Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

(1)

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP TINDAK PIDANA PERMUFAKATAN JAHAT JUAL BELI NARKOTIKA (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No.

1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DEBORA KETAREN 080200240

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP TINDAK PIDANA PERMUFAKATAN JAHAT JUAL BELI NARKOTIKA (Analisis Putusan

Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DEBORA KETAREN 080200240

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr.M.Hamdan, SH., MH) NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

( Dr.Madiasa Ablisar SH.MS ) ( Rafiqoh Lubis, SH., MHum) NIP. 196104081986011002 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan kasih karunia-Nya, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan ketekunan kepada penulis, sehingga penulis mampu dan berhasil membuat dan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :

“PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA TERHADAP TINDAK PIDANA

PERMUFAKATAN JAHAT JUAL BELI NARKOTIKA (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)”

Tulisan-tulisan dalam bentuk karya ilmiah maupun skripsi yang menyajikan baik dalam hal Narkotika memang telah banyak ditulis dan dibuat oleh berbagai kalangan secara umum dan mahasiswa secara khusus, namun dalam pengamatan dan sepengetahuan penulis belum ada mahasiswa dalam skripsinya yang mengangkat judul atau permasalahan mengenai penerapan undang-undang nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika terhadap tindak pidana permufakatan jual beli narkotika (analisis putusan pengadilan negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn).

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Penulis dalam membuat dan menyusun skripsi ini bukanlah mulus begitu saja tanpa melalui suatu hambatan, rintangan, halangan dan tantangan oleh


(4)

sebab itu sudah selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah memberikan bantuan, doa, dukungan, semangat, inspirasi dan perhatiannya. Ucapan terima kasih itu penulis sampaikan kepada Ibu saya Rebecca Sembiring yang senantiasa telah memberikan perhatian, kasih sayang, cinta kasih, doa yang tulus, semangat serta yang menjadi inspirasi bagi penulis, Kepada Bapak saya Topan Ketaren yang telah memberikan arahan, semangat, dan kekuatan serta juga menjadi inspirasi bagi penulis dan Kepada abang saya terkasih yaitu Samuel Ketaren yang selalu mendukung saya di setiap keadaan, dan Saudara saya bibi Maria Merry Tudor yang senantiasa meluangkan waktunya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini ,begitu juga kepada bibi saya Sry Guna Sembiring beserta seluruh keluarga besar yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga selalu ada kasih ditengah keluarga kita. Skripsi ini Penulis persembahkan kepada kalian semua, Semoga Tuhan Yesus selalu menyertai dan memberkati kita semua. Amin.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum., DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(5)

4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum., sebagai pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak M. Hamdan, SH, M.H., sebagai Ketua Dapartement Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum., sebagai sekretaris Dapartement Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Bapak Madiasa Ablisar SH, MS., selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran-saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Rafiqoh Lubis SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmu, memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan dan ilmu hukum kepada penulis selama belajar dan menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada sahabat saya Jenny Sovany Simamora, Irenne Elisabeth Sitanggang, Rindang Rizkia Fitri, Marstella Ayu Sitepu, Viona Angelin Tarigan, Yogie Togama Simanungkalit, dan seluruh teman seangkatan stambuk 08 begitu juga Dan kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih semua atas dorongan, semangat, dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis.


(6)

Dan akhirnya Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati apa yang telah penulis perbuat dan harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Terima Kasih.

Medan. April 2012


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI…… ... v

DAFTAR TABEL... viii

ABSTRAKSI... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalah... 15

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 16

D. Keaslian Penulisan ... 17

E. Tinjauan Pustak ... 18

1. Tindak Pidana dan Pemidanaan ... 18

2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika ... 27

3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan... 30

F. Metode Penelitian ... 36

G. Sistematika Penulisan... 38

BAB II TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA A. Peraturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ... 40

A. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dari Prespektif Kebijakan Hukum Pidana ... 65

1. Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam Lingkup Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Perumusan Sanksi Ancaman Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika ... 65

2. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Pengadilan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 ... 82


(8)

BAB III PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP TINDAK PIDANA PERMUFAKATAN JAHAT

JUAL BELI (Analisis Putusan Pengadilan Negeri (No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan

No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

A. Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika Golongan Satu sebagai Bentuk Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika Menurut UU No.35 Tahun 2009

Tentang Narkotika ... 101

B. Kasus... 110

1. Perkara Register No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn... 110

2. Perkara Register No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn... 112

3. Analisa Kasus ... 114

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 133


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ... 114

Tabel 2 ... 117

Tabel 3 ... 120

Tabel 4 ... 123


(10)

ABSTRAK DEBORA KETAREN* Dr. MADIASA ABLISAR, SH,MS**

RAFIQOH LUBIS, SH,MHum***

Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan , menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Namun dikemudian diketahui pula bahwa zat-zat narkotik memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada obat-obat narkotik itu. Narkotika termasuk obat-obat keras/berbahaya, karena daya kerjanya keras dan dapat memberi pengaruh merusak terhadap fisik dan psikis manusia (bahkan sangat membahayakan manusia) jika disalahgunakan. Oleh karena itu penggunaan obat-obat tersebut haruslah dengan resep dokter.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai tindak pidana penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari perspektif kabijakan hukum pidana. Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terhadap Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika yang tertuang dalam putusan pegadilan sebagai jalan penyelesaian tindak pidana penyalahgunaan dalam Narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif yang mengacu berbagai peraturan perundang-undangan serta berbagai literatur agar dapat menjawab pemasalahan.

