PENGARUH PENERAPAN METODE PROBING-PROMPTING PADA PEMBELAJARAN IPA SMP KELAS VII TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA.

(1)

PENGARUH PENERAPAN METODE PROBING-PROMPTING PADA PEMBELAJARAN IPA SMP KELAS VII TERHADAP

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA Oleh

Taufik Nur Rahmadi 12312241014

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas yang menggunakan metode probing prompting dengan kelas yang menggunakan metode direct instruction pada pembelajaran IPA dan mengetahui pengaruh metode pembelajaran probing prompting terhadap kemampuan berpikir kritis siswa siswa kelas VII SMP Negeri 4 Wonosari semester genap tahun pelajaran 2015/2016.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif, (2) jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu, (3) desain penelitian yang digunakan adalah pretest-posttest control group design, (4) teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 53 siswa yang berasal dari kelas VII B dan VII C dan data sekunder yang berasal dari hasil observasi dan dokumentasi, (5) instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa pedoman observasi dan instrumen posttest, (6) teknik analisis yang digunakan adalah uji-t dan (7) prosedur dalam penelitian ini melalui tahap persiapan penelitian mulai mengajukan judul sampai penyampaian surat izin penelitian ke lokasi penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian mulai dari penyiapan instrumen penelitian, pelaksanaan pembelajaran di kelas kontrol dan kelas eksperimen, pemberian posttest, pengumpulan data, analisis data, interpretasi data hingga penarikan kesimpulan.

Setelah peneliti melakukan penelitian dan memperoleh data, selanjutnya peneliti menganalisis data dengan menggunakan uji-t dapat diketahui bahwa ada perbedaan hasil belajar berpikir kritis antara siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran probing prompting dengan metode pembelajaran direct instruction dengan nilai (thitung = 3,018 > ttabel = 2,007) pada taraf signifikansi 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode pembelajaran probing prompting terhadap kemampuan berpikir kritis siswa SMP N 4 Wonosari semester genap tahun pelajaran 2015/2016. Adapun besar pengaruh besarnya pengaruh dari penerapan metode pembelajaran probing prompting terhadap kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP Negeri 4 Wonosari semester genap tahun pelajaran 2015/2016 adalah 62,61% dari pengambilan data menggunakan instrumen tes kemampuan berpikir kritis dan 69,72% menggunakan lembar observasi kemampuan berpikir kritis.


(2)

EFFECT OF PROBING-PROMPTING METHOD APPLICATION IN SCIENCES LEARNING OF SEVENTH GRADE SMP AGAINST

CRITICAL THINKING SKILL OF STUDENTS By

Taufik Nur Rahmadi 12312241014

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine how much differences between critical thinking skill of the class which used probing prompting method to the class which used direct instruction method and determine how much influence the learning method of probing prompting against critical thinking skill of class VII students of SMP N 4 Wonosari second semester of lessons 2015/2016.

The method used in this study are: (1) the approach used in this study was quantitative research, (2) type of study was a quasi-experiment, (3) the research design used was pretest-posttest control group design, (4) the sampling technique used was cluster random sampling with total sample of 53 sudents derived from class VII B and VII C and secondary data derived from the observation and documentation, (5) the instrument used in this study in the form of guidelines observation and posttest instruments, (6) data analysis technique used is the t-test and, (7) procedures in this preparation stage of this research study began asking title to permit the submission of research into the implementation phase of the study site and research ranging from preparation of research instruments, implementation of classroom control and experimental class, administration posttest, data collection, data analyses, data interpretation until the conclusion.

After researchers conducted a study and obtain the data, the researches further analyzed the data by using t-test can be seen that there are differences in learning outcomes of critical thinking between students who are taught using probing prompting learning method with direct instruction learning method with the value (of t = 3,018 > ttable = 2,007) at the 5% significance level. It can be concluded that there is a probing prompting method influence on critical thinking skill in class VII sudents of SMP N 4 Wonosari second semester of lessons 2015/2016. The major effect of probing prompting learning method against critical thinking skill of class VII students of SMP N 4 Wonosari second semester of lessons 2015/2016 are 62,61% from data collecting of critical thinking test and 69,72% from data collecting of critical thinking skill’s guidelines observation.

.


(3)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan

Pembelajaran IPA berdasarkan National Education Standart (Asri Widowati, 2010: 101) idealnya dilakukan oleh siswa bukan dilakukan terhadap siswa, sehingga dalam pembelajaran IPA siswa dituntut untuk aktif baik dalam kegiatan fisik maupun mental. Kegiatan pembelajaran IPA memungkinkan siswa untuk mencapai tiga ranah pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pembelajaran IPA tidak lepas dari kegiatan di sekolah sebagai bentuk interaksi antara guru dan siswa dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran akan berhasil jika terjadi perubahan sikap, kemandirian, intelektual, dan kreatifitas siswa. Pembelajaran IPA yang dilakukan harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, disusun dalam indikator pembelajaran. Secara umum, indikator pembelajaran dalam IPA tercantum pada hakikat IPA yakni sebuah kumpulan pengetahuan (a body of knowledge), cara atau jalan berpikir (a way of thinking), dan cara untuk penyelidikan (a way of investigating) dengan satu tambahan lagi yakni penerapan sains atau teknologi (an application of science). Ketercapaian tujuan pembelajaran tersebut dicapai dengan memperhatikan metode, media, materi atau bahan, dan evaluasi pembelajaran.


(4)

2

Metode pembelajaran ditentukan dengan mempertimbangkan karakteristik siswa, karakteristik materi, dan lingkungan belajarnya. Penggunaan metode pembelajaran yang tepat menciptakan sebuah kondisi pembelajaran yang baik. Kondisi pembelajaran baik dapat memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Sebaliknya, jika guru memilih metode pembelajaran yang kurang bahkan tidak tepat maka pembelajaran tidak akan berjalan baik. Beberapa dampak lain dari ketidaktepatan penggunaan metode pembelajaran adalah kondisi kelas yang kurang kondusif. Situasi kelas yang kurang kondusif ini dapat berupa kebosanan siswa selama proses pembelajaran sehingga siswa kurang antusias terhadap materi yang dipelajarinya. Hal tersebut berdampak pada pemahaman dan hasil belajar siswa yang rendah. Materi-materi pembelajaran IPA sebaiknya dikemas secara menarik dalam suatu pembelajaran untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Powler (Usman Samatowa, 2006: 2) mengemukakan bahwa karakteristik materi IPA adalah mengungkap misteri (gejala-gejala) alam yang disusun secara sistematis didasarkan hasil percobaan dan pengamatan agar diperoleh suatu pengetahuan. Pengetahuan tersebut berupa pengetahuan deskriptif (mengkaji dan memahami teori), pengetahuan deklaratif (memanggil pengetahuan sebelumnya dan membuktikan), dan pengetahuan prosedural (bagaimana ketrampilan seseorang dalam menjalankan langkah-langkah suatu proses). Pemahaman siswa terhadap pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat membantu siswa dalam memecahkan suatu masalah yang baru dalam kehidupan sehari-hari.


(5)

3

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di SMP N 4 Wonosari, salah satu permasalahan yang ditemui adalah siswa kesulitan memahami materi yang ditunjukkan dengan banyaknya siswa yang belum dapat mengerjakan soal yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Hasil observasi juga didukung wawancara dengan guru yang menyatakan bahwa hanya siswa pintar saja yang terlihat dapat mengerjakan atau menjelaskan persoalan dari materi yang dibelajarkan. Beberapa siswa yang tidak dapat menjawab, akhirnya dibantu guru untuk menyelesaikannya. Interaksi siswa dalam menanggapi guru atau siswa lain terhadap materi IPA juga kurang yang ditunjukkan dengan beberapa siswa yang kurang aktif dalam bertanya dan menanggapi persoalan. Beberapa siswa kurang percaya diri akan jawabannya yang ditunjukkan dengan keraguan siswa saat ditanya oleh guru maupun saat menjelaskan hasil pekerjaannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, peneliti menemukan kasus lain yakni pembelajaran IPA belum dilaksanakan secara terpadu untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu. Hal ini dikarenakan materi IPA kelas VII di SMP N 4 Wonosari masih dibelajarkan secara terpisah sehingga kurang mengarahkan siswa belajar bermakna yang menekankan pada proses dan nilai.

Berdasarkan permasalahan di atas secara tidak langsung berdampak pada kemampuan berpikir kritis (critical thinking skill) siswa yang masih kurang. Berpikir kritis merupakan bagian dari ranah kognitif yang memicu siswa untuk menganalisis, memberikan penjelasan/alasan, menilai, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Kemampuan berpikir kritis siswa pada umumnya


(6)

4

diajarkan di sekolah melalui cara-cara langsung dan sistematis sehingga siswa mampu bersikap rasional dan mampu memilih alternatif pilihan yang terbaik bagi dirinya. Metode pembelajaran yang digunakan di SMP N 4 Wonosari kelas VII belum menekankan pada peran aktif siswa secara menyeluruh. Pemilihan metode pembelajaran sebenarnya sudah disesuaikan dengan sifat materi, waktu, maupun lingkungan. Guru lebih banyak menerapkan metode pembelajaran Direct Instruction (DI) untuk mengoptimalkan pembelajaran di kelas melalui ceramah dan diskusi. Metode ini dipilih guru untuk membantu siswa dalam memahami materi IPA dan mengarahkan siswa untuk berpikir kritis. Selama proses pembelajaran menggunakan metode Direct Instruction, beberapa siswa masih pasif dalam pembelajaran, siswa memperhatikan guru menjelaskan materi namun hanya sedikit siswa yang bertanya dan menanggapi. Kemampuan berpikir kritis perlu dilatihkan kepada siswa karena akan berguna dalam penerapan di segala aspek kehidupan siswa nantinya. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah metode probing prompting.

