PARIWISATA PEDESAAN DAN PEMBANGUNAN PERT

BinTaRa 
Bina Wisata Nusantara

PARIWISATA PEDESAAN DAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN BERKELANJUTAN

KUSMAYADI
Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti

Sebagai negara kepulauan, Indonesia dihuni oleh sebagian besar penduduk
yang tinggal di pedesaan, dengan pola hidup yang bergantung pada hasilhasil pertanian. Keadaan wilayan pedesaan sendiri mempunyai kekayaan
sumber daya alam baik hayati dan non hayati maupun khasanah kebudayaan yang sangat berragam.
Pendekatan pembangunan pedesaan selama ini dapat diistilahkan sebagai
membangun di desa dan bukan membangun desa, sehingga pembangunan tersebut lebih bersifat eksploitasi sumber daya pedesaan untuk kepentingan
orang kota. Di samping itu, pembangunan yang dilakukan tidak mencerminkan keterpaduan antar sector dan sub sector, sehingga hanya terfokus
pada sub sector produksi pertanian saja.
Bercermin dari pengalaman negara-negara Barat, di mana pembangunan
pertanian pedesaan dipadukan dengan pengambangunan pariwisata
pedesaan telah memberikan dampak positif yang sangat luas baik dalam
perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pasar produksi pertanian.
Oleh karena itu, pengembangan pertanian pedesaan bila dipadukan dengan

pembangunan pariwisata pedesaan di Indonesia sangat berpeluang.***

PENDAHULUAN 
Menurut Dirjen Pembangunan
Desa, wilayah pedesaan meliputi ciriciri (1) perbandingan tanah dan

manusia (man land ratio) yang besar,
(2) lapangan kerja agraris, (3) hubungan penduduk yang akrab (3) sifat
yang menurut tradisi (tradisional).
Sedangkan menurut Wibberley wila-

Ir. Kusmayadi, Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat STP Trisakti
100-114

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

yah pedesaan menunjukkan bagian
negeri
yang
memperlihatkan

penggunaan tanah yang luas sebagi
ciri penentu, baik masa sekarang
maupun beberapa masa yang lampau.
Lebih dari setengah wilayah daratan Indonesia termasuk pedesaan.
Dari luas wilayah tersebut, dihuni
oleh lebih dari 70 persen penduduk
Indonesia. Sensus Penduduk Antar
Sensus (SUPAS) tahun 1995, memperkirakan bahwa pada tahun 2000
penduduk Indonesia berjumlah 204
juta orang. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 65 persen berdomisili di
pedesaan dengan mata pencaharian
berasal dari sektor pertanian.
Selama PJP-I, pembangunan Indonesia dititik beratkan pada pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada
sektor industri yang ditopang oleh
sektor pertanian. Ternyata paradigma
pembangunan tersebut berdampak
pada pondasi ekonomi yang rapuh,
karena penggerak ekonomi oleh
sektor industri tidak didukung oleh

kemampuan sumber daya dan penguasaan teknologi yang memadai.
Untuk pembangunan jangka panjang tahap kedua, paradigma tersebut
perlu diubah dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi untuk pemerataan yang ditopang oleh sektor pariwisata berbasis pedesaan dan pertanian.
Pembangunan pariwisata
alam berbasis pedesaan diharapkan
dapat memberikan dampak positif
terhadap pembangunan pedesaan an-

Kusmayadi: 100-114

101 

tara lain dengan (1) re-distribusi pendapatan dari kota ke desa, (2) reurbanisasi tenaga kerja produktif dan
(3) meningkatkan investasi di desa.
Dengan demikian, bagi Indonesia, seharusnya pedesaan merupakan
pusat pembangunan karena, pertama
bahwa kurang lebih 65 persen dari
penduduk berada di pedesaan sehingga apabila pembangunan nasional
bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka pembangunan tersebut harus melibatkan masyarakat
pedesaan.

Kedua, potensi sumber
daya alam sebagian besar terdapat di
pedesaan yang berupa lahan pertanian, sumber air, hutan, udara bersih dan tenaga kerja.
REALITAS SOSIAL MASYARAKAT 
PEDESAAN 
Selain potensi di atas, banyak
sekali permasalahan yang dihadapi
masyarakat di pedesaan, mereka yang
selamanya menjadi objek kebijakan
pembangunan, sangat minimum terhadap segala aspek kehidupan.
Saefudin (1992) menilai penyebab
kelemahan masyarakat di pedesaan
tersebut bersumber dari dalam mereka
sendiri (faktor internal) dan berasal
dari fihak luar (faktor external).
Faktor internal yang menyebabkan
kelemahan tersebut adalah:
1. Penyebab kultural. Secara kultural masyarakat lemah merasa tidak
berdaya, dan akhirnya pasrah terhadap segala keadaan, menerima


