Bukan Sekedar Filantropisme Studi Kasus

Bukan Sekedar Filantropi?

Studi Kasus atas Motif dan Strategi Gerakan Filantropisme Muhammadiyah dalam Menopang

Keterbatasan Negara 1

Oleh: Hafidz Arfandi 2

Abstract:

The fall of welfare state model within economic crisis arise many critics. It was appearing idea of welfare pluralism. Welfare pluralism introduced of multi actor within social service providing consisted of state, private and volunteer sector. In the third world when welfare state hadn t existed, volunteer sector have major role to be buffer of welfare system within limitation of state and private to reproduced welfare in society. Zakat, Infaq, Waqf and Shadaqah are part of philanthropy volunteerism which existed Islamic religious tradition. Its distribution is one potential resources to provide social service for the poorest and marginal group.

Tradition of Zakat funds distribution has been creating social service since early 20 century. Muhammadiyah born of 1912 as Islamic religious organization which it developed social service in education, health and social. Now Muhammadiyah have many thousands social service facilitates as resulted of accumulation and mobilization zakat funds from its memberships which approximately count it until 30 billion people who are spreading almost in all Indonesia region.

This research used case study of historian method to look motive and strategy of philanthropic tradition in Muhammadiyah movement. Which consisted of two philanthropy tradition, first, social service to marginal group and second, developed of social infrastructure to help limitation of state within provided it. This research focus in two question, first, what is motive of philanthropy which introduced by Muhammadiyah movement, and Second, how are relation of social and political context in institutionalization of Muhammadiyah philanthropic policy.

Key Word : Welfare Plularism, State, Philantropic, Social Service

1 Makalah ini adalah bagian dari hasil riset skripsi penulis yang berjudul: WAJAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA :Studi Komparatif Aktivisme Sosial dan Pendayagunaan Filantropi Islam dalam Upaya Mewujudkan Kesejahteraan

Sosial pada Muhammadiyah dan Dompet Dhuafa (2014), dipresentasikan pada Workshop Internasionalisasi dan Pemikiran Muhammadiyah di UMS, Surakarta pada 31 Oktober 2014

2 Penulis adalah alumni jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL UGM, penulis dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah dan bersama kawan-kawan di UGM sedang merintis komunitas epistemik Diaspora

Muhammadiyah Bulaksumu r

Pendahuluan

Negara memiliki keterbatasan sebagai penyedia layanan kesejahteraan bagi masyarakat. Keterbatasan negara dalam layanan kesejahteraan sangat ditentukan oleh faktor kemampuan finansial dan birokrasinya dalam merespon kebutuhan aktual yang dihadapi masyarakat. Ketidak mampuan negara dalam merespon sepenuhnya tuntutan publik akan kesejahteraan melahirkan distrust terhadap eksistensi negara yang membuka peluang pada lahirnya instabilitas dan krisis sebagaiamana terjadi di beberapa negara penganut welfare state di Eropa (Ife dan Tesoriero, 2008) Welfare state dianggap hanya mampu berperan optimal disaat kondisi perekonomian kondusif dan terus tumbuh, sebaliknya di masa krisis ketika layanan sosial paling dibutuhkan publik welfare state justru mengalami era paling sulit dalam menyediakan layanan sosial akibat keterbatasan fiscal (Ife dan Tesoriero, 2008). Di tengah krisis tersebut yang muncul bukanlah usaha kolektif masyarakat untuk berbagi melainkan justru melahirkan kepelitan sosial yang semakin mengekslusifkan kelompok-kelompok masyarakat. Di beberapa negara Eropa kebencian terhadap imigran menjadi isu besar yang menjadi konsentrasi partai-partai konservatif yang menganggap mereka sebagai beban bagi sistem welfare state-nya.

Indonesia sendiri agaknya belum mampu menentukan arah pembentukan welfare state yang mapan. Hal ini ditunjukan dengan peran negara yang sangat terbatas dalam pelayanan kelompok miskin dan marjinal. Negara masih berusaha untuk mulai membangun legitimasinya dengan memberikan layanan kesejahteraan kepada masyarakat bersamaan dengan proses pembangunan yang sedang terus berjalan. Upaya ini menghadapi dilema serius. Di satu sisi negara memiliki kemampuan finansial yang sangat terbatas, tetapi di sisi lain kehadiranya dihadapkan pada problematika yang sulit dengan tingginya angka kemiskinan, kerentanan sosial dan berbagai masalah sosial lainya.

Berbeda dengan welfare state di beberapa negara Eropa yang lahir dari big deal pasca perang yang menempatkan negara sebagai satu-satunya aktor dominan dalam penyedia kesejahteraan dalam rangka merekayasa struktur sosial. Kehadiran negara di Indonesia bukanlah satu-satunya aktor yang terlibat dalam layanan kesejahteraan bagi publik. Bersamaan dengan eksistensi negara telah muncul berbagai aktor penyedia layanan kesejahteraan sektor informal atau volunteer sector. Victor A Pestoff (2009) menyebutkan bahwa kehadiran sektor ketiga tidak lain adalah sebagai alternatif yang merupakan persinggungan dari tiga sektor yang biasa muncul dalam pembahasan welfare regims, yaitu, negara, pasar dan komunitas. Kehadiran sektor ketiga mencoba menjembatani antara ketiganya dengan menggali sumber daya dari ketiganya pula serta saling melengkapi dari peran masing-masing.

Potensi penopang kesejahteraan yang tidak bisa dinafikan eksistensinya adalah filantropi. Sigh dalam Vandendael, Anoux, et all (2013) melihat dalam konteks negara berkembang filantropi menjadi salah satu bentuk respon terhadap keterbatasan negara yang muncul dari kalangan kelas menengah. Filantropisme ditandai dengan munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mengandalkan dana masyarakat baik lokal maupun internasional. Filantropi terbagi menjadi dua tipologi pertama, filantropi yang berasal dari tradisi giving, kedermawanan yang tercermin dalam kewajiban yang dimandatkan agama-agama. Dan kedua, filantropi sekuler muncul sebagai respon dari industrialisasi masif yang menghasilkan kelas menengah yang merasa peduli dengan mereka yang miskin dan papa (Midgley, 1997). Filantropisme berusaha menggalang kepedulian dan keterlibatan masyarakat Potensi penopang kesejahteraan yang tidak bisa dinafikan eksistensinya adalah filantropi. Sigh dalam Vandendael, Anoux, et all (2013) melihat dalam konteks negara berkembang filantropi menjadi salah satu bentuk respon terhadap keterbatasan negara yang muncul dari kalangan kelas menengah. Filantropisme ditandai dengan munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mengandalkan dana masyarakat baik lokal maupun internasional. Filantropi terbagi menjadi dua tipologi pertama, filantropi yang berasal dari tradisi giving, kedermawanan yang tercermin dalam kewajiban yang dimandatkan agama-agama. Dan kedua, filantropi sekuler muncul sebagai respon dari industrialisasi masif yang menghasilkan kelas menengah yang merasa peduli dengan mereka yang miskin dan papa (Midgley, 1997). Filantropisme berusaha menggalang kepedulian dan keterlibatan masyarakat