Metode probing prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan beberapa pertanyaan yang bersifat menuntun dan menggali sehingga menimbulkan kemampuan berpikir yang mengaitkan pengetahuan siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Pertanyaan yang diberikan kepada siswa sifatnya menyebar dan acak artinya seluruh siswa dalam kelas tidak bisa mengelak dari pertanyaan serta diharuskan berperan aktif dalam pembelajaran. Metode pembelajaran probing prompting


(7)

5

merupakan metode kasus yang memancing peran aktif siswa untuk menggali permasalahan lebih mendalam. Penyampaian materi IPA yang cocok dengan metode ini adalah yang memancing siswa untuk berpikir dan menanggapi. Beberapa materi IPA yang cocok dengan pembelajaran menggunakan metode ini seperti ciri-ciri makhluk hidup, pencemaran lingkungan, listrik, zat adiktif, dan zat aditif. Materi IPA yang berbasis pemecahan masalah sangat tepat untuk diterapkan pada metode probing prompting.

Tujuan akhir dari kegiatan pembelajaran adalah hasil belajar. Dimyati dan Mudjiono (2009: 3) mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, proses pembelajaran diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penerapan metode probing prompting pada pembelajaran IPA SMP kelas VII terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.


(8)

6 B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Pembelajaran IPA belum dilaksanakan secara terpadu.

2. Metode pembelajaran yang digunakan guru kurang memacu peran aktif siswa dalam berpikir kritis.

3. Beberapa siswa masih pasif dalam pembelajaran, siswa memperhatikan guru menjelaskan materi namun hanya sedikit siswa yang bertanya dan menanggapi.

4. Siswa jenuh dan acuh selama proses pembelajaran. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa siswa yang ramai dan mengobrol dengan teman sendiri. 5. Metode probing prompting belum dilakukan pada pembelajaran IPA SMP N

4 Wonosari.

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka dibatasi permasalahan yang akan diteliti pada no 2 dan 3. Metode pembelajaran yang digunakan guru kurang memacu peran aktif siswa dalam berpikir kritis. Hal ini terlihat dari berberapa siswa yang masih pasif dalam pembelajaran IPA dan hanya sedikit siswa yang bertanya atau menanggapi. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa perlu adanya metode yang tepat untuk memicu peran aktif siswa dalam pembelajaran IPA. Oleh karena itu, penelitian ini hanya difokuskan pada pengelolaan proses belajar mengajar IPA dengan indikator keberhasilan berupa peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa.


(9)

7

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 4 Wonosari, dimana kelas VII C sebagai kelompok eksperimen dan kelas VII B sebagai kelompok kontrol.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah-masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu:

1. Adakah perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas yang menggunakan metode probing prompting dan kelas yang menggunakan metode direct instruction pada pembelajaran IPA?

2. Seberapa besar pengaruh metode probing prompting dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP N 4 Wonosari pada pembelajaran IPA?

E.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas yang menggunakan metode probing prompting dan kelas yang menggunakan metode direct instruction pada pembelajaran IPA.

2. Mengetahui seberapa besar pengaruh metode probing prompting dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP N 4 Wonosari pada pembelajaran IPA.


(10)

8 F. Manfaat Penelitian

Dalam pelaksanaan peneltian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pembelajaran IPA pada peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan metode probing prompting.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

1) Membantu guru dalam memicu siswa untuk berpikir kritis pada proses pembelajaran IPA.

2) Meningkatkan kreativitas guru dalam membelajarkan IPA.

3) Membantu guru mengenal karakter siswa di kelas melalui metode probing prompting.

b. Bagi Siswa

1) Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

2) Memotivasi siswa untuk percaya diri dalam berargumen dan memecahkan masalah IPA.

3) Meningkatkan kreativitas siswa melalui peran aktif dalam pembelajaran IPA.


(11)

9 c. Bagi Sekolah

Memberikan sumbangan penelitian guna meningkatkan pembelajaran IPA yang lebih baik di lingkungan sekolah.


(12)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Kajian Teori 1. Hakikat IPA

IPA diartikan sebagai suatu hal yang mempunyai dua bentuk yakni sains sebagai batang tubuh ilmu pengetahuan yang bermanfaat, pengetahuan praktis, dan metode perolehannya. IPA juga dipandang sebagai hal murni/asli yang berasal dari kegiatan intelektual (I Made Alit Mariana dan Wandi Praginda, 2010: 14). Secara etimologi IPA (science) berasal dari bahasa latin yakni scientia yang artinya pengetahuan dan lebih lanjut lagi diartikan sebagai pengetahuan yang sistematis. Dalam hal ini istilah IPA merujuk pada natural science yang telah difokuskan untuk memahami gejala, fenomena atau persoalan di alam.

Nash (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis, 1992: 3) mennyatakan bahwa IPA merupakan sebuah kumpulan pengetahuan (a body of knowledge), cara atau jalan berpikir (a way of thinking), dan cara untuk penyelidikan (a way of investigating) dengan satu tambahan lagi yakni penerapan sains atau teknologi (an application of science). IPA sebagai metode untuk mengamati alam. Cara atau metode tersebut bersifat analitis, lengkap, cermat, serta menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena yang lain. Metode tersebut dapat membentuk suatu perspektif yang baru tentang objek yang diamatinya. Metode tersebut adalah metode berpikir ilmiah. Abruscato & DeRosa (2010: 11) mengemukakan bahwa:


(13)

11

Science seeks explanations of the natural world. It consists of the following components: a systematic quest for explanations and the dynamic body of knowledge generated through a systematic quest for explanations”.

Pendapat tersebut dapat dimaknakan bahwa sains berusaha menjelaskan dunia alam. Sains terdiri dari suatu pertanyaan sistematis untuk dapat dijelaskan melalui badan pengetahuan. Flower (Usman, 2006: 2) berpendapat bahwa IPA adalah “Ilmu yang sistematis dan dirumuskan, ilmu ini berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan terutama didasarkan atas pengamatan dan induksi”.

Dari pendapat di atas dapat diartikan bahwa IPA adalah:

1) bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang alam,

2) metode berpikir ilmiah dalam mengamati alam dengan suatu pandangan baru tentang objek atau fenomena yang diamati,

3) ilmu yang sistematis yang didasarkan atas pengamatan dan penalaran. Sains berkembang lewat langkah-langkah metode ilmiah yakni mengidentifikasi masalah, membuat hipotesis, menguji hipotesis, menganalisis data, menyimpulkan, dan komunikasi. Langkah-langkah tersebut ditempuh agar dapat mewujudkan produk IPA berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori.

Pada hakikatnya IPA terdiri dari tiga komponen dasar yakni produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. IPA dipandang pula sebagai proses, produk, dan prosedur. Trianto (2010: 137) menyatakan bahwa, IPA sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun menemukan pengetahuan baru. Sebagai


(14)

12

produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan untuk penyebaran atau disiminasi pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah (scientific method).

I Made Alit Mariana dan Wandi Praginda (2010: 34) menyatakan bahwa pada hakekatnya pendidikan IPA adalah membelajarkan siswa agar memahami hakekat IPA yang terdiri dari proses, produk, dan aplikasinya. Tujuannya siswa dapat mengembangkan sikap ingin tahu, keteguhan hati, dan ketekunan serta nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga terbentuk pengembangan nilai ke arah sikap positif.

Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut hakikatnya, IPA adalah cara memperoleh suatu pengetahuan baru berupa produk ilmiah melalui proses ilmiah. Produk ilmiah dihasilkan dengan melakukan serangkaian proses ilmiah yang disertai dengan sikap ilmiah bagi orang yang mempelajari.

2. Pembelajaran IPA

Hilgard & Bower (Jogiyanto, 2006: 12) menyatakan bahwa:

“Learning is the process by which an activity originates or is changed through reacting to an encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity cannot be explained on the basis of native response tendencies, maturation, or temporary states of the organism


(15)

13

Pendapat tersebut dapat dimaknakan bahwa pembelajaran IPA adalah suatu proses yang berisi kegiatan yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dan materi disertai interaksi timbal balik.

Pembelajaran IPA hendaknya dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar (SK-KD) dari mata pelajaran IPA (Fisika, Kimia, Biologi) dalam satu pembelajaran. Misalnya pada saat mempelajari jenis makanan (Biologi) dijelaskan pula tentang energi (Fisika) yang relevan. Pengertian integrasi disini mengandung makna menghubungkan materi pelajaran IPA yang satu dengan mata pelajaran IPA yang lain (Carin, 1997: 236).

