HUBUNGAN GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL.

(1)

TESIS

HUBUNGAN

GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1

(GLP-1)

DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

I GUSTI NGURAH AGUNG TRESNA ERAWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(2)

ii

TESIS

HUBUNGAN

GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1

(GLP-1)

DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

I GUSTI NGURAH AGUNG TRESNA ERAWAN NIM 1014048211

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

HUBUNGAN

GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1

(GLP-1)

DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH AGUNG TRESNA ERAWAN NIM 1014048211

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 18 April 2016………...

Pembimbing I,

Prof.Dr.dr AAG. Budhiarta, Sp.PD- KEMD, FINASIM

NIP. 19441221 197206 1001

Pembimbing II,

Dr.dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM NIP. 197006272003122001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas

Udayana

Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,SpS(K) NIP. 195902151985102001


(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 18 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No :……….,Tanggal……

…………

Ketua : Prof. Dr. dr. AAG. Budiartha, Sp.PD-KEMD, FINASIM

Anggota :

1. Dr. dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD,FINASIM 2. Dr. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH, FINASIM

3. dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer, FINASIM 4. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M. Kes


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/ kurnianya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada Prof. Dr. dr. AAG. Budiarta SpPD KEMD, FINASIM pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr.dr. Made Ratna Saraswati SpPD KEMD,FINASIM pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika SpPD KEMD, FINASIM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT, M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Kepala Program Studi Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. IDN. Wibawa SpPD KGEH dan Dr. dr. I Ketut Suega


(7)

vii

SpPD KHOM selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji, yaitu Dr. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH, dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer, dan Dr.dr. Ida Sri Iswari SpMK.,M.Kes, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

Pada kesempatan ini ijinkan juga penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan yang tulus kepada Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Penulis juga memberikan ucapan yang sama kepada dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer sebagai pembimbing akademik penulis atas arahan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Ajung I Gusti Ngurah Agung dan Ibu Cokorda Istri Tirta, yang senantiasa memberikan dorongan moril dan matriil. Kepada adik saya I Gusti Istri Agung Widnyani, juga kepada keluarga di Batu-Malang yang telah memberikan motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada rekan residen seperjuangan: dr. Mario Steffanus, dr. Aulia Sandjaja, dr. Vika Wirdhani, dr. Herawati Purba, dr. Agung Istri, dr. Ria, dr. Cindy, dr. Wira Mahadita serta teman-teman lainnya, terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang kalian berikan


(8)

viii

selama ini. Juga kepada paramedis, staf tata usaha Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah atas segala bantuan serta kerjasama yang baik selama menjalani pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, Maret 2016 Penulis


(9)

ix

ABSTRAK

HUBUNGAN GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DENGAN LEPTIN

PADA OBESITAS ABDOMINAL

I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, AA Gede Budhiarta

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar

Obesitas berkontribusi menempati urutan kelima penyebab kematian di seluruh dunia. Risiko ini lebih tinggi pada obesitas abdominal. Disregulasi leptin pada patogenesis obesitas mengakibatkan peningkatan kadar leptin pada pasien dengan obesitas. Glucagon Like Peptide-1 (GLP-1) adalah hormon inkretin yang selain berperan terhadap metabolisme glukosa, peptida ini juga berefek pada pengendalian pusat lapar, kadar GLP-1 diketahui menurun pada obesitas. Leptin secara in vitro terbukti menstimulasi sekresi GLP-1 pada sel L intestinal tikus (GLUTag) dan sel L manusia (NCI-H716), tetapi dalam penelitian berikutnya secara in vitro pada sel L intestinal tikus obesitas dengan resistensi leptin terdapat penurunan dua kali kadar basal GLP-1 dan kegagalan respon GLP-1 setelah stimulas glukosa oral. Belum adanya penelitian secara in vivo pada manusia adalah latar belakang dilakukan penelitian ini, untuk melihat bagaimana korelasi GLP-1 dan leptin pada dewasa dengan obesitas abdominal. Hipotesis penelitian terdapat korelasi GLP-1 dengan leptin pada Obesitas Abdominal.

Penelitian ini merupakan studi observasional analitik potong lintang. Kriteria inklusi yaitu dewasa usia 18-60 tahun, obesitas abdominal dengan lingkar pinggang ≥80cm pada wanita dan ≥90cm pada pria dan bersedia berpartisipasi. Kriteria eksklusi adalah penderita diabetes melitus, infeksi berat, penyakit ginjal kronik stadium III keatas, gangguan fungsi hati berat, keganasan, kelainan hormon tiroid, sedang mendapatkan terapi steroid, dan testosterone. Perekrutan sampel dilakukan secara acak konsekutif yang menjalani General Check Up di Laboratorium Prodia sejumlah 80 subjek pada bulan Desember 2015 – Januari 2016. Subjek diperiksa kadar GLP-1 Puasa dan GLP-1 30 menit setelah pembebanan glukosa 75 gram serta diperiksa kadar leptin serum.


(10)

x

Delapan puluh subjek penelitian terdiri dari 39 pria (48,8%) dan 41 wanita (51,2%). Rerata umur 42,4 ± 9,6 tahun. Median IMT 29,49 kg/m2 dengan IMT terendah adalah 25,6 kg/m2 dan tertinggi 47,5 kg/m2. Median lingkar pinggang seluruh sampel adalah 95 cm dengan lingkar pinggang terkecil 82 cm dan yang terbesar 129 cm. Median (minimal-maksimal) lingkar pinggang pada pria adalah 96 (91-117) cm, sedangkan pada wanita adalah 94 (82-129) cm. Rerata kadar leptin serum adalah 20,2±15,5 ng/ml, rerata kadar GLP-1 puasa adalah 2,9±1,7 pg/L. Rerata kadar GLP-1 post prandial adalah 3,2±1,8 pg/L. Dari uji Pearson didapatkan nilai koefisien korelasi leptin dengan GLP-1 puasa adalah r = -0,34; p = 0,002. Koefisien korelasi leptin dengan GLP-1 post prandial adalah r = -0,27; p = 0,017. Hasil dari penelitian ini secara konsisten memperlihatkan adanya hubungan terbalik yang secara statistik bermakna antara kadar leptin dengan GLP-1, baik puasa maupun post prandial.


(11)

xi

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) AND

LEPTIN IN PATIENTS WITH ABDOMINAL OBESITY

I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, AA Gede Budhiarta Department of Internal Medicine,

Faculty of Medicine, Udayana University/Sanglah General Hospital Denpasar

Obesity contributes to the fifth leading cause of mortality worldwide. This risk is higher in the case of abdominal obesity. The dysregulation of leptin in the pathogenesis of obesity leads to increased levels of leptin in obese patients. Glucagon Like Peptide -1 (GLP -1) is an incretin hormone which contributes not only to the metabolism of glucose but also to the central hunger control, levels of GLP-1 is known to decrease in obesity. “In vitro” leptin is proven to stimulate secretion of GLP-1 in the L cell of rat’s intestine (GLUtag) and human’s L-cell (NCI-H716). On another research done using the in vitro method, obese rat’s intestine with leptin resistance was found to experience a double decline of basal GLP-1 levels and a response failure of GLP-1 after oral glucose stimulus. The fact that there has not been any in vivo research on human is the reason underlying the conduct of this research. It is to observe the correlation between GLP-1 and Leptin in adults with abdominal obesity. The hypothesis of the research later suggested that there is.

This research is an analytical observation with cross sectional study. The inclusion criteria are adults aged between 18 and 60 years old with abdominal obesity with waist circumference equals to or more than 80cm in women and equals to or more than 90cm in men and lastly, they are willing to participate. The exclusion criteria are diabetes mellitus, severe infection, chronic kidney disease at third stage or above, impaired liver function, malignancies, thyroid hormone abnormalities, currently undergoing steroid or testosterone therapy. Samples were selected randomly consecutive from people undergoing General Check Up at Prodia Laboratorium which totaled to 80 subjects from December 2015 to January 2016. Subject’s GLP-1 level on fasting and GLP-1 were examined 30 minutes post prandial of 75 grams of glucose. The level of serum leptin was also examined.

80 research subjects consist of 39 men (48,8%) and 41 women (51,2%) with the average age of 42,4 ± 9,6 years old. The median of BMI was 29,49 kg/m2 with


(12)

xii

25,6 kg/m2 at the lowest and 47,5 kg/m2 at the highest. The waist circumference median of all samples was 95cm with 82cm being the smallest and 129cm being the biggest. The waist circumference median (minimum- maximum) were 96 (91-117) cm for men and 94 (82-129)cm for women. The mean value of serum leptin level was 20,2±15,5 ng/ml. The mean value of GLP-1 on fasting levels was 2,9±1,7 pg/L, and the mean value of post prandial GLP-1 levels was 3,2±1,8 pg/L. Based on the Pearson test, the coefficient correlation value of leptin levels with GLP-1 (fasting) was r= -0,34; p= 0,002. Coefficient correlation of leptin with GLP-1 post prandial was r= -0,27 ; p= 0,017. The research result has consistently showed that there was a substantial inverse correlation between leptin levels and GLP-1 on both post prandial and fasting.


