PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINY

PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP PROFITABILITAS USAHA JASA ALSINTAN DAN USAHATANI PADI

(Kasus Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur)

Pantjar Simatupang, Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto, dan M. Maulana PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Minyak bumi merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Berarti, penggunaan secara terus-menerus menyebabkan semakin menipisnya persediaan minyak bumi. Globalisasi dan industrialisasi menyebabkan kebutuhan bahan bakar minyak semakin tinggi. Sementara kapasitas produksinya tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhannya. Akibatnya, sepanjang tahun 2005, harga minyak di pasar dunia melonjak dan sampai Agustus 2005 harga minyak dunia bertahan diatas level 55 US$/barel. Tingginya harga minyak dunia ini menyebabkan beban subsidi pemerintah semakin berat.

Pola subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selama ini diterapkan ternyata malah menjadi penambah beban keuangan negara. Kenaikan harga BBM merupakan sebuah konsekuensi dari melonjaknya harga minyak dunia. Kenyataan ini tertuang dalam APBN 2005 yang terus mengalami revisi sebagai penyesuaian meningkatnya harga minyak dunia.

Bahan Bakar Minyak merupakan faktor produksi penting bagi berbagai kegiatan sektor perekonomian tak terkecuali sektor pertanian. BBM digunakan untuk mesin-mesin penggerak produktif seperti kendaraan bermotor angkutan umum, traktor, industri pengolahan dan generator pembangkit listrik. Mengingat peran yang amat strategis dari BBM terhadap perekonomian nasional, maka pemerintah mengendalikan penyaluran dan harga BBM. Namun demikian, dalam rangka mengurangi beban subsidi, pemerintah secara periodik melakukan penyesuaian harga BBM agar mendekati harga keseimbangannnya. Pada bulan Maret 2005, pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM sehingga harga BBM utamanya Solar mengalami kenaikan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,93 persen.

VI-56

Diantara berbagai BBM, minyak solar merupakan salah satu faktor produksi penting bagi sektor pertanian, maka kenaikan solar tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja sektor pertanian, diantaranya mempengaruhi profitabilitas usaha jasa alat dan mesin pertanian yang secara langsung akan mempengaruhi profitabilitas usahatani padi.

II. Tujuan

Tujuan penelitian ini secara spesifik dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji dampak perubahan harga BBM terhadap profitabilitas usaha jasa traktor tangan, pompa air, power thresher, penggilingan padi akibat peningkatan biaya operasional dan profitabilitas usahatani padi akibat peningkatan ongkos usahatani.

2. Simulasi dampak rencana kenaikan harga BBM akhir tahun 2005 terhadap profitabilitas usaha jasa traktor tangan, pompa air, power thresher, penggilingan padi dan usahatani padi.

3. Untuk menyusun rumusan kebijakan yang dipandang sesuai sehubungan dengan kebijakan harga BBM.

METODOLOGI PENELITIAN

I. Kerangka Pemikiran

Transmisi Dampak Kenaikan BBM terhadap Sektor Pertanian

Pengaruh kenaikan harga solar terhadap sektor pertanian terutama terjadi melalui 3 (tiga) media yaitu : (1) sewa alsintan; (2) biaya pemasaran dan (3) inflasi pedesaan. Peningkatan harga solar akan meningkatkan biaya sewa alsintan selanjutnya akan meningkatkan biaya usahatani dan akan menurunkan produksi dan laba usahatani.

Peningkatan harga solar akan meningkatkan biaya transportasi yang selanjutnya akan meningkatkan biaya pemasaran. Peningkatan biaya pemasaran akan meningkatkan harga output di tingkat konsumen, namun karena biaya pemasaran mengalami peningkatan, maka harga yang diterima petani akan mengalami menurun. Selain meningkatkan biaya distribusi, peningkatan harga solar juga akan meningkatkan biaya pokok produksi input pertanian manufaktur

VI-57 VI-57

Kenaikan harga solar juga akan meningkatkan indeks harga konsumen pedesaan. Namun karena harga output yang diterima petani mengalami penurunan, maka kenaikan harga solar mungkin tidak berpengaruh nyata terhadap inflasi pedesaan. Kenaikan harga solar akan lebih berpengaruh pada inflasi di perkotaan karena harga yang dibeli oleh konsumen akan mengalami peningkatan, sehingga kemungkinan besar kesejahteraan masyarakat perkotaan akan mengalami penurunan.

Dengan demikian peningkatan harga solar akan menurunankan produksi dan laba usahatani. Penurunan harga output yang diterima petani dapat menurunkan tingkat upah. Perpaduan dua faktor tersebut akan menyebabkan PDB sektor pertanian akan mengalami penurunan. Dampak kenaikan harga solar terhadap sektor pertanian secara rinci disajikan dalam Gambar 1.

Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survey di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Untuk data tingkat nasional diperoleh dari rata – rata dua propinsi lokasi survey.

Sumber data sekunder adalah lembaga/instansi yang terkait dengan data/informasi yang dibutuhkan dalam penelitian antara lain seperti Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Tingkat I dan II. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 sampai dengan 19 Agustus 2005.

Metode Analisis

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah metode–metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995). Analisis Deskriptif memberikan informasi mengenai sekumpulan data dan mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis selanjutnya, jika diperlukan analisis ini meliputi penyusenan ukuran pemusatan,

VI-58

Sewa Alsintan

Biaya Usaha

Produksi pert.