Pembelajaran IPA direkomendasikan di tingkatan SMP/MTs dengan tujuan, yaitu: (1) meningkatkan efesiensi dan efektivitas pembelajaran; (2) meningkatkan minat dan motivasi, serta (3) membuat beberapa kompetensi dasar dapat dicapai sekaligus. Pembelajaran IPA terintegrasi memiliki beberapa kekuatan dan manfaat, salah satunya dengan penggabungan berbagai bidang kajian akan terjadi penghematan waktu, karena tiga disiplin ilmu (fisika, kimia dan biologi) dapat dibelajarkan sekaligus (Depdiknas, 2005: 1).

Pembelajaran IPA hendaknya memperhatikan unsur ABCD. Unsur ABCD tersebut adalah audience, behaviour, condition, dan degree. Audience bermakna siapa yang harus memiliki kemampuan, dalam hal ini adalah siswa. Behaviour adalah perilaku bagaimana yang diharapkan


(16)

14

dapat dimiliki. Condition adalah kondisi dan situasi yang bagaimana subjek dapat menunjukkan kemampuan sebagai hasil belajar yang telah diperolehnya. Degree berupa kualitas atau kuantitas tingkah laku yang diharapkan dicapai sebagai batas minimal (Wina Sanjaya, 2008: 88).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA adalah suatu proses kegiatan belajar mata pelajaran IPA yang diintegrasikan dengan memperhatikan karakteristik materi dan siswa disertai interaksi timbal balik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tujuan pembelajaran tersebut meliputi: siswa sebagai subjek, tingkah laku siswa, kondisi/situasi dan kuantitas/kualitas tingkah laku.

3. Metode Pembelajaran

Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan dalam kurikulum pembelajaran yakni kultur sekolah dan proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran IPA di kelas harus mampu memberikan pengalaman ilmiah kepada siswa, memberikan kesempatan bekerjasama, mengembangkan keterampilan berpikir untuk memecahkan masalah, sehingga mencapai hasil belajar yang baik. Proses pembelajaran di kelas tidak jauh dari pengaruh penggunaan metode pembelajaran yang diterapkan. Metode pembelajaran adalah cara yang ditempuh guru untuk merealisasikan langkah dalam strategi yang ditetapkan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran (Jumadi, 2007: 2).


(17)

15

Secara umum, metode pembelajaran dapat dibagi menjadi metode pasif dan metode aktif. Metode pasif yaitu metode pembelajaran satu arah dari guru ke siswa. Metode ini merupakan metode pembelajaran tradisional yang sering disebut dengan lecturing. Metode aktif mendorong siswa untuk aktif belajar di dalam kelas. Pembelajaran aktif mengubah peran dan hubungan tradisional antara guru dan siswa. Siswa lebih bertanggungjawab terhadap pembelajaran. Pembelajaran berpusat pada siswa. Guru menyediakan tidak hanya teori dan pengetahuan, tetapi juga metode pembelajaran yang tepat dan keahlian mengajar yang memaksimumkan kesempatan siswa untuk belajar dan menemukan sesuatu. Metode pasif merupakan metode pembelajaran yang mudah. Pembelajaran dengan metode aktif merupakan pekerjaan yang sulit. Metode aktif memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri aktif berinteraksi di kelas tidak hanya sebagai pendengar (Jogiyanto, 2006: 23-24).

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus menggunakan metode yang disesuaikan beberapa faktor seperti: tujuan pembelajaran, karakteristik materi, karakteristik siswa, dan alokasi waktu. Metode-metode yang digunakan harus bervariasi untuk menghindari kebosanan siswa. Namun pemilihan atau penggunaan metode yang bervariasi belum tentu menguntungkan jika tidak sesuai dengan faktor-faktor yang disebutkan di atas. Pemilihan metode pembelajaran juga harus mempertimbangkan


(18)

16

beberapa faktor. Slameto (2003: 98) mengemukakan bahwa kriteria pemilihan metode pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Tujuan pembelajaran, yaitu tingkah laku yang diharapkan dapat ditunjukkan siswa setelah proses pembelajaran.

b. Materi pembelajaran, yaitu bahan yang disajikan dalam pembelajaran yang berupa fakta yang memerlukan metode yang berbeda dari metode yang dipakai untuk mengajarkan materi yang berupa konsep, prosedur atau kaidah.

c. Besar kelas (jumlah kelas), yaitu banyaknya siswa yang mengikuti pembelajaran dalam kelas yang bersangkutan. Kelas dengan 5-10 orang siswa memerlukan metode pembelajaran yang berbeda dibandingkan kelas dengan 50-100 orang siswa.

d. Kemampuan siswa, yaitu kemampuan siswa dalam menangkap dan mengembangkan bahan pembelajaran yang disampaikan. Hal ini banyak tergantung pada tingkat kematangan siswa baik mental, fisik dan intelektualnya.

e. Kemampuan guru, yaitu kemampuan dalam menggunakan berbagai jenis metode pembelajaran yang optimal.

f. Fasilitas yang tersedia, bahan atau alat bantu serta fasilitas lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.

g. Waktu yang tersedia, jumlah waktu yang direncanakan atau dialokasikan untuk menyajikan bahan pembelajaran yang sudah ditentukan. Untuk materi yang banyak akan disajikan dalam waktu


(19)

17

yang singkat memerlukan metode yang berbeda dengan bahan penyajian yang relatif sedikit tetapi waktu penyajian yang relatif cukup banyak.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran kemudian dibagi menjadi metode aktif dan metode pasif.

Implementasi metode pembelajaran pasif dan aktif bermacam-macam. Contoh implementasi metode pembelajaran pasif antara lain: direct instruction (ceramah dan diskusi), drill, resitasi, dan demonstrasi. Contoh implementasi metode pembelajaran aktif antara lain: problem posing, probing prompting, field-trip, sosiodrama, dan simulasi. Pada penelitian ini, metode pembelajaran pasif difokuskan pada direct instruction sedangkan metode pembelajaran aktif difokuskan pada probing prompting.

a. Metode Pembelajaran Direct Instruction

Menurut Wina Sanjaya (2006: 179), metode pembelajaran direct instruction adalah metode pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa. Maksud penyampaian tersebut adalah agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Tujuan pembelajaran juga diharapkan dapat dicapai oleh siswa.


(20)

18

Langkah-langkah dalam metode direct instruction disusun secara sistematis demi tercapainya tujuan pembelajaran. Gagne (Nur 2000 : 4 – 5) mengemukakan bahwa dalam metode direct instruction terdapat dua macam pengetahuan, yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Namun, kedua pengetahuan tersebut tidak terlepas antara satu sama lain, sering kali penggunaan prosedural memerlukan pengetahuan deklaratif yang merupakan pengetahuan prasyarat. Metode direct instruction dirancang untuk mengembangkan cara belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah.

Adapun langkah-langkah dari metode pembelajaran direct instruction menurut Jumadi (2007: 5) adalah sebagai berikut:

1) menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa, 2) mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan, 3) membimbing pelatihan,

4) mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik,


(21)

19

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode direct instruction adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata, praktis, dan sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa agar pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif dapat tercapai. Kemudian definisi operasional di atas dijadikan dasar dalam membuat kisi-kisi metode direct instruction yang tercantum pada tabel 4 halaman.

b. Metode Pembelajaran Probing Prompting

Probing prompting adalah metode pembelajaran dengan menggunakan metode kasus. Metode kasus termasuk juga tipe khusus dari material instruksional dan teknik-teknik khusus untuk menggunakan material tersebut di dalam proses pembelajaran. Jogiyanto (2006: 29) menyatakan bahwa metode probing prompting adalah:

a method of instruction in which students and instructors participate in direct discussion of business cases or problems. These cases, usually prepared in written form and derived from actual experience of business executives, are read, studied and discussed by students among themselves, and they constitute the basis for class discussion under the direction of instructional material and the special techniques of using that material in the instructional process

Pendapat di atas dapat dimaknakan bahwa probing prompting adalah suatu metode pembelajaran dimana siswa dan guru berpartisipasi dalam diskusi langsung persoalan atau masalah. Kasus-kasus tersebut, biasanya dibuat dalam bentuk tertulis dan berasal dari pengalaman aktual pelaku,


(22)

20

dibaca, dipelajari, dan didiskusikan oleh beberapa siswa di antaranya, dan hal tersebut dijadikan dasar untuk diskusi kelas di bawah arahan materi pembelajaran dan menggunakan teknik khusus penggunaan bahan dalam proses pembelajaran.

Secara bahasa kata “probing” memiliki arti menggali atau melacak (Nasution, 2003: 122). Hal ini memberikan pengertian bahwa probing diartikan sebagai proses untuk mengorek keterangan atau informasi lebih mendalam tentang masalah yang diberikan oleh gurunya. Siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran dalam memecahkan kasus.

Prompting adalah cara lain dalam merespon (menanggapi) jawaban siswa apabila siswa gagal menjawab pertanyaan, atau jawaban kurang sempurna. Dengan demikian salah satu bentuk prompting adalah menanyakan pertanyaan lain yang lebih sederhana yang jawabannya dapat dipakai menuntun siswa untuk menemukan jawaban yang tepat (Suwandi dan Tjetjep S, 1996: 18).

