RESISTENSI INSULIN MENINGKATKAN RISIKO HIPERPLASIA PROSTAT MELALUI PENINGKATAN INSULINE LIKE GROWTH FACTOR-1 PADA PENDERITA OBESITAS ABDOMINAL.

(1)

RINGKASAN DISERTASI

RESISTENSI INSULIN MENINGKATKAN RISIKO HIPERPLASIA PROSTAT MELALUI PENINGKATAN

INSULINE LIKE GROWTH FACTOR-1 PADA PENDERITA OBESITAS ABDOMINAL

WIRA GOTERA

PROGAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015


(2)

RINGKASAN DISERTASI

RESISTENSI INSULIN MENINGKATKAN RISIKO HIPERPLASIA PROSTAT MELALUI PENINGKATAN

INSULINE LIKE GROWTH FACTOR-1 PADA PENDERITA OBESITAS ABDOMINAL

WIRA GOTERA 0690271012

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2015


(3)

RINGKASAN DISERTASI

RESISTENSI INSULIN MENINGKATKAN RISIKO HIPERPLASIA PROSTAT MELALUI PENINGKATAN

INSULINE LIKE GROWTH FACTOR-1 PADA PENDERITA OBESITAS ABDOMINAL

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran,

Program Pascasarjana Universitas Udayana untuk dipertahankan di hadapan Rapat Terbuka Badan Perwakilan Program Pascasarjana Universitas Udayana di bawah Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

pada Hari Jumat, Tanggal 21 Oktober 2015 Pukul 10.00 – 12.00 WITA

WIRA GOTERA 0690271012

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2015


(4)

Lembar Pengesaha

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 12 OKTOBER 2015

Kopromotor I,

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) NIP.195601141983031005

Kopromotor II,

Prof. Dr. dr. AAG Budhiarta, SpPD-KEMD NIP.194412211972021001

Promotor,

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM,FINASIM NIP.19480628 197903 1001


(5)

Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 8 Oktober 2015

Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No:.3196 Tanggal 30 Sept/2015

Ketua :

Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, M.Phill

Anggota :

1.

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM

2.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K)

3.

Prof. Dr. dr. AAG Budhiarta, SpPD-KEMD

4.

Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, SpPD-KEMD

5.

Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si

6.

Dr. dr. Ketut Suryana, SpPD-KAI

7.

Dr. dr. A. A. Gde Oka, SpU


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala tuntunan dan asung kertha wara nugraha-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Profesor Dr. dr.I Made Bakta SpPD-KHOM, sebagai promotor, mantan Rektor Universitas Udayana, serta guru yang senantiasa menjadi panutan, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program studi doktor penyelesaian disertasi ini.

Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Profesor Dr. Dr. Sri Maliawan, SpBS(K) dan Profesor Dr. Dr. AAG Budhiarta, SpPD-KEMD sebagai kopromotor yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran sehingga disertasi ini bisa diselesaikan dengan baik.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Profesor. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Program Doktor ini. Ucapan terima kasih pula ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana


(7)

Universitas UdayanaProfesor. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) beserta Assisten Direktur I Program Pasca Sarjana Unud Prof.Dr. Made Budiarsa, MA. Dan Assisten Direktur II Program Pasca Sarjana Unud Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Kedokteran Pascasarjana Universitas Udayana. Ketua Program Studi lmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana yang saat ini dijabat oleh Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro atas kesempatan dan fasilitas serta bimbingan pengajaran selama mengikuti pendidikan ini.

Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Profesor. Dr. dr. D.P. Putu Astawa, SpOT, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program studi doktor.

Juga terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Ayu Saraswati, direktur utama Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dan mantan Kepala Bagian SMF/Ilmu Panyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Profesor Dr. dr.Tjokorda Raka Putra, SpPD-KR, dan Kepala Bagian SMF/Ilmu Panyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah yang saat ini dijabat oleh DR. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM atas kesempatan untuk mengikuti program doktor ini.


(8)

Ucapan terimakasih sedalam dalamnya kepada Promotor Profesor Dr. dr.I Made Bakta SpPD-KHOM, Co Promotor I, Profesor Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS (K),Profesor. Dan Co Promotor II, Dr. dr. AAG Budhiarta atas dorongan serta bimbingan yang tiada henti-hentinya. Kepada para tim penguji KEMD,Profesor. Dr. dr. Pradana Soewondo, Sp.PD-KEMD, Profesor. Dr. Ir. Bagus Manuaba, M.Phill dan Dr. dr. Ketut Suryana, SpPD-KAI, dan Dr. dr. A.A. Gde Oka, SpU,kami tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih atas segala masukan dan bimbingan yang sangat berharga.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada segenap Staf Pengajar Program Studi S3 Ilmu Kedokteran, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu dasar yang sangat berharga bagi saya.

Kepada yang terhormat Profesor. Dr. dr. Pradana Soewondo, SpPD-KEMD penulis sampaikan terima kasih atas dorongan dan bimbingan yang selama ini diberikan.

Kepada yang terhormat semua staf dan jajaran di Prodia Denpasar atau di Jakarta, saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan, kemudahan dan perhatian yang sedemikian besar sehingga penelitian ini memungkinkan untuk dilakukan.


(9)

Semua penderita dan rekan-rekan yang dilibatkan dalam penelitian ini atas kesediaan dan kerelaan untuk berpartisipasi selama penelitian ini berlangsung, saya sampaikan rasa hormat dan penghargaan setinggi-tingginya.

Semua Teman Sejawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran Universitas Udayana atas kerjasamanya selama ini dan dukungannya sehingga saya mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih dan doa yang tulus kepada Ayahnda tercinta Ketut Meregeg, dan kepada Ibunda terkasih Ni Made Somawati yang telah mengasuh serta membesarkan penulis, serta telah memberikan warisan nilai-nilai kedisiplinan dan kegembiraan disamping budaya kerja keras yang tak ternilai harganya. Kepada keluarga tercinta, istri, Ni Kadek Yuliati, ketiga anak, Galangkangin Gotera, Sukma Bening Gotera, dan Pengarep Brahmaning Gotera saya berharap mudah mudahan terselip rasa bangga kalian terhadap persembahan ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi ini.


(10)

(11)

1

RESISTENSI INSULIN MENINGKATKAN RISIKO HIPERPLASIA PROSTAT MELALUI PENINGKATAN INSULINE LIKE GROWTH FACTOR-1 PADA PENDERITA

OBESITAS ABDOMINAL Abstrak

Obesitas sentral (Ob-sen) berhubungan dengan kondisi resistensi insulin yang mengakibatkan hiperinsulinemia. Beberapa studi menunjukkan jika kejadian hiperplasia prostat lebih tinggi pada Ob-sen. Peran resistensi insulin, hubungannya terhadap IGF-1 perlu dibuktikan lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan jika Ob-sen dengan HOMA-IR, IGF-1, IL-6, hsCRP yang tinggi lebih berisiko mengalami hiperplasia prostat dan membuktikan lebih lanjut peran resistensi insulin dan IGF-1 sebagai faktor risiko hiperplasia prostat.

Penelitian ini menggunakan rancangan case control dengan total sampel 80 orang, 40 orang laki-laki Ob-sen dengan hiperplasia prostat sebagai kasus dan 40 orang Ob-sen tanpa hiperplasia prostat sebagai kontrol dengan rerata usia 62 tahun. Analisis data dengan uji independent sampel t-test, chi square dan uji multivariate regresi logistik. Pemeriksaan IGF-1 dengan metode Immulite 2000 IGF-1 dengan teknik chemiluminescent immunometri assay, Pemeriksaan IL-6 dengan tehnik sandwich enzyme immunoassay dengan Quantikine immunoassay kit buatan R&D system Inc USA, dan pemeriksaan hsCRP dengan tehnik immonometric assay.

Glukosa puasa (Z=-3,325, p=0,001), Insulin puasan (Z=-2,15, p=0,034), HOMA-IR (Z=-2,843, p=0,004), dan IGF-1 (t=3,27, p=0,002) lebih tinggi dan bermakna pada kelompok kasus


(12)

2

dibandingkan kontrol. hsCRP dan IL-6 tidak berbeda bermakna antar dua kelompok tersebut. Dari hasil uji bivariate chi-square didapatkan hanya komponen resistensi insulin (HOMA-IR) (OR=1,68, p=0,019) dan IGF-1 (OR=2,14, p=0,001) yang memiliki hubungan dengan hiperplasia prostat pada Ob-sen dan bermakna secara statistik. Untuk melihat pengaruh secara simultan antara resistensi insulin dan IGF-1 sebagai faktor risiko terhadap hiperplasia prostat dilakukan uji multivariate regresi logistik. Dari hasil uji regresi logistik didapatkan jika resistensi insulin/HOMA-IR (OR:2,59 IK(0,88-7,02), p=0,043) dan IGF-1 (OR:4,76, IK (1,71-13,11), p=0,003) terbukti dan bermakna secara statistik meningkatkan risiko hiperplasia prostat pada Ob-sen.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan Ob-sen dengan HOMA-IR tinggi lebih berisiko terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan HOMA-IR rendah; Ob-sen sentral dengan kadar IGF-1 tinggi lebih berisiko terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan kadar IGF-1 rendah; resistensi Insulin yang diukur dari nilai HOMA-IR dan kadar IGF-1 yang tinggi berperan sebagai faktor risiko hiperplasia prostat pada obesitas sentral.

Kata kunci: HOMA-IR, IGF-1, Obesitas sentral, Hiperplasia Prostat


(13)

3

INSULINE RESISTANCE WAS INCREACED RISK FACTOR FOR PROSTAT HYPERPLASIA VIA INSULIN LIKE GROWTH FACTOR-1 IN ABDOMINAL OBESITY

Abstract

Abdominal obesity usually associate with condition of insulin resistance and hyperinsulinemia. Numerous studies have found that prevalence of benign prostatic hyperplasia (BPH) was higher in abdominal obesity. This study was aimed to evaluated that abdominal obesity patient with high level of HOMA-IR, IGF-1, IL-6 and hsCRP have higher risk of BPH, compared thanAbdominal obesity patients with low level of HOMA-IR, IGF-1, IL-6 and hsCRP, and to investigate wether insulin resistance and high level of IGF-1, IL-6 and hsCRP as risk factor of BPH in Abdominal obesity patients.

The study design wascase control. Eighty patients were involved in this study, fourthly male central obesity subject with Prostate hyperplasia as case group and fourthly male Abdominal obesity without prostatic BPH, with age more than 40 years old both case and control. Data analysis were done by student t test, chi square, multivariate logistic regression analysis and completed by path analysis to measure the effect of each risk factor. Measurementof IGF-1 with Immulite 2000 IGF-1method with chemiluminescent immunometri assay, IL-6 was measured with sandwich enzyme immunoassay with Quantikine immunoassay kit, production of R&D system Inc USA, and hsCRP was measured with immonometric assay.

Fasting blood glucose (Z=-3,325, p=0,001), Fasting insulin level (Z=-2,15, p=0,034), HOMA-IR (Z=-2,843, p=0,004), and


(14)

4

IGF-1 (t=3,27, p=0,002) of case group was higher and statisticaly significant compared to control group. hsCRP and IL-6 not significantly different between case and control groups. Analysis bivariatechi-square test, found that the insulin resistance (HOMA-IR) (OR=1,68, p=0,019) and IGF-1 (OR=2,14, p=0,001) were associate with Prostatic hyperplasia in Abdominal obesity patients. Finally we found that insulin resistance/HOMA-IR (OR:2,59 IK(0,88-7,02), p=0,043) and high level of IGF-1 (OR:4,76, IK (1,71-13,11), p=0,003) as a risk factors of BPH in Abdomin obesity patients. Path analysis show us that significantly correlation between HOMA-IR with IGF-1 (CR=4,61; p<0,001), HOMA-IR with prostate hyperplasia (CR3,64; p<0,001), IGF1 with prostate hyperplasia (CR=3,19; p<0,001)

It was concluded that HOMA-IR (insulin resistance) and high level of IGF-1 as risk factors of Prostate hyperplasiain Abdominal obesity.