(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ii

PRASAYARAT GELAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT………. xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1.Tujuan Umum ... 6

1.3.2.Tujuan Khusus ... 6

1.4.Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1. Manfaat Akademik……….. 6

1.4.2. Manfaat Praktis……… 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Obesitas dan Sindrom Metabolik ... 7

2.1.1 Epidemiologi ... 7

2.1.2 Definisi Obesitas ... 10

2.1.3. Definisi Sindrom Metabolik ... 11

2.1.4 Patogenesitas Obesitas dan Sindrom Metabolik ... 15


(14)

xiv

2.2.Leptin ... 17

2.2.1 Regulasi Leptin ... 17

2.2.2 Abnormalitas Leptin……… 19

2.2.3 Mekanisme Intraselular Leptin………... 19

2.2.4 Faktor yang Pengaruhi Ekspresi Leptin………. 20

2.2.5 Fungsi Neuroendokrin Leptin……… 21

2.3. Resistensi Leptin ... 23

2.3.1 Resistensi Leptin – Defek Transport versus Defek Signal ... 23

2.3.2. Telaah Anatomi Resistensi Leptin ... 25

2.4. Hormon Inkretin ... 26

2.4.1 Penemuan Hormon Inkretin ... 26

2.5. GLP-1 ... 29

2.6. Leptin & GLP1 ... 31

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ……… 33

3.1.Kerangka Berpikir ... 33

3.2.Konsep Penelitian ... 35

3.3.Hipotesis Penelitian ... 36

BAB IV METODE PENELITIAN ... 37

4.1.Rancangan Penelitian ... 37

4.2.Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

4.3.Ruang Lingkup Penelitian……… 37

4.4.Populasi dan Sampel ... 37

4.4.1.Populasi ... 37

4.4.2.Sampel ... 37

4.4.2.1.Kriteria Inklusi ... 37

4.4.2.2.Kriteria Ekslusi………. . 38

4.4.2.3.Besaran Sampel Penelitian……… . 38


(15)

xv

4.5.Variabel Penelitian ... 39

4.5.1.Klasifikasi dan Identifikasi Variabel ... 39

4.5.2.Definisi Operasional Variabel ... 39

4.6.Bahan dan Instrumen Penelitian ... 43

4.7.Prosedur Penelitian ... 43

4.8.Alur Penelitian ... 44

4.9.Analisis Data ... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

SIMPULAN DAN SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Prevalensi Sindrom Metabolik pada Populasi Tertentu di Asia ... 9

Tabel 2.Klasifikasi IMT pada Dewasa Ras Eropa ... 10

Tabel 3.Klasifikasi IMT pada Orang Asia Dewasa ... 11

Tabel 4.Definisi Sindrom Metabolik menurut ATP III ... 13

Tabel 5.Kriteria Klinis Sindrom Metabolik Menurut WHO... 14

Tabel 6.Definisi Sindrom Metabolik Menurut IDF ... 15

Tabel 7. Indeks Wayne’s, Diagnosis Hipertiroidsm Berdasarkan Gejala dan Tanda ... 42

Tabel 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian……….. 47


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Regulasi dan Fungsi Neuroendokrin Leptin ... 22

Gambar 2.Signal LRb ... 25

Gambar 3.1. Konsep Penelitian……… 35

Gambar 4.1.Alur Penelitian ... 46

Gambar 5.1. Perbedaan Rerata Kadar GLP-1 Puasa dan Post Prandial………. 48

Gambar 5.2. Grafik Scatter Plot korelasi antara Kadar Leptin serum dan GLP-1 Puasa pada Obesitas Abdominal………. 51

Gambar 5.3. Grafik Scatter Plot korelasi antara Kadar Leptin serum dan GLP-1 Post Prandial pada Obesitas Abdominal………. 51


(18)

xviii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH

SINGKATAN

AgRP : Agouti-Related Peptide

aMSH : a-Melanocyte-Stimulating-Hormone

ARC : Arkuata

Bdnf : Brain-Derived Neurotrohic Factor BBB : Sawar Darah Otak

CVO : Organ Circumventricular DIO : Diet-induced-obese

DMH : Dorsomedial

DMX : Nukleus Motorik Dorsal Nervus Vagus DPP-IV : Dipeptidil Peptidase 4

GIP : Gastric Inhibitory Polypeptide GLP-1 : Glucagon like Peptide-1

GRP : Glucose Related Peptide

HDL-C : High Density Lipoprotein Cholesterol

IDF :International Diabetes Federation

IL :Interleukin

IMT : Indeks Massa Tubuh

Jak2 : Jak kinase

LR : reseptor leptin

ME : Median Eminence


(19)

xix MC3R : Melanocortin-3 Receptor MC4R : Melanocortin-4 Receptor

NHANES : the National Health and Nutrition Examination Survey NTS : Nukleus Traktus Solitarius

ob : gen obesitas

POMC : Pro-Opiomelanocortin

SM : Sindrom Metabolik

TNF-α : Tumor Necrosis Factor

VMH : Ventromedial

WHO : World Health Organization


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan Kelaiakan Etik……….. 61

Lampiran 2.Informasi Yang Diberikan Kepada Subyek Penelitian ... 62

Lampiran 3. Perkiraan Biaya……….. . 64

Lampiran 4.Informed Consent ... 65

Lampiran 5.Status Penderita ... 66

Lampiran 6.Rencana dan Jadwal Penelitian ... 67

Lampiran 7. Prosedur Pemeriksaan Kadar GLP-1 ... 68

Lampiran 8. Alur Pemeriksaan Kadar Leptin ... 70


(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan tetapi saat ini kelebihan berat badan dan obesitas sudah dianggap sebagai suatu masalah global. Di seluruh dunia terjadi peningkatan prevalensi obesitas.

Obesitas atau kegemukan berkontribusi menempati urutan kelima penyebab kematian di seluruh dunia. Sedikitnya 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun akibat kondisi tersebut (WHO, 2014).

Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua kategori; obesitas umum dan obesitas abdominal. Obesitas abdominal adalah kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Kondisi overweight dan obesitas merupakan risiko utama bagi sejumlah komorbiditas. Diketahui bahwa 44% kejadian diabetes, dua puluh tiga persen kejadian penyakit jantung iskemik dan sekitar 7-41% kejadian kanker meningkat risikonya pada obesitas abdominal (WHO, 2014).

Prevalensi obesitas di beberapa negara cenderung meningkat, termasuk Indonesia. Riset Kesehatan Indonesia 2010 menyatakan prevalensi obesitas pada penduduk usia diatas 15 tahun adalah 21,7%, dengan prevalensi obesitas


(22)

2

abdominal didalamnya sebesar 18,8% (Riskesdas, 2010). Prevalensi obesitas di Bali adalah sebesar 26,2% (Dwipayana et al., 2011).

Penyebab fundamental overweight dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang digunakan. Asupan kalori berlebih dan aktivitas fisik yang kurang memicu terjadinya penumpukan jaringan adiposa di subkutan, periviseral dan intraviseral (Petrucelli, 2008).

Selain berperan sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan adiposa diketahui merupakan organ endokrin utama yang mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan massa sel lemak terutama di perut memicu terjadinya ketidakseimbangan pelepasan hormon dan akhirnya menyebabkan berbagai efek metabolik. Sel adiposa mensekresikan berbagai molekul yang aktif secara biologis yang dinamakan adipositokin atau adipokin yang meliputi sejumlah sitokin (misal Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan Interleukin (IL)-6), Kemokin (misal IL-8 dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1). Selain itu, jaringan adiposa mensekresikan berbagai hormon yang salah satunya berperan dalam regulasi berat badan seperti visfatin, apelin, resistin, adiponektin dan leptin (Zhang, 2010).

Leptin diproduksi oleh gen obesitas (ob), 167-asam amino peptide, yang diekspresikan oleh jaringan adiposa. Defisiensi hormon leptin dalam serum mengakibatkan rasa lapar berlebih (hiperfagia), menurunnya penggunaan energi, obesitas abdominal dan resistensi insulin yang akan berkembang menjadi diabetes. Akan tetapi penelitian terakhir menyebutkan bahwa terjadi disregulasi leptin pada patogenesis obesitas akibat terjadinya mutasi pada gen ob maupun reseptor leptin (LR) (misalnya db). Mutasi ini mengakibatkan justru


(23)

3

ditemukannya peningkatan kadar leptin yang tinggi pada pasien dengan obesitas. Mekanisme yang dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan leptin serum pada obesitas adalah keterlibatan mutasi yang terjadi pada gen ob. Pada penelitian yang dilakukan oleh Considine et al., menemukan bahwa terjadi peningkatan jumlah ob mRNA pada adiposit dari subjek dengan obesitas dibandingkan dengan subjek dengan berat badan normal. Akibatnya adalah terjadi peningkatan kadar serum leptin sampai empat kali nilai normal yang kemungkinan diakibatkan oleh hipertropi sel adiposit (Considine et al., 1996) .

Kadar rerata leptin pada obesitas adalah sebesar 31,3±24,1 ng/ml, sedangkan rerata subjek berat badan normal adalah 7,5±9,3 ng/ml. Hasil ini mengindikasikan bahwa pada kebanyakan orang dengan obesitas adalah tidak sensitif terhadap produksi leptin endogen. Hal ini berhubungan dengan gangguan toleransi glukosa serta resistensi insulin yang selanjutnya disebut dengan resistensi leptin (Considine et al., 1996; Halim, 2003).

Konsep resistensi leptin pada obesitas dicurigai pertama kalinya akibat efek terbatas pemberian terapi leptin eksogen pada pasien dengan obesitas. Hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan kelarutan leptin untuk melewati sawar darah otak atau gangguan pada tingkatan reseptor aktivasi atau transduksi signal (Meier and Gressner, 2004). Mutasi dari gen Bdnf (brain-derived neurotrohic factor) pada neuron subjek dengan obesitas, adalah salah satu sebab yang dipercaya berperan pada pathogenesis ini (Liao et al., 2012)

Penemuan inkretin merupakan suatu langkah penting dalam perkembangan terapi diabetes melitus. Konsep gut factor stimulate pancreatic


(24)

4

endocrine secretion pertama kali dihipotesiskan tahun 1902 (Marzieh, 2006). Inkretin merupakan suatu substrat yang dihasilkan oleh saluran pencernaan (sel L) yang memiliki efek menstimulasi hormon endokrin (pankreas-insulin) (Perfetti and Merkel, 2000). Saat ini dikenal dua inkretin yaitu Gastric Inhibitory Polypeptide (GIP) dan Glucagon like Peptide-1 (GLP-1) (Raganath et al., 1996).

