- sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun

  14 internasional. 13 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 1-2. 14 AR. Sujono dan Bony Daniel, op. cit., halaman 60.

  Berikut beberapa kasus peredaran jual beli narkotika yang terjadi di tingkat nasional saat ini adalah Sat Res Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat berhasil menangkap seorang tersangka yang diduga sebagai bandar narkoba pada hari Sari jakarta barat, Berdasarkan hasil pemeriksaan, pelaku mendapat pasokan narkotika dari seorang bandar di atasnya yang berinisial MC (sedang buron), setelah mendapat pasokan barang, tersangka menjual kepada para pemesan (Pengedar yang ada di bawahnya) baik yang ada di Jakarta maupun yang ada di luar Jakarta sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Modus Operandi, Pengiriman barang dilakukan melalui TIKI setelah uang ditransfer yang dilakukan dengan cara mengemas Narkotika dalam mainan anak – anak maupun dalam kotak

15 Handphone , kemudian kasus jual-beli narkoba lewat internet pernah dilakukan

  oleh putra angkat aktor terkenal Indonesia yang kini menjabat wakil gubernur Banten, Rano Karno, yaitu Raka Widyarma dan rekannya Karina Andetia dibekuk aparat di sebuah rumah di Jalan Perkici Raya EB2 No.2, Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, pada 6 Maret 2012, sekitar pukul 15.00 WIB, Keduanya ditangkap saat menerima paket berisi lima butir pil ekstasi yang dipesan via online dari Malaysia.Penangkapan terhadap Raka berwal saat petugas beacukai mencurigai paket berukuran tidak terlalu besar dari Malaysia itu melewati mesin x-ray di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah paket dibuka, di dalamnya ditemukan

  16

  5 butir ekstasi , Kasus pengendalian Narkoba dari LP yang dilakukan Hartoni 15

  

http://humas.polri.go.id/PressReleases/Pages/Press-Release-Sat-ResNarkoba-Restro- Jakpus.aspx (diakses pada Rabu, 07 Maret 2012). 16

http://www.hidayatullah.com/dev/read/22094/07/04/2012/narkoba%20banyak%20dij ual%20via%20situs%20jejaring%20sosial.html (diakses Pada, Selasa 05 Juni 2012) selaku salah satu Narapidana LP Narkotika Nusakambangan pada tanggal 8 Maret 2011 silam. Operasi itu merupakan kerjasama antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polres Cilacap. Kasus Hartoni terkuak, setelah ia digerebek

  17

  bukti yang didapat adalah shabu sebesar 380 gram ,serta kasus peredaran narkotika yang terungkap di balik tembok penjara. Kali ini 3 (tiga) narapidana dan seorang petugas sipir Lapas Kelas IIA Pekanbaru yang dicokok karena ikut membuka jalan mulus distribusi narkotika di tempat yang membatasi ruang

  18

  gerak para terpidana tersebut , Kemudian kasus penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri juga marak terjadi saat ini seperti Tragedi yang terjadi pada awal Tahun 2012, sebuah kecelakaan lalu lintas disekitar Tugu Tani Jakarta yang menelan sembilan korban jiwa dimana pengemudinya mengonsumsi Narkoba adalah gambaran bahwa bahaya dari penyalahgunaan Narkoba sangatlah destruktif. Tidak hanya memberikan efek yang buruk terhadap penyalahguna, akan tetapi juga dapat merugikan orang lain dan kepentingan publik. Dari contoh kasus tersebut mengindikasikan bahwa bahaya Narkoba juga

  19

  memberikan efek buruk di setiap lini tidak terkecuali para pengguna jalan raya , dan kasus penangkapan TKI di malaysia yang dilakukan Anggota Satuan Narkoba (Satnarkoba) Polres Banyuwangi yang membawa sabu-sabu untuk di konsumsi pribadi dengan berat seitar 7,94 gram. Bisa dibilang, tangkapan sabu- sabu tersebut merupakan yang paling besar pada awal Tahun 2012 ini. Sejak 17 18

http://www.wartakota.co.id/mobile/detil/70582 (diakses pada, Selasa 05 Juni 2012)

http://news.detik.com/read/2012/04/03/080648/1883491/10/ada-surga-di-balik-

  tembok-penjara (diakses pada Selasa,03 April 2012) 19 http://pesatnews.com/read/2012/02/27/1234/jalan-raya-jalur-strategis-peredaran- narkoba (diakses pada Senin, 27 Februari 2012)