Laba Usaha

Meningkat

Meningkat

Menurun

Menurun

Kesejahteraan

Harga input

Petani

Meningkat

PDB Pertanian

Menurun

Menurun

Kenaikan

Ongkos

BBM

Pemasaran

Harga diterima

Upah pertanian

Petani Menurun

Menurun

Inflasi Inflasi

Non Pertanian

Pedesaan

Gambar 1. Dampak Transmisi Kenaikan Harga Solar Terhadap Sektor Pertanian

VI-59 VI-59

Perhitungan Profitabilitas Usahatani

Profitabilitas usahatani dihitung dengan menggunakan : 1)

π = TR – TC ............................................................ (1) π = P.Q – (TFC + TVC)...................................................... (2)

π = P.Q - ( TC + P ∑ ∑ i X i ) ............................................. (3)

dimana :

π = keuntungan TR

= total penerimaan TC

= total biaya P

= harga output Q

= jumlah output TFC = total biaya tetap TVC = total biaya variabel

FC I = jenis biaya tetap ke-i P I = harga input ke-i

X I = jumlah input ke-i

Kriteria : Bila π > 0: usahatani layak Bila π < 0: usahatani tidak layak

2) R/C ratio atau rasio penerimaan dan biaya R/C = TR / TC

dimana : TR = total penerimaan TC = total biaya

Kriteria : Bila R/C > 1 usahatani layak Bila R/C < 1 usahatani tidak layak

VI-60

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Traktor Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005

Traktor digunakan untuk pengolahan tanah sampai siap tanam. Hingga kini, penggunaan traktor untuk pengolahan sawah telah berkembang hampir menyeluruh di daerah persawahan padi di Indonesia baik di daerah kekurangan tenaga kerja maupun di daerah yang cukup tenaga kerja. Pertimbangan petani untuk menggunakan traktor diantaranya adalah lebih cepat bila dibandingkan tenaga kerja manusia ataupun ternak, sehingga jadual tanam yang ketat dan serempak dapat terealisir, biaya pengolahan tanah per hektarnya lebih murah bila dibanding tenaga kerja manusia ataupun ternak, dan kesulitan mencari tenaga kerja manusia ataupun ternak untuk pengolahan sawah (Simatupang et al, 1994). Pada usahatani padi di lahan sawah jenis traktor yang banyak digunakan oleh petani adalah traktor tangan (hand tractor) dibandingkan dengan traktor mini (traktor roda empat). Hal ini disebabkan traktor tangan harganya lebih murah dan pengorerasiannya relatif lebih mudah.

Di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur traktor tangan yang digunakan baik untuk perorangan maupun usaha jasa persewaan banyak dijumpai merupakan buatan Cina, salah satunya adalah traktor tangan bermerk Dong Feng dengan tenaga mesin 8.5 PK. Pertimbangan utama petani untuk menggunakan traktor tangan buatan Cina dibandingkan dengan buatan lainnya seperti merk Kubota dari Jepang adalah harga belinya yang lebih murah.

Sebelum kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional traktor tangan mencapai Rp. 100.087/ha. Komponen biaya terbesar dalam biaya operasional traktor tersebut adalah upah operator yang mencapai Rp. 45.000/ha atau 44.96 persen dari total biaya operasional. Upah operator ini dihitung sebesar

15 persen dari sewa traktor. Komponen biaya bahan bakar solar merupakan komponen biaya operasional terbesar kedua yang mencapai Rp. 39.000/ha atau sekitar 39 persen. Sementara komponen biaya perawatan dan oli hanya sekitar 16 persen.

Sistem pengupahan jasa traktor adalah borongan per satuan luas. Rata – rata per hektar luasan sawah ongkos sewa traktor mencapai Rp. 300.000. Dengan ongkos sewa tersebut, laba bersih yang diperoleh pengusaha traktor sekitar Rp.

VI-61

184.000/ha. Jika penyusutan dimasukan dalam perhitungan biaya total yang per tahunnya mencapai Rp. 16.000, maka rasio pendapatan dengan biaya total (RC rasio dengan biaya total) adalah sebesar 2.58 (Tabel 1).

Tabel 1. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

Sebelum Kenaikan BBM

Setelah Kenaikan BBM

Satuan

(%) Harga Nilai (Rp) % 1. Spesifikasi Teknis

Vol.

Harga

Nilai (Rp)

Share

Nilai (Rp)

Harga Beli

- - - Tenaga Mesin

8 juta

8 juta

PK 8.5 8.5 - - - Umur Ekonomis

Tahun 10 10 - - - Kemampuan Kerja

- - - - Jam Operasi

10 10 - - - - Luas Pelayanan

Jam/ hari

0.5 0.5 - - - 2. Biaya Operasional

Ha/ hari

158,342 100.00 - 58,255 58.20 Solar

18,182 11.48 - 5,455 42.86 Upah Operator

Rp

90,000 56.84 - 45,000 100.00 3. Penerimaan Kotor

- 60,000 20.00 4. Laba Kotor (3 - 2)

- - - 6. Laba Bersih

3.00 2.27 - (0.72) (24.15) 8. Biaya Total

58,255 50.18 9. RCR Dengan Biaya

Total 2.58 2.06 - (0.52) (20.10)

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

Kenaikan harga solar yang diberlakukan oleh pemerintah pada bulan Maret 2005 berpengaruh langsung terhadap biaya operasional pengolahan tanah dengan traktor. Harga solar yang biasa diperoleh pengusaha dari pengecer desa sebesar Rp. 1.950/liter, setelah kenaikan BBM meningkat menjadi Rp. 2.300/liter. Peningkatan harga solar ini menyebabkan komponen biaya solar meningkat sebesar Rp. 7.000/ha atau 17.9 persen. Harga oli juga meningkat dari Rp. 21.000/liter sebelum kenaikan menjadi Rp. 26.000/liter setelah kenaikan BBM sehingga meningkatkan komponen biaya oli dalam biaya operasional sebesar 23.8 persen. Sementara biaya perawatan meningkat tajam akibat kenaikan BBM sebesar Rp. 5.422/ha atau 42.8 persen.

VI-62

Untuk komponen biaya upah operator terjadi kenaikan persentase perhitungan upah dari sewa traktor. Jika sebelum kenaikan BBM nilai upah operator mencapai 15 persen dari sewa traktor, maka setelah kenaikan BBM meningkat menjadi 25 persen dari sewa traktor. Sewa traktor sendiri meningkat rata – rata Rp. 60.000/ha atau sekitar 20 persen sehingga upah operator yang merupakan persentase terhadap sewa mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Secara total biaya operasional traktor meningkat menjadi Rp. 158.342/ha atau meningkat sekitar 58 persen.

Dengan adanya perhitungan kenaikan biaya operasional dan sewa, maka dapat terlihat bahwa kenaikan harga solar di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur telah menyebabkan peningkatan laba bersih para pemilik atau pengusaha jasa traktor sebesar Rp. 1.745/ha atau sekitar 0.95 persen. Tetapi secara keseluruhan RC rasio dengan biaya total turun dari 2.58 menjadi 2.06 setelah adanya kenaikan BBM.

Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan kepemilikan traktor secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) usaha jasa sewa, (2) petani/kelompok tani, dan (3) pemerintah (pada umumnya dinas dinas lingkup Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan). Hasil inventarisasi di Kabupaten Sidrap menunjukkan bahwa, sebagian besar kepemilikan traktor di kabupaten ini merupakan milik petani (tuan tanah) dan hanya sebagian merupakan milik usaha jasa sewa traktor. Sehingga pasar usaha penyewaan traktor di wilayah ini relatif kurang berjalan. Merk traktor yang dimiliki petani cukup beragam, ada merk Yanmar, Kubota dan ada juga merk Ratna dengan harga yang cukup beragam pula. Kemampuan kerja traktor sangat ditentukan oleh spesifikasi teknis tenaga mesin traktor itu sendiri. Traktor dengan PK lebih tinggi tentunya mempunyai kemampuan kerja lebih tinggi dibanding traktor dengan PK lebih rendah. Dengan perawatan cukup baik, umur ekonomis traktor diperkirakan bisa mencapai 10 tahun. Dalam sehari (7 - 10 jam) kemampuan mengolah lahan sampai siap tanam berkisar 0,25 – 0,35 hektar. Untuk kelompok traktor yang disewakan, jumlah hari efektif mengolah lahan dalam satu musim kurang lebih 20 hari, sehingga dalam setahun (2 musim padi) luas lahan yang bisa terolah sekitar 10 – 14 hektar.

Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) termasuk jenis solar seiiring dengan melonjaknya harga komoditas ini di pasar dunia di satu sisi dan disisi lain untuk mengurangi beban anggaran negera yang

VI-63 VI-63

Pada Tabel 2 disajikan perubahan profitabilitas usaha traktor di Kabupaten Sidrap akibat adanya kenaikan harga BBM. Untuk menghindari kerugian, kenaikan harga BBM telah direspon dengan adanya penyesuaian besarnya sewa traktor. Sebelum kenaikan harga BBM, besarnya sewa traktor yang umumnya berlaku di Sidrap adalah Rp 400.000/ha dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi Rp 500.000/ha (meningkat sebesar 25%). Secara keseluruhan biaya operasional yang harus dikeluarkan usaha jasa ini mengalami peningkatan sekitar 24,82% 42.027/ha). Kalau diperinci lebih lanjut, biaya BBM jenis solar dan oli yang dikeluarkan usaha jasa ini meningkat masing-masing 27,27% dan 22,22%, sementara biaya operator meningkat secara proporsional dengan kenaikan sewa traktor, mengingat besarnya ongkos operator 20% dari nilai sewa traktor.

Sebelum kenaikan harga BBM rata-rata keuntungan usaha jasa traktor sekitar Rp 131 ribu/ha pada tingkat RCR 1,49 dan setelah kenaikan harga BBM menjadi Rp 189 ribu/ha pada tingkat RCR 1,61. Terlihat bahwa setelah adanya kenaikan harga BBM justru keuntungan yang diterima usaha jasa ini lebih baik dari sebelumnya. Fakta ini menunjukkan bahwa tambahan biaya operasional akibat adanya kenaikan harga BBM sepenuhnya ditanggung petani. Fakta ini juga menunjukkan bahwa usaha jasa traktor cenderung terlalu tinggi menaikkan sewa traktor, karena pada sewa yang baru keuntungannya semakin membaik secara nominal, juga terjadi kenaikan relatif (%) lebih tinggi dari kenaikan biaya operasional. Tanpa adanya perbaikan harga jual gabah di tingkat petani, maka dapat dipastikan insentif yang diterima petani akan menurun.

VI-64

Tabel 2. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

Sebelum Kenaikan BBM

Setelah Kenaikan BBM

Satuan

(Rp) % 1. Spesifikasi Teknis

(%) Harga Nilai

- - - Tenaga Mesin

Harga Beli

11 juta

11 juta

PK 8.5 8.5 - - - Umur Ekonomis

Tahun 10 10 - - - Kemampuan Kerja

- - - Jam/

- Jam Operasi 10 10 - - - hari

Ha/ - Luas Pelayanan hari

0.33 0.33 - - - 2. Biaya Operasional

211,373 100.00 - 42,027 24.82 Solar

Liter 21 1,815 38,115 22.51 21 2,310 48,510 22.95 495 10,395 27.27 Oli

Liter 0.12 9,900 1,188 0.70 0.12 12,100 1,452 0.69 2,200 264 22.22 Perawatan

26,182 12.39 - 4,364 20.00 Upah Operator

Rp

100,000 47.31 - 20,000 25.00 20% Biaya Bunga

35,229 16.67 24.82 3. Penerimaan Kotor

Rp

- 100,000 25.00 4. Laba Kotor (3 - 2)

- - - 6. Laba Bersih

Rp 2.36 2.37 - 0.00 0.15 8. Biaya Total

42,027 15.60 9. RCR Dengan Biaya Total

1.49 1.61 - 0.12 8.13 Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional traktor tangan Rp. 49.574/ha atau 41.6 persen. Komponen biaya upah operator mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp. 35.500/ha atau meningkat sekitar 57 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing – masing adalah komponen biaya perawatan Rp. 4.909/ha (28.4%), Oli Rp. 504/ha (23.3%) dan solar Rp. 8.661/ha (22.4%) (Tabel 3).

Penerimaan dari sewa traktor juga mengalami peningkatan pasca kenaikan BBM sebesar Rp. 80.000/ha atau 22.8 persen. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar Rp 19.000/ha maka laba bersih usaha jasa traktor meningkat dari Rp 211.723/ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp 242.149/ha setelah kenaikan atau 14.3 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa traktor belum mampu

VI-65

Tabel 3. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Traktor Tangan di Indonesia, Agustus 2005.