Tindak pidana penyalahgunaaan narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari perspektif kabijakan hukum pidana dilakukan dengan sarana penal atau sanksi pidana meliputi penjatuhan pidana terhadap perbuatan-perbuatan tindak pidana narkotika, yang diatur dalam 35 pasal (pasal 111 sampai dengan pasal 148). Pada undang-undang ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara dan denda lebih berat, misalnya bagi pelaku pidana yang melanggar penggunaan narkotika Golongan I baik itu menyimpan, membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda, yaitu pidana denda minimal Rp 800.000.000,-(delapan ratus juta rupiah) dan maksimal Rp 8.000.000.000,- 800.000.000,-(delapan milyar rupiah), Pada Undang-Undang-undang ini juga mengatur pemberatan hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis tanaman) atau barang bukti melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 1/3.

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika yang diamati malalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara dan denda sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Thahun 2009 tentang Narkotika, putusan tersebut telah mencerminkan rasa keadilan dan kebenaran sehingga tercapailah tatanan kehidupan masyarakat terpelihara dengan baik.1

* Mahasiswa Dapartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(11)

ABSTRAK DEBORA KETAREN* Dr. MADIASA ABLISAR, SH,MS**

RAFIQOH LUBIS, SH,MHum***

Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan , menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Namun dikemudian diketahui pula bahwa zat-zat narkotik memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada obat-obat narkotik itu. Narkotika termasuk obat-obat keras/berbahaya, karena daya kerjanya keras dan dapat memberi pengaruh merusak terhadap fisik dan psikis manusia (bahkan sangat membahayakan manusia) jika disalahgunakan. Oleh karena itu penggunaan obat-obat tersebut haruslah dengan resep dokter.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai tindak pidana penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari perspektif kabijakan hukum pidana. Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terhadap Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika yang tertuang dalam putusan pegadilan sebagai jalan penyelesaian tindak pidana penyalahgunaan dalam Narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif yang mengacu berbagai peraturan perundang-undangan serta berbagai literatur agar dapat menjawab pemasalahan.

Tindak pidana penyalahgunaaan narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari perspektif kabijakan hukum pidana dilakukan dengan sarana penal atau sanksi pidana meliputi penjatuhan pidana terhadap perbuatan-perbuatan tindak pidana narkotika, yang diatur dalam 35 pasal (pasal 111 sampai dengan pasal 148). Pada undang-undang ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara dan denda lebih berat, misalnya bagi pelaku pidana yang melanggar penggunaan narkotika Golongan I baik itu menyimpan, membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda, yaitu pidana denda minimal Rp 800.000.000,-(delapan ratus juta rupiah) dan maksimal Rp 8.000.000.000,- 800.000.000,-(delapan milyar rupiah), Pada Undang-Undang-undang ini juga mengatur pemberatan hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis tanaman) atau barang bukti melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 1/3.

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika yang diamati malalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara dan denda sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Thahun 2009 tentang Narkotika, putusan tersebut telah mencerminkan rasa keadilan dan kebenaran sehingga tercapailah tatanan kehidupan masyarakat terpelihara dengan baik.1

* Mahasiswa Dapartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(12)

. BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika atau sering distilahkan sebagai drug adalah sejenis zat. Zat narkotik ini merupakan zat yang memiliki ciri-ciri tertentu. Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Namun dikemudian diketahui pula bahwa zat-zat narkotik memiliki daya pencanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada obat-obat narkotik itu. Hal tersebut dapat dihindarkan apabila pemakaianya diatur menurut dosis yang dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan farmakologis. Untuk itu pemakaian narkotika memerlukan pengawasan dan pengendalian. Pemakaian di luar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara. Untuk pengawasan dan pengendalian penggunaan narkotika dan pencegahan, pemberantasan dalam rangka penanggulangannya diperlukan

*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Dapartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(13)

kehadiran hukum yaitu hukum narkotika yang sarat dengan tuntutan perkembangan zaman.2

Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada

farmacologie(farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu bagi tubuh si pemakai, yaitu:

a. mempengaruhi kesadaran

b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap prilaku manusia

c. adapun pengaruh-pengaruh tersebut adalah : 1) penenang

2) perangsang

3) menimbulkan halusinansi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

Pengertian lain dari narkotika mungkin bisa dipaparkan sebagai bahan-bahan yang tidak dapat dipergunakan dengan sembarangan sebab bisa memberi pengaruh pada kesadaran, badan dan tingkah laku manusia.3

Sehubungan dengan pengertian narkotika ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian/pembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.

Menurut Sudarto, dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengatakan bahwa, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani

“Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.4

2

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, halaman 3-4.

3

Susi Adisti, Belenggu Hitam Pergaulan “Hancurnya Generasi Akibat Narkoba”, Restu Agung, Jakarta, 2007, halaman 25-26.

4


(14)

Sedangkan Smith Kline dan Freech Clinical Staff mengemukakan definisi tentang narkotika

Narcotics are drugs which product insensibility or stuporduce to their depressant offer on the central nervous system, included in this definition are opium-opium derivativis (morpine, codein, methadone). (Artinya adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut berkerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).5

Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku

“Narcotics Identification Manual”, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso,

Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan. Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan Srimulant.6 Sedangkan menurut

Verdoovende Middelen Ordonantie Staadblaad 1972 No.278 jo. No. 536 yang telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai undang-undang obat bius narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran. Di samping menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-bahan tersebut”.7

5

Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, halaman 18.

6

Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 2005, halaman 480.