ISSN 1411-1527

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

102 

apa adanya, tak kuasa untuk
membela dan bergerak.
2. Faktor perpaduan antara internal
dan external menyebabkan tak
dimilikinya akses terhadap sumber
informasi,
keterampilan,
teknologi, permodalan, pasar dan
sumber fasilitas lainnya.
3. Faktor
external
umumnya
disebabkan
karena

faktor
struktural; adanya perilaku ketidak adilan dalam hal (Azis, 1992):
a. Proses pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan pembangunan antara
sektor pertanian (pedesaan)
dan sektor industri atau sektor
non pertanian lainnya.
b. Tidak adilnya penumpukan
modal, khususnya uang, karena sebagian dana tertarik ke
kota karena: lembaga-lembaga
perbankan
dikuasai
oleh
konglomerat yang berorientasi
kota, pengembangan industri
dan jasa lebih cepat mendatangkan keuntungan,
c. Masih terdapat kelemahan
kebijakan dalam pengembangan organisasi ekonomi
masyarakat;
d. Kurang terpadunya kebijakan
dalam birokarasi pemerintah

antara
sektor
pertanian,
perdagangan dan industri;
Menurut Koentjoroningrat adanya anggapan bahwa orang desa (baca:

ISSN 1411-1527

petani) mereka bekerja keras hanya
terbatas untuk makan dan memenuhi
kebutuhan hidup dirinya dan keluarga
dan orientasi para petani terbatas pada masa kini, orang hidup harus
selaras dengan alam.
Dalam hubungan dengan sesamanya petani
cenderung sama sehingga daya kompetitif diantara sesamanya cenderung
rendah.
Sebaliknya orang kota
beranggapan bahwa manusia bekerja
untuk
mendapat

kedudukan,
kekuasaan dan simbol-simbol lahiriah
dari kemakmuran. Orientasi lebih
ditentukan oleh masa lampau, terlalu
banyak menggantungkan nasib pada
orang lain dan cenderung menunggu
perintah dari atasan.
Etos kerja yang ada sangat rendah, mereka terperangkap di dalam
lingkaran
keterbelakangan.
Perangkap keterbelakangan seperti
dilukiskan Ramona (1976) sebagai
berikut:
1. Tingkat pendapatan rendah berakibat rendahnya gizi dan daya
tahan terhadap penyakit sehingga
produktivitas
rendah
dan
pengaruh pada sikap atau etos
kerja: malas, kurang bergairah untuk mengubah nasib, dan motivasi

kurang.
2. Rendahnya tingkat pendapatan
berakibat
tingkat
pendidikan
keahlian dan keterampilan rendah
sehingga produktivitas pun rendah.

Kusmayadi : 100-114

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

103 

3. Pendapatan rendah berakibat rendahnya kemampuan membayar
pajak (zakat, infak sodakoh) sehingga pendapatan masyarakat
atau negara rendah dan kurang
mampu membuka atau memperluas lapangan kerja, yang berarti
rendahnya produktivitas dan berakhir pada kemiskinan.


paradigma pembangunan yang menitikberatkan pada input pengetahuan
dan penguasaan teknologi bagi
masyarakat pedesaan.
Dimana
tujuan utamanya adalah (Wordl
Bank, 1997:4) perbaikan ekonomi,
pembangunan sosial dan pelestarian
serta perbaikan lingkungan hidup.

4. Rendahnya tingkat pendapatan
berakibat tabungan dan investasi
rendah sehingga kesempatan kerja
akan sempit dan tingkat produktivitas pun rendah: dana juga kurang, sehingga kemajuan inovasi,
invensi dan adaptasi teknologi,
penelitian dan pengembangan pun
rendah; akhirnya tingkat produktivitas untuk mampu mengisi
pasar yang bersaing dalam mutu
dan harga juga rendah.

PARIWISATA PEDESAAN 


5. Pendapatan yang rendah berakibat rendahnya daya beli masyarakat, sehingga pasar menjadi sepi
dan sempit.
6. Keterbelakangan dalam pengembangan teknologi berpengaruh
terhadap produktivitas dan kreativitas untuk berkembang maju
sehingga kurang mendorong semangat untuk meningkatkan
kualitas hidup.
Walaupun tidak sepenuhnya
benar, keenam kenyataan tersebut
masih diderita oleh kebanyakan
masyarakat pedesaan sampai saat ini.
Untuk membangun pedesaan agar
lebih maju, perlu diadakan perubahan

Kusmayadi: 100-114

Ditinjau
dari
sudut
kepariwisataan, desa merupakan asset
yang tak ternilai harganya. Sumber
daya desa di Indonesia memiliki unsur
keindahan
(natural-beauty),
keaslian (originality), kelangkaan (scarcity) dan keutuhan (wholesomeness). Di
samping itu, desa juga memiliki
keanekaragaman flora dan fauna,
agroekosistem dan gejala alam, adatistiadat yang dapat dijadikan sebagai
objek daya tarik wisata bila dikemas
secara profesional.
Keadaan yang seperti digambarkan di atas, merupakan keunggulan dan keandalan pariwisata Indonesia. Keunikan dan kekhasan senibudaya dan keadaan ekosistem desa
setempat merupakan arah selera
dunia masa kini. Oleh karena itu harus dilestarikan, dikembangkan, dipromosikan dengan penuh percaya
diri guna memperkokoh jati diri desa.
Namun,
sampai
saat
ini,
pengembangan desa yang diarahkan
menjadi daerah tujuan wisata masih
sangat sedikit. Hal ini disebabkan
antara lain oleh (1) adanya orientasi

