PERKEMBANGAN MILITER CHINA TERHADAP STAB

PERKEMBANGAN MILITER CHINA TERHADAP STABILITAS
KAWASAN ASIA TIMUR

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:
MUHAMMAD FIQIH SAPUTRA
NIM 120910101040

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014

1.1 Latar Belakang
Perang Dingin di Asia-Pasifik ditandai dengan kemunculan dua kekuatan
besar yang memiliki perbedaan mendasar terutama dari segi ideologi dimana Amerika
Serikat dengan ideologi liberalnya dan USSR-China sebagai dua kekuatan besar yang
tergabung dalam ideologi komunis. Kedua kekuatan ini saling berlomba untuk
menancapkan kekuaasaannya guna menjadi pemimpin dunia. Kawasan Asia Timur
menjadi fokus utama pada tulisan kali ini sebagai ‘destinasi’ dari peta penyebaran

kekuasaan dua kekuatan. Hal ini dikarenakan Asia Timur menjadi kawasan potensial
yang dapat tumbuh menandingi kekuatan negara-negara di kawasan Eropa (Dosch,
2004:17).
Amerika Serikat sebagai negara yang menentang eksistensi komunis mencoba
untuk menguasai kawasan Asia Timur. Menurut Marvin Ott, Amerika Serikat
setidaknya memiliki empat tujuan utama yang mendasari keterlibatannya di daerah
Asia Timur, antara lain (1) untuk mencegah munculnya hegemoni regional; (2)
mempertahankan jalur transit di daerah Asia Timur baik jalur laut maupun udara; (3)
menjaga akses komersial yang dibutuhkan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas
kawasan perdagangan; (4) memperkuat dan mempertahankan hubungan keamanan
diantara sekutu (Out dalam Dosch, 2004:17). Selain dari keempat tujuan di atas,
penulis juga menemukan tujuan utama Amerika di kawasan Asia Timur terutama
sebagai strategi untuk membendung penyebaran komunis secara global dengan
mempertahankan keunggulan militer atas Uni Soviet dan China (Dosch, 2004:18).
Berakhirnya Perang Dingin mengakibatkan transisi kekuasaan politik yang
cukup besar sehingga Asia Timur berada dalam kondisi yang dipenuhi oleh dilemma
keamanan (security dilemma). Hal ini ditandai dengan adanya transisi kekuasaan,
tidak seimbangnya distribusi kekuatan ekonomi baik di dalam maupun antar negara,
heterogenitas politik dan budaya namun tidak diiringi dengan produktivitas dan


independensi yang tinggi serta adanya sengketa perebutan wilayah yang melibatkan
isu-isu sumber daya alam dengan isu nasionalisme (Christensen, 2003 : 25).
Meskipun telah terjadi transisi kekuatan semenjak Perang Dingin berakhir dimana
banyak muncul kekuatan-kekuatan baru yang menyaingi kekuatan hegemon Amerika,
namun

AS

masih

mampu

mempertahankan

keunggulannya

dengan

cara


mengombinasikan antara hard power yang didasari oleh kekuatan militer dan soft
power yang didasari oleh daya tarik budaya dan model karakter Amerika Serikat di
mata dunia. Sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Pasifik kecuali Cina
masih memandang Amerika sebagai kekuatan besar yang mampu menyeimbangkan
kondisi di kawasan Asia Pasifik, dan sebagai stabilisator utama (Dosch, 2004 : 28).
Peran Amerika sebagai “polisi” dianggap sebagai salah satu cara untuk memperbaiki
dilema keamanan dan mencegah meningkatnya ketegangan dan ketidakpercayaan
antar negara. Para ilmuwan pun setuju bahwa kehadiran intervensi Amerika terutama
di bidang militer secara terus menerus dapat membawa stabilitas terutama dibidang
perdamaian dan keamanan. Diperlukan kerjasama di bidang militer antara AS dan
Asia Timur, terutama Jepang. Dengan begitu AS dapat mendorong Jepang untuk
mengadopsi peran non-ofensif sehingga dapat mengurangi dilema keamanan negara
tetangga Jepang (Christensen, 2003:26).
1.2 Rumusan Masalah
Seperti yang kita ketahui perkembangan militer China di kawasan ASIA
Pasifik sangatlah pesat sehingga membuat security dillema bagi Negara-negara di
sekitar China. Amerika sebagai Negara super power-pun merasa terancam dengan
berkembang pesatnya militer China ini. Maka dari itu muncullah pertanyaan “ Apa
saja perkembangan militer yang dilakukan China ?”
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui langkah-langkah berkembangnya militer China.