Gastric Inhibitory Polypeptide dan GLP-1 merupakan suatu senyawa inkretin yang memberikan serangkaian efek metabolik yaitu mampu meningkatkan sekresi insulin. Selain efeknya terhadap metabolisme glukosa, kedua peptida ini juga berefek pada berbagai organ antara lain pancreas, lemak, tulang dan otak. Pada pankreas, GIP dan GLP-1 bersama-sama meningkatkan proliferasi sel B pankreas dan menghambat apoptosis. Gastric Inhibitory Polypeptide meningkatkan glukagon postprandial dan meningkatkan deposisi lemak tubuh, sedangkan GLP-1 justru menurunkan kadar glukagon dan mengendalikan pusat lapar sehingga GLP-1 lebih bermanfaat pada penderita dengan overweight, obesitas, dyslipidemia dan diabetes (Szayna, 2000; Bello and Moran, 2008; Hagememann et al., 2007). Pada penelitian in vivo yang dilakukan, GLP-1 secara cepat disekresikan oleh sel L setelah mendapatkan asupan makanan baik gula maupun lemak. Pada mekanisme ini diketahui terdapat dua macam efek langsung maupun tidak langsung yang bekerja untuk merangsang sekresi GLP-1. Efek langsung berasal dari jumlah makanan, dan efek tidak langsung berasal dari pengaruh endokrin dan mediator neural termasuk GRP (Rocca et al, 1999; Persson et al, 2000). Sebagai akibatnya, GLP-1 selanjutnya akan disekresikan secara bipasik. Melalui efek tidak langsung GLP-1 akan disekresikan pada 15-30


(25)

5

menit, dan melalui efek langsung akan disekresikan lebih lambat yaitu pada menit 60-120 postprandial (Anini et al, 1999). Kadar GLP-1 telah diketahui menurun kadarnya pada pasien dengan obesitas. Penurunan kadar GLP-1 pada obesitas sampai saat ini masih belum diketahui penyebabnya. (Raganath et al., 1996).

Leptin secara in vitro terbukti menstimulasi sekresi GLP-1 pada sel L intestinal tikus (GLUTag) dan sel L manusia (NCI-H716), namun penelitian in vitro pada sel L intestinal tikus obesitas dengan resistensi leptin justru didapatkan terjadi penurunan dua kali kadar basal GLP-1 dan kegagalan respon GLP-1 setelah stimulas glukosa oral (Anini and Brubaker, 2003). Sampai saat ini korelasi antara kadar leptin dan GLP-1 secara in vivo pada manusia belum diteliti, sehingga menarik penulis melakukan penelitian ini.

Mengingat semakin meningkatnya masalah obesitas serta adanya dualisme dari sifat kadar GLP-1 terhadap kadar leptin pada penelitian in vitro sebelumnya, penulis ingin membuktikan adanya korelasi kadar GLP-1 dengan kadar leptin pada orang dewasa dengan obesitas abdominal.

1.2.Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan antara kadar leptin dengan kadar GLP-1 pada obesitas abdominal?


(26)

6

1.3.Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah:

1.3.1 Tujuan Umum

- Mengetahui peran leptin dan GLP-1 pada patogenesis obesitas abdominal. 1.3.2 Tujuan Khusus

- Membuktikan hubungan kadar leptin dengan GLP-1 pada obesitas

abdominal.

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1.Manfaat Akademik

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat menambah pengetahuan kita tentang korelasi kadar GLP-1 dengan leptin pada obesitas abdominal. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data dasar dan bermanfaat memberi penegasan terhadap patogenesis obesitas abdominal dan hubungannya dengan diabetes mellitus tipe 2, terkait dengan peran leptin dengan kadar GLP-1 pada manusia dewasa.

1.4.2.Manfaat Praktis

Selama ini diketahui bahwa memberikan terapi leptin eksogen pada obesitas dewasa dinilai tidak memberikan hasil yang memuaskan terkait kondisi resistensi leptin. Bila penelitian ini membuktikan hubungan antara kadar GLP-1 dengan leptin pada obesitas abdominal, penelitian lebih lanjut tentang terapi berbasis inkretin pada populasi obesitas di Indonesia dapat diusulkan.


(27)

1

B A B II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Obesitas dan Sindrom Metabolik

2.1.1 Epidemiologi

Tahun 2008, satu setengah milyar orang dewasa diatas 20 tahun termasuk overweight, dan lebih dari 200 juta pria dan hampir 300 juta wanita termasuk obesitas. Secara keseluruhan, lebih dari 1 diantara 10 orang dewasa di dunia termasuk obesitas. Hal ini diperparah dengan kenyataan pada tahun 2010, hampir 43 juta anak-anak dibawah usia 5 tahun mengalami overweight (Ferrari, 2008).

Berdasarkan data The Behavioral Risk Factor Surveillance System, pada tahun 2005 diperkirakan 60,5% orang Amerika mengalami overweight, 23,9% obesitas dan 3% tergolong sangat obesitas. Obesitas tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan yang serius namun juga menurunkan angka harapan hidup (Petrucelli, 2008; Singla et al., 2010).

Peningkatan angka kejadian sindrom metabolik salah satunya disebabkan oleh peningkatan populasi dan prevalensi obesitas. Obesitas dan sindrom metabolik memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan suatu hubungan kausal. Berdasarkan data the National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 1988-1994 dan 1999-2000 diketahui bahwa 22% orang dewasa di Amerika Serikat mengalami sindrom metabolik. Disamping itu, terjadi peningkatan prevalensi sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia (Ferrari, 2008; Petrucelli, 2008; Singla et al., 2010; Shen et al., 2012).

Peningkatan prevalensi obesitas tidak hanya terjadi di negara Barat, namun juga di Asia. Dibandingkan dengan ras Kaukasia, orang Asia memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) yang lebih rendah namun memiliki prevalensi risiko sindrom


(28)

2

metabolik ternyata lebih tinggi. Data prevalensi sindrom metabolik pada beberapa populasi diseluruh dunia berdasarkan kriteria diagnostik yang berbeda dapat dilihat pada tabel 1 (Ferrari, 2008; Huang et al., 2009).

Riset Kesehatan Indonesia 2010 menyatakan prevalensi obesitas pada penduduk usia diatas 15 tahun adalah 21,7%, dengan prevalensi obesitas abdominal didalamnya sebesar 18,8% (Riskesdas, 2010). Prevalensi obesitas di Bali adalah sebesar 26,2% (Dwipayana et al., 2011).


(29)

3

Tabel 1. Prevalensi Sindrom Metabolik pada Populasi Tertentu di Asia (Ferrari, 2008)

Negara/Kota Sampel Usia

(tahun) Prevalesi SM Sumber

Cina, Beijing 16.324 dewasa 20-90 10,2% (wanita), 15,7% (pria)

Li et al, 2006

China, Hong Kong

1513 18-66 9,6% (ATP

III), 13,4% (WHO)

Ko et al, 2005

China, Hong Kong

5202 pasien diabetes

16-95 49,2-58,1% Ko et al, 2006

India, Jaipur 1800 dewasa 20 24,9%, 30,9%

(wanita), 18,4% (pria)

Gupta et al, 2004

Jepang, Kagoshima 471 anak dengan overweight, atau obes

6-11 8,7%

(overweight), 17,7% (obes)

Yoshinaga et al, 2005

Jepang 3264 dewasa 20-79 7,8%, 1,7%

(wanita), 12,1% (pria)

Arai et al, 2006

Vietnam, Ho Chi Minh

611 dewasa 18+ 12% Son et al, (2005)

Singapore cardiovascular cohort study

4334 dewasa 18-69 17,7% (IDF), 26,2%(AHA)

Lee et al, 2007

Korea Selatan 6824 dewasa 20-80 15,0% (wanita), 13,5% (pria)

Park et al, (2006)

Taiwan 124513 dewasa 20-94 13,9% (IDF),

22,4 (AHA)

Huang et al, 2008 Taiwan,

Taichung

2359 dewasa 40-64

65+ 24,19% (wanita), 35,23% (pria) 51,82% (wanita), 43,23% (pria)

Lin et al, 2007

Thailand 602 dewasa 20-90 15% Pongchaiyakul et

al, 2007

ATP III : The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program, AHA :

American Heart Association, IDF : International Dabetes Federation


(30)

4

2.1.2 Definisi Obesitas

Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Obesitas dibedakan menurut indeks massa tubuh dan distribusi lemak. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi menjadi obesitas umum dan obesitas abdominal atau obesitas sentral. Obesitas abdominal adalah kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Salah satu indikator pengukuran obesitas abdominal adalah lingkar perut. Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan indeks sederhana berat dan tinggi badan yang umum digunakan untuk mengklasifikasikan overweight dan obesitas pada dewasa. Indeks massa tubuh didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam meter (kg/m2). Untuk penduduk

Barat dikatakan obesitas bila IMTnya ≥ 30 kg/m2 atau lingkar perut ≥ 102 cm

pada pria atau ≥ 88 cm pada wanita, sedangkan untuk penduduk Asia, IMTnya >

25kg/m2atau lingkar perut ≥90 cm pada pria dan ≥ 80cm pada wanita. Berikut ini adalah klasifikasi IMT yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1998 (Tabel 2) (WHO, 2014)

Tabel 2. Klasifikasi IMT pada Dewasa Ras Eropa

Klasifikasi IMT (kg/m2) Risiko Komorbiditas

Underweight <18,5 Rendah (namun terdapat

peningkatan risiko untuk masalah klinis lainnya)

Normal 18,5-24,9 Rata-rata

Overweight

 Preobese

 Obese I

 Obese II

 Obese III

>25 25-29,9 30-34,9 35-39,9 ≥40 Meningkat Sedang Berat Sangat berat


(31)

5

Berbeda dengan Eropa, terdapat perbedaan pada distribusi lemak tubuh khususnya di daerah Asia Pasifik. Sebagai contoh, Asia Selatan (India) memiliki distribusi lemak tubuh tersentralisasi di mana thick trunk shinfold dan rata-rata waist-to-hip ratio-nya lebih tinggi pada IMT yang sama dibandingkan ras Eropa. Pada populasi Asia, morbiditas dan mortalitas terjadi pada individu dengan IMT yang lebih rendah dan lingkar pinggang yang lebih kecil. Selain itu, mereka cenderung memiliki lemak intraabdominal tanpa terlihat obesitas secara keseluruhan. Berikut ini adalah klasifikasi IMT pada orang Asia dewasa (Tabel 3) (WHO,2014).