Key Words: HOMA-IR, IGF-1, Abdominal obesity, prostatic hyperplasia.


(15)

5

RINGKASAN

RESISTENSI INSULIN MENINGKATKAN RISIKO HIPERPLASIA PROSTAT MELALUI PENINGKATAN INSULINE LIKE GROWTH FACTOR-1 PADA PENDERITA

OBESITAS ABDOMINAL 1. Pendahuluan

Pandemi obesitas khususnya obesitas abdominal (Ob-Ab) kini menjadi ancaman serius bagi umat manusia di dunia. Ob-Ab sering didapatkan secara bersamaan dengan beberapa gejala dan faktor risiko lainnya yang dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardio vaskuler (PKV) yang dewasa ini dikenal sebagai sindroma metabolik (SM) (Carr et al., 2004; IDF, 2013). SM merupakan suatu konstelasi faktor risiko yang terdiri dari resistensi insulin, Ob-Ab, hipertensi, kegagalan toleransi glukosa (prediabetes) dan dislipidemia yang dianggap sebagai tahapan awal dalam perjalanan klinis DM dan Penyakit Kardiovaskuler (PKV) (Leahy, 2005; Grundy et al., 2008; Gorbanchyski et al., 2010). Dalam perjalanan klinisnya SM sebagai faktor risiko gangguan metabolik dan PKV, Ob-Ab memegang peran yang paling mendasar (Carr et al., 2004; Grundy et al., 2008).

Sejak tahun 1980 pandemi obesitas menjadi fakta yang mendapat perhatian serius dari WHO. Pada tahun 2008 data terbaru WHO menunjukkan jika lebih dari 1,4 miliar jiwa penduduk dunia dalam kondisi kelebihan berat badan, dari jumlah tersebut 200 jiwa pria dan 300 juta perempuan dengan obesitas (WHO, 2014). Secara keseluruhan lebih dari 10% populasi dunia dalam kondisi obesitas. Di Amerika Serikat 30% penduduk usia dewasa didapatkan dengan kelebihan berat badan (BMI 25-29,9 kg/m2) dan 32% dengan obesitas (BMI 30 kg/m2) (Ogden et al., 2006). Pada usia diatas 60 tahun prevalensinya bahkan mencapai 40%. Di Asia SM didapatkan paling tinggi di India akibat


(16)

6

tingginya prevalensi Ob-Ab, mencapai 1.091 jiwa dengan prevalensi 8% pada laki-laki dan 18% pada perempuan (Johnson, 2013).

Prevalensi DM juga terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya prevalensi SM dan obesitas khususnya Ob-Ab. Di tahun 2012 International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan 371 juta jiwa penduduk dunia (8,3%) menderita DM (IDF, 2012). Dari jumlah tersebut 50%nya merupakan kasus yang tidak terdiagnosis. Indonesia menempati peringkat 7 dalam jajaran 10 besar negara dengan jumlah penderita DM terbesar di dunia (IDF, 2012). Jumlah penderita DM diperkirakan sekitar 7,3 juta jiwa pada tahun 2011 (IDF, 2011). Pada tahun 2012 jumlah penderita DM meningkat menjadi 7,6 juta jiwa (IDF, 2012). Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 11,8 juta jiwa pada tahun 2030. Pada saat itu Indonesia diperkirakan berada pada peringkat ke 9 negara dengan penderita DM terbesar di dunia. Hasil RISKESDAS oleh DepKes pada tahun 2007, mendapatkan jika prevalensi DM di Indonesia mencapai 5,7% (Depkes, 2007).

Komplikasi SM dan DM sudah dimulai sejak dini sebelum diagnosis ditegakkan. Sekitar 50% pada saat diagnosis ditegakkan sudah menderita komplikasi kronik, 21 % diantaranya mengalami retinopati, 18% dengan gambaran EKG yang abnormal, dan 14% dengan gangguan aliran darah ke tungkai dan sisanya berhubungan dengan keganasan gastrointestinal dan keganasan di bidang urologi terutama pada laki-laki (IDF 2012; WHO 2014). Komplikasi DM tersebut mengurangi produktivitas dan harapan hidup pasien sampai 15 tahun. Di Dunia 4,8 juta jiwa meninggal karena DM sebagai akibat SM pada tahun 2012. Mortalitas akibat diabetes di Indonesia cukup tinggi, sekitar 155.465 jiwa penduduk Indonesia meninggal karena DM (IDF, 2012).

Disamping sebagai konstelasi faktor risiko yang mengakibatkan DM dan PKV, SM ataupun masing-masing komponennya terutama Ob-Ab dan resistensi insulin dari beberapa studi epidemiologi dihubungkan dengan beberapa penyakit degeneratif seperti hiperplasia prostat (Gorbanchyski et al., 2010;


(17)

7

WHO, 2014). Pada laki-laki, hiperplasia prostat merupakan salah satu 3 penyakit degeneratif yang paling sering didapatkan seiring dengan bertambahnya usia (selain hipogonad dan disfungsi ereksi) yang sangat berhubungan dengan inflamasi kronik yang bersifat low grade. Lima belas persen laki-laki diatas 40 tahun ditemukan dengan kelainan prostat dan prostatitis, 20-40%nya dengan Benign Prostate Hyperplasia (BPH). Pada tahun 2007 terdapat 218.890 kasus baru BPH di Amerika Serikat dengan kematian mencapai 27.050 dan pada tahun 2010, dan insidennya terus meningkat mencapai 230.000 kasus baru (Braun et al., 2011).

Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek metabolik insulin yang berakibat pada insensitivitas jaringan terhadap insulin (Hawkins & Rossetti, 2005). Efek metabolik insulin mencakup efek penghambatan terhadap produksi glukosa endogen, efek stimulasi pada pengambilan glukosa dan sintesis glikogen pada jaringan, serta menghambat penguraian lemak pada jaringan adiposa (Ghani, 2006). Tanpa adanya defek pada fungsi sel beta pankreas, individu mengkompensasi resistensi insulin dengan peningkatan jumlah sekresi insulin (hiperinsulinemia) (Masharani et al., 2004).

Ob-Ab sangat berhubungan dengan kondisi resistensi insulin sebagai dampaknya yang mengakibatkan hiperinsulinemia (Carr & Brunzell, 2004). Ob-Ab juga sangat berhubungan dengan inflamasi sistemik kronik low grade akibat peningkatan sitokin proinflamasi seperti CRP serta status protrombotik seiring dengan peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) serta stres oksidatif (Kahn et al., 2005).

Model patogenesis dari resistensi insulin ini terintegrasi antara hubungan genetik, obesitas, dan faktor lingkungan (Masharani et al., 2004; Hawkins & Rossetti, 2005; Kahn et al., 2005). Mutasi genetik yang terjadi berakibat pada defek aksi insulin dan sekresi insulin. Resistensi insulin pada obesitas berhubungan dengan faktor-faktor sirkulasi yang dihasilkan oleh adiposit seperti TNF-α (Tumor Necrotizing Faktor alfa), FFA (Free Fatty Acid), dan leptin. Namun yang paling dominan adalah Asam Lemak Bebas/FFA (Evans et al., 2002). Jaringan lemak intraabdominal


(18)

8

pada obesitas abdominal akan melepaskan FFA berlebihan yang dapat menginduksi resistensi insulin karena akan bersaing dengan glukosa sebagai sumber energi untuk dioksidasi di jaringan perifer. Secara molekuler FFA dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC), nuclear factor kappa Beta (NF-қB), mitogen activated protein kinase (p38MAPK), NH2-termial jun kinase/Stress activated protein kinase (JNK/SAPK), yang mengakibatkan peningkatan fosforilasi serine/threonine pada IR atau substratnya sebagai penyebab penurunan sensitivitas reseptor terhadap insulin sehingga dikompensasi dengan kondisi hiperinsulinemia. Jalur-jalur pensinyalan ini juga berperan dalam meningkatkan produksi reactve oxygen species (ROS) yang akhirnya menempatkan penderita SM apalagi yang sudah jatuh ke kondisi DM pada keadaan stres oksidatif dan kondisi proinflamasi khususnya inflamasi kronik yang bersifat low grade (Evans et al., 2002; Opie, 2007; Grundy, 2008).

Inflamasi kronik yang bersifat low grade yang terjadi pada SM akibat meningkatnya inflitrasi makrofag ke jaringan lemak yang ditandai dengan meningkatnya sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-6 dan CRP selain berperan dalam patogenesis resistensi insulin juga dianggap memiliki peran dalam kejadian hiperplasia prostat (Hsing et al., 2007). Inflamasi pada SM yang dikaitkan dengan peningkatan kejadian hiperplasia prostat dihipotesiskan melalui: (1) meningkatnya mediator proinflamasi seperti sitokin dan ROS; (2) meningkatnya ekspresi onkogen seperti COX-2 dan MMP; (3) meningkatnya faktor transkripsi gen proinflamsi yaitu NF-kB, STAT3 dan HIF- (Bruton et al., 2010; Ramos, 2013). Apabila proses inflamasi kronik, ROS dan serangkaian proses yang sudah disebutkan diatas mengenai organ target prostat dapat menimbulkan fokal atropi jaringan prostat yang disertai proliferasi jaringan epitel dan infiltrasi sel-sel radang yang disebut sebagai PAI (prolifereative inflammatory atrophy). PIA akan mengalami transformasi menjadi high grade prostatic hyperplasia (PIN) (Lehrer 2005; Patel et al., 2013). Kerusakan jaringan dan serangkaian proses penyembuhan kronik sebagai kompensasi


(19)

9

penyembuhan cedera sel yang berulang juga akan mempercepat timbulnya nodul BPH (Briganti et al., 2009; Nunzio et al., 2011).

Kondisi hiperinsulinemia sekunder akibat resistensi insulin pada SM juga berhubungan dengan pembesaran prostat dan manifestasi klinis lower urinary tract symptoms (LUTS). Hiperinsulinemia berhubungan dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis dan akan meningkatkan tonus saraf simpatis prostat sehingga akan memperparah gejala LUTS dalam hubungannya dengan hiperplasia prostat. Hiperglikemia sendiri juga akan meningkatkan cytosolic-free calcium pada sel otot polos dan jaringan neural yang akan meningkatkan aktivasi saraf simpatis.

Hiperinsulinemia juga akan meningkatkan aktivitas aksis insulin grwoth factor-1 (IGF-1 axis), dimana hiperinsulinemia akan menurunkan produksi insulin grwoth factor binding protein 1dan 2 (IGFBP-1 dan 2), yang berfungsi mengikat IGFs dan menurunkan aktivitas biologisnya pada IGF-1 Receptor (IGF-1R) sehingga akan meningkatkan IGFs bebas yang dapat meningkatkan proliferasi dan menghambat apoptosis sel (Reneham et al., 2006). Ikatan IGF-1 atau 2 pada IGF-1R akan mengaktivasi jalur tyrosine kinase. Posforilasi Shc akan mengaktivasi MAPK yang berhubungan dengan proliferasi dan hiperplasia termasuk peningkatan risiko keganasan. Hal ini dapat mempercepat hiperplasia seluler dalam kaitannya dengan abnormalitas metabolik, seperti pada hiperplasia prostat (Hsing et al., 2007).

Penelitian mengenai hubungan resistensi insulin yang dinilai dari HOMA-IR, peran inflamasi yang dinilai dari kadar CRP terhadap IGF-1 dalam kaitannya dengan peningkatan risiko hiperplasia prostat pada SM belum pernah dilaporkan.