BAB II
KERANGKA TEORITIS
1.2 Paradigma Realisme & Neo Realisme
Realis menganggap pada dasarnya manusia itu jahat. Sejak penciptaan adam
dan hawa, keturunan adam, dan kehidupan para khalifah pun semua tidak jauh dari
konflik. Seperti yang diungkapkan oleh seorang realis Edward Hallet Carr dalam
bukunya The Twenty Years Crisis (1939) yang mengemukakan bahwa krisis yang
terjadi di dunia ini adalah karena kesalahan pemikiran idealisme yang memandang
hubungan internasional yang ada terlalu utopis dan terlalu mengutamakan moral
sementara kenyataannya berbeda. Seharusnya hubungan internasional lebih dekat
pada hal-hal yang lebih realis yaitu merupakan hubungan konflik yang dilandasi oleh
sifat buruk manusia.
Mereka mengungkapkan bahwa negara adalah aktor utama dalam sistem
politik dunia. Dalam sistem hubungan Internasional cenderung disebut internationalanarcism. Hal itu disebabkan karena adanya kepentingan nasional yang berbenturan
dengan kepentingan nasional negara lain, sehingga konflik tidak dapat dihindarkan.
Mereka menganggap seluruh negara di dunia ini tidak aman dengan keberadaan
negara-negara di sekitarnya. Hal itu yang menyebabkan setiap negara cenderung

memperbaiki dan memperkuat militernya untuk melindungi negara mereka dari
ancaman negara lain. Militer dijadikan sebagai alat untuk menjaga kelangsungan
hidup dan mempertahankan eksistensinya di dunia. Kemudian, essensi realis yang
kedua adalah survive. Para pemikir realis mengungkapkan bahwa hubungan
internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan dan untuk bertahan hidup.1
1.2 Konsep Self-Helped

1 https://catatandhila.wordpress.com/2009/11/19/paradigma-realis/

Dalam pemikiran Kenneth Waltz dalam melihat sistem internasional sama
halnya dengan konsep “survival of the fittest” dari para materialis. Natural selection
yang diungkapkan ahli sosiologi Inggris Herbert Spencer dan biologi Charles Darwin,
namun hal yang diungkapkan oleh kedua ilmuwan tersebut tidak dapat dilihat secara
tekstual saja. Unit-unit didalam sistem internasional selalu berusaha untuk
mempertahankan eksistensi mereka, yang biasa dideskripsikan dengan cara
beradaptasi dengan perubahan. Kenneth Waltz juga menyinggung masalah
spesialisasi yang dilakukan oleh negara-negara dalam pemikirannya, pemikiran
tersebut memang sangat terkait dalam konsep comparative advantage dalam ilmu
ekonomi yang pernah diajukan oleh David Ricardo. Setiap negara yang berusaha
untuk melakukan spesialisasi didalam sistem internasional itulah yang dinamakan