Studi ini akan menyoroti gerakan kesejahteraan sektor ketiga yang lahir dari komunitas muslim di Indonesia, yaitu Muhammadiyah. Filantropisme pada Muhammadiyah seringkali disalah pahami hanya terkait dengan lembaga amil zakat, infaq dan shadaqah yang hanya menjadi bagian kecil dari sistem organisasi Muhammadiyah. Pandangan tersebut terlalu terburu-buru dan membuktikan kegagalan sebagian besar orang dalam melihat konsepsi filantropisme secara luas dan mereduksi konsep filantropisme hanya pada wilayah pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah. Di sisi lain studi tentang filantropisme di Muhammadiyah juga belum banyak diulassecara komprehensif, hanya muncul beberapa tulisan diantaranya oleh Hilman Latif (2010) yang fokus membaca gerakan kesejahteraan Muhammadiyah, Amelia Fauzia (2012) yang meneliti perkembangan filantropi islam di Indonesia dan salah satunya adalah yang dilakukan Muhammadiyah khususnya di era kolonial dan orde baru.

Filantropisme sudah sangat kentara dan identik dengan gerakan Muhamamdiyah hanya saja seringkali studi-studi tentang Muhamamdiyah mendistorsinya dalam bingkai gerakan politik Muhammadiyah walaupun data-data menampakan peran filantropisnya. Misalnya beberapa studi muhammadiyah yang dilakukan Alfian (1969), Dien Syamsudin (1991), Syaifullah (1997), Jurdi (2010), dll. Kesemuanya lebih memotret Muhammadiyah dalam konteks politik sehingga filantropisnya sangat tereduksi. Studi ini berusaha mengonfirmasi beberapa studi terdahulu tentang gerakan filantropi di Indonesia diantanya: Studi Hilman Latief (2010) yang berfokus menyoroti filantropisme Muhammadiyah secara keseluruhan dengan segala kompleksitasnya, Studi disertasi Hilman Latief (2012) yang secara lebih kompleks melihat seluruh aktor pemberi layanan sosial berbasis ZISWAF di Indonesia yang menunjukan adanya kontestasi gagasan dan identitas. Studi lain tentang filantropisme adalah disertasi Amelia Fauzia (2013) yang lebih menyoroti aspek relasi antara negara dan filantropi islam sejak era kolonialisme hingga era modern, Studi disertasi Widyawati (2011) yang berfokus pada dinamika di balik lahir Undang- Undang Zakat, Infaq dan Shadaqah serta Undang-Undang Waqaf di era awal reformasi. Selain itu ada studi Julie Chernov Hwang (2011) yang lebih tidak langsung terkait filantropi tetapi menyoroti tentang aspek legitimasi negara dalam mewujudkan kesejahteraan yang didalamnya melihat pula kehadiran sektor ketiga di Indonesia sebagai penopang legitimasinya, sebaliknya di beberapa negara timur tengah kehadiran sektor ketiga justru berusaha menggerogoti legitimasi negara.

Pendekatan studi kasus historian d i g u n a k a n d a l am p e n u l i s a n s t u d i i ni dengan mengedepankan teori motif dari tradisi gift yang diperkenalkan oleh Alan Page Fiske dalam Komter (2005) yang menyebut motif gift terdiri dari empat tipe; authority ranking, community sharing, market pricing dan equality matching. Selain itu, studi ini berusaha melihat teori relasi sektor informal (voluntary sector) dan sektor formal (negara) meminjam teori Helmke dan Levitsky (2003) yang membagi tipologi relasi berdasarkan kriteria kesamaan atau perbedaan tujuan sektor formal dan informal, serta efektivitas negara. Teori ini ditempatkan untuk memotret relasi layanan Muhammadiyah dalam konteks sosial politik yang dinamis dari berbagai fase pemerintahan. Helmke dan Levitsky (2003) melahirkan empat tipologi relasi yaitu: akomodatif, kompetisi, komplementer, substitusi.

Indikator efektivitas negara digunakan dua pendekatan pertama, teori Katzeinstein (dalam, Gourevich, Peter A, et, al, 2008) yang melihat efektifitas negara dalam dua hal, yaitu derajat intervensi dalam menciptakan kondusifitas di masyarakat, dan kemampuan negara untuk menjaga relasi dengan aktor diluar dirinya, selain itu RJ. Baum (2011), juga melihat negara dari kemampuan administratif dan birokratisnya dalam merespon tuntutan publik yang dinamis.

Pembagian Tipologi relasi Institusi Informal dan formal

Sumber: Helmke dan Levitsky (2003:12)

Filantropisme, Bukan sekedar Derma

Filantropisme secara konsep memang belum matang dan masih jarang diperkenalkan kepada khalayak umum, walaupun secara praksis tradisi filantropisme sudah melekat hampir di setiap tubuh masyarakat dari yang paling primitif hingga masyarakat post-industrial yang berbasis pada konsumerisme. Filantropi memang belum memiliki sebuah batasan yang jelas dan seringkali dikaitkan dengan aspek kedermawanan, filantropi secara etimologis berasal dari kata philo cinta, dan anthropos manusia, yang berarti kepedulian seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain berdasarkan pada kecintaannya pada sesama manusia (Latief, 2010). Robert Payton (1988) mendefinisikan filantropi mencakup tiga kegiatan yang saling berhubungan, yaitu; layanan sosial, asosiasi sosial dan derma sosial bagi kemaslahatan umum. Tujuan filantropi menurutnya dibagi dua, perilaku kasih sayang untuk menanggulangi penderitaan dan perilaku kemasyarakatan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.