ISSN 1411-1527

104 

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

pembangunan pariwisata yang masih
berpegang pada paradigma lama
kepariwisataan yaitu pariwisata untuk
kemewahan, hura-hura, massal dan
kesenangan belaka, (2) masih kurangnya perhatian pemerintah dan
masyarakat terhadap pembangunan
pariwisata berkelanjutan dan (3)
masih rendahnya peranan lembaga
pendidikan dan penelitian yang
mengembangkan desa dengan orientasi pariwisata.
Pendekatan
pembangunan
pedesaan yang hanya terbatas pada
produksi pertanian ternyata sampai
saat ini belum mencapai keadaan
yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan
dengan masih tingginya impor
produk-produk pertanian. Upaya lain
yang perlu dicoba adalah dengan
pendekatan pembangunan pertanian
berkelanjutan berbasiskan pariwisata
(rural tourism).
Banyak
negara
lain
yang
mengembangkan pariwisata pedesaan
antara lain negara Hungaria. Mencermin dari negara tersebut, rural tourism merupakan salah satu bagian dari
industri pariwisata. Padahal Hungaria suatu negara yang tidak memiliki
atraksi alami yang spektakuler, tanpa
pemandangan yang indah, gununggunung yang menjulang, hutan belantara ataupun binatang-binatang
langka. Namun, ragam budaya yang
atraktif dengan desa-desa kecil,
sungai-sungai dan danau, dipadukan
dengan keramahan masyarakat tradisional mampu memberikan tawaran
ISSN 1411-1527

yang menyenangkan bagi wisatawan
yang mencari kenyamanan dan hiburan dari suasana yang tenang. Pariwisata pedesaan sangat penting karena dapat memberikan suplai dan
kreasi yang lebih kompleks, dapat
menstimulasi pertumbuhan ekonomi
untuk meningkatkan viabilitas desa
yang berkembang dan untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk
setempat.
Indonesia dengan lebih kurang
400 etnis sangat potensial untuk
mengembangkan pariwisata semacam
demikian ditambah pula dengan
keanekaragaman sumberdaya hayati
dari kekayaan bawah laut, dalam
tanah (gua), sampai ke puncak
pegunungan. Namun yang menjadi
permasalahan adalah bagaimana cara
melakukannya? Bagaimana keberlanjutan tersebut dimonitor dan dipromosikan di daerah tujuan wisata?
SUSTAINABLE TOURISM DEVELOP‐
MENT 
Konsep mengenai sustainable development telah diperkenalkan oleh
World Commision on Environtment
and Development di Brundtland Report pada tahun 1987, yang mendefinisikannya sebagai "development that
meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs".
Pariwisata berkelanjutan memiliki definisi yang beragam (dan
seringkali diperdebatkan).
Sesuai

Kusmayadi : 100-114

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

105 

dengan definisi dari Federation of Nature and National Parks, pariwisata
yang berkelanjutan adalah "seluruh
bentuk dari pengembangan, pengelolaan
dan kegiatan pariwisata yang berpedoman
lingkungan, integritas sosial dan ekonomi,
alam yang tertata dengan baik serta
mengembangkan sumberdaya budaya
secara terus menerus." (FNNP, 1993).

kegiatan pariwisata.
Pertumbuhan
umum dari kesadaran lingkungan telah secara signifikan dikontribusikan
ke dalam trend ini.

Sedangkan Tourism Concern and
te World Wide Fund for Nature
mendefinisikan sebagai "operates within natural capacities for the regeneration
and future productivity of natural resources; recognises the contribution that
people and communities, custom and lifestyles, make to the tourism experience;
accepts that these people must have a equitable share in the economic benefits of tourism; and is guided by the wishes of local
people and communities in the host areas".

Cultural
sustainabulity
dalam
konteks ini mengasumsikan bahwa
kelompok mampu menyerap perilaku
budaya yang disebut "tourist culture"
dan "residual culture" yang dimiliki
oleh pengunjung, (Jafari 1987).

Meskipun definisi yang telah ada
membedakan fokus mereka atau tingkat elaborateness-nya, pesan utama
dari laporan ini lebih dan lebih
diterima oleh seluruh industri pariwisata di dunia ini. Bagaimanapun,
arti sustainability sangat kompleks dan
memiliki
banyak
ramifications
(Mowforth & Munt, 1998).
Ecologycal sustainability, yang berarti pembangunan pariwisata tidak
disebabkan oleh perubahan yang irreversible dalam suatu ekosistem yang
telah ada, dan menjadi dimensi yang
secara umum diterima sejak adanya
kebutuhan untuk melindungi sumberdaya alam dari dampak negatif

Kusmayadi: 100-114

Social sustainability sesuai dengan
kemampuan suatu kelompok untuk
menyerap wisatawan tanpa menimbulkan ketidakharmonisan hubungan sosial.

