KAJIAN TERHADAP PENYALURAN KREDIT PERBAN

KAJIAN TERHADAP PENYALURAN KREDIT PERBANKAN UNTUK USAHA KECIL DAN MENENGAH (UKM) DI SULAWESI SELATAN

Oleh:

Anas Iswanto Anwar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyaluran kredit usaha kecil acap kali menjadi perhatian utama lapisan masyarakat dalam kaitan dengan paradigma percepatan dan pemerataan pembangunan di Indonesia maupun di Sulawesi Selatan. Permasalahan yang sangat sering mengemuka adalah kebutuhan dana/modal bagi para pengusaha kecil dan menengah walaupun ini bukan satu-satunya masalah.

Pada masa pemulihan ekonomi permasalahan tersebut mulai bergeser dan terfokuskan pada adanya gap atau jarak yang relatif besar antara jumlah dana pihak ketiga (DPK) atau dana masyarakat yang dihimpun perbankan dibandingkan dengan jumlah penyaluran dana dalam bentuk kredit kepada para pengusaha kecil. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengharapkan agar perbankan lebih optimal menyalurkan kebutuhan kredit kepada usaha kecil.

Data perbankan menunjukkan bahwa besarnya penyaluran KUK terhadap total kredit perbankan pada tahun 1999-2001 berkisar 44-64%, suatu rasio yang relatif cukup besar walaupun telah terjadi penurunan pada tahun 2001 dibandingkan dengan tahun 2000. Berdasarkan kategori bank, data tersebut menunjukkan bahwa Bank Swasta Nasional (BSN) telah menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam menyalurkan KUK di Sulsel. Namun dalam tiga tahun hanya mencapai 4-8% pertahun, masih di bawah rasio !0%. Padahal BI menganjurkan agar sekurang-kurangnya 20% dimasukkan ke dalam Business Plan perbankan sebagai rasio optimal KUK. Permasalahan apa yang dihadapi oleh Bank Swasta nasional di Sulsel perlu dikaji lebih jauh. Sedangkan untuk bank pemerintah (BUMN), rasio KUK berkisar 37-55% per tahun, angka inipun perlu Data perbankan menunjukkan bahwa besarnya penyaluran KUK terhadap total kredit perbankan pada tahun 1999-2001 berkisar 44-64%, suatu rasio yang relatif cukup besar walaupun telah terjadi penurunan pada tahun 2001 dibandingkan dengan tahun 2000. Berdasarkan kategori bank, data tersebut menunjukkan bahwa Bank Swasta Nasional (BSN) telah menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam menyalurkan KUK di Sulsel. Namun dalam tiga tahun hanya mencapai 4-8% pertahun, masih di bawah rasio !0%. Padahal BI menganjurkan agar sekurang-kurangnya 20% dimasukkan ke dalam Business Plan perbankan sebagai rasio optimal KUK. Permasalahan apa yang dihadapi oleh Bank Swasta nasional di Sulsel perlu dikaji lebih jauh. Sedangkan untuk bank pemerintah (BUMN), rasio KUK berkisar 37-55% per tahun, angka inipun perlu

Selain dari rasio KUK, yang perlu pula dianalisis adalah rasio total pinjaman terhadap total simpanan (loan to deposits ratio, LDR). Terjadi suatu peningkatan pada tiga tahun terakhir dari 44% (1999) menjadi 58% (2001) dengan perkembangan yang konstan pada tahun 2000. Data tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara LDR terhadap rasio KUK namun yang perlu dikaji adalah apakah peningkatan tersebut lebih banyak yang berasal dari KUK. Pada kelompok Bank Swasta Nasional (BSN), LDR berkisar 15-38% dalam tiga tahun terakhir dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya namun masih di bawah kelompok bank pemerintah dan BPR. Dari rentang besaran LDR tersebut rasio KUK hanya 4-8% suatu indikator yang dianggap rendah untuk mempercepat pengembangan potensi KUK di Sulsel. Diduga adanya permasalahan yang bersifat struktural di tingkat kelompok bank dalam menyalurkan kredit bagi UKM.

Sebaliknya pada kelompok BPR ternyata kelompok perbankan ini sangat efektif dalam penyaluran kredit berskala kecil. Hal tersebut tercermin dari LDR yang mencapai 118-227%. Tingginya LDR mencerminkan tingginya permintaan kredit kecil dan mikro di tingkat kecamatan serta adanya faktor kemudahan dalam pelayanan kredit yang diberikan oleh BPR. Faktor ini yang mungkin dijadikan bahan komparasi bagi perbankan yang memiliki rasio KUK/DPK relatif masih rendah. Yang juga akan dicoba diteliti adalah bagaimana peran dan kinerja kelompok perbankan syariah dalam penyaluran KUK.

Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan bahwa masih terdapat kendala- kendala yang bersifat struktural maupun non-struktural yang berada pada tingkat internal maupun eksternal perbankan dalam penyaluran KUK di Sulsel. Padahal bila dana pihak ketiga (DPK) Sulsel yang terhimpun cukup besar disalurkan kembali dalam bentuk kredit (sebagai bagian dari peranan bank sebagai lembaga perantara keuangan) akan menyebabkan peningkatan rasio KUK/DPK atau perbandingan antara total penyaluran KUK terhadap total dana pihak ketiga/masyarakat. Bukankah KUK/DPK dapat mengindikasikan optimalisasi penggunaan dana simpanan masyarakat lokal bagi upaya pengembangan usaha kecil di Sulsel. Pada bank-bank milik pemerintah KUK/DPK mencapai angka 35-40%, sementara itu kelompok BSN hanya sbesar 4-11%, Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan bahwa masih terdapat kendala- kendala yang bersifat struktural maupun non-struktural yang berada pada tingkat internal maupun eksternal perbankan dalam penyaluran KUK di Sulsel. Padahal bila dana pihak ketiga (DPK) Sulsel yang terhimpun cukup besar disalurkan kembali dalam bentuk kredit (sebagai bagian dari peranan bank sebagai lembaga perantara keuangan) akan menyebabkan peningkatan rasio KUK/DPK atau perbandingan antara total penyaluran KUK terhadap total dana pihak ketiga/masyarakat. Bukankah KUK/DPK dapat mengindikasikan optimalisasi penggunaan dana simpanan masyarakat lokal bagi upaya pengembangan usaha kecil di Sulsel. Pada bank-bank milik pemerintah KUK/DPK mencapai angka 35-40%, sementara itu kelompok BSN hanya sbesar 4-11%,

Hal inilah yang merupakan bagian dari permasalahan strategi penyaluran kredit perbankan untuk usaha kecil. Walaupun penyaluran KUK tetap berjalan namun masih perlu ditingkatkan dan ditangani lebih maksimal.