Pemahaman awam tentang filantropi seringkali cenderung mengaitkanya dengan sekedar proses charity, yang diambil dari bahasa latin artinya cinta tanpa syarat. Menurut Helmut K. Anheier dan Regina. A. List, dalam Widyawati (2011) antara Charity dan Filantropi dibedakan dari sisi tujuan pemberiannya, charitas dimaksudkan sekedar memberikan untuk kebutuhan jangka pendek, sedangkan filantropi berupaya untuk menyelidiki dan menyelesaikan sebab utama dari persoalan. Beberapa studi menunjukan bahwa konsep filantropi lebih diarahkan pada model filantropi untuk keadilan sosial yang mendorong filantropisme tidak sekedar berusaha reaktif terhadap masalah yang di depan mata, melainkan memerlukan kemampuan untuk mereproduksi lahirnya struktur sosial, ekonomi dan politik yang lebih menguntungkan mereka yang papa (Hunsaker dan Hanzl, 2005)

Zakat, apakah bagian dari Filantropisme?

Pemahaman filantropisme dalam tradisi islam telah berakar kuat melalui adanya perintah zakat, infaq, shadaqah dan waqaf (ZISWAF). Zakat merupakan konsep tunggal dalam islam yang menuntut adanya kewajiban setiap orang muslim untuk menyisihkan sebagian dari hartanya yang sudah memenuhi kriteria jumlah dan waktu tertentu berdasarkan ketentuan khusus. Sedangkan, Infaq, Shadaqah dan Waqaf lebih merupakan pilihan yang tidak diwajibkan melainkan dishunahkan (dianjurkan) dalam rangka kepentingan umum. Zakat dari sisi penerimanya juga sudah memiliki kriteria tersendiri yaitu 8 golongan yang disebutkan dalam al Qur an maupun Hadist. Berbeda dengan zakat, konsep infaq, shadaqah dan waqaf lebih memiliki keleluasaan bagi penerima manfaatnya hanya saja memang lebih ditekankan untuk memenuhi kebutuhan umum serta melayani mereka yang tidak mampu.

Gregory C. Kozlowski (2006) menyebutkan zakat sebenarnya bukanlah filantropisme yang bermakna belas kasihan pada manusia lain serta upaya redistribusi aset, melainkan sebuah kewajiban agama yang dilakukan karena keinginan untuk mendekatkan diri dengan Tuhanya. Konsep ini secara tekstual memang benar, sebaliknya secara kontekstual zakat tidak bisa semata-mata ditempatkan dalam ruang kososng secara sosial, proses pelaksanaan zakat selalu terkait dengan pilihan-pilihan rasional seseorang untuk memberikan pada siapa dan melalui apa dan berapa banyak. Hal ini dikarenakan tidak ada kewajiban mutlak tentang bagaimana proses pemberian zakat sehingga proses pemberian itu tidak mungkin dilepaskan dari relasi-relasi kontekstual.Zakat hanya bisa dikeluarkan dari filantropisme ketika negara hadir dalam sosoknya yang mewajibkan setiap muslim yang memenuhi syarat untuk membayar zakat melalui negara dengan konsekuensi hukum tertentu bagi yang menolaknya. Sebaliknya apabila kehadiran zakat cenderung didorong oleh rasa kepedulian baik langsung ataupun secara tidak langsung lahir dari tuntutan kewajiban teligius maka konsep zakat tidak bisa dilepaskan dari proses filantropisme.

Kewajiban zakat yang dikelola negara pernah diterapkan dalam berbagai masa pemerintahan islam khususnya di era Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin serta di beberapa era kekhilafahan. Terkait hal ini Robert D. Mc Chesney menyebutkan zakat menjadi sebuah ambiguitas dalam islam, disatu sisi ia merupakan kewajiban namun pelaksanaannya sangat tergantung dengan konteks sosial masyarakat, kadang muncul otoritas kadang dilepaskan begitu saja. 3 Menurut Ridwan al Makasary (2006) kondisi ini

dikibatkan proses pengelolaan zakat oleh negara seringkali diwarnai penyalahgunaan sehingga

3 Lihat dalam Robert M. Chesney http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ philanthropy_islam - .asp diakses pada 20 november 2013 pukul 15:27 3 Lihat dalam Robert M. Chesney http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ philanthropy_islam - .asp diakses pada 20 november 2013 pukul 15:27

Di Indonesia pengelolaan zakat telah menjadi tradisi akar rumput. Negara sejak masa kesultanan islam, kolonial, maupun era orde lama dan orde baru tidak campur tangan dalam pengelolaan zakat (Al Makasary, 2006; Widyawati, 2011). Zakat biasanya diberikan masyarakat kepada institusi agama di sekitarnya, mulai dari pengajian, pesantren, sekolah agama, yayasan atau organisasi islam, atau pada seorang ulama setempat. Dinamika akar rumput ini berjalan dalam tradisi masyarakat Indonesia, terkadang zakat juga tidak dimaknai sebagaimana mestinya (dihitung dan memenuhi ketentuan khusus). Tradisi zakat pada masyarakat Indonesia lebih identik dengan sedekah, tetapi dimaknai sebagai zakat (Latief, 2010). Kurniawati (ed) dalam Widyawati (2011) mengatakan survei PIRAC pada 2000-2004 di sepuluh kota besar, ditemukan rata-rata masyarakat Indonesia di kota-kota besar membayar zakat

sekitar Rp. 124.000. 4 Riset yang dilakukan BAZNAS dan IPB dan IDB menunjukan potensi zakat masyarakat Indonesia sebesar 217 Trilyun rupiah (Beik, et, al, 2013), walaupun yang tercatat oleh

Baznas pada 2012 baru sebesar 2,2 Trilliyun atau 1% dari total potensinya. 5

Wajah Filantropisme Muhammadiyah

Filantropi Islam pada dasarnya merupakan reinterpretasi dari ajaran agama yang menganjurkan derma, berupa ZISWAF. Selama ini aplikasi dari ajaran ini diterapkan dengan beragam metode dan berbagai motif baik dilakukan secara indvidu maupun secara kolektif berdasarkan pada konteks budaya masyarakatnya (Latief, 2013) Persentuhan antara filantropi tradisional dan filantropi modern mulai membentuk sebuah gerakan baru. Gerakan ini berorientasi menjadikan filantropi sebagai alat untuk mengentaskan masalah sosial. Hadirnya lembaga filantropis Islam di Indonesia menunjukan adanya reorientasi menuju model filantropisme modern. Fernandes dalan Vandendael (2013) menyebutkan bahwa institusionalisasi filantropi Islam di Indonesia muncul sebagai bentuk transisi antara bentuk- bentuk traditional giving menuju mobilisasi yang berkelanjutan pada sumber daya indigeneous.