Siti Mutmainnah (2014: 39-40) mengemukakan bahwa langkah-langkah metode probing prompting adalah sebagai berikut:

1) Guru menghadapkan siswa pada situasi baru, misalkan dengan memperhatikan gambar, rumus, atau situasi lainnya yang mengandung permasalahan.

2) Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya.


(23)

21

3) Guru mengajukan persoalan kepada siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran atau indikator kepada seluruh siswa.

4) Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya.

5) Menunjuk salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan. Jika jawabannya tepat maka guru meminta tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban tersebut untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun jika siswa tersebut mengalami kemacetan jawab dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, maka guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawab. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan pada beberapa siswa yang berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan probing prompting.

6) Guru mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa tujuan pembelajaran/indikator tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa metode probing prompting adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan


(24)

22

rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran menggunakan strategi kasus dimana guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berfikir yang mengkaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksikan konsep – prinsip – aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan. Tahapan metode pembelajaran probing prompting antara lain: menyampaikan tujuan dan memotivasi, menyajikan informasi, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, membimbing kelompok-kelompok bekerja dan belajar, mengevaluasi, dan mengapresiasi. Kemudian definisi operasional di atas dijadikan dasar dalam membuat kisi-kisi metode probing prompting yang tercantum pada tabel 3 halaman.

4. Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah, namun juga mampu memberikan penyebab atau alasan yang logis atas jawaban atau solusi yang dia berikan. Pemikiran dan penalaran logis sampai beragumentasi merupakan produk perkembangan kognitif dan pengalaman yang diperoleh siswa. Menurut Fisher & Scriven (1997: 21), berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi.

Keterampilan berpikir kritis dapat diajarkan di sekolah melalui cara-cara langsung dan sistematis. Dengan memunculkan keterampilan-


(25)

23

keterampilan berpikir kritis siswa akan membuat siswa bersikap berdasarkan rasional dan memilih alternatif pilihan yang terbaik bagi dirinya. Siswa yang mempunyai keterampilan berpikir kritis akan selalu bertanya pada diri sendiri dalam setiap menghadapi segala persoalan untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Demikian juga jika siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis akan terpatri dalam watak dan kepribadiannya dan terimplementasi dalam segala aspek kehidupannya. Keterampilan berpikir kritis tiada lain adalah keterampilan siswa dalam menghimpun berbagai informasi lalu membuat sebuah kesimpulan evaluatif dari berbagai informasi tersebut (Dede Rosyada, 2004: 170).

Glaser (Alec Fisher, 2009: 7) mendaftarkan kemampuan berpikir kritis untuk: (a) mengenal masalah, (b) menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu, (c) mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, (d) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, (e) memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, (f) menganalisis data, (g) menilai fakta dan mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan, (h) mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, (i) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, (j) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, (k) menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas; (l) dan membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.


(26)

24

Dede Rosyanda (2004: 173) menyatakan bahwa berpikir kritis memiliki beberapa prosedur yang ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Prosedur Berpikir Kritis Adaptasi dari Kauchak (Dede Rosyada. 2004: 173).

No Perbuatan Proses

1. Observasi Membandingkan dan memahami klasifikasi

2. Perumusan berbagai macam pola pilihan dan generalisasi.

Merumuskan berbagai macam pola pilihan dan menggeneralisasikannya. 3. Perumusan kesimpulan

pada pola-pola yang telah dikembangkan.

Penyimpulan, memprediksi, membuat hipotesis, mengidentifikasi kasus dan efek-efeknya.

4. Mengevaluasi

kesimpulan berdasarkan fakta.

Mendukung kesimpulan dengan data, mengamati konsistensinya,

mengidentifikasi bias, stereo tipe pengulangan, serta mengangkat tipe pengulangan, serta mengangkat kembali berbagai asumasi yang tidak pernah terumuskan, memahami kemungkinan generalisasi yang terlampau besar atau kecil, serta mengidentifikasi informasi yang relevan atau tidak relevan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah ketrampilan siswa dalam menghimpun berbagai informasi untuk diargumentasikan lalu membuat kesimpulan yang evaluative dan komunikatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prosedur berpikir kritis dari Dede Rosyada berdasarkan adaptasi Kauchak sebagai berikut: mengobservasi (mengamati), merumuskan berbagai macam pola pilihan dan menggeneralisasi (melakukan percobaan dan diskusi), merumuskan kesimpulan pada pola-pola yang telah dikembangkan (membuat hipotesis dan menyajikan data), serta mengevaluasi kesimpulan


(27)

25

berdasarkan fakta. Kemudian definisi operasional di atas dijadikan dasar dalam membuat kisi-kisi kemampuan berpikir kritis yang tercantum pada tabel 5 halaman.

5. Karakteristik Siswa SMP Kelas VII

Kamisa (1977: 126) menyatakan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Anak yang menginjak SMP kelas VII merupakan masa peralihan dari sekolah dasar menuju masa remaja.

Pada masa remaja, kemampuan anak sudah semakin berkembang hingga memasuki tahap pemikiran operasional formal. Tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 dan 12 tahun dan terus berlanjut sampai usia remaja sampai masa dewasa (Lerner & Hustlsch, 1983) dalam (Desmita, 2009). Pada masa remaja, anak sudah mampu berfikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang sudah tersedia.

Syamsu Yusuf (2004: 26-27) mengungkapkan bahwa masa usia SMP kelas VII bertepatan dengan masa remaja. Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan perannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa. Anak SMP kelas VII sudah mampu berpikir secara abstrak dan hipotesis, sehingga ia mampu berfikir apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi. Mereka sudah mampu berfikir masa akan datang dan mampu


(28)

26

menggunakan simbol untuk sesuatu benda yang belum diketahui. Perkembangan berpikir kritis mereka juga akan optimal jika diasah di masa ini. Perkembangan pemikiran kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif dan evaluatif.

Wuest & Combardo (1974) menyatakan bahwa perkembangan aspek psikomotorik seusia SMP ditandai dengan perubahan jasmani dan fisiologis seks yang luar biasa. Salah satu perubahan luar biasa tersebut adalah perubahan pertumbuhan tinggi badan dan berat badan, sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka, dan kadang mengalami proses pencarian jati diri. Perkembangan afektif siswa SMP mencakup proses belajar perilaku dengan orang lain atau sosialisasi. Sebagian besar sosialisasi berlangsung lewat pemodelan dan peniruan orang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa SMP kelas VII adalah mampu berpikir secara abstrak, refletif, evaluatif, membuat hipotesis, dan menggunakan simbol. Siswa SMP kelas VII belajar melalui bersosialisasi dengan orang lain, mandiri, dan meniru.


(29)

27 B.Materi Pembelajaran IPA

1. Makhluk Hidup

Makhluk hidup memiliki ciri yang berbeda dengan benda mati. Makhluk hidup memerlukan nutrisi, beradaptasi terhadap lingkungannya, tumbuh, berkembang, melakukan aktivitas metabolisme, peka terhadap rangsang, dan memiliki sifat-sifat biologi lainnya. Sedangkan, benda mati tidak memiliki sifat-sifat biologi (Hadi Suwono, 2010: 112).

Aktivitas yang terjadi dalam tubuh makhluk hidup prosesnya tidak dapat diamati secara langsung, tetapi berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya. Makhluk hidup memiliki beberapa ciri, yaitu bernapas, bergerak, makan, tumbuh, peka terhadap rangsangan, dan dapat berkembang biak (Chris Oxlade, 2007: 87).

a. Bergerak

Salah satu ciri makhluk hidup adalah bergerak, baik dengan sebagian tubuh maupun seluruh tubuh. Bergerak adalah perubahan posisi seluruh atau sebagian tubuh yang disebabkan adanya tanggapan terhadap rangsangan. Gerak pada manusia dan hewan mudah diamati dan dapat menyebabkan berpindah tempat sehingga disebut dengan gerak aktif (Siti Salmah, 2011: 8).


(30)

28

Gambar 1. Ilustrasi Gerak pada Hewan Sumber: Tugino (2015: 2)

Gerak tumbuhan sangat lambat dan tidak mengakibatkan perpindahan tempat sehingga disebut gerak pasif. Turrini, dkk (2004: 21) menyatakan bahwa tanaman untuk melaksanakan ketanggapan dan koordinasinya melalui suatu sistem koordinator kimia yaitu dengan hormon tanaman. Tanaman bereaksi terhadap lingkungannya dengan cara mengadakan pertumbuhan. Respon pertumbuhan tersebut tidak dapat mengakibatkan satu bagian tanaman lebih cepat tumbuh dari bagian tanaman yang lain.

Turrini, dkk (2004: 22) menjelaskan lebih lanjut bahwa pada tanaman dikenal dua macam gerakan pertumbuhan sebagai respon terhadap rangsangan dari luar, gerak tersebut yaitu:

1) Gerakan Nasti

Gerakan nasti yaitu suatu gerakan yang merupakan respon dari rangsangan luar, akan tetapi tidak ditentukan oleh arah asal


(31)

29

rangsangan luar yang mengenai organisme. Contohnya: gerak mengatupnya daun putrid malu ketika disentuh.