1.2. Pertanyaan Penelitian

1). Apa strategi percepatan bagi pemerintah maupun perbankan dalam mengefektifkan/mengoptimalkan pengembangan UKM melalui penyaluran KUK? 2). Apa permasalahan yang menjadi pembatas (limitation) dari sisi bank maupun pengusaha UKM dalam mekanisme penyaluran KUK? 3). Bagaimana kualitas KUK dibandingkan dengan non-KUK untuk masing-masing kelompok bank? 4). Adakah rasio kredit perbankan selain LDR yang dapat menjawab keinginan masyarakat terhadap efektivitas pengembangan UKM? 5). Berapa rasio optimal KUK regional jika dibandingkan dengan potensi UKM yang ada di Sulsel? 6). Berapa rasio KUK perbankan (BUMN, BUSN, dan BPR) terhadap besarnya dana pihak ketiga (DPK)

1.3. Maksud dan Tujuan

1). Mendeskripsikan peta penyaluran kredit perbankan kepada UKM di Sulsel dan memformulasikan batasan/indikator optimal penyaluran kredit UKM. 2). Mengkaji beberapa faktor pembatas penyaluran kredit UKM dari sisi suplai (perbankan) dan sisi permintaan (pengusaha kecil dan menengah) 3). Menyusun formula dan rasio optimal KUK regional berdasarkan skala setiap kabupaten. 4). Menyusun rekomendasi sebagai bagian dari strategi dalam pengembangan UKM kepada pemerintah, perbankan dan pihak-pihak yang terkait.

Dari tujuan tersebut diatas, maka keluaran (outputs) yang akan dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Output 1 (Kajian Eskploratif) 1. Output 1 (Kajian Eskploratif)

b. Kualitas kredit KUK dan non KUK

c. Besarnya populasi UKM

d. Sumber permodalan UKM

e. Akses terhadap kredit perbankan

f. Frekuensi pengajuan dan alasan penolakan kredit

g. Overhead cost berdasarkan besaran kredit

2. Output 2 (Kajian Deskriptif)

a. Jumlah rekening nasabah bank

b. Klasifikasi besaran kredit : pengusaha besar, kecil dan mikro

c. Data kredit besar, kecil dan mikro

d. Volume kredit : plafon dan baki debet

3. Output 3 (Kajian Deskriptif)

a. LDR kantor Bank per kelompok bank / kabupaten

b. Rasio optimal KUK regional dan kabupaten (KUK regional dan kabupaten)

c. KUK dibandingkan dana pihak ketiga per kelompok bank / kabupaten (KUK/DPK)

d. Rasio plafon kredit UKM terhadap baki kredit

4. Output 4 (Kajian Kausal, Uji korelasi)

a. Golongan pengusaha dan sektor usaha terhadap kualitas kredit

b. Besar populasi UKM kabupaten terhadap LDR dan KUK/DPK perbankan

c. Frekuensi pengajuan kredit terhadap penolakan dan alasan penolakan

d. Besarnya kredit terhadap overhead cost

e. Besarnya LDR dan KUK/DPK terhadap perbedaan kategori bank

BAB II. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Arah Penelitian

Penelitian ini diarahkan pada penelitian eksploratif dan deskriptif yang dikombinasikan dengan kausal :

a) Penilaian eksploratif; diarahkan untuk memperoleh gambaran umum tentang permasalahan penyaluran kredit perbankan di Sulsel baik dari sisi bank (kreditur) maupun pengusaha UKM (debitur dan calon debitur).

b) Penelitian deskriptif; diarahkan untuk menjawab bagaimana peta penyaluran kredit perbankan bagi UKM di Sulsel.

c) Penelitian kausal; diarahkan untuk menjawab korelasi antara berbagai variabel dan pengaruhnya terhadap penyaluran kredit perbankan untuk UKM di Sulsel.

2.2. Unit Analisis Penelitian

Dibagi dalam tiga unit analisis penelitian, yaitu :

a) Kelompok bank; bank umum (BUMN, BSN, BPD), BPR, dan Bank Syariah.

b) Kelompok pengusaha; besar, kecil, dan mikro tercatat sebagai debitur bank salah satu bank atau bukan nasabah salah satu bank.

c) Kelompok sektor ekonomi/usaha; formal dan informal, riil (manufaktur dan jasa).

2.3. Batasan Masalah Penelitian

Unit analisis penelitian diarahkan pada batasan tertentu agar terfokus dalam implementasi dan penyusunan kesimpulan. Batasan unit analisis penelitian adalah sebagai berikut :

1). Kelompok Bank

a. Bank Umum, semua bank umum yang ada di Sulsel dengan kantor pusat di Makassar maupun di luar Makassar. Kategori bank mencakup Bank Umum Pemerintah (BUMN), Bank Swasta Nasional (BSN), serta Bank Pembangunan Daerah (BPD).

b. BPR, semua bank Perkreditan Rakyat yang berada di wilayah operasional Sulawesi Selatan.

c. Bank Syariah, semua Bank Syariah yang berada di wilayah operasional Sulawesi Selatan.

2). Kelompok Pengusaha (SE Bank Indonesia No. 3/15/INTERN tanggal 14 Juni 2002)

a. Pengusaha Besar, semua pengusaha yang telah melewati batasan usaha kecil, yakni aset bersih lebih dari Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan) atau omset penjualan tahunan lebih dari Rp. 1 milyar.

b. Pengusaha Kecil, semua pengusaha yang memiliki aset bersih maksimum Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan) atau omset penjualan tahunan maksimum Rp. 1 milyar.

c. Pengusaha mikro, semua pengusaha yang bersifat informal dengan total aset tidak lebih dari Rp. 25 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan).

3). Kelompok Sektor Ekonomi/usaha a). Jenis Badan Hukum Usaha § Usaha Formal, semua usaha atau sektor ekonomi yang memiliki badan hukum dan tercatat dalam lembaran negara berbentuk: CV, PT, Koperasi dan sebagainya.

§ Usaha Informal, semua usaha atau sektor ekonomi yang tidak memiliki badan hukum dan tidak tercatat dalam lembaran negara,

berbentuk: perorangan, kelompok, dan sebagainya. b). Jenis Usaha § Usaha manufaktur, semua jenis usaha produktif menghasilkan barang bila ditransaksikan, dan dicirikan dengan adanya produk yang dapat dihasilkan, dilihat, dan dipegang.

§ Usaha Jasa, semua jenis usaha produktif menawarkan atau menghasilkan jasa bila dicirikan tidak adanya produk yang dapat

dihasilkan, dilihat dan dipegang kecuali setelah transaksi.