Dalam konteks filantropisme islam di Indonesia solidaritas sosial ini terwujud dalam lembaga-lembaga sektor ketiga yang dibangun atas inisiatif masyarakat. Hilman Latief (2013) menyebutkan di Indonesia inisiatif masyarakat untuk melakukan pengorganisasian diri telah dilakukan melalui berbagai cara diantaranya dengan mendirikan lembaga-lembaga sosial baik yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial. Keberadaannya tidak hanya memberi nafas dan darah baru bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan di luar struktur pemerintah, tetapi juga menjadi alternatif ketika kebutuhan masyarakat lebih besar daripada kapasitas yang dimiliki pemerintah. Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dalam konteks sosial tersebut, kehadiranya dari latar sejarah yang kompleks telah melahirkan kesadaran akan pentingnya kolektifisme komunitas muslim dalam menghadapi kondisi sosial aktual.

4 Bandingkan dengan, Abidin, Naniek dan Kurniawati (ed) dalam Asep Saepudin Jahar, 2010, Masa Depan Filantropi Islam di Indonesia: Kajian Lembaga -Lembaga Zakat dan Wakaf, Annual Conference in Islamic Studies

(ACIS) ke 10, Banjarmasin, 1-4 November, hal:687 menemukan potensi perorangnya Rp. 684.550,-

5 Lihat dalam http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/berita/35-berita/706-menag-terima-laporan-perkemba- ngan-zakat-dari-baznas.html diakses pada 20 november 2013, pukul 17.06

Kehadiran filantropi islam di Indonesia menurut Amelia Fauzia (2013) sudah ada sejak era masa-masa kerajaan islam, dimana filantropi menjadi penopang bagi lahirnya tradisi dan kebudayaan islam seperti pesantren-pesantren. Memasuki era kolonialisme Filantropi menjelma menjadi sumber daya sosial yang dihimpun untuk mendukung perjuangan melawan penjajahan. Kolektifitas ini digerakan kesadaran- kesadaran lokal yang tumbuh dari kepatuhan dan kecintaan pada para pemimpin lokal yang karismatik dalam melawan hindia belanda.

Memasuki fase awal modernisme di Indonesia, khususnya ketika fase politik etis diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Hindia belanda pada awal abad 20-an. Saat itu pula lah muncul sebuah tradisi baru dalam filantropisme islam di Indonesia. Hadirnya politik etis yang cenderung diskriminatif justru melahirkan keterbalakangan akibat ketidak mampuan komunitas muslim bersaing dalam ruang modernisasi yang sedang berjalan. Politik etis hanya memberikan akses pendidikan, kesehatan dan sosial hanya kepada kalangan aristokrat pribumi. Di sisi lain kalangan santri pribumi cenderng menaruh kecurigaannya pada usaha modernisasi sehingga terjebak pada kejumudan ilmu pengetahuan dan makin terpinggir dari kemajuan. 6

Filantropisme islam di awal abad ke 20, mulai tumbuh bersamaan dengan munculnya tren pembaharuan dan modernisasi agama sebagai pengaruh dari revivalisme islam di kawasan Timur Tengah. Pada fase inilah Muhammadiyah dilahirkan melalui sosok KH. Ahmad Dahlan, seorang yang memiliki peran yang kompleks baik sebagai anak penghulu keraton yang sempat mengenyam pendidikan di Timur Tengah, sekaligus seorang aktivis pergerakan baik Syarikat Islam, Jamiatul Khoir, maupun Boedi Oetomo (Jurdi, 2010).

KH. Ahmad Dahlan membentuk gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan multi sektoral yang bersifat ortodoksi dan otopraksi. Muhammadiyah berusaha melakukan pemurnian agama sekaligus juga melakukan pembaharuan praktek-praktek aktivisme sosialnya. Muhammadiyah membentuk berbagai majelis yang spesifik untuk menangani berbagai permasalahan umat. Pilihan ini tidak lepas dari rasionalisasi konteks sosial politik yang melatar belakangi kelahiranya. Muhammadiyah muncul tidak sekedar sebagai gerakan dakwah islam, melainkan berusaha untuk membangun fondasi gerakan pembaharuannya secara komprehensif melalui berbagai program-program yang terorganisir. Adabi Darban (2000) menyebutkan bahwa ajaran KH. Ahmad Dahlan meliputi:

1. Membersihkan aqidah islam dengan mengembalikan kemurnian keyakinan dan pengabdian kepada Allah SWT, sebagai landasan pokok agar umat tidak terjebak pada syirik.

2. Mengembalikan seluruh ajaran islam pada pokok hukumnya yaitu, Al Quran dan Shunah Nabi Muhammad saw, khususnya dalam ibadah

3. Memperbaiki pengajaran dan pendidikan islam serta penyebaran kebudayaan islam

4. Menghidupkan semangat ukhuwah islamiyah pada bidang politik, sosial dan ekonomi

6 Belanda hanya mendukung sistem pendidikan untuk elit pribumi dan dengan salah paham menghindari islam yang dianggapnya berpotensi melawan, sedangkan komunitas muslim bersikap antipati karena trauma konflik /

perang berkepanjangan melahirkan anti terhadap segala yang berbau tradisi barat termasuk pakaian, gaya hidup, cara-cara dan ilmu pengetahuannya lihat Yudi Latif, 2005, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad 20, Mizan: Bandung,

5. Membendung aktivitas zending Kristen dan misi Katolik yang dibawa oleh kolonialisme

Pembaharuan Muhammadiyah salah satunya dilakukan dengan mendorong perubahan kultural tentang pembayaran zakat. Muhammadiyah mendorong pengumpulan zakat untuk disalurkan kepada fakir miskin, padahal sebelumnya zakat dibayarkan pada para tokoh agama setempat dan dijadikan pendapatan bagi mereka (Mitsuo,1983). Dorongan untuk berzakat, ataupun bersedekah inilah yang memunculkan semangat pada anggotanya untuk mendermakan uang, tenaga bahkan mewakafkan kelebihan aset berupa tanah atau rumah untuk mendirikan berbagai fasilitas pelayanan Muhammadiyah di daerahnya masing-masing. Hampir semua fasilitas yang didirikan Muhammadiyah di era awal perkembangannya adalah dukungan penuh dari anggotanya. Alfian (2010:218) mencatat pada periode 1923 pendapatan Muhammadiyah di Jogjakarta sebesar f 64,737.59 dengan komposisi 1 % dari iuran anggota, 37 % dari donasi, 8% dari zakat, 12,5% dari subsidi, 13,5% dari jasa pendidikan dan dari perusahaan 8%. Proporsi dana donasi dan zakat menjadi pos pendapatan terbesar bagi aktivisme Muhamamdiyah.