(20)

10

3. Kerangka Berpikir, Konsep Dan Hipotesis Penelitian 3.1 Kerangka Berpikir

SM merupakan suatu konstelasi faktor risiko yang terdiri dari resistensi insulin, obesitas abdominal, hipertensi, kegagalan toleransi glukosa (prediabetes) dan dislipidemia dianggap sebagai tahapan awal dalam perjalanan klinis DM dan PKV yang menyebabkan penderita dalam kondisi proinflamasi dan protrombosis. Disamping sebagai konstelasi faktor risiko yang mengakibatkan DM dan PKV, SM ataupun masing-masing komponennya terutama Ob-Ab dan resistensi insulin dari beberapa studi epidemiologi dihubungkan dengan tingginya angka kejadian penyakit degeneratif di bidang urologi seperti hiperplasia prostat.

Inflamasi kronik yang bersifat low grade yang terjadi pada Ob-Ab akibat meningkatnya inflitrasi makrofag ke jaringan lemak yang ditandai dengan meningkatnya sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-6 dan CRP selain berperan dalam patogenesis resistensi insulin juga dianggap memiliki peran dalam kejadian hiperplasia prostat. Inflamasi pada Ob-Ab yang dikaitkan dengan peningkatan kejadian hiperplasia prostat dihipotesiskan melalui: (1) meningkatnya mediator proinflamasi seperti sitokin dan ROS; (2) meningkatnya ekspresi onkogen seperti COX-2 dan MMP; (3) meningkatnya faktor transkripsi gen proinflamsi yaitu NF-kB, STAT3 dan HIF-. Apabila proses inflamasi kronik, ROS dan serangkaian proses yang sudah disebutkan diatas mengenai organ target prostat dapat menimbulkan fokal atropi jaringan prostat yang disertai proliferasi jaringan epitel dan infiltrasi sel-sel radang yang disebut sebagai PAI (prolifereative inflammatory atrophy). PIA akan mengalami transformasi menjadi high grade prostatic hyperplasia (PIN). Kerusakan jaringan dan serangkaian proses penyembuhan kronik sebagai kompensasi penyembuhan cedera sel yang berulang juga akan mempercepat timbulnya nodul BPH.

Hiperinsulinemia juga akan meningkatkan aktivitas aksis insulin grwoth factor-1 (IGF-1 axis), dimana hiperinsulinemia akan menurunkan produksi insulin grwoth factor binding protein


(21)

11

1dan 2 (IGFBP-1 dan 2), yang berfungsi mengikat IGFs dan menurunkan aktivitas biologisnya pada IGF-1 Receptor (IGF-1R) sehingga akan meningkatkan IGFs bebas yang dapat meningkatkan proliferasi dan menghambat apoptosis sel. Ikatan IGF-1 atau 2 pada IGF-1R akan mengaktivasi jalur tyrosine kinase. Posforilasi Shc akan mengaktivasi MAPK yang berhubungan dengan proliferasi dan hiperplasia termasuk peningkatan risiko keganasan. Hal ini dapat mempercepat hiperplasia seluler dalam kaitannya dengan abnormalitas metabolik, seperti pada hiperplasia prostat. 2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

Hiperplasia

Prostat

USG, LUTS/Skor

IPSS

Umur

Jenis

kelamin/laki-laki

Suku bangsa

FAKTOR PASIEN

Resistensi

Insulin

Obesitas abdominal

Hiperinsuline

mia

IGF-1

Inflamasi

CRP,

Sitokin

proinflamasi

(TNF-

,

IL-


(22)

12

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Pada obesitas abdominal dengan resistensi insulin memiliki risiko lebih tinggi terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan tanpa resistensi insulin.

2. Pada obesitas abdominal dengan kadar IGF-1 tinggi memiliki risiko lebih tinggi terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan IGF-1 rendah.

3. Pada obesitas abdominal dengan kadar CRP tinggi memiliki risiko lebih tinggi terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan CRP rendah.

4. Pada obesitas abdominal dengan kadar IL-6 tinggi memiliki risiko lebih tinggi terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan IL-6 rendah.

4. Metode Penelitian 4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus-kontrol berpasangan (matched-paired case-controle study). Kelompok kasus adalah pasien obesitas abdominal dengan hiperplasia prostat dan kontrol adalah obesitas abdominal tanpa hiperplasia prostat.


(23)

13

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Kasus Kontrol Obesitas abdominal

dengan Hiperplasia

Prostat HOMA-IR

HOMA-IR

CRP dan IL-6 CRP dan

IL-6

IGF-1 IGF-1

Obesitas abdominal

tanpa Hiperplasia

Prostat HOMA-IR

HOMA-IR CRP dan

IL-6 CRP dan

IL-6 IGF-1 IGF-1


(24)

14

4.2 Penentuan Sumber Data 4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi target adalah semua penderita Ob-Ab dengan atau tanpa hiperplasia prostat. Populasi terjangkau adalah semua pesien dengan Ob-Ab dan hiperplasia prostat yang menjalani pengobatan di RSUP Sanglah Denpasar dan RSUD Wangaya. Sampel (intended sample) dipilih dari populasi terjangkau, setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah sampel yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi formulir informed consent.

4.2.2 Kriteria Inklusi

Laki-laki dengan Ob-Ab dan hiperplasia prostat usia >40 (sebagai kasus) dan sebagai kontrol (usia yang sama) serta bersedia mengikuti penelitian ini sampai studi ini selesai.

4.2.3 Kriteria Eksklusi a. Perokok.

b. Keganasan lain (selain hiperplasia / hiperplasia prostat). c. Sirosis hati.

d. Mendapat obat kortikosteroid. e. Peminum alkohol.

f. Sedang menderita infeksi akut. 4.2.4 Tehnik Pengambilan Sampel

Pasien yang memenuhi syarat dipilih secara berurutan (secara consecutive) sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. Kasus dengan SM dan hiperplasia prostat dipilih dari pasien yang sudah tegak dengan diagnosis SM dan hiperplasia prostat di RSUP Sanglah (diagnosis hiperplasis prostat sebelumnya dikonfirmasi dengan bagian urologi). Kontrol dipilih sesuai dengan karakteristik


(25)

15

masing-masing sampel (orang sehat tanpa SM dan hiperplasia prostat dengan umur yang sama).

4.2.5 Besarnya Sampel

Besar sampel dan kontrol ditentukan dengan rumus untuk studi kasus kontrol berpasangan (Sastroasmoro, 2002).

Keterangan:

N=jumlah sampel minimal untuk masing-masing kasus dan kontrol Z= nilai Z untuk kesalahan tipe I ()

Z= nilai Z untuk kesalahan tipe II ()

Besar sampel dihitung dengan asumsi R (Odd Rasio)=3 dianggap signifikan dengan kesalahan tipe I ()=0,05 (Z=1,96), kesalahan tipe II ()=0,1 (Z=1,28) atau power penelitian sebesar 90% maka jumlah sampel minimal yang dihasilkan berdasarkan perhitungan di atas adalah 38 pasangan. Pada penelitian ini dilibatkan 40 pasangan kasus dan kontrol.

4.3. Variabel Penelitian

a. Variabel tergantung (diseases) : Hiperplasia prostat.

b. Variabel bebas (faktor risiko) adalah kadar HOMA-IR, CRP dan IGF-1 dalam darah.

c. Variabel kontrol: umur, suku bangsa, perokok, penyakit penyerta (CKD, keganasan, dan sirosis hati), obat-obatan (kortikosteroid).

d. Variabel rambang: suku bangsa Indonesia asl 4.4 Alur Penelitian


(26)

16

Gambar 4.3 Alur Penelitian

a. Demografi b. Lingkar

pinggang c. Tekanan darah d. Profil lipid e. GDP, glukosa 2

jam PP f. Insulin Puasa

KRITERIA INKLUSI KRITERIA EKSKLUSI BERPASANGAN ANALISIS DATA SIMPULAN POPULASI TERJANGKAU a. Pasien

Ob-Ab+Hiperplasia Prostat b. usia >40 th c. Bersedia mengikuti

sampai selesai

a. Keganasan b. CKD (stage>3) c. Sirosis hati d. Mendapat obat

kortikosteroid e. Perokok

f. Alkohol

Pasien Ob-Ab+Hiperplasia Prostat di RSUP Sanglah.

KASUS OB-AB DENGAN HIPERPLASIA

PROSTAT

INTENDED SAMPLES

KONTROL OB-AB TANPA HIPERPLASIA PROSTAT

a. Uji X2

b. Uji K-S c. Uji T d. Uji Mann

Withney-U e. Multivariate:

regresi logistik

f. Path analysis

a. HOMA-IR b. CRP c. IL-6 d. IGF-1


(27)

17

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar (Pusat Diabetes dan Poli Urologi) dan RSUD Wangaya. Pemeriksaan lab rutin dilakukan di Bagian Patologi Klinik RSUP Sanglah, untuk pemeriksaan lab non-rutin seperti IGF-1 dilakukan di Balai Pengembangan dan Penelitian Laboratorium Prodia Jakarta. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret 2015 sampai dengan Agusutus 2015.

4.7 Analisis Data 1. Statistik deskriptif.

Untuk data numerik dilakukan analisis deskriptif seperti rerata±simpangan baku (untuk data berdistribusi normal) median (minimum-maksimum) (untuk data berdistribusi tidak normal) dan data nominal disajikan dalam bentuk data frekuensi.

2. Uji normalitas

Untuk data numerik dilakukan uji normalitas kolmogorov-smirnov, apabila data tersebut tidak berdistribusi normal, maka untuk dapat dilakukan uji hipotesis dengan asumsi distribusi normal dapat dilakukan transformasi data menggunakan transformasi logistik. Data berdistribusi normal bila p>0,05. 3. Uji komparasi

Untuk uji rerata kelompok berpasangan, sebelum uji komparasinya, dilakukan uji homogenitas variansi kelompok dengan uji Levene. Uji komparasi dilakukan dengan uji statistik berdasarkan homogenitas data dari hasil uji Levene. Uji rerata antar kelompok dilakukan dengan uji parametrik bila data bersekala numerik dan berdistribusi normal. Uji student’s t berpasangan melakukan uji hipotesis apakah terdapat perbedaan rerata antara 2 kelompok. Apabila setelah dilakukan transformasi data numerik menghasilkan data yang tidak berdistribusi normal, maka uji hipotesis dilakukan menggunakan analisis non-parametrik (Man-Withney), dengan sajian data median (interkuartil). Pada uji bivariate ini juga dilakukan analisis Chi-Square untuk mencari


(28)

18

pola hubungan dan besarnya OR masing-masing variabel independen.

4. Uji multivariat

Uji multivariat dapat dipakai untuk melihat hubungan antara satu atau lebih variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Uji ini juga dipakai untuk melihat hubungan kontributif dari berbagai variabel independen terhadap variabel dependen, atau melakukan kontrol variabel pengganggu, sehingga hubungan variabel independen hipotesis dapat dilihat secara murni terhadap variabel dependen. Analisis regresi logistik dilakukan untuk melakukan kontrol variabel pengganggu, sehingga pengaruh variabel independen dapat dilihat secara murni terhadap variabel dependen yang bersekala nominal. Disajikan Estimated Odd ratio (OR) dengan konfiden interval 95%.

5. Analisis jalur (path analysis)

` Untuk melihat hubungan langsung antara HOMA-IR, IGF-1, IL-6 dan hsCRP terhadap hiperplasia prostat serta hubungan tidak langsung antara HOMA-IR terhadap hiperplasia prostat melalui peningkatan IGF-1.

6. Tingkat kemaknaan (α) penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas (p) kurang dari 0,05. Uji statistik dengan memakai bantuan perangkat lunak SPSS for Mac versi 21 dan AMOS versi 23.