2.4. Dimensi Waktu Penelitian

Penelitian ini menganalisa dimensi waktu melalui dua pendekatan:

a. Penelitian lintas seksi (cross sectional), data primer hasil wawancara pada tahun 2002 akan dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.

b. Perbandingan antar tahun; dimensi waktu penelitian dengan membandingkan tahun sebelum krisis ekonomi (1993-1996) dan sesudah krisis (1997-2002). Perbandingan data series hanya diperuntukkan pada variabel penelitian tertentu (LDR, KUK/DPK).

2.5. Metode Sampling

Populasi penelitian ini adalah :

a. Semua Bank Umum Pemerintah, Bank Swasta Nasional, Bank Pembangunan Daerah, Bank Perkreditan Rakyat, sebanyak 336 kantor, serta Bank Syariah sebanyak 3 kantor yang beroperasi pada 24 kabupaten/kota di Propinsi Sulawesi Selatan.

b. Semua pengusaha besar, kecil, dan mikro yang beroperasi pada 24 kabupaten/kota di Propinsi Sulawesi Selatan.

Oleh karena lokasi kantor semua populasi menyebar pada beberapa kabupaten/kota, maka ditetapkan sampel dengan menggunakan metode cluster proportional sampling, dengan kriteria sebagai berikut :

a. Seluruh kantor cabang dan kantor cabang pembantu bank di kota Makassar dijadikan sampel dengan alasan untuk menjaga keterwakilan semua bank yang beroperasi di Ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan.

b. Kabupaten/kota di luar Kota Makassar, dipilih secara purposive dengan mempertimbangkan besarnya dana yang dihimpun dari masyarakat (DPK) dan status kantor bank.

c. Berdasar butir 2 diatas, dipilih masing-masing satu kantor cabang/kantor cabang pembantu BUMN, BSN, dan BPD untuk 15 kabupaten/kota di luar kota Makassar.

d. Semua BPR dan Bank Syariah yang beroperasi pada kabupaten/kota dijadikan sampel.

2.6. Metode Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua metode dalam pengumpulan data, yaitu:

a. Data sekunder, melalui data perbankan yang terdapat pada Bank Indonesia yang tidak termasuk kategori rahasia Bank.

b. Data primer, melalui wawancara langsung pada unit analisis dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun secara khusus berdasarkan tujuan dan outputs penelitian.

c. Untuk melengkapi informasi wawancara juga dilakukan terhadap beberapa pejabat instansi terkait (Pemda dan Dinas Koperasi dan UKM).

2. Penentuan Daerah Penelitian dan Contoh Responden

a. Penentuan Daerah Penelitian Yang dimaksud dengan daerah penelitian adalah Kota/kabupaten yang dijadikan lokasi pengambilan sampel baik untuk bank maupun untuk UKM. Dari 27 Kota/kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan, maka 15 kota/kabupaten merupakan daerah penelitian dan 12 kota/kabupaten lainnya bukan daerah penelitian. Daerah penelitian tersebut meliputi: Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Barru, Kota Pare-Pare, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Polmas, Kabupaten Tana Toraja, dan Kota Palopo.

b. Pengambilan, Penentuan Jumlah dan Alokasi Responden Bank dan UKM Sampel untuk bank yang dipilih sebagai responden adalah BUMN, BSN, Bank Syariah, dan BPR. Sedangkan sampel untuk UKM yang dipilih sebagai responden adalah terdiri dari pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di berbagai sektor bidang ekonomi di daerah penelitian. Jumlah sampel responden UKM ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan:

1. Untuk Bank, pertimbangannya adalah adanya lembaga perbankan baik yang BUMN, BSN, Bank Syariah, dan BPR.

2. Untuk UKM, pertimbangannya adalah pengusaha besar, kecil, dan mikro, dengan jenis usaha manufaktur dan jasa.

3. Setelah diperoleh alokasi jumlah responden, maka dilakukan penyesuaian agar penyebaran responden tidak bervariasi terlalu besar.

4. Pengurangan jumlah responden yang terlalu besar dimaksudkan untuk menghindari kemubaziran data, sedangkan penambahan responden yang terlalu kecil dimaksudkan untuk menghindari nilai ekstrim dan untuk memungkinkan melakukan analisis data secara maksimal.

2.7. Alat Analisis

Alat analisis dalam kajian penelitian ini menggunakan uji statistik yang sesuai dan akan ditentukan berdarkan variabel yang disusun dalam kerangka konseptual (conceptual frameworks), dengan menggunakan :

1. Analisis Regresi

2. Paired Sample Test

BAB III. HASIL PENELITIAN

3.1. Kajian Eksploratif

A. Faktor Pembatas (Limitation) Internal UKM atau Eksternal Bank

Faktor pembatas internal UKM merupakan unsur-unsur yang menjadi kendala internal yang berkaitan dengan proses pengajuan aplikasi kredit kepada perbankan. sedang faktor pembatas eksternal bank merupakan unsur-unsur yang menjadi kendala eksternal bagi bank yang berkaitan dengan proses pemberian persetujuan kredit oleh perbankan kepada UKM. Dalam penelitian ini, apabila populasi UKM didasarkan pada besarnya omset usaha sampai dengan Rp 499 juta, maka berdasarkan data pada BPS Propinsi Sulawesi Selatan tahun 1996, maka besarnya populasi UKM adalah sebanyak 587.174 usaha atau 99,51% dari seluruh jumlah usaha yang ada di propinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 1996. Dalam penelitian ini, jumlah UKM yang dijadikan sampel sebanyak 352 UKM (0,06% dari populasi) yang diharap-kan merupakan representasi dari populasi UKM yang tersebar pada beberapa kabupaten di propinsi Sulawesi Serlatan.

Untuk kajian eksploratif mengenai faktor pembatas internal UKM atau faktor pembatas eksternal bank diperoleh sebanyak 284 (80,68%) responden UKM yang memberikan pernyataan atas perlu tidaknya suatu UKM berstatus badan hukum. Hasil jawaban responden UKM relatif berimbang antara yang setuju dan tidak setuju terhadap keharusan suatu UKM berbadan hukum. Dilain pihak, juga terdapat sebanyak 48 (78,69%) responden bank memberikan respon tentang perlu tidaknya suatu UKM berbadan hukum.

