MUTAH DI IRAN APA SIAPA DAN BAGAIMANA

MUT’AH DI IRAN: APA, SIAPA DAN BAGAIMANA
Nikah mut’ah lebih sering diterjemahkan sebagai nikah kontrak atau, sering
juga, kawin kontrak. Sebagian penulis memilih untuk mengartikan mut’ah
secara sopan sebagai nikah kondisional, nikah temporer dan juga nikah dalam
jangka waktu tertentu.
Meski demikian, tetap tak-bisa ditolak bahwa pada asalnya nikah mut’ah itu
justru memiliki arti perkawinan untuk senang-senang. Mut’ah sendiri, secara
bahasa, dapat berarti kenikmatan, kesenangan (bahasa Jawa: klangenan).
Kadang-kadang, mut’ah dibahasakan sebagai ihwal “untuk memiliki status dari
hukum tertentu.”
Ada banyak sumber yang berbicara khusus tentang nikah mut’ah. Tahrim Nikah
Al-Mut’ah karya Abul Fath Nasr bin Ibrahim bin Nasr Al-Maqdisi An-Nabilisi
(377 – 490 H) adalah salah satu karya tertua yang berbicara tentang nikah
mut’ah.
Ada juga karya-karya tentang mut’ah yang ditulis oleh orang-orang belakangan.
Asy-Syi’ah wa Al-Mut’ah karya Muhammad Malullah termasuk di antaranya.
Kemudian, Al-Kafi Al-Mumti’ Al-Mufid wa Ar-Radd Al-Mufhim Al-Muljim AsSadid karya Ya’qub Badr Abdil Wahhab Al-Qithami termasuk juga. Yang
termasuk tidak boleh dilupakan di sini adalah Nikah Al-Mut’ah: Haram fil Islam
karya Muhammad Al-Hamid.
Dalam akidah ahlus sunnah wal jama’ah, meski sempat dibolehkan, syariat
nikah mut’ah telah diharamkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam pada masa hidup beliau. Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
menunjukkan keharaman mut’ah sangat jelas, baik itu dalil yang bersifat umum
maupun dalil yang bersifat khusus.
Berbeda dengan Syiah. Bagi para penganut Syiah, syariat nikah mut’ah masih
tetap berlaku sampai hari kiamat nanti. Mereka justru percaya, larangan
mut’ah dalam sejarah Islam itu berdasarkan kebijakan Khalifah Umar bin AlKhaththab pada masa pemerintahannya saja dan karena itu tidak bersifat
mengikat. Terlebih lagi, ketika Umar ditenggarai mereka sebagai salah seorang
sahabat Rasulullah yang merebut hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu sepeninggal Rasulullah.
Dalam terminologi Syiah, mut’ah dibedakan dari pernikahan permanen, dilihat
dari tujuan ataupun caranya. Mut’ah, menurut ulama-ulama Syiah, bertujuan
untuk meraih kesenangan seksual atau istimta’, sedangkan pernikahan
permanen dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang dalam bahasa Iran
diistilahkan sebagai tulid-i nasl.

Dari sisi hukum, berdasarkan fikih Syiah, nikah mut’ah adalah sebuah kontrak
atau akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang tidak
bersuami) yang akhir dari masa kontrak itu (al-ajl) dan jumlah uang mas kawin
(al-ajr) harus ditentukan sebelumnya. Jika tidak, maka kontrak atau akad itu
menjadi tidak sah.