self-help system dan mereka berusaha mendapatkan keuntungan dari spesialisasi
tersebut (spesialisasi = self-help system). Salah satu contoh comparative advantage
yang bisa diambil adalah “interdependence” antara Amerika Serikat dan Arab Saudi.
Amerika Serikat sangat bergantung dengan minyak dari Arab Saudi dan Arab Saudi
bergantung dengan senjata-senjata yang diproduksi oleh Amerika Serikat.Self-help
system inilah yang menjadi esensi utama dari mazhab realis ataupun neo-realis. Selfhelp system ini sering digambarkan dengan konsep “the war of all against all” dari
Thomas Hobbes.2
Pembahasan
Dewasa ini, tidak sedikit negara di kawasan Asia Pasifik yang memandang
dengan hati-hati terhadap kebangkitan Cina. Kehati-hatian negara-negara itu terkait
dengan sejumlah isu seperti pengamanan SLOC Cina dan keterlibatan Cina dalam
sengketa Laut Cina Selatan. Selama ini Cina sangat eksesif dalam menerapkan
klaimnya terhadap Laut Cina Selatan, sehingga oleh sebagian negara kini Cina
dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas kawasan Asia timur. Kepentingan
2 http://politik.kompasiana.com/2014/10/31/paradigma-neo-realisme-dalam-ilmu-hubunganinternasional-688872.html

Cina yang sangat mendasar, berdaya jangkau jauh dan tidak dapat berubah dari
kepemimpinan Cina adalah mendapatkan pengakuan status sebagai kekuatan besar
dan mendapat penghormatan terhadap status tersebut dari kekuatan-kekuatan besar
lainnya. Pilar untuk mencapai status kekuatan besar itu mencakup politik, ekonomi

dan militer. Dari ketiga pilar itu, sejauh ini baru pilar politik dan ekonomi yang
mendukung status Cina sebagai kekuatan besar, sedangkan pilar militer belum
sepenuhnya mendukung untuk status tersebut.
Adapun pada tingkat kawasan Asia Pasifik, tujuan utama kepemimpinan Cina
adalah mencapai posisi yang tinggi di kawasan Asia Timur, suatu posisi yang mana
Cina akan menentukan apa yang terjadi pada wilayah di sekitarnya. Terkait dengan
tujuan itu, pertimbangan utama Cina adalah menyangkut keamanan, sebab isu
keamanan sangat terkait erat dengan pertahanan tanah air Cina. Walaupun negara itu
dapat menggunakan daya tawar ekonominya untuk menekan negara-negara lain di
kawasan untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi pada akhirnya hanya kekuatan
militer yang dapat melindungi kepentingan Cina dan menjamin keamanan
nasionalnya. Oleh karena itu, Cina terus melakukan modernisasi terhadap kekuatan
militernya, Amerika kiranya cukup beralasan untuk berbagi kecemasan bersama
Jepang dan Vietnam menyusul semakin agresifnya postur militer Cina di Asia Pasifik.
Berdasar studi SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute, 2010),
China merupakan negara Asia dengan anggaran militer terbesar.
Pada 2000, militer Cina sudah menghabiskan anggaran militer sebesar US$90
miliar dan pada 2010, malah semakin meningkat mencapai US$120 miliar.
Berdasarkan data dari sumber yang sama, saat ini Cina memiliki 2,3 juta tentara.
Angkatan Daratnya saat ini merupakan kekuatan paling besar di dunia. termasuk

kekuatan People’s Liberation Army Navy (PLAN).
Pembangunan kekuatan PLAN setidaknya didorong oleh dua hal, yaitu
kepentingan politik dan ekonomi. Kedua kepentingan itu mengharuskan Cina

memiliki Angkatan Laut yang berstatus blue water navy. Pembangunan Angkatan
Laut Cina berada dalam bingkai kebijakan pemerintah Cina untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, menjaga stabilitas politik dalam negeri,
mempertahankan kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Cina dan mengamankan
status Cina sebagai kekuatan besar. Kapal induk sebagai salah satu sistem senjata
Angkatan Laut yang berkemampuan blue water sejak lama telah menarik perhatian
para pemimpin PLAN yang dipelopori oleh Laksamana Liu Huaqing, Kepala Staf
PLAN (1982-1988) dan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat (1989-1997). Menurut
Laksamana Huaqing, “pembangunan kapal induk telah menjadi perhatian rakyat
Cina”,