Tabel 3. Klasifikasi IMT pada Orang Asia Dewasa

Klasifikasi IMT (Kg/m2) Risiko Komorbiditas

Underweight <18,5 Rendah (namun terdapat

peningkatan risiko untuk masalah klinis lainnya)

Normal 18,5-22,9 Rata-rata

Overweight

 Dalam risiko

 Obes I

 Obes 2

>23 23-24,9 25-29,9 ≥30 Meningkat Sedang Berat

2.1.3. Definisi Sindrom Metabolik

Kombinasi berbagai gangguan metabolik yang sekarang dikenal dengan sindrom metabolik pertama kali digambarkan oleh Kylin pada tahun 1920-an sebagai sekelompok gejala hipertensi, hiperglikemia dan gout. Dua dekade kemudian, Vague menyatakan bahwa upper body adiposity (android atau male type obesity) merupakan tipe yang paling berkaitan dengan abnormalitas metabolik yang terlihat pada diabetes dan penyakit kardiovaskular. Pada tahun 1988, Reaven menggunakan istilah Sindrom X dan menetapkan beberapa gejala


(32)

6

klinis yang penting meskipun obesitas tidak termasuk didalamnya. Pada tahun 1989, Kaplan menyebutnya The Deadly Quartet dan lainnya lalu menggunakan istilah The Insulin Resistance Syndrome. Namun, saat ini istilah sindrom metabolik diterima secara luas untuk sekumpulan gejala metabolik yang berkaitan dengan faktor risiko kardiovaskuler serta dapat memprediksi risiko terjadinya diabetes (Alberti et al., 2006).

Karakteristik umum sindrom metabolik diantaranya: 1) distribusi lemak tubuh yang abnormal; 2) Resistensi insulin; 3) Dislipidemia aterogenik; 4) peningkatan tekanan darah; 5) Status proinflamasi; dan 6) Status protrombotik. Berikut adalah berbagai kriteria yang ditetapkan oleh beberapa organisasi untuk membantu menetapkan diagnosis klinis sindrom metabolik (Huang et al., 2009; Alberti et al., 2006);

2.1.3.1 Sindrom Metabolik berdasarkan The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program (NCEP ATP III)

Beberapa waktu sebelumnya tidak diketahui hubungan antara hiperinsulinemia, resistensi insulin, hipertensi, dislipidemia dan diabetes. Saat ini diketahui bahwa keterkaitan tersebut mengacu pada sindrom metabolik. The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program membantu mengidentifikasi orang dengan sindrom metabolik melalui sejumlah kriteria klinis dan menetapkan bahwa diagnosis sindrom metabolik dilakukan bila terdapat 3 atau lebih faktor risiko (Tabel 4). Faktor risiko ini termasuk obesitas abdominal, kadar High Density Lipoprotein Cholesterol (HDL-C) yang rendah dan peningkatan tekanan darah, glukosa puasa serta kadar Trigliserida (Huang et al., 2009).


(33)

7

Tabel 4. Definisi Sindrom Metabolik Menurut ATP III

Faktor Risiko Definisi

Obesitas Abdominal (Lingkar pinggang)

 Pria

 Wanita

>40 inch >30 inch

Trigliserida ≥150 mg/dl

HDL Cholesterol

 Pria

 Wanita

<40mg/dl <50mg/dl

Tekanan Darah ≥130/85

Gula darah puasa ≥110 mg/dl

2.1.3.2 Sindrom Metabolik berdasarkan World Health Organization (WHO) Pada tahun 1999, WHO menetapkan definisi sindrom metabolik. Definisi WHO ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa resistensi insulin merupakan salah satu kontributor utama sindrom metabolik. Untuk menetapkan diagnosis, disamping resistensi insulin, sedikitnya dua komponen lain yaitu peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadal HDL-C, obesitas dan mikroalbumiuria. (Tabel 5) (Petrucelli, 2008; Alberti et al., 2006).


(34)

8

Tabel 5. Krteria Klinis Sindrom Metabolik Menurut WHO (Petrucelli, 2008) Insulin Resisten, memenuhi salah satunya dari;

Diabetes mellitus tipe 2

Glukosa darah puasa terganggu Tolerasi glukosa terganggu

Hiperinsulinemi, euglikemia dengan ambilan glukosa rendah Disertai 2 dari kriteria;

Mendapatkan terapi anti hipertensi atau tekanan darah ≥ 140/90 Trigliseride plasma ≥ 150 mg/dl

HDL-C < 35 mg/dl pada pria, atau < 39 mg/dl pada wanita

BMI > 30kg/m2 dan/atau rasio pinggang:pinggul > 0,9 pada pria, >0,85 pada wanita

Mikroalbuminuria; urine albumin excretion rate ≥ 20 microgram/menit atau albumin: creatinin ratio ≥ 30 mg/g

2.1.3.3 Sindrom Metabolik berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) Sindrom metabolik mengacu pada sekumpulan abnormalitas metabolik, termasuk obesitas sentral, toleransi glukosa, tekanan darah tinggi dan dislipidemia. Berbagai studi menunjukkan bahwa akumulasi lemak intraabdominal merupakan prediktor risiko metabolik dan penyakit kardiovaskular yang independen (Huang et al., 2006).

International Diabetes Federation menetapkan alat diagnosis yang sederhana untuk dapat digunakan dalam praktek klinis dan penelitian di seluruh dunia. Tujuannya selain membantu identifikasi sindrom metabolik juga memfokuskan pada upaya penanganan pasien (Tabel 6) (Alberti et al., 2006).


(35)

9

Tabel 6. Definisi Sindrom Metabolik Menurut Internasional Diabetes Federation (IDF) (Alberti et al, 2006)

Obesitas Sentral

Lingkar pinggang sesuai etnis, ditambah dua dari kriteria berikut;

Peningkatan Trigliserida

≥ 1,7 mmol/l (150 mg/dl) atau terapi spesifik untuk dyslipidemia

Penurunan HDL-C

< 1,03 mmol/l (40mg/dl) pada pria < 1,29 mmol/l (50mg/dl) pada wanita Peningkatan

tekanan darah

Sistolik: ≥ 130 mmHg Atau

Diastolik: ≥ 85 mmHg

Atau sudah mendapatkan terapi dengan diagnosis hipertensi Peningkatan

glukosa darah puasa

Glukosa darah puasa ≥ 5,6 mol/l (100 mg/dl) atau telah terdiagnosa sebagai diabetes mellitus

Jika > 5,6 mmol/l atau 100 mg/dl, Uji toleransi glukosa sangat direkomendasikan, namun tidak begitu diperlukan untuk membedakannya pada sindrom ini.

2.1.4 Patogenesitas Obesitas dan Sindrom Metabolik

Penyebab fundamental overweight dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang digunakan. Secara global, terjadi peningkatan asupan makanan kaya lemak, garam, dan gula namun rendah vitamin, mineral dan mikronutrien lain. Selain itu juga terjadi penurunan aktivitas fisik akibat gaya hidup sedenter dan urbanisasi. Asupan kalori berlebih dan aktivitas fisik yang kurang, memicu terjadinya penumpukan lemak subkutan, periviseral dan intraviseral (Petrucelli, 2008; Huang et al., 2009)

Obesitas dapat memicu tekanan darah tinggi, peningkatan kolesterol, penurunan HDL-C dan hiperglikemi. Sel adiposa diketahui mensekresikan sitokin dan molekul lain yang dapat memicu peningkatan kondisi proinflamasi, protrombotik dan resistensi insulin. Kondisi tersebut terlibat dalam patogenesis


(36)

10

sindrom metabolik. Selain itu, diketahui pula bahwa resistensi insulin memicu faktor risiko metabolik lainnya termasuk hipertensi, hipertrigliseridemia, hiperglikemia dan dislipidemia (Petrucelli, 2008).

Diperkirakan, setiap peningkatan berat badan sebesar 1 kg berkaitan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 sebesar 9%. Obesitas berkaitan erat dengan risiko stroke iskemik maupun hemoragik. Setiap satuan peningkatan IMT berkaitan dengan peningkatan risiko stroke sebesar 6% (Ferrari, 2008).

Walaupun etiologinya masih kontroversial, namun diketahui bahwa sindrom metabolik dipicu oleh obesitas, resistensi insulin dan sejumlah faktor lain seperti kerentanan genetik dan peningkatan usia. Diketahui pula bahwa sindrom metabolik dapat terjadi akibat efek samping dari pengobatan termasuk kortikosteroid, inhibitor protease, antidepresan dan antipsikotik (Petrucelli,2008).

2.1.5 Peran Jaringan Adiposa sebagai Organ Endokrin

Selain berperan sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan adiposa diketahui merupakan organ endokrin utama yang mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan massa sel lemak memicu terjadinya ketidakseimbangan pelepasan hormon dan akhirnya menyebabkan berbagai efek metabolik. Komplikasi metabolik obesitas yang dikenal dengan sindrom metabolik ditandai oleh resistensi insulin yang seringkali menyebabkan kerusakan sel beta pancreas, gangguan toleransi glukosa dan diabetes tipe 2, dislipidemia, hipertensi dan penyakit jantung yang terjadi lebih dini. Selain itu, obesitas abdominal, akumulasi lemak ektopik, steatosis hepatik dan sleep apnea juga termasuk ke dalam komplikasi metabolik obesitas (Zhang, 2010).