Demikian pula dalam hal cara. Biasanya, dalam pernikahan yang bersifat
permanen, para saksi akan didatangkan ketika akad terjadi. Sebaliknya, dalam
sebuah penikahan mut’ah, para saksi tidak diperlukan. Akad pernikahan mut’ah
pun tidak perlu dicatat.
Dalam masalah kontrak, kontrak atau akad nikah mut’ah bersifat personal.
Kontrak dapat dilakukan hanya berdasarkan persetujuan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan calon istrinya. Pihak keluarga perempuan,
biasanya, tidak ikut-campur dalam proses itu.
Masa kontrak mut’ah tergantung laki-laki dan calon istri. Kontrak itu bisa saja
hanya untuk satu jam atau bahkan selama 99 tahun. Ketika habis kontrak pun,
kedua pasangan dapat berpisah begitu saja tanpa sebuah acara atau upacara
tanda perceraian (baca: habis kontrak).
Yang tidak boleh dilupakan, seorang laki-laki penganut Syiah dapat saja
melakukan kontrak atau akad mut’ah dengan sebanyak perempuan yang ia
inginkan pada satu waktu sekaligus. Akan tetapi, dan inilah yang mesti dicatat,
jumlah sebanyak itu dihitung di luar istri dari pernikahan permanennya.
Artinya, jika jumlah istri dalam pernikahan permanen dibatasi hanya sebanyak
empat orang, maka dalam mut’ah tidak ada batasan. Seorang Syiah dapat saja
terikat kontrak mut’ah dengan empat orang perempuan atau lebih dalam satu
waktu. Bahkan, meskipun sudah memiliki empat orang istri lewat pernihakan

permanen, ia pun dapat memiliki empat orang atau lebih istri mut’ah pada
waktu itu.
Hukum fikih seperti itu berdasarkan salah satu pendapat, yang menurut orangorang Syiah diyakini berasal dari, salah seorang imam mereka. Dalam riwayat
yang dimaksud, salah seorang Syiah pernah bertanya kepada sang imam,
“Apakah istri dari mut’ah termasuk dari keempat orang istri?”. Sang imam pun
menjawab tegas, “Nikahilah di antara mereka seribu orang! Sebab, mereka itu
akan menerima imbalan (ajir).”
Ketentuan seperti itu tidak berlaku sebaliknya. Seorang perempuan Syiah hanya
boleh melakukan kontrak mut’ah pada seorang laki-laki. Ia baru boleh
melakukan proses kontrak lagi ketika masa kontrak yang pertama sudah selesai
—betapa pun singkatnya masa kontrak itu.

Untuk mengetahui hasil hubungan dari sebuah kontrak mut’ah, selesai masa
kontrak seorang perempuan akan menunggu selama beberapa waktu. Artinya,
sebelum membuat kontrak baru, ia harus memastikan dulu: hamilkah ia atau
tidak. Dengan begitu, ia dapat mengetahui garis geneologis (baca: ayah sah)
anak yang dihasilkan dari proses mut’ahnya.
Dalam terminologi ahlus sunnah wal jama’ah, proses seperti itu mirip dengan
masa ‘iddah. Meski demikian, sebagian orang lebih condong untuk
mengiaskannya dengan proses istibra’, sebuah masa penantian bagi seorang

perempuan yang telah berzina untuk memastikan ada atau tidak kandungan
dalam rahimnya sebelum melakukan sebuah pernikahan yang syar’i.
Sesuatu yang banyak tidak diketahui orang tentang mut’ah di tengah kalangan
Syiah adalah kaitan-erat mut’ah dengan perjalanan-perjalanan jarak jauh dan
proses perziarahan. Terkait yang terakhir ini, bagaimana pun, para penganut
Syiah adalah orang-orang yang tidak bisa lepas dari pemakaman-pemakaman.
Mereka dikenal sebagai orang-orang yang gemar melakukan ibadah di depan
dan/atau di atas kuburan. Mereka biasa berdoa, berzikir, mengerjakan shalat
(khas Syiah), mencari berkah, meminta perlindungan untuk kehidupan akhirat
nanti (baca: mencari syafaat) atau bahkan membangun masjid-masjid megah di
atas kuburan orang-orang yang mereka yakini sebagai orang-orang suci dan
tak-berdosa.
Tempat-tempat suci bagi orang Syiah Imamiyah, misalnya, tidak lain dari kotakota tempat dimakamkan imam-imam mereka yang di dunia ini ada di Najaf dan
Karbala, Irak, serta di Masyhad dan Qum, Iran. Di Najaf terdapat kuburan yang
mereka yakini sebagai kuburan Ali bin Abi Thalib, sedangkan di Karbala
terdapat kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan Husein bin Ali bin Abi
Thalib. Di Masyhad terdapat kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan Ali
Ridho, sedangkan di Qum terdapat kuburan yang mereka yakini sebagai
kuburan Fatimah Ma’shuma.