Gerakan Muhammadiyah mendapat sambutan antusias di kalangan umat islam khususnya komunitas kelas menengah baik dari kalangan pedagang, pengrajin dan pamong praja. Komposisi anggota Muhammadiyah yang didominasi kelas menengah menjadikannya berkembang di kota-kota utama di Jawa dan Sumatera seperti Yogyakarta, Pekalongan, Solo, Kudus, Semarang, Cilacap, Malang, Surabaya, Lumajang, Jakarta dan Padang. Deliar Noer (1982) menyebutkan pada 1925, Muhammadiyah telah mempunyai 29 cabang dengan 4000 orang anggota. Pada periode ini Muhammadiyah sudah mampu membangun banyak fasilitas di bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, diantaranya 8 HIS, 1 Kweekschool, 32 Standardschool, 14 Madrasah, 2 Klinik, 1 Rumah Miskin dan 2 Rumah Yatim. Pada periode 1937 sudah terbentuk 921 cabang di seluruh Indonesia: Jawa-Madura sebanyak 401 cabang, Sumatera sebanyak 368 cabang, Sulawesi sebanyak 105 cabang, Kalimantan 33 dan lainnya 14 cabang (Jurdi(ed), 2010:80). Pada dekade awal berdirinya keanggotaan Muhammadiyah juga menunjukan pertumbuhan yang sangat pesat. Deliar Noer (1982:95) memperkirakan pada 1921 anggotanya baru mencapai 597 orang dan meningkat pesat pada 1925 sebesar 4000 orang dan pada 1930 menjadi 24000 dan 1935 sudah mencapai 43000 dan 1938 mencapai 250.000 orang.

Eksistensi layanan kesejahteraan berbasis filantropis yang diberikan Muhammadiyah pada masa itu mampu melahirkan pengaruh dan legitimasi sebagai patron bagi kalangan pribumi. Muhammadiyah dianggap masyarakat mampu memberikan alternatif akses kebutuhan akan layanan pendidikan, kesehatan dan sosial bagi kaum pribumi yang tersingkir. Layanan pendidikan bagi kaum pribumi memang telah disediakan tetapi kebijakan pemerintah memilih mempertahankan stratifikasi sosial menjadikan kebijakan tersebut berorientasi pada pemecahan kelas yang membatasi akses layanan pendidikan berkualitas hanya untuk anak-anak kaum aristokrasi pribumi. Adapun kalangan pribumi kelas menengah dan rendahan hanya mendapatkan akses volkschool (sekolah rakyat). Dalam konteks ini lahirlah motif authority ranking yang direproduksi dalam layanan kesejahteraan Muhamamdiyah yang berusaha berusaha melahirkan garis hirarkis dalam struktur masyarakat malalui pembentukan kuasa, Eksistensi layanan kesejahteraan berbasis filantropis yang diberikan Muhammadiyah pada masa itu mampu melahirkan pengaruh dan legitimasi sebagai patron bagi kalangan pribumi. Muhammadiyah dianggap masyarakat mampu memberikan alternatif akses kebutuhan akan layanan pendidikan, kesehatan dan sosial bagi kaum pribumi yang tersingkir. Layanan pendidikan bagi kaum pribumi memang telah disediakan tetapi kebijakan pemerintah memilih mempertahankan stratifikasi sosial menjadikan kebijakan tersebut berorientasi pada pemecahan kelas yang membatasi akses layanan pendidikan berkualitas hanya untuk anak-anak kaum aristokrasi pribumi. Adapun kalangan pribumi kelas menengah dan rendahan hanya mendapatkan akses volkschool (sekolah rakyat). Dalam konteks ini lahirlah motif authority ranking yang direproduksi dalam layanan kesejahteraan Muhamamdiyah yang berusaha berusaha melahirkan garis hirarkis dalam struktur masyarakat malalui pembentukan kuasa,

daya yang diatasnamakan seluruh bagian dari komunitas masyarakat pribumi.

Patronase dan legitimasi yang diterima masyarakat terhadap Muhammadiyah tidak dijadikan wahana membentuk stratifikasi kuasa baru. Sebaliknya patronase ini muncul seiring dengan lahirnya kewibawaan Muhammadiyah untuk memobilisasi dukungan masyarakat. Egbert Harmsen (2008) menyebutkan bahwa pengalaman relasi civil society dan negara di Yordania mammpu melahirkan patronase bertingkat. Pola patronase ini terbentuk justru dengan lahirnya civil society yang dengan sengaja diberikan celah oleh negara untuk tampil. Negara mendapat keuntungan dengan menjadi puncak dari patronase tersebut sedangkan civil society yang lahir cenderung tampil untuk memperkuat legitimasi negara dengan membentuk patronase terbatas di masyarakat. Hal ini seperti pula diperlihatkan oleh Julie Chernov Hwang (2011) ketika negara efektif maka civil society yang lahir mampu terikat dalam sistem korporatiknya untuk memperkuat legitimasinya dihadapan publik. Negara akan cenderung memberikan dukungan terbatas untuk mempertahankan relasinya dengan civil society yang bersangkutan.

Perbedaan mencolok antara patronase civil society di Yordania dengan Muhammadiyah pada fase ini adalah inisiatif kemunculannya yang berasal dari masyarakat sebagai reaksi counter atas dikriminasi negara. Sedangkan di Yordania civil society muncul dari insentif yang diberikan negara. Reaksi counter ini menjadikan relasi Muhamamdiyah dan negara semata-mata dalam rangka mempertahankan dukungan atas aktivismenya. Di sisi lain, Muhammadiyah berusaha secara rapi menyimpan sebuah agenda tersembunyi untuk melawan agenda negara kolonial. Strategi ini diwujudkan dengan upayanya untuk membangun gerakan yang bersifat populis sebagai sarana menarik simpati komunitasnya untuk memberikan dukungan sekaligus bergabung sebagai anggotanya. Dukungan tersebut diartikulasikan Muhammadiyah sebagai representasi sikap pribumi untuk berhadapan dengan negara kolonial. Muhammadiyah berhasil menerobos keterbatasan negara dengan memperkuat pengaruh gerakannya dihadapan kaum pribumi sekaligus dalam waktu bersamaan menarik dukungan negara terhadapnya.