  Januari 2012 lalu, Polisi memang sering menangkap Tersangka Kasus Narkoba. Beberapa di antaranya adalah Kasus Narkotika jenis sabu-sabu. Namun, sejauh ini barang bukti yang disita relatif sedikit, yakni sekitar nol koma sekian gram (delapan) gram. Di pasar gelap, barang bukti sebanyak itu diperkirakan bernilai

  20

  sekitar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) begitu pula Di Semarang polisi menggerebek enam oknum mahasiswa yang tengah menikmati sabu-sabu di sebuah kamar kos salah seorang diantara mereka, Di Surabaya, seorang perwira polisi juga kedapatan mengkonsumsi narkoba di sebuah kamar hotel saat di grebek aparat TNI kodam V Brawijaya, Di Bali seorang oknum polisi harus mendekam 15 (lima belas bulan) penjara karena tertangkap basah menyalahgunaan narkoba bersama seorang oknum anggota DPR daerah dan seorang warga sipil, Di sebuah sekolah SMP, ketika secara mendadak dilakukan razia oleh guru BP sekolah itu ditemukan macam-macam jenis narkoba di dalam tas sejumlah siswa, bahkan didapati juga alat kontrasepsi dan beberapa keping

21 VCD porno , Begitu pula Data pada United Nation Drug Control Program

  (UNDP), saat ini lebih dari 200 juta orang di seluruh Indonesia telah menyalahgunakan narkoba, yang mencengangkan dari jumlah itu 3,4 juta diantaranya adalah orang Indonesia. Lebih mencengangkan lagi karena lebih dari 80%-nya adalah remaja, dan bahkan telah merambah pula pada usia yang tergolong pada usia anak-anak. 20

  

http://www.kabarbanyuwangi.com/kernet-truk-bawa-sabu.html (diakses pada

Minggu, 1 April 2012) 21 Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, halaman 1.

  Sehubungan dengan itu untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarkat, bangsa, dan negara maka diperlukan pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara, pidana seumur hidup atau pidana mati. Di samping itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rahabilitasi medis dan sosial, Untuk lebih mengeefektifkan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementriatan (LPNK) dan

  22 diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.

  Berdasarkan tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat 22 H. Siswanto S, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta, 2012, halaman 1-2. rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional yang telah disebutkan di atas maka membuat penulis tertarik untuk mengakaji dan meneliti lebih mendalam bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 terjadi di tingkat nasional saat ini. Oleh karena hal tersebut, maka tulisan ini diberi judul “Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri : No. 675/Pid.B/2010/PN.MDN dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.MDN)”.

  B. Permasalahan

  Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan di dalam skripsi ini adalah ;

  1. Bagaimana Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika didalam Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana?

  2. Bagaimana Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Natkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan jahat Jual Beli narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No.1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)?

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui tindak pidana Penyalahgunaan Narkotika didalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.

  Tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan jahat Jual Beli narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No.1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn).

  Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Secara Teoritis Untuk memperkaya khasanah imu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika, sehingga menjadikan suatu kajian ilmiah bagi para mahasiswa maupun praktisi hukum.

  2. Secara Praktis

  a. Dengan mempelajari tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika , maka pengetahuan hukum masyarakat mengenai hal tersebut di atas akan bertambah luas dan masyarakat tentunya akan menilai apakah suatu proses penegakan hukum telah sesuai dengan Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana penyalaghunaan Narkotika. b. Bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan Undang-Undang No.

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika.

D. Keaslian Penulisan

  Skripsi yang berjudul Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

  tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri : No.