Simulasi Kenaikan Harga Solar Uraian

30% 40% 50% 1. Spesifikasi Teknis Harga Beli

Volume

Harga

Nilai (Rp)

Nilai (Rp)

Nilai (Rp)

- - - 9,500,000 9,500,000 9,500,000 9,500,000 Tenaga Mesin

PK 8.5 8.5 - - - 9 9 9 9 Umur Ekonomis

Tahun 10 10 - - - 10 10 10 10 Kemampuan Kerja

- Jam Operasi Jam/hari 10 10 - - - 10 10 10 10 - Luas Pelayanan

Ha/hari 0.42 0.42 - - - 0.42 0.42 0.42 0.42 2. Biaya Operasional

168,851 100.00 - 49,574 41.56 209,086 229,204 249,321 269,439 Solar

Liter 20.50 1,883 38,591 32.35 20.50 2,305 47,253 27.98 423 8,661 22.44 56,703 61,428 66,154 70,879 Oli

Liter 0.14 15,450 2,163 1.81 0.14 19,050 2,667 1.58 3,600 504 23.30 3,200 3,467 3,734 4,001 Perawatan

22,182 13.14 - 4,909 28.42 27,800 30,609 33,418 36,227 Upah Operator

Rp

96,750 57.30 - 35,500 57.96 121,383 133,700 146,016 158,333 3. Penerimaan Kotor

- 80,000 22.86 517,585 561,377 605,170 648,962 4. Laba Kotor (3 - 2)

- 19,000 19,000 19,000 19,000 6. Laba Bersih

2.48 2.45 2.43 2.41 8. Biaya Total

2.93 2.55 - (0.39)

49,574 35.85 228,086 248,204 268,321 288,439 9. RCR Dengan Biaya

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

VI-66 VI-66

Dengan terus meningkatnya tren harga minyak dunia maka tentunya pemerintah akan menyesuaikan harga BBM dalam negeri demi mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa traktor. Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa traktor, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 168 ribu/ha menjadi Rp. 209 ribu/ha. Berturut–turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 229 ribu, Rp. 249 ribu dan Rp. 269 ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 309 ribu – Rp. 380 ribu.

Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Pompa Air Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005

Pada usahatani tanaman pangan, pompa air digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman ataupun untuk persiapan pengolahan lahan. Kalau dilihat dari fungsi pompa air untuk usahatani padi atau palawija, maka pompa air digunakan baik untuk musim hujan maupun musim kemarau, baik di sawah irigasi maupun sawah atau lahan tadah hujan. Pada awal musim hujan, sebelum air irigasi masuk mengairi sawah atau air hujan masih belum cukup, maka untuk keperluan pengolahan lahan diperlukan kondisi tanah yang basah sehingga memungkinkan untuk diolah, baik dengan menggunakan traktor, ternak maupun tenaga manusia. Untuk membasahi tanah ini diperlukan air yang berasal dari irigasi pompa. Pada tahap-tahap berikutnya, penggunaan pompa air untuk irigasi bagi tanaman pangan adalah untuk mencukupi kebutuhan air pada saat air irigasi atau air hujan kurang.

Dilihat dari asal sumber air yang dipompa, irigasi pompa dapat dibedakan menjadi irigasi pompa bersumber dari air sungai dan dari air sumur. Irigasi pompa yang sumber airnya berasal dari sungai pada umumnya dapat mengairi sawah lebih luas daripada irigasi pompa dari air sumur. Hal ini disebabkan karena debit

VI-67 VI-67

Di Kabupaten Nganjuk, kepemilikan pompa air terutama buatan cina sudah banyak dimiliki secara perorangan oleh petani untuk mengairi sawahnya sendiri. Walaupun begitu, masih cukup banyak usaha jasa poma air yang diusahakan melalui kelompok tani untuk mengairi sawah anggotanya atau petani luar anggota yang memerlukan. Salah satu jenis pompa air yang banyak dimiliki atau diusahakan adalah merk Dong Feng dengan tenaga mesin 8.5 PK.

Sebelum kenaikan BBM Maret 2005, sebuah pompa air Dong Feng dengan sumber air sumur pantek dapat beroperasi mengair satu hektar sawah dengan biaya operasional rata – rata sebesar Rp. 106 ribu (Tabel 4). Komponen biaya operasional terbesarnya adalah upah operator dan solar yang masing – masing mencapai Rp. 54.000 dan Rp. 45.600 atau sekitar 51 dan 43 persen dari total biaya operasional. Sementara komponen biaya lainnya yaitu biaya perawatan dan oli totalnya hanya mencapai 5.34 persen.

Sewa pompa air di Kabupaten Ngajuk dihitung dalam satuan jam dengan nilai sewa per jam mencapai Rp. 4.000. Jika dalam satu hektar dibutuhkan waktu pengairan 30 jam, maka besar nilai sewa per hektar adalah Rp. 120 ribu. Jika penyusutan per hektar dihitung sebesar Rp. 9.500, maka laba bersih usaha jasa pompa air sumur pantek mencapai Rp. 5.275/ha. Dengan memperhitungkan penyusutan kedalam biaya maka besarnya RC rasio dengan biaya total adalah sebesar 1.05.

Setelah kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional per hektar usaha jasa pompa air meningkat Rp. 16.225 atau sekitar 15.4 persen. Komponen biaya operasional yang mengalami peningkatan terbesar adalah biaya perawatan yang meningkat sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya yaitu oli, solar dan upah operator meningkat masing – masing 28%, 15% dan 11%. Untuk menutupi kenaikan biaya operasional ini maka pengusaha jasa pompa air menaikan pula biaya sewa pompa air rata – rata sebesar 25 persen yaitu dari Rp 4.000/ jam menjadi Rp. 5 000/jam sehingga sewa pompa air per hektar setelah kenaikan BBM mencapai Rp 150 ribu.