Gambar 2. Gerak Nasti pada Tanaman Putri Malu Sumber: Udin (2014: 3)

2) Tropisme

Gerakan tropisme yaitu gerakan pertumbuhan yang arahnya ditentukan oleh arah rangsangan yang mengenai tanaman tersebut. Jika bagian tanaman tumbuh ke arah asal rangsangan, maka disebut tropisme positif. Jika pertumbuhan yang berlawanan dengan arah asal rangsangan merupakan tropisme negatif.

Gambar 3. Gerak Fototropisme Sumber: Rendy (2013: 1)


(32)

30 b. Bernapas

Bernapas adalah proses penyerapan oksigen (O2) dan pelepasan karbondioksida (CO2). Di dalam tanaman terjadinya proses pernapasan ini pada malam dan siang hari yang terjadi di bagian mitokondria. Oksigen yang diserap ini digunakan untuk mengoksidasi senyawa hasil fotosintesis dan hasilnya berupa energi, gas CO2, serta air. Energi yang dihasilkan untuk menstimulasi sel untuk pertumbuhan, terkadang bila kondisi temperatur rendah, maka energi yang berupa panas akan dibuang ke dalam atmosfer tanah. Persamaan reaksi kimia secara sederhana adalah:

C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6H2O + Energi (Turrini, dkk; 2004: 21)

Gambar 4. Ilustrasi Bernapas pada Tumbuhan Sumber: Muhammad Syakir (2015: 1)

Oksigen (O2) sangat diperlukan makhluk hidup untuk pembakaran makanan dalam tubuh dan menghasilkan energi yang diperlukan tubuh atau disebut juga oksidasi tubuh. Energi ini digunakan tubuh untuk bergerak dan melakukan aktivitas lainnya (Siti Salmah, 2011: 8).


(33)

31 c. Memerlukan makanan

Makhluk hidup memerlukan nutrisi sebagai sumber energi, pembangun tubuh, tumbuh, berkembang, dan berkembangbiak. Tumbuhan memerlukan tanah sebagai sumber hara untuk membangunn tubuh, memerlukan sinar matahari untuk berfotosintesis. Hewan memerlukan makanan yang berasal dari hewan lain dan tumbuhan sebagai nutrisi untuk tumbuh, berkembang, dan berkembangbiak (Hadi Suwono, 2010: 112).

Makanan yang dimakan harus mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. Contohnya, karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Karbohidrat sangat diperlukan tubuh untuk menghasilkan energi. Zat makanan ini terdapat dalam umbi-umbian seperti singkong, kentang, dan ketela. Selain itu, terdapat dalam biji-bijian, seperti jagung, beras, gandum, dan tepung terigu. Lemak berfungsi sebagai cadangan makanan bagi tubuh. Lemak memiliki kalori paling tinggi dibandingkan zat makanan lainnya. Zat makanan ini terdapat dalam susu dan mentega. Protein berfungsi untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Protein dibagi menjadi dua macam, yaitu protein hewani dan protein nabati. Protein hewani adalah protein yang berasal dari hewan, contohnya: telur, daging, susu, dan ikan. Sedangkan, protein nabati adalah protein yang berasal dari tumbuhan, contohnya: kacang-kacangan, dan buah-buahan. Vitamin dan mineral diperlukan tubuh kita untuk mengatur proses kegiatan tubuh. Vitamin dapat diperoleh dari


(34)

buah-32

buahan dan sayur-sayuran, seperti: wortel, sayur bayam, kangkung, jeruk, alpukat, apel, dan sebagainya (Siti Salmah, 2011: 8).

d. Beradaptasi

McCarthy (Bruno Locatelli, 2012: 62) menyatakan bahwa adaptasi adalah suatu penyesuaian dalam sistem makhluk hidup atau alam dalam menanggapi rangsang yang sebenarnya atau diperkirakan efeknya, yang meringankan kerusakan/kerugian atau mengeksploitasi kesempatan-kesempatan yang menguntungkan.

Gambar 5. Contoh-Contoh Bentuk Adaptasi Sumber: Julius Irfan (2015: 3)


(35)

33

Baiq Sukma A., dkk (2014: 2) menyatakan bahwa adaptasi adalah kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Macam-macam adaptasi makhluk hidup yaitu:

1) Adaptasi morfologi, yaitu penyesuaian bentuk organ tubuh untuk kelangsungan hidupnya. Contoh: burung elang mempunyai kuku yang tajam untuk menerkam mangsa, bentuk daun pada tumbuhan berbeda-beda antara tumbuhan yang hidup di daerah lembap, berair dan kering. 2) Adaptasi fisiologi, yaitu penyesuaian fungsi kerja organ tubuh untuk mempertahankan hidupnya. Contoh: bunglon mengubah warna tubuhnya, bau yang khas pada bunga dapat mengundang datangnya serangga untuk membantu penyerbukan.

3) Adaptasi tingkah laku, yaitu penyesuaian diri terhadap lingkungan dengan tingkah lakunya. Contoh: kerbau berkubang ketika udara panas, paus naik ke permukaan air untuk mengambil oksigen.

e. Iritabilitas

Makhluk hidup memiliki kemampuan menanggapi rangsang yang disebut sebagai iritabilitas. Karena adanya rangsangan, mahkhluk hidup harus “bereaksi”. Adakalanya reaksinya itu berupa gerakan. Gerak berarti perpindahan sebagian atau seluruh bagian tubuh makhluk hidup. Jadi sebenarnya gerak merupakan suatu perwujudan dari kepekaan makhluk hidup terhadap rangsang dari luar (Hadi Suwono, 2010: 115).

Hewan memiliki sistem saraf dalam menanggapi adanya rangsangan, sedangkan tumbuhan tidak. Rangsangan dapat disebabkan


(36)

34

oleh faktor luar tubuh. Contohnya, mata kita akan mengedip bila terkena cahaya yang silau. Contoh reaksi rangsangan yang diterima hewan adalah anjing akan menegakkan telinga bila mendengar suara yang asing dan sekelompok rusa akan berlari bila ada pemangsa yang mengintai (Siti Salmah, 2011: 9).

f. Mengalami pertumbuhan dan perkembangan

Tumbuhan dan hewan tumbuh dari satu sel menjadi banyak sel. Sel-sel tersebut berdiferensiasi menjadi jaringan, jaringan menyusun organ, organ-organ membentuk sistem organ, sistem organ menjalankan fungsi suatu makhluk hidup. Hewan dan tumbuhan yang pada saat embrio hanya terdiri atas beberapa sel, setelah dewasa tumbuh dan berkembang menjadi organisme yang kompleks. Tumbuhan memiliki akar dan batang yang bercabang-cabang, serta daun, bunga, biji, dan buah. Hewan juga tumbuh dan berkembang menjadi suatu sistem yang rumit (Hadi Suwono, 2010: 113).

Gambar 6. Pertumbuhan dan Perkembangan Makhluk Hidup Sumber: Tugino (2015: 3)


(37)

35

Siti Salmah (2011: 9) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan proses pertambahan ukuran, volume dan jumlah sel yang disebabkan oleh adanya penambahan substansi sel yang tidak dapat balik (bersifat irreversible), dapat diukur dan dapat dinyatakan dengan satuan. Perkembangan adalah perubahan menuju ke arah yang lebih dewasa (menuju ke tingkat yang lebih matang). Manusia dan hewan tumbuh sampai usia tertentu dan sesudah itu pertumbuhannya akan berhenti, sedangkan pada tumbuhan umumnya tidak terbatas, artinya tumbuhan akan selalu tumbuh selama hidupnya. Pertumbuhan dapat diamati dengan kegiatan pengukuran yang akan dipelajari lebih lanjut dalam fisika.

Fisika adalah ilmu yang mempelajari benda-benda dan fenomena yang terkait dengan benda-benda tersebut. Untuk mendeskripsikan keadaan suatu benda atau suatu fenomena yang terjadi pada benda, maka didefinisikan berbagai besaran-besaran fisika. Besaran-besaran fisika ini selalu dapat terukur dan memiliki nilai (dapat dinyatakan dalam angka-angka) yang merupakan hasil pengukuran (Mirza Satriawan, 2012: 6-7).

Untuk mengetahui nilai dari suatu besaran fisika harus dilakukan pengukuran. Mengukur adalah membandingkan antara dua hal, dengan salah satunya menjadi pembanding atau alat ukur, yang besarnya harus distandarkan. Ketika mengukur jarak antara dua titik, kita membandingkan jarak dua titik tersebut dengan jarak suatu standar panjang, misalnya panjang tongkat meteran pengukuran. Pengukuran


(38)

36

pertambahan tinggi badan atau batang tanaman hendaknya dilakukan menggunakan meteran atau mistar sehingga hasilnya lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran menggunakan jengkal, dan sejenisnya. Pertambahan massa tubuh juga hendaknya dilakukan menggunakan timbangan atau neraca. Pengukuran sebaiknya menggunakan alat ukur dan satuan baku. Sehingga pengukuran objek jika dilakukan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun adalah tetap sama (Mirza Satriawan, 2012: 6-7).