Inisiatif Lokal di tengah Absesnya Negara (Kolonial)

Di tengah kebijakan modernisasi terbatas selama era politik etis pemerintah kolonial berusaha mendorong gerakan misi gereja untuk bergerak di wilayah jajahan dalam menyediakan layanan pendidikan, sosial dan kesehatan. Negara Kolonial Hindia Belanda secara terbuka menyatakan kebijakannya netral agama, tetapi sulit dipungkiri peran mereka dalam mendukung gerakan misi gereja. Pada prakteknya sejak 1810 Raja William I mengeluarkan dekrit untuk mendukung gerakan misi ke Hindia dengan memberikan kewenangan otonom langsung di bawah gubernur jendral dan mendapat dukungan dari negara berupa subsidi, sumbangan finansial dan pembebasan pajak (Shihab, 1997:39-40). Puncaknya pada 1901 dibawah perdana menteri Abraham Kuyper, Ketua Partai Kristen Anti Revolusi yang berhasil mengalahkan kubu liberal yang telah berkuasa hampir setengah abad. Pada 1902. Kuyper menunjuk Alexander Idenburg (seorang politisi Kristen ortodok dan konservatif) untuk menjabat

7 Lihat definisi authority ranking dalam Alan Page Fiske, dalam Aafke Komter (2005) Social Solidarity and the Gift, Cambridge : Cambridge University Press,

Menteri Urusan Kolonial yang mengeluarkan kebijakan untuk memberikan dukungan besar-besaran kepada misi Kristen dan Katholik (Shihab, 1997).

Belanda memiliki rasionalisasai dengan mendukung aktivitas gerakan misi kristen pada pribumi akan cenderung mengamankan posisinya di Hindia yang sedang dimodernisasi untuk dipersatukan di bawah Kerajaan Belanda (Shihab, 1997). Kebijakan ini menurut Snouck Hurgronje lahir akibat adanya ketakutan yang berlebihan pemerintah terhadap pribumi dan islam, terutama akibat perlawanan yang panjang di berbagai daerah sekaligus ketidak pahaman pemerintah kolonial terhadap islam dan budayanya. Ketakutan ini diartikulasikan dengan usaha untuk mematikan pertumbuhan islam dan menolak modernisasi sekolah tradisional islam yang dianggap bisa memelihara musuh-musuh negara. 8 Praktek ini sempat dijadikan sasaran kritik partai sosialis Belanda yang menyebut adanya upaya Kristenisasi yang dipaksakan di Hindia dan penyalahgunaan fasilitas negara oleh gerakan misi (Shihab, 1997:88-89).

KH. Ahmad Dahlan memandang serius dua persoalan menyangkut kaum pribumi. Pertama, adanya barier dengan kebijakan legal diskriminatif yang dilakukan negara sehingga memaksa mayoritas populasi pribumi muslim tidak mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. 9 Kedua, adanya

potensi ancaman dari masifnya pengaruh gerakan misi Katolik dan Zending Kristen yang dengan dukungan penuh pemerintah mampu menyediakan layanan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Aktivisme sosial gerakan misi gereja dianggap sebagai upaya serius untuk menjauhkan masyarakat pribumi terhadap islam. Negara kolonial Hindia Belanda dan Gereja melakukan perselingkuhan kepentingan yang berorientasi untuk mengubah struktur dan kultur masyarakat Hindia. Upaya negara dan sekaligus gerakan gereja untuk melakukan layanan sosial bagi pribumi tidak lain menciptakan legitimasi dan penanaman pengaruh sosial di kalangan pribumi untuk menciptakan masyarakat pribumi baru yang pro Hindia Belanda. Upaya ini dinilai berpotensi meruntuhkan legitimasi tradisional utamanya kalangan para santri muslim. Vanderbosh dalam Shihab (1997) mencatat sejak 1909-1912 terjadi peningkatan 40% fasilitas pendidikan gerakan misi akibat adanya dukungan finansial pemerintah. Hal ini mendorong peningkatan partisipasi pribumi sebesar 20% di sekolah-sekolah swasta milik gerakan misi.

Muhammadiyah berusaha menghadapi gerakan misi gereja dengan membangun fasilitas tandingan untuk bersaing memperebutkan pengaruh di kalangan pribumi. Perebutan pengaruh ini pada dasarnya berusaha menunjukan spirit bahwa kaum pribumi mampu maju dengan upaya kolektifnya sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pemberian-pemberian komunitas gereja yang didukung oleh negara. Sikap ini terwujud dalam diri KH. Ahmad Dahlan yang selalu menyerukan perlunya pembaruan sikap

8 Snouck Hurgonjee mengkritik keras kebijakan pemerintah kolonial Hindia belanda yang mengandung ketakutan berlebihan dengan komunitas musim dan memberikan rekomendasi untuk menerima islam sebagai kultur dan

mewaspadainya sebagai kekuatan politik. Lihat Yudi Latif ,2005, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi intelegensia Muslim Indonesia Abad 20. Hal 82-84

9 Terdapat dua jenis diskriminasi, pertama, legal diskriminasi, yaitu sebuah kehendak sadar yang dilakukan negara untuk meminggirkan suatu kelompok dari akses-akses dan fasilitas sosial, ekonomi dan politik yang tercermin dalam

sebuah legal formal (hukum), Kedua, sosial diskriminasi, yaitu, munculnya status warga kelas dua yang terpinggirkan akibat adanya perbedaan terhadap akses sosial, politik dan ekonomi, tidak tercermin dalam hukum formal tetapi menjadi rasionalisasi kebijakan, lihat Dixon, John dan Robert P. Scheurrel (ed.), 1995. Social Welfa re in Indigenous People, London : Routledge, hal ix sebuah legal formal (hukum), Kedua, sosial diskriminasi, yaitu, munculnya status warga kelas dua yang terpinggirkan akibat adanya perbedaan terhadap akses sosial, politik dan ekonomi, tidak tercermin dalam hukum formal tetapi menjadi rasionalisasi kebijakan, lihat Dixon, John dan Robert P. Scheurrel (ed.), 1995. Social Welfa re in Indigenous People, London : Routledge, hal ix

untuk mewujudkan pelayanan sosial untuk menolong kaum dhuafa melalui gerakan amal shaleh yang nyata secara sosial. Beliau memandang pentingnya umat islam untuk saling tolong menolong sesamanya

self helping ”. Lahirnya kolektifitas dan solidaritas umat diharapkan mampu memberikan kekuatan untuk meraih posisi yang setara dengan kelas pribumi atas dan bahkan bangsa Eropa. M. Yusron dalam Shihab (1997) menyebutkan KH. Ahmad Dahlan selalu mengulang-ulang pelajarannya tentang surat Al M a un sebelum para muridnya melaksanakan aktivitas sosial.

