ORMAS MILISI ELEKTORASI LOKAL BALI DAN M

ORMAS MILISI, ELEKTORASI LOKAL BALI
DAN MASA DEPAN DEMOKRASI
Nazrina Zuryani1, Tedi Erviantono2 dan Muhammad Ali Azhar2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana, Sudirman Campus,
Denpasar, BALI
Department of Sociology1 and Department of Political Sciences2
{nazrinazuryani@unud.ac.id} {erviantono2@unud.ac.id} dan {aliazhar23mr@yahoo.co.id}
ABSTRAK

Peran milisi di tingkat lokal memiliki kontribusi penting dalam penguatan demokrasi atau
justru sebaiknya melemahkan demokrasi. Kontestasi yang terjadi akan dilihat melalui studi
perilaku elektoral yang ditampilkan dalam masa pilkada atau pasca pilkada serta peristiwa
tertentu yang patut dicatat. Fenomena munculnya milisi dan bagaimana mereka berkontribusi
dalam mengambil manfaat dalam berjalannya demokrasi sudah banyak dilakukan. Kajian tim
peneliti memperhatikan sisi institusionalism choice theory sebagaimana milisi menggunakan
kalkulasi untung rugi berdasarkan benefit yang kemudian diakomodasi menjadi struktur
bagian dalam birokrasi. Kajian utama Ormas Milisi lokal Bali ini memiliki perbedaan dengan
daerah lain misalnya FPI dan Forum Betawi Rembuk di Jakarta karena tulisan ini juga akan
mengkaji pada sisi genealogi internal milisi dan bagaimana mereka menyikapi demokrasi.
Proses premanisme yang sedang dalam posisi tiarap di Bali sejak tahun 2016 menunjukkan
sudah tidak ada lagi kata ‘preman narsis’ yaitu foto figur orang kuat lokal yang dipajang di

Baliho yang marak di kota/kabupaten di Bali sebagai sarana kampanye. Temuan riset dengan
jenis kualitatif deskriptif analitis ini lebih mengutamakan strategi observasi dan wawancara
mendalam yang dilakukan oleh tim penulis selama rentang tahun 2016-2017. Data penelitian
menunjukkan bahwa kelompok-kelompok milisi di Bali ternyata justru memiliki performa
yang cukup menarik yang belum terpotret oleh kajian-kajian sebelumnya. Hal ini adalah
munculnya fenomena mimikri yaitu fenomena kemunculan ormas milisi baru yang tidak lain
adalah pecahan dari induk ormas milisi yang sudah ada sebelumnya. Ormas milisi baru ini
terkadang hadir mengadopsi sistem nilai yang sudah ada sebelumnya atau justru sama sekali
baru termasuk dalam orientasi dukungan politiknya dalam elektorasi Pemilukada atau
Pilgub. Perilaku Ormas Milisi di Bali ini berpengaruh pada masa depan demokrasi apa bila
hukum positif Undang-Undang Ormas tidak mengakomodasi budaya setempat dan lokalitas
yang laten.
Kata-kata kunci : kelompok milisi, kontestasi, elektorasi lokal, dan pemilu

A. Latar Belakang
Tulisan ini mengkaji bagaimana peran Milisi di tingkat lokal wilayah Bali memiliki
kontribusi penting dalam penguatan demokrasi atau justru sebaiknya melemahkan demokrasi setelah
dua dekade reformasi Indonesia. Kontestasi ini akan dilihat melalui peran Ormas Milisi dalam proses
elektorasi maupun posisi tawar dengan lingkar kekuasaan formal. Fenomena munculnya Milisi dan
bagaimana mereka berkontribusi dalam mengambil manfaat dalam berjalannya demokrasi sudah

banyak dilakukan. Beberapa kajian Bakker (2016) di Sudan Selatan dan Nairobi terkait kelompok
Milisi yang menggunakan basis sekuritisasinya guna mengkonstruksi ancaman diskursif sebagai
otoritas legitimitatif bagi kelompok kepentingan politik tertentu dapat dijadikan rujukan.
Bakker dalam tulisan tersebut memberikan model bagaimana peran Milisi menegosiasikan
keuntungan yang diperoleh melalui dukungan kepada pemilik hard power (fisik kekuasaan) termasuk
penyertaan tindakan konsesi lisensi di dalamnya. Milisi pada pengertian tulisan ini, mengarah pada

organisasi masyarakat (Ormas) yang tunduk di bawah regulasi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang Undang No 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Hanya saja,
Ormas di Bali menjalankan salah satu tugas pokok fungsinya adalah sebagai penjaga keamanan dan
ketertiban di kawasan pariwisata dan hiburan, sehingga kerap diidentikan sebagai Milisi.
Pada kajian Milisi di Indonesia, beberapa penulis seperti Ian Wilson yang menunjukkan
hadirnya kelompok-kelompok militer sipil (Milisi) lumrah terjadi pada realitas kehidupan sosial
politik masyarakat Indonesia pasca orde baru. Ian Wilson (2015) mengkaji bagaimana strategi dan
taktik Forum Betawi Rempug (FBR) dalam melakukan lobby sekaligus kelompok penekan di dunia
bisnis maupun politik di tingkat lokal Jakarta. Khusus di Bali, kajian Milisi dilakukan secara sporadic
(Suryawan, 2012; Nordholt, 2010; Alit & Azhar, 2017 dan Azhar & Mastini, 2016). Sementara
tulisan ini memperhatikan sisi institusionalism choice theory dalam arti bagaimana Milisi
menggunakan kalkulasi untung rugi berdasarkan benefit yang kemudian diakmodasi menjadi struktur
yang menjadi penyokong pendulangan suara dalam elekotorasi lokal bahkan menjadi pintu masuk

