Responsivitas Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Di Kota Sukabumi Tahun 2008.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah proses penyelenggaraan memilih untuk
pemilihan umum (pemilu) secara langsung di tingkat lokal untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah di setiap provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur), Kabupaten (Bupati/Wakil
Bupati),dan Kota (Walikota/Wakil Walikota) yang diselenggarakan secara demokratis oleh
KPUD Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil.
Dasar hukum pelaksanaan Pilkada adalah: (1) UUD 1945 Hasil Amandemen; (2) UU
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (yang beberapa pasalnya telah diubah
dengan Perpu Nomor 3 Tahun 2005); dan (3) PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(yang beberapa pasalnya telah diubah dengan PP Nomor 17 tahun 2005).
Pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkada adalah semua pihak atau semua komponen
dimana: KPUD sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan Pilkada; Panwasda
yang mengawasi pelaksanaan Pilkada; Partai Politik yang mengajukan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah; Pemerintah Daerah dan DPRD yang mengalokasikan anggaran
biaya Pilkada yang dituangkan dalam APED; Masyarakat/rakyat yang menjadi pemilih untuk

menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada.
Kriteria keberhasilan Pilkada adalah: Proses penyelenggaran Pilkada dilaksanakan
sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku; Proses penyelenggaraan. Pilkada
berlangsung dengan lancar, aman, damai dan tertib; dan. Proses penyelenggaraan Pilkada
menunjukkan adanya keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pililinya.
Partisipasi masyarakat dalam Pilkada sangat penting karena masyarakat adalah
stakeholder yang paling utama dalam penyelenggaraan Pilkada. Semakin banyak masyarakat
menggunakan hak pilihnya, maka semakin bagus-paling tidak secara kuantitas-bobot
penyelenggaraan Pilkada.
Meskipun di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat yang kadar demokrasinya
relatif tinggi, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya kurang lebih 60%, dan juga
dalam peraturan perandang-undangan di Indonesia belum diatur aturan minimal penggunaan

hak pilih dalam Pilkada, namun secara sosiologis-politis, semakin besar keterlibatan
masyarakat

dalam,

penggunaan


hak

pilih

akan

semakin

mendukung

suksesnya

penyelenggaraan. Pilkada.
Sebagai catatan, di Kabupaten Bekasi, yang pada tahun lalu menyelenggarakan.
Pilkada untuk memilih Bupati dan. Wakil Bupati Bekasi, jumlah pemilih yang menggunakan
hak pilihnya hanya berkisar 53%, sehingga hal ini memberikan garnbaran bahwa masyarakat
di Kabupaten Bekasi cenderung untuk tidak melibatkan diri dalam penyelenggaraan Pilkada.
Kenyataan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosialisasi yang kurang
intensif dan kecenderungaii pemilih yang menilai Pilkada tidak akan menentukan nasib
mereka (pernilih pasif).

Agar

pelaksanaan

Pilkada

mengalami

keberhasilan,

dimana

pemilih

yang

menggunakan hak pilihnya semakin besar, maka yang harus dilakukan adalah: Memberikan
pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang anti pentingnya Pilkada, melalui
sosialisasi; Memberikan pendidikan dan pelatihan tata cara pemilihan dan pencoblosan dalam
pilkada, melalui simulasi; dan memberikan penjelasan dan pandangan perlunya kedewasaan

politik masyarakat dalam menerima hasil-hasil Pilkada.
Dalam konteks Kota Sukabumi, pada bulan Maret 2008 ini, akan diselenggarakan
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara Langsung (Pilkadal). Pilkada
secara langusng ini baru pertama kali dilaksanakan di Kota Sukabumi sehingga memerlukan
berbagai persiapan, khususnya kesiapan masyarakat dalam merespon penyelenggaraan
Pilkada di Kota Sukabumi Tahun 2008. Meskipun secara geografis sangat kecil, namun
secara demografis jumlah pemilih yang terdaftar untuk sementara relatif besar, yakni di atas
205 ribu pemilih. Bandingkan dengan Kota Cirebon, yang hanya berkisar di atas 200 ribuan
pemilih.
Sebagai “hajatan” akbar rakyat, berbagai persiapan kelihatan telah dilakukan oleh
stakeholders di Kota Sukabumi, khususnya KPUD sebagai penyelenggara proses Pilkada
dalam menyelenggarakan berbagai langkah persiapan menuju tahapan pelaksanaan Pilkada.
Keberhasilan pelaksanaan Pilkada Kota Sukabumi sangat ditentukan oleh dukungan seluruh
pihak, mengingat baru pertama kalinya, Kota Sukabumi melaksanakan proses Pilkada secara
langsung.
Seperti layaknya Pilkada di daerah lain, Pilkada Kota Sukabumi yang akan digelar
tentunya akan menyebabkan suhu politik menjadi menghangat, meskipun diharapkan tidak
sampai memanas. Di tingkat elit, sudah dapat dipastikan akan lahir polarisasi antar elit
sehubungan dengan calon yang diusung masing-masing partai politik. Di tingkat grass


rootlakar rumput, tidak bisa dielakkan akan muncul fragmentasi dukungan dan pilihan politik
masing-masing individu dan kelompok terhadap calon-calon yang akan bertarung dalam
Pilkada.
Partisipasi politik pemilih dalam penyelenggaraan Pilkada sangat penting dan krusial
sehingga secara kuantitas ada hipotesis yang mengatakan bahwa semakin besar partisipasi
masyarakat dalam Pilkada, maka semakin besar peluang terciptanya tatanan politik
demokratis yang dihasilkannya. Walaupun secara kualitas, masih diperdebatkan apakah
besarnya partisipasi masyarakat tersebut karena kesadaran diri atau mobilisasi.
Kesadaran diri atau mobilisasi masyarakat pemilih dalam Pilkada sebenarrya sangat
tergantung pada pendidikan pemilih (voter education) yang dilakukan menjelang pelaksanaan
Pilkada. Biasanya saat mendekati penyelenggaraan Pilkada, pendidikan pernilih marak
dilakukan oleh penyelenggaraa pihak. Aliran dana mengucur deras dari lembaga pemerintah,
lembaga non pemerintah dan lembaga funding internasional yang disalurkan kepada pihak
penyelenggara pendidikan pemilih. Tujuannya agar supaya masyarakat pemilih tahu, paham
dan sadar akan hak politiknya sehingga dengan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam
prosesi Pilkada.
Oleh karena itu, saga sebagai dosen Jurusan Ilmu Pernerintahan. Fakultas Ilmu Sosial
dan Iimu Politik Universitas Padjajaran melakukan penelitian dengan judul “Responsivitas
Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008”.