7


(15)

Narkotika pada Pasal 4 V.M.O. staatblad 1972 No. 278 jo. No. 536 adalah untuk tujuan pengobatan atau ilmu pengetahuan. Obat bius kecuali candu olahan, cocainekasar, codeinehanya dapat diolah dan dikeluarkan oleh mereka yang ditentukan undang-undang, yaitu:

1. apoteker dan ahli kedokteran 2. dokter hewan

3. pengusaha pabrik obat

Dalam undang-undang obat bius tersebut, yang dikategorikan sebagai narkotika ternyata tidak hanya obat bius saja melainkan disebut juga candu, ganja, kokain, morphin, heroin, dan zat-zat lainya yang membawa pengaruh atau akibat pada tubuh. Zat-zat tersebut berpengaruh karena bergerak pada hampir seluruh sistem tubuh. Terutama pada syaraf otak dan sumsum tulang belakang. Selain itu karena mengkonsumsi narkotika akan meyebabkan lemahnya daya tahan serta hilangnya kesadaran.8

Setelah berbicara mengenai pengertian narkotika diatas maka sampailah kita pada pembahasan tentang akibat penggunaan narkotika,

Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika adalah penggunaan secara tidak benar, ialah untuk kenikmatan yang tidak sesuai dengan pola kebudayaan yang normal. Penggunaan narkotika untuk pengobatan guna menghilangkan rasa nyeri dan penderitaan tidak termasuk dalam pembicaraan ini.

Penggunaan narkotika secara berkali-kali membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan ini bisa ringan dan bisa

8


(16)

berat. Berat ringannya ketergantungan ini diukur dengan kenyataan seberapa jauh ia bisa melepaskan diri dari penggunaan itu.

Ketergantungan-ketergantungan yang dapat disebabkan akibat penggunaan narkotika, yaitu :

a. Ketergantungan psikis

Salah satu akibat penggunaan narkotika ialah timbulnya suatu “keadaaan lupa” pada si pemakai, sehingga ia tidak dapat melepaskan diri dari suatu konflik. Ia melarikan diri dari suatu situasi yang tidak dapat ia atasi. Akan tetapi sebab dari kesulitan ini sendiri tidak dapat ia hilangkan, persoalannya tetap menjadi persoalan yang tidak terpecahkan. Penggunaan narkotika itu kerap kali memperlebar ketegangan antara orang itu dengan masyarakat sekitarnya, karena ia makin tidak dapat sesuai atau menyesuaikan diri dengan sekitarnya, sehingga makin besar dirasakan kesulitannya itu dan dengan demikian makin besar pula rasa kebutuhannya akan narkotika. Itulah yang disebut dengan ketergantungan psikis (psychological dependence). Kebutuhannya itu untuk memperoleh perasaan senang (euphorie).

b. Ketergantungan fisik

Penggunaan narkotika selama beberapa waktu menimbulkan kepekaan terhadap bahan itu, badan menjadi terbiasa sehingga sampai pada tingkat kekebalan atau tolerance. Misalnya dalam penggunaan morfin, dosis yang digunakan itu makin lama harus makin banyak untuk mencapai effek yang dikehendaki.


(17)

Akhirya effek itu tidak tercapai meskipun dosis pun ditambah terus. Sebaliknya jika penggunaannya itu dihentikan sama sekali, maka terjadilah malapetaka yang berlangsung lama dan apabila tidak ditolong oleh dokter dapat mendatangkan kematian.ketergantungan ini bersifat fisik (physical dependence).

Dapat dipahami, bahwa ketergantungan psikis maupun fisik apabila itu berlangsung bersama-sama menimbulkan keadaan kecanduan yang besar sekali.9

Penyalahgunaan narkotika inilah yang membahayakan, Karena di samping akan membawa pengaruh terhadap diri pribadi si pemakai di mana ia akan kecanduan dan hidupnya akan tergantung kepada zat-zat narkotika, yang bila tidak tercegah (terobati), jenis narkotika yang akan digunakan semakin kuat dan semakin besar dosisnya, sehingga bagi dirinya akan semakin parah. Bila hal ini terjadi maka si pecandu untuk memenuhi kebutuhannya, akan berbuat apa saja asal ketagihannya bisa terpenuhi, kalau kebetulan si pemakai keuangannya cukup, mungkin mungkin tidak akan membawa efek-efek lain di luar pribadinya bahkan si pecandu bisa tidak ketahuan (masih dapat bersembunyi) tetapi apabila pecandu-pecandu narkotika tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi ketagihannya secara terus-menerus maka akibatnya akan meluas, tidak saja terhadap diri pribadinya juga terhadap masyarakat, karena sipecandu yang di saat ketagihan tidak dapat memenuhi kebutuhannya dari uang atau barang milik sendiri, dia akan berusaha dengan berbagai cara, yang tidak mustahil dapat melakukan tindakan-tindakan yang termasuk kejahatan.10

9

Sudarto, op.cit., halaman 39-40.

10

Soedjono Dirdjosisworo, Narkotika dan Remaja, Aumni, Bandung, 1983, halaman 2-3.


(18)

Efek dari penggunaan nerkotika adalah sebagai berikut :

a. Depresant yaitu mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk dapat tidur/istirahat

b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat, sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik seseorang

c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak riil atau khayalan-khayalan yang menyenangkan. Akibat yang ditimbulkan adalah akibat kecanduan antara lain :

- Lemahnya fisik, moral dan daya pikir

- Timbul kecendrungan melakukan penyimpangan social dalam masyarakat, seperti berbohong, berkelahi, seks bebas, dan lain sebagainya

- Timbulnya kegiatan/aktivitas dis-sosial seperti mencuri, monodong, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang guna membeli narkotika yang jumlah dosisnya semakin tinggi.

Adapun fase penggunaan narkotika sejak awalnya adalah dimulai dari coba-coba (expremental use), yaitu memakai narkotika dengan tujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu. Apabila pemakaian beranjut, maka tingkat penggunaan meningkat ke tahap yang lebih berat yaitu untuk tujuan senang-senang. Jika tidak berhenti juga, maka pemakaian meningkat lagi ke tingkatan


(19)

pemakaian situasional, yaitu memakai narkotika saat mengalami keadaan tertentu seperti pada waktu menghadapi keadaan tegang, sedih, kecewa, dan lain sebagainya. Tingkatan terparah apabila sipemakai tidak juga berhenti dari menggunakan narkotika adalah tahapan abuse/penyalahgunaan karena ketergantungan yang diindikasikan dengan tidak lagi mampu menghentikan konsumsi narkotika yang akhirnya bias menimbulkan gangguan fungsional atau

occupational dengan timbulnya prilaku agresif dan dis-sosial (terganggunya hubungan sosial).

Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan narkotika di antaranya sebagai berikut.

a. Faktor individu, terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam aspek kepribadian antara lain kepribadian yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk dalam kecemasan/depresi adalah karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup, sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang.

b. Faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh teman. Kondisi keluarga di sini merupakan kondisi yang dis-harmonis seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk dan jarang dirumah serta perekonomian keluarga yang serba berlebihan maupun yang serba kekurangan. Sedangkan yang termasuk dalam


(20)

pengaruh teman misalnya karena berteman dengan seseorang ternyata pemakai narkoba dan ingin diterima dalam suatu kelompok.

c. Faktor lingkungan, lingkungan yang tidak baik maupun tidak mendukung dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis anak dan kurangya perhatian terhadap anak, juga bisa mengarahkan seseorang anak untuk menjadi

user/pemakai narkotika.11

Di Indonesia trend perkembangan penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang semakin hari semakin marak dan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Makin meningkatnya penyalahgunaan obat-obat (terlarang) oleh sementara generasi muda dan kalangan remaja khususnya, semakin mencemaskan mengingat intensitas penyalahgunaan obat akhir-akhir ini selain makin marak, juga makin meluas sehingga dapat membahayakan.12

Penggunaan Narkotika pada dewasa ini tidak lagi digunakan untuk tujuan kepentingan pengobatan atau kepentingan ilmu pengetahuan melainkan bertujuan unuk memperoleh untung yang besar. Tujuan tersebut diatas tercapai melalui lalu lintas perdagangan Narkotika illegal baik transaksi yang bersifat transnasional maupun transaksi yang bersifat internasional. Transaksi transnasional ialah transaksi lintas batas di antara dua Negara atau lebih Negara,

11

AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta timur, 2011, halaman 6-7.

12

://ferli1982.wordpress.com/2011/01/04/trend-perkembangan-narkotika-di-indonesia (diakses pada Selasa, 4 Januari 2011)


(21)

sedangkan transaksi internasional ialah bentuk transaksi yang sudah bersifat global baik lingkup maupun jaringannya.

Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, kurang lebih meliputi tiga belas ribu pulau dan perairan Indonesia meliputi kurang lebih tujuh buah selat yang sangat penting bagi pelayaran internasional. Ketujuh buah Selat ini adalah, Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai, Selat Wetar, dan Selat Makasar.

Luas tersebut di atas telah menempatkan Indonesia sebagai keududukan yang sangat strategis baik dari dilihat kepentingan ketahanan nasional pada umumnya maupun dilihat dari kepentingan penegakan hukum (pidana) nasional pada khusunya, apalagi Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia. Letak geografis ini juga, secara tidak langsung telah meningkatkan perkembangan tindak pidana transnasional pada umumnya dan pada khusunya, tindak pidana narkotika.13

Begitu pula tindak pidana narkotika sekarang ini tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.14

13

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 1-2.

14


(22)

Berikut beberapa kasus peredaran jual beli narkotika yang terjadi di tingkat nasional saat ini adalah Sat Res Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat berhasil menangkap seorang tersangka yang diduga sebagai bandar narkoba pada hari senin 5 Maret 2012 sekitar jam 11.30 WIB di Jl. Kemenangan no. 5 kec. Taman Sari jakarta barat, Berdasarkan hasil pemeriksaan, pelaku mendapat pasokan narkotika dari seorang bandar di atasnya yang berinisial MC (sedang buron), setelah mendapat pasokan barang, tersangka menjual kepada para pemesan (Pengedar yang ada di bawahnya) baik yang ada di Jakarta maupun yang ada di luar Jakarta sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Modus Operandi, Pengiriman barang dilakukan melalui TIKI setelah uang ditransfer yang dilakukan dengan cara mengemas Narkotika dalam mainan anak – anak maupun dalam kotak Handphone15, kemudian kasus jual-beli narkoba lewat internet pernah dilakukan oleh putra angkat aktor terkenal Indonesia yang kini menjabat wakil gubernur Banten, Rano Karno, yaitu Raka Widyarma dan rekannya Karina Andetia dibekuk aparat di sebuah rumah di Jalan Perkici Raya EB2 No.2, Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, pada 6 Maret 2012, sekitar pukul 15.00 WIB, Keduanya ditangkap saat menerima paket berisi lima butir pil ekstasi yang dipesan via online dari Malaysia.Penangkapan terhadap Raka berwal saat petugas beacukai mencurigai paket berukuran tidak terlalu besar dari Malaysia itu melewati mesin x-ray di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah paket dibuka, di dalamnya ditemukan 5 butir ekstasi16, Kasus pengendalian Narkoba dari LP yang dilakukan Hartoni

15

http://humas.polri.go.id/PressReleases/Pages/Press-Release-Sat-ResNarkoba-Restro-Jakpus.aspx (diakses pada Rabu, 07 Maret 2012).