Gambar 1. Suasana Masjid di Pemakaman Fatimah Ma'shumah, Qum, Iran
(Gambar yang dicoret hitam adalah beberapa peziarah yang sedang melakukan shalat khusus ketika
berziarah. Sebelum dicoret hitam, terlihat bahwa arah shalat mereka menyerong ke kanan kiblat.
Tepatnya, ke arah kuburan Fatimah Ma'shumah yang mereka yakini berada di situ. Coretan hitam
sebelah kiri menutup fose salah seorang peziarah yang sedang bersujud mengarah ke tempat
Fatimah Ma'shumah dikuburkan)

Gambar 2. Suasana Kuburan Fatimah Ma'shumah Dilihat dari Balik Celah Kecil

Gambar 3. Komplek Pemakaman Fatimah Ma'shumah, Qum, Iran

PASANGAN-PASANGAN MUT’AH
Membahas kaitan antara mut’ah dan ziarah serta perjalanan jauh di tengah
orang-orang Syiah, ada baiknya kita pahami istilah shigheh. Istilah ini adalah
sebuah istilah yang sering dipakai di tengah orang-orang Syiah di Iran. Dalam
praktek sekarang, kata shigheh sering diartikan sebagai perempuan pasangan
mut’ah.
Akan tetapi, pada asalnya, kata shigheh itu memiliki arti metode, cara atau
formula untuk melakukan sesuatu. Dalam praktek mut’ah, kata itu disandingkan
dengan kata mut’ah, jadi shigheh-i mut’ah. Bertahun-tahun mempraktekkan

mut’ah, akhirnya, kata shigheh itu lama-lama disematkan kepada seorang
perempuan yang melakukan mut’ah.
Shigheh, jika kita cermati, terbagi menjadi dua kategori, shigheh seksual dan
shigheh non-seksual. Shigheh seksual dimaksudkan kepada perempuan
pasangan mut’ah yang dicampuri secara seksual, sedangkan shigheh nonseksual dimaksudkan kepada perempuan pasangan mut’ah yang dikontrak

bukan untuk tujuan dicampuri secara seksual tetapi untuk tujuan-tujuan
tertentu.
Sulit diterima, jika fakta pernah bicara bahwa di kota-kota suci tempat
berziarahlah orang-orang dapat melakukan mut’ah dengan mudah—meskipun
mudah dalam ukuran mereka. Akan tetapi, hal itu dapat dijelaskan jika kita
merunut dasar logika religiusitas.
Semakin mendekat dan mendalam seseorang dengan ajaran agamanya, maka
semakin mudah baginya untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh
agamanya. Karena itu, tidak mengherankan, jika seorang penganut Syiah yang
religius, akan lebih cenderung untuk melakukan mut’ah.
“Saya,” ujar salah seorang mullah, “tidak senang jika seorang muslim itu
meninggal dunia sebelum mempraktekkan salah satu tradisi Nabi. Salah satu
tradisi Nabi yang dimaksud adalah memut’ahi perempuan.” Pernyataan ini ia
berikan dalam salah satu wawancara dengan seorang peneliti dari Universitas