B. Identifikasi Masalah

Pertama, Pada saat Pilkada tahun 2008 masyarakat Kota Sukabumi dihadapkan pada
hal yang cukup membingungkan, karena munculnya beragam pilihan yang menyangkut
aneka ideologi/asas, warns benders, program dan slogan partai politik yang mengusung calon
Walikota Sukabumi. Bahkan dari empat pasting calon yang diusung tersebut sebagian besar
masih belum dikenal luas masyarakat Kota Sukabumi;
Kedua, Menjelang pilkada tahun 2008, masyarakat Kota Sukabumi dihadapkan pada
trauma pemilu legislatif tahun 2004, dimana anggota DPRD Kota Sukabumi ada yang
memiliki atau terlibat kasus tertentu: seperti ijzah palsu, tindak korupsi dan skandal;
Ketiga, Akumulasi kekecewaan publik, dimana sebagaian besar masyarakat merasa
sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu melaksanakan
tugas dan kewajibannya, sehingga kecenderungan untuk tidak merespon pilkada cukup besar.

C Pokok-Pokok Permasalahan

Dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka pokok Permasalahan
yang akan diteliti, yaitu:
1. Bagaimana respon pemilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi responsivitas pemilih dalam penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan responsivitas pemilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008.
2. Untuk mengeksplanasikan faktor-faktor yang mempengaruhi responsivitas pemilih dalam
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada) di Kota Sukabumi
Tahun 2008.

E. Manfaat Penelitian

1. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi stakeholders, penentu kebijakan dalam rangka
mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung
(Pilkada) di Kota Sukabumi Tahun 2008;
2. Sebagai bahan rekomendasi bagi stakeholders Kota Sukabumi dalam mendukung
suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langung (Pilkada) di Kota
Sukabumi Tahun 2008.


F. Kerangka Pemikiran

Menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam
fungsi azasinya sebagai wahana pembentukan representative government. Berlangsungnya
pemilu sebagai wahana representative government dan sebagai metoda pemerintahan, telah
melibatkan berbagai mekanisme dan prosedur tertentu serta melibatkan berbagai kekuatan
komponen bangsa baik pada tatanan suprastruktur politik maupun tataran infrastruktur

politik. Masing-masing berproses dalam memilih sebagian dan anggota masyarakat.
Kajian mendalam tentang pemilihan umum menurut Laboratorium Ilmu Politik Fisip
UI selalu terpusat pada dua sistem pernilu universal yakni sistem proporsional dan sistem
distrik serta beberapa variannya, dimana baik sistem proporsional maupun distrik keduaduanya diatur dalam dua elemen dasar pemilihan umum yakni electoral laws dan electoral
proces. Electoral laws membahas tentang aturan dasar pemilu yang berlaku secara universal
baik rumusan tentang tujuan dan fungsi maupun aturan dasar mekanisme pemilu serta
struktur pemilu itu sendiri. Sedangkan dalam electoral proces membahas tentang sistem
struktur dan prosesnya1.
Mencermati praktik pemilu dalam sistem pemerintahan Indonesia, LIP Fisip UI
memberikan adanya dua sinyelemen tujuan pemilu, yaitu pemilu sebagai formalitas politik
dan pemilu sebagai alat demokrasi. Sebagai formalitas politik, pemilu dijadikan alat legalisasi
pemerintahan non demokratis. Kemenangan suatu kontestan lebih merupakan hasil rekayasa

kekuasaan ketimbang hasil pilihan rakyat. Sedangkan sebagai alat demokrasi, pemilu
dijalankan secara jujur, bersih, adil, bebas dan kompetitif.
Jika pelaksanaan pemilu demokratis, maka tujuan dan fungsi pemilu akan tercapai,
tetapi jika proses pemilu tidak demokratis atau sebatas sebagai formalitas belaka maka akan
menimbulkan ekses atau dampak negatif bagi kualitas dan kinerja lembaga perwakilan
rakyat. LIP Fisip UI melaporkan temuan penelitiannya, bahwa salah satu akses, pernilu
adalah langsung berhubungan dengan kinerja lembaga legislatif2.
Liddle berpendapat bahwa: Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering
dianggap sebagai penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek pemerintahan
oleh sejumlah elite politik. Setiap warga negara yang telah dianggap dewasa, dan memenuhi
persyaratan menurut undang-undang dapat memilih wakil-wakil mereka di parlemen,
termasuk para pimpinan pemerintahan3.
Berdasarkan pendapat dari Liddle tersebut tersirat bahwa dalam menjalankan suatu
roda pemerintahan, dibutuhkan suatu keharmonisan hubungan antara pemerintah dengan
yang diperintah. Upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis tersebut, pemerintah
Indonesia melakukan perubahan kebijakan dalam pelaksanaan pemilu, sebagai respon atas
tuntutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Dalam menganalisis responsivitas pemilih, dapat menggunakan analisis perilaku
1


LIP Fisip UI, 1997. Evaluasi Pemilu Orde Baru. Jakarta: Press, hlm 5
LIP Fisip UI, op.cit, hlm 17
3
Liddle R, William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, hlm 41
2

pemilih yang dapat digunakan, yaitu model sosiologis, psikologis, dan rasional (Asfar, 2006).
Pertama, model sosiologis. Di lingkungan ilmuwan sosial di AS, model sosiologis
awalnya dikembangkan oleh mazhab, Columbia, yaitu The Columbia School of Electoral
Behavior. Model ini menjelaskan bahwa karaktenstik sosial dan pengelompokanpengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan
perilaku memilih seseorang. Model sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa perilaku
pemilih dalam tanggapan politiknya adalah status sosio-ekonomi dan afiliasi sosio-religius.
Model ini mendasarkan diri pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga,
dan hubungan emosional yang dialami oleh pemilih secara historic. Adalah sesuatu yang
sangat vital dalam memahami perilaku politik pemilih, karena karakter kelompok-kelompok
inilah yang mempunyai peranan besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi
seseorang.
Kedua, model psikologis. Model psikologis ini dikembangkan oleh mazhab Michigan,
The Michigan Survey Research Center. Model ini melihat sosialisasi dan internalisasi sebagai
determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan hanya karakteristik sosiologis.