dalam lingkaran birokrasi.
Tulisan ini akan mengkaji hampir sama dengan tulisan diatas, yaitu Milisi lokal di Bali
dengan perbedaan ruang kajian pada sisi genealogi internal Milisi dan bagaimana mereka menyikapi
demokrasi. Kehadiran Milisi adalah hal lumrah dalam sistem politik. Hal ini karena golongan ini
merupakan pihak yang tidak masuk dalam lingkar kekuasaan formal, bisa jadi aktor atau kelompok
yang tersisih (tidak unggul) dalam berlangsungnya proses elektorasi di negara ataupun lokalitas
bersangkutan. Pada tataran teoritik, seperti pada teori sistem Easton (Haryanto, 1989), idealnya
kelompok Milisi seharusnya bisa menjelma pada dua kemungkinan yaitu menjadi kelompok
pendukung atau kelompok penekan dalam proses lahirnya kebijakan yang dihasilkan kekuatan
kekuasaan formal.
Riset kualitatif ini menggunakan strategi observasi dengan teknik wawancara yang dilakukan
oleh tim penulis selama rentang 2016-2017, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Milisi di Bali
ternyata justru memiliki performa yang tidak jauh berbeda dengan kajian-kajian yang sudah ada
sebelumnya. Hanya saja ada hal yang cukup menarik dimana belum terpotret oleh kajian-kajian
sebelumnya. Munculnya fenomena mimikri yaitu fenomena kemunculan Ormas Milisi baru yang
tidak lain adalah pecahan dari induk Ormas Milisi yang sudah ada sebelumnya. Ormas Milisi baru ini
terkadang hadir mengadopsi sistem nilai yang sudah ada sebelumnya atau justru sama sekali baru
termasuk dalam orientasi dukungan politiknya.
Proses inilah yang disebut sebagai mimikri, pemaknaan yang dipinjam dalam prespektif teori
sociologi institusionalism. Hal yang dikedepankan pada perspektif ini adalah konsep kepantasan

dimana organisasi cenderung mengimitasi organisasi lain yang dianggap lebih superior atau lebih
sukses (Scott dalam Kurniawan, 2009:23)1
B. Proses Elektoral
Ruang demokrasi di Indonesia semakin semarak dengan hadirnya infrastruktur politik baru
dalam Pemilu. Hal itu ditandai dengan munculnya perilaku kontestasi Milisi/Ormas dalam Pemilu.
Infrastruktur politik baru ini barangkali sebelumnya tidak pernah ditemukan. Bahkan Easton (1955)
sendiri dalam general theory system tidak pernah membayangkan hadirnya lembaga infrastruktur
politik ini kedalam mekanisme sistem politik manapun. Lembaga politik atau infrastruktur politik
baru itu atau yang sering dikenal dengan istilah Milisi atau Ormas sekarang kerap muncul dalam pesta
demokrasi di negeri ini.
Dalam kajian ilmu politik munculnya perilaku Milisi atau Ormas dalam Pemilu merupakan
fenomena baru. Karena merujuk pada infrastruktur politik sebagaimana Easton maksudkan perilaku
pilih memilih Milisi atau Ormas hanya bisa dilakukan dengan melakukan afiliasi politik dengan partai
politik dan kelompok (kepentingan dan penekan). Dengan kata lain secara normatif keikut sertaan
Milisi atau Ormas kedalam proses politik hanya dapat dikenali melalui lembaga-lembaga demokrasi
seperti partai politik atau kelompok afiliatif kepentingan dan penekan.
1 Kurniawan, Nanang Indra. Globalisasi dan Negara Kesejahteraan. Perspektif Institusionalisme. Lab. Jurusan
Ilmu Pemerintahan UGM. : Yogyakarta

Namun, munculnya perilaku elektoral Milisi dewasa ini tidak demikian yang terjadi, saat ini

Milisi telah secara terang-terangan beraksi di lapangan melalui upaya penggiringan massa pada waktu
masa kampanye untuk mendukung calon yang diusungnya dalam Pemilu dan Pilkada.
Kampanye politik yang dilakukan oleh salah satu calon Bupati yang terjadi beberapa waktu
lalu di Kabupaten Badung dapat dikatakan sebagai perilaku elektoral Milisi yang diperlihatkan oleh
Ormas tertentu yang ada di Provinsi Bali. Milisi atau Ormas tersebut bisa melakukan apa saja
termasuk malakukan teror terhadap pemilih hanya untuk memperlihatkan kepada loyalitas pada salah
satu calon2.
Lewat tulisan singkat ini beberapa pertanyaan yang diajukan, pertama bagaimana perilaku
elektoral Milisi atau Ormas-Ormas di Bali dalam Pemilu? Kedua, apakah ada perbedaan perilaku
kelompok-kelompok Milisi di Bali dengan daerah lain di Indonesia? Ketiga, apakah dalam era
institusionalisasi Pemilu sekarang ini, perilaku elektoral dari Ormas atau Milisi di Bali bisa
memperkuat atau memperlemah demokrasi yang dibangun selama ini.
1. Menurunnya Pamor Partai Politik
Munculnya perilaku ‘unjuk taring’ Milisi dalam Pilkada ini sebenarnya tidak dapat dihindari
berasal dari menurunnya pamor partai politik. Sebelumnya juga pernah kita menyaksikan bagaimana
relawan bisa menjadi saluran alternatif dalam demokrasi tidak lain karena menurunya pamor partai
politik dalam Pemilu.
Pamor partai politik yang semakin buram ini tidak bisa dilepaskan karena menurunnya peran
ideologi parpol saat ini dalam menciptakan calon-calon pemimpin. Fenomena ini kemudian
memunculkan kekuatan alternatif baru yang ada sekarang dikenal dengan munculnya kekuatan sosok