VI-68

Tabel 4. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

(%) Harga Nilai (Rp) % 1. Spesifikasi Teknis Harga Beli

Harga

Nilai (Rp)

Share

Harga

Nilai (Rp)

Share

- - - Tenaga Mesin

PK 8.5 8.5 - - - Umur Ekonomis

Tahun 5 5 - - - Kemampuan Kerja

- - - - Jam Operasi

Jam/hari 10 10 - - - - Luas Pelayanan

Ha/hari 0.33 0.33 - - - 2. Biaya Operasional

121,450 100.00 - 16,225 15.42 Solar

Liter 24.00 1,900 45,600 43.34 2,200 52,800 43.47 300 7,200 15.79 Oli

Liter 0.15 12,500 1,875 1.78 16,000 2,400 1.98 3,500 525 28.00 Perawatan

6,250 5.15 - 2,500 66.67 Upah Operator

Rp

Rp 3 18,000 54,000 51.32 20,000 60,000 49.40 2,000 6,000 11.11 3. Penerimaan Kotor

1,000 30,000 25.00 4. Laba Kotor (3 - 2)

- - - 6. Laba Bersih

1.14 1.24 - 0.09 8.30 8. Biaya Total

16,225 14.14 9. RCR Dengan

Biaya Total 1.05 1.15 - 0.10 9.51

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

Jika penyusutan diasumsikan tetap yaitu sebesar Rp. 9.500/ha maka laba bersih usaha jasa pompa air setelah kenaikan BBM meningkat tajam dari Rp 5.275/ ha menjadi Rp. 19.050 atau sekitar 261 persen. Dengan memperhitungkan penyusutan sebagai biaya total maka besarnya RC rasio meningkat dari 1.05 menjadi 1.15

Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, pada usahatani padi sawah irigasi, penggunaan pompa air relatif sangat sedikit, dan itupun pada umumnya digunakan pada musim tanam padi ke tiga (MT III) dan awal musim tanam padi pertama (MT I) ketika kegiatan pengolahan lahan dilakukan. Selain untuk usahatani padi, penggunaan pompa air juga dilakukan pada usahatani lainnya, terutama usahatani jagung dan kacang tanah.

Penggunaan pompa pada umumnya banyak dilakukan petani di daerah irigasi sedang dan tadah hujan. Tidak seperti halnya dengan traktor, pompa air pada umumnya hanya dimiliki oleh beberapa petani atau kelompok tani tertentu

VI-69 VI-69

Sistem pembayaran untuk jasa pompa air adalah sistem bagi hasil dari hasil kotor. Untuk komoditas padi jika solarnya ditanggung oleh pemilik pompa pembagiannya adalah 15% untuk jasa pompa dan 85% untuk petani, sementara untuk palawija 10% untuk jasa pompa dan 90% petani. Jika solarnya ditanggung petani, pada komoditas padi pembagiannya akan mengalami perubahan yaitu 10% untuk jasa pompa dan 90% untuk petani, sementara pada komoditas palawija berubah menjadi 5% untuk jasa pompa dan 95% untuk petani. Sementara besarnya biaya untuk operator baik untuk komoditas padi maupun palawija 30% dari keuntungan. Konsep keuntungan yang disepakti antara pemilik pompa dan operator adalah besarnya selisih antara penerimaan jasa pompa dengan biaya solar dan oli. Komposisi pembagian untuk jasa pompa dan petani atau komposisi untuk upah operator pada semua komoditas tidak mengalami perubahan setelah kenaikan harga BBM.

Sebelum adanya kenaikan harga BBM, untuk mengairi lahan seluas satu hektar rata-rata biaya operasional yang dibutuhkan pada usaha jasa pompa sekitar Rp 323 ribu dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi Rp 356 ribu atau mengalami peningkatan sekitar 10,03% (Tabel 5). Yang cukup menarik bahwa walaupun tidak adanya perubahan komposisi dalam pembagian upah jasa pompa dan upah operator, ternyata keuntungan yang diperoleh pemilik pompa setelah adanya kenaikan harga BBM relatif lebih baik atau meningkat sebesar 8,73% dari Rp 609 ribu/ha menjadi Rp 663 ribu/ha. Tidak adanya perubahan dalam komposisi pembagian, sehingga dapat dipastikan bahwa meningkatnya keuntungan yang diperoleh pemilik pompa akibat tambahan penerimaan karena adanya kenaikan harga komoditas pertanian (dalam kontek ini harga gabah) lebih tinggi dari tambahan biaya operasional yang dikeluarkan, mengingat petani membayar dalam bentuk gabah setelah panen (yarnen). Selain itu, tidak berubahnya komposisi pembagian menunjukkan bahwa meningkatnya biaya operasional akibat kenaikan harga BBM seolah-olah tidak dibebankan kepada petani. Kenapa pemilik pompa tidak mengubah komposisi pembagian tersebut? Salah satu jawabannya mungkin karena pemilik pompa sudah memprediksi akan terjadi kenaikan harga komoditas pertanian, dan bahkan mereka berpikir

VI-70 VI-70

Tabel` 5. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

(Rp) % 1. Spesifikasi Teknis

(%) Harga Nilai

Harga Beli

- - - Tenaga Mesin

18 18 - - - Umur Ekonomis

PK

Tahun 5 5 - - - Kemampuan Kerja

- - - - Jam Operasi

Jam/hari 10 10 - - - - Luas Pelayanan

Ha/hari 0.33 0.33 - - - 2. Biaya Operasional

355,929 100.00 - 32,431 10.03 Solar

Liter 18.65 1,815 33,846 10.46 2,100 39,161 11.00 285 5,315 15.70 Oli

Liter 0.45 9,900 4,431 1.37 12,100 5,415 1.52 2,200 985 22.22 Perawatan

16,154 4.54 - 2,308 16.67 Upah Operator

Rp

295,199 82.94 - 23,824 8.78 3. Penerimaan Kotor

Rp

- 85,714 9.09 4. Laba Kotor (3 - 2)

- - - 6. Laba Bersih

2.91 2.89 - (0.02) (0.85) 8. Biaya Total

32,431 9.72 9. RCR Dengan Biaya Total

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional pompa air Rp. 24.405/ha atau 11.3 persen. Komponen biaya perawatan dan oli mengalami peningkatan tertinggi masing – masing sebesar Rp 2.404/ha dan Rp. 852/ha atau meningkat sekitar 27 persen dan 25 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing-masing adalah

VI-71 VI-71

Penerimaan dari sewa pompa air juga mengalami peningkatan pasca kenaikan BBM sebesar Rp. 57.857/ha atau 10.9 persen. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar Rp. 8.800/ha maka laba bersih usaha jasa traktor meningkat dari Rp. 308.188/ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp. 341.640/ha setelah kenaikan atau 10.8 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa traktor terlihat mampu menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang relatif tetap sekitar 2.47.

Dengan terus meningkatnya tren harga minyak dunia maka tentunya pemerintah akan menyesuaikan harga BBM dalam negeri demi mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa pompa air. Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa pompa air, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 238 ribu/ha menjadi Rp. 273 ribu/ha. Berturut–turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 290 ribu, Rp. 307 ribu dan Rp. 325 ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 670 ribu – Rp. 793 ribu.