5. Hasil Penelitian

5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian

Sebanyak 80 sampel laki-laki dilibatkan dalam penelitian ini. 40 sampel sebagai kelompok kasus, dengan hiperplasia prostat dan 40 sampel sebagai kontrol, dengan rerata umur 62 tahun. Setelah dilakukan uji normalitas data dengan uji kolmogorov-smirnov, dan setalah dilakukan transformasi logaritma beberapa variabel dalam penelitian ini memiliki distribusi tidak normal seperti variabel hs-


(29)

19

CRP, IL-6, Insulin puasa, glukosa darah puasa dan 2 jam PP, HOMA-IR, TG, SC, berat badan, BMI dan lingkar pinggang (p<0,05). Data karakteristik dasar penelitian ini disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Karateristik Dasar Subyek Penelitian (Karakteristik Demografi dan Status Nutrisi) dari Kelompok Kasus (Ob-Ab dengan Hiperplasia Prostat) dan Kelompok Kontrol (Ob-Ab tanpa Hiperplasia prostat).

Keterangan: IMT: indeks masa tubuh; Glukosa 2 jam PP: glukosa 2 jam post prandial; GDP: Glukosa darah puasa, HOMA-IR: The Homeostasis Model of Insulin Resistance; IGF-1: Insulin Like Growth Factor; CRP: C-Reactive Protein; IL-6: Interleukin-6.

Data dengan distribusi normal ukuran pemusatan data disajikan dalam bentuk meanSD, sedangkan data yang berdistribusi tidak normal disajikan dalam median (minimum-maksimum). Uji beda rerata (independent t test untuk variabel Karakteristik Dasar

Subyek Penelitian

Kelompok Kasus (n=40) RerataSB atau Median (minimum-maksimum)

Kelompok Kontrol (n=40) RerataSB atau Median (minimum-maksimum)

Nilai-p

Umur (tahun) 61,556,33 61,686,35 0,994

Tinggi badan (cm) 167,933,37 167,503,49 0,330

Berat badan (kg) 92 (65-104) 90 (59-101) 0,538

IMT (kg/m2) 32,76 (21,22-36) 32,08 (20,66-37,5) 0,163

Lingkar pinggang (cm)

104 (90-146) 102 (90-126) 0,375

GDP (mg/dl) 137 (81-289) 98 (79-253) 0,001

Glukosa 2 jam PP (mg/dl)

186 (93-345) 115 (89-447) 0,053

Insulin puasa (IU/ml)

6,45 (2-79,2) 4,45 (1,1-24,7) 0,034

HOMA-IR 1,88 (0,48-56,12) 1,19 (0,27-10,37) 0,002

IGF-1 (ng/mL) 165,4864,62 127,5334,63 0,002

hsCRP (mg/L) 1,45 (0,3-13,5) 1 (0,2-9,2) 0,200


(30)

20

berdistribusi normal, Man-Withney untuk variabel berdistribusi tidak normal) menunjukkan jika beberapa variabel menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kontrol. Glukosa puasa (Z=-3,325, p=0,001), Insulin puasan (Z=-2,15, p=0,034), HOMA-IR (Z=-2,843, p=0,004), dan IGF-1 (t=3,27, p=0,002) lebih tinggi dan bermakna pada kelompok kasus (Ob-Ab dengan hiperplasia prostat) jika dibandingkan kontrol (Ob-Ab tanpa hiperplasia prostat). Di lain pihak hsCRP dan IL-6 tidak berbeda bermakna antar dua kelompok tersebut. Sehingga dari analisis bivariate hanya resistensi insulin dan IGF-1 yang terbukti lebih tinggi dan bermakna pada Ob-Ab dengan hiperplasia prostat jika dibandingkan dengan Ob-Ab tanpa hiperplasia prostat.

5.2 Analisis Bivariate Chi-Square Resistensi Insulin (HOMA-IR), IGF-1, Inflamasi (IL-6, hsCRP) dan Hiperplasia Prostat

Untuk menilai peran resistensi insulin (HOMA-IR), IGF-1 sebagai faktor risiko hiperplasia prostat dilakukan analisis regresi logistik untuk mencari nilai OR. Cut off point berdasarkan studi dan kepustakaan dipakai digunakan untuk membagi variabel numerik tersebut menjadi variabel dikotom. Kadar IGF-1 normal untuk populasi normal, dan untuk usia diatas 40 tahun adalah 150 ng/mL (Bravermen et al., 2013). IGF-1 normal (nilai terendah-150 ng/mL) dan IGF-1 tinggi (>150 ng/mL). Untuk cut off point nilai HOMA-IR, resistensi insulin pada populasi sehat tanpa DM adalah 2,7 (Komshian

et al., 2000). Sehingga nilai HOMA-IR pada penelitian ini dibagi menjadi resistensi insulin (2,7) dan tanpa resistensi insulin (nilai terendah-2,6). Di lain pihak untuk marker inflamasi, nilai CRP dan IL-6 yang dianggap batas atas normal pada populasi dengan risiko mengalami resistensi insulin adalah berturut-turut 1,32 mg/L dan 12,56 pg/mL (Deepa et al., 2006). Namun pada penelitian ini nilai IL-6 semua sampel baik pada kasus ataupun kontrol berada dalam rentang normal (0,15-5,46 pg/mL), sehingga cut-off point yang dipakai adalah dari median dari hasil penelitian ini yaitu 0,875


(31)

21

pg/mL. Hasil analisis bivariate dengan uji chi-square disajikan pada Tabel 5.2 sementara hasil uji regresi logistik yang menggambarkan peran HOMA-IR dan IGF-1 yang tinggi sebagai faktor risiko hiperplasia prostat pada Ob-Ab disajikan pada Tabel 5.3.

Dari hasil uji bivariate chi-square didapatkan hubungan bermakna antara resistensi insulin (HOMA-IR) dan IGF-1 dengan hiperplasia prostat. Apabila ditinjau satu per satu secara bivariate, HOMA-IR dan IGF-1 masing-masing meningkatkan risiko hiperplasia prostat. HOMA-IR meningkatkan risiko hiperplasia prostat dengan OR=1,94 (IK 1,30-2,89) dan bermakna secara statistik dengan nilai p=0,005. IGF-1 meningkatkan risiko hiperplasia prostat dengan OR=2,14 (IK 1,38-3,3), p=0,001.

Dari hasil analisis ini juga didapatkan bahwa variabel inflamasi seperti IL_6 dan hsCRP tidak berhubungan bermakna dengan hiperplasia prostat. hsCRP dengan nilai OR=0,9; nilai p=0,653 sedangkan IL-6 nilai OR=1,1105 dengan nilai p=0,655. Namun terdapat kecenderungan IL-6 menigkatkan hiperplasia prostat, meskipun tidak bermakna secara statistik.

Tabel 5.2 Analisis bivariate (Chi square) HOMA-IR, IGF-1, hsCRP, IL-6 Terhadap Hiperplasia Prostat.

Kasus (Ob-Ab +Hiperplasia Prostat) (n=40) Kontrol (Ob-Ab tanpa Hiperplasia Prostat) (n=40)

OR p IK

HOMA-IR Resistensi Insulin (2,7)

14 (77,8%) 4 (22,2%) 1,94 0,005 1,30-2,89

Non-resistensi insulin (<2,7)

24 (40%) 36 (60%)

IGF-1 (ng/mL)

>150 23 (74,2%) 8 (25,8%) 2,139 0,001 1,38-3,30

150 17 (34,7%) 32 (65,3%) hsCRP

(mg/L)


(32)

22 1,32 23 (52,3%) 21(47,7%) IL-6

(pg/mL)

>0,875 21 (52,5%) 19 (47,5%) 1,105 0,655 0,71-1,71

0,875 19 (47,5%) 21 (52,5%)

5.3 Analisis Multivariate Regresi Logistik HOMA-IR dan IGF-1 terhadap Hiperplasia Prostat pada Ob-Ab.

Pada analisis multivariate, uji regresi logistik dengan metode Backward, ketika peran variabel HOMA-IR, IGF-1 diperhitungkan secara simultan, HOMA-IR (resistensi insulin) dan IGF-1 tetap berperan bermakna meningkatkan risiko hiperplasia prostat.

Tabel 5.3 Analisis Multivariate Regresi Logistik Pengaruh HOMA-IR, IGF-1 Terhadap Hiperplasia Prostat

Ob-Ab dengan Hiperplasia

Prostat Koefisien Regresi (B)

OR (Exp(B))

p IK 95%

HOMA-IR (Resistensi Insulin)

1,43 4,18 0,03

1,15-15,00

IGF-1 (ng/mL)

1,59 4,93 0,002

1,76-13,78

Konstanta -0,89

Seperti yang disajikan pada Tabel 5.3, resistensi insulin/HOMA-IR dan IGF-memiliki pengaruh bermakna terhadap


(33)

23

kejadian hiperplasia prostat pada Ob-Ab dengan OR dan nilai-p berturut-turut OR=4,18; p=0,03; IK 1,15-15,00 dan OR=4,93; IK 1,76-13,78; p=0,002,. Apabila dianalisis lebih lanjut peran resistensi insulin (HOMA-IR) dalam memprediksi dan meningkatkan risiko kejadian hiperplasia prostat pada Ob-Ab maka didapatkan y=-0,89+1,43(HOMA-IR)+1,59(IGF-1). Probabilitas untuk kejadian hiperplasia prostat adalah p=1/(1+e-y), dimana e adalah bilangan natural bernilai 2,7. HOMA-IR bernilai 1 bila kadarnya>2,7, IGF-1 bernilai 1 bila kadarnya >150ng/mL. Semua variabel tersebut bernilai 0 pada persamaan y bila nilainya <nilai cut-off point tersebut. Sehingga apabila didapatkan kadar IGF-1>150ng/mL dan HOMA-IR>2,7 maka probabilitas untuk mengalami hiperplasia prostat adalah 89%.

5.4 Analisis Jalur (Path Analysis) Hubungan HOMA-IR, IGF-1 dan Hiperplasia Prostat

Untuk melihat hubungan kausal efek dari HOMA-IR, IGF-1 terhadap hiperplasia prostat dilakukan analisis jalur (path analysis). Pada analisis ini variabel eksogen adalah HOMA-IR, IGF-1, IL-6 dan hsCRP. Sedangkan variabel endogen adalah hiperplasia prostat. Berdasarkan dari telaah pustaka dan hasil analisis seperti yang didapatkan di atas, maka dibuatkan model dan output analisisnya disajikan pada Gambar 5.1.

Pada tahap dari model struktural didapatkan efek langsung terhadap BPH/LUTS didapatkan sebagai berikut: HOMA-IR terhadap BPH/LUTS adalah 0,31 (31%), IGF-1 terhadap BPH/LUTS adalah 0,03 (3%), IL-6 terhadap BPH/LUTS adalah 0,10 (10%) dan hsCRP terhadap BPH/LUTS adalah 0,05 (5%). Di lain pihak efek langsung HOMA-IR terhadap variabel lain: efek HOMA-IR terhadap IGF-1, IL-6, hsCRP berturut-turut adalah 3,79 (379%), 0,005 (0,5%) dan 0,015 (1,5%). Dari model struktural ini tampak bahwa HOMA-IR memiliki efek paling kuat terhadap IGF-1, sedangkan variabel yang paling kuat pengaruhnya terhadap BPH/LUTS adalah HOMA-IR.


(34)

24

Gambar 5.1 Hasil Analisis Jalur Model Struktural

Hubungan antar konstruk disajikan pada Tabel 5.4 setelah dianalisis dengan AMOS. Besarnya efek masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung dinyatakan dengan critical ratio (CR). Nilai CR didapatkan dari nilai estimasi dibagi dengan


(35)

25

nilai standard error (SE). Semakin tinggi nilai CR maka efeknya semakin signifikan.