Aspek sustainability yang berbeda
sebaiknya tidak mempengaruhi, tetapi
harus dilihat sebagai hal yang samasama penting. Tingkat keuntungan
yang tinggi jangan dianggap sebagai
alat untuk menutupi kesalahan yang
telah dibuat untuk memperbaiki sumberdaya sosial dan budaya, tetapi
kelemahan ini jangan menjadikan
lingkungan yang kurang baik dimana
pertimbangan ekonomi jarang dilakukan dengan baik. Sustainable tourism harus mampu dilihat secara
ekonomis dan alami serta memiliki
sensitivitas budaya pada saat yang
bersamaan.
Akibat dari pengembangan pariwisata yang tidak tepat dalam peningkatan tekanan untuk mengatasi
perubahan negatif dalam hal destination's physical, serta karakteristik
ekonomi dan sosial. Untuk mengurangi dampak yang tidak diinginkan,

ISSN 1411-1527

106 

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

seorang pengambil keputusan harus
memperhatikan faktor-faktor yang
terjadi dalam proses. Dalam mengukur tujuan bahwa tujuan pribadi
adalah mewujudkan pengembangan
pariwisata yang sustainable, indikatorindikator
sustainability
biasanya
diterima sebagai salah satu alat yang
berguna.

katnya urbanisasi dan industrialisasi.
Suasana desa sangat dikagumi oleh
pembuat puisi dan para artis. Jaringan
transportasi yang baru dibuka untuk
menarik lebih banyak wisatawan datang ke luar kota. Namun, rural tourism dalam era ini berbeda: jumlah
wisatawan yang terlibat meningkat
secara signifikan dan pariwisata telah
berkembang di seluruh aspek.

INDIKATOR PENGEMBANGAN PA‐
RIWISATA BERKELANJUTAN 

Meskipun mudah mendefinisikan
rural tourism sebagai "pariwisata yang
terdapat/terjadi di pedesaan", definisi
ini belum mencakup kompleksitas
dari seluruh kegiatan, dan bentuk serta arti yang berbeda yang dikembangkan di beberapa negara. Berdasarkan definisi yang telah dikenal
secara luas "rural tourism” meliputi
kumpulan kegiatan, pelayanan, kenyamanan yang disediakan oleh para
petani dan masyarakat setempat untuk menarik kedatangan wisatawan
ke daerah mereka untuk meningkatkan pendapatan serta bisnisnya".
(Gannon, 1988 dalam Kloeze, 1994).
Bila konsep yang sudah meluas ini
diterima, maka rural tourism tidak
hanya mencakup lahan pertanian atau
agritourism, tetapi juga keindahan
alam yang lain seperti rumah-rumah
tradisional penduduk serta pelayanannya selain sarana akomodasi, perayaan-perayaan, festival, pembuatan
serta penjualan cinderamata dan
produk-produk pertanian, dsb.

Indikator merupakan alat untuk
mengukur informasi sehingga seorang
pengambil keputusan dapat mengurangi peluang terjadinya pengambilan
keputusan yang salah (WTO, 1996).
Dengan kata lain indikator merupakan kumpulan faktor-faktor yang
penting untuk membuat keputusan.
"Indikator-indikator merupakan alat
untuk mengelola saat ini dan sebagai
alat investasi di masa yang akan datang, sejak mereka mengurangi resiko
terjadinya kerusakan untuk basis
sumberdaya yang dimana industri
pariwisata berada".
Indikator pengembangan pariwisata berkelanjutan seperti pada
tabel 1.
KONSEP PARIWISATA PEDESAAN  
Pariwisata Pedesaan (Rural Tourism) merupakan fenomena yang baru
sekaligus lama pada saat yang bersamaan. Minat terhadap rekreasi di luar
kota berawal sejak abad ke 19 sebagai
reaksi terhadap tekanan mening-

ISSN 1411-1527

Kusmayadi : 100-114

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

107 

Tabel 1. Indikator Sustainable tourism development
Indikator
1. Tekanan
2. Tekanan Sosial
3. Daya tarik
4. Proses Perencanaan
5. Proses Perencanaan
Pariwisata
6. Lahan perlindungan

7. Keterlibatan
masyarakat lokal
8. Kontrol masyarakat
local
9. Tenaga kerja
10. Kontribusi pariwisata
11. Keragaman
ekonomi
12. Konsumsi energi
13. Pengelolaan yang
sia-sia
14. Pendidikan & kursus