Responden UKM dan perbankan relatif berpendapat sama bahwa UKM tidak perlu berbadan hukum. Hasil terse-but menunjukkan, bahwa status badan hukum bukan merupakan kendala inter-nal UKM atau kendala eksternal perbankan. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengalaman perbankan dalam hal menerima usulan permohonan kredit dari UKM yang umumnya tidak berbadan hukum. Responden UKM tidak mengemu- kakan alasan mengapa UKM seharusnya berbadan hukum, sedangkan respon-den UKM yang menyatakan UKM tidak perlu berbadan hukum mengemukakan alasan, sebagai berikut (responden memilih lebih dari satu pilihan jawaban):

• kesinambungan usaha tidak pasti sebanyak 18,24%, • omset penjualan relatif kecil sebanyak 23,90%,

• pengelolaan usaha dilakukan oleh keluarga sebanyak 45,91%, dan • aktiva usaha relatif kecil sebanyak 11,95%.

Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa UKM pada umumnya masih dikelola secara kekeluargaan sehingga UKM tidak perlu berbadan hukum. Responden perbankan yang mengemukakan bahwa alasan perlunya legalitas usaha UKM karena merupakan salah satu syarat atau kriteria bagi UKM apabila mengajukan usulan permohonan kredit kepada bank. Apabila UKM harus ber-badan hukum, maka bentuk badan hukum yang sebaiknya bagi UKM menurut responden perbankan.

Jika status badan hukum disyaratkan bagi suatu UKM, maka sebanyak 41,05% responden perbankan menyatakan bentuk badan hukum yang sebaiknya bagi usaha kecil dalam bentuk usaha perseorangan, sedangkan bentuk badan hukum yang sebaiknya bagi usaha mikro sebanyak 48,48% responden perbankan menyatakan dalam bentuk usaha perseorangan dan 39,39% yang menyatakan dalam bentuk usaha koperasi. Untuk usaha menengah, sebanyak 29,13% responden perbankan menyatakan bentuk badan hukum yang sebaiknya adalah perseroan tertutup. Responden perbankan juga mengemukakan bahwa jika UKM tidak harus berbadan hukum, maka UKM tersebut sebaiknya dalam bentuk usaha.

Badan usaha perseorangan merupakan bentuk usaha yang lebih tepat bagi UKM sebagaimana pernyataan yang diberikan oleh 31 (49,21%) responden perbankan. UKM sebaiknya merupakan usaha perseorangan meskipun UKM disyaratkan harus berbadan hukum atau tidak harus berbadan hukum.

Laporan Keuangan UKM juga merupakan faktor pembatas internal UKM atau pembatas eksternal perbankan. Hal tersebut ditunjukkan dalam hasil penelitian ini, bahwa hanya sebanyak 94 (26,70%) responden UKM yang sadar akan pentingnya menyusun laporan keuangan. Dalam penyusunan laporan keuangan UKM, sebanyak:

• 75,53% responden UKM yang menyatakan membuatnya sendiri, • 15,96% dibuat oleh keluarga, • 2,13% dibuat oleh Jasa Konsultan Manajemen, • 3,19% dibuat oleh Kantor Akuntan Publik, dan • 3,19% dibuat oleh karyawan Bank.

Hasil di atas menunjukkan rendahnya kesadaran UKM terhadap perlunya laporan keuangan dibuat sebagai gambaran dari posisi kekayaan dan hasil ke-giatan UKM. Besarnya persentase (75,53%) responden UKM yang menyatakan bahwa mereka menyusun sendiri laporan keuangannya menunjukkan kemung-kinan bahwa UKM yang Hasil di atas menunjukkan rendahnya kesadaran UKM terhadap perlunya laporan keuangan dibuat sebagai gambaran dari posisi kekayaan dan hasil ke-giatan UKM. Besarnya persentase (75,53%) responden UKM yang menyatakan bahwa mereka menyusun sendiri laporan keuangannya menunjukkan kemung-kinan bahwa UKM yang

Alasan yang dikemukakan oleh responden UKM yang tidak menyusun laporan keuangannya, karena: • tidak mengetahui cara menyusun laporan keuangan sebanyak 18,18%, • responden mengerti cara menyusun laporan keuangan tetapi laporan keuangan

tidak diperlukan oleh responden sebanyak 24,24%, • tidak ada staf/karyawan yang mampu menyusun laporan keuangan sebanyak 21,21%, • catatan administrasi keuangan tidak ada sebanyak 6,07%, • catatan administrasi keuangan tidak lengkap sebanyak 19,19%, dan • responden UKM tidak mengetahui pentingnya Laporan Keuangan sebanyak

B. Faktor Pembatas (Limitation) Eksternal UKM atau Internal bank

Dalam penelitian ini, faktor pembatas eksternal UKM atau internal bank antara lain; alasan persetujuan kredit atas usulan yang diajukan oleh UKM, jumlah kredit, dan besarnya kredit yang ada dalam kewenangan pemimpin bank pada suatu daerah/wilayah.

Menurut responden UKM, alasan pihak bank menyetujui suatu usulan kredit yang diajukan oleh UKM, pada umumnya (47,91%) responden UKM berpendapat bahwa usulan kredit yang diajukan oleh UKM disetujui pihak bank karena merupakan kebijakan bank pelaksana. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya tuntutan dari masyarakat (18,56%) sebagai proksi dari UKM, sehingga suatu usulan kredit disetujui oleh pihak bank.

Selanjutnya, responden UKM mengemukakan bahwa jumlah kredit yang selayaknya bagi suatu UKM, sebanyak 33 (19,30%) responden UKM yang menyatakan bahwa usaha kecil dan mikro membutuhkan dana kredit yang berkisar antara lebih dari Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000. sedangkan sebanyak 32 (18,71%) responden UKM yang menyatakan bahwa usaha menengah membutuhkan dana kredit yang lebih dari Rp 300.000.000.

Faktor pembatas eksternal lainnya bagi UKM atau faktor pembatas internal lainnya bagi perbankan dalam mekanisme penyaluran kredit adalah jumlah kredit yang Faktor pembatas eksternal lainnya bagi UKM atau faktor pembatas internal lainnya bagi perbankan dalam mekanisme penyaluran kredit adalah jumlah kredit yang

Kantor cabang bank me-rupakan pilihan yang paling dominan (54,80%) diharapkan oleh para responden UKM agar dapat memiliki kewenangan dalam memutuskan besaran kredit yang disalurkan kepada UKM sampai dengan Rp 500.000.000, sedangkan 35,71% responden UKM menyatakan untuk jumlah kredit yang lebih dari Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 2.500.000.000 kewenangan sebaiknya berada pada kantor wilayah dan 47,37% responden UKM menyatakan bahwa untuk jumlah lebih dari Rp 2.500.000.000 kewenangan sebaiknya berada pada kantor pusat. Hasil terse-but di atas menunjukkan bahwa kantor cabang bank diharapkan memiliki peran yang lebih besar dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan jum- lah kredit yang disalurkan kepada UKM.