16

http://www.hidayatullah.com/dev/read/22094/07/04/2012/narkoba%20banyak%20dij ual%20via%20situs%20jejaring%20sosial.html (diakses Pada, Selasa 05 Juni 2012)


(23)

selaku salah satu Narapidana LP Narkotika Nusakambangan pada tanggal 8 Maret 2011 silam. Operasi itu merupakan kerjasama antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polres Cilacap. Kasus Hartoni terkuak, setelah ia digerebek oleh satuan Narkoba Polres Cilacap, pertengahan Maret tahun 2011. Barang bukti yang didapat adalah shabu sebesar 380 gram17,serta kasus peredaran narkotika yang terungkap di balik tembok penjara. Kali ini 3 (tiga) narapidana dan seorang petugas sipir Lapas Kelas IIA Pekanbaru yang dicokok karena ikut membuka jalan mulus distribusi narkotika di tempat yang membatasi ruang gerak para terpidana tersebut18, Kemudian kasus penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri juga marak terjadi saat ini seperti Tragedi yang terjadi pada awal Tahun 2012, sebuah kecelakaan lalu lintas disekitar Tugu Tani Jakarta yang menelan sembilan korban jiwa dimana pengemudinya mengonsumsi Narkoba adalah gambaran bahwa bahaya dari penyalahgunaan Narkoba sangatlah destruktif. Tidak hanya memberikan efek yang buruk terhadap penyalahguna, akan tetapi juga dapat merugikan orang lain dan kepentingan publik. Dari contoh kasus tersebut mengindikasikan bahwa bahaya Narkoba juga memberikan efek buruk di setiap lini tidak terkecuali para pengguna jalan raya19, dan kasus penangkapan TKI di malaysia yang dilakukan Anggota Satuan Narkoba (Satnarkoba) Polres Banyuwangi yang membawa sabu-sabu untuk di konsumsi pribadi dengan berat seitar 7,94 gram. Bisa dibilang, tangkapan sabu-sabu tersebut merupakan yang paling besar pada awal Tahun 2012 ini. Sejak

17

http://www.wartakota.co.id/mobile/detil/70582 (diakses pada, Selasa 05 Juni 2012)

18

http://news.detik.com/read/2012/04/03/080648/1883491/10/ada-surga-di-balik-tembok-penjara (diakses pada Selasa,03 April 2012)

19

http://pesatnews.com/read/2012/02/27/1234/jalan-raya-jalur-strategis-peredaran-narkoba (diakses pada Senin, 27 Februari 2012)


(24)

Januari 2012 lalu, Polisi memang sering menangkap Tersangka Kasus Narkoba. Beberapa di antaranya adalah Kasus Narkotika jenis sabu-sabu. Namun, sejauh ini barang bukti yang disita relatif sedikit, yakni sekitar nol koma sekian gram hingga satu gram lebih. kali ini barang bukti yang disita hampir mencapai 8 (delapan) gram. Di pasar gelap, barang bukti sebanyak itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) 20 begitu pula Di Semarang polisi menggerebek enam oknum mahasiswa yang tengah menikmati sabu-sabu di sebuah kamar kos salah seorang diantara mereka, Di Surabaya, seorang perwira polisi juga kedapatan mengkonsumsi narkoba di sebuah kamar hotel saat di grebek aparat TNI kodam V Brawijaya, Di Bali seorang oknum polisi harus mendekam 15 (lima belas bulan) penjara karena tertangkap basah menyalahgunaan narkoba bersama seorang oknum anggota DPR daerah dan seorang warga sipil, Di sebuah sekolah SMP, ketika secara mendadak dilakukan razia oleh guru BP sekolah itu ditemukan macam-macam jenis narkoba di dalam tas sejumlah siswa, bahkan didapati juga alat kontrasepsi dan beberapa keping VCD porno21, Begitu pula Data pada United Nation Drug Control Program (UNDP), saat ini lebih dari 200 juta orang di seluruh Indonesia telah menyalahgunakan narkoba, yang mencengangkan dari jumlah itu 3,4 juta diantaranya adalah orang Indonesia. Lebih mencengangkan lagi karena lebih dari 80%-nya adalah remaja, dan bahkan telah merambah pula pada usia yang tergolong pada usia anak-anak.

20

http://www.kabarbanyuwangi.com/kernet-truk-bawa-sabu.html (diakses pada Minggu, 1 April 2012)

21

Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, halaman 1.


(25)

Sehubungan dengan itu untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarkat, bangsa, dan negara maka diperlukan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara, pidana seumur hidup atau pidana mati. Di samping itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rahabilitasi medis dan sosial, Untuk lebih mengeefektifkan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementriatan (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.22

Berdasarkan tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat

22

H. Siswanto S, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta, 2012, halaman 1-2.


(26)

rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional yang telah disebutkan di atas maka membuat penulis tertarik untuk mengakaji dan meneliti lebih mendalam bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika yang marak terjadi di tingkat nasional saat ini. Oleh karena hal tersebut, maka tulisan ini diberi judul “Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri : No. 675/Pid.B/2010/PN.MDN dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.MDN)”.

B. Permasalahan

Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan di dalam skripsi ini adalah ;

1. Bagaimana Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika didalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana?

2. Bagaimana Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Natkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan jahat Jual Beli narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No.1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


(27)

1. Untuk mengetahui tindak pidana Penyalahgunaan Narkotika didalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.

2. Untuk mengetahui Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan jahat Jual Beli narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No.1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn).

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Untuk memperkaya khasanah imu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika, sehingga menjadikan suatu kajian ilmiah bagi para mahasiswa maupun praktisi hukum.

2. Secara Praktis

a. Dengan mempelajari tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika , maka pengetahuan hukum masyarakat mengenai hal tersebut di atas akan bertambah luas dan masyarakat tentunya akan menilai apakah suatu proses penegakan hukum telah sesuai dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana penyalaghunaan Narkotika.


(28)

b. Bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual-Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri : No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn) adalah benar karya penulis. Sehubungan dengan keaslian judul skrisi, Penulis telah melakukan pengecekkan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ditinjau dari materi Permasalahan yang ada dan materi Penulisan Skripsi ini, sejauh ini belum pernah didapati dan dilihat kesamaan masalah seperti pada penulisan skripsi ini. Dalam menyusun karya ilmiah ini pada prinsipnya Penulis membuatnya dengan dasar-dasar yang sudah ada baik melalui literatur yang Penulis peroleh dari perpustakaan ditambah menelaah studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan.

Bila ternyata di kemudian hari di temukan skripsi yang sama sebelum skripsi ini dibuat, Penulis siap bertanggung jawab sepenuhnya untuk diuji.