dalam Pemilu. Sosok lebih mengungguli kekuatan partai politik, dari pada partai politik itu sebagai
institusi dalam negara demokrasi.
Dengan menggunakan istilah figur dari munculnya sosok dalam Pemilu, Yulima (2015)
menyatakan alasan bahwa dengan kepopuleran dan pencitraanya figur menjadi sangat pengaruh pada
Pemilu. Dengan popularitas seorang figur masyarakat bisa menentukan keterpilihan seseorang, dan
elektabilitas seorang figur membantu calon legislatif untuk memenangkan perolehan suara dalam
Pemilu3.
Alasan ini yang kini sangat berpengaruh mengapa Ormas atau Milisi menjadi begitu penting
dalam Pemilu, karena Milisi atau Ormas melihat munculnya kekuatan sosok dalam Pemilu sekarang
menjadi peluang kemunculan kader calon legislator dari kandidat-kandidat mereka dalam pemilihan
umum. Figur personal atau profil per-orangan dapat menempatkan posisi sangat sentral dalam
pandangan Ormas atau Milisi karena rujukan pemilih dalam Pemilu bukan lagi partai politik akan
tetapi pilihan mereka tertuju pada nama calon.
2. Kuasa Jalanan Milisi di Indonesia
Dalam sejarah perjalanan panjang Milisi di Indonesia terpetakan menjadi dua tahapan perilaku
Milisi dalam politik demokrasi. Tahapan pertama perilaku Milisi yang dilakukan diluar masa Pemilu
dan Pilkada, dalam kajian ini perilaku mereka ditampakan sebagai wujud eksistensi mereka dalam
lanskap politik.
Salah satu bingkai perspektif teori analisis yang paling mendekati perilaku Milisi pada tahap ini
adalah

mempertontonkan
aksi
kekerasan
kelompok
ini
sebagai
aksi vigilante atau vigilantism. Vigilantism adalah praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok orang untuk rnengontrol perilaku warga yang menyimpang di luar jalur hukum4.
Dalam
perkembangannya vigilantism didefinisikan
dengan
mengambil
beberapa
ukuran: pertama rnerupakan sebuah fenomena kekerasan; kedua, vigilantism bangkit berlandaskan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam kondisi lemahnya sistem
2 Bali Pos, Badung Merah
3 Faktor Figur Dalam Keterpilihan Anggota DPRD Studi Kasus: Keterpilihan Anggota DPRD Dari Partai Gerindra
Kabupaten Klungkung Pada Pemilu 2014. Skripsi belum terpublikasikan
4 Sjafri Sairin dan Irwan Abdullah, artikel “Tatanan Sosial: Sebuah Usulan Kerangka Analisis Kekerasan Dari
Kasus Amerika, Afrika, Dan Indonesia”. Jurnal Ilmiah Humaniora Volume 17, No. 1, Februari 2005


pemberlakuan hukum; dan ketiga, sifat masyarakat yang otonom dan merasa bertanggung jawab atas
penegakan hukum maupun tatanan sosial yang telah ada.
Selain itu, diasumsikan bahwa vigilantism : pertama, kegiatan ini pada dasarnya akan memihak
dan membela kepentingan dan tatanan sosial yang telah terbentuk (agama, budaya, adat- sosial, kasta,
ekonomi dan politik), vigilante ada bukan untuk membangun kepentingan dan tatanan sosial yang
revolusioner; dan kedua, kegiatan ini akan memiliki sebuah dilema yang self-contradiction, yaitu
dalam kegiatan para vigilante untuk menegakkan hukum akan bertentangan atau melanggar juga
hukum yang ingin mereka bela5.
Ciri selajutnya dari vigilantism atau kekerasan vigilante, mereka selalu melakukan aksi main
hakim sendiri, melakukan aksi kekerasan pada pihak yang mereka anggap melanggar hukum dan
nilai-nilai moralitas publik versi mereka, nilai-nilai kultural (agama, sosial, politik dan budaya) yang
dianggap sudah mapan. Aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan sudah jelas melewati batas
ambang, seolah menjadi aparat yang memiliki wewenang.
Tahapan kedua, adalah perilaku Milisi yang dilakukan dalam masa pemilihan. Dalam pandangan
yang sama Jefrey dan Ihsan Ali Fauzi (2016), Milisi marak dalam politik demokrasi. Kajian ini
menurut keduanya berawal dari perilaku Milisi dalam Pilkada dapat diredam oleh logika persaingan
sesama mereka dengan calon kandidat6.
Dalam bahasanya yang lain menurut Jefrey dan Fauzi (2016) dikenal dengan cairnya aliansi
politik karena perebutan patronase. Meski banyak kelompok Milisi berawal dari masa Orde Baru,

orientasi mereka dalam politik demokrasi tidak didasarkan pada loyalitas lama. Aliansi yang dibentuk
Milisi semasa Pemilu dan Pilkada tergolong cair, lebih didasarkan pada kebutuhan akan patronase
calon perseorangan, bukan karena kesamaan dengan agenda politik tertentu. Secara khusus, keduanya
menemukan Milisi lebih mungkin mengisyaratkan dukungan eksplisit terhadap calon tertentu di
daerah-daerah di mana persaingan antar-organisasi dalam memperebutkan akses terhadap dana negara
cukup sengit7.
Para pemimpin kelompok Milisi itu menyebut imbalan material dan non-material sebagai salah
satu faktor yang memengaruhi pilihan mereka mendukung salah satu calon. Di antara imbalan
dukungan yang sering disebut adalah akses terhadap Bansos, status khusus dalam penawaran proyek
infrastruktur, dan lapangan pekerjaan bagi para anggota lewat penentuan kontrak parkir dan
keamanan. Di luar itu, para Milisi juga mengharapkan “kedekatan” simbolik dengan para calon.
Mengamati fenomena seperti ini hal yang menarik dari perebutan patronase terhadap
keterlibatan Milisi dalam Pilkada, adalah hubungan Milisi dengan calon atau kepala daerah hanyalah
sebagai perantara yang menyediakan akses terhadap sumber daya negara buat kepentingan mereka.
3. Pemilu dan Peran Milisi
Sebagaimana dijelaskan diatas, muncul dan lahirnya Ormas atau Milisi di Bali tidak ditentukan
oleh adanya otonomi Milisi yang bersangkutan, akan tetapi kebanyakan disengaja dilakukan bahkan
dipelihara oleh negara demi keuntungan-keuntungan pihak-pihak tertentu.
Dua kajian menarik yang terdapat di Bali yang akan dikenalkan dalam tulisan ini, mengenai
kontestasi elektoral Ormas dalam Pemilu, pertama mengangkat penelitian yang dilakukan di Buleleng,