C. Kualitas KUK dan Non-KUK

Rata-rata kualitas kredit KUK dari tahun 1993 – 2001 menurut kategori bank. Berdasarkan data yang disajikan, rata-rata kualitas kredit KUK yang lancar sebesar 86,67% dari rata-rata total kredit selama periode tahun 1993 – 2001, dengan proporsi terbesar berada pada BUMN yakni 68,88%, sedangkan sisanya terbagi pada BSN, BPD, dan BPR. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata KUK yang macet sebesar 5,94% dari rata-rata total KUK dengan pro-porsi yang terbesar juga berada pada BUMN yakni 5,38%.

Sebagaimana halnya rata-rata kualitas kredit KUK, maka kualitas kredit non-KUK juga menunjukkan hasil yang sama dengan kualitas kredit KUK. Rata-rata kualitas kredit non-KUK dari tahun 1993 – 2001 menurut kategori bank, menunjukkan bahwa rata-rata kualitas kredit non-KUK yang lancar sebesar 93,54% dari rata-rata total kredit selama periode tahun 1993 – 2001, dengan proporsi terbesar berada pada BUMN yakni 54,84%, sedangkan sisanya terbagi pada BSN, BPD, dan BPR dengan pproporsi yang terbesar pada BPD yakni 28,73%. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata non-KUK yang macet relatif lebih kecil dari rata-rata KUK yakni 1, 29% dari rata-rata total non- KUK.

Menurut responden perbankan, kualitas kredit menurut sektor usaha menunjukkan bahwa kualitas kredit sektor usaha pertam-bangan dan jasa-jasa sosial masyarakat yang berstatus lancar sebesar 100% untuk posisi akhir tahun 2001. Hasil sebesar 100% untuk masing-masing sektor usaha tersebut, sebagai representasi dari 1

(1,64%) responden bank untuk sektor usaha pertambangan dan 7 (11,48%) responden bank untuk sektor usaha jasa-jasa sosial masyarakat dari 61 kantor bank yang menjadi sampel. Untuk sektor usaha pengangkutan dan pergudangan memiliki kualitas kredit yang macet sebesar 14,29% demikian pula pada sektor usaha pertanian memiliki kredit yang berstatus macet sebesar 9,87% dari seluruh kredit yang disalurkan pada masing- masing sektor tersebut untuk posisi akhir tahun 2001.

D. Populasi UKM

Populasi UKM pada penelitian ini didasarkan pada data yang diperoleh dari Kantor Biro Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan, hasil sensus ekonomi pada tahun 1996, menunjukkan bahwa jika didasarkan pada besarnya omset penjualan, maka jumlah UKM yang terbesar yakni 94,97% adalah UKM yang memiliki omset penjualan sampai dengan Rp 49.000.000 dan dari jumlah tersebut, sebesar 87,07% UKM yang memiliki omset penjualan lebih kecil dari Rp 25.000.000.

E. Sumber Permodalan UKM

Pada umumnya, modal UKM diperoleh dari berbagai sumber, pada umumnya bersumber dari kelompok BUMN (35,43%) dan BPD (30,86%). Hasil tersebut menunjukkan bah-wa keterlibatan BSN dalam menyalurkan kredit kepada UKM belum memadai (26,86%). Besarnya peran BUMN dalam pemberian modal kepada UKM mung-kin disebabkan oleh peran salah satu BUMN yakni PT Bank Rakyat Indonesia dan demikian pula halnya dengan BPD yang sampai dengan saat ini telah hampir merata keberadaannya disemua kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan.

F. Akses Terhadap Kredit Perbankan

Responden UKM pada umumnya menyatakan bahwa mereka tidak pernah berpindah bank sebanyak 151 (71,90%) responden, sedangkan 59 (29,10%) responden UKM lainnya menyatakan bahwa mereka pernah berpindah bank. Bagi responden UKM yang pernah berpindah bank menyatakan bahwa frekuensi berpindah bank sebanyak satu kali 26 (63,41%) responden, dua kali 6 (14,63%) responden, tiga kali 4 (9,76%) responden, dan lebih dari tiga kali sebanyak 5 (12,20%) responden. Bentuk perpindahan responden UKM dari suatu bank ke bank lain menurut kategori bank, menunjukkan bahwa hanya 40 (11,36%) responden UKM yang pernah berpindah kategori bank dan dari UKM yang ber-pindah kategori bank tersebut proporsi yang terbesar adalah UKM Responden UKM pada umumnya menyatakan bahwa mereka tidak pernah berpindah bank sebanyak 151 (71,90%) responden, sedangkan 59 (29,10%) responden UKM lainnya menyatakan bahwa mereka pernah berpindah bank. Bagi responden UKM yang pernah berpindah bank menyatakan bahwa frekuensi berpindah bank sebanyak satu kali 26 (63,41%) responden, dua kali 6 (14,63%) responden, tiga kali 4 (9,76%) responden, dan lebih dari tiga kali sebanyak 5 (12,20%) responden. Bentuk perpindahan responden UKM dari suatu bank ke bank lain menurut kategori bank, menunjukkan bahwa hanya 40 (11,36%) responden UKM yang pernah berpindah kategori bank dan dari UKM yang ber-pindah kategori bank tersebut proporsi yang terbesar adalah UKM

§ bank yang terakhir bersedia melakukan take over kredit sebanyak 1 (2,38%) responden,

§ layanan bank yang terakhir relatif lebih baik sebanyak 13 (30,95%) responden, § lokasi bank terakhir mudah dijangkau sebanyak 4 (9,52%) responden, § prosedur administrasi bank terakhir tidak rumit 14 (33,33%) responden, § ajakan kolega usaha sebanyak 2 (4,76%) responden, § sektor usaha UKM sesuai dengan core bisnis bank terakhir sebanyak 3

(7,15%) responden, dan § bank yang terakhir bersedia meningkatkan limit kredit sebanyak 5 (11,91%)

responden. Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh responden UKM di atas menunjuk- kan bahwa prosedur administrasi (33,33%) dan layanan yang diberikan (30,95%) oleh suatu bank merupakan alasan yang cukup dominan bagi responden UKM untuk berpindah bank.

G. Frekuensi Pengajuan Kredit dan Alasan Penolakan Kredit

Apabila usulan/proposal kredit yang diajukan oleh UKM ditolak oleh bank, maka alasan penolakan usulan kredit tersebut diberitahukan oleh bank kepada responden sebanyak 14 responden, sedangkan 4 responden menya-takan bahwa bank tidak memberitahukan alasan penolakan atas usulan kredit yang diajukan oleh UKM.