(29)

E. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana dan Pemidanaan

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek Van Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit itu. Karena itu, para ahli hukum berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada kesegaraman pendapat.23

Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.24

Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :25

1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.

2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk meyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

23

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, halaman 67.

24

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2009, halaman 101.

25


(30)

3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan

Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.

4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya :

a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum.

b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.

c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.

Mengenai apa yang diartikan “strafbaar feit”, para sarjana Baratpun, memberikan pengertian/pembatasan yang berbeda, antara lain sebagai berikut :26 a. Perumusan Simons

Simons merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,

26

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, halaman 204-205.


(31)

bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan

(schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.

b. Perumusan Van Hamel

Van Hamel merumuskan : “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

c. Perumusan Vos

Vos merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

d. Perumusan Pompe

Pompe merumuskan : “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum ) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

Tindak pidana mengadung unsur-unsur sebagai berikut :27 a. Perbuatan

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum) c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang diarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah perbuatan itu, tetapi tidak dipisahan dari orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan

27

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradyana Paramitha, Jakarta, 1993, halaman 1.


(32)

bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) KUHP seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut :

a. Ada norma pidana tertentu

b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi

Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan tertentu, bagaimnapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu. Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Istilah pidana sering disamakan dengan istilah hukuman yang berasal dari kata straft.Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa istilah pidana tidak sama dengan hukuman. Menurut Andi Hamzah, hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan siatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.28

Berbicara mengenai tindak pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering

28


(33)

diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.

Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.29

Sehubungan dengan pengertian pemidanaan ada beberapa pendapat yang memberikan pengertian/pembatasan seperti yang terbaca di bawah ini.

Sudarto mengatakan bahwa :

“Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya

(berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.30

Berdasarkan pendapat Sudarto tersebut, dapat diartikan bahwa pemidanaan dapat diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian pidana dalam hal ini ada dua arti, yaitu dalam arti luas yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana. Arti konkret, yang menyangkut berbagai badan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.

29

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985, halaman. 13.

30

P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung, 1987, halaman 17.


(34)

Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum.31

Ted Honderich dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Berkatullah berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu :32

a. Pemidanaan harus mengandung kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress), yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugian atau kejahatan yang derita oleh subjek yang menjadi korban akibat tindakan subjek lain. Tindakan subjek lain tersebut dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain dan melawan hukum yang berlaku sah.

b. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa, oleh karena itu pemidanaan bukan tindakan balas dendam terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

c. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :33

a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

b. Membuat orang menjadi jera melakuan kejahatan-kejahatan

c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Salah satu cara untuk mencapai pemidanaan/tujuan hukum pidana adalah “menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana”

31

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, halaman 7. 32

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, halaman 34-35. 33

Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2010, halaman 31.


(35)

dan pidana itu dasarnya adalah merupakan “suatu penderitaan atau nestapa yang disengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan tindak pidana”.34

Untuk memperoleh pembenaran terhadap sistem pemidanaan maka harus diberikan ukuran apakah perbuatan pemidanaan itu dapat dibenarkan atau dapat dihindarkan. Cara yang tepat adalah dengan menunjukan fakta bahwa perbuatan itu adalah benar atau perbuatan itu tidak benar. Sebagai contoh, pemidanaan terhadap pembunuhan dalam keadaan perang, atau pada waktu terjadi hura-hura berdarah, maka dalam hal ini tidak diperlukan dasar pembenaran. Akan tetapi lain halnya jika terjadi pembunuhan karena ada dendam atau terhadap lawan politik, maka secara fakta harus dicari dasar pembenaran atas pemidanaannya.

Dengan demikian sepanjang pemidanaan dapat menunjukkan adanya kepentingan, maka pemidanaan dapat dikatakan dasar pembenarannya. Tetapi sepanjang tidak dapat menunjukkan kepentingannya, maka pemidanaan dikatakan tidak berguna (useless).35

Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori yaitu :36

a. Teori absolut atau mutlak

Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana kerana telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa apapun yang

34

Ibid. 35

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, halaman. 36.

36

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, halaman 23


(36)

mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apaah mungkin dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.

Hutang pati, nyaur pati; hutang lara, nyaur lara yang berarti : si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya.

b. Teori relatif atau nisbi

Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi mayarakat, atau bagi si penjahat sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.

Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan dengan teori “tujuan”

(doel theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana orang akan takut menjalankan kejahatan.

Dalam prevensi khusus, hal membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum semua juga takut akan menjalankan kejahatan.37

37


(37)

Jika menurut teori relatif atau teori tujuan ini menjatuhkan pidana bergantung kepada pemanfaatannya kepada masyarakat, maka terdapat konsekuensi sebagai berikut.

Untuk mencapai tujuan prevensi atau “memperbaiki si penjahat”, tidak hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana tetapi secara positif dianggap baik bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana. 38

Tindakam ini misalnya berupa mengawasi saja stindak-tanduk si penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial untuk menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat yang berguna (beveilingings maatregelen).39

c. Teori gabungan

Di samping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” (vergelding) dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.40

Teori ini merupakan gabungan dari teori pertama dengan teori kedua. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur-unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan pidana. Pidana adalah pembalasan tetapi tidak boleh memberikan

38

Ibid., halaman 26.

39

Ibid, halaman 27.