Perebutan legitimasi ditengah kebijakan diskriminatif sekaligus rasa apriori kepada netralitas kekuasaan melahirkan kecenderungan membentuk perjuangan politik identitas kaum pribumi. Sya fi i Ma arif (2012) menjelaskan politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara . Politik identitas selalu identik dengan lahirnya pandangan entonasionalisme, dalam kaitannya dengan Muhammadiyah ia muncul dari perasaan ingin bebas dari kolonialisme yang dianggap sekuler ataupun dekat dengan gereja dan membentuk sebuah masyarakat baru Hindia yang religius dan berkemajuan.

Muslim Abdurahman (dalam Boy Ztf, Pradana, M. Hilmi Faiq dan Zulfan Barron (ed), 2008) menyamakan awal munculnya gerakan Muhammadiyah dengan semangat perlawanan kaum bawah di Eropa sejak pertengahan abad 19, yang oleh George Rode, Eric Hobsbrown dan Edward Thomson disebut sebagai moral economy, yaitu sebuah gerakan perlawanan arus bawah yang mengakar sangat dalam dari tradisi dan budaya setempat termasuk perasaan yang muncul dari tradisi agama tentang ketidakadilan. Muslim Abdurahman (dalam Boy Ztf, Pradana, M. Hilmi Faiq dan Zulfan Barron (ed), 2008) menambahkan rasionalitas gerakan Muhammadiyah lebih dipengaruhi sentimen kesadaran agama yang dianggap pengikutnya lebih murni dibandingkan kepentingan mobilitas kelas sosial tertentu. Pengaruh ini yang memungkinkannya lebih sensitif dengan persinggungan isu-isu keagamaan.

Persaingan antara Muhammadiyah dengan gerakan misi dan zending lahir secara simultan akibat adanya kebijakan negara. Gerakan misi dan zending tumbuh dari adanya insentif subsidi dan pemberian otoritas yang besar dari negara. Sedangkan, Muhammadiyah lahir sebagai reaksi atas kebijakan negara yang dianggap diskriminatif. Situasi ini menciptakan kondisi dimana Muhammadiyah tidak secara langsung berhadap-hadapan dengan negara. Negara pada dasarnya memiliki kemampuan yang cukup untuk menciptakan usaha penyediaan layanan hanya saja rasionalisasi kebijakan yang dimilikinya menjadi penghambatnya untuk terlibat. Hambatan ini menjadikan kehadiran negara cenderung tidak efektif untuk menyediakan layanan kesejahteraan.

Keberadaan amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang tidak terlepas dari visi organisasi yang anti kolonialisme dan pro pembaharuan. Di bidang pengajaran, pembentukan sekolah tidak semata-mata untuk bersaing dengan sekolah-sekolah negeri yang didirikan pemerintah Kolonial ataupun sekolah misi swasta yang dilahirkan gerakan misi, melainkan ada maksud penanaman visi pembaharuan agama islam

10 Surat ke 107 dalam Al Qur an isinya : Tahukah kamu siapa pendusta agama? Mereka itu orang yang menghardik anak yatim, dan mereka yang tidak menganjurkan memberi pada orang miskin, dan celakalah orang yang lalai

dalam shalatnya, yaitu orang yang ria dan enggan member bantuan dalam shalatnya, yaitu orang yang ria dan enggan member bantuan

Misi pembaharuan agama dan perlawanan juga tampak dalam bidang sosial dan kesehatan dengan berdirinya bidang Penolong Kesengsaraan Oemom (PKO). PKO diawali terbentuknya tim penolong untuk menangani korban meletusnya Gunung Kelud pada 1918. PKO pada 1921 diakui sebagai bidang khusus di Muhammadiyah. Pada 1921, PKO memberikan bantuan pada korban kebakaran di Yogyakarta, 1922 didirkan rumah yatim pertama, klinik yang paling pertama dibentuk adalah PKO di Yogyakarta (1921), PKO Kota Gede (1925), disusul kemudian klinik di Solo (1929), Malang (1929) dan Surabaya (1930). Klinik-klinik ini didirikan ditujukan utamanya yaitu menolong mereka yang sakit, namun ada tujuan lain yang menyertainya, Pertama, menantang model pengobatan tradisional, agar orang yang sakit tidak pergi ke dukun atau melakukan ritual-ritual untuk penyembuhan (Mitsuo,1983:111). Kedua, klinik ini dimaksudkan untuk menandingi keberadaan klinik-klinik yang dibangun oleh misionaris Katolik dan para zending Kristen. Selain membidangi kesehatan PKO juga membidangi urusan sosial lainnya, seperti yatim piatu dan santunan warga miskin. Eksistensi layanan tersebut memperkuat legitimasi Muhammadiyah dihadapan komunitas pribumi.