Tabel 5.4 Hubungan antara 2 Variabel Konstruk

Variabel Regression Weight Standardiz

e

regression weight

Estimate CR p

HOMA-IR-->IGF-1 3,79 4,61 *** 0,46

HOMA-IR-->IL-6 0,00 0,30 0,76 0,03

HOMA-IR-->hsCRP -0,015 -0,19 0,85 -0,02

HOMA-IR-->Hiperplasia Prostat/LUTS

0,31 3,64 *** 0,37

IGF-1-->Hiperplasia Prostat/LUTS

0,03 3,19 0,001 0,32

IL-6-->Hiperplasia Prostat/LUTS

-0,10 -0,18 0,85 -0,02

hsCRP-->Hiperplasia Prostat/LUTS

-0,05 -0,46 0,64 -0,04

Dari hasil analisis hubungan antara 2 variabel konstruk ada Tabel 5.4, dapat diinterpretasikan: terdapat hubungan bermakna antara HOMA-IR dengan IGF-1 (CR=4,61; p<0,001), HOMA-IR dengan hiperplasia prostat (CR=3,64; p<0,001), IGF-1 dengan hiperplasia prostat (CR=3,19; p=0,001). Di lain pihak tidak


(36)

26

didapatkan hubungan bermakna antara IL-6 dan hsCRP terhadap hiperplasia prostat.

Berdasarkan nilai Standardize regression weight dapat dilihat seberapa kuat hubungan antar variabel konstruk. Faktor loading HOMA-IR dan IGF-1 terhadap hiperplasia prostat berturut-turut 0,37 dan 0,32. Hal ini berarti HOMA-IR dan IGF-1 dapat menjelaskan kejadian BPH, terdapat hubungan erat antara HOMA-IR dan IGF-1 terhadap hiperplasia prostat. Di lain pihak faktor loading HOMA-IR terhadap IGF-1 didapatkan sebesar 0,46. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat antara HOMA-IR dan IGF-1. Pola hubungan antar variabel konstruk, hubungan langsung ataupun tidak langsung disajikan pada Tabel 5.5 dan 5.6.

Tabel 5.5 Pola Hubungan antar Variabel Konstruk Terhadap Hiperplasia Prostat Sebagai Variabel Tergantung.

Efek

HOMA-IR -->Hiperpla sia Prostat/L UTS IGF-1 -->Hiperplasi a Prostat/LU TS IL-6--> Hiperplasia Prostat/LU TS hsCRP--> Hiperplasia Prostat/LU TS

Efek total 0,44 0,03 -0,10 -0,05

Efek langsung

0,31 0,03 -0,1 -0,05

Efek tidak langsung

0,13 0,00 0,00 0,00

Tabel 5.6 Pola Hubungan antar Variabel Konstruk dengan HOMA-IR sebagai Variabel Bebas

Efek

HOMA-IR HOMA-IR HOMA-IR HOMA-IR


(37)

--27

-->IGF-1 -->hsCRP -->IL-6 >Hiperplasia Prostat/LUTS

Efek total 3,79 -0,01 0,00 0,44

Efek langsung

3,79 -0,01 0,00 0,31

Efek tidak langsung

0,00 0,00 0,00 0,13

Dari tabel 5.5 terlihat dengan jelas HOMA-IR memilki efek total dan efek langsung paling kuat terhadap hiperplasia prostat. Sedangkan pada Tabel 5.6 jelas menunjukkan efek total dan efek langsung yang paling kuat adalah efek HOMA-IR terhadap IGF-1, diikuti oleh efek HOMA-IR terhadap hiperplasia prostat. Pada Tabel 5.5 juga terlihat HOMA-IR masih memiliki kontribusi efek tidak langsung terhadap hipeplasia prostat, sedangkan IGF-1 hanya memiliki efek langsung terhadap hiperplasia prostat.

Gambar 5.1 dari analisis struktural model dan Tabel 5.6 terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan erat antara HOMA-IR dengan hiperplasia prostat (CR=3,64; p<0,001, efek total 44%, efek langsung 31% serta efek tidak langsung 13%). Dari analisis ini juga didapatkan hubungan yang signifikan antara HOMA-IR dengan IGF-1 (CR=4,61; p<0,001, efek langsung dan efek langsung yang sama besarnya yaitu 379%). Terdapat juga hubungan langsung yang sangat jelas antara IGF-1 terhadap hiperplasia prostat (CR=3,19; p=0,001, dengan efek langsung 3%).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa HOMA-IR dan IGF-1 memiliki efek yang signifikan terhadap hiperplasia prostat. Dari gambar analisis struktural model yang disajikan pada Gambar 5.1 dan analisis jalur di atas, dapat dilihat hubungan tidak langsung antara HOMA-IR terhadap hiperplasia prostat melalui peningkatan IGF-1.


(38)

28

6. Pembahasan

6.1 Resistensi Insulin dan Hiperplasia Prostat Pada Ob-Ab Penelitian ini mendapatkan jika HOMA-IR lebih tinggi dan bermakna pada kelompok dengan Ob-Ab tanpa hiperplasia prostat dibandingkan dengan tanpa hiperplasia prostat (1,88 vs 1,19, p=0,002). HOMA IR yang tinggi >2,7 atau dalam kondisi resistensi insulin meningkatkan risiko hiperplasia prostat dengan OR=1,94 (IK 1,30-2,89), dan bermakna (p=0,005). Penelitian ini konsisten dengan apa yang didapatkan oleh Zhang et al., melalui studi epidemiologi yang melibatkan 401 sampel laki-laki usia lanjut juga mendapatkan jika laki-laki dengan SM memiliki volume prostat yang lebih besar dan bermakna (p=0,000) jika dibandingkan dengan tanpa SM (Zhang et al., 2014). Sub analisis lebih lanjut pada penelitian ini didapatkan, hubungan positif bermakna antara volume prostat dengan BMI (p=0,000), HOMA-IR (p=0,003) dan berhubungan negatif dengan kadar HDL (p=0,000). Pada analisis multivariate regresi linier volume prostat berhubungan secara signifikan dengan HOMA-IR (p=0,015).

Kim et al., yang meneliti 212 pasien BPH tanpa diabetes mendapatkan hubungan positif bermakna antara kadar glukosa puasa dengan ukuran prostat (r=0,186; p=0,007) (Kim et al., 2011). Studi ini juga meneliti hubungan BMI, kadar insulin puasa dan resistensi insulin terhadap ukuran prostat yang dinilai dari USG transrektal. Namun pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara resistensi insulin (HOMA-IR) dan kadar insulin puasa dan ukuran prostat. Prevalensi SM pada kelompok dengan hiperplasia prostat juga didapatkan lebih tinggi jika dibandingkan tanpa SM (60,3% vs 46,1%, p=0,018) (Ryl et al., 2015). Penelitian ini menggunakan design case control dengan kontrol orang sehat. Lebih lanjut pada penelitian ini juga terbukti hubungan bermakna antara BPH dengan beberapa komponen SM seperti glukosa darah, kolesterol total, LDL, HDL dan tekanan darah sistolik dan diastolik. Namun pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan bermakna antara hiperplasia prostat dengan lingkar pinggang, BB dan konsentrasi TG.


(39)

29

Ozden et al., secara lebih mendetail meneliti hubungan antara SM dengan penambahan ukuran prostat tiap tahun, dengan melibatkan 78 pasien dengan gejala hiperplasia prostat dibagi menjadi kelompok dengan SM dan tanpa SM. (Ozden et al., 2007). Pada kelompok SM dengan hiperplasia prostat nilai median BB, BMI, TG dan glukosa darah yang yang lebih tinggi jika dibandingkan pasien BPH tanpa SM. Pada kelompok SM dengan hiperplasia prostat pada akhir penelitian ditemukan dengan penambahan volume prostat total per tahun sebesar 1 ml sedangkan kelompok BPH tanpa SM hanya 0,93 ml, dengan perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,05). Dari penelitian ini digambarkan peran sentral resistensi insulin pada SM dalam hubungannya dengan hiperplasia prostat.

Konsistensi obesitas sebagai faktor risiko hiperplasia prostat juga dibuktikan pada studi oleh Lee et al., yang meneliti pengaruh Obesitas yang diukur dengan parameter BMI terhadap hiperplasia prostat (Lee et al., 2006). Pada penelitian ini dilibatkan 146 laki-laki usia >40 tahun yang tidak mengalami DM. Pemeriksaan ukuran prostat dengan transrektal USG. Subyek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok yaitu normal (BMI 22,9 kg/m2), overweight (23-24,9 kg/m2) dan obesitas (25 kg/m2) dan 2 kelompok berdasarkan lingkar pinggang (>90 cm) dan (90 cm). Volume prostat didapatkan paling tinggi dan bermakna pada kelompok obesitas (p=0,03) dan pada kelompok obesitas abdominal (p=0,002). Setelah dilakukan adjusted terhadap beberapa confounding variabel, obesitas abdominal menjadi faktor risiko utama kejadian hiperplasia prostat (volume prostat >20mL) (OR=3,37, p=0,037).

Hiperinsulinemia yang diinduksi oleh diet tinggi karbohidrat dan lemak, dapat menyebabkan peningkatan aktivasi sel untuk berproliferasi secara berlebihan. Studi menunjukkan hiperinsulinemia berhubungan dengan peningkatan ukuran prostat sebesar 45% pada percobaan tikus. Hal ini memberikan gambaran bahwa obesitas dengan hiperinsulinemia mempunyai hubungan yang kuat dengan kejadian hiperplasia prostat (Renehan et al., 2008; Allot et al., 2013).


(40)

30

Hiperinsulinemia dan resistensi insulin di lain pihak juga dapat menigkatkan aktivitas sistem saraf simpatis, dengan meningkatkan cytosolic-free calcium pada sel otot polos dan jaringan neural sehingga akan meningkatkan tonus otot polos prostat sehingga meningkatkan gejala LUTS dan hiperplasia prostat (Sarma et al., 2009). Jadi obesitas abdominal dengan HOMA-IR tinggi atau resistensi insulin lebih berisiko mengalami hiperplasia prostat dibandingkan dengan obesitas abdominal dengan HOMA-IR rendah atau tanpa resistensi insulin.

Pada penelitian ini, didukung secara tidak langsung oleh hasil-hasil penelitian lain yang dipaparkan diatas maka Ob-Ab dengan resistensi insulin memiliki risiko lebih tinggi mengalami hiperplasia prostat jika dibandingkan dengan obesitas abdominal tanpa resistensi insulin. Dari sisi hiperplasia prostat, aspek klinis yang dapat disintesis adalah apabila pasien dengan gejala IPSS ≥8, gejala LUTS dengan didapatkannya resistensi insulin meningkatkan risiko hiperplasia prostat maka pada Ob-Ab perbaikan resistensi insulin, usaha menurunkan LP dapat dianjurkan lebih dini sehingga risiko hiperplasia prostat bisa diturunkan.

Resistensi insulin yang mengakibatkan hiperinsulinemia pada Ob-Ab dalam meningkatkan risiko hiperplasia prostat, apabila disintesis dari konsep dan teori yang berkembang dapat berikatan dengan reseptor IGF-1 mengingat insulin memiliki sifat homolog dengan IGF-1, atau melalui jalur tidak langsung melalui penurunan IGF-1BP sehingga akan meningkatkan kadar IGF-1 bebas. Pembuktian mengenai mekanisme lebih lanjut akan dipaparkan pada sub Bab 6.2 dan 6.4.