(37)

11

Sel Adiposa mensekresikan berbagai molekul yang aktif secara biologis yang dinamakan adipositokin atau adipokin yang meliputi sejumlah sitokin (misal Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan Interleukin (IL)-6), Kemokin (misal IL-8 dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1). Selain itu, jaringan adiposa mensekresikan berbagai hormon yang salah satunya berperan dalam regulasi berat badan seperti leptin, visfatin, apelin, resistin dan adiponektin (Zhang, 2010).

2.2. Leptin

Hormon leptin diproduksi oleh jaringan lemak. Leptin dalam sirkulasi dapat menghubungkan antara kondisi energi tubuh dengan sistem saraf pusat untuk menekan asupan makan dan memicu pemakaian energi (Morton, 1998). 2.2.1 Regulasi Leptin

Leptin dipengaruhi oleh sistem umpan balik dari simpanan energi tubuh terhadap otak, sesuai dengan definisi oleh Kennedy pada tahun 1953 dimana kadar leptin dikatakan menurun pada kondisi starvasi saat cadangan lemak tubuh berkurang untuk mendukung kebutuhan energi dasar organisme dan leptin meningkat saat re-feeding saat cadangan lemak kembali terkumpul (Morton, 1998).

Demikian pula banyak adaptasi fisiologis yang dicetuskan oleh puasa berkepanjangan yang dapat dicegah melalui pemberian leptin eksogen saat puasa, sehingga memberikan signal palsu pada otak seolah cadangan energi telah tergantikan. Kadar leptin yang cukup akan membuat pemakaian energi yang cukup untuk proses reproduksi dan pertumbuhan serta pengaturan sistem saraf otonom, endokrin, dan sistem imun (Münzberg et al., 2005; Sobhani et al., 2000).


(38)

12

Leptin Reseptor b (LRb) terdapat pada beberapa jaringan namun paling banyak pada neuron beberapa nuklei hipotalamus meliputi arkuata (ARC), dorsomedial (DMH), ventromedial (VMH) dan premamilari serta pada batang otak yaitu di nukleus traktus solitarius (NTS) dan nukleus motorik dorsal nervus vagus (DMX), substansi grisea periakuaeduktal dan hipokampus. Terdapat 2 populasi mRNA LRb yang terdeteksi, yaitu yang menghasilkan agouti-related peptide (AgRP) dan yang menghasilkan pro-opiomelanocortin (POMC) untuk memproduksi a-melanocyte-stimulating-hormone (aMSH) untuk mensignalkan anoreksia (penurunan napsu makan) dengan mengaktifkan melanocortin-4 receptor (MC4R) dan melanocortin-3 receptor (MC3R). Leptin Reseptor b merangsang sintesis POMC dan mengaktifkan/mendepolarisasikan neuron LRb/POMC. Neuropeptide Y merupakan hormon yang oreksigenik (merangsang napsu makan) yang juga mensupresi pertumbuhan yang didasari LRb pada sentral dan aksis reproduksi. Agouti-related peptide adalah antagonis dari aMSH/MC4R dan inhibitor dari aktivitas MC4R endogen. Leptin bekerja melalui LRb untuk menghambat NPY/AgRP neuron dan mensupresi ekspresi neuropeptida tersebut. Dengan demikian, adanya signal LRb merangsang produksi neuropeptida anorektik dan mensupresi kadar peptida oreksigenik. Sebaliknya, penurunan aktivitas atau kadar leptin (misal saat starvasi dan pada tikus ob/db) merangsang napsu makan dengan mensupresi sintesis neuropeptida anorektik (misal POMC) dan meningkatkan ekspresi peptida oreksigenik (misal NPY dan AgRP). Pada Arcuata, neuron yang mengekspresikan LRb mRNA dan NPY/AgRP dan/atau POMC juga mengatur pemakaian energi dan elemen lainnya dari fungsi neuroendokrin. Ghrelin dapat mengaktivasi neuron NPY/AgRP. Ablasi genetik


(39)

13

NPY/AgRP dapat menyebabkan makan yang berlebihan dan peningkatan berat badan (Münzberg et al., 2005).

2.2.2 Abnormalitas Leptin

Kekurangan leptin akibat mutasi pada leptin (ob) maupun reseptor leptin (LR) (misalnya db) pada tikus dan manusia menyebabkan peningkatan asupan makanan dan berkurangnya pemakaian energi sebagai respon neuroendokrin terhadap starvasi (meliputi hipotiroidisme, berkurangnya pertumbuhan, infertilitas, dan penurunan fungsi imun) disamping obesitas itu sendiri (Münzberg et al., 2005; Sobhani et al., 2000). Gaster merupakan organ target dari leptin (Sobhani et al., 2000). Konsentrasi leptin serum berkaitan dengan persentase lemak tubuh, mengindikasikan bahwa pada kebanyakan orang dengan obesitas adalah tidak sensitif terhadap produksi leptin endogen (Considine et al., 1996). 2.2.3 Mekanisme Intraseluler Leptin

Reseptor leptin berasal dari golongan reseptor sitokin kelas 1 interleukin-6 (IL-6) yang terdiri dari daerah pengikat ligan ekstraselular dan sitoplasmik. Reseptor leptin b tidak memiliki aktivitas enzimatik intrinsik namun memberikan signal melalui ikatan non-kovalen terkait aktivitas tirosin kinase dari famili Jak kinase (Jak2). Terikatnya leptin mengubah konformasi dimer LRb dan memungkinkan terjadinya aktivasi LRb intraseluler yang terkait Jak2. Jak kinase 2 yang teraktivasi kemudian memfosforilasi residu tirosin lainnya pada kompleks LRb/Jak2 untuk memperantarai signal downstream. Pensignalan yang tergantung tirosin kinase tersebut pada umumnya berlanjut melalui protein yang mengandung domain khusus untuk pengikatan fosfotirosin (misal domain SH2). Masing-masing isoform domain SH2 mengenali fosfotirosin dengan asam amino spesifik.


(40)

14

Fosforilasi tirosin berperan sebagai penanda molekular untuk menarik protein yang mengandung SH2 dengan isoform yang spesifik, dikenali melalui asam amino penyusunnyan (Münzberg et al., 2005).

2.2.4 Faktor yang Pengaruhi Ekspresi Leptin

Indeks masa tubuh merupakan faktor prediktor terbaik untuk menentukan kadar leptin dalam darah. Pasien dengan puasa 24 jam akan mengalami penurunan kadar leptin mencapai 30% dan pasien dengan overfeeding massif akan meningkatkan 50% kadar leptin dalam darah (Meier and Gressner, 2004). Dengan meretriksi diet akan menurunkan kadar leptin mencapai 27,2% (CI 95%) (Campilo et al., 2001; Houseknecht et al., 1998)

Penurunan berat badan 10% pada pasien obesitas akan menurunkan kadar leptin serum sebesar 53%, sedangkan peningkatan 10% berat badan akan meningkatkan 30% kadar leptin serum. Injeksi leptin akan menurunkan asupan makanan, menurunkan berat badan, kehilangan massa lemak, dan peningkatan metabolisme energi (Houseknecht et al., 1998). Namun pemberian leptin pada orang dengan obesitas hanya memberikan efek yang terbatas, hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan kelarutan leptin untuk melewati sawar darah otak atau gangguan pada tingkatan reseptor aktivasi atau transduksi signal (Meier and Gressner,2004).

Kadar leptin pada perempuan (12,7 µg/L) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (4,6 µg/L). Kadar leptin berhubungan dengan rerata 4 Skinfod thickness (r= 0,74-0,8; p≤0,001), lingkar perut dan panggul (r=0,38;p≤0,001), etnis dan umur (Ruhl and Everhart., 2001)

Kadar leptin meningkat oleh overfeeding, insulin, glukokortikoid, endotoksin, sitokin, dan menurun oleh puasa, testosterone, hormon tiroid, dan


(41)

15

suhu dingin (Houseknecht et al.,1998; Yang and Barouch., 2007; Pi-Sunyer and

Leferre’re, 1999). Dengan pemberian glukokortikoid secara in vivo dan in vitro

akan meningkatkan ekspresi dari leptin serum. Peningkatan kadar leptin akan menghambat produksi kortisol dan sel adrenal (Houseknecht et al., 1998; Pi-Sunyer and Leferre’re., 1999). Selain itu faktor lain yang mempengaruhi kadar leptin yaitu fungsi hepar. Penelitian yang dilakukan Campilo et al., (2001) memperlihatkan kadar leptin meningkat sesuai dengan perbaikan fungsi hepar pada pasien sirosis hepatis akibat alkohol (Campilo et al., 2001).

Thiazolinediones, yang merupakan ligand dari PPARγ, dapat menghambat dari regulasi mRNA leptin pada adiposit. Dilaporkan canonical DR+1 PPARγ berikatan di lokasi ikatan pada -3,951 sampai -3,939 pada tikus sekuen 5’ -flanking dari gen leptin. Dalam hal ini PPARγ2 berperan menghambat peranan dari promoter leptin dengan menghambat mediasi transkripsi dari C/EBP-α (Houseknecht et al., 1998).

Hubungan antara leptin dengan kadar lipid atau lipoprotein masih merupakan hal yang diperdebatkan, namun hubungan leptin yang signifikan ditemukan dengan HDL, HDL-TG, dan HDL-apo (Pi-Sunyer and Leferre’re, 1999). Pada penelitian terhadap pasien hemodialisis ditemukan hubungan signifikan antara leptin dengan kadar LDL-C (r=-0,29, p=0,09), dan leptin berhubungan signifikan dengan serum trigliserida (r=0,30, p=0,078) (Nasri et al., 2006).