Gambar 7. Ilustrasi Pengukuran yang Baik dan Benar g. Mengeluarkan zat sisa

Sistem ekskresi merupakan hal pokok dalam homeostatis atau kondisi yang mantap dalam tubuh karena sistem tersebut membuang limbah metabolisme dan merespon ketidakseimbangan cairan tubuh dengan cara mengekskresikan ion-ion tertentu sesuai kebutuhan. Pada mamalia, ginjal adalah sepasang organ berbentuk biji kacang merah (sekitar 10 cm panjangnya pada manusia). Ginjal mamalia memiliki dua daerah yang berbeda, yaitu korteks renal di bagian luar dan medula renal di bagian dalam. Nefron, yang merupakan unit fungsional ginjal


(39)

37

vertebrata , terdiri atas sebuah tubula panjang tunggal; dan sebuah bola kapiler yang disebut glomerulus. Ujung buntu tubula itu membentuk pembengkakan mirip piala, yang disebut kapsula Bowman (Boeman’s capsule), yang mengelilingi glomerulus (Campbell, 2004 : 113-117).

Sistem ekskresi invertebrata berbeda dengan sistem ekskresi pada vertebrata. Invertebrata belum memiliki ginjal yang berstruktur sempurna seperti pada vertebrata. Pada umumnya, invertebrata memiliki sistem ekskresi yang sangat sederhana, dan sistem ini berbeda antara invertebrata satu dengan invertebrata lainnya. Alat ekskresinya ada yang berupa saluran malphigi, nefridium, dan sel api. Nefridium adalah tipe yang umum dari struktur ekskresi khusus pada invertebrata (Siti Salmah, 2011: 99).

h. Berkembangbiak

Hewan dapat bereproduksi hanya secara seksual atau aseksual atau bisa bergantian melakukan kedua modus tersebut. Reproduksi aseksual biasanya hanya melibatkan orang tua tunggal dan tidak melibatkan proses pembentukan gamet. Reproduksi aseksual terjadi tanpa melalui penyatuan sperma dan ovum. Reproduksi aseksual secara keseluruhan mengandalkan pembelahan sel secara mitosis. Reproduksi aseksual adalah penciptaan keturunan melalui gamet haploid untuk membentuk zigot (telur yang dibuahi), yang diploid. Gamet betina, ovum (telur yang belum dibuahi), umumnya adalah sel yang relatif besar dan tidak motil.


(40)

38

Gamet jantan, spermatozoon, umumnya adalah sel yang kecil namun motil (Campbell 2004: 156).

Penjelasan lebih lanjut oleh Siti Salmah, dkk (2011: 104) yang menyatakan bahwa reproduksi merupakan salah satu strategi hewan dalam melestarikan spesiesnya. Reproduksi juga bertujuan mewariskan karakter genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui berbagai mekanisme baik secara aseksual maupun seksual. Proses reproduksi akan berbeda antar satu spesies dengan spesies lainnya.

Gambar 8. Jenis-Jenis Reproduksi pada Makhluk Hidup Sumber: Tugino (2015: 4)

Reproduksi tumbuhan dibagi atas reproduksi vegetatif dan reproduksi generatif. Reproduksi vegetatif terjadi secara alami dan buatan. Reproduksi generatif terbagi menjadi dua yaitu pada Gymnospermae dan Angiospermae. Reproduksi vegetatif pada tumbuhan di atas terjadi secara alami. Tumbuhan juga dapat dikembangbiakkan secara buatan dengan cara: mencangkok, stek, okulasi, merunduk, kultur jaringan dan lain-lain (Srikini 2008: 4).


(41)

39 2. Makhluk Tak Hidup

Makhluk tak hidup adalah semua makhluk yang tidak memiliki ciri hidup dan sudah tersedia di alam sebelumnya. Makhluk tidak hidup atau abiotik tidak memiliki ciri yang dimiliki oleh makhluk hidup. Pasir, kayu dan kaca adalah segala sesuatu yang tidak hidup. Tak satu pun dari objek tersebut yang menunjukkan salah satu karakteristik yang tercantum di atas. Makhluk tak hidup dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, objek yang tidak pernah berasal dari bagian dari makhluk hidup, seperti batu dan emas. Kelompok kedua adalah objek yang pernah menjadi bagian dari makhluk hidup. Batubara adalah contoh yang baik. Ini dibentuk ketika pohon mati dan tenggelam ke dalam tanah lunak. Hal ini terjadi jutaan tahun yang lalu ketika bumi ditutupi dengan hutan (Burnie, 2000: 37).

C.Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ni Kd. Kariani (2014) berjudul „Model Problem Based Learning Menggunakan Metode Probing-Prompting Berpengaruh Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa‟. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa penerapan model Problem Based Learning menggunakan metode Probing-Prompting berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 21 Pemecutan Denpasar Utara Tahun Ajaran 2013/2014. Hasil analisis uji hipotesis menggunakan uji t diperoleh thitung > ttabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0,05) dengan dk = 78 yaitu thitung = 4,83 > ttabel = 2,00. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian serta analisis yang telah dilakukan menunjukkan pula bahwa


(42)

rata-40

rata nilai pada kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nilai pada kelompok kontrol yaitu = 80,34 > = 71,17. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang dibelajarkan melalui penerapan model Problem Based Learning menggunakan metode Probing-Prompting dengan yang dibelajarkan melalui pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Negeri 21 Pemecutan Tahun Ajaran 2013/2014.

Penelitian relevan lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti Mumainnah (2014) berjudul „Penerapan Teknik Pembelajaran Probing-Prompting Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Siswa Kelas VIIIA SMP Negeri I Banawa Tengah‟. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa penerapan teknik pembelajaran probing prompting dapat meningkatkan hasil belajar fisika pada siswa kelas VIII A SMP Negeri I Banawa Tengah. Dari hasil analisis siklus I diperoleh nilai rata–rata untuk tuntas individu sebesar 65,83%, nilai rata-rata untuk ketuntasan belajar klasikalnya 62,50% serta rata-rata daya serap klasikal sebesar 66,75%. Meningkat untuk siklus II dengan nilai rata-rata untuk tuntas individu sebesar 81,83%, nilai rata-rata untuk ketuntasan belajar klasikalnya 87,50% serta nilai rata-rata untuk daya serap klasikal sebesar 81,83%.

Berdasarkan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode pembelajaran yang aktif yakni probing prompting dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk


(43)

41

mengetahui keefektifan metode probing prompting terhadap keterampilan berpikir siswa.

D.Kerangka Pikir Penelitian

IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji beberapa objek, fenomena, dan gejala alam. IPA harus dipahami secara holistik untuk mengkaji persoalan yang berkaitan dengan alam sekitar. Kurikulum mensyaratkan IPA dibelajarkan di SMP/MTs secara terpadu. Bermakna dalam artian siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pembelajaran langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami. Namun, pada kenyataannya pembelajaran IPA selama ini cenderung menghafal, mengulang, dan menyebutkan definisi tanpa mengubungkan konsep-konsep sebelumnya ataupun memadukan dengan pengetahuan dari konsep bidang kajian lain yang dipadukan. Sehingga diperlukan metode pembelajaran yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut dan dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Pemilihan metode pembelajaran harus dilakukan secara selektif yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Metode pembelajaran yang baik adalah metode yang melibatkan siswanya untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu keaktifan siswa dipicu dengan keterampilan berpikir kritis sehingga dapat menggali informasi atau pengetahuan lebih mendalam dan memecahkan suatu masalah dengan menghubungkan konsep-konsep keterpaduan di IPA.


(44)

42

Oleh karena itu untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dan agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang optimal maka dilakukan metode probing prompting adalah pembelajaran guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berfikir yang mengkaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksikan konsep – prinsip – aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.

Hubungan metode probing prompting dengan keterampilan berpikir kritis siswa yakni ekuivalen yang berarti penggunaan metode probing prompting dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap pembelajaran yang dipelajari, memandirikan siswa untuk lebih mandiri dalam mencari pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya melalui pertanyaan yang dapat merangsang siswa agar menjadi aktif bertanya dan berpikir kritis dalam menjawab. Kerangka pemikiran peneliti dapat digambarkan sebagai berikut:


(45)

43

Gambar 9. Kerangka Berpikir Peneliti Pembelajaran IPA SMP tidak

dapat lepas dari: input (siswa), proses (pemilihan metode pembelajaran ), dan output (hasil belajar).

Syamsu Yusuf (2004: 26-27) menyatakan bahwa siswa sebagai input harus diperhatikan karakteristiknya terutama secara kognitif. National Education Standart (Asri Widowati, 2010: 101) menyatakan bahwa proses pembelajaran harus menuntut peran aktif siswa.

Dimyati dan Mudjiono (2009: 3) mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan output yang perlu dievaluasi & ditindaklanjuti.

a. Kegiatan pembelajaran belum memancing siswa untuk berpikir kritis.

b. Beberapa siswa kurang aktif dalam pembelajaran IPA.

a. Kemampuan berpikir kritis siswa kurang.

b. Pemahaman siswa terhadap materi yang dibelajarkan

kurang. Ni Kd. Kariani (2014)

Siti Mumainnah (2014)

Perlu dilakukan metode pembelajaran probing prompting sebagai metode aktif pembelajaran siswa yang memancing kemampuan berpikir kritis siswa.

(a) siswa memiliki kemampuan berpikir kritis untuk mengaitkan pengetahuan dan pengalaman dengan pengetahuan baru, (b) siswa berperan aktif dalam

pembelajaran, (c) siswa mampu memahami materi.