VI-72

Tabel 6. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Indonesia, Agustus 2005.

Simulasi Kenaikan Harga Solar Uraian

30% 40% 50% 1. Spesifikasi Teknis Harga Beli

Harga

Nilai (Rp)

Nilai (Rp)

Nilai (Rp)

2,200,000 2,200,000 2,200,000 Tenaga Mesin

9 9 9 9 Umur Ekonomis

PK

5 5 5 5 Kemampuan Kerja

Tahun

- Jam Operasi Jam/hari

10 10 10 10 - Luas Pelayanan

0.33 0.33 0.33 0.33 2. Biaya Operasional

Ha/hari

17,033 18,976 20,920 Upah Operator

208,613 218,951 229,289 3. Penerimaan Kotor

711,511 752,253 792,995 4. Laba Kotor (3 - 2)

8,800 8,800 8,800 6. Laba Bersih

2.45 2.45 2.44 2.44 8. Biaya Total

2.48 2.47 - (0.01)

299,504 316,790 334,076 9. RCR Dengan Biaya

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

VI-73

Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Power Thresher Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005

Dalam usahatani padi, thresher merupakan alat untuk merontokkan padi menjadi gabah. Alat ini mrupakan alat bantu bagi tenaga kerja untuk memisahkan gabah menjadi jeraminya. Thresher atau mesin perontok padi digunakan secara luas oleh petani baik di daerah kekurangan tenaga kerja pemanen mauun cukup tenaga kerja. Thresher ini ada dua macam yaitu thresher dengan menggunakan mesin penggerak (power thresher) dan yang tidak menggunakan mesin atau biasa dikenal dengan pedal thresher.

Power thresher digerakan dengan menggunakan bahan bakar minyak yaitu solar. Biaya operasional power thresher di Kabupaten Nganjuk sebelum kenaikan BBM Maret 2005 mencapai Rp. 105 ribu (Tabel 7). Komponen biaya terbesar dari biaya operasional adalah upah operator dan solar yang masing – masing sebesar Rp. 54.000/ha dan Rp. 45.600/ha atau sekitar 51% dan 43%.

Tabel 7. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

Harga Nilai (Rp) % 1. Spesifikasi Teknis Harga Beli

Harga

Nilai (Rp)

Share

Harga

Nilai (Rp)

- - - Tenaga Mesin

PK 8.5 8.5 - - - Umur Ekonomis

Tahun 8 8 - - - Kemampuan Kerja

- - - - Jam Operasi

Jam/hari 10 10 - - - - Luas Pelayanan

Ha/hari 0.33 0.33 - - - 2. Biaya Operasional

123,850 100.00 - 18,625 17.70 Solar

Liter 0.15 12,500 1,875 1.78 16,000 2,400 1.94 3,500 525 28.00 Perawatan

6,250 5.05 - 2,500 66.67 Upah Operator

Rp

Rp 3 18,000 54,000 51.32 20,000 60,000 48.45 2,000 6,000 11.11 3. Penerimaan Kotor

- 60,000 50.00 4. Laba Kotor (3 - 2)

- - - 6. Laba Bersih

1.14 1.45 - 0.31 27.44 8. Biaya Total

18,625 15.28 9. RCR Dengan Biaya

Total 0.98 1.28 - 0.30 30.12

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

VI-74

Sewa power thresher per hektar mencapai Rp. 120 ribu sehingga pengusaha memperoleh laba kotor sebesar Rp 14.775/ha. Perhitungan penyusutan alat ini per hektarnya ternyata mencapai Rp. 16.667/ha sehingga secara keseluruhan pengusaha sebenarnya mengalami kerugian sekitar Rp 1.892/ha.

Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional meningkat 17.7 persen atau meningkat Rp 18.625/ha sehingga biaya operasionalnya menjadi Rp 123.850/ ha. Komponen biaya perawatan mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp. 2.500/ha atau sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya yaitu oli, solar dan upah operator meningkat berturut – turut sebesar 28%, 21% adn 11%.

Untuk mengimbangi peningkatan biaya operasional ini maka pengusaha jasa power thresher ini meningkatkan sewa power thresher ini sebesar Rp. 60.000/ha atau sekitar 50 persen, menjadi Rp. 180 ribu/ha. Peningkatan ini mampu menutup peningkatan biaya operasional, sehingga pengusaha mempeoleh laba kotor sekitar Rp. 56.150/ha atau meningkat Rp. 41.375/ha dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Laba kotor ini meningkat hampir tiga kali lipat sehingga jika diasumsikan penyusutan tetap nilainya maka laba bersih yang diperoleh pengusaha power thresher akibat kenaikan harga BBM mencapai Rp. 39.483/ha. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan dalam total biaya maka RC rasio usaha jasa power thresher pasca kenaikan BBM Maret 2005 menjadi

1.28. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, penggunaan thresher khususnya untuk merontok padi tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan varietas unggul baru berumur pendek dan mudah dirontok. Terdapat variasi kegiatan dalam penggunaan thresher di Kabupaten Sidrap. Di beberapa lokasi, penggunaan thresher menjadi satu kesatuan dengan tenaga kerja panen dan di beberapa lokasi lainnya penggunaan thresher tidak menyatu dengan tenaga panen. Dengan tenaga penggerak mesin 6,5 PK, kecepatan merontok padi rata- rata 6 jam per hektar. Dalam setahun luasan tanaman padi yang bisa dirontok berkisar 40 – 60 hektar.

VI-75

Baik sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, secara keseluruhan ongkos jasa thresher dan panen (sabit) tidak mengalami perubahan yaitu 14,3% (1/7) dari produksi padi. Namun dalam pembagian antara tenaga penyabit dan jasa thresher terjadi perubahan yaitu sebelum kenaikan harga BBM dari 14,3% tersebut, 25% untuk jasa thresher dan 75% tenaga penyabit dan setelah kenaikan harga BBM menjadi 30% jasa thresher dan 70% tenaga penyabit. Ongkos operator yang harus dibayar pemilik power thresher juga berubah dari Rp 1500/orang/hari menjadi Rp 2000/orang/hari. Jumlah operator berkisar 8 orang. Selain sebagai operator, mereka juga sekaligus berperan sebagai tenaga penyabit, sehingga penerimaan mereka setelah adanya kenaikan harga BBM sekitar Rp 2000/hari lebih tinggi dari tenaga penyabit.