Harvard, Amerika Serikat.
Di kota-kota suci Syiah, seperti Qum dan Masyhad, mut’ah adalah sesuatu yang
populer dilakukan di kalangan para mullah. Selain mereka menyetujui praktek
mut’ah, mereka juga memandang mut’ah sebagai ibadah dan para pelakunya
akan diberi pahala dan keutamaan di atas orang-orang yang belum melakukan
mut’ah.
Yang sering menjadi laku para peziarah ke kota-kota suci itu adalah usaha
mereka mendekati para mullah. Dari kalangan laki-laki, biasanya, mereka
mendekati mullah-mullah yang mereka kenal untuk dicarikan shigheh selama
mereka berziarah di kota-kota itu. Sebaliknya, dari kalangan perempuan,
banyak dari mereka yang mendekati para mullah itu untuk menawarkan diri
sebagai shigheh mereka.
Mengantisipasi hal seperti itu, pada 1981 dulu, seorang mullah di Masyhad
pernah harus membuat di komputer jadul miliknya sebuah database nama-nama
perempuan berikut alamat masing-masing yang bersedia menjadi shighehshigheh. Tidak heran, jika Masyhad dulu sempat diolok-olok oleh orang-orang di
luar kalangan Syiah sebagai kota shigheh.
Dikutip dalam Siyaghi-i ‘Uqud terbitan ‘Ilmiyyah Islamiyyah Press, Teheran,
Mullah Razvini pernah menyatakan,
“Mungkin yang paling luar biasa dari wajah kehidupan Mashad adalah
tersedianya hiburan material bagi para peziarah kemudian selama mereka

tinggal di kota tersebut. Perjalanan jauh yang telah mereka lakukan,
penderitaan yang telah mereka tahankan, dan jarak yang memisahkannya dari

rumah dan keluarga—mereka diperbolehkan, dengan tidak mempedulikan
hukum eklesiastik dan petugas-petugasnya, untuk melakukan akad perkawinan
temporer selama mereka tinggal di kota tersebut…dan saya menyesal
mengatakan, betapa banyak para peziarah musiman yang menyeberangi lautan
dan daratan untuk mencium batu nisan sang imam tidak terdorong dan tertarik
terhadap perjalanan jauhnya dengan prospek liburan yang menyenangkan dan
—seperti yang diungkapkan dalam ungkapan Inggris sebagai—‘good spree’
(saat-saat perkawinan yang menyenangkan).”
Meski demikian, tidak mudah pula bagi seorang mullah untuk mengakui dirinya
pernah atau sedang melakukan mut’ah. Perlu diingat, praktek mut’ah di Qum
dan Masyhad penuh dengan kerahasiaan dan keanoniman, terlebih lagi di
tengah kalangan shigheh mereka.
Perempuan-perempuan yang melakukan mut’ah dengan para mullah adalah
pribadi-pribadi yang sangat kuat menjaga kerahasiaan status shigheh mereka.
Mereka betul-betul menjaga rahasia itu karena khawatir dapat membahayakan
reputasi keluarga mereka masing-masing.
Bahaya yang dimaksud bukan isapan jempol. Pada awal 1980-an, seperti yang

diceritakan kembali oleh Marina Nemat dalam buku Sandera Rezim Khumaini,
perempuan-perempuan tahanan politik pemerintah Iran di Penjara Evin sering
menunjukkan kesinisan kepada rekan-rekan sepenjara mereka yang diketahui
atau dicurigai sebagai shigheh-shigheh para sipir penjara.
Khusus jati diri para shigheh, umumnya, mereka berasal dari kalangan kelas
menengah ke bawah. Anak-anak gadis para mullah sendiri, misalnya, jarang
yang diketahui melakukan mut’ah dengan mullah-mullah rekan sejawat ayah
mereka. Meskipun demikian, pernah diketahui bahwa salah seorang putri
anggota keluarga kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Qajar melakukan
mut’ah.
Dari segi umur, para shigheh seringkali adalah wanita muda yang telah bercerai
atau janda. Meski demikian, kadang-kadang terdapat shigheh-shigheh yang
berumur kepala empat atau lima. Mereka yang terakhir ini, biasanya,
melakukan mut’ah karena alasan-alasan tertentu yang bersifat non-seksual.
Masih tentang shigheh seksual, selain karena motif ziarah dan kota ziarah,
seorang perempuan Syiah dapat menjadi shigheh untuk memenuhi nazarnya.
Menjadi shigheh karena ziarah dan nazar sering tidak dapat dipisahkan.
Mullah yang diyakini sebagai keturunan Rasulullah—dan karena itu sering
bergelar sayyid—banyak didatangi oleh perempuan-perempuan yang bernazar
melakukan mut’ah dengan seorang sayyid. Bagi sang perempuan memenuhi