Pengaruh Penerapan Metode Probing-Prompting pada Pembelajaran IPA SMP Kelas VII terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

teori yang mendukung

berdasarkan observasi ditemukan permasalahan

relevan dengan penelitian akibatnya

upaya yang dilakukan

hasil yang diharapkan


(46)

44 E.Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas VII yang menggunakan metode probing-prompting dan kelas VII yang menggunakan metode direct instruction pada pembelajaran IPA di SMP N 4 Wonosari. 2. Terdapat pengaruh kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPA

kelas VII SMP N 4 Wonosari dengan menggunakan metode probing prompting.


(47)

45 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Desain Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010: 3). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental-semu (quasi experimental) yakni dengan memberi perlakuan terhadap situasi atau keadaan eksperimen yang ada tetapi tidak memberikan pengendalian secara penuh terhadap faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi eksperimen.

Penelitian ini menggunakan desain pretest-posttest control group design dengan menggunakan dua kelas yang terdiri dari kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pada kelas eksperimen akan mendapatkan metode pembelajaran probing prompting, sedangkan pada kelas kontrol akan mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran direct instruction.

Sebelum perlakuan diberikan, terlebih dahulu masing-masing kelompok dipastikan memiliki kemampuan awal yang sama. Sebagai tahap akhir dari penelitian ini adalah masing-masing kelompok diberikan tes untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan pemahaman siswa setelah mendapat perlakuan.


(48)

46

Desain penelitan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2009: 112) disajikan dengan Tabel 2.

Tabel 2. Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design

Group Pretest Treatment Posttest

Kelas Eksperimen O1 X1 O2

Kelas Kontrol O1 X2 O2

Keterangan:

O1: pretest pada kelas eksperimen dan kontrol O2: posttest pada kelas eksperimen dan kontrol

X1: perlakuan berupa penerapan metode pembelajaran probing prompting X2: perlakuan dengan pembelajaran direct instruction

B.Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP N 4 Wonosari. 2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari semester genap tahun ajaran 2015/2016.


(49)

47 C.Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006: 108). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP N 4 Wonosari yang terdiri dari 5 kelas. Dari 5 kelas tersebut, 1 kelas tidak digunakan karena merupakan kelas unggulan dan hasil nilai rapornya tidak berdistribusi normal sehingga dalam penelitian ini hanya menggunakan empat kelas yang mempunyai karakteristik sama. Kesamaan tersebut ditinjau melalui analisis nilai rapor mata pelajaran IPA yang menunjukkan bahwa kelas VII B, VII C, VII D, dan VII E yang akan dijadikan subjek penelitian pada tahun ajaran 2015/2016 adalah homogen dan normal. Hasil uji homogenitas dan normalitas nilai rapor mata pelajaran IPA kelas VII SMP N 4 Wonosari dapat dilihat di lampiran 3.2.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi Arikunto, 2006: 109). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak dua kelas yakni kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen yang menerapkan metode pembelajaran probing prompting dan kelas kontrol yang menggunakan metode pembelajaran direct instruction.

Sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengambil sampel (Suharsimi Arikunto, 2006: 109). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah cluster random sampling karena populasi tidak terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok-kelompok individu


(50)

48

atau cluster. Sampel yang representatif diambil dengan menggunakan cara diundi. Dari 4 kelas yang ada diperoleh 2 kelas, yaitu kelas VII C sebagai kelas eksperimen dan kelas VII B sebagai kelas kontrol.

D.Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau dari aktivitas yang memiliki variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti agar dapat dipelajari dan kemudian ditarik suatu kesimpulan (Sugiyono, 2010: 61). Penelitian ini menggunakan variabel bebas yakni metode pembelajaran probing prompting dan variabel terikat yakni kemampuan berpikir kritis siswa. Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran mengenai istilah-istilah dalam penelitian ini, maka ada beberapa istilah-istilah (definisi operasional) yang perlu dijelaskan sebagai berikut.

1. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran dalam penelitian diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran.

a. Metode Pembelajaran Probing Prompting

Metode pembelajaran probing prompting adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran menggunakan strategi kasus dimana guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berfikir yang mengkaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari.


(51)

49

Siswa mengkonstruksikan konsep – prinsip – aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan. Adapun tahap-tahap dari metode probing prompting yakni menyampaikan tujuan dan memotivasi, menyajikan informasi, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, membimbing kelompok bekerja dan belajar, mengevaluasi, dan mengapresiasi. Secara lebih jelas kisi-kisi pembelajaran menggunakan metode probing prompting dapat dilihat pada tabel 3..

Tabel 3. Kisi-Kisi Metode Pembelajaran Probing Prompting

No. Tahap

Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran

Nomor Butir 1 Menyampaikan

tujuan dan memotivasi

a. Memperlihatkan sampel objek makhluk hidup, makhluk tak hidup, dan benda mati.

b. Menayangkan daftar tujuan pembelajaran yang akan dicatat oleh siswa

2, 5 8, 9

2 Menyajikan informasi

Menyajikan informasi tahap demi tahap (sesuai urutan/secara logis) tentang ciri-ciri makhluk

10

3 Mengorganisasikan siswa ke dalam

kelompok-kelompok belajar

Mengelompokkan siswa kedalam 6 kelompok dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien

13, 14

4 Membimbing

kelompok bekerja dan belajar

a. Membimbing peserta didik untuk menganalisis hasil pengamatan dan mengerjakan soal diskusi pada LKS

b. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban

19


(52)

50

No. Tahap

Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran

Nomor Butir 5 Mengevaluasi Mengajukan pertanyaan akhir

pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa indikator tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa dan membuat rangkuman.

22, 24

6 Mengapresiasi Memberi penghargaan baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

25

Kisi-kisi metode probing prompting di atas kemudian dijadikan dasar oleh peneliti untuk membuat instrumen RPP yang tercantum pada lampiran 1.3 halaman.

b. Metode Pembelajaran Direct Instruction

Metode pembelajaran direct instruction adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata, praktis, dan sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa agar pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif dapat tercapai. Secara lebih jelas kisi-kisi pembelajaran menggunakan metode direct instruction dapat dilihat di tabel 4.


(53)

51

Tabel 4. Kisi-Kisi Metode Pembelajaran Direct Instruction

No. Tahap

Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran

Nomor Butir 1 Menyampaikan

tujuan dan mempersiapkan siswa

Menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai dalam belajar

6

2 Mendemonstrasikan pengetahuan atau ketrampilan

Mendemonstrasikan

pengetahuan tahap demi tahap tentang ciri-ciri makhluk

8

3 Membimbing pelatihan

a. Mengelompokkan siswa kedalam 6 kelompok b. Membimbing peserta

didik untuk menganalisis hasil pengamatan dan mengerjakan soal diskusi pada LKS

9 11, 12

4 Mengecek

pemahaman dan memberikan umpan balik

a. Mengadakan tanya jawab dengan peserta didik yang berkaitan dengan materi yang ditayangkan

b. Mengarahkan siswa mempresentasikan hasil diskusinya

13 15

5 Memberikan

kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan

a. Membimbing siswa membuat

rangkuman/kesimpulan melalui slide-slide power point yang disiapkan b. Memberikan tugas rumah

kepada siswa sebagai bentuk aplikasi pembelajaran

18

20

Kisi-kisi metode direct instruction di atas kemudian dijadikan dasar oleh peneliti untuk membuat instrumen RPP yang tercantum pada lampiran 1.4 halaman.


(54)

52 2. Keterampilan Berpikir Kritis

Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan siswa untuk mengobservasi, merumuskan berbagai macam pola pilihan dan menggeneralisasi, merumuskan kesimpulan pada pola-pola yang telah dikembangkan, serta mengevaluasi kesimpulan berdasarkan fakta. Berikut adalah kisi-kisi kemampuan berpikir kritis yang disajikan pada tabel 5. Tabel 5. Kisi-Kisi Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

No Prosedur Berpikir Kritis Adaptasi dari Kauchak

Jenis Kegiatan Deskriptor

1. Observasi Menyiapkan alat/bahan percobaan

Siswa membawa alat/bahan yang lengkap sesuai dengan LKS Melakukan

pengamatan

Siswa antusias dan sungguh-sungguh

melakukan pengamatan terhadap objek sesuai dengan petunjuk yang ada di LKS

2. Perumusan berbagai macam pola pilihan dan generalisasi.

Melakukan

percobaan sesuai dengan prosedur dan memperoleh data

Siswa antusias dan sungguh-sungguh

melakukan percobaan sesuai dengan petunjuk yang ada di LKS, dan mampu memperoleh data yang tepat

Melakukan diskusi Siswa antusias dan sungguh-sungguh untuk bertanya, menjawab pertanyaan, dan mengungkapkan

pendapat dengan tepat 3. Perumusan

kesimpulan pada pola-pola

Membuat dan mengajukan

hipotesis

Siswa membuat dan mengajukan hipotesis sesuai dengan tujuan


(55)

53 No Prosedur Berpikir Kritis Adaptasi dari Kauchak

Jenis Kegiatan Deskriptor

yang telah dikembangkan.

Menyajikan hasil percobaan

Siswa antusias dan dapat menyajikan hasil kerja kelompok dengan tepat 4. Mengevaluasi

kesimpulan berdasarkan fakta.