Perubahan kinerja usaha jasa power thresher dengan adanya kenaikan harga disajikan pada Tabel 8. Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional (termasuk biaya tenaga sabit) usaha jasa power thresher meningkat sebesar 9,32%, dari Rp 793 ribu/ha menjadi Rp 867 ribu/ha. Namun demikian, dengan membaiknya harga komoditas padi dan adanya perubahan komposisi pembagian untuk tenaga penyabit menyebabkan penerimaan dan keuntungan usaha jasa ini meningkat masing-masing Rp 9,24% (Rp 943 ribu/ha menjadi Rp 1028 ribu/ha) dan 8,96% ( Rp 134 ribu/ha menjadi Rp 146 ribu/ha).

Fenomena di atas juga menunjukkan kalau dicermati secara mendalam bahwa kenaikan harga BBM selain dibebankan ke tenaga penyabit (dengan berubahnya komposisi pembagian) juga secara tidak langsung dibebankan ke petani lewat kenaikan harga gabah (walaupun komposisi pembagian tidak berubah).

Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional Power Thresher Rp. 46.671/ha atau 10.40 persen. Komponen biaya solar dan oli mengalami peningkatan tertinggi masing-masing sebesar Rp. 6.768/ha dan Rp. 534/ha atau meningkat sekitar 24 - 26 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing – masing adalah komponen biaya perawatan Rp. 2.083/ha (14.4%) dan upah operator Rp. 37.285/ha (9.2%) (Tabel 9).

VI-76

Tabel 8. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

Harga (Rp) % 1. Spesifikasi Teknis

Harga Beli

- - - Tenaga Mesin

PK 6.5 6.5 - - - Umur Ekonomis

Tahun 5 5 - - - Kemampuan Kerja

- - - - Jam Operasi

Jam/hari 5 5 - - - - Luas Pelayanan

Ha/hari 1.30 1.30 - - - 2. Biaya Operasional

866,675 100.00 - 73,826 9,33 Solar

Liter 6.25 1,815 11,344 1.43 2,310 14,438 1.67 495 3,094 0.24 Oli

Liter 0.23 9,900 2,228 0.28 12,100 2,723 0.31 2,200 495 0.03 Perawatan

26,667 3.08 - 1,667 (0.08) Upah Operator

Rp

822,848 94.94 - 68,571 (0.19) 3. Penerimaan Kotor

Rp

- 85,713 9,24 4. Laba Kotor (3 - 2)

- 11,887 - 5. Penyusutan

- - - 6. Laba Bersih

1.19 1.19 - (0.00) - 8. Biaya Total

73,826 9. RCR Dengan Biaya Total

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

Penerimaan dari sewa power thresher juga mengalami peningkatan pasca kenaikan BBM sebesar Rp. 72.857/ha atau 13.71 persen. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar Rp. 25.400/ha maka laba bersih usaha jasa power thresher meningkat dari Rp. 57.315/ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp. 83.500/ha setelah kenaikan atau 45.7 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa power thresher mampu menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang turun dari 1.18 menjadi 1.22.

Rencana pemerintah menaikan harga BBM akhir tahun 2005 juga akan berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa power thresher. Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa power thresher, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 495 ribu/ha menjadi Rp. 538 ribu/ha. Berturut – turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan

VI-77

Tabel 9. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Indonesia, Agustus 2005.

Simulasi Kenaikan Harga Solar Uraian

40% 50% 1. Spesifikasi Teknis Harga Beli

Harga

Nilai (Rp)

Share

Harga

Nilai (Rp)

Nilai (Rp)

6,350,000 6,350,000 6,350,000 Tenaga Mesin

- - - 6,350,000

9 9 9 9 Umur Ekonomis

PK

8.5 8.5 - - -

5 5 5 5 Kemampuan Kerja

Tahun

- Jam Operasi Jam/hari

10 10 10 10 - Luas Pelayanan

10 10 - - -

0.82 0.82 0.82 0.82 2. Biaya Operasional

Ha/hari

0.82 0.82 - - -

19,429 20,419 21,409 Upah Operator

492,137 509,042 525,946 3. Penerimaan Kotor

707,443 741,831 776,218 4. Laba Kotor (3 - 2)

25,400 25,400 25,400 6. Laba Bersih

- - - 25,400

1.25 1.26 1.27 1.29 8. Biaya Total

1.18 1.22 - 0.04 3.3

585,712 607,357 629,001 9. RCR Dengan Biaya

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

VI-78

50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 560 ribu, Rp. 581 ribu dan Rp. 603 ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa power thresher maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 673 ribu – Rp. 776 ribu.

Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Penggilingan Padi Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005

Usaha jasa penggilingan padi merupakan salah satu usaha yang menggunakan mesin – mesin penggerak dengan bahan bakar utamanya adalah solar. Oleh sebab itu, peningkatan harga BBM pada bulan Maret 2005 juga menyebabkan peningkatan biaya operasional dan sewa. Di Kabupaten Nganjuk, biaya penggilingan per kuintal gabah menjadi beras dengan menggunakan dua mesin yaitu pecah kulit dan pemutih sebelum kenaikan BBM adalah sebesar Rp. 2.785 (Tabel 10). Dari empat komponen utama biaya operasional yaitu biaya solar, oli, perawatan dan upah operator terlihat bahwa pangsa komponen biaya terbesar adalah biaya perawatan yang mencapai 31.34 persen.