sehingga

“untuk

memodernisasi


pertahanan

nasional

(Cina)

dan

mengembangkan sistem senjata dan perlengkapan yang sempurna, kita tidak dapat
kecuali mempertimbangkan pengembangan kapal induk”.
Sebelumnya pada 1985 Cina membeli eks kapal Induk HMS Melbourne milik
Australia. Kapal yang kemudian dibesituakan itu sebelumnya dipelajari dulu rancang
bangunnya oleh para ahli perkapalan Cina. Ketika Cina membeli lagi tiga eks kapal
induk Uni Soviet, para ahli strategi khususnya di negara-negara Barat telah
memberikan perhatian khusus karena hal itu dipandang sebagai bagian dari upaya
Cina untuk memiliki kapal induk sendiri suatu saat nanti. Dalam beberapa tahun
terakhir, beberapa pejabat penting Cina telah mengindikasikan bahwa negara mereka
akan memiliki kapal induk dalam waktu tidak lama lagi. Misalnya dalam pernyataan
Menteri Pertahanan Cina Jenderal Liang Guangle ketika menerima kunjungan

Menteri Pertahanan Jepang Yasukazu Hamada pada 2010 yang berujar bahwa Cina
tidak akan selamanya menjadi kekuatan besar tanpa kapal induk. Pernyataan itu
kemudian dikonfirmasikan dengan dimuatnya foto kapal induk Cina eks Varyag yang
tengah mengalami refurbishment di galangan kapal di Cina pada beberapa situs
jaringan internet pada 2011.
Menurut rencana, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kapal induk Shi
Lang akan menjalani uji coba di laut dan diharapkan akan mencapai status

operasional pada 2015. Mengacu pada rancangan dasar kapal induk kelas Kuznetzov,
dapat dipastikan kapal induk pertama Cina tergolong sebagai ukuran medium,
berpendorong konvensional, tonase sekitar 60 ribu ton dengan short takeoff but
arrested recovery (STOBAR) sebagai metode untuk meluncurkan pesawat terbang.
Metode STOBAR merupakan metode yang umum digunakan oleh kapal induk non
Amerika Serikat, karena lebih murah pengembangan dan pemeliharaannya
dibandingkan metode catapult-assisted takeoff but arrested recovery (CATOBAR)
yang digunakan pada semua kapal induk Amerika Serikat.
Eksistensi kapal induk akan bernilai taktis dan operasional apabila didukung
oleh adanya armada pesawat tempur dan pesawat lainnya yang berpangkalan di
atasnya. Guna melengkapi kapal induk tersebut, pada 2001 Cina membeli secara
diam-diam purwarupa (prototype) pesawat tempur Sukhoi Su-33 dari Ukraina yang

kemudian dipelajari dalam rangka reverse engineering. Hasilnya adalah pesawat
tempur J-15 yang memiliki kemiripan dengan Su-33 dengan sejumlah modifikasi di
beberapa bagian, namun masih mengandalkan mesin buatan Rusia sebagai
pendorongnya. Selain itu, Cina pernah berupaya untuk membeli sejumlah Su-33 dari
Rusia, namun tidak berhasil karena Rusia kecewa dengan tindakan Cina yang
mencontek pesawat tempur Su-27 tanpa seijinnya yang dinilai sebagai pelanggaran
hak cipta.
Mengacu pada uraian sebelumnya mengenai kapal induk Cina ditinjau dari
berbagai aspek, menjadi menarik apabila dikaitkan relevansinya dengan stabilitas
kawasan Asia Pasifik. Sebagaimana diketahui, Cina terlibat sengketa wilayah dengan
sejumlah negara di kawasan, baik di Laut Cina Timur maupun Laut Cina Selatan.
Tentu saja merupakan pertanyaan yang menarik mengenai bagaimana dampak
kehadiran kapal induk Cina terhadap stabilitas kawasan.Memperhatikan spesifikasi
teknis kapal induk Cina, kapal tersebut lebih layak untuk dioperasikan tidak jauh dari
wilayahnya. Apabila ditarik ke dalam peta, wilayah operasional kapal induk itu akan
berkisar pada wilayah Asia Timur hingga Asia Tenggara. Memang bisa saja