15. Kepuasan masyarakat
16. Kepuasan
wisatawan

Alat ukur
Jumlah pengunjung (per tahun/per musim)
Rasio jumlah pengunjung dengan jumlah penduduk (per tahun/musim)
Daftar sumberdaya alam dan budaya
Tingkat daya tarik terhadap sumberdaya
Keberadaan rencana lokal/regional untuk pembangunan
Keberadaan rencana lokal/regional untuk pengembangan pariwisata
Kategori perlindungan
Persentase lahan yang dilindungi dibandingkan dengan seluruh lahan yang ada
Rasio jumlah masyarakat yang memiliki bisnis pariwisata
dengan jumlah seluruh bisnis pariwisata
Keberadaan ukuran umum untuk memastikan kontrol
masyarakat setempat dalam rencana pengembangan dan implementasinya.
Jumlah pekerjaan yang diciptakan oleh sektor pariwisata
Rasio jumlah pekerja setempat dengan jumlah tamu
Proporsi jumlah pajak total yang digenerasikan hanya oleh
sektor pariwisata
Pembagian kegiatan ekonomi yang berbeda dalam pendapatan
pajak total
Rasio sumberdaya energi
Persentase alatalat rumahtangga yang digunalan
Persentase buangan yang memerlukan tindakan lanjut
persentase masyarakat lokal yang terlibat dalam sektor pariwisata dengan pendidikan dan kursus yang profesional
distribusi tenaga kerja
persentase tenaga kerja yang bergerak di sektor pariwisata
Seluruh persepsi yang muncul sebagai dampak dari kegiatan
pariwisata di dalam kehidupan masyarakat setempat.
Seluruh kepuasan yang dirasakan wisatawan menganai kualitas yang diberikan
Persentase perubahan dari tingkat kunjungan yang kedua

Pariwisata  Pedesaan  di  Negara‐
negara Barat 

Kusmayadi: 100-114

Rural tourism memiliki pengertian
yang berbeda di setiap negara. Di
Finlandia misalnya biasa diartikan
ISSN 1411-1527

108 

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

sebagai cottages yang disewakan
kepada pengunjung atau pelayanan
makanan yang tersedia di luar kota.
Di Hongaria, disebut dengan "village
tourism",
yang
mengindikasikan
bahwa hanya kegiatan dan pelayanan
yang disediakan di village yang termasuk dalam pariwisata jenis ini. Di
Slovenia, komponen yang paling
penting dalam rural tourism adalah
keluarga petani, dimana tamu tinggal
bersama dengan mereka atau di
penginapan, tetapi datang ke pertanian untuk memenuhi kebutuhan
makannya (Verbole, 1995). Di Netherland,
pariwisata
ini
berarti
melakukan kemping di lahan pertanian, jalan-jalan atau naik kuda
mengelilingi seluruh lahan pertanian
(Peters et al, 1994). Di Greece, yang
menjadi bagian paling penting adalah
sarana akomodasi yang tradisional
dengan
masakan
tradisional.
Kegiatan lain yang menunjang adalah-walaupun masih dalam skala yang
kecil-termasuk restoran dan fasilitas
hiburan atau kegiatan rekreasi
(Turner, 1993).
Rural tourism merupakan salah satu prioritas utama dari pengembangan
pariwisata di negara-negara Eropa.
Keinginan pasar terhadap liburan di
pedesaan ini tumbuh seiring dengan
perjalanan menuju masa depan yang
tidak pasti, terutama karena perubahan di bidang pertanian, atau
menurunnya standar hidup masyarakat. Rural tourism merupakan alat
yang tepat untuk merevitalisasi

ISSN 1411-1527

penyempitan lahan pertanian serta
untuk memastikan keberlanjutan di
masa depan dengan kemampuan
menciptakan lapangan pekerjaan,
kemampuan menampung tenaga kerja, meningkatnya keragaman pekerjaan, kemampuan melayani, lahan
konservasi serta produsen cinderamata sebagai daya tarik bagi wisatawan.
Rural tourism biasanya memberikan
insentif untuk pengembangan sarana
infrastruktur yang dikontribusikan
untuk
pengembangan
kegiatan
perekonomian lainnya. Keuntungan
yang spesifik dari pengembangan pariwisata ini dapat meningkatkan peluang
hubungan
interaksi
bagi
masyarakat setempat yang hidupnya
terisolasi di dalam komunitas pertanian (swarbrooke, 1996).
Pariwisata Pedesaan di Indonesia 
Kegagalan pembangunan pariwisata Indonesia saat ini antara lain
belum adanya perencanaan yang
pengembangan
pariwisata
yang
terpadu, dan menyeluruh untuk skala
nasional. Msih belum adanya kesepahaman antar pengambil keputusan
menyebabkan
berbenturannya
berbagai kepentingan.
Sehingga
pembangunan
pedesaan
lebih
mengarah pada eksploitasi sumber
daya pedesaan untuk kepentingan
sepihak.
Pengaruh yang sangat besar adalah adanya perubahan nuansa menjadi tidak asli lagi karena:

Kusmayadi : 100-114

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

a. berkurangnya bahkan hilangnya
keaslian pedesaan,
b. berubahnya budaya masyarakat
lokal mengikuti kebiasaan dan
atau budaya pendatang/wisatawan;
Wisata desa yang dikembangkan
akhir-akhir ini belum ditanggapi
secara luas oleh masyarakat dan industri secara luas, karena salah satu
kendalanya
adalah
kemauan
masyarakat tuan rumah untuk menjadi kreatif dan inovatif (Lankford,
1993).
PARIWISATA PEDESAAN DAN PER‐
TANIAN  BERKELANJUTAN  
Rural tourism seringkali dipandang sebagai intrinsically sustainable,
untuk menarik sejumlah pengunjung,
yang tidak memerlukan pengembangan
sarana
infratruktur,
wisatawan biasanya tertarik pada budaya serta tradisi masyarakat setempat. Salah satu daya tarik dari berlibur
di desa adalah interaksi antara sesama
sehingga baik pribumi dan tamu
dapat membagi ide serta pengetahuan
yang dimiliki yang tentunya dapat
meningkatkan "industry if peace" sebagai salah satu hubungan saling
menguntungkan.
Namun bila pengembangan rural
tourism dianalisis lebih dalam lagi
akan muncul keraguan sehubungan
intrinsic sustainabily tadi. Isu yang
paling signifikan yang harus dicari
adalah keuntungan dari pelayanan

Kusmayadi: 100-114

109 

yang diberikan karena pariwisata bersifat musiman, tingkat okupansi yang
rendah dan investasi yang diperlukan
untuk menciptakan atau mengembangkan
fasilitas
yang
akan
digunakan oleh para wisatawan.
Melihat pada sustainability lingkungan, pengalaman mengajarkan
bahwa mempertimbangkan investasi
diperlukan untuk pengelolaan lingkungan dan dapat menjadikan rural
tourism cocok dalam segala suasana.
Para wisatawan biasanya sangat tertarik dengan industri yang sensitif untuk kepentingan manusia. Sebagai
tambahan, pengelolaan lahan pertanian tidak selalu dapat memenuhi
keinginan wisatawan berdasarkan
imej "traditional rural" yang dimunculkan dalam literatur atau lembaran
promosi.
Pengembangan pariwisata juga
dipengaruhi oleh karakteristik sosial
budaya, baik dalam hal positif dan
negativ (Keane & Quinn, 1990; Peters
et al, 1994). Sebagai dampak positif
hal-hal berikut dapat dijelaskan: rural
tourism biasanya menggunakan sumberdaya yang tersedia (seperti lahan,
petani, daya tarik alam serta budaya)
yang membawa perubahan sosial
ekonomi, melindungi dari kepunahan
serta konservasi lingkungan pedesaan
yang menyediakan lebih banyak kontak sosial masyarakat setempat dan
meningkatkan kesempatan bagi mereka untuk belajar tentang budaya lain.
Sedangkan dampak negatifnya, pariwisata di lahan pedesaan mengubah
ISSN 1411-1527

110 

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

atau merusak lahan pedesaan,
menurunkan nilai budaya, merubah
stratifikasi sosial (juga dapat diinterpretasikan sebagai perubahan positif),
memberikan tekanan tambahan pada
masyarakat setempat, mengubah gaya
hidup, menekan privacy mereka dan
menyerap perilaku wisatawan yang
datang.
Di dalam mengembangkan pariwisata pedesaan dan pertanian secara
berkelanjutan, hendaknya memenuhi
tiga prinsip dasar pembangunan yaitu
(1) holistic approach, (2) futurity dan (3)
equity.
Pendekatan
pembangunan
pedesaan secara holistic mengandung
perspektif di mana pembangunan
berkelanjutan hanya akan dapat dicapai manakala pembangunannya
memperhatikan aspek politik global,
sosio-ekonomi, dan aspek lingkungan.
Lane (1994) menggambarkan bahwa
pembangunan berkelanjutan sebagai
wujud keseimbangan antara tiga
komponen yaitu penduduk local dan
ekosistemnya, tamu atau wisatawan,
dan industri pariwisata.
Pedekatan futurity mensiratkan
bahwa dalam pembangunan pariwisata pedesaan berkelanjutan hendaknya mempertimbangkan kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
Kebijakan pembangunan pariwisata pedesaan yang berkelanjutan
juga harus mengandung prinsip persamaan di mana keberadaan tamu,

ISSN 1411-1527

masyarakat local dan semua yang terlibat
di
alam
kepariwisataaan
mempunyai kedudukan dan peluang
yang sama.
GERAK BANGSA: PEMBANGUNAN 
PERTANIAN BERNUANSA PARI‐
WISATA 
Konsep strategi pengembangan
pariwisata dan pertanian pedesaan
berkelanjutan semuanya bermuara
pada hasil akhir yaitu pemberdayaan
masyarakat pedesaan. Berbagai pendekatan telah diterapkan untuk mencapai sasaran, ada yang mengadakan
pendekatan melalui kredit pedesaan
atau program- program pedesaan
lainnya.
Pendekatan kelompok dalam
meningkatkan partisipasinya terhadap
pembangunan merupakan kata kunci
di dalam program. Program pengembangan harus "membangun pedesaan
bertolak dan akar budaya desa".
Yang menjadi akar budaya desa adalah ciri-ciri kebersamaan, kekeluargaan dan kegotong-royongan. Seluruh program dirangcang melalui
pendekatan dari bawah botton-up approach dengan lima gerakan:
1. Gerakan Produktivisasi sumber
daya alam dan manusia;
2. Gerakan Kaderisasi masyarakat
desa
3. Gerakan Reurbanisasi masyarakat
desa
4. Gerakan Industrialisasi pedesaan