2.2.5 Fungsi Neuroendokrin Leptin

Sejauh ini, terdapat 2 jalur pensignalan LRb yang terkait pada kerja leptin, yaitu STAT3 dan jalur IRS proteinÆPI 3¢-kinase. Protein IRS 1-4 merupakan molekul pensignal intraseluler yang difosforilasi oleh beberapa tirosin kinase


(42)

16

(misalnya reseptor insulin dan beberapa reseptor sitokin). Pada tikus yang tidak memiliki IRS-2 (IRS-2 --) terjadi peningkatan makan dan penurunan laju metabolik terkait dengan peningkatan jaringan lemak dan leptin dalam sirkulasi, mengindikasikan adanya resistensi leptin fungsional. Sehingga dikatakan bahwa IRS-2 memiliki peran khusus dalam pensignalan anorektik. Blokade aktivitas PI 3¢-kinase diduga terkait dengan mekanisme leptin dalam menyebabkan hiperpolarisasi atau penghambatan neuron hipotalamik LRb/NPY/AgRP. Leptin merangsang IRS-2 terkait dengan aktivitas PI 3¢-kinase pada hipotalamus, dan secara farmakologis blokade PI 3¢-kinase pada hipotalamus akan menyebabkan efek anorektik secara in vivo. Aktivitas PI 3¢-kinase juga dibutuhkan untuk fungsi sistem saraf simpatik yang diatur oleh leptin dan juga untuk fungsi leptin lainnya pada neuroendokrin dan regulasi imun. Pensignalan LRb melalui STAT3 memperantarai sebagian kerja dari leptin, yaitu penting bagi kerja melanokortin hipotalamik. Disregulasi pensignalan melanokortin karena perubahan NPY berkontribusi terhadap terjadinya obesitas. Jalur yang tidak tergantung LRbÆSTAT3 akan mengatur kontrol gula darah, reproduksi, pertumbuhan, dan kadar NPY sebagai respon dari leptin. Disimpulkan bahwa jalur Jak2-IRS protein-PI 3¢-kinase merupakan perantara utama kerja LRb yang tidak tergantung STAT3 (H. Münzberg, 2005). Leptin menghambat sekresi insulin yang diinduksi oleh cAMP selular pada sel B pankreatik (sel INS-1) (Ahre, 1999).


(43)

17

Gambar 1. Regulasi dan Fungsi Neuroendokrin Leptin (Münzberg et al., 2005)

2.3. Resistensi Leptin

Obesitas telah menjadi masalah kesehatan pada dunia Barat dan menjadi faktor risiko mayor untuk diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Setelah ditemukannya leptin, memberikan harapan bahwa terapi leptin eksogen dapat menginduksi rasa kenyang dan penurunan berat badan pada manusia. Hal ini terlihat dari hasil perlakuan memberikan leptin pada tikus dengan obesitas dengan defisiensi leptin, dapat menurunkan rasa lapar dan memperbaiki neuroendokrin yang terganggu. Oleh karenanya leptin telah digunakan sebagai terapi pada kondisi hiperfagia dan kelainan endokrin terkait dengan defisiensi leptin dalam tubuh yang menyebabkan obesitas pada penderitanya. Melalui terapi leptin eksogen, telah terlihat keberhasilannya dalam mengendalikan rasa lapar dan juga menurunkan berat badan pada manusia. Namun dalam beberapa kasus obesitas, didapatkan kadar leptin dalam sirkulasi darah yang meningkat, dan tidak berespon dengan pemberian leptin eksogen. Kondisi obesitas yang tidak respon baik terhadap leptin endogen dan eksogen ini mengembangkan gagasan adanya kondisi obesitas yang disebabkan oleh resistensi leptin, dimana kondisi ini dikatakan


(44)

18

hampir sama dengan kondisi resistensi insulin pada diabetes tipe 2 (Münzberg et al., 2005).

2.3.1 Resistensi Leptin – Defek Transport versus Defek Signal

Beberapa penelitan yang dilakukan masih memperdebatkan validitas dari konsep resistensi leptin lebih sebagai kondisi fisiologis dan evolusi dari signal pencegahan terhadap kurang nutrisi dibanding sebagai kondisi nutrisi berlebih. Sebagai contoh yang dimaksud adalah kondisi alami leptin resisten yang bersifat sementara pada perilaku mamalia pada musim tertentu dan kehamilan, dimana intake makanan yang sangat meningkat menyebabkan deposit lemak dan peningkatan kadar leptin tubuh (Münzberg et al., 2005).

Penelitian tentang mediator yang krusial dari resistensi leptin saat ini masih belum jelas, namun pendapat yang paling dapat diterima sampai saat ini adalah kegagalan leptin dalam sirkulasi untuk mencapai target pada otak melalui inhibisi kaskade signal LRb. Mekanismenya saat ini masih dalam perdebatan; beberapa pendapat menyatakan bahwa pergerakan leptin kedalam otak untuk meregulasi keseimbangan melalui mekanisme transpor spesifik yang melewati sawar darah otak (BBB) dan atau melalui organ circumventricular (CVO) contohnya adalah median eminence (ME). Leptin secara langsung ditranspor melewati BBB sistem transport saturable yang dimediasi oleh LR bentuk pendek. Pada tikus dengan defisiensi reseptor leptin, didapatkan bahwa terjadi penurunan transport leptin sirkuler ke dalam otak. Sejalan dengan hal tersebut diatas, pada penelitian lainnya tikus dengan defisiensi LRb namun memiliki reseptor LRs memperlihatkan kondisi transport yang normal dari sirkulasi ke dalam otak. Dalam penelitian lainnya penurunan transport leptin melewati BBB juga terlihat


(45)

19

pada tikus dengan diet-induced-obese (DIO). Walaupun diketahui signal yang menginduksi STAT3 adalah menurun terhadap signal leptin perifer pada tikus dengan DIO, akan tetapi injeksi sentral leptin dapat memperbaiki aktivasi STAT3. Hal ini semakin menguatkan bahwa sulitnya leptin perifer mencapai untuk selanjutnya mengaktifkan hipotalamus adalah salah satu faktor penyebab resistensi leptin. Beberapa investigasi berusaha memeriksa mekanisme penurunan signal LRb pada sel kultur dan in vivo. Pada akhirnya didapatkan dua data yang mempengaruhi penghambatan regulasi LRb, yaitu SOCS3 dan protein tyrosine phospatase, PTP1B (Bjørbæk et al.,1998).

Overekspresi dari masing-masing protein pada kultur sel mempengaruhi signal leptin. Tikus yang tidak memiliki reseptor PTP1B selain memiliki sifat insulin sensitif, juga kurus dan bersifat hipofagia tanpa ditemukannya kelainan neuroendokrin lainnya (Bjørbæk et al.,1998).

Gambar 2. Signal LRb (Münzberg et al., 2005)

Peranan SOCS3 dalam menghambat LRb secara in vivo terlihat dari beberapa penelitian yang menunjukkan peningkatan kadar SOCS3 pada tikus dengan obesitas, dan beberapa penelitian terakhir menunjukkan terdapat fenotip


(46)

20

yang lebih kurus dan sinsitif terhadap leptin pada tikus yang kekurangan SOCS3 dalam system sarap pusatnya. Data menunjukkan bahwa PTP1B dan SOCS3 yang fisiologis penting untuk mengatur signal LRb, meskipun seberapa kuat potensinya masih belum diketahui (Van Heek, 1997; Bjørbæk et al.,1998) .

2.3.2. Telaah Anatomi Resistensi Leptin

Distribusi anatomi dari resistensi leptin baru-baru ini diselidiki pada tikus DIO dengan memeriksa aktivasi signal leptin perifer terhadap STAT3. Baik dari imunohistokimia maupun pemeriksaan mikroskopis inti hipotalamus, terlihat jelas bahwa signal leptin dilemahan pada ARC, sedangkan pada hipotalamus dan ekstra hipotalamus masih tetap sensitif terhadap leptin. Selain itu lokasi resistensi yang spesifik itu erat hubungannya dengan peningkatan ekspresi SOCS3 pada ARC, yang semakin menunjukkan peran ekpresi SOCS3 pada pathogenesis resistensi leptin (Münzberg at al., 2005).

2.4. Hormon Inkretin

2.4.1 Penemuan Hormon Inkretin

Byaliss dan Starling menemukan secretin pada 1902, saat itu berkembang teori bahwa saluran pencernaan mampu merangsang pelepasan hormon pancreas melalui sinyal yang dilepaskan sebagai respon adanya nutrisi di saluran pencernaan. Pada 1906, Moore mencoba menawarkan kemungkinan menyembuhkan diabetes dengan menggunakan ekstrak duodenum. Zunz dan Labare menyambut ide ini dengan melakukan serangkaian percobaan dengan ekstrak usus, yang mampu membuat hewan percobaannya menjadi hipoglikemia. Mereka memperkenalkan istilah Inkretin untuk substansi kimia yang terkandung dari ekstrak usus ini. perkembangan muktahir penelitian mengenai inkretin


(47)

21

dimulai setelah ditemukannya radioummunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan Berson (Girard, 2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama “Entero Insular Axis” untuk menggambarkan hubungan antara saluran pencernaan dengan pancreas (Green & Flatt, 2007). Creautzfelt memperkirakan aksis ini melibatkan beberapa komponen diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang signifikan dari usus kepada pancreas yang mampu merangsang pengeluaran beberapa hormon seperti; insulin, glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi Creutzfelt memberikan batas pada aksis entero insular sebagai suatu proses yang melibatkan nutrisi pada saluran cerna, khususnya karbohidrat. Dimana akan dilepaskannya suatu sinyal pada taraf fisiologis akan menstimulasi pelepasan insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst et al., 2009).