40


(38)

pidana lebih dari apa yang semestinya, seimbang dengan berat ringannya kejahatan.41

2. Narkotika dan Penggolongan Narkotika

Narkotika atau obat bius ialah semua bahan-bahan obat, baik yag berasal dari bahan alam ataupun yang sintesis yang mempunyai effek kerja yang pada umumnya :

a. Membiuskan (dapat menurunkan kesadaran)

b. Merangsang (menimbulkan kegiatan-kegiatan/prestasi kerja) c. Ketagihan (ketergantungan, mengikat)

d. Mengkhayal (menimbulkan daya khayalan, halusinasi)

Semua narkotika termasuk obat-obat keras/berbahaya, kerena daya kerjanya keras dan dapat memberi pengaruh merusak terhadap fisik dan psikis manusia (bahkan sangat membahayakan manusia) jika disalahgunakan. Oleh karena itu penggunaan obat-obat tersebut untuk keperluan pengobatan haruslah dengan resep dokter.42

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbukan akibat yang sangat merugikan bagi perorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan

41

Soejono, op.cit., halaman. 38. 42

Dinas Penerangan Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Penanggulangan Kenakalan Remaja dan Narkotika, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Alda Dharma Bakti, Jakarta, 1985, halaman 15.


(39)

peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Perubahan undang-undang tersebut dikarenakan tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional, hal ini juga untuk mencegah adanya kecendrungan yang semakin meningkat baik secara kuantatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas terutama di kalangan anak-anak, ramaja, dan generasi muda pada umumnya, selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika, dalam undang-undang ini diatur juga mengenai prekusor narkotika kerena prekusor narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika .43

43


(40)

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongang-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang tersebut. Sedangkan prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang tersebut.

Narkotika dibagi dalam tiga golongan yaitu : narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III. Penggolongan ini ditetapkan dan dijadikan sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Dikemudian hari masih memungkinkan adanya perubahan golongan narkotika yang penetapannya diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Sedangkan narkotika golongan II dan III dapat digunakan untuk kepentingan medis yang penggunaannya diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Oleh karena itu, untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis,


(41)

dokter dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan upaya pengobatan, pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika untuk dirinya sendiri dan harus mempunyai bukti yang sah bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.44

3. Kebijakan penanggulangan Kejahatan

Secara gradual dan fundamental, terminologi “kebijakan” berasal dari istilah policy (inggris) atai politiek (belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) dalam mengelolah, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah mayarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).45

Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari “prilaku meyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. terhadap masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan yang tertua ini telah banyak usaha-usaha penanggulangan yang dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu

44

http://gunarta.blogdetik.com/2010/05/04/konsekuensi-bagi-pelaku-penyalahgunaan-narkotika-dan-prekursor-narkotika/ (diakses pada Selasa, 04 Mei 2010)

45

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambantan, Jakarta, 2007, halaman 26.


(42)

usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.46

Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal itu mempunyai tiga arti yaitu :47

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jopesen) islah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Beliau juga memberikan pengertian singkat bahwa kebijkan kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)

dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare). Oleh kerena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dengan

46

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, halaman 148.

47

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman 1.


(43)

demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian dari integral sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial).48

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini diisyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukakan.49

Berikut akan dijelaskan dua pendekatan kebijakan penanggulangan kejahatan di atas adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy)

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena, itu sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan

48

Ibid., halaman 2. 49

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , Pustaka Bangsa Press, Medan,


(44)

kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.50

Usaha-usaha non-penal ini misalnya penyantunan dan penyelidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pratoli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya.

Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu.

Dengan pendekatan integral inilah diharapkan agar perencenaan kondisi sosial benar-benar dapat berhasil. Dan dengan demikian diharapkan pula tercapainya hakekat tujuan kebijakan sosial yang tertuang dalam rancana pembangunan nasional yaitu “kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakana.”.51

2. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek” istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dalam kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan

50

Ibid., halaman 55.

51


(45)

karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting utuk dibicarakan tentang politik hukum.52

Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui Komponen Sistem Peradilan Pidana, serta tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Upaya pencegahan ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.53

Ada dua masalah sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

b. Sanksi apa yang sabaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar

Penganalisaan terhadap dua masalah di atas tidak dapat dilepaskan dari konsepsi bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut di

52

Mahmud Mulyadi ,op.cit., halaman 65.

53


(46)

atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan.54

Tujuan-tujuan tertentu yang dimaksudkan di atas adalah tujuan akhir dari kebijakan penanggulangan kejahatan ialah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya “kebahagiaan warga masyarakat/penduduk”, kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan, kesejahteraan masyarakat atau untuk mencapai keseimbanagan.

Dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka wajarlah apabila kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.55

F. Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara mendapat sesuatu. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi :

1. Jenis penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika dan menganalisis putusan pengadilan.

2. Jenis Data dan Sumber Data

54

Muladi dan Barda Nawawi, op. cit., halaman 160.

55


(47)

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, antara lain : Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narotika, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Narkotika.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku yang berkaitan dengan permasalahan di dalam skripsi, buku-buku yang berkenaan dengan teori-teori dan kebijakan penanggulangan kejahatan dan studi yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan, yaitu putusan No.

675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No.

1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn serta dari berbagai literatur, majalah, internet yang kiranya dapat mendukung tulisan penulis.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer an sekunder. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan seperti kamus hukum, majalah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relavan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Alat Pengumpul Data

Penggumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research).


(48)

Data yang dipergunakan berupa data sekunder dengan mempelajari literatur dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

4. Analisis Data

Bahan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan.

G. Sistematika Penelitian

Untuk dapat menguraikan skripsi ini, Penulis telah membuat sistematika dengan mengadakan pembagian materinya atas empat bab dan tiap-tiap babnya dibagi lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil (sub-sub bab) sehingga mencerminkan suatu kesatuan materi Skripsi ini dengan sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam Bab Pendahuluan ini memuat Latar Belakang, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Diuraikan mengenai Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana yakni tentang Peraturan yang


(49)

berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.

BAB III : Di dalam Bab.III dibahas mengenai Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika yakni Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika sebagai Bentuk Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Kasus, dan Analisa Kasus.

BAB IV : Kesimpulan dan Saran. Di dalam Bab ini Penulis mengemukakan kesimpulan yang dipetik dari uraian bab terdahulu yang telah diuji keabsahannya melalui data-data yang diperoleh. Selanjutnya dalam Bab ini Penulis memberikan saran yang kiranya dapat berguna sebagai referensi dalam penerapan hukum pidana tersebut.