Hanya sebanyak 15 (4,26%) responden yang memberikan komentar terhadap pernyataan mengenai rentang waktu pemberitahuan kepada UKM atas penolakan bank terhadap usulan kredit, yakni:

5 (29,41%) responden menyatakan kurang dari 1 minggu, •

7 (41,18%) responden menyatakan 1 minggu sampai dengan kurang dari 1 bulan, •

4 (23,53%) responden menyatakan 1 bulan sampai dengan kurang dari 3 bulan, dan •

1 (5,88%) responden yang menyatakan lebih dari 6 bulan. Hasil tersebut di atas, menunjukkan bahwa umumnya responden UKM meneri-ma pemberitahuan dari bank tentang penolakan bank atas usulan kredit tidak lebih dari 1 (satu) bulan.

Oleh karena itu, apabila UKM menerima pemberitahuan dari bank tentang penolakan atas usulan kredit dari UKM, maka upaya yang dilakukan oleh UKM adalah; • mencari bank lain sebanyak 7 (24,14%) responden, • memperbaiki usulan kredit kemudian mengajukannya kepada bank yang sama

17 (58,62%) responden, • tidak mau berhubungan lagi dengan bank 1 (3,45%) responden, dan • mencari sumber dana dari lembaga bukan bank 4 (13,79%) responden.

Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa umumnya responden UKM memper- baiki usulan kredit yang ditolak oleh bank kemudian mengajukannya kembali kepada bank yang sama.

Terhadap pernyataan mengenai usulan kredit yang diajukan oleh responden UKM menurut jenis penggunaannya mendapat respon yang relatif besar dari responden UKM yakni sebesar 223 (63,35%) responden. Menurut responden UKM usulan kredit yang diajukan, adalah untuk digunakan sebagai:

• Modal Kerja sebanyak 187 (83,86%) responden, dan • Investasi sebanyak 36 (16,14%) responden.

Selanjutnya, realisasi kredit menurut jenis penggunaannya yang disetujui bank, adalah untuk:

§ Modal Kerja sebanyak 179 (84,43%) responden, dan § Investasi sebanyak 33 (15,57%) responden.

Responden UKM mengemukakan bahwa frekuensi pengajuan kredit kepada bank sebanyak: • satu kali 184 (88,89%) responden, • dua kali 16 (7,73%) responden, • tiga kali 3 (1,45%) responden, dan • lebih dari tiga kali sebanyak 4 (1,93%) responden.

Hasil tersebut di atas, menunjukkan bahwa umumnya (88,89%) responden UKM mengajukan usulan kredit kepada bank hanya sebanyak 1 (satu) kali. Oleh karena frekuensi pengajuan kredit tersebut dapat berulangkali, sehingga rentang waktu antara aplikasi suatu usulan dengan aplikasi usulan berikutnya (setelah aplikasi usulan diperbaiki) kepada bank sebanyak:

99 responden (48,53%) menyatakan sampai dengan 1 bulan, •

39 responden (19,12%) menyatakan lebih dari 1 bulan sampai dengan 3 bulan,

9 responden (4,41%) menyatakan lebih dari 3 bulan sampai dengan 6 bulan, •

21 responden (10,29%) menyatakan lebih dari 6 bulan sampai dengan 12 bulan, dan •

36 responden (17,65%) menyatakan lebih dari 12 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa rentang waktu antara aplikasi suatu usulan kredit dengan aplikasi usulan kredit berikutnya umumnya sampai dengan 1 (satu) bulan. Rentang waktu antara aplikasi usulan dengan persetujuan perjanjian kredit oleh Bank, sebanyak: •

48 responden (23,65%) menyatakan kurang dari 1 minggu, • 129 responden (63,55%) menyatakan antara 1 minggu sampai dengan 1 bulan, •

22 responden (10,84%) menyatakan lebih dari 1 bulan sampai dengan 3 bulan, •

2 responden (0,98%) menyatakan lebih dari 3 bulan sampai dengan 6 bulan, •

2 responden (0,98%) menyatakan lebih dari 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa umumnya (63,55%) responden UKM menya- takan bahwa rentang waktu antara aplikasi usulan dengan persetujuan perjanjian kredit oleh bank sampai dengan 1 (satu) bulan.

Rentang waktu sejak persetujuan kredit dengan realisasi dana oleh bank kepada UKM, sebanyak:

• 133 responden (62,47%) menyatakan kurang dari 1 minggu, •

71 responden (33,49%) menyatakan antara 1 minggu sampai dengan 1 bulan, • 7 responden (3,30%) menyatakan lebih dari 1 bulan sampai dengan 3 bulan, • 1 responden (0,47%) yang menyatakan lebih dari 6 bulan. Hasil di atas menyatakan bahwa umumnya (62,47%) responden UKM memerlukan

rentang waktu kurang dari 1 minggu sejak persetujuan kredit dengan realisasi dana oleh bank kepada UKM

Menurut responden UKM alasan bank menolak usulan kredit dari UKM karena;

• 109 responden (30,96%) menyatakan karena usahanya tidak termasuk dalam sektor usaha yang dapat dibiayai oleh bank, •

96 responden (27,27%) menyatakan karena jaminan kredit tidak dapat dipenuhi. •

37 responden (10,51%) karena syarat kelompok usaha tidak dipenuhi,

44 responden (12,5) menyatakan karena syarat administrasi tidak dipenuhi, •

35 responden (9,94%) menyatakan karena kelayakan usaha tidak terpenuhi, dan •

31 responden (8,81%) menyatakan tidak tahu.

H. Overhead Cost Berdasarkan Besaran Kredit

Responden perbankan menyatakan bahwa overhead cost yang diperhi- tungkan berdasarkan besaran kredit, sebanyak 29 (56,86%) responden bank yang menyatakan bahwa overhead cost untuk setiap besaran kredit adalah antara 1% sampai dengan 3%.

2.1. Kajian Deskriptif

A. LDR Kantor Bank per Kelompok Bank

Rasio Loan to deposit ratio (LDR) merupakan perbandingan antara total kredit yang disalurkan dengan total simpanan yang diterima oleh perbankan. Rasio ini menunjukkan efektifitas penyaluran kredit oleh pihak perbankan baik kredit usaha kecil (KUK) maupun kredit non KUK.

Loan to deposit ratio (LDR) antara tahun 1993 dan tahun 1997 menunjukkan kecenderungan naik. Total LDR tahun 1993 adalah 94% dan tahun 1997 mencapai 114%. Setelah tahun 1997, LDR cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1998, LDR hanya mencapai 61% dan pada bulan Januari 2002 LDR sebesar 59%. Hal ini berarti bahwa sejak krisis tahun 1997, pihak perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit.