dengan topik mobilisasi massa yang dilakukan oleh salah satu Ormas atau Milisi pada massa Pemilu
legislatif 2014.
Kedua mengangkat hasil penelitian yang dilakukan di Badung dengan topik Ormas dalam
Pusaran Politik Studi tentang relasi Ormas dan calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2015.
Penelitian pertama dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Sidetapa Kabupaten Buleleng,
perilaku elektoral Milisi atau Ormas dapat dikenali lewat perannya dalam meningkatkan tingginya
angka partisipasi pemilih yang ada di desa tersebut pada Pemilu legisltif 2014. Temuan yang bisa
5 ibid

6 Kuasa jalanan: Milisi dan Pilkada di Indonesia, http://www.paramadinapusad.or.id/publikasi/kuasa-jalanan-Milisi-dan-politik-Pilkada-di-indonesia.html di Unduh tanggal 4
Februari 2018
7 ibid

dijelaskan melalui kontestasi elektoral Milisi disini bahwa terjadinya peningkatan angka partisipasi
pemilih yang terjadi di desa ini tidak lepas dari tindakan dan aksi yang dilakukan oleh Milisi atau
Ormas Buleleng Dogen atau lebih dikenal dengan Buldog dalam Pemilu legslatif taun 2014.
Bagaimana aksi jalanan Milisi yang terjadi dalam masa pemilihan ini temuan penelitian ini
menyatakan, bahwa, Milisi atau lebih tepatnya dikenal dengan istilah Ormas Buldog, dimanfaatkan
oleh calon untuk memobilisasi massa agar mendukungnya atau memilihnya dalam Pemilu legislatif.
Hal ini tidak lepas dari anggapan calon bahwa dengan menggerakan Milisi ini dia akan

mendapatkan manfaat dan keuntungan bagi dirinya dan Milisi itu sendiri. Buldog merupakan sebuah
organisasi masa yang berada di Kabupaten Buleleng yang memiliki masa cukup besar. Anggotanya
tidak hanya di Buleleng melainkan memiliki jaringan yang tersebar di setiap kabupaten ataupun kota
yang ada di Bali, angggota Buldog bisa diperkirakan mencapai empat belas ribu orang.
Dua hal yang dilakukan oleh Milisi ini, pertama, melakukan mobilisasi masa yang dilakukan
melalui beberapa cara, seperti membangun relasi antara aktor dan organisasi. Selain itu adanya
bentuk-bentuk pengarahan yang dilakukan kepada pemilih, yang terbagi dalam dua kategori, yakni
bantuan-bantuan, dan penciptaan hubungan emosional. Kedua, anggotanya dengan melibatkan diri
kedalam tim sukses calon, panitia pelaksana Pemilu, ikut serta dalam kampanye, berada didalam
organisasi kePemiluan dan menjadi calon anggota legislatif.
Sekilas perilaku elektoral seperti ini menunjukkan kompleksitas yang diperankan oleh suatu
Milisi tertentu dalam perilaku elektoralnya, demi memenangkan calon-calon yang diusungnya dalam
Pemilu atau Pemilukada, mereka berusaha menunjukkan diri mulai dari memobilisasi masa menjadi
penyelenggara Pemilu tim sukses sampai langsung menjadi calon legislatif hanya untuk membloking
perolehan suara dalam perburuan suara dengan pihak lawan.
Perilaku elektoral lain yang diperlihatkan Milisi ini di desa Sidetapa yakni memanfaatkan
anggotanya yang banyak tersebar diberbagai tempat di seluruh wilayah Bali, Milisi ini mengharapkan
agar semua anggotanya yang berasal dari desa ini pulang dan kompak untuk memilih calon yang
diusung oleh Milisi ini.
Penelitian kedua, mengangkat hasil penelitian yang dilakukan di Badung yakni relasi Ormas dan
calon Kepala Daerah pada Pilkada Serentak 2015.
C. Kontestasi Makna Demokrasi : Oligarki Milisia?
Memaknakan relevansi keberadaan Milisi dan kontribusinya bagi perkembangan (atau bahkan
kemunduran) demokrasi sangat kontestatif. Demokasi senantiasa mencari makna seiring
perkembangannya pada tataran normatif prosedural maupun empirik. Hanya saja, saat negara, warga
maupun kelompok diluar keduanya saling berinteraksi, maka salah satu alternatif gagasan yang perlu
dipahami adalah memberi makna demokrasi pada bingkai paradigma teoritik analisa wacana
(discourse analysis) hegemoni yang dikemukakan Laclau dan Mouffe. Bagi Laclau dan Mouffe,
hegemoni merupakan praktik artikulasi yang membangun nodal points (titik temu sebuah rangkaian)
yang secara parsial memperbaiki makna sosial pada sebuah sistem difference yang terorganisasi.8
Misalnya, memahami diskursus demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia makna dominan
yang menyertai adalah demokrasi di bawah kendali oligarki. Makna ini didasarkan pada proses
artikulasi antar elemen yang berlangsung di dalamnya. Elemen pemaknaan Jeffry Winters didasarkan
teori sumber kekuasaan yang memiliki rentangan pemeringkatan kuantum dari sangat sedikit (sangat
tidak berpengaruh) hingga sangat besar (sangat berpengaruh). Pemeringkatannya adalah kekuasaan
hak politik formal, kekuasaan posisi resmi (di dalam maupun di luar pemerintahan), kekuasaan
koersif, kekuasaan mobilisional, dan kekuasaan material .9
8 Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal. Hegemony and Socialist Startegy. Towards a Radical Democratic
Politics : Second Edition. P.175 serta lihat pula . Laclau, Ernesto. Democracy and The Question of Power.
Constellations Volume 8, Number 1, 2001. P.8
9 Winters, Jeffry. 2011. Oligarki dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta : Gramedia. Hal. 201. Pada sisi yang
sama, Robison dan Hadiz, memberi kategori jenis oligarki yang melingkupi sistem politik era Orde Baru dan
pasca Orde Baru. Saat Orde Baru, oligarki konsekuensi penerapan administrative patrimonialism yang sengaja
dibangun Soeharto, dimana kekuasaan di tangan pemegang jabatan pemerintahan yang mendapat keuntungan
besar dari kelas bisnis tidak terorganisir. Sedangkan pasca Orde Baru, kekuasaan oligarki di tangan konglomerat
dan para familinya, termasuk kreditur yang berelasi dengan kekuatan ekonomi global (Robison, Richard &
Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganising Power in Indonesia : The Politics of Oligarchy in An Age of Markets.