dioperasikan sampai ke Samudera India misalnya, tetapi ada aspek operasi dan
logistik yang harus diperhitungkan pula oleh Cina.
Dikaitkan dengan stabilitas kawasan Asia Pasifik, meskipun Cina masih harus
menempuh fase trial and error dalam operasional kapal induk, akan tetapi secara
politik kehadiran armada kapal induk dalam PLAN berpotensi memunculkan
instabilitas kawasan. Khususnya dalam konteks penyebaran kapal induk Cina ke
sejumlah perairan sengketa dipastikan akan memicu ketegangan walaupun kecil
kemungkinannya. Hal ini akan terjadi apabila perilaku Cina terkait dengan
sengketanya dengan sejumlah negara kawasan tidak berubah. Secara singkat, dapat
disimpulkan bahwa dampak dari kehadiran kapal induk Cina sangat tergantung
bagaimana perilaku negara itu di kawasan nantinya. Apabila perilaku negeri itu di
lapangan dipandang tidak sejalan dengan apa yang digemakan pada ranah diplomasi,
dipastikan akan memunculkan reaksi dari negara-negara lain sehingga memunculkan
instabilitas kawasan. Sangat mungkin misalnya Amerika Serikat menggalang negaranegara sekutu dan aliansinya di kawasan untuk meningkatkan intensitas gelar kapal
induk di kawasan Asia Pasifik, misalnya India dan Jepang. Bisa jadi akan terjadi
perlombaan kapal induk di kawasan ini pada masa mendatang, khususnya pada aktoraktor utama kawasan. Penyebaran kapal induk memiliki keterkaitan erat dengan
aspek ekonomi. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti seberapa mampu
ekonomi Cina khususnya anggaran pertahanan dalam mendukung penyebaran kapal
induknya. Masih perlu waktu untuk mengetahui berapa lama tingkat kehadiran kapal
induk Cina di laut dalam satu tahunnya. Terlebih di masa depan negeri itu memiliki
hasrat untuk mempunyai kapal induk baru yang murni buatan dalam negeri, sehingga
biaya operasional armada kapal induk dipastikan meningkat. Walaupun demikian,
seperti telah ditulis sebelumnya penyebaran kapal induk Cina ke perairan sengketa
akan memicu instabilitas kawasan.
Eksistensi kapal induk Cina secara politik akan memberikan implikasi negatif
terhadap stabilitas kawasan. Mengacu pada pola tindak Cina selama ini, kapal induk