Model ini menjelaskan bahwa sikap pemihh merupakan refleksi dan kepribadian seseorang
yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik
pemilih. Model ini memprioritaskan pada tiga pilar psikologis, yaitu ikatan emosional pada
partai politik, orientasi terhadap isu/progrann, dan orientasi terhadap kandidat/calon. Pendek
kata, kandidat yang terpilih akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan figur
mencitrakan diri dan merekatkan diri dengan pemilih melalui berbagai media yang tersedia.
Ketiga, model pilihan rasional (rational choice). Model ini ingin melihat perilaku
pemilih sebagai produk kalkulasi untung-rugi. Mayoritas pemilih biasanya selalu
mempertimbangkan faktor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang
dipilihnya. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung-rugi dari
tindakannya dalam memilih calon. Sebuah pilihan tindakan dikatakan “menguntungkan” bila
ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan basil dari tindakan tersebut lebih rendah dari
basil tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan disebut “rugi” bila ongkos untuk
mendapadkan basil itu lebih tinggi nilainya ketimbang basil yang diperoleh.
Di samping tiga model yang dikemukakan oleh Asfar di atas, Dennis Kavanagh
(1983) dalam buku Political Science and Political Behavior, menyatakan bahwa terdapat lima
model untuk menganalisis perilaku pemilih, yakni model struktural, sosiologis, ekologis,
psikologi sosial, dan pilihan rasional.
Kepada siapakah pemihh menjatuhkan pilihannya? Tidak seorang pun futurolog

politik yang dapat memastikan hal ini. Adman Mursal, penulis buku Political Marketing:
Strategi Menenangkan Pemilu, terbitan tahun 2004, menguraikan sejumlah orientasi pemilih
dalam. pemilu.
Pertama, orientasi agama. Mengutip pelitian perilaku pemilih di pedesaan Jawa oleh
Afan Gaffar (1992), orientasi sosio-religious sangat berkorelasi terhadap perilaku pemilih.
Pemlih yang santri akan cenderung memilih calon yang diusung partai berlabel agama
(Islam), sedangkan pemilih yang abangan akan cenderung memilih calon yang diusung oleh
partai berlabel nasionalis.
Kedua, orientasi kelas sosial dan kelompok sosial. Biasanya, pilihan politik pemilih
sangat ditentukan oleh status sosial pemilih di tengah masyarakat. Lapisan sosial masyarakat
di tingkat bawah akan berkecenderungan berbeda pilihannya politiknya dengan lapisan sosial
masyarakat di inmgkat menengah dan atas.
Ketiga, faktor kepemimpinan. Pengaruh kepemimpinan (leadhership) calon kepala
daerah akan berkorelasi positif terhadap orientasi perilaku pemilih. Pemilih akan cenderung
mendasarkan pilihannnya pada pertimbangan apakah calon kepala daerah memiliki nilai-nilai
kepemimpinan yang visioner atau tidak. Gaya kepemimpinan yang populis, akomodatif dan
demokratis biasanya akan sangat mempengaruhi onentasi pemilih.
Keempat, faktor identifikasi. Dihadapkan pada pilihan politik, orientasi mmilih
cenderung mempertimbangkan untak melihat persamaan identitas antara pemilih dan yang
dipilih. Artinya, perilaku pernilih akan mempertimbangkan apakah calon kepala daerah
memih identitas yang sama dengan identitas pemilih. Identitas ini bisa berupa persamaan
politik, ekonomi, atau sosial budaya.
Kelima, orientasi isu/program. Meskipun masih relatif sedikit, perilaku pemilih ada
yang didasarkan pada isu/program. Kecenderungan untuk memilih berdasarkan orientasi
program atau isu biasanya terdapat dalam pemilih yang sudah dewasa dan matang secara
politis. Orientasi pemilih jenis ini akan melihat apakah program yang ditawarkan calon
Kepala Daerah menguntungkan atau justru akan merugikan dirinya.
Keenam, orientasi kandidat. Di mata pemilih, kandidat calor. Kepala Daerah akan
sangat menentukan pilihan politiknya. Biasanya, pemilih akan melihat track record,
kompetensi, moralitas, mentalitas, popularitas, dan kinerja kandidat. Orientasi-pemilih akan
mempertimbangkan apakah kandidat berasal dari birokrat, pengusaha, tokoh masyarakat
ataupun kalangan TNI/Polri. Kandidat yang menjadi public figure biasanya cenderung
menjadi pilihan pemilih.
Ketujuh kaitan dengan peristiwa. Kandidat yang diajukan kaitamya dengan peristiwa

yang menimpanya akan mempengaruhi pikiran dan perilaku pemilih. Pemilih cenderung akan
bersimpati dan memilih kandidat yang dicitrakan dalam. kondisi “menderita” karena di
“siksa” oleh rezim yang berkuasa. Hal ini bisa melahirkan simbolisasi dan representasi
kondisi pemilih dari kalangan bawah sehingga mendorong untuk menjatuhkan pilihannya
pada kandidat yang bersangkutan.

G. Metode Penelitian

Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini, dengan mengkombinasikan analisis
data kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1)
wawancara, terhadap para stake holder yang relevan, khususnya tokoh masyarakat di masingmasing kecamatan; 2) Observasi terhadap obyek penelitian; 3) Kuesioner yang dibagikan
kepada responden untuk diisi; dan 4) Studi kepustakaan, yakni mempelajari dan menelaah
serta menganalisas literatur baik berupa buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah baik itu
jurnal maupun buletin yang ada kaitanya dengan permasalahan yang dikaji.
Penentuan sampel berdasarkan stratified random sampling. Teknik sampling yang
digunakan secara garis besar menggunakan rumus slovin, yaitu:
n

=


, 5 2+

=



=

403.4121004566210045662100456621

=

400

353389/876

Jika asumsi N (pemilih) berjumlah 206.000 orang, maka jumlah responder survei ini
sebanyak 400 responden. Namun agar hasilnya lebih representatif, maka dalarn penelitian ini
menggunakan ukuran sampel sekitar 700 orang calon pemilih.
-

Tingkat kepercayaan 95%, dengan presisi 5%

-

Karakteristik responden didasarkan pada pekerjaan, yakni: PNS, Pegawai Swasta, Buruh,
Mahasiswa/Pelajar, dan Umum

-

Wilayah responden dibagi di masing-masing kelurahan, dimana terdapat 33 Kelurahan di
Kota Sukabumi

H. Waktu Penelitian

Kegiatan ini dilaksanakan dalam waktu 8 (delapan) minggu, dengan rencana
pelaksanaan dari Minggu I sampai dengan Minggu VIII pada bulan Januari/Februari 2008.
Rincian jadwal kegiatan sebagai berikut:

Jadwal Kegiatan

No.