  675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn) adalah

  benar karya penulis. Sehubungan dengan keaslian judul skrisi, Penulis telah melakukan pengecekkan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Ditinjau dari materi Permasalahan yang ada dan materi Penulisan Skripsi ini, sejauh ini belum pernah didapati dan dilihat kesamaan masalah seperti pada penulisan skripsi ini. Dalam menyusun karya ilmiah ini pada prinsipnya Penulis membuatnya dengan dasar-dasar yang sudah ada baik melalui literatur yang Penulis peroleh dari perpustakaan ditambah menelaah studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan.

  Bila ternyata di kemudian hari di temukan skripsi yang sama sebelum skripsi ini dibuat, Penulis siap bertanggung jawab sepenuhnya untuk diuji.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana dan Pemidanaan

  Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek Van

  Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang

  apa yang dimaksud dengan straafbaar feit itu. Karena itu, para ahli hukum berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada

  23 kesegaraman pendapat.

  Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri

  24 digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.

  25 Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :

  1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.

  2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk meyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

  23 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, halaman 67. 24 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2009, halaman 101. 25 Ibid., halaman 102.

  3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.

  Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

  5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya : a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum.

  b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.

  c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.

  Mengenai apa yang diartikan “strafbaar feit”, para sarjana Baratpun, memberikan pengertian/pembatasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut :

  26

  a. Perumusan Simons Simons merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu handeling

  (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, 26 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, halaman 204-205. bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.

  b. Perumusan Van Hamel dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

  c. Perumusan Vos Vos merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

  d. Perumusan Pompe Pompe merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah

  (penggangguan ketertiban hukum ) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

  27 Tindak pidana mengadung unsur-unsur sebagai berikut :

  a. Perbuatan

  b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

  c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar) Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang diarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah perbuatan itu, tetapi tidak dipisahan dari orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan 27 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradyana Paramitha, Jakarta, 1993, halaman 1. bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

  Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) KUHP seseorang yang melakukan tindak

  a. Ada norma pidana tertentu

  b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

  c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan tertentu, bagaimnapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu. Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

  Istilah pidana sering disamakan dengan istilah hukuman yang berasal dari kata straft. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa istilah pidana tidak sama dengan hukuman. Menurut Andi Hamzah, hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan siatu pengertian

  28 khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.

  Berbicara mengenai tindak pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering

28 Ibid.

  diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.

  Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.

29 Sehubungan dengan pengertian pemidanaan ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian/pembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.

  Sudarto mengatakan bahwa : “Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya

  

(berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam

  lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.

  30 Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan

  dapat diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian pidana dalam hal ini ada dua arti, yaitu dalam arti luas yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana. Arti konkret, yang menyangkut berbagai badan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.

  29 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985, halaman. 13. 30 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, 1987, halaman 17. Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang

  31 bersalah melanggar suatu aturan hukum.

  32

  berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu :

  a. Pemidanaan harus mengandung kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress), yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugian atau kejahatan yang derita oleh subjek yang menjadi korban akibat tindakan subjek lain. Tindakan subjek lain tersebut dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain dan melawan hukum yang berlaku sah.

  b. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa, oleh karena itu pemidanaan bukan tindakan balas dendam terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

  c. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin

  33

  dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :

  a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

  b. Membuat orang menjadi jera melakuan kejahatan-kejahatan

  c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Salah satu cara untuk mencapai pemidanaan/tujuan hukum pidana adalah

  “menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana” 31 32 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, halaman 7. 33 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, halaman 34-35.

  Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, halaman 31. dan pidana itu dasarnya adalah merupakan “suatu penderitaan atau nestapa yang disengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah

  34 melakukan tindak pidana”.

  diberikan ukuran apakah perbuatan pemidanaan itu dapat dibenarkan atau dapat dihindarkan. Cara yang tepat adalah dengan menunjukan fakta bahwa perbuatan itu adalah benar atau perbuatan itu tidak benar. Sebagai contoh, pemidanaan terhadap pembunuhan dalam keadaan perang, atau pada waktu terjadi hura-hura berdarah, maka dalam hal ini tidak diperlukan dasar pembenaran. Akan tetapi lain halnya jika terjadi pembunuhan karena ada dendam atau terhadap lawan politik, maka secara fakta harus dicari dasar pembenaran atas pemidanaannya.