Tujuan yang tersembunyi di balik layanan Muhammadiyah secara garis besar bisa dilihat dalam dua hal, pertama, upaya untuk melakukan kritik ke dalam komunitasnya utamanya terkait tradisionalisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran agamanya dan menciptakan keterbelakangan, dan kedua, merupakan upaya bersaing dengan pihak eksternal yang berseberangan tujuan tetapi memiliki cara-cara ampuh yang ditirunya. Muhammadiyah mengembangkan aspirasi yang berbeda dengan tujuan layanan yang diberikan negara kolonial. Tujuan pelayanan sosial negara kolonial sebatas memenuhi kebutuhan administratif dan mempertahankan stratifikasi sosial di masyarakat Hindia (Latif:2005). Sedangkan, Muhammadiyah berupaya memperkuat kaum pinggiran (pribumi non aristokrat) yang tak mendapatkan akses untuk bisa tampil setara. Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda sekolah dan rumah sakit pemerintah selalu menjadi alat bagi proses sekulerisasi dan pembaratan kaum pribumi. Sedangkan

11 Dinamika sekolah muhammadiyah memadukan antara kecakapan pergaulan dengan pengenalan bahasa untuk pergaulan dengan berbagai kelas sosial sekaligus modifikasi pengajaran dengan memberikan pelajaran Ilmu non

agama sebagai bentuk reinterpretasi tentang tuntutan ajaran agama untuk memahami hakikat dari sunatullah – hukum tuhan dalam alam semesta-, selengkapnya Lihat Nakamura Mitsuo, 1983, Bulan Sabit Muncul Dibalik Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta : Gajah Mada, hal: 107-109

Muhammadiyah menjadikannya sebagai fasilitas pembentukan semangat etnonasionalisme-religius dan penguatan nilai-nilai agama islam yang berorientasi pada pembaharuan dan kemajuan.

Muhammadiyah dan misi Gereja menjadi dua aktor diluar negara yang saling bersaing untuk saling memperebutkan legitimasi. Kedua aktor non-state yang saling bersaing ini cenderung berusaha mempertahankan hubungan baiknya dengan negara untuk memastikan keduanya didukung baik secara finansial maupun regulasi politik agar tetap dibiarkan melaksanakan aktivismenya. Posisi ini ditunjukan dengan kedekatan KH. Ahmad Dahlan dan kepiawaiannya dalam menjalin relasi dengan pemerintah kolonial dan pihak misi gereja sekaligus.

Negara dalam kapasitas terbatas cenderung mengapresiasinya reputasi Muhammadiyah dengan mengakui dan mensubsidi fasilitas sosial yang dimilikinya. Pemerintah kolonial pada memberikan subsidi kepada Muhammadiyah sebesar f 12916,40 untuk PKO dan f 50377,05 untuk bidang pengajaran (Darban, 2000; Amelia Fauzia, 2013;Jurdi (ed), 2010). Subsidi ini tidak sebanding dengan subsidi yang diberikan kepada Katholik dan Kristen. Sekolah Muhammadiyah yang disubsidi pemerintah hanya 112 sekolah dari 416 sekolah yang dimilikinya, sedangkan katholik dan protestan semua sekolahnya disubsidi dengan masing-masing berjumlah 696 sekolah dan 1.893 sekolah (Jurdi (ed), 2010). Alfian (2010) menyebut pada 1926 Muhammadiyah hanya mendapat 1,5% subsidi pemerintah Hindia Belanda sebesar f 579,354.86, sedangkan total subsidi yang diberikan pemerintah kepada swasta sebesar f 7,266,000. Subsidi ini ternyata bagi Muhammadiyah cukup memadai sekitar 15% dari total pemasukan dana persyarikatan.

Pemerintah kolonial memiliki beberapa pertimbangan penting untuk mempertahankan dukungannya pada Muhammadiyah, pertama, Muhammadiyah telah menjadi wadah aspirasi sosial bagi kaum pribumi muslim sehingga menghalanginya sama artinya memancing radikalisasi dan perlawanan kolektif pribumi muslim yang sangat kuat. Kedua, Sikap Muhammadiyah yang sangat kooperatif sangat dibutuhkan oleh pemerintah kolonial untuk menghadang radikalisasi pribumi oleh organisasi politik radikal seperti SI maupun ISDV (Partai Komunis). Ketiga, Kolonial cukup memiliki kepercayaan diri bahwa Muhammadiyah tetap tidak mampu mengubah status quo dikarenakan kapasitasnya yang masih sangat terbatas.

Relasi antara negara yang tidak efektif dan adanya sektor ketiga yang mengemban misi berbeda melahirkan adanya relasi kompetisi. Helmke dan Levitsky (2003) melihat dikala negara tidak memiliki kapasitas yang cukup efektif disatu sisi muncul aktor informal yang memiliki tujuan yang berbeda maka akan terjadi kompetisi. Aktor informal itu bisa berupa clientelism, patrimonials, clan politics, dan lainnya. Robert Price dalam Helmke dan Levitsky (2003) menemukan apa yang terjadi di Ghana dimana administrasi layanan publik yang mahal menjadikan adanya pembatasan bagi rata-rata masyarakat yang tak mampu, akibatnya muncul institusi tandingan yang muncul dari kultur masyarakat lokal untuk bersaing memperebutkan legitimasi dengan negara.

Ilustrasi Hubungan Muhammadiyah, Negara Kolonial dan Gerakan Gereja

Elit Pribumi

Negara Kolonial

Misi Gereja Muhammadiyah

Kelas menengah dan bawah

Kompetisi yang dilakukan Muhammadiyah dan negara kolonial berlangsung dalam dua ranah yang masing-masing dengan pendekatan strategi berbeda. Pertama, ranah Muhamammadiyah vis a vis negara. Kompetisi ini diwujudkan dengan adanya perbedaan aspirasi tujuan dan gagasan yang merasionalisasi lahirnya layanan kesejahteraan. Muhamamdiyah melakukan kompetisinya secara tertutup artinya tidak secara frontal melawan negara melainkan membangun hidden agenda yang merepresentasikan sikap perlawanannya sekaligus merangkul negara di permukaan. Hal ini diperkuat dengan adanya keterlibatan para pemimpin Muhammadiyah dalam aktivitas politik Syarekat Islam yang sangat frontal melawan kolonialisme. Kedua, ranah Muhammadiyah vis a vis quasy negara Gereja , Muhammadiyah menunjukan sikap bertentangan dengan mencoba menghadang gerakan misi gereja dengan model yang fair, yaitu bersaing untuk menyediakan layanan untuk komunitas pribumi sekaligus bersaing untuk mendapatkan dukungan negara. Pilihan strategi ini terbukti berhasil mereproduksi banyak amal usaha Muhammadiyah tanpa menimbulkan konfrontasi antara Muhamamdiyah dan misi gereja secara fisik atau memicu konflik horizontal di masyarakat. Sebaliknya KH, Dahlan justru dikenal dekat dengan kalangan gereja dan berani untuk melakukan diskursus dengan para pendeta dan pastur. Di masa kepemimpinannya hampir tidak ada konflik terbuka yang terjadi antara kedua belah pihak.

Sikap Pragmatisme Kolaboratif di bawah Rezim Militer Jepang

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72