Empat kekuasaan pertama, jika didistribusikan secara eksklusif dan terkonsentrasi merupakan
basis politik elit. Sedangkan terakhir kekuasan material adalah basis bagi oligarki yang justru
mendominasi wacana dalam perkembangan diskursus demokrasi kontemporer saat ini. Oligarki
adalah aktor yang menjadi sangat berkuasa karena kekayaan.Tantangan bagi semua oligarki adalah
membela diri terhadap ancaman dan mempertahankan kekayaan yang terkonsentrasi dan melakukan
ancaman, sekaligus mengevaluasi sumber kekuasaan orang lain dalam bertindaknya. Saat artikulasi
kekuasaan material ini dominan (ditinjau dari pengalaman berjalannya proses elektoral, pilpres, pileg
maupun Pilkada) maka di konteks inilah momen nodal points demokrasi diisi (terkooptasi) oleh
elemen oligarki dalam memaknai diskursus demokrasi di Indonesia. 10
Konteks ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Ormas Milisi di Bali. Milisi menjadi
tumpuan harapan bagi para politisi sebagai pendulang dukungan bagi suara. Begitu sebaliknya,
politisi juga dijadikan tumpuan harapan kepastian akan masa depan para Ormas Milisi untuk
mengartikulasikan kepentingannya. Kalaupun dipahami, mekanisme sistem politik David Easton
maupun Gabriel Almond sebenarnya sudah berjalan sebagaimana mestinya.
Hanya saja, di saat melihat fenomena kemunculan Ormas-Ormas Milisi yang menjamur
jelang proses elektorasi di tingkat lokal salah satunya melalui proses mimikri, maka sesuai perspektif
sociological institusionalisme, penjelasaannya adalah kemunculan Ormas-Ormas baru, --yang
diistilahkan terlalu prematur sebagai oligarki Milisia--, intinya ingin mengulang apa yang sudah diraih
Ormas induk yang menaungi atau bahkan ditinggalkannya. Jadi kalaupun pertanyaannya apakah
bermanfaat atau merugikan bagi demokrasi, keduanya serba terkontestasi.
Realitasnya berjalan pada perpektif historical institusionalism dengan path dependency-nya.
Bahwa apa yang dilakukan oleh aktor-aktor yang ada pada saat ini merupakan cerminan yang ada di
masa lalu. Hal ini sama ketika Benda mempersepsikan bahwa berkomentar soal baik buruknya
demokrasi yang berjalan sekarang tidak pernah bisa dilepaskan dari realitas sejarah yang
melingkupinya.11 Meminjam terminologi Benda, bangunan demokrasi Indonesia sangat dipengaruhi
dan bergantung pada pengalaman historis yang dijalaninya. Dua konsep sejarah yang diyakini Benda
yaitu realitas kekinian dan realitas lintasan sejarah yang dibekukan, dimandegkan, atau terdistorsi oleh
pengalaman kolonialisme, sama-sama menentukan nasib demokrasi kita saat ini. Tidak hanya lupa
pada sejarah harus dilawan, pun ingatan pada aksi vigilante menuai objek baru dalam memaknai
demokrasi yang telah terbeli. Ormas Milisi di Bali telah membelah cell hidupnya. Misalnya Laskar
Bali pecah menjadi dua (Baladika) yang kemudian proses mimikri menghasilkan anak kandung
Pemuda Bali Bersatu.
1. Laskar Bali, Baladika dan Pemuda Bali Bersatu
Sejarah terbentuknya Laskar Bali/LB dimulai tahun 2001, Ormas ini sempat pecah kongsi dengan
Baladika yang lahir lebih dahulu sebagai kelompok suka duka anak muda Bali pada tahun 70an. LB
berbeda dengan Baladika yang fokus menjalankan bisnis pengamanan, jasa parkir dan hanya merekrut
warga Bali saja (walaupun pemegang kekerasan atau tukang pukulnya berasal dari kelompok etnik
RoutledgeCurzon : London. P.191).
10 Lane, Max. 2017. Kuliah S3 DPP FISIPOL UGM September 2017 mengungkapkan ketidaksetujuan
pandangan Winters, karena kekuasaan material merupakan achievement individu/ kelompok dan sudah menjadi
gejala umum dalam praktek demokrasi di Indonesia. Jadi bagi Lane, oligarki dianggap belum mengisi nodal
point demokrasi dan dirinya masih sangat meyakini meski perubahan politik di Indonesia secara historis, unpredict, namun nodal point demokrasi suatu saat segala bentuk perubahan masih berpusat pada perjuangan
buruh yang saat ini masih berkutat pada masalah keprofesionalitasan kelembagaannya.