  Dengan demikian sepanjang pemidanaan dapat menunjukkan adanya kepentingan, maka pemidanaan dapat dikatakan dasar pembenarannya. Tetapi sepanjang tidak dapat menunjukkan kepentingannya, maka pemidanaan

  35 dikatakan tidak berguna (useless).

  Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat

  36

  beberapa teori yaitu :

  a. Teori absolut atau mutlak Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana kerana telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa apapun yang 34 35 Ibid.

  Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, halaman. 36. 36 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, halaman 23 mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apaah mungkin dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya.

  b. Teori relatif atau nisbi Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi mayarakat, atau bagi si penjahat sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.

  Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan dengan teori “tujuan”

  (doel theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

  Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana orang akan takut menjalankan kejahatan.

  Dalam prevensi khusus, hal membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum semua

  37 juga takut akan menjalankan kejahatan. 37 Ibid., halaman 25. Jika menurut teori relatif atau teori tujuan ini menjatuhkan pidana bergantung kepada pemanfaatannya kepada masyarakat, maka terdapat konsekuensi sebagai berikut. hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana tetapi secara positif dianggap baik bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat

  38 pidana.

  Tindakam ini misalnya berupa mengawasi saja stindak-tanduk si penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial untuk menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat yang

  39 berguna (beveilingings maatregelen).

  c. Teori gabungan Di samping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan”

  (vergelding) dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap

  40 pidana.

  Teori ini merupakan gabungan dari teori pertama dengan teori kedua. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur-unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan pidana. Pidana adalah pembalasan tetapi tidak boleh memberikan 38 39 Ibid., halaman 26. 40 Ibid, halaman 27.

  Ibid. pidana lebih dari apa yang semestinya, seimbang dengan berat ringannya

  41 kejahatan.

2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika

  Narkotika atau obat bius ialah semua bahan-bahan obat, baik yag berasal dari bahan alam ataupun yang sintesis yang mempunyai effek kerja yang pada umumnya :

  a. Membiuskan (dapat menurunkan kesadaran)

  b. Merangsang (menimbulkan kegiatan-kegiatan/prestasi kerja)

  c. Ketagihan (ketergantungan, mengikat)

  d. Mengkhayal (menimbulkan daya khayalan, halusinasi) Semua narkotika termasuk obat-obat keras/berbahaya, kerena daya kerjanya keras dan dapat memberi pengaruh merusak terhadap fisik dan psikis manusia (bahkan sangat membahayakan manusia) jika disalahgunakan. Oleh karena itu penggunaan obat-obat tersebut untuk keperluan pengobatan haruslah

  42 dengan resep dokter.

  Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbukan akibat yang sangat merugikan bagi perorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan 41 42 Soejono, op.cit., halaman. 38.

  

Dinas Penerangan Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Penanggulangan Kenakalan Remaja dan Narkotika, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Alda Dharma Bakti, Jakarta, 1985, halaman 15. peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional. narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

  Perubahan undang-undang tersebut dikarenakan tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional, hal ini juga untuk mencegah adanya kecendrungan yang semakin meningkat baik secara kuantatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas terutama di kalangan anak-anak, ramaja, dan generasi muda pada umumnya, selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika, dalam undang-undang ini diatur juga mengenai prekusor narkotika kerena prekusor narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau

  43 bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika . 43 AR. Sujono dan Bony Daniel, op.cit., halaman 59-60. Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongang-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tersebut. Sedangkan prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang tersebut.

  Narkotika dibagi dalam tiga golongan yaitu : narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Penggolongan ini ditetapkan dan dijadikan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

  Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Dokumen yang terkait

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Su

1 85 157

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

3 76 145

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Narkotika dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Perkara Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

3 111 106

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 47 117

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 27

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 15