Kegiatan

1

Persiapan

2

Pelaksanaan

3

Rapat Facilitating

4

Konsultasi/Koordinasi

5

Presentasi/Seminar

6

Pelaporan

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

I. Pelaksana Kegiatan Penelitian

Pelaksana kegiatan penelitian ird dilakukan secara individu oleh says sebagai Jurusan
Ilmu Pemerintahan FISIP-UNPAD yang dibantu oleh 3 (tiga) prang surveyor dari mahasiswa
Jurusan 11mu Pemerintahan FISIP-UNPAD.

J. Sistematika Laporan Akhir
Sistematika laporan akhir penelitiar, ini adalah sebagai berikut:
Bab

I

Pendahuluan

Bab

II

Tinjauan Pustaka

Bab

III

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Bab

IV

Analisis Hasil Penelitian

Bab

V

Penutup

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindakan dan Pemberian Suara

Pendapat Nimmo, ada empat cara alternatif dalam pemikiran bagaimana memberi
suara bertindak yaitu:
1. Pemberi suara yang rasional
2. Pemberi suara reaktif
3. Pemberi suara responsif
4. Pemberi suara aktif

Pertama, pemberi suara yang rasional. Menurut Louise Anthony Dexter (1996) dalam
bukunya The Sociology and Politics of Cangress yang dikutif oleh Dan Nimmo dalam
Political Communication and Public Opinion in America mengatakan bahwa: Pemberi suara
yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter
personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara yang rasional adalah
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Selalu dapat mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif;
2. Memilih alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja,
atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain;
3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif: jika A lebih disukai daripada B, dan
B daripada C, maka A lebih disukai daripada C;
4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi; dan
5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang
sama.

Dari ciri-ciri tersebut terlihat bahwa gagasan tersebut menetapkan persyaratan yang
ketat untuk memberikan kualifikasi sebagai pemberi suara yang rasional. Berelson dan
kawan-kawannya melalui tulisannya yang berjudul “voting” mengemukakan pendapatnya
berkenaan dengan kualifikasi pemberi suara yang rasional dengan pernyataan sebagai berikut:
“Pemberi suara yang rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika dihadapkan pada pilihan
politik, berminat secara aktif terhadap politik sehingga memperoleh cukup informasi dan

berpengetahuan tentang berbagai alternatif, berdiskusi tentang politik sebagai cara untuk
mencapai suatu peringkat alternatif, dan bertindak berdasarkan prinsip, bukan secara
kebetulan, atau serampangan, atau impulsif, atau kebiasaan, melainkan hanya berkenaan
dengan standar tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan
umum”.
Kedua, pemberi suara yang reaktif. Gambaran tentang pemberi suara yang reaktif
adalah diturunkan dari asumsi fisikalistik bahwa manusia bereaksi terhadap rangsangan
dengan cara pasif dan terkondisi. Dalam kampenye politik, kandidat dan partai menyajikan
isyarat yang menggerakan para pemilih dengan memicu faktor-faktor jangka panjang yang
menetapkan arah perilaku memberikan suara. Faktor-faktor jangka panjang tersebut terutama
adalah faktor-faktor sosial dan demografi seperti pekerjaan, pendidikan, pendapatan, usia,
jenis kelamin, ras, agama, wilayah tempat tinggal dansebagainya. Di samping faktor-faktor
sosial dan demografi pada studi-studi tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an menambahkan
konstruksi mentalistik (sikap, predisposisi, identifikasi, kesetiaan, dan sebagainya) sebagai
variabel perantara dalam urutan penyebab-akibat.
Ketiga, pemberi suara yang responsif. Ilmuan politik Gerald Pomper membuat
gambaran tentang pemberi suara yang responsif sebagai berikut: apabila karakter pemberi
suara yang reaktif itu tetap, stabil, dan kekal, maka karakter pemberi suara yang responsif
adalah inpermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubahrubah terhadap pilihan para pemberi suara. Ada perbedaan lain menurut Pomper yang
membedakan suara yang responsif dan reaktif:
1. Meskipun pemberi suara yang responsif itu dipengaruhi oleh karakteristik sosial dan
demografis mereka, pengaruh yang pada kahekatnya merupakan atribut yang permanen
ini tidak diterministik.
2. Pemberi suara yang responsif juga memiliki kesetiaan kepaa partai, tetapi afiliasi ini tidak
menentukan perilaku pemilihan. Identifikasi partai bagi pemberi suara yang responsif
justru dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan isu yang dipandang dapat membantunya
dalam membuat pilihan.
3. Pemberi suara yang responsif lebih dipengaruhi faktor-faktor jangka pendek yang penting
dalam pemilihan umum tertentu daripada oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok
dan atau kepada partai.

Dengan demikian pemberi suara yang responsif menurut Pomper dikutipnya dari
pendapat V.O Ke, Jr, adalah “bukanlah gambaran tentang pemiih dibelenggu oleh determinan

sosial atau digerakkan oleh dorongan bahwa sadar yang dipicu propangandis yang luas biasa
terampilnya. Ia lebih merupakan gambaran tentang pemilih yang digerakkan oleh
perhatiannya terhadap masalah pokok dan relevansi tentang kebijakan umum, tentang prestasi
pemerintah, dan kepribadian eksekutif.1
Keempat, pemberi suara aktif. Yang dimaksud pemberi suara yang aktif adalah
pemberi suara yang bertindak terhadap objek berdasarkan makna objek itu bagi mereka.
Dengan demikian individu yang aktif itu menghadapi dunia yang harus diinterprestasikan dan
diberi makna untuk bertindak bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya,
yang terhadapnya orang menanggapi karena sifat atribut dan atau sikap individu atau
rangsangan yang terbatas.