11

Lebih lanjut lihat Philpot, Simon. 2000. Meruntuhan Indonesia : Politik Postkolonial dan
Otoriatarianisme. LKiS:Yogyakarta. Baca pula Feith, Herbert. 1986. History, Theory, and Indonesian Politics: A
Reply to Harry J. Benda. Dalam The Journal of Asian Studies (pre-1986); Ann Arbor Vol. 24, Iss. 2, (Feb
1965): 305

Flobamora atau Flores, Bajawa, Timor dan Alor ) tetapi hingga kini anggotanya mencapai 25 ribu
orang. Berbeda dengan Baladika, LB oleh situs Rocketnews24 disitir Merdeka.com disebutkan
sebagai salah satu geng berbahaya. Sekjen Laskar Bali, menyebut bahwa organisasinya legal dan
terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan bukan gangster. Sebelum sampah visual
kota Denpasar dibersihkan oleh Kapolda baru tahun 2016 lalu, wajah Sekjen LB ini sering menghiasi
berbagai Baliho di seluruh kabupaten/kota se-Bali. Kata-kata sindiran ‘preman narsis’ sering
terdengar dari mulut kaum tua atau tokoh masyarakat dan kaum terdidik di kota Denpasar. Figur
pemimpin Ormas Milisi yang gemar menyanyi dan mengadakan berbagai pertunjukan
musik,berdampak pada LB memiliki keanggotaan muda dan tua dari berbagai lapis suku, agama dan
afiliasi profesi kelas Satpam hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tingkat provinsi,
kabupaten dan kota (lihat gambar).

Wawancara dengan Koordinator Wilayah/Korwil LB di suatu kawasan wisata cukup terkenal di
Bali, yang bersangkutan mengundang dengan pesan singkat elektronik agar anggota hadir. Hanya
dalam waktu lima menit beberapa anak buahnya berdatangan dengan kaos berwarna hitam, bunyi
motor yang meraung dan sikap siaga untuk membentengi Korwil yang tengah diwawancarai itu.
Nampak dalam sistem komando ini tata kelola organisasi dan gaya kepemimpinan sang Korwil sangat
penting dalam membawahi dua Korlap/koordinator lapangan beranggotakan 350 orang milisi yang
dijadikan pasukannya. Jumlah Korlap di Bali diatas 200an dan menjadi anggota LB harus melalui
berbagai screening dan latihan, sehingga semua anggota bukan hanya memiliki KTA/Kartu Tanda
Anggota tetapi ukiran segitiga tattoo di ruas tangan atas sebelah kiri atau kanan setelah masa
screening terlalui dan dianggap sebagai anggota syah Ormas LB. Tatoo ini disimbolkan sebagai
lambang persaudaraan menjaga Bali. Semua anggota Ormas Milisi memiliki atribut kesetiaan. LB
menggunakan tattoo pada tangannya, Baladika mematangkan anggotanya dengan berbagai acara
inisiasi begitu juga Pemuda Bali Bersatu maupun Sanur Bersatu yang lokasi utama Dewan Pimpinan
Pusat/DPPnya berlokasi di wilayah kota Denpasar, Gianyar dan Badung yaitu wilayah ‘basah’ dari
sudut pemasukan pariwisata.
Pecahan terbaru dari LB adalah PBB/Pemuda Bali Bersatu yang ketuanya sempat ber’semadi’
di benua Amerika serta masuk dalam percaturan gangster dunia. Persaingan antara LB dan PBB tidak
nampak jelas karena arena berkumpul awal para ‘local strongmen’ atau orang kuat lokal PBB ada
pada tataran desa yang berbeda namun memiliki genealogi internal yaitu kawasan Bangli yang telah

diasuh lama oleh Puri Pemecutan di Denpasar (Diwpayana, 2005) serta yang bersangkutan pernah
menjadi sekretaris ketua DPP Laskar Bali 12. Ketua PBB telah memiliki massa di desanya dengan
sistem arisan dan baju kaos seragamnya menguatkan anggota ranting PBB yang berprofesi lebih
terdidik. Kebanyakan anggota PBB berprofesi pengacara hukum, dokter hingga doktor sebagai
bidang garapan PBB. Setiap ranting kepengurusan bersinergi dengan cabang/PC yang bila berkumpul
menurut ketua PBB mencapai 90.000 anggota.
2. Genealogi Internal Ormas dan Institusi Lain di Bali
Tahun 2018 ini peta percaturan pemilihan kepala daerah mengusung dua kutub kandidat
gubenur dan wakil gubernur yang berbeda afiliasi yaitu calon dari warna dan kasta brahmana kota
Denpasar serta warna dan kasta puri Gianyar, tepatnya dari Ubud. Kandidat ini sama kuatnya dan
penetrasi ke tingkat nasional menorehkan luka korupsi mega proyek tingkat nasional yang terjadi saat
salah satu kandidat gubernur Bali itu menjadi wakil rakyat di DPR. Kedua calon kuat Bali ini dalam
keseharian berkontak rohani dengan seluruh komponen Ormas Milisi dan saling berkawan. Oleh
sebab itu, kekerasan yang pernah terjadi antara Ormas Milisi di Bali seberapa sadisnya-pun mudah
diselesaikan pada tingkat elit Ormas Milisi maupun pejabat kantor pemerintahan daerah serta wakil
rakyat. Ini semua akibat pola asuh ‘hard power’ dan ‘soft power’ yang menjaga Bali. Walaupun pesan
utama pihak kepolisian untuk premanisme di Bali harus tetap tiarap. Artinya Kepala Polisi
Daerah/Kapolda yang menjabat sejak tahun 2016 telah berhasil melakukan tindakan tegas pada
premanisme, pungutan liar dan penyalah-gunaan NAPZA (Narkotika, psikotropika dan zat adiktif)
dalam koridor tugasnya. Namun perlu dijawab apakah penguatan demokrasi tengah berlangsung atau
sebaliknya terjadi pelemahan demokrasi internal.