nazar adalah kewajiban, sedangkan sayyid yang dituju membantu saudaranya
memenuhi nazarnya itu adalah ibadah.
Dalam shigheh bermotif nazar ini, atau diistilahkan shigheh nazri, perempuan
yang dimaksud tidak mesti menerima mas kawin dari laki-laki. Sebaliknya,
terkadang, pihak perempuanlah yang menyerahkan imbalan atas kontrak itu
kepada pihak sayyid. Kemudian, yang berinisiatif menawarkan mut’ah itu dan,
lebih jauh lagi, merundingkan jangka waktu kontrak mereka berdua adalah
pihak perempuan juga.
Akan tetapi, ada kasus-kasus tertentu ketika seorang mullah yang sayyid
menolak permintaan dari pihak perempuan seperti itu, meskipun untuk
memenuhi nazar. Faktor umur, misalnya perempuan yang bernazar itu sudah
tua, menjadi salah satu faktor yang membuat mullah tersebut menolaknya.
Sebaliknya, karena umur calon pasangan yang akan dimut’ahi masih terlihat di
bawah umur, seorang laki-laki menolak proses itu.
Selain dua motif itu, seseorang bisa menjadi shigheh karena sebab perjalanan
yang sedang ditempuhnya. Jarak perjalanan dan jauh dari keluarga sering
mendorong seorang laki-laki Syiah mengadakan nikah mut’ah dengan shigheh
di salah satu kota tempat singgah.
Ironisnya, sebelum ada batas-batas negara seperti sekarang ini, dulu, kebiasaan

mencari shigheh seperti itu pernah dimanfaatkan oleh para musafir muslim dari
negeri-negeri Islam atau bahkan musafir-musafir non-muslim yang singgah di
salah satu kota di negeri Persia. Mereka sengaja singgah untuk mendapatkan
seorang shigheh, meskipun tahu bahwa itu adalah bagian dari kepercayaan
Syiah.
Seorang perempuan Syiah terkadang juga bersedia menjadi shigheh untuk
menemani perjalanan calon pasangannya mut’ahnya. Praktek seperti ini,
bahkan, pernah dianjurkan oleh pihak penguasa Persia sebelum Dinasti Pahlevi
menguasai Persia pada pertengahan 1920-an; Dinasti Pahlevi pernah
mengeluarkan kebijakan agar rakyat Iran meninggalkan praktek mut’ah.
Terkait cadar, keluarga-keluarga kaya di Iran banyak yang pernah melakukan
mut’ah dengan pembantu-pembantu rumah tangganya karena motif fleksibilitas.
Daripada harus membuka dan menutup cadar yang harus dipakai oleh
perempuan-perempuan non-mahram, banyak majikan—atas persetujuan istriistri mereka—yang melakukan nikah mut’ah dengan para pembantu perempuan
mereka, sehingga mereka dapat leluasa bekerja di dalam rumah majikanmajikan tersebut.
Praktek mut’ah dengan motif seperti itu, ternyata, juga dipraktekkan di
kalangan mullah di Masyhad. “Pembantu-pembantu yang dimaksud,” cerita