B. Pendekatan Perilaku Pemilih

Di awal sudah dijelaskan bahwa studi perilaku pemilih menurut Jack C. Plano adalah
dimaksudkan sebagai studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan
atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa
mereka melakukan pilihan itu.2 Pandangan lain mengenai perilaku memilih adalah diberikan
oleh Bone dan Raney. Menurut mereka perilaku memilih diartikan dnegan pernyataan
sebagai berikut: “In most study of voting behavior ....., voting behavior is pictures as having
the two dimension. Preference ......, can be used to measure his approval or disampproval of
Demokratic and Republican Parties, their percevies stands on issues, and the personal
quality of their candidate ......, Activity has six main categories: organization activities,
organization contributors, opinion leaders, voters, dan apolitical”3.
Dengan mengacu pada dua pandangan di atas, maka apa sebenarnya yang dimaksud
dengan perilaku memilih menjadi lebih jelas. Perilaku memilih adalah tingkahlaku atau
tindakan individu dalam proses pemberian suara dalam penyelenggaraan pemilu serta latar
belakang seseorang melakukan tindakan tersebut. Tingkahlaku atau tindakan individu dalam
proses pemberian suara ialah meliputi tiga aspek yakni preferensi (orientasi terhadap isu,
orintasi terhadap kualitas personal kandidat, identifikasi partai), aktivitas (keterlibatan dalam
partai politik tertentu, keterlibatan dalam setiap kampanye, kehadiran dalam pemungutan
suara) dan pilihan terhadap salah satu partai politik tertentu.
1

Nimmo, op.cit, hlm 1987 - 197
Plano, C Jack, op.cit, hlm 280
3
Bone Hugh a dan Ranney Austin, Ioc.cit.
2

Sekalipun dalam sejarah ilmu politik belum pernah dikemukakan Grand Theory
tentang votong behavior, namun sampai saat ini terdapat dua macan teori voting behavior
yang dapat dikelompokkan dalam dua mashab besar. Pertama, pendekatan voting behavior
dari mashab sosiologis yang dipelopori oleh Columbia’s University Bureau of Applied Social
Science. Kedua, pendakatan voting mashab psikologis yang dikembangkan oleh University of
Michigan’s Survey Research Center pendapat dari Gaffar. Di samping kedua pendekatan
tersebut, dalam literatur politik ternyata juga ditemukan adanya model atau pendekatan lain
yaitu pendekatan politik rasional:
Pertama, pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa,
kemudian di AS dikembangkan oleh para ilmuwan sosial yang mempunyai latar belakang
pendidikan Eropa. Karena itu Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa.
David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku masyarakat
Inggris, menyebut model ini sebagai sosial determinism approach.
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan karakteristik sosial dan pengelompokkanpengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan
perilaku pemilih. Pengelompokkan sosial seperti umum (tua-muda), jenis kelamin (lakiperempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan
dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokkan sosial
baik secara formal, seperti keanggotan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan,
organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun
pengelompokkan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil
lainnya merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik, karena
kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan
orientasi seseorang.
Dean Jaros dkk, ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu
kelompok dan perilaku politik seseorang menyederhanakan pengelompokkan sosial itu ke
dalam tiga kelompok, yaitu kelompok primer, kelompok sekunder dan kelompok kategori.
Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokkan sosial dan kajian voting behavior ke
dalam dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial ekonomi pemilih. Menurutnya,
predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang
signifikan dengan perilaku pemilih. Prefensi-prefensi politik keluarga, apakah prefensi ayah
atau prefensi politik ibu akan berpengaruh pada prefensi politik anak. Predisposisi sosial
ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karekteristik
demografis dan semacamnya.

Hubungana antara agama dengtan perilaku pemilih tampak paa penelitian Lipset. Di
beberapa negara di mana partai tidak mempunyai batas yang jelas dengan agama, kelompok
minoritas di bidang ekonomi, politik diskriminasi tertentu, cenderung untuk memilih partai
yang berfaham liberal atau partai yang berhaluan kiri. Sementara kelompok mayoritas
cenderung untuk memberikan suaranya kepada partai politik konservatif atau partai sayap
kanan. Di AS misalnya, penganut agama Katholik dan Yahudi, kulit hitam dan Hispanic
(keturunan Latin) merupakan pendukung setia partai Demokrat. Sementara kaum Protestan
Anglo Aaxon memberikan dukungan kepada partai Republik. Pada pemilihan presiden tahun
1984 misalnya, 68% orang Yahudi di Amerika Serikat memberikan suaranya untuk Partai
Demokrat dibanding dengan 39% suara dari kaum Protestan.
Latin halnya dengan penemuan Afan Gaffar dalam penelitiannya tentang Javanese
Voters. Gaffar justru menemukan bahwa agama memiliki pengaruh terhadap pilihan
seseorang dalam pemilu. Orang-orang yang mengaku santri cenderung mendukung partai
Islam, sementara kelompok abangan lebih cenderung untuk mendukung PDI dan informan
yang moderat (santri dan abangan) mereka lebih banyak memberikan pilihannya terhadap
Golkar4.
Jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang berhubungan dengan perilaku
pemilih. Kajian voting behavioer di Eropa pada dekade 1970-an menunjukkan bahwa wanita
lebih suka mendukung partai borjuis daripada partai sosialis.
Setuju dengan administrasi (birokrasi), menghindari pemihakan pada ekstrim kiri maupun
ekstrim kanan, mendukung partai demokrat. Aspek sosiologis lain yang ikut mempengaruhi
perilaku pemilih adalah geografis. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang
terhadap partai politik. Di beberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai
tertentu, sampai mampu bertahan berabad-abad. Kasus yang patut diangkat adalah loyalitas yang begitu kuat
terhadap Partai Demokrat dari masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Selatan AS. Penduduk di
wilayah Selatan tanpa memperhatikan faktor etnis dan kelas, merupakan pendukung tetap Partai
Demokrat. Meskipun masvarakat New England pada umunya menjadi pendukung partai Republik, di
wilayah Selatan mereka lebih mendukung Partai Demokrat.
Dan bagaimana dengan struktur sosial, apakah variabel memiliki pengaruh terhadap perilaku
politik? Berkenaan dengan pertanyaan ini Lipset setelah melakukan penelitian, di beberapa negara
(1981) menyimpulkan “more than anything else the party struggle is a conflict among classes
the lower income grups vote mainly of the right”.
4