12 Dwipayana, menegaskan kekuatan Puri atau kasta ‘Ksatria” dalam percaturan politik Bali. Wajah kuasa
jalanan berlaku pada semua lini dengan aturan tidak tertulis namun tidak boleh dilanggar untuk masing-masing
pemilik ‘kue ekonominya’.

Walaupun demikian, Laskar Bali, Baladika serta kelompok milisi baru lainnya dengan
genealogi internal yang berbeda misalnya sekelas Buldog terus berkembang yang menjadi bagian dari
mimikri politik dalam kontestasi makna demokrasi di Bali. Penulis buku yang cukup berani, Bonnela,
Kathryn (2009) menyebut persaingan dunia gemerlap Bali hingga hitamnya sel tahanan dalam
bukunya tentang Lapas Kerobokan13 memberi bau tidak sedap pada gerakan Ormas Milisi di Bali.
Proses mimikri politik Ormas masih berlanjut misalnya berlaku pula sebagai raket pengaman pada
wilayah pariwisata ‘gedongan’ di Sanur. Kelompok baru ini menyebut diri sebagai Sanur Bersatu.
Pentolan ‘griya’ atau keluarga brahmana di wilayah Sanur ikut memengaruhi perilaku Ormas Milisi
yang lebih santun dan mendukung ekonomi pariwisata Bali saat bisnis ini terpuruk. Misalnya akhir
tahun 2017 hingga kini, akibat dari erupsi gunung Agung yang masih menyisakan pertanyaan pada
lambannya kedatangan kembali wisatawan ke Bali. Ormas Milisi yang telah ‘bertiarap’ itu
memperlihatkan kedermawanan dengan bakti sosial ke tenda-tenda pengungian korban erupsi. Di
wilayah Badung yang dikuasai oleh Ormas Milisi Baladika yang dalam Pilkada lalu telah
memobilisasi hanya satu calon bupati terpilih. Di wilayah ini lahir kelompok baru bernama ‘Angker’
yang merupakan pelesetan dari Anak Kerobokan sebagai tandingan peristiwa di Lapas Kerobokan
tahun 2016 lalu. Gambaran ini melengkapi mozaik ‘injustice electoral process’ yang melemahkan
makna demokrasi akibat mengentalnya kekuatan Ormas Milisi dengan campur tangannya pada
elektorasi lokal Bali yaitu Pemilukada dan Pilgub.
Penutup
Pemilukada dan pemilihan gubernur sebagai arena pemilihan calon kepala daerah dan wahana
elektorasi lokal Bali sudah barang tentu didalamnya akan terjadi kontestasi yang sengit diantara
aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Program, rencana dan aksi tentunya telah dirancang oleh Ormas
Milisi di Bali dalam event ini. Kontestasi pertama secara terang-terang milisi ini melakukan deklarasi
dukungan kepada pasangan calon kepala daerah tertentu kemudian menyiapkan syarat sebagai
pemilih, para anggota untuk saling menyebarkan dukungan sesama anggota, keluarga, tetangga dan
kepada siapapun.
Melihat kedekatan antara calon kepala daerah yang diusung, dan garis komando yang dimiliki,
serta pernyataan elit-elit Ormas Milisi yang dapat dipetakan, kontestasi atau perilaku milisi dapat
dicatat beberapa hal yang menarik. Pada tahun 2015 sebagai contoh, dalam Pilkada wilayah Badung,
Ormas Milisi telah berhasil melemahkan makna demokrasi tingkat lokal. Pertama, milisi
mencalonkan anggotanya langsung sebagai calon kepala daerah, sehingga merasa berkewajiban untuk
memenangkan calonnya. Menurut hemat mereka (milisi) kemenangan calonnya merupakan
kemenangan milisi ini juga. Kedua, adanya garis komando yang keras mempertegas posisi milisi
dalam pemilukada tingkat kabupaten itu memastikan berada pada pihak calon tunggal tersebut.
Ketiga, solidnya dukungan yang diikuti oleh kuatnya garis komando yang dimulai dari atas,
menyiratkan secara jelas bahwa kontestasi milisi ini dalam Pilkada serentak di Bali begitu jelas.
Seluruh anggota dari milisi ini berdatangan dari pelosok Bali berjuang pernuh terhadap kemenangan
calon yang diusungnya.
Mampukah Ormas Milisi di Bali diberantas? Mungkin tidak ada yang mampu melakukannya.
Namun akselerasi menuju dasar hukum positif keOrmasan yang tidak kontradiktif di lapangan sangat
dibutuhkan. Agar masa depan demokrasi di Bali masih terjaga dan kondusif sebagai destinasi
pariwisata paling unggul di kawasan Asia.
DAFTAR PUSTAKA

13 buku "Snowing in Bali" yang ditulis Kathryn Bonella mensinyalir Ormas Milisi mempunyai bisnis
gelap di balik jasa pengamanan. Ormas ini dituding memuluskan perdagangan narkoba, senjata
ilegal, serta prostitusi.