Kusmayadi : 100-114

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

5. Gerakan Informatisasi pedesaan.
Gerakan  Produktivisasi  Sumberdaya 
Alam dan Manusia 
Pariwisata pedesaan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan lahannya, karena dengan lahan yang
tandus sebagai ciri dari kerusakan
alam tidak ada daya tarik bagi pariwisata desa.
Akhir-akhir ini, lahan yang terbentang di pedesaan baik lahan basah
-pesawahan- maupun lahan kering
atau tegalan, umumnya telah mengalami penurunan daya dukungnya
terhadap produksi pertanian. Untuk
meningkatkan daya dukungnya terhadap produksi pertanian tersebut
diperlukan
usaha-usaha
yang
mengarah kepada perbaikan struktur
dan tekstur, serta mengembalikan topsoil tanah.
Namun perlu di sadari untuk
mengolah lahan yang sudah mulai
mengalami keadaan kritis, diperlukan
sumber daya manusia yang produktif,
kreatif, edukatif, kerja keras dan
dinamis.
Dalam usaha pengembangan sumber daya alam dilakukan
usaha bersama untuk mempertahankan/konservasi agroekosistem yang
telah menurun daya dukungnya
dengan jalan; (1) gerakan konservasi
lahan kering, (2) Integrated Farming
dan (3) pola pertanian terpadu yang
berwawasan lingkungan.
Dukungan sumber daya manusia
yang kreatif artinya mampu mencip-

Kusmayadi: 100-114

111 

takan
terobosan-terobosan
baru
dengan multi-metode dalam upaya
perbaikan lahan pertanian.
Gerakan Kaderisasi Masyarakat Desa 
Gerakan ini bertujuan untuk
meningkatkan input pengetahuan
wawasan dan keterampilan masyarakat petani pedesaan dengan muatan
dan kesadaran pentingnya pariwisata
dalam pembangunan desanya, selain
tujuan diatas, gerakan kaderisasi
petani
yang
ditunjukan
untuk
mendapatkan "leader" penggerak desa
yang berasal dari kalangan masyarakat desa sendiri.
Keunggulan utama leader dari
penduduk local adalah mengetahui
keunggulan dan kelemahan masyarakat itu sendiri secara mendalam.
Gerakan kaderisasi petani desa dilakukan dengan pelatihan, kursus reguler partisipatif yang diikuti kegiatan
nyata (follow up).
Hasil akhir dari program gerakan
kaderisasi desa, bahwa masyarakat
desa mampu menjadi pembina dilingkungan mereka sendiri dan maupun
meningkatkan leadership dan diharapkan secara "endemi" mampu
menularkan atau bahkan membina
desa/kelompok binaan lainnya.
Gerakan Reurbanisasi 
Masyarakat desa yang telah
mendapat pendidikan di perkotaan
umumnya mereka terus mencari
pekerjaan di kota. Padahal yang di-

ISSN 1411-1527

112 

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

harapkan adalah mereka yang
menamatkan pendidikan di kota akan
menjadi putra daerah yang membangun daerahnya sendiri, karena
mereka lebih mengetahui aspek sosiokultur dan root-culture dari daerah tersebut.
Usaha ke arah ini dapat dilakukan dengan membuka kesempatan
lapangan kerja di pedesaan sebagai
rangsangan untuk kembali. Diharapkan pengalaman dan ilmu yang diperoleh selama di bangku pendidikan
dapat dimanfaatkan untuk membangun daerahnya. Ini merupakan
salah satu tujuan gerakan Reurbanisasi.
Gerakan Industrialisasi Pedesaan 
Industrialisasi pedesaan dengan
nuansa pariwisata, akan memberikan
effek ganda yang sangat besar. Potensi desa sebagai sumber bahan baku
pangan dan serat akan mengalami
ledakan produksi (overproduct) komoditas yang mempunyai keunggulan
komparatif pada agroekosistemnya.
Maka untuk mengatasi ledakan
produksi tersebut diperlukan usaha
penanganan hasil panen dengan pengolahan atau dijadikan produk lain.
Usaha ini akan dapat dilakukan jika
dan hanyajika dilakukan usaha industrialisasi pedesaan. Industri yang paling tepat dilakukan di pedesaan adalah jenis Agroindustri.
Dalam
usaha
industrialisasi
pedesaan yang ideal menurut Simatu-