Posisi simpanan tahun 1997 adalah sebesar Rp 3,7 trilyun sedangkan posisi kredit pada tahun yang sama adalah Rp 4,2 trilyun. Pada tahun 1998, posisi simpanan mencapai Rp 7,2 trilyun sedangkan posisi total simpanan hanya mencapai Rp 4,4 trilyun. Hal ini berarti bahwa peningkatan posisi kredit hanya mencapai 4,2%, sedangkan posisi simpanan mengalami peningkatan yang sangat besar yakni mencapai 95,6%. Akibatnya, LDR mengalami penurunan yang sangat drastis dari 114% pada tahun 1997 menjadi 61% pada tahun 1998.

Rasio LDR mengalami penurunan terus menerus sampai Januari 2002. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya LDR bank swasta nasional. Sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1997, LDR tertinggi yang pernah dicapai oleh bank swasta nasional adalah 94% yakni pada tahun 1994. Sejak tahun 1998 sampai dengan Januari 2002, LDR bank swasta nasional hanya berkisar 7-39%. Hal ini berarti bahwa bank swasta nasional lebih banyak menarik dana dari Sulsel dibandingkan jumlah dana yang disalurkan di Sulsel, khusus posisi bulan Januari 2002 menunjukkan bahwa hanya 39% dari dana yang diterima telah disalurkan di Sulsel.

Rasio LDR bank BUMN sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 cenderung naik. Bahkan pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1997, LDR bank BUMN melebihi 100%. Namun sejak tahun 1998 sampai Januari 2002, LDR bank BUMN cenderung mengalami penurunan dan berkisar antara 67-77%.

Rasio LDR BPR sejak tahun 1993 cenderung mengalami peningkatan. LDR tahun 1993 adalah 120% dan bulan Januari 2002 adalah 136%. Sejak tahun 1993 sampai dengan Januari 2002, rasio LDR BPR selalu di atas 100%. Hal ini berarti bahwa BPR lebih banyak menyalurkan dana dibandingkan menarik dana di Sulsel. Tingginya rasio LDR BPR juga mencerminkan tingginya permintaan kredit kecil dan mikro serta adanya kemudahan dalam pelayanan kredit yang diberikan oleh BPR.

Sejak tahun 1998 sampai Januari 2002, rasio LDR BPR lebih besar dibandingkan dengan rasio LDR Bank Umum Milik Negara dan sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan rasio LDR Bank Swasta Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan BPR lebih efektif menyalurkan kedit dibandingkan dengan bank umum baik milik negara maupun milik swasta.

B. LDR Kantor Bank per Kabupaten

LDR bank umum untuk wilayah Kabupaten Wajo cukup besar dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2002. Pada umumnya, LDR pada wilayah Kabupaten Wajo untuk periode tersebut melebihi 100% kecuali tahun 1993 sebesar 96%, tahun 1994 sebesar 95%, tahun 1998 sebesar 35%, tahun 1999 sebesar 74%, tahun 2000 sebesar 98%, dan tahun 2001 dan 2002 masing-masing sebesar 88% dan 87%. Hal ini berarti LDR yang paling rendah untuk wilayah kabupaten Wajo dalam periode tahun 1993 sampai dengan Januari 2002 adalah sebesar 35%.

LDR bank umum untuk wilayah Kabupaten Bone berada di atas 100% dalam periode tahun 1995 sampai dengan tahun 1997. Sejak tahun 1998 sampai dengan awal tahun 2002 cenderung mengalami penurunan dan pada bulan Januari 2002 hanya mencapai 38%.

LDR bank umum untuk wilayah Kabupaten Tana Toraja cenderung ber-ada dibawah 100% kecuali tahun 1998 mencapai LDR sebesar 145%. LDR Kabupaten Tana Toraja terendah adalah sebesar 28% pada bulan Januari 2002.

LDR bank umum wilayah Kabupaten Luwu berada di atas 100% selama tahun 1993 sampai dengan 1997. Sejak tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 LDR

Kabupaten Luwu terendah adalah 59% pada tahun 1998 dan tertinggi adalah 88% pada Januari 2002.

LDR bank umum Kabupaten Bulukumba antara tahun 1993 sampai tahun 1997 berkisar antara 73% sampai dengan 143%. Pada tahun 1998 LDR Kabu-paten Bulukumba turun menjadi 43%. Pada bulan Januari 2002 LDR Bulukumba naik menjadi 69%.

LDR bank umum Kabupaten Bantaeng antara tahun 1993 sampai dengan tahun 1996 berkisar antara 105% sampai dengan 147%. LDR Kabupaten Bantaeng pada bulan Januari 2002 adalah 67%.

LDR bank umum yang terbesar dalam periode tahun 1993 sampai dengan Januari 2002 adalah untuk wilayah kabupaten Pangkep. LDR terendah kabupaten Pangkep adalah sebesar 165% pada bulan Januari 2002 dan tertinggi pada tahun 1997 yakni mencapai 1343%.

LDR bank umum Kabupaten Soppeng di atas 50% pada periode tahun 1993 sampai dengan tahun 1997, sedangkan pada periode 1998 sampai dengan Januari 2002 berada di bawah 50%. LDR Kabupaten Soppeng pada bulan Janu-ari 2002 adalah 42%.

LDR bank umum Kota Makassar di atas 50% pada periode tahun 1993 sampai dengan tahun 1997. LDR Kota Makassar tertinggi dicapai pada tahun 1994 yakni sebesar 95%. Pada tahun 1998 LDR turun menjadi 48% dan naik kembali menjadi 53% pada bulan Januari 2002.

LDR bank umum Kota Pare-Pare di atas 50% pada periode tahun 1993 sampai dengan tahun 1997. LDR Kota Pare-Pare turun menjadi 21% pada tahun 1998 dan pada bulan Januari 2002 LDR Kota Pare-Pare naik hingga mencapai 36%.

LDR untuk sebelas kabupaten yang di analisis dalam periode tahun 1993 sampai dengan Januari 2002 menunjukkan bahwa LDR tertinggi adalah Kabu-paten Pangkep dan terendah adalah Kota Pare-Pare. LDR Kabupaten Pangkep tertinggi pada tahun 1997 yakni mencapai 1343% dan Kota Pare-Pare hanya mencapai 21% pada tahun 1998.

LDR posisi Januari 2002 menunjukkan bahwa LDR Kabupaten Pangkep mencapai nilai tertinggi yakni 165%. Jumlah kredit yang disalurkan mencapai Rp 251.115 juta sedangkan jumlah dana pihak ketiga yang disimpan diwilayah Pangkep hanya mencapai Rp 151.890 juta. Hal ini berarti bahwa jumlah kredit yang disalurkan

65% di atas jumlah dana pihak ketiga yang disimpan pada bank di wilayah Kabupaten Pangkep.