Ibid, hlm 191

Fakta empirik yang menunjukkan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap perilaku
pemilih terutama sangat nampak dalam hasil penelitian yang ditemukan di Eropa dan Amerika. Di
Eropa, kelompok ber[enghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara pada
partai sosialis dan komunis, sedangkan kelompok menengah dan atas menjadi pendukung
Partai Konservatif. Di Amerika Serikat masyarakat kelas bawah dan pekerja biasanya cenderung
mendukung Partai Demokrat, sedangkan kelas atas dan menengah merupakan pendukung Partai
Republik.
Namun demikian penelitian di Inggris menunjukan fakta sebaliknya. Penelitian Anthony
Heath dan McAllister menemukan bahwa pengaruh h" baik yang obyektif maupun yang
subyektif pada perilaku pemilih adalah sangat kecil. Penelitian Afan Gaffar tentang Javanese
voters dan penelitian J. Kristiadi tentang “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih” menunjukkan
hal yang sama dengan penelitian Heath dan Allister, yaitu bahwa pengaruh kelas dalam perilaku
pemilih di Indonesia tidak begitu dominan5.
Kedua, Pendekatan Psikologis. Pelopor utama pendekatan psikologis, mengenai voting
behavior adalah Angust Campbell. Pendekatan ini sepenuhnya di Amerika Serikat melalui
Survey Research Center di Universitas Michigan. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi
atau ketidakpuasan pendukung pendekatan psikologis terhadap pendekatan sosiologis. Secara
metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diatur, seperti bagaimana mengukur secara tepat
sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya. Di samping itu, secara
materi, patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel sosiologis, seperti sosial ekonomi, keluarga,
kelompok-kelompok primer ataupun sekunder itu memberi sumbangan pada perilaku pemilih.
Tidaklah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih kalau ada proses
sosial, untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan, bukan karakteristik sosiologis.
Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi,
terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini
masyarakat dalam suatu. Proses pemilihan umum lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis
yang berkembang dalam dirinya sendiri yang kesemuanya itu sebenarnya merupakan akibat
dari proses sosialisasi politik. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa konsep
sosialisasi politik ataupun resosialisasi politik merupakan kunci dalam memahami model sosiopsikologis6.
Melalui proses sosialisasi ini kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara
seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati terhadap partai
5
6

Ibid, hlm 195
Campbell, dkk. 1960. The American Voter, New York: John Willey & Sone, hlm 121

politik. Ikatan psikologis ini kemudian dikenal sebagai identifikasi partai. Berkenaan dengan hal tersebut
Campbell mengatakan bahwa identifikasi partai merupakan faktor yang dapat menjelaskan bagi pola
perilaku pemilih serta merupakan fakta central dalam memperhitungkan terhadap sikap dan perilaku
pemilih itu sendiri7.
Ketiga, Pendekatan Politic Rasional. Pendekatan politic rasional pada hakikatnya
merupakan pendekatan yang memiliki pandangan bahwa pemilihan politik seseorang sangat dipengaruhi
oleh situasional. Lebih lanjut pendekatan ini juga menyatakan bahwa para pemilih selbenarnya bukan
hanya pasif tetapi juga aktif dan babas bertindak. Faktor-faktor situasional itu bisa berupa isu-isu politik
atau kandidat yang dicalonkan. Penjelasan-penjelasan perilaku pemilih tidak harus permanen, tetapi
berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu. Dengan begitu isu-isu politik
menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya
terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku politik sebenarnya diadaptasikan
dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi) dengan perilaku
pemilih politik. Apabila secara ekonomi anggota dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos
sekecil-kecilnya untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya, maka dengan perilaku politikpun
anggota masyarakat akan dapat bertindak secara rasional pula, yakni memberi suara ke OPP yang
dianggap dapat memberi keuntungan dan menekan kerugian Sherman dan Kolker8.
Orientasi isu politik telah dimulai penelitiannya oleh Angust Campbell dalam studinya
pada penelitian presiden Amerika tahun 1952 dan di tahun 1956. Dalam bukunya The American Voter
Campbell menerangkan bahwa isu partai dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemberian suara
warganegara jika terpengaruhi tiga syarat, yaitu:
1. Warganegara mengetahui isu tersebut
2. Warganegara menaruh perhatian akan isu tersebut
3. Warganegara merasa bahwa dengan isu tersebut dapat menjadikan mereka memberikan
kepercayaan kepada partai9.

David Re Pass memiliki pendapat yang hampir sama dengan Campbell. Dari hasil
studinya pada pemilihan presiden Amerika di tahun 1960 dan 1964 David Re Pass menegaskan bahwa
isu partai politik dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pernberian suara pemilih. Alasan yang
7

Ibid, hlm 7
Asfar, Muhammad, 1996. Beberapa Pendekatan dalam Perilaku Pemilih (Jurnal Ilmu Politik), Jakarta:
Gramedia, hlm 52
9
Campbell, op.cit, hlm 70

8

dikemukakan oleh Re Pass bahwa isu partai politik dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemberian
suara pemilih disebabkan adanya harapan dan kekhawatiran warganegara pada masalah-masalah yang
terjadi pada diri mereka dan bangsanya. Untuk memenuhi harapannya itu, mereka memperlihatkan
perhatiannya kepada isu-isu dari partai politik10. Hubungan isu-isu politik dan penilaian kandidat dengan
perilaku pemilihpun juga dikaji oleh Gerald Pomper dalam karyanya berjudul Voter’s choice: Varities of
American Electoral Behavior (1975). Dengan membandingkan tiga kali hasil penelitiannya pada pemilu
1956, 1964, dan 1972 Pomper mengemukakan dalam satu kesimpulannya sebagai berikut: “bahwa posisi
isu-isu politik dalam menentukan voting meningkat tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap
pemilih maupun secara tidak langsung melalui penilaian kandidat”11.
Berbeda dengan temuan Samugyo Ibnu Redjo dkk, dalam penelitiannya tentang “Persepsi Sosial
Politik Masyarakat Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dalam menghadapi Pemilu”. Mereka
menemukan secara umum isu/program partai tidak begitu kuat mempengaruhi perilaku pemilih12.
Hubungan yang rendah atau kecil antara isu kampanye PDI dengan sikap politik ternyata ditemukan pula
oleh Muhaini Rini dalam penelitiannya tentang “Hubungan antara Isu Kampanye Partai PDI dengan
Sikap Politik Pemilih Pemula pada Pemilu 1992 di Petamburan DKI Jakarta”. Dari hasil analisis data
diperoleh bahwa nilai koefisien korelasi pada pengujian kedua variabel berkisat antara 0,27 sampai
dengan 0,38,
C. Potensi-potensi Penyimpangan dalam Pilkada Langsung13

Dilihat dari sistem dan tahapan-tahapan serta ruang lingkupnya, tampaknya pilkada
ada kemiripan dnegan pilpres, dalam arti yang disiplin lebih sedikit dan daerah pemilihannya
hanya satu. Sesuai ketentuan batas parpol atau gabungan parpol yang berhak ajukan calon
adalah yang memperoleh 15% kursi DPRD atau akumulasi perolehan suara (Pasal 59).
Dengan ketentuan ini maka rakyat memilih di suatu daerah kemungkinan hanya akan
memilih dua hingga tujuh pasangan saja. Sesuai asumsi ini maka potensi penyimpangan akan
menyerupai pada pilpres yang lalu. Meski demikian, penyimpangan yang khas pada pemilu
legislatif (yakni pemalsuan/penggunaan dokumen tidak sah) tidak mustahil muncul pada
pilkada ini.