(41)

31

6.2 Kadar IGF-1 yang Tinggi dan Hiperplasia Prostat Pada Ob-Ab

Pada penelitian ini didapatkan kadar IGF-1 yang lebih tinggi dan bermakna pada kelompok Ob-Ab dengan hiperplasia prostat jika dibandingkan dengan kelompok Ob-Ab tanpa hiperplasia prostat (165,4864,62 vs 127,5334,63, p=0,002). Lebih lanjut

juga didapatkan jika kadar IGF-1 yang tinggi (>150 ng/mL) meningkatkan risiko hiperplasia prostat secara bermakna dengan OR=2,139 (IK=1,34-3,3) dengan nilai p=0,001. Hasil penelitian ini konsisten dengan beberapa penelitian yang mendapatkan jika IGF-1 lebih tinggi pada pasien dengan hiperplasia prostat dan obesitas jika dibandingkan tanpa hiperplasia prostat.

Kadar IGF-1 berhubungan secara bermakna dengan volume prostat pada kasus-kasus hiperplasia prostat (r=0,596, p=0,007), namun tidak didapatkan hubungan bermakna pada kasus kanker prostat (Ayati et al., 2012). Hasil studi ini menggambarkan jika ada suatu mekanisme yang melibatkan IGF-1 dalam meningkatkan proliferasi sel-sel prostat namun tidak menyebabkan proses diferensiasi lebih lanjut. Jalur pensinyalan IGF-1 sangat penting bagi pertumbuhan, diferensiasi sel, sehingga peningkatan ekspresi dan kadar IGF-1 berhubungan dengan peningkatan risiko hiperplasia. Studi pada hewan coba oleh Lefko et al., mendapatkan jika IGF-1 memberikan efek hiperplasia sel pada prostat dengan mekanisme yang cukup spesifik (Lefko et al., 2008). Pada penelitian ini dibuktikan pada mencit transgenik (PB-Des), ekspresi IGF-1 akan meningkatkan lesi hiperplasia pada prostat, namun tidak akan jatuh pada kondisi adenocarcinoma.

Pendekatan populasi yang berbeda dipakai oleh Protopsaltis et al., dalam mengelaborasi pola hubungan sistem IGF dengan hiperplasia prostat, dilakukan penelitian mengenai hubungan ekspresi IGFBP-3 pada jaringan prostat dengan hiperplasia prostat pada populasi pre-diabetes (Protopsaltis et al., 2013). Studi ini melibatkan 49 sampel dengan pre-diabetes (25 orang dengan IGT, 16 dengan IFG-IGT dan 5 sampel dengan IFG saja). Dari analisis regresi linier didapatkan IGFB-3 yang tinggi berhubungan bermakna dengan hiperplasia prostat (p=0,024). Namun tidak


(42)

32

didapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi IGF-1 jaringan dengan hiperplasia prostat. Studi ini tidak dilakukan dengan design kasus kontrol sehingga tidak bisa menggambarkan peningkatan risiko hiperplasia prostat yang diakibatkan oleh peningkatan IGFB-3. Pada penelitian kami, dengan rancangan kasus kontrol mendapatkan jika kadar IGF-1 yang tinggi meningkatkan risiko hiperplasia prostat.

Apabila dikaji dan disintesis lebih mendalam, pada prostat yang sehat, sel stromal memproduksi IGFs, IGFBP-2, IGFBP-3, IGFBP-4, sedangkan sel epitel dominan mengekspresikan IGF-1R, 2 dan 4 serta sebagian kecil 3, and IGFBP-6 (Russel et al., 1998). Pada prostat yang mengalami proliferasi, sel epitel memproduksi cathepsin D dan PSA yang dapat berperan menyerupai protease dalam memecah ikatan antara IGFs dengan IGFBPs sehingga meningkatkan kadar IGFs bebas (Lubik et al., 2011). Ekspresi yang berlebihan dari IGF-1 dapat menstimulasi terjadinya pertumbuhan sel, proliferasi sel dan antiapoptosis melalui mekanisme parakrin maupun autokrin (paracrine or autocrine mechanism) (Dasgupta et al., 2012).

Insulin mensupresi beberapa IGFBPs dan menstimulasi produksi IGFs sehingga meningkatkan bioavailabilitas IGFs. Insulin memiliki struktur yang mirip dengan IGF-1 dan berikatan dengan reseptor IGF-1 sehingga dapat mengaktivasi berbagai jalur pensinyalan yang kompleks yang berhubungan dengan proliferasi sel-sel pada prostat, atau melalui jalur alternatif yang dapat menurunkan 1BP sehingga meningkatkan bioavalibilitas IGF-1 (Sarma et al., 2009).

Ikatan antara IGF-1 atau insulin dengan IGF-1R menginduksi aktivasi jalur tyrosine kinase di dalam sel (Burton et al., 2010). Fosforilasi dari Shc akan mengaktivasi jalur MAPK yang menstimulasi pertumbuhan dan proliferasi sel, sedangkan fosforilasi terhadap IRS akan mengaktivasi jalur PI3K yang menyebabkan terjadinya hambatan proses apoptosis dan proliferasi sel melalui stimulasi terhadap beberapa faktor transkripsi seperti NF-κB (nuclear factor-κB), dan mTOR (mammalian Target Of Rapamycin). Secara molekuler, aktivasi jalur kinase inilah yang


(43)

33

berperan penting mencetuskan terjadinya hiperplasia prostat (Rawlands et al., 2012).

Apabila diuji secara bivariate, pada penelitian ini terbukti jika Ob-Ab dengan kadar IGF-1 yang tinggi (>150 ng/mL) memiliki risiko lebih tinggi mengalami hiperplasia prostat jika dibandingkan dengan Ob-Ab dengan kadar IGF-1 rendah.

6.3 Inflamasi (IL-6 dan hsCRP) dan Hiperplasia Prostat Pada Ob-Ab

Dalam hubungannya dengan inflamasi yang berdasarkan kajian pustaka dianggap sebagai peran sentral dan variabel antara yang menjembatani antara resistensi insulin dengan hiperplasia prostat pada Ob-Ab, pada penelitian ini justru tidak mendapatkan perebedaan bermakna kadar IL-6 dan hsCRP pada kelompok Ob-Ab dengan hiperplasia prostat dibandingkan dengan tanpa hiperplasia prostat. Namun pada penelitian ini didapatkan kecenderungan kadar IL-6 dan hsCRP sebagai marker inflamasi lebih tinggi pada kelompok kasus dibandingkan kontrol berturut turut 1,07 (0,25-5,68) vs 0,71 (0,15-3,62) pg/dL dan 1,45 (0,3-13,5) vs 1,00 (0,2-9,2) mg/L. Hal ini mungkin disebabkan oleh rata-rata baik pada kelompok kasus ataupun kontrol memiliki kadar IL-6 dalam batas normal. Kadar interleukin dan reaktan fase akut ini kadarnya sangat berfluktuasi pada plasma sehingga tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Di lain pihak kondisi yang mungkin berpengaruh adalah beberapa sampel dalam penelitian ini diambil pada kondisi pasien sudah dioperasi, sehingga beban sitokin akan berkurang dengan telah berkurangnya masa prostat yang mengalami hiperplasia.

Studi potong lintang oleh Saadi et al., mendapatkan jika hsCRP dan IL-6 paling tinggi pada kelompok BPH dengan LUTS jika dibandingkan dengan kelompok BPH saja atau dengan orang sehat (Saadi et al., 2012). Penelitian ini melibatkan 56 sampel yang dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok BPH+LUTS, kelompok BPH saja dan orang sehat. Untuk hsCRP, kadar rata-rata pada masing-masing kelompok tersebut didapatkan 10,04±1,58; 5±0,36;


(44)

34

2,8±0,5 mg/L dengan nilai p<0,001. Untuk IL-6 kadar rata-rata pada masing-masing kelompok tersebut berturut-turut 14,56±1,1; 8,82±0,93; 12,6±0,82 dengan nilai p<0,001.

Penelitian lain oleh Hung et al., mendapatkan hubungan bermakna hsCRP dengan LUTS pada pasien BPH, namun tidak didapatkan hubungan bermakna antara hsCRP dengan volume prostat (Hung et al., 2014). Studi ini merupakan studi potong lintang yang cukup besar dengan melibatkan 853 sampel. Didapatkan kadar rata-rata hsCRP pada karakteristik dasar subyek sebesar 3,1±0,43 mg/dL, berhubungan secara bermakna dengan IPSS dengan koefisien korelasi r=0,151, p<0,001.

Apabila kita bandingkan, penelitian kami mendapatkan kadar IL-6 pada kelompok Ob-Ab dengan hiperplasia prostat sangat rendah, bahkan dengan rentang antara 0,25-3,72 mg/dL. Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap hasil yang tidak bermakna IL-6 dan hsCRP meningkatkan risiko BPH pada Ob-Ab meskipun secara konsep dan kajian teori inflamasi memang memegang peranan sentral dalam hubungannya dengan fibrosis dan hiperplasia prostat.

Pada penelitian kami hanya didapatkan kecenderungan IL-6 dan hsCRP lebih tinggi pada kelompok kasus jika dibandingkan kontrol. Kadar IL-6 dan hsCRP pada penelitian kami jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya seperti yang disebutkan di atas.

Beberapa studi epidemiologis menunjukkan lebih dari 25% keganasan berhubungan dengan inflamasi kronis dan sebesar 15% dari kematian pada pasien kanker disebabkan karena inflamasi (Hsing, 2007; Burton et al., 2007). Pelepasan mediator inflamasi yang berlangsung kronis dan berlebihan secara teori dianggap dapat menyebabkan peningkatan inisiasi, promosi dan progresi tumor (Lehrer et al., 2005; Bruton et al., 2007).

Pada obesitas, jaringan adipose berada dalam kondisi inflamasi kronis, yang mempunyai peranan yang penting terhadap timbulnya resistensi insulin, dislipidemia dan diabetes tipe 2, begitu juga penyakit komorbid lain seperti penyakit kardiovaskuler


(45)

35

dan kanker. Inflamasi ini ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), interleukin 6 (IL-6), IL-8, monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), and tumor necrosis factor alpha (TNF�) (Pickup, 2004; Liang et al., 2007).

Mekanisme yang menerangkan bagaimana inflamasi kronis yang diinduksi oleh obesitas dapat meningkatkan hiperplasia prostat meliputi: (i) meningkatnya produksi mediator proinflamasi seperti sitokin, kemokin, reactive oxygen intermediates (ROI), (ii) meningkatnya ekspresi onkogen, COX-2 (cyclooxygenase-2), 5-LOX (5-lipoxygenase), and MMPs (matrix metalloproteinases), (iii) meningkatnya faktor transkripsi pro inflamasi (proinflammatory transcription factors) seperti NF-κB (nuclear factor-κB), STAT3 (signal transducer and activator of transcription 3), AP-1 (activator protein 1) (Braun et al., 2011; Ramos-nino, 2013).

Infiltrasi dari inflamasi kronis sering terjadi di daerah perifer prostat. Inflamasi digambarkan dengan infiltrasi lekosit, pelepasan sitokin dan kemokin termasuk CRP. CRP juga dilepaskan oleh jaringan adipose. CRP adalah protein fase akut yang disekresikan terutama oleh hepar dan merupakan petanda tidak spesifik dari adanya inflamasi, infeksi dan kerusakan jaringan. Mediator inflamasi ini selanjutnya mengaktifasi faktor transkripsi proinflamasi yang lain seperti NF-κB dan inducible nitric oxide synthase (iNOS) (Ramos-nino, 2013). NF-κB merupakan induser yang kuat dari gen yang berhubungan dengan aktifitas anti apoptosis (BCL-XL) dan gen yang mengatur siklus hidup sel (cyclin D1). NF-κB dan iNOS sangat penting peranannya dalam aktifasi imun seluler, mempunyai efek mitogenic dan anti apoptosis. Aktifasi NF-κB dan iNOS oleh sitokin proinflamasi, akan menginduksi inisiasi sel tumor dan progresifitasnya (Lubik, 2011; Dasgupta et al., 2012).