itu akan digunakan untuk mengamankan kepentingan nasional Cina di kawasan Asia
Timur dan Asia Tenggara, khususnya pengamanan SLOC dan penegasan klaim di
beberapa perairan sengketa. Apabila Cina masih menggunakan pendekatan yang
asertif, agresif, eksesif, intimidatif dan provokatif terhadap negara-negara lain di
kawasan Asia Pasifik, kehadiran kapal induk negeri itu niscaya akan memunculkan
instabilitas kawasan.
Adapun menyangkut aspek ekonomi dan operasional, masih dibutuhkan
waktu untuk melihat sejauh mana Cina mampu mengelola kehadiran kapal induknya
secara efektif dan efisien. Justru hal yang kritis terkait pengoperasian kapal induk
Cina terletak pada aspek ekonomi dan operasional sehingga akan mempengaruhi
aspek politik. Kalau kedua aspek ini kurang mendukung minimal hingga 10 tahun ke
depan, berarti eksploitasi prestise kapal induk pada aspek politik tidak akan optimal.
Boleh jadi kapal induk Cina hanya akan hadir di laut dengan intensitas rendah,
terlebih fakta menunjukkan bahwa kemampuan suatu negara mengoperasikan kapal
induk secara efektif dan efisien tidak dapat diperoleh secara instan.
Kondisi stabilitas kawasan pasca 2014 ketika kapal induk Cina telah mencapai
status operasional antara lain ditentukan oleh bagaimana Cina mengeksploitasi kapal
tersebut. Kalau cara-cara yang selama ini digunakan Cina masih tetap dipertahankan,
dikhawatirkan kehadiran kapal induk tersebut akan kontraproduktif terhadap stabilitas
kawasan. Aksi Cina yang demikian dipastikan akan memicu reaksi dari kekuatan
kawasan lainnya, termasuk perlombaan senjata Angkatan Laut. Jika hal ini terus
dibiarkan bukan tidak mungkin Amerika memabah armada angkat laut di kawasan
Asia Pasifik untuk membendung kekuatan militer China yang berkembang pesat.
Kesimpulan
Perkembangan militer China yang sangat pesat di kawasan Asia Pasifik
membuat beberapa Negara di sekitarnya mengalami security dilemma. Terutama
Negara-negara aliansi Amerika Serikat yang berada di sekitar China seperti Jepang &

Korsel. Dikaitkan dengan stabilitas kawasan Asia Pasifik, meskipun Cina masih harus
menempuh fase trial and error dalam operasional kapal induk, akan tetapi secara
politik kehadiran armada kapal induk dalam PLAN berpotensi memunculkan
instabilitas kawasan. Khususnya dalam konteks penyebaran kapal induk Cina ke
sejumlah perairan sengketa dipastikan akan memicu ketegangan walaupun kecil
kemungkinannya. Hal ini akan terjadi apabila perilaku Cina terkait dengan
sengketanya dengan sejumlah negara kawasan tidak berubah. Secara singkat, dapat
disimpulkan bahwa dampak dari kehadiran kapal induk Cina sangat tergantung
bagaimana perilaku negara itu di kawasan nantinya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1

Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan adalah kualitatif dengan metode studi

kepustakaan (library research). Penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif
atau subjektif, menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2002:3) merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orangorang atau perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Denzin dan
Lincoln (1994:4), istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada prosesproses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas,
jumlah intensitas maupun frekuensi.
3.3

Objek Kajian
Mengkaji berita-berita dari media massa maupun media elektronik mulai

setelah PD2 sejak pertama kali militer China Berkembang hingga kini ,dan
menggunakan system studi pustaka.
3.4

Keterbatasan Penelitian

Objek yang tidak memungkinkan secara langsung untuk didatangi dan
diteliti secara langsung dikarenakan lokasi yang jauh dan membutuhkan biaya yang
mahal

Daftar Pustaka
Christensen, Thomas J. 2003. “China, the US-Japan Alliance, and the Security Dilemma in
East Asia” , pp. 25-56 in G John Ikenberry & M Mastanduno (eds), International Relations
Theory and the Asia Pacific. New York: Columbia University Press.
Dosch, John. 2004. “The United States in the Asia Pacific”, pp. 17-34 in Michael K Connors,
Remy Davidson, Jorn Dosch (eds), The New Global Politics of the Asia-Pacific.

http://www.globalsecurity.org/military/world/china/cv.htm, Aircraft Carrier Project.
Diakses pada 24 desember 2014
https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/rankorder/2067rank.html, Stockholm International Peace Research Institute:
The fifteen major spenders in 2007CIA World Factbook, Military expenditures.
Diakses pada 27 Desember 2014
https://catatandhila.wordpress.com/2009/11/19/paradigma-realis/ Diakses pada 28
Desember 2014
http://politik.kompasiana.com/2014/10/31/paradigma-neo-realisme-dalam-ilmuhubungan-internasional-688872.html Diakses pada 28 Desember 2014