(50)

BAB II

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

A. Peraturan yang berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009

Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industry), merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lainnya.

Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.


(51)

Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan

transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat

menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan

Negara, sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika


(1)

dalam memutus perkara ini adalah menggunakan sistem pembuktian negatif yang artinya Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem ini sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP Pasal 183 KUHAP. Hal ini bisa dilihat dari amar putusan Hakim Pada Kasus Perkara Nomor 675/Pid.B/2010/PN.MDN yang berbunyi “Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak melakukan permufakatan jual beli narkotika golongan I” dan amar putusan Hakim Pada Kasus Perkara Nomor : 1.366/Pid.B/2011/PN.MDN yang berbunyi :“Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Permufakatan jahat tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman.” Hal ini membuktikan Hakim memperoleh keyakinan bahwa si terdakwa memang benar melakukan tindak pidana permufakatan jahat tersebut yang juga didasarkan atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan seperti keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang mengarah dan memberatkan si terdakwa.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pemaparan permasalahan serta pembahasan studi kasus yang telah dipaparkan Bab III dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

a. Dalam penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dari perspektif

kebijakan hukum pidana dilakukan dengan sarana penal atau sanksi pidana meliputi penjatuhan atau pemberian sanksi pidana terhadap perbuatan-perbutan tindak pidana narkotika, dimana pada Undang-Undang ini jumlah Pasal dalam ketentuan pidana ini berjumlah 35 Pasal (Pasal 111 sampai dengan Pasal 148). Pada undang-undang ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara dan denda lebih berat, misalnya bagi pelaku pidana yang melanggar penggunaan narkotika Golongan I baik itu menyimpan, membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda, yaitu pidana denda minimal Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan maksimal Rp 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah), Pada Undang-Undang-undang ini juga mengatur pemberatan hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang


(3)

pohon (jenis tanaman) atau barang bukti melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 1/3.

b. Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap Tindak Pidana Permufaatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.MDN dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.MDN) adalah sudah tepat, karena Putusan hakim yang menangani perkara diatas sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (menerapkan asas legalitas), dimana pada kasus perkara Nomor 675/Pid.B/2010/PN.Mdn , Hakim menjatuhkan putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 132 jo Pasal 112 (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35 Tahun 2009 yaitu pidana pejara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan. Sedangkan pada kasus perkara Nomor: 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn, Hakim menjatuhkan putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 132 jo Pasal 112 (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Pada penjatuhan sanksi pidana penjara dan pidana denda terhadap dua kasus di atas tampak


(4)

bahwa penjatuhan sanksi pada kasus kedua lebih besar dari kasus pertama, hal ini dikarenakan bahwa tindak pidana permufakatan jahat jual beli narkotika Golongan I bukan tanaman pada kasus tersebut beratnya melebihi 5 (lima) gram, maka tentu sanksi yang dikenakanpun akan lebih besar, sehingga putusan pengadilan tesebut sudah mencerminkan rasa keadilan sehingga tercapailah tatanan kehidupan masyarakat terpelihara dengan baik.

B. SARAN

Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah:

1. Perlu adanya kesadaran bagi seluruh masyarakat, khususnya generasi muda untuk tidak masuk dalam bahaya penyalahgunaan narkotika yang dapat merusak fisik dan psikis manusia.

2. Diperlukan kepada para penyidik BNN, penyidik pegawai negeri sipil, serta penyidik kepolisian Negara agar melaksanakan tugas dan kewajiban dalam pemberantasan tindak pidana narkotika sesuai dengan aturan dan berlaku adil dalam menjalankan tugas agar semua orang dapat merasakan keadilan sebagaimana yang telah diharapkan oleh segenap rakyat Indonesia.

3. Perlu adanya peningkatan kesadaran peran serta masyarakat, baik masyarakat lokal, regional, maupun internasional untuk turut serta bersama-sama memberantas peredaran narkotika yang semakin meluas peredarannya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adisti, Susi, Belenggu Hitam Pergaulan “Hancurnya Generasi Akibat Narkoba”, Jakarta, Restu Agung, 2007

Afiatin, Tina, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJI, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2008

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1996

AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011

Atmasasmita, Romli, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1997

A.Z.Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujuduan Delik dan Hukum Penintensier,Jakarta, Raja Grafindo, 2006

Chazawi, Adami , Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2001

Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung, Alumni , 1986

,Soedjono, Narkotika dan Remaja, Bandung, Aumni, 1983

Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta, Bina Aksara, 2005 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai

Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta Timur, Ghalia Indonesia, 1985

E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradyana Paramitha, 1993

Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara,Bandung, Sinar Baru, 1986


(6)

Lamintang, P.A.F., Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bandung, Bina Cipta, 1987

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008

Marlina, Hukum Penitensier, Bandung, Refika Aditama, 2011

Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2005

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1998

Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Jakarta, Djambantan, 2007

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2003

, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2003

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003

Sasangka,Hari, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana,Bandung, Mandar Maju, 2003

Setiady, Tolib, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Alfabeta, 2010

Siswanto, H, S, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta, Rineka Cipta, 2012

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 2006

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia,Jakarta, Rineka Cipta, 1996

Sunarso,Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004

Supramono,Gatot, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2004

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, UMM Press, 2009


Dokumen yang terkait

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

0 85 174

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Narkotika dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Perkara Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

3 111 106

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 47 117

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 19

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 0 7

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 0 1

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 SERTA PUTUSAN HAKIM DI PENGADILAN NEGERI KISARAN

0 0 9

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/201

0 0 38

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP TINDAK PIDANA PERMUFAKATAN JAHAT JUAL BELI NARKOTIKA (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675Pid.B2010PN.Mdn dan Putusan No. 1.366Pid.B2011PN.Mdn) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi

0 0 10