ISSN 1411-1527

pang (1991) harus memiliki syaratsyarat sbb:
1. Bernilai tambah besar
2. mempunyai kaitan input out-put
yang tinggi dengan industri- industri lain
3. nilai tambah yang dihasilkan harus diterima oleh penduduk desa
4. padat tenaga kerja
5. produk yang dikembangkan tersebut dikonsumsi oleh desa dengan
elastisitas permintaan yang tinggi.
Gerakan Informatisasi Pedesaan 
Pariwisata adalah industri global,
oleh karena itu, informasi masuk
pedesaan mutlak diperlukan untuk
meningkatkan akselerasi pengembangan desa tersebut.
Tujuan utama gerakan ini adalah
memberikan kesempatan kepada
masyarakat desa untuk memiliki
akses terhadap informasi baik informasi teknologi atau informasi pariwisata dan informasi lainnya.
Gerakan ini harus ditunjang
dengan kreativitas membaca dan
menulis dari penduduk desa tersebut.
Usaha-usaha yang dapat dilaksanakan
adalah dengan mengadakan buletin
desa, majalah pedesaan atau koran
masuk desa bahkan bila perlu radio
pedesaan.
PENUTUP 
Pembangunan pariwisata pedesaan yang berbasiskan pembangunan
Kusmayadi : 100-114

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

113 

pertanian berkelanjutan telah memberikan dampak positif dalam pembangunan pedesaan, seperti telah
dikembangkan di negara-negara Barat.

te Kloeze, J.W. (1990): Farm Camping in the Netherlands, Paper
given in the Institute of Sociology
International Conference "Bulgarian Agriculture in the Future", Sofia

Bercermin dari itu, maka Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan model tersebut mengingat
Indonesia sangat kaya akan sumber
daya pariwisata terutama di pedesaan.

Miller, G. (1998): Ending the Name
Game: Criteria for Tourism to be
Sustainable, Paper given in the
7th International Symposium on Society and Resource Management,
University
of
MissouriColumbia, Columbia, Missouri

Pembangunan pariwisata yang
berbasiskan pertanian berkelanjutan
hendaknya menjadi arah pengembangan pariwisata Indonesia sekarang
dan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA 
Federation of Nature and National
Parks (1993): Loving Them to
Death ? Sustainable Tourism in
Europe's Nature and National
Parks, Grafenau.
Hall, C.M and Weiler, B. (1992): Introduction. What's Special about
Special Interest Tourism?. In B.
Weiler and C.M. Hall (eds.): Special Interest Tourism, Belhaven
Press, London, pp.1-14
Jafari, J. (1987): Tourism Models:
The Sociocultural Aspects, Tourism Management 8(2), 151-159
Keane, M.J. and J.Quinn (1990): Rural Development and Rural Tourism, Social Sciences Research
Centre, University College Galway, Galway

Kusmayadi: 100-114

Mowforth, M. and Munt, I. (1998):
Tourism and Sustainability. New
Tourism in the Third World,
Routledge, London
Murphy, P.E. (1994): Tourism and
Sustainable Development, In
W.F. Theobald (ed.): Global Tourism: The Next Decade, Butterworth-Heinemann Ltd, Oxford,
274-290
Saefudin, AM. (1992). Realitas Sosial
Kaum dhuafa Pedesaan. Makalah
diskusi tidak dipublikasikan.
Swarbrooke, J. (1996): Towards the
Development of Sustainable Rural Tourism in Eastern Europe,
In G. Richards (ed.): Tourism in
Central and Eastern Europe: Educating for Quality, ATLAS, Tilburg,
137-163
Tourism Concern and WWF (1992):
Beyond the Green Horizon. A
Discussion Paper on Principles
for Sustainable Tourism, WWF
UK, Godalming

ISSN 1411-1527

114 

J. Ilm. Pariwisata Vol. 5, No. 1, Agustus 2000

Unwin, T. (1996): Tourist Development in Estonia, Tourism Management, 17(4), 265-276
Wallace, J.M.T. (1997): Putting "Culture" into Sustainable Tourism:
Negotiating Tourism at Lake Balaton, Hungary, Department of
Sociology
&
Anthropology,
North Carolina State University,
North Carolina
Wight, P. (1993): Sustainable Ecotourism: Balancing Economic,
Environmental and Social Goals
Within an Ethical Framework,
The Journal of Tourism Studies,
4(2), 54-66
World Commission on Environment
and Development (1987): Our
Common Future, Oxford University, Oxford

ISSN 1411-1527

WTO (1996): What Tourism Managers Need to Know, A Practical
Guide to the Development and
Use of Indicators of Sustainable
Tourism, WTO, Madrid
WTO (1998): Nyertesek és vesztesek
a turizmusban, TTG Hungary 9
(5), 9
WTTC (1996b): The 1996/7 WTTC
Travel & Tourism Report,
WTTC, London
Yale, P. (1991): Countryside Attractions, In P.Yale: From Tourist Attractions to Heritage Tourism, ELM
Publications, Kings Ripton, 157177
***ksm**

Kusmayadi : 100-114