Adian, Donny Gahral. Teori Militansi : Esai Esai Politik Radikal. (Depok : Penerbit Koekoesan;
2011).
Aspinal, Edward dan Mada Sukmajati. Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientilisme pada
Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta : Polgov UGM; 2015).
Bungin, Burhan.. Metodelogi Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rajawali Press; 2001).
Dwipayana, Ari, AA GN Globalism Pergulatan Politik Representasi atas Bali. (Denpasar: Uluangkep
Press; . 2005).
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta : Rajawali Press; 1992).
Forsyth, D.R.. An introduction to group dynamics. (California:Brooks/Cole Publishing Company;
1983).
Hefner. Robert W. Politik Multikultutalisme : Menggugat Realitas Kebangsaan. (Yogyakarta :
Penerbit Kanisius; 2007).
Heywood, Andrew. Politik. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar; 2013).
Jacky, M, Dr. Sosiologi Konsep Teori dan Metode. (Surabaya : Mitra Wacana Media; 2015).
Kurniawan, Nanang Indra, Globalisasi dan Negara Kesejahteraan. Perspektif Institusionalisme.
(Yogyakarta: Lab. Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009
Nordholt, Henk Schulte, Bali Benteng Terbuka : Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral dan Identitas
Defensif (Denpasar: Putaka Larasan & KITLV Jakarta; . 2010).

Okamoto, dkk. Kelompok kekerasan dan Bos Lokal di Era reformasi. (Yogyakarta: IRE
Press; 2006).
Paskarina, Carolina.. Berebut Kontrol atas Kesejahteraan : Kasus Kasus Politisasi Demokrasi di
Tingkat Lokal (Yogyakarta: Polgov UGM; 2015).
Roskin, Michael G. Pengantar Ilmu Politik. (Jakarta : Kencana Media; 2016).
Samadhi, Willy Purna. Blok Politik Kesejahteraan Merebut Kembali Demokrasi (Yogyakarta : :
Polgov UGM ; . 2016).
Satriani, Septi. Dinamika Peran Elit Lokal Pasca Orde Baru (Banten : Mahara Publishing; 2015).
Situmorang, Abdul Wahab. Gerakan Sosial : Teori dan Praktik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar; 2013).
Suryawan, I Ngurah. Sisi dibalik Bali Politik Identitas Kekerasan dan Interkoneksi Global. (Denpasar:
Udayana University Press, 2012).
Wilson, Ian Douglas. The Politics of Protection Rackets in Post New Order Indonesia (New York :
Routledge; 2015).

Jurnal :
Hasan, Yudha. 2012. Premanisme dan Politik Lokal Studi tentang Peran Blandhong dalam Politik
Lokal di Kabupaten Blora yang termuat di .Journal of Politic and Government Studies Vol 1,
No 1 tahun 2012.
Kurniawan, Iwan. Uang dan Massa, Jurnal Filsafat Driyarkara, Massa dan Kuasa Refleksi bersama
Elias Canettti Th XXIX No.1 tahun 2007.
Santoso, Purwo. Demokrasi Terpimpin Wacana Refleksi Epistemik, Menolak Kemandegan, dalam
Jurnal Prisma Jakarta : LP3ES, Edisi 1 Volume 36 Tahun 2017
Sjafri Sairin dan Irwan Abdullah, artikel “Tatanan Sosial: Sebuah Usulan Kerangka Analisis
Kekerasan Dari Kasus Amerika, Afrika, Dan Indonesia”. Jurnal Ilmiah Humaniora Volume
17, No. 1, Februari 2005
Skripsi :
Mastini, Komang. 2017. Partisipasi Politik Masyarakat Buleleng dalam Pemilukada Tahun 2016.
Program Studi Ilmu Politik FISIP Unud : 2017
Prameswari. 2015. Penelitian Skripsi Studi Kasus Organisasi Masyarakat Laskar Bali dalam Pemilu
Gubernur Tahun 2013 . http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpm3247d10b50full.pdf
Yulima, Permatasari. Faktor Figur Dalam Keterpilihan Anggota DPRD Studi Kasus: Keterpilihan
Anggota DPRD Dari Partai Gerindra Kabupaten Klungkung Pada Pemilu 2014. Denpasar:
Skripsi belum terpublikasikan, 2015
Surat Kabar dan Media Web :

Bali Tribune. 2015. Baladika Bali Deklarasi Relawan Giri-Asa. Diakses melalui
https://pilkadabali.com/index.php/read/2015/09/11/389/Baladika-Bali-Deklarasi-RelawanGiriAsa.html pada 08 Januari 2018
Kuasa jalanan: Milisi dan Pilkada di Indonesia, http://www.paramadinapusad.or.id/publikasi/kuasa-jalanan-milisi-dan-politik-pilkada-di-indonesia.html di Unduh
tanggal 4 Februari 2018
Harian Bali Post, 18 Desember 2015;4 Juni 2016; 24 Desember 2012;
Harian Radar Bali, 22 April 2016; 6 Mei 2016; 29 Januari 2013; dan
Harian Pos Bali, 23 Januari 2017
Kabarnusa.com 7 Mei 2017
Merdeka.com, 04 Februari 2018, https://www.merdeka.com/peristiwa/disebut-geng-kriminalberbahaya-di-pulau-dewata-laskar-bali-berang.html
MetroBali.com dalam artikel Baladika Bali Dukung Penuh Giriyasa, tanggal 19 Oktober 2015
Viva.co.id Kamis, 23 April 2015

Sumber Foto Sampul :
http://www.boombastis.com/laskar-bali/85482
http://www.imgrum.org/user/halo.bali/13546311/1270898027981472758_13546311
http://kathrynbonella.com/books/snowing-in-bali/
https://baliberkarya.com/index.php/read/2017/01/29/201701290017/Akhiri-Konflik-Laskar-BaliAgendakan-Bareng-Baladika-Sembahyang-Bersama--Ngopi-Bareng.html