Sitokin proinflamasi juga akan menginduksi lekosit untuk memproduksi reactive oxygen (ROS) and nitrogen species (RNS), yang selanjutnya menginduksi mutasi DNA sehingga mencetuskan terbentuknya tumor (Burton et al., 2007). Infeksi dan pelepasan sitokin proinflamasi akibat inflamasi kronis pada prostat


(46)

36

menyebabkan terbentuknya lesi berupa proliferative inflammatory atrophy (PIA), dimana terjadi fokal atropi jaringan prostat disertai dengan proliferasi jaringan epitel dan infiltrasi sel-sel radang (Burton et al., 2010; Gleave et al., 2010; Patel et al., 2013).

Pada penelitian ini tidak terbukti Ob-Ab dengan kadar CRP dan IL-6 yang tinggi lebih berisiko mengalami hiperplasia prostat jika dibandingkan dengan Ob-Ab tanpa hiperplasia prostat.

6.4 Resistensi Insulin Meningkatkan Risiko Hiperplasia Prostat Melalui Peningkatan IGF-1 Pada Ob-Ab

Pada penelitian ini didapatkan jika HOMA-IR dan Kadar IGF-1 yang tinggi sama-sama berperan meningkatkan risiko hiperplasia prostat pada obesitas abdominal. Dari analisis multivariate regresi logistik, dimana peran resistensi insulin yang dinilai dari HOMA-IR dan IGF-1 yang tinggi pengaruhnya diperhitungkan secara bersama-sama didapatkan HOMA-IR yang tinggi meningkatkan risiko hiperplasia prostat dengan OR=4,18 (IK: 1,15-15,00), p=0,03; IGF-1 yang tinggi meningkatkan risiko hiperplasia prostat dengan OR=4,93 (IK: 1,76-13,28), p=0,002. Apabila dianalisis lebih lanjut peran resistensi insulin (HOMA-IR) dalam memprediksi dan meningkatkan risiko kejadian hiperplasia prostat pada Ob-Ab maka didapatkan y=-0,89+1,43(HOMA-IR)+1,59(IGF-1). Probabilitas untuk kejadian hiperplasia prostat adalah p=1/(1+e-y), dimana e adalah bilangan natural bernilai 2,7. HOMA-IR bernilai 1 bila kadarnya>2,7, IGF-1 bernilai 1 bila kadarnya >150ng/mL. Semua variabel tersebut bernilai 0 pada persamaan y bila nilainya <nilai cut-off point tersebut. Sehingga apabila didapatkan kadar IGF-1>150ng/mL dan HOMA-IR>2,7 maka probabilitas untuk mengalami hiperplasia prostat adalah 89%.

Dari hasil penelitian ini terbukti resistensi insulin yang dinilai dari HOMA-IR dan kadar IGF-1 yang tinggi bersama-sama berperan sebagai faktor risiko hiperplasia prostat pada obesitas abdominal. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa hipotesis beberapa terori yang berhubungan, yang kami coba analisis dan


(47)

37

sintesis mengingat belum ada penelitian yang meneliti mengenai resistensi insulin dan IGF-1 dalam meningkatkan risiko hiperplasia prostat pada Ob-Ab. Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan obesitas, resistensi insulin, IGF-1 sudah dipaparkan pada Sub Bab 6.1, 6.2, dan 6.3.

Peran sentral Ob-Ab dalam menimbulkan resistensi insulin akan meningkatkan kadar insulin yang berhubungan dengan efek mitogenik dan growth promoting effect secara sigifikan. Insulin sendiri diketahui mampu berperan sebagai growth factor yang meningkatkan risiko pembesaran prostat yang secara garis besar melalui aktivasi sistem IGF, sehingga meningkatkan produksi dan bioavalibilitas IGF-1 (Giovannuci, 2003).

Ob-Ab berhubungan dengan peningkatan respon IGF-1 terhadap GH dan peningkatan protein pengikat GH (Gleeson et al., 2005). Peningkatan ekspresi reseptor GH dapat menjelaskan penurunan supresi terhadap kadar IGF-1. Kadar IGF-1 sebanding dengan akumulasi lemak abdomen pada Ob-Ab (Lukanova et al., 2003). Suatu teori yang masih dalam batasan hipotesis menjelaskan jika peningkatan kadar insulin sebagai akibat resistensi insulin akan menurunkan IGFBP-1 sehingga akan meningkatkan bioavailibilitas IGF-1 bebas dalam darah. Sehingga kadar IGFBP-1 dapat disimpulkan berhubungan terbalik dengan kadar insulin dan jumlah lemak intraabdomen.

Pana penelitian kami, dari analisis jalur (Path Analysis) ditemukan pola hubungan yang menggambarkan kerangka patofisiologi resistensi insulin (HOMA-IR), IGF-1 terhadap hiperplasia prostat. Terdapat hubungan yang signifikan dan erat antara HOMA-IR dengan hiperplasia prostat (CR=3,64; p<0,001, efek total 44%, efek langsung 31% serta efek tidak langsung 13%). Dari analisis ini juga didapatkan hubungan yang signifikan antara HOMA-IR dengan IGF-1 (CR=4,61; p<0,001, efek langsung dan efek langsung yang sama besarnya yaitu 379%). Terdapat juga hubungan langsung yang sangat jelas antara IGF-1 terhadap hiperplasia prostat (CR=3,19; p=0,001, dengan efek langsung 3%).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa HOMA-IR dan IGF-1 memiliki efek yang signifikan terhadap hiperplasia prostat dan


(48)

38

hubungan tidak langsung antara HOMA-IR terhadap hiperplasia prostat melalui peningkatan IGF-1.

Hasil penelitian ini konsisten dengan apa yang didapatkan oleh Nam et al., pada studi ini ditemukan jika kadar insulin puasa pada sampel dengan obesitas lebih tinggi bermakna jika dibandingkan dengan yang tanpa obesitas (Nam et al., 1997). Pada subanalisis didapatkan hubungan postif bermakna antara IGF-1 bebas dengan insulin puasa (r=0,058, p=0,001).

Gambar 6.1 Kerangka Hubungan Resistensi Insulin dan IGF-1 (Lewitt et al., 2014).

Insulin dan IGF bekerja melalui dua cara yaitu bekerja ditingkat sel sebagai growth factor dan sebagai hormon yang mengatur pertumbuhan dan metabolisme energi. IGF mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan seluler, mengatur pertumbuhan dan perkembangan sel, mengaktifasi proliferasi, diferensiasi dan transformasi sel, serta menghambat apoptosis (Baserga et al., 2003; Renehan et l., 2006; McKee et al., 2009;


(49)

39

Lima et al., 2010). Secara struktur IGF-1R mirip dengan resptor insulin, terdapat 50% homolog antara 2 reseptor tersebut. Kondisi ini memungkinkan ikatan silang antara IGF-1 dan Insulin pada reseptor tersebut, sehingga selain peran metabolik dari insulin, teori ini memungkinkan insulin dapat memberikan efek antiapoptosis dan efek proliperatif (Giovanna et al., 2009).

Insulin mensupresi beberapa IGFBPs dan menstimulasi produksi IGFs sehingga meningkatkan bioavailabilitas IGFs. Insulin memiliki struktur yang mirip dengan IGF-1 dan berikatan dengan reseptor IGF-1 sehingga dapat mengaktivasi berbagai jalur pensinyalan yang kompleks yang berhubungan dengan proliferasi sel-sel pada prostat, atau melalui jalur alternatif yang dapat menurunkan 1BP sehingga meningkatkan bioavalibilitas IGF-1 (Sarma et al., 2009).

6.5 Temuan Baru

Dari penelitian yang telah kami lakukan, maka dapat diuraikan kebaruan dari penelitian ini adalah:

1. Resistensi insulin mempunyai peranan pada patogenesis hiperplasia prostat pada Ob-Ab.

2. Peran resistensi insulin dalam patogenesis hiperplasia prostat pada Ob-Ab mungkin diperantarai oleh peningkatan IGF-1.

7. Simpulan Dan Saran 7.1 Simpulan

Dari hasil-hasil yang ditemukan dari penelitian ini dan pembahasannya diajukan simpulan sebagai berikut:

1. Obesitas dengan HOMA-IR tinggi lebih berisiko terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan HOMA-IR rendah. 2. Obesitas abdominal dengan kadar IGF-1 tinggi lebih berisiko

terkena hiperplasia prostat dibandingkan dengan kadar IGF-1 rendah.


(50)

40

3. Resistensi Insulin yang diukur dari nilai HOMA-IR meningkatkan risiko hiperplasia prostat melalui peningkatan IGF-1 pada obesitas abdominal.

4. IL-6 dan hsCRP tidak terbukti berperan sebagai faktor risiko hiperplasia prostat.

7.2 Saran

Dari hasil-hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Resistensi insulin yang dinilai dari indeks HOMA-IR dan kadar IGF-1 dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang dapat dipakai untuk memperkirakan risiko terjadinya hiperplasia prostat pada obesitas abdominal. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang meneliti ekspresi IGF-1

2. di jaringan prostat dan reseptor IGF-1 untuk menguji lebih lanjut konsistensi hubungan dan peran sistem IGF dalam patofisiologihiperplasia prostat pada obesitas abdominal.


(51)

41

SUMMARY

INSULINE RESISTANCE WAS INCREACED RISK FACTOR FOR PROSTAT HYPERPLASIA VIA INSULIN LIKE GROWTH FACTOR-1 IN ABDOMINAL OBESITY

Pandemic of obesity, especially abdominal obesity (Ab-Ob), recently become serious threat to human being in the world. Ab-Ob is often acquired with other symptoms and risk factors that considered as cardiovascular disease (CVD) risk factors which is known as metabolic syndrome (MS) (Carr et al., 2004; IDF, 2013). MS was a risk factors constellation consist of insulin resistance, Ab-Ob, hypertension, glucose tolerance impairment (prediabetes), and dyslipidemia that considered as an initial phase on the natural history of diabetes mellitus (DM) and CVD (Leahy, 2005; Grundy et al., 2008; Gorbanchyski et al., 2010). On the natural history of MS as a risk factor of metabolic disorder and CVD, Ab-Ob occupied the very basic role (Carr et al., 2004; Grundy et al., 2008).

Since 1980, obesity pandemic became a fact that have serious attention from WHO. On 2008, the newest data from WHO showed that more than 1,4 billion world population have an overweight condition, 200 million male and 300 million female with obesity (WHO, 2014). More than 10% world population was in obesity condition. In United State, 30% adult population was in overweight condition (BMI 25-29,9 kg/m2) and 32% with obesity (BMI 30 kg/m2) (Ogden et al., 2006). On the age more than 60 years old, the prevalence even reached 40%. In Asia, prevalence of MS was obtained highest in India due to high prevalence of Ab-Ob, reaching 1.091 population with 8% prevalence on male and 18% on female (Johnson, 2013).

Prevalence of DM is also keep increasing from year to year along with increase prevalence of MS and obesity, especially Ab-Ob. In 2012, International Diabetes Federation (IDF) was approximating 371 million world people (8,3%) suffer from DM


(52)

42

(IDF, 2012). From that number, half was becoming undiagnosed cases. Indonesia occupied the 7th rank of 10 countries with the largest number of DM in the world (IDF, 2012). The number of DM patient was estimated 7,3 million population on 2011 (IDF, 2011). On 2012, the number of DM patient increased to 7,6 million (IDF, 2012). This number is predicted increasing continuously until reach 11,8 million population on 2030. At that time, Indonesia is predicted on the 9th rank countries with the largest number of DM patient in the world. The result of RISKESDAS from Health Minister on 2007 show prevalence of DM in Indonesia reaching 5,7% (Depkes, 2007).