Mengacu pada batasan Cruetzfelt, saat itu GIP lah yang dapat disebut inkretin. Gastric Inhibitory Polypeptide saat itu dikenal sebagai enterogastron oleh karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat kehadiran lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 1973 mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu enterogastron tetapi juga suatu inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang dilakukannya, dimana peningkatan aktivitas insulin lebih bermakna pada pemberian GIP dan glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa GIP yang timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan menimbulkan pengeluaran insulin bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek hipoglikemi tidak akan muncul. Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain disebut sebagai Gastric inhibitory polypeptide oleh karena menghambat sekresi


(48)

22

asam lambung. GIP juga dikenal sebagai Glucose-dependent insulinotropic polypeptide. Sehubungan dengan fungsinya sebagai enterogastron dan inkretin, GIP banyak ditemukan pada daerah tengah dari villus duodenum, serta sangat sedikit pada jejunum (Salvatore et al.,2007).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan inkretin pertama yang ditemukan. Tetapi para ahli pada tahun 1970, meyakini adanya inkretin kedua setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya sekresi hormon pancreas yang menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat hewan percobaan diberikan ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian dilakukan pada anglefish, dimana ditemukan adanya suatu glucose related peptide (GRP) sebagai glucagon related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. secara genetik GRP memiliki homologi yang kuat dengan GIP. Glucose related peptide diyakini merupakan inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pancreas dan saluran pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pancreas Anglefish. Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentidikasi adanya inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa cDNA preproglucagon pada mamalia termasuk manusia. Ternyata ditemukan homologi pada cDNA GRP Anglefish dan produk gen preproglucagon manusia, yang sekarang dikenal sebagai GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua setelah GIP (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu hormon yang dilepaskan oleh sel K duodenum. Sel K terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan GIP merupakan respon dari penyerapan glukosa dan lemak. Sedangkan GLP-1


(49)

23

disintesis dan dilepaskan oleh sel enteroendokrin, sel L, yang terletak pada distal ileum dan usus besar. Sel L merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin pada daerah basal lamina. Sel L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel enterochromafin. Sel L banyak terdapat pada distal jejunum, ileum, colon dan terbanyak di rectum. Sel L ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8 minggu pada ileum serta 12 minggu pada colon (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu peptida aktif 42 asam amino dengan berat molekul 4984 Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu peptida non aktif 37 asam amino dengan berat molekul 3298 Da, dimana terdapat enam asam amino pada akhir N-terminal. Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua inkretin ini dalam plasma adalah 5-10 Pmol/L dan meningkat dalam 5-15 menit dari intake glukosa pada makanan. GLP-1 memiliki dua bentuk molekul beredar yaitu GLP-GLP-17-37 dan GLP-GLP-17-36 amida. Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1 dapat menurun dengan cepat sebagai akibat metabolisme serta inaktivasi oleh enzim dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV) yang kemudian dikeluarkan lewat ginjal, meskipun demikian eksresi GLP-1 tidak mengalami dampak yang bermakna pada penderita gangguan ginjal ringan ( GFR

≥ 60) (Jacobsen et al, 2009). Waktu paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit

untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP (Girard, 2008).

2.5. GLP-1

Proglukagon terdiri dari dua Glucagon like peptide (GLP-1 dan GLP-2) yang disekresi oleh sel enteroendokrin pada usus kecil dan usus besar. Glucagon like peptide-1 merendahkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus tipe 1 melalui stimulasi sekresi insulin yang glucose-dependent,


(50)

24

inhibisi pengosongan lambung, dan inhibisi sekresi glukagon. Glucagon like peptide -1 juga mengatur sintesis glikogen pada jaringan adiposa dan otot. Glucagon like peptide -1 diproduksi pada jaringan otak juga. Durasi kerja GLP-1 adalah singkat dikarenakan adanya enzim dipeptidil peptidase 4 (DPP-IV) yang menguraikan GLP-1 pada ujung NH2 (Vilsbøll, 2001).

Terdapat penurunan respon GLP-1 postprandial pada orang dengan obesitas. Dengan penurunan berat badan, respon GLP-1 membaik. Insulin postprandial dan respon GIP memegang peranan penting pada regulasi napsu makan jangka pendek (Drucker, 1998).

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa GLP-1 disebut bukan hanya sebagai mediator yang berfungsi memperlambat motilitas usus saja, namun juga menginduksi rasa puas setelah makan. Memberikan infus GLP-1 pada manusia memperlihatkan efek meningkatnya rasa kenyang dan puas setelah makan. Efek ini kemungkinan disebabkan karena memperlambat pengosongan lambung, ditambah dengan adanya efek ke sistem saraf pusat untuk mempengaruhi regulasi rasa lapar. Sebelumnya telah terbukti bahwa pada obesitas terjadi penurunan respon dari GLP-1 postprandial, sejalan dengan hasil penelitian lainnya yang menyebutkan terjadi penurunan sekresi produk proglukagon pada subjek dengan obesitas. Efek penurunan berat badan terhadap induksi makanan setelah diberikan GLP-1 diteliti terbatas pada subjek yang telah melakukan prosedural pembedahan bypass jejunoileal. Hasil dari penelitian tersebut memperlihatkan terjadi peningkatan GLP-1 pada subjek tersebut dibandingkan pada subjek yang kurus. Prosedur bypass jejunoileal dapat mempengaruhi pelepasan GLP-1, sehubungan dengan tereksposenya ileum terminalis dengan komponen makanan (Verdich at al., 2001)


(51)

25

Glucagon like peptide -1 dilepaskan oleh sel L dari usus, merupakan insulin secretagogue yang potent. Regulasi sekresi GLP-1 telah dideskripsikan baik secara in vivo dan in vitro pada berbagai spesies binatang, namun sangat sedikit data dari sel manusia. Salah satu penelitian yang melihat hubungan regulasi sekresi GLP-1 pada NCI-H716 sel usus halus manusia, menunjukkan bahwa secara homogeny sel ini memproduksi 16,8 pmol GLP-1/mg protein dengan pelepasan basal 4,2% setelah periode inkubasi selama 2 jam. Nutrien seperti asam pamitat, asam oleat dan daging yang terhidrolisat menstimulasi sekresi GLP-1 pada dosis tertentu, seperti halnya pada agonis charbacol dan neuromediator gastrin-release peptide. Selama menstimulasi pelepasan GLP-1, gastrin-releasing peptide, seperti ionomycin, meningkatkan jumlah calcium intraseluler. Aktifator PKA dan PKC juga dapat meningkatkan sekresi GLP-1 pada sel NCI-H716. (Raylene, 2001)

Hipersekresi faktor insulinotropik seperti GLP-1 dan GIP telah dipostulatkan sebagai kondisi hiperinsulinemia pada obesitas. Penelitian yang dilakukan pada enam wanita kurus yang dipasangkan dengan enam wanita gemuk pada usia yang sama, diperiksa respon kadar hormon inkretin, glukosa plasma, dan serum trigliserida pada menit ke 180 setelah mendapatkan asupan karbohidrat oral dan makan berlemak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan penurunan sekresi GLP-1 pada subjek gemuk setelah mendapatkan asupan karbohidrat oral dibandingkan pada subjek penelitian kurus. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan kadar GLP-1 bermakna pada kedua subjek penelitian setelah mendapatkan asupan makanan berlemak. Sementara kadar GIP tidak ada perbedaan bermakna pada kedua subjek penelitian baik dengan asupan makanan berkabohidrat maupun lemak (Ranganath et al., 1996).


(52)

26

2.6. Leptin & GLP1

Glucagon like peptide 1 disekresi oleh sel L pada usus halus merupakan hormon insulinotropik yang poten. Sekresi GLP-1 menurun pada pasien dengan obesitas. Karena obesitas berhubungan dengan abnormalitas signal leptin, beberapa pendapat menghipotesiskan bahwa leptin mungkin memodulasi sekresi GLP-1. Leptin secara signifikan menstrimulasi sekresi GLP-1 (meningkatkan sampai 250% dibandingkan kontrol) dari sel L tikus (GLUTag), dan sel L manusia (NCH-H716) pada perlakuan yang terkait dosis. Terekspresi bentuk panjang reseptor leptin dan leptin yang menginduksi fosforilasi STAT3 pada sel tersebut. Reseptor leptin juga terekspresi pada sel L intestinal tikus dan manusia, dan leptin (1mg/kg) secara signifikan menstimulasi sekresi GLP-1 pada tikus dan tikus ob/ob. Untuk melihat efek dari resistensi leptin pada sekresi GLP-1, tikus C57BL/6 diberikan makanan tinggi lemak (45%) dan atau rendah lemak (10%) selama 8 minggu. Tikus dengan diet tinggi lemak menjadi obesitas, lalu berkembang menjadi toleransi glukosa terganggu, hiperinsulinemia, dan hiperleptinemia dan menjadi leptin resisten. Tikus dengan diet tinggi lemak memiliki kadar GLP-1 dua kali lebih rendah dan mengalami kegagalan respon sekresi setelah diinduksi glukosa oral, yaitu 28,5-5,0% (P,005). Hasil penelitian ini pertama kalinya yang menunjukkan bahwa leptin menstimulasi sekresi GLP-1 pada L sel tikus dan manusia, dan menduga bahwa resistensi leptin bertanggungjawab terhadap menurunnya kadar GLP-1 pada manusia dengan obesitas (Anini and Braubaker, 2003).