10

Yeric, Jerry L. John R Todd. 1983. Public Opinion The Visibble Politics, Illinois: Peacock Publisher, hlm 122
Asfar, Muhammad, Loc.cit.
12
Redjo, Samugyo Ibnu. 1996. Persepsi Masyarakat Kotamadya Bandung dalam menghadapi Pemilu, Laporan
Penelitian Fisip (Unpad) hlm 81
13
Dalam Artikel Topo Santoso. Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum. Kandidat PhD pada University of
Malaya. Harian Cendrawasih, 28 November 2004.
11

Dengan berpijak pada pengalaman pemilu legislatif maupun polpres, setidaknya lima
potensi penyimpangan patut diwaspadai. Pertama, pamalsuan/penggunaan dokumen tidak
sah. Sejumlah persyaratan calon kepala daerah telah diatur pada Pasal 58 UU No. 32 Tahun
2004, antara lain pendidikan sekurangnya SLTA atau sederajat serta sehat jasmani dan
rohani. Melihat syarat-syarat calon kepala daerah itu semestinya tidak terlalu sulit untuk
dipenuhi. Tidak semestinya parpol/gabungan parpol mengajukkan jagonya yang diragukan
pendidikan ataupun kesehatannya. Tapi, toh pengalaman pada pemilu legislatif lalu
menunjukkan betapa banyak partai tetapi mengajukkan calon-calonya yang bermasalah
(membeli surat keterangan pendidikan, mamalsu ijazah, ijazah dari sekolah fiktif, dan
sebagainya). Tidak mustahil jika kasus-kasus ini berulang lagi di pilkada, terutama jika
penyelenggara dan pengawas pilkadanya teledor atau terbujuk permainan.
Kedua,

potensi

penyimpangan

birokrasi

dan

penyalahgunaan

kewenangan.

Pimpangan birokrasi dan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi selama pemilu legislatif
dan pilpres yang lalu, dalam kenyataannya menjadi masalah yang sukap ditangani hingga
tuntas. Ini disebabkan problem peraturan maupun faktor sosio-politik yang ada. Potensi
penyimpangan ini tampaknya akan kian membesar. Hal ini wajar saja sebab yang ikut
bermain kepentingan akan lebih banyak dan lebih serius. Penyimpangan yang perlu
diwaspadai khususnya dalam tiga pola, yaitu dengan mempengaruhi penyelenggara pilkada,
dengan mobilisasi aparat birokrasi (termasuk kepala desa), atau dengan lahirnya kebijakan
yang menguntungkan calon tertentu.
Ketiga, potensi penyimpangan money politics dan dana kampanye. Aturan dana
kampanye yang “praktis” mengcopy dari UU 12 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 23
Tahun 2003 tampaknya akan tidak berarti banyak menjerat praktik penyimpangan dana
kampenye. Banyaknya donatur fiktif dan penyumbang tak masuk akan juga bakal terjadi.
Penulis ingat ucapan seorang akuntan: aturan dana kampanye tidak bakal menjerat pelaku,
paling mengajari menulis pembukaan lebih rapi. Sementara soal money politics (dalam arti
political bribery), juga ada potensi peningkatan. Aturan hukum yang ada memang sulit untuk
digunakan menjerat pelaku politik untuk memilih calon kepala daerah. Bukankah masalah
yang sama juga menjadi titik lemah pada pemilu legislatif dan pilpres? Selama ini para
pelaku cukup lihai bermain di bawah bayang-bayang undang-undang, sedangkan jebakan
pidana harus melulu tuntuk pada kekuasaan unsur-unsur pasal peraturan. Jurus inilah yang
sekali lagi akan “dimainkan” pada pilkada mendatang. Meski keefektifan money politics ini
kian diragukan, tampaknya penyebaran uang politik ini masih coba dilakukan. Dan, meski
ancamannya bisa membatalkan sang calon, jalan ke sana tampak sangat terjal.

Keempat, kampenye bersekubung atau curi start kampenye. Di antara masalah yang
paling “ngetop” selama pemilu lalu adalah “curi start kampanye” atau kampanye terselubung.
Samalah ini sebenarnya dipicu adanya jarak waktu antara penetapan peserta pemilu dan masa
kampanye. Hal ini terdapat baik pada pemilu legislatif dan pilpres. Pengalaman menunjukkan
betapa sangat banyak energi kita terkuras :hanya” untuk menjerat pelaku “curi start”
kampanye. Sampai-sampai setiap aktivitas parpol oleh masyarakat dilaporkan kepada penwas
agar ditindak. Sementara itu perbedaan penafsiran tentang apa itu “kampanye di luar jadwal”
justru membuat kian kaburnya persoalan. Di negara lain, seperti Malaysia ataupun Thailand,
soal-soal seperti ini tidak menonjol sama sekali kampanye dimulai sejak adanya penetapan
kandidat yang akan berkompetisi pada pemilihan. Karena dalam pilkada nanti masih ada
jarak waktu itu, bisa dipastikan polemik soail”curi start kampanye” masih akan muncul. Ke
depan memang disarankan aturan ini diubah saja sehingga tidak menghabiskan energi kita
semua.
Kelima, manipulasi pada penghitungan suara. Berkaca pada pemilu legislatif lalu
kasus seperti ini muncul antara lain dari pencoblosan ribuan suara secara tidak sah di Papua
serta Tawau, Malaysia. Pengubahan hasil juga dilaporkan terjadi di banyak tempat, mulai
level PPS hingga KPU kabupaten/kota. Bahkan pada pemilu legislatif lalu, gerilya para caleg
untuk mempengaruhi pelaksana pemilu dilaporkan dari banyak tempat. Sekali lagi, potensi
penyimpangan seman ini juga tetap besar. Bahkan sesungguhnya, dibanding penyimpanganpenyimpangan sebelumnya di atas, inilah yang paling efektif mengubah hasil.
Potensi-potensi penyimpangan akan jauh lebih sulit diatasi jika kita melihat pada
jebakan berikutnya dari pilkada yaitu jika pengawasan pemilu tidak beres dan tidak
independent. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 maka yang bertugas melakukan pengawasan
pilkada adalah panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang anggotanya diangkat dan
bertanggung jawab kepada DPRD. Pada banyak klausul, panitia pengawas pilkada ini
mengikuti pola pengawas pemilu pada pemilu legislatif dan pilpres, termasuk soal unsur
keanggotaan dan tugas serta wewenangnya. Bedanya, untuk pilkada ini pengawas pemilu
pilkada tadi tidak diangkat oleh Panwas Pemilu (Pusat) melainkan oleh DPRD. Begitu pula
tanggung jawabnya. Pada pemilu yang lalu, panwas daerah diangkat oleh Panwas Pemilu di
atasnya dengan mekanisme fit and proper test dengan syuarat utama soal independensi serta
kemampuannya. Bagaimana DPRD akan merekrut pengawas pilkada akan sangat berpegaruh
terhadap kinerja dan independensi panwas pilkada itu nantinya. Yang jadi pertanyaan adalah
apakah DPRD akan merekrut orang-orang independen ataukan yang berafiliasi kepada
partainya? Apakah orang-orang yang selama ini kritis dan tegas terhadap penyimpangan