salah seorang putri ayatullah, “sangat senang diangkat statusnya sebagai
seorang shigheh. Mereka mendapat kehormatan di mata masyarakat tempat
mereka kerja, begitu pun di mata masyarakat desa ketika mereka pulang.”
Pada masa akhir pemerintahan Syah Reza Pahlevi, di Iran, terdapat sebuah
agensi yang khusus menyalurkan tenaga-tenaga pembantu tetapi sekaligus juga
sebagai calon-calon shigheh untuk majikan masing-masing. Meski demikian, ada
kalanya istri-istrilah yang berinisiatif mencarikan pembantu-pembantu yang
bersedia menjadi shigheh bagi suami-suami mereka.
Yang sudah pasti tidak dilupakan adalah praktek mut’ah dalam rangka mencari
keturunan. Di tengah penganut Syiah di Iran, kemandulan istri menjadi salah
satu dasar penting bagi seorang laki-laki menceraikan istri. Akan tetapi, lakilaki tersebut boleh tidak menceraikan istrinya. Suami tersebut dibolehkan
untuk menikah secara permanen dengan perempuan lain (baca: poligami) atau
melakukan mut’ah dengan perempuan yang tidak mandul.
Motif seperti itu juga berlaku ketika seorang suami frustasi karena istrinya
selalu melahirkan anak perempuan. Sang suami dapat melakukan mut’ah demi
tujuan mendapatkan seorang putra dari shighehnya.
MUT’AH BUKAN UNTUK SEKS
Sama halnya dengan shigheh seksual, shigheh non-seksual juga muncul karena
beberapa motif. Yang paling utama adalah motif kemahraman.
Sebagaimana ahlus sunnah wal jama’ah, Syiah juga mengenal konsep
kemahraman dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan
tidak diperkenankan untuk bergaul dengan laki-laki yang bukan mahram. Meski
tidak serigid ahlus sunnah wal jama’ah, bagi orang-orang Syiah, seorang
perempuan diharuskan untuk memakai hijab atau pakaian yang menutup
sekujur tubuhnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.
Ketentuan yang seperti itulah kemudian yang cukup membatasi pergaulan di
tengah kalangan orang-orang Syiah. Untuk mengesahkan hubungan antara dua
orang yang bukan mahram demi persahabatan atau keakraban antara mereka,
muncul apa yang diistilahkan sebagai shgheh mahramiyyat.
Gambaran sederhananya, seorang laki-laki melakukan mut’ah dengan seorang
anak perempuan kecil berumur lima atau enam tahun agar dapat bertemu dan
berbicara di hadapan ibu anak perempuan itu tanpa hijab.
Dengan demikian, setelah kontrak dengan anak itu selesai, laki-laki tersebut
menjadi mahram selama-lamanya bagi ibu si anak. Untuk tujuan seperti ini,
sering masa kontrak yang disepakati hanya selama satu jam atau bahkan

kurang. Laki-laki tersebut pun tidak melakukan satu apa pun yang bersifat
seksual kepada shigheh ciliknya.
Motif seperti itu juga bisa diterapkan kepada kakek atau nenek. Seorang lakilaki Syiah dapat melakukan mut’ah dengan cucu salah seorang majikannya agar
ia dapat melakukan tugas-tugas kerumahtanggaan di dalam rumah majikan.
Dengan mut’ah itu, ia menjadi mahram selama-lamanya bagi kakek atau nenek,
meskipun cucu yang menjadi shigheh itu baru berumur dua tahun.
Selain untuk tujuan seperti itu, shigheh mahramiyyat dapat dimunculkan karena
tuntutan untuk melakukan sebuah perjalanan jauh. Misalnya, seorang janda
yang ditinggal mati suaminya tidak memiliki mahram. Sementara itu, sebelum
meninggal-dunia, sang suami telah berwasiat agar dimakamkan di kampung
halamannya yang jauh. Untuk tujuan seperti ini, istri tersebut dapat melakukan
mut’ah dengan seorang laki-laki yang bersedia menjadi suami tanpa hubungan
seksual dan menemaninya untuk melakukan wasiat itu.
Motif yang unik adalah mut’ah dalam rangka memudahkan seseorang untuk
mengambil keputusan. Sederhananya, seorang laki-laki ingin melakukan
pernikahan permanen dengan seorang perempuan yang tidak memiliki mahram
lewat perantaraan biro jodoh. Agar calon suami dapat mengenal calon istrinya
dengan lebih baik, seperti lewat tatap muka dan berbincang-bincang langsung,
pihak biro jodoh bersedia menugaskan salah seorang pegawai laki-lakinya
untuk men-shigheh-mahramiyyat-kan perempuan itu.
Dengan demikian, calon suami dapat mengenal lebih akrab calon istrinya meski
harus ditemani oleh salah satu pegawai biro jodoh. Mereka bisa meneruskan
proses ta’aruf itu, jika cocok. Jika tidak, mereka bisa menghentikannya.
Bentuk seperti itu pernah dipraktekkan pada akhir masa pemerintahan Dinasti
Pahlevi dulu. Setelah Revolusi Iran, praktek-praktek seperti itu mulai
menimbulkan skandal-skandal tidak mengenakkan dan mendapatkan sorotan
luas.
Motif seperti itu juga memiliki bentuk yang lain dan inilah yang cukup umum
dipraktekkan. Bentuk yang dimaksud disebut sebagai shigheh bala sar-i atau
shigheh makam suci. Bedanya, jika sebelumnya melalui perantaraan biro jodoh,
maka bentuk yang ini dilakukan di depan kuburan Ali Ridho di Masyhad.
Dua calon suami-istri dapat mempersiapkan pernikahan permanennya lewat
shigheh mahramiyyat mereka masing-masing. Hanya saja, untuk tercipta
shigheh mahramiyyat, mereka melakukan akadnya di kuburan tersebut. Artinya,
mereka masing-masing melakukan mut’ah agar dapat terbuka peluang untuk
saling mengenal lewat perantaraan mahram-mahram mereka. Jika mereka