(1)

dimulai setelah ditemukannya radioummunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan Berson (Girard, 2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama “Entero Insular Axis” untuk menggambarkan hubungan antara saluran pencernaan dengan pancreas (Green & Flatt, 2007). Creautzfelt memperkirakan aksis ini melibatkan beberapa komponen diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang signifikan dari usus kepada pancreas yang mampu merangsang pengeluaran beberapa hormon seperti; insulin, glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi Creutzfelt memberikan batas pada aksis entero insular sebagai suatu proses yang melibatkan nutrisi pada saluran cerna, khususnya karbohidrat. Dimana akan dilepaskannya suatu sinyal pada taraf fisiologis akan menstimulasi pelepasan insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst et al., 2009).

Mengacu pada batasan Cruetzfelt, saat itu GIP lah yang dapat disebut inkretin. Gastric Inhibitory Polypeptide saat itu dikenal sebagai enterogastron oleh karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat kehadiran lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 1973 mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu enterogastron tetapi juga suatu inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang dilakukannya, dimana peningkatan aktivitas insulin lebih bermakna pada pemberian GIP dan glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa GIP yang timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan menimbulkan pengeluaran insulin bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek hipoglikemi tidak akan muncul. Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain disebut sebagai Gastric inhibitory polypeptide oleh karena menghambat sekresi


(2)

asam lambung. GIP juga dikenal sebagai Glucose-dependent insulinotropic polypeptide. Sehubungan dengan fungsinya sebagai enterogastron dan inkretin, GIP banyak ditemukan pada daerah tengah dari villus duodenum, serta sangat sedikit pada jejunum (Salvatore et al.,2007).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan inkretin pertama yang ditemukan. Tetapi para ahli pada tahun 1970, meyakini adanya inkretin kedua setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya sekresi hormon pancreas yang menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat hewan percobaan diberikan ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian dilakukan pada anglefish, dimana ditemukan adanya suatu glucose related peptide (GRP) sebagai glucagon related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. secara genetik GRP memiliki homologi yang kuat dengan GIP. Glucose related peptide diyakini merupakan inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pancreas dan saluran pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pancreas Anglefish. Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentidikasi adanya inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa cDNA preproglucagon pada mamalia termasuk manusia. Ternyata ditemukan homologi pada cDNA GRP Anglefish dan produk gen preproglucagon manusia, yang sekarang dikenal sebagai GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua setelah GIP (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu hormon yang dilepaskan oleh sel K duodenum. Sel K terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan GIP merupakan respon dari penyerapan glukosa dan lemak. Sedangkan GLP-1


(3)

disintesis dan dilepaskan oleh sel enteroendokrin, sel L, yang terletak pada distal ileum dan usus besar. Sel L merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin pada daerah basal lamina. Sel L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel enterochromafin. Sel L banyak terdapat pada distal jejunum, ileum, colon dan terbanyak di rectum. Sel L ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8 minggu pada ileum serta 12 minggu pada colon (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu peptida aktif 42 asam amino dengan berat molekul 4984 Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu peptida non aktif 37 asam amino dengan berat molekul 3298 Da, dimana terdapat enam asam amino pada akhir N-terminal. Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua inkretin ini dalam plasma adalah 5-10 Pmol/L dan meningkat dalam 5-15 menit dari intake glukosa pada makanan. GLP-1 memiliki dua bentuk molekul beredar yaitu GLP-GLP-17-37 dan GLP-GLP-17-36 amida. Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1 dapat menurun dengan cepat sebagai akibat metabolisme serta inaktivasi oleh enzim dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV) yang kemudian dikeluarkan lewat ginjal, meskipun demikian eksresi GLP-1 tidak mengalami dampak yang bermakna pada penderita gangguan ginjal ringan ( GFR ≥ 60) (Jacobsen et al, 2009). Waktu paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP (Girard, 2008).

2.5. GLP-1

Proglukagon terdiri dari dua Glucagon like peptide (GLP-1 dan GLP-2) yang disekresi oleh sel enteroendokrin pada usus kecil dan usus besar. Glucagon like peptide -1 merendahkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus tipe 1 melalui stimulasi sekresi insulin yang glucose-dependent,


(4)

inhibisi pengosongan lambung, dan inhibisi sekresi glukagon. Glucagon like peptide -1 juga mengatur sintesis glikogen pada jaringan adiposa dan otot. Glucagon like peptide -1 diproduksi pada jaringan otak juga. Durasi kerja GLP-1 adalah singkat dikarenakan adanya enzim dipeptidil peptidase 4 (DPP-IV) yang menguraikan GLP-1 pada ujung NH2 (Vilsbøll, 2001).

Terdapat penurunan respon GLP-1 postprandial pada orang dengan obesitas. Dengan penurunan berat badan, respon GLP-1 membaik. Insulin postprandial dan respon GIP memegang peranan penting pada regulasi napsu makan jangka pendek (Drucker, 1998).

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa GLP-1 disebut bukan hanya sebagai mediator yang berfungsi memperlambat motilitas usus saja, namun juga menginduksi rasa puas setelah makan. Memberikan infus GLP-1 pada manusia memperlihatkan efek meningkatnya rasa kenyang dan puas setelah makan. Efek ini kemungkinan disebabkan karena memperlambat pengosongan lambung, ditambah dengan adanya efek ke sistem saraf pusat untuk mempengaruhi regulasi rasa lapar. Sebelumnya telah terbukti bahwa pada obesitas terjadi penurunan respon dari GLP-1 postprandial, sejalan dengan hasil penelitian lainnya yang menyebutkan terjadi penurunan sekresi produk proglukagon pada subjek dengan obesitas. Efek penurunan berat badan terhadap induksi makanan setelah diberikan GLP-1 diteliti terbatas pada subjek yang telah melakukan prosedural pembedahan bypass jejunoileal. Hasil dari penelitian tersebut memperlihatkan terjadi peningkatan GLP-1 pada subjek tersebut dibandingkan pada subjek yang kurus. Prosedur bypass jejunoileal dapat mempengaruhi pelepasan GLP-1, sehubungan dengan tereksposenya ileum terminalis dengan komponen makanan (Verdich at al., 2001)


(5)

Glucagon like peptide -1 dilepaskan oleh sel L dari usus, merupakan insulin secretagogue yang potent. Regulasi sekresi GLP-1 telah dideskripsikan baik secara in vivo dan in vitro pada berbagai spesies binatang, namun sangat sedikit data dari sel manusia. Salah satu penelitian yang melihat hubungan regulasi sekresi GLP-1 pada NCI-H716 sel usus halus manusia, menunjukkan bahwa secara homogeny sel ini memproduksi 16,8 pmol GLP-1/mg protein dengan pelepasan basal 4,2% setelah periode inkubasi selama 2 jam. Nutrien seperti asam pamitat, asam oleat dan daging yang terhidrolisat menstimulasi sekresi GLP-1 pada dosis tertentu, seperti halnya pada agonis charbacol dan neuromediator gastrin-release peptide. Selama menstimulasi pelepasan GLP-1, gastrin-releasing peptide, seperti ionomycin, meningkatkan jumlah calcium intraseluler. Aktifator PKA dan PKC juga dapat meningkatkan sekresi GLP-1 pada sel NCI-H716. (Raylene, 2001)

Hipersekresi faktor insulinotropik seperti GLP-1 dan GIP telah dipostulatkan sebagai kondisi hiperinsulinemia pada obesitas. Penelitian yang dilakukan pada enam wanita kurus yang dipasangkan dengan enam wanita gemuk pada usia yang sama, diperiksa respon kadar hormon inkretin, glukosa plasma, dan serum trigliserida pada menit ke 180 setelah mendapatkan asupan karbohidrat oral dan makan berlemak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan penurunan sekresi GLP-1 pada subjek gemuk setelah mendapatkan asupan karbohidrat oral dibandingkan pada subjek penelitian kurus. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan kadar GLP-1 bermakna pada kedua subjek penelitian setelah mendapatkan asupan makanan berlemak. Sementara kadar GIP tidak ada perbedaan bermakna pada kedua subjek penelitian baik dengan asupan makanan berkabohidrat maupun lemak (Ranganath et al., 1996).


(6)

2.6. Leptin & GLP1

Glucagon like peptide 1 disekresi oleh sel L pada usus halus merupakan hormon insulinotropik yang poten. Sekresi GLP-1 menurun pada pasien dengan obesitas. Karena obesitas berhubungan dengan abnormalitas signal leptin, beberapa pendapat menghipotesiskan bahwa leptin mungkin memodulasi sekresi GLP-1. Leptin secara signifikan menstrimulasi sekresi GLP-1 (meningkatkan sampai 250% dibandingkan kontrol) dari sel L tikus (GLUTag), dan sel L manusia (NCH-H716) pada perlakuan yang terkait dosis. Terekspresi bentuk panjang reseptor leptin dan leptin yang menginduksi fosforilasi STAT3 pada sel tersebut. Reseptor leptin juga terekspresi pada sel L intestinal tikus dan manusia, dan leptin (1mg/kg) secara signifikan menstimulasi sekresi GLP-1 pada tikus dan tikus ob/ob. Untuk melihat efek dari resistensi leptin pada sekresi GLP-1, tikus C57BL/6 diberikan makanan tinggi lemak (45%) dan atau rendah lemak (10%) selama 8 minggu. Tikus dengan diet tinggi lemak menjadi obesitas, lalu berkembang menjadi toleransi glukosa terganggu, hiperinsulinemia, dan hiperleptinemia dan menjadi leptin resisten. Tikus dengan diet tinggi lemak memiliki kadar GLP-1 dua kali lebih rendah dan mengalami kegagalan respon sekresi setelah diinduksi glukosa oral, yaitu 28,5-5,0% (P,005). Hasil penelitian ini pertama kalinya yang menunjukkan bahwa leptin menstimulasi sekresi GLP-1 pada L sel tikus dan manusia, dan menduga bahwa resistensi leptin bertanggungjawab terhadap menurunnya kadar GLP-1 pada manusia dengan obesitas (Anini and Braubaker, 2003).