Complication of MS and DM is started early before diagnosis enforced. About 50% patient on the time of diagnosis is already having chronic complication, 21% among them have retinopathy, 18% with abnormal ECG, and 14% with leg blood flow disturbance, and the rest is associated with gastrointestinal malignancy and urologic malignancy, especially male (IDF 2012; WHO 2014). That DM complication reduce the patient productivity and life expectancy until 15 years. Four point eight million people in the world died because of DM due to MS on 2012. Mortality rate of diabetes in Indonesia is quite high, about 155.465 Indonesian population died because of DM (IDF, 2012).

Beside as a risk factor constellation that cause DM and CVD, MS or each components, especially Ab-Ob and insulin resistance, from some epidemiological study, is correlated with some degenerative disease, such as prostate hyperplasia (Gorbanchyski et al., 2010; WHO, 2014). On male, prostate hyperplasia is one of three most obtained degenerative disease along with increase of age (other than hypogonad and erection dysfunction) that related to low grade chronic inflammation. Fifteen percent male population aged 40 years old were found with prostate disorder and prostatitis, 20-40% with Benign Prostate Hyperplasia (BPH). On 2007, there were 218.890 new cases of BPH in United State with mortality rate reaching 27.050 and the incidence increase continuously reaching 230.000 new cases on 2010 (Braun et al., 2011).


(53)

43

Insulin resistance is defined as resistance to insulin metabolic effect that will cause tissue insensitivity to insulin (Hawkins & Rossetti, 2005). Insulin metabolic effect include inhibition of endogen glucose production, stimulation effect on glucose uptake and tissue glycogen synthesis, and inhibit fat dispersion on adipose tissue (Ghani, 2006). Without any defect on beta cell pancreas function, individu will compensate insulin resistance with increased number of insulin secretion (hyperinsulinemia) (Masharani et al., 2004).

Ab-Ob is related to insulin resistance as the cause of hyperinsulinemia (Carr & Brunzell, 2004). Ab-Ob is also related to low grade chronic systemic inflammation due to increase proinflammation cytokin such as CRP and protrombotik state along with increased level of plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) and oxidative stress (Kahn et al., 2005).

Pathogenesis model of this insulin resistance is integrated between genetic, obesity, and environmental factor (Masharani et al., 2004; Hawkins & Rossetti, 2005; Kahn et al., 2005). Genetic mutation affect the insulin action and insulin secretion defect. Insulin resistance on obesity is related to sirculation factors that result from adipocyte such as TNF-α (Tumor Necrotizing Faktor alfa), FFA (Free Fatty Acid), and leptin. However, the most dominat is FFA (Evans et al., 2002). Intraabdominal adipose tissue on abdominal obesity will release excess FFA that can induce insulin resistance because it will compate with glucose as an energy source to be oxidized in periferal tissue. In molecular, FFA can activate protein kinase C (PKC), nuclear factor kappa Beta (NF-қB), mitogen activated protein kinase (p38MAPK), NH2 -termial jun kinase/Stress activated protein kinase (JNK/SAPK), that increase serine/threonine phosphorylation on IR or the substrate as a cause of decrease receptor sensitivity to insulin so that become compensated with hyperinsulinemia condition. This signaling pathways is also have a rule in increasing production of reactive oxygen species (ROS) which is in the end will placed MS patient, which already have DM, into oxidative stress and


(54)

44

proinflammation condition, especially low grade chronic inflammation (Evans et al., 2002; Opie, 2007; Grundy, 2008).

Low grade chronic inflammation on MS is happen due to increase macrophage infiltration to adipose tissue which is marked with increase proinflammation cytokine such as TNF-, IL-6, and CRP, have a role in insulin resistance pathogenesis and also considered have a role in prostate hyperplasia incidence (Hsing et al., 2007). Inflammation on MS which is related to increase prostate hyperplasia incidence is hypothezised through: (1) increase proinflammatory mediator such as cytokin and ROS; (2) increase oncogen ekspression such as COX-2 and MMP; (3) increase proinflammation gene transcription factor such as NF-kB, STAT3 dan HIF- (Bruton et al., 2010; Ramos, 2013). If chronic inflammation process, ROS, process series that have been mentioned above about prostate as target organ can cause focal atrophy of prostate tissue which is accompanied by epitel tissue proliferation and inflammatory cells infiltration named as PIA (prolifereative inflammatory atrophy). PIA will transform become high grade prostate hyperplasia (PIN) (Lehrer 2005; Patel et al., 2013). Tissue damage and chronic healing process series as repeated compensation of healing cell damage also will accelerate BPH nodul occurance (Briganti et al., 2009; Nunzio et al., 2011).

Secondary hyperinsulinemia condition consequence of insulin resistence in MS also related prostate hypertrophy and clinical manifestation of Lower urinary tract symptoms (LUTS). Hyperinsulinemia related to increase of sympathetic nerve activity and will increase prostate sympathetic tone so that can worsened LUTS symptom that related to prostate hyperplasia. Hyperglycaemia alone will increase cytosolic-free calcium in smooth muscle cells and neuronal tissue will increase sympathetic nerve activation.


(1)

81

Ramos-nino, M.E. 2013. The Role of Chronic Inflammation in Obesity-Associated Cancers. ISRN Oncology, 1-26.

Renehan, A.G., Frystyk, J., Flyvbjerg, A. 2006. Obesity And Cancer Risk: The Role Of The Insulin–IGF Axis. Trends In Endocrinology And Metabolism, 17(8):328-336.

Russell, P.J, Bennett, S., Stricker, P. 1999. Growth Factor Involvement In Progression Of Prostate Cancer. Clinical Chemistry, 44(4):705–23.

Ryl A., Rotter, I., Slojewski, M., Jedrzychowska, A., Marcinowska, Z., Grabowska, M., Maria, L. 2015. Can Metabolic Disorders in Aging Men Contribute to Prostatic Hyperplasia Eligible for Transurethral Resection of The Prostate (TURP). Int. J. Environ. Res. Public Health, 12:3327-3342.

Sarma, A.V., Parsons, J.K., McVary, K., Wei, J.K. Diabetes and Benign Prostatic Hyperplasia/Lower Urinary Tract Symptoms-What We Do Know?. J Urol. 182:32-37. Singh, B & Saxena, A. 2010. Surrogate Markers of Insulin

Resistance: A Review. World J Diabetes, 1(2):36-47. Tae Kim, W., Yun, S.J., Choi, Y.D., Kim, G.Y., Moon, S.W.,

Choi, Y.H., Kim, I.Y., Kim, W.J. 2011. Prostate Size Correlate with Fasting Blood Glucose in Non-Diabetic Benign Prostatic Hyperplasia Patients with Normal Testoterone Levels. J Korean Med Sci. 26:1214-1218. Travis R, Harman SM, Metter EJ, Blackman MR. 2000. Serum

level of Insuline-like Growth Factor I (IGF-1), IGF-II, IGFBP-3, and Prostate-specific Antigen as Predictor of Clinical Prostate Cancer. The Journal of Endocrinology and Metabolism, 85:4258-65.


(2)

82

WHO. 2014. Obesity and Overweight Fact Sheet. Geneva: WHO Media Centre. Zhang, X., Zeng, X., Liu., Dong, L., Zhao, X., Qu, X. 2014. Impact of Metabolic Syndrome on Benign Prostatic Hyperplasia in Elderly Chinese Men. Urol Int. 93:214-219.


(3)

83 Dr. Wira Gotera, SpPD-KEMD

Data Pribadi

Nama : dr. Wira Gotera, SpPD-KEMD

Tempat/tanggal lahir : Tabanan – Bali/20 Oktober 1963

Agama : Hindu

Alamat rumah : Jl. Badak Agung XIII/6 Renon, Denpasar Bali

No. telepon / Fax : (0361) 7454854

Handphone : 08155736480

Email : wiragotera@yahoo.com

Pangkat/Gol : IV/b

Jabatan : Pembina Tk 1

OrangTua

Ibu Kandung : Ni Made Somawati

Ayah Kandung : Ketut Meregeg

Istri : Ni Kadek Yuliati

Anak

Anak Pertama : Galang Kangin Gotera

Anak Kedua : Sukma Bening Gotera


(4)

84 Riwayat Pendidikan (mulai dari dokter umum)

Lama Pendidikan (tgl,bln,thn s/d tgl,bln,thn)

Tempat

1. Dokter umum

2. Dokter Spesialis

Penyakit Dalam

3. Dokter Spesialis

Konsultan

Agustus 1982 s/d Juni 1988 Mei 1991 s/d Desember 1996

31 November s/d 29 Desember 2000

1 Agustus 2003 s/d 24 April 2003

FK-UI Jakarta FK-UI Jakarta Metabolic & Endocrine Unit, Royal Adelaide Hospital Australia Metabolic & Endocrine Unit, Royal Adelaide Hospital Australia Riwayat Pekerjaan Tahun (xxxx s/d xxxx)

Nama Instansi Jabatan

1989-1991 1997-1998

1998-sekarang

2000-sekarang

2000 - 2004

Puskesmas kec. Ermera, Timor Timur

RSUD Kuala Kapuas,

Kalimantan Tengah

Divisi Endokrin dan Metabolik Penyakit Dalam FK-Unud-RSUP Sanglah, Denpasar

PEDI Cabang Bali

(perkumpulan edukator

diabetes Indonesia)

Penulis Kolom Hidup Sehat Di Koran Bali Post (Denpasar) Koordinator Coass

Kepala Puskesmas Kepala Unit/SMF Penyakit Dalam

Ketua Komite Medik Staf

Ketua


(5)

85

2000-2003 2003-sekarang

Instruktur Tetap, Tim

Perioperatif, Koleqium Bedah dan Anestesi Tingkat Nasional

(Hiperglikemia pada stress

metabolik dan tiroktosikosis pada pembedahan)

Pembicara dan instruktur tiap 6 bulan

Kursus / Lokakarya / Pelatihan (dalam negeri dan luar negeri) 1. Basic Endocrinology (Malang)

2. Lipid and Calsium Metabolism (Malang) 3. Diabetes in primary health care (Jakarta)

Presentasi Makalah Penelitian

- Forum Nasional

Judul Makalah Forum Ilmiah Tempat & Tanggal Presentasi

Studi Epidemiologi Obesitas sentral dan sindrom Metabolik pada Penduduk Pedesaan dan Perkotaan di Bali

Persadia (Kongres)

Jakarta 2005

- Forum Internasional

Judul Makalah Forum Ilmiah Tempat & Tanggal Presentasi

Waist circumreference to Hip ratio as predictor to insulin resistance syndrome among type 2 diabetes melitus patients

Correlation between Central Obesity and Adiponectin in Geriatric

AFES 2001

AFES 2005

Nusa Dua – Denpasar Bali


(6)

86

Coronary Heart Disease Patients 2005 Daftar Karya Ilmiah / Hasi Penelitian Yang Dipublikasikan

1. Sebagai Penulis Utama

- Forum Nasional

Judul Karya Ilmiah Majalah / Buku Tanggal Publikasi Studi epidimiologi Obesitas dan

dislipidemia di Kota Denpasar Profile Hypoglikemia di Unit Gawat Darurat RSUP Sanglah Profile KAD di Unit Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar

Laboratorium vs Glucometer Addison.s disease,laporan kasus

Majalah Penyakit Dalam

Majalah Dexamedika Jakarta

Majalah Penyakit Dalam

Majalah Penyakit Dalam

Majalah Penyakit Dalam

KEANGGOTAAN

Keanggotaan Tahun

Anggota IDI Anggota PAPDI Anggota Perkeni Ketua Persadia

1989-sekarang 1997-sekarang 1998-sekarang 2002-sekarang