C. Rasio Optimal KUK Regional dan Kabupaten

Menurut perspektif bankir, rasio optimal KUK regional dan kabupaten adalah sebesar 80% dari total kredit yang dialokasikan. Secara rinci, 63% responden mengemukakan bahwa rasio kredit usaha besar adalah 20%, usaha menengah adalah adalah 40%, usaha kecil adalah 20% dan usaha mikro adalah 20%. Sisanya, 13% responden mengemukakan bahwa rasio optimal antara kredit usaha besar, menengah, kecil, dan mikro adalah 30%: 30%: 20%: 20%, sisanya sebesar 24% sangat bervariasi antara responden.

Rasio optimal KUK menurut perspektif bankir atau yang sesuai dengan business plan bank adalah 80%. Namun data menunjukkan bahwa KUK/DPK yang terjadi untuk bank umum milik negara hanya mencapai 27% dan bank umum milik swasta hanya mencapai 5%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat masalah struktural dalam penyaluran kredit UKM.

D. KUK/DPK per Kelompok Bank

Rasio KUK/DPK merupakan perbandingan antara kredit usaha kecil (KUK) yang disalurkan dengan dana pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh perbankan. Optimalisasi penggunaan dana simpanan masyarakat lokal bagi upaya pengembangan usaha kecil di Sulsel dapat dilihat pada besarnya rasio KUK/ DPK.

Rasio KUK/DPK bank BUMN cenderung mengalami peningkatan dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1997. Rasio KUK/DPK bank BUMN tahun 1993 sebesar 32% dan pada tahun 1977 adalah 77%. Sejak tahun 1998, rasio KUK/DPK bank BUMN mengalami penurunan. Pada bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK bank BUMN hanya mencapai 27%.

Rasio KUK/DPK Bank Swasta Nasional (BSN) cenderung mengalami pe- nurunan sejak tahun 1993 sampai dengan Januari 2002. Rasio KUK/DPK BSN pada tahun 1993 adalah 35% dan hanya mencapai 5% pada bulan Januari 2002. Hal ini menunjukkan bahwa bank swasta nasional sangat tidak concern pada pengembangan usaha kecil di wilayah Sulsel.

Rasio KUK/DPK BPR sejak tahun 1993 cenderung mengalami pening-katan. Rasio KUK/DPK BPR tahun 1993 adalah 120% dan bulan Januari 2002 adalah 136%.

Sejak tahun 1993 sampai dengan Januari 2002, rasio LDR BPR selalu di atas 100%. Hal ini menunjukkan bahwa bank perkreditan rakyat sangat concern pada pengembangan usaha kecil di wilayah Sulsel dan seluruh kredit yang disalurkan diperuntukkan untuk pengembangan usaha kecil.

Rasio KUK/DPK lebih besar dibandingkan dengan rasio KUK/DPK bank umum milik negara dan sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan rasio KUK/DPK bank swasta nasional. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan BPR lebih efektif menyalurkan kedit dibandingkan dengan bank umum baik milik negara maupun milik swasta. Bank swasta sangat tidak efektif dalam menyalurkan kredit kepada pengusaha kecil.

E. KUK/DPK per Kabupaten

Optimalisasi penggunaan dana simpanan masyarakat lokal bagi upaya pengembangan usaha kecil di Sulsel dapat dilihat pada besarnya rasio KUK/ DPK. Rasio KUK/DPK kabupaten Wajo cenderung naik selama periode tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 41% menjadi 89%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Wajo turun di bawah 44% selama periode tahun 1998 sampai dengan Januari 2002, kecuali KUK/DPK tahun 2000 mencapai 60%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Bone cenderung naik selama periode tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 35% menjadi 62%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Wajo turun dan pada bulan Januari 2002 hanya mencapai 23%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Tana Toraja cenderung naik selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 47% menjadi 52%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Tana Toraja turun di bawah 27% selama periode tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 dan KUK/DPK Januari 2002 hanya mencapai 11%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Luwu cenderung naik selama periode tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 55% menjadi 88%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Luwu turun di bawah 45% selama periode tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 dan KUK/DPK Januari 2002 hanya mencapai 10%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Bulukumba juga cenderung naik selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 70% menjadi 133%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Bulukumba turun di bawah 49% selama tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 dan KUK/DPK Januari 2002 hanya mencapai 24%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Bantaeng cenderung naik selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1999 dari 23% menjadi 49%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Bantaeng turun sangat drastis pada tahun 2000 hanya mencapai 3%. Rasio KUK/DPK Kabupaten Bantaeng pada bulan Januari 2002 mencapai 12%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Pangkep cenderung naik selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 26% menjadi 78%. Rasio KUK/DPK Kabupaten Pangkep terendah adalah 20% pada tahun 2000 dan pada bulan Januari 2002 mencapai 41%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Soppeng cenderung naik selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 55% menjadi 83%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Soppeng turun dari 41% pada tahun 1998 sampai dengan Januari 2002 hanya mencapai 12%.

Rasio KUK/DPK Kabupaten Polmas naik drastis selama tahun 1993 sam-pai dengan tahun 1997 dari 59% menjadi 153%. Setelah itu, KUK/DPK Kabupaten Polmas mengalami penurunan dan rasio terendah mencapai 32% pada tahun 2000 dan pada bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK Kabupaten Polmas naik menjadi 66%.

Rasio KUK/DPK Kota Makassar cenderung naik selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 29% menjadi 42%. Setelah itu, KUK/DPK Kota Makassar mengalami penurunan dan rasio terendah mencapai 16% pada tahun 2001 dan pada bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK Kota Makassar hanya mencapai 17%.

Rasio KUK/DPK Kota Pare-pare naik drastis selama tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 dari 44% menjadi 80%. Setelah itu, KUK/DPK Kota Pare-pare mengalami penurunan dan rasio terendah hanya mencapai 21% pada tahun 1998 dan pada bulan Januari 2002 rasio KUK/DPK Kota Pare-pare naik menjadi 33%.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya rasio KUK/ DPK cenderung naik dari tahun 1993 sampai tahun 1997. Setelah itu, rasio KUK/ DPK cenderung turun sampai Januari 2002. Rasio KUK/DPK terendah dalam periode Januari 2002 adalah Kabupaten Luwu yakni sebesar 10% dan tertinggi adalah Kabupaten Polmas yakni mencapai 66%.

F. Rasio Baki Debet terhadap Plafon Kredit UKM