pemilu (khususnya mantan-mantan panwas daerah) justru akan dihindari? Apakah
pertanggungjawaban kepada DPRD ini justru akan menyulitkan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya? Apakah ada jaminan para calon kepala daerah tidak akan menggunakan
pengaruhnya untuk “menginjak kaki” pengawas jika mereka dianggap terlalu berbahaya bagi
pihaknya? Bagaimana jika yang terlibat dalam penyimpangan serius justru yang masih berada
di puncak kekuasaan daerah, pakah ada kekuatan untuk menegakkan aturan? Sederet problem
di atas memang jauh lebih sulit dijawab dengan pertanggungjawaban seperti seperti tertuang
dalam UU 32/2004 di atas.
Jebakan lainnya pilkada mendatang berhubungan (dan juga disebabkan) aturan hukum
yang menyisakan masalah. Ini karena pola “mencontoh” UU 12/2003 dan UU 23/2003 yang
tanggung-tanggung. Jelasnya dalam pilkada mendatang tidak diatur mengenai limitasi waktu
penanganan laporan masyarakat/peserta pilkada. Tidak ada limitasi berapa lama laporan
diajukan pelapor dan dikaji pengawas. Tidak diatur berapa lama penyidik melakukan
penyidikan tindak pidana. Tidak dibatasi berapa lama penuntut menyerahkan berkasnya ke
pengadilan, dan berapa lama pengadilan harus menjatuhkan vonis. Juga tidak diatur
pengadilan level mana yang berwenang mengadili perkara macan apa. Ketiadaan pengaturan
seperti itu bakal membuat perkara-perkara pidana pilkada akan bernasib sama dengan perkara
tindak pidana pada pemilu 1999 yang baru selesai jauh setelah seluruh tahapan pemilu tuntas,
bahkan ada yang hingga kini belum diputus di tingkat kasasi.
Dengan

adanya

sejumlah

jebakan

pilkada,

belum

termasuk

sosial-soal

penyelenggarannya, maka perlu adanya pemikiran kita bersama dan kemungkinkan langkah
yang tepat untuk menjamin terselenggaranya pilkada yang bersih dan adil, dengan adanya
jaminan bahwa setiap penyimpangan dapat dituntaskan sesuai hukum dan keadilan dan
bahwa tidak seorangpun dapat mempengaruhi upaya penegakan hukum yang dilakukan.
Potensi penyimpangan/kecurangan akan kian membesar jika pilkada nanti diawasi oleh para
pengaas yang mudah diitervensi kepentingan politik dan mekanisme hukum yang akurat tidak
tersedia. Oleh sebab itu, jika memungkinkan amademen terhadap pasal-pasal tertentu
menyangkut pengawasan dan penegakan hukum yang tidak sempurna perlu dipikirkan
mendalam.

BAB III
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Pada bab tiga ini akan dipaparkan tentang gambaran umum daerah penelitian yang
meliputi deskripsi wilayah Kota Sukabumi, Struktur Pemerintahan Kota Sukabumi, kondisi
sosial Kota Sukabumi, visi dan misi Kota Sukabumi, deskripsi para pemimpin Kota
Sukabumi, serta deskripsi wilayah Kecamatan Lembursitu dan Kecamatan Warudoyong yang
didalamnya terdapat kelurahan Lembursitu dan kelurahan Dayeuhluhur.

A. Deskripsi Wilayah Kota Sukabumi

1. Letak Geografis

Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, yang
berjarak 119 Km, dan di sebelah Barat Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, Bandung, yang berjarak
93 Km, dan terletak pada koordinat 106o 45’10” sampai dengan 106o 45’50” Bujur Timur dan
6o 50’44” Lintang Selatan. Terletak di kaki Gunung Pangrango dan Gunung Gede yang
mempunyai ketinggian 584 Meter di atas permukaan laut.
Kota Sukabumi mempunyai kekuatan pada iklim mikro yang relatif nyaman untuk
tempat peristirahatan dan dengan bentangan alam yang ada sangat diperlukan pemanfaatan
pola penggunaan lahan dan ruang secara selektif, dengan tetap menjaga pada terjaminnya
lingkungan yang serasi danseimbang.
Sukabumi berasal dari kata sunda yakni “suka bumen” (cinta daerah), sehingga
mereka yang datang ke daerah ini tidak ingin pindah lagi, karena suka/senang terhadap
bumen-bumen atau ketempat tinggal di daerah ini.

2. Batas Wilayah

Wilayah Kota Sukabumi berbatasan seluruhnya dengan wilayah Kabupaten Sukabumi
yakni di Sebelah Utara dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan Kecamatan Nyalindung
Kabupaten Sukabumi, sebelah barat dengan Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi, sebelah
timur dengan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi.

3. Fisik Dasar dan Sumber Daya Alam

Kondisi fisik dasar Kota Sukabumi secara umum tergolong ideal untuk
pengembangan berbagai kegiatan perkotaan. Parameter yang dijadikan acuan antara lain:
a. Kondisi topografi kawasan yang relatif tidak merata sehingga memungkinkan
pemanfaatan lahan kawasan secara optimal;
b. Kondisi geologi, memungkinkan optimalisasi daya dukung lahan, sehingga memberikan
peluang untuk pengembangan berbagai kegiatan pembangunan fisik;
c. Ko