merasa cocok dalam proses saling mengenal itu, mereka berdua dapat menikah
secara permanen kemudian.
MUT’AH KARYA REZIM KHOMEINI
Sejak digulingkannya Dinasti Pahlevi lewat Revolusi Iran, pemerintah Iran yang
baru telah menciptakan motif-motif mut’ah yang lebih baru. Dalam bentukbentuk itu, muncul jenis-jenis shigheh baru pula.
Di antaranya adalah shigheh pertobatan. Perempuan-perempuan pelacur pada
masa Dinasti Pahlevi banyak yang ditangkap oleh pemerintahan Iran yang baru.
Mereka dipaksa bertobat dari segala dosa yang mereka lakukan sebelumnya.
Untuk memenuhi tujuan itu, pemerintah menunjuk petugas-petugas tertentu
untuk melakukan mut’ah dengan beberapa mantan pelacur. Dalam kontrak yang
disepakati, para petugas itu menjadi semacam tameng bagi mantan-mantan
pelacur itu dari pandangan-pandangan negatif atas mereka.
Artinya, perempuan-perempuan itu, lewat mut’ah ini, akan memiliki kehidupan
yang lebih baik. Tidak sebagaimana para pelacur pada umumnya. Sementara
itu, mendukung program pemerintah, seperti tidak melacurkan diri lagi,
termasuk dari bagian agama mereka.
Ada juga yang disebut sebagai shigheh hukuman. Shigheh jenis ini terkait erat
dengan kepercayaan yang hidup di tengah orang-orang Syiah. Menurut mereka,
perempuan-perempuan yang masih perawan jika mati, maka mereka dipercaya
akan masuk ke dalam Surga.
Karena itu, tahanan-tahanan politik perempuan yang divonis dengan hukuman
mati, jika diketahui masih perawan, akan dipaksa melakukan mut’ah oleh
pemerintah Iran lewat petugas-petugas di penjara. Membiarkan mereka tetap
perawan akan membuat percuma eksekusi mati atas mereka.
Ada lagi yang diistilahkan dengan pernikahan percobaan atau izdivaj-i
azmayishi. Dalam proses ini, sepasang muda-mudi yang akan menikah secara
permanen diminta oleh pemerintah untuk melakukan mut’ah tanpa hubungan
seksual.
Dalam ikatan mut’ah seperti itu, mereka akan dapat saling mengenal satu sama
lain sebelum melangkah ke jenjang pernikahan permanen atau tidak sama
sekali. Proses saling mengenal itu dibatasi oleh masa kontrak.
Dalam terma mereka, mut’ah seperti itu diharapkan dapat menggantikan hasrat
mereka untuk pacaran yang dalam keyakinan Syiah adalah haram. Bagaimana
pun, kebiasaan pacaran antara muda-mudi yang lazim pada masa pemerintahan
Dinasti Pahlevi dapat dihapuskan secara permanen.[]