Tabel 10. Perubahan Profitabilitas Usaha Penggilingan Padi per Kuintal Gabah di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

% A. BIAYA

Volume Harga Nilai (Rp)

Share

Volume Harga Nilai (Rp)

Share (%)

Harga Nilai (Rp)

3,351 100.00 - 566 20.32 1. Solar

30.00 - 132 15.18 4. Upah Operator

30.94 - 301 40.87 5. Penyusutan

7.42 - - - B.PENERIMAAN

kg beras

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

Cara pembayaran sewa penggilingan padi kebanyakan menggunakan sistim bawon. Sistim bawon yang berlaku di Kabupaten Nganjuk adalah jika diperoleh 1 kuintal beras maka yang harus dikeluarkan oleh petani adalah sebanyak 5 kg beras sebagai bayar sewanya. Berdasarkan survey lapang

VI-79 VI-79

Setelah terjadinya kenaikan BBM, terjadi peningkatan biaya operasional per kuintal gabah sebesar Rp. 566 atau meningkat sekitar 20 persen. Peningkatan terbesar komponen biaya operasional ini adalah upah operator yang meningkat Rp. 300/kw gabah atau sebesar 40.9 persen, diikuti komponen biaya lainnya yaitu solar, perawatan dan oli yang masing – masing meningkat 16, 15 dan 8 persen.

Untuk mempertahankan tingkat kelayakan usaha penggilingan padi ini, maka antisipasi peningkatan biaya operasional ini adalah dengan menaikan sewa penggilingan padi. Melalui sistim bawon yang berlaku maka setiap 1 kuintal beras hasil giling yang tadinya diambil 5 kg beras, setelah kenaikan BBM menjadi 6 kg beras. Sebenarnya peningkatan biaya bawon ini tampaknya tidak terlalu besar. tetapi karena harga beras yang pada saat survey ini sedang tinggi menyebabkan pengusaha penggilingan memperoleh keuntungan dari kenaikan harga beras tersebut sehingga kenaikan harga BBM ini meningkatkan perolehan laba usaha jasa penggilingan padi sebesar Rp. 2.442/kw gabah atau meningkat sekitar 53 persen. RC rasio pun meningkat dari 2.64 sebelum kenaikan BBM menjadi 3.09 setelah kenaikan BBM.

Selain berpengaruh pada kegiatan produksi padi, kenaikan harga BBM juga mempengaurhi kinerja usaha penggilingan padi (RMU) di Kabupaten Sidrap. Kenaikan harga BBM telah merubah pembayaran ongkos giling dalam bentuk natura, yaitu sebelum kenaikan harga berlaku dari 12 kg beras yang dihasilkan dari penggilingan dipotong 1 liter untuk jasa penggilingan atau 92,86% untuk pemilik beras dan 7,14% untuk jasa RMU (1 lt = 0,8 kg), sementara setelah kenaikan harga BBM dari 10 kg beras yang dihasilkan dari penggilingan dipotong

1 liter untuk jasa penggilingan atau 92,0% untuk pemilik beras dan 8,0% untuk jasa RMU (1 lt = 0,8 kg). Dalam proses penggilingan dari 100 kg GKG biasanya dihasilkan 63-64 kg beras, 10 kg dedak/bekatul, 2 kg menir dan sisanya sekam.

VI-80

Bekatul/dedak dan menir pada umumnya diambil pemilik beras (petani). Harga dedak di Sidrap berkisar Rp 600-700/kg.

Kenaikan harga BBM menyebabkan biaya operasional yang dikeluarkan usaha jasa RMU meningkat sekitar 16,03%, dari Rp 35/kg GKG menjadi Rp 406/kg GKG (Tabel 11). Sementara itu, setelah kenaikan harga BBM dengan berubahnya sewa penggilingan dan membaiknya harga beras menyebabkan penerimaan dan keuntungan yang diperoleh usaha jasa ini meningkat masing- masing 6,38% (Rp 99/kg GKG menjadi Rp 105/kg GKG) dan 1,08% (Rp 63,7/kg GKG menjadi 64,4/kg GKG). Fakta ini menunjukkan bahwa kenaikan biaya operasional akibat kenaikan harga BBM sepenuhnya dibebankan ke pengguna jasa RMU (petani) baik melalui perbaikan harga beras maupun melalui perubahan komposisi sewa.

Tabel 11. Perubahan Profitabilitas Usaha Penggilingan Padi per Kuintal Gabah di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.

Perubahan Uraian

(%) Harga (Rp) % A. BIAYA

Volume Harga

Share Nilai

4,063 100.00 - 561 16.03 1. Solar

26.55 - 278 20.00 4. Upah Operator

53.11 - 63 6.38 5. Penyusutan

3.87 - - - B.PENERIMAAN

kg beras

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional penggilingan padi Rp. 565/kw gabah atau 17.9 persen. Komponen upah operator dan solar mengalami persentase peningkatan tertinggi masing – masing sebesar sekitar 21 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing – masing adalah komponen biaya perawatan sebesar 18.14 persen dan oli 14.29 (Tabel 12).

VI-81

Tabel 12. Simulasi Kenaikan Harga BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Kuintal Gabah Usaha Penggilingan Padi di Indonesia, Agustus 2005.

Simulasi Kenaikkan Harga Solar Uraian

30% 40% 50% A. BIAYA

Volume Harga

Nilai (Rp)

Nilai (Rp)

Harga Nilai (Rp)

1,671 1,783 1,895 4. Upah Operator

- 246 246 246 246 B.PENERIMAAN

kg beras

Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.

VI-82

Penerimaan dari sewa giling padi juga mengalami peningkatan pasca kenaikan BBM sebesar Rp. 1.382/kw gabah atau sekitar 16 persen. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar Rp. 246/kw gabah maka laba bersih usaha jasa penggilingan padi meningkat dari Rp. 5.460/kw gabah sebelum kenaikan BBM menjadi Rp. 6.277/kw gabah setelah kenaikan atau naik 14.9 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa penggilingan padi terlihat belum mampu menutup secara penuh kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang turun dari 2.74 menjadi 2.69.

Rencana kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2005 akan berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa penggilingan padi. Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per kuintal gabah usaha jasa penggilingan padi, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 3.707/kw gabah menjadi Rp. 4.351/kw gabah. Berturut – turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 4.673, Rp. 4.995 dan Rp. 5.317 per kuintal gabah. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per kuintal gabah sekitar Rp. 11.000 – Rp. 14.000.

Perkembangan Harga Upah dan Profitabilitas Usahatani

Kenaikan harga minyak dunia diluar perkiraan banyak pihak menyebabkan pemerintah melakukan rasionalisasi anggaran negara. Salah satunya adalah melalui pengurangan beban subsidi terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memang secara periodik terus dilakukan penyesuaian, agar harga BBM mendekati harga keseimbangannya.