Membuat dan mengevaluasi kesimpulan

Siswa dapat membuat dan mengevaluasi kesimpulan yang tepat dan sesuai dengan tujuan

Kisi-kisi kemampuan berpikir di atas kemudian dijadikan dasar oleh peneliti untuk membuat insrumen tes yang tercantum pada lampiran 1.8 halaman dan lembar observasi kemampuan berpikir kritis yang tercantum pada lampiran 1.11 halaman.

E.Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik tes dan nontes. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes tertulis dengan bentuk soal pilihan ganda. Soal pilihan ganda tersebut dikaitkan dengan indikator berpikir kritis sehingga soal tersebut adalah berupa soal berpikir kritis. Soal berpikir kritis siswa digunakan untuk mengukur capaian kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen dan kontrol. Aspek kemampuan berpikir kritis yang diukur, antara lain: mengobservasi, merumuskan berbagai macam pola pilihan, menggeneralisasi hasil rumusan, merumuskan kesimpulan pada pola-pola yang telah dikembangkan, serta mengevaluasi kesimpulan berdasarkan fakta. Berikut adalah tabel kisi-kisi soal tes.


(56)

54 Tabel 6. Kisi-Kisi Soal Tes

Indikator Bepikir Kritis

Bentuk

Soal No Soal Skor

Maksimal PG

Melakukan observasi √ 1,2,4,5,7 5

Merumuskan berbagai macam pola pilihan

√ 3,6,8,9,11 5

Menggeneralisasikan hasil rumusan

√ 10,12,13,14,22 4 Merumuskan kesimpulan

pada pola-pola yang telah dikembangkan

√ 15,16,17 3

Mengevaluasi

kesimpulan berdasarkan fakta

√ 18,19,20,21.23 5

Jumlah 23 23

Pemilihan bentuk tes berupa pilihan ganda dikarenakan tes pilihan ganda dapat mengukur hasil belajar yang lebih kompleks, penilaian yang dilakukan lebih bersifat objektif, dapat mengukur kemampuan siswa sesuai dengan domain yang dikehendaki sesuai dengan tingkat kesukarannya, dan semua indikator dapat terwakili. Setiap soal memiliki satu atau lebih indikator kemampuan berpikir kritis. Penyusunan butir tes dimulai dengan menentukan kompetensi dasar dan indikator pembelajaran yang akan diukur sesuai dengan kurikulum yang berlaku yakni KTSP dan menentukan kemampuan berpikir kritis yang akan ditinjau. Selanjutnya menyusun butir tes berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat, melakukan validasi untuk mengetahui apakah soal-soal tersebut memenuhi kriteria soal yang layak digunakan meliputi validitas isi.

Instrumen nontes yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi keterlaksanaan dan lembar observasi kemampuan berpikir


(1)

71 Keterangan:

D = besar pengaruh dalam persen

Xe = nilai rerata posttest kelas eksperimen Xk = nilai rerata posttest kelas kontrol Spooled = standar deviasi gabungan

Spooled =

1−1 � 1 2

+ 2−1 � 2 2

1+ 2 Keterangan:

n1 = jumlah siswa kelas eksperimen n2 = jumlah siswa kelas kontrol Sd12 = varians kelas eksperimen Sd22 = varians kelas kontrol

Kriteria interpretasi besar pengaruh yang digunakan disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Kriteria Interpretasi Besar Pengaruh

Presentase Kategori

0% - 20% Sangat rendah

20% - 40% Rendah

41% - 70% Sedang

71% - 80% Tinggi

91% - 100% Sangat Tinggi

Sumber: Sugiyono (2010: 57)

5. Pengolahan Data Lembar Observasi Kemampuan Berpikir Kritis

Presentase kemampuan berpikir kritis dihitung menggunakan rumus presentase nilai rata-rata sebagai berikut:

% Nilai rata-rata (NR): ℎ � ℎ

ℎ ℎ 100%


(2)

72

Kategori kemampuan berpikir kritis yang telah dicapai oleh siswa dalam persen dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Interpretasi Ketercapaian Kemampuan Berpikir Kritis Presentase Nilai Rata-Rata (NR) Interpretasi

90 ≤ NR ≤ 100 Sangat Baik

80 ≤ NR ≤ 90 Baik

70 ≤ NR ≤ 80 Cukup

60 ≤ NR ≤ 70 Kurang

0 ≤ NR ≤ 60 Sangat Kurang


(3)

98

Daftar Pustaka

Abruscato, Joseph & DeRosa Donald A. (2010). Teaching children science-a discovery approach-7ed. Boston: Allyn & Bacon.

Alec Fischer. (2009). Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga. Anas Sudijono, (2009). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Asri Widowati. (2010). Pengembangan Critical Thinking. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Baiq Sukma A., dkk. (2014). Ekologi Tingkah Laku Hewan. https://www.academia.edu/9375084/EKOLOGI_TINGKAH_LAKU.

Diakses pada hari Kamis, 07 April 2016 Pukul 06.13 WIB.

Bruno Locatelli. (2012). Menghadapi Masa Depan yang Tak Pasti: Bagaimana Hutan dan Manusia Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim. Europe: Uni Eropa.

Burnie, D. (2000). Jendela IPTEK: Kehidupan, diterjemahkan oleh Dra. Astrid Ratna. Jakarta: Balai Pustaka.

Campbell. (2004). Biologi Edisi Kelima Jilid-3. Jakarta: Erlangga.

Carin, A.A. (1997). Teaching Modern Science (7th edition). Merril Printice Hall: New Jersey.

Chris Oxlade. (2007). Buku Pintar Penemuan. Yogyakarta: Platinum.

Dede Rosyada. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenata Media.

Depdiknas. (2005). Materi Latihan Terintegrasi: Ilmu Pengetahuan Alam Biologi. Jakarta: Depdiknas.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Dimyati dan Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.


(4)

99

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.

Fieldman, Daniel A. (2010). Berpikir Kritis: Strategi untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: PT Indeks.

Fisher, A. and Scriven, M. (1997). Critical Thinking: Its Definition and Assesment. Edgepress and Center for Research in Critical Thinking, University of East Anglia.

Hadi Suwono. (2010). Pembelajaran, Makhluk Hidup atau Benda Mati: Suatu Analogi. Semarang: Universitas Negeru Malang.

Hendro Darmodjo & Jenny R.E Kaligis. (1992). Pendidikan IPA. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

I Made Alit Mariana dan Wandi Praginda. (2010). Hakekat IPA dan Pendidikan IPA untuk Guru SMP. Bandung: PPPPTK IPA.

Jogiyanto. (2006). Filosofi, Pendekatan, dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus untuk Dosen dan Mahasiswa. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

Julius Irfan. (2015). Pengertian Adaptasi, Macam-Macam Adaptasi, dan Contoh Adaptasi. http://sainsforhuman.blogspot.com/2014/06/pengertian-macam-dan-contoh-adaptasi12.html. Diakses pada hari Senin, 11 April 2016 Pukul 13.09 WIB.

Jumadi. (2007). Pembelajaran Kontekstual dan Implementasinya. Makalah disampaikan pada Workshop Sosialisasi dan Iplementasi Kurikulum 2004 Madrayah Aliyah DIY, Jateng, Kalsel di FMIPA UNY Th 2003.

Kamisa, V. (1997). Karakter dan Akhlak Manusia. http://www.stat.auckland.ac.nz/~iase/publications/1/10_26_ve.pdf. Diakses pada hari Kamis, 18 Februari 2015 Pukul 06.53 WIB.

Meltzer. (2002). The relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Posible “Hidden Variable in Diagnostic Pretest Scores”. American Journal Physics.

Mirza Satriawan. (2012). Fisika Dasar. Yogyakarta: UGM.

Mohammad Nur. (2000). Pengajaran Langsung: Pusdat Sains dan Matematika Sekolah Program Pasca Sarjana. Surabaya: UNESA.


(5)

100

Muhammad Syakir. (2015). Apa Itu Kimia?.

https://muhammadsyakir.wordpress.com/. Diakses pada hari Senin, 11 April 2016 Pukul 13.04 WIB.

Nasution. (2003). Metode Research. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Ni Kd. Kariani. (2014). Model Problem Based Learning Menggunakan Metode Probing - Prompting Berpengaruh terhadap Hasil Belajar IPA Siswa. Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD, Vol: 2 No: 1 Tahun 2014.

Rendy. (2013). Biologi Asyik. http://biologirendy.blogspot.com/2011/12/gerak-pada-tumbuhan-beserta-gambar.html. Diakses pada hari Senin, 11 April 2016 Pukul 13.00 WIB.

Siti Mutmainnah. (2014). Penerapan Teknik Pembelajaran Probing-Prompting Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Siswa Kelas VIIIA SMP Negeri I Banawa Tengah. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako, 2 (1), 39-40. Santi Dewiki dan Sri Yuniati. (2006). Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Depdiknas. Siti Salmah. (2011). Bahan Ajar Biologi Umum. Padang: Universitas Andalas. Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

Srikini. (2008). Sains Biologi. Jakarta : Erlangga.

Sudjana. (2002). Metoda Statistika. PT. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

________. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suwandi, Drs dan Tjetjep S. R, Drs. (1996). Teknik-teknik Keterampilan Proses Belajar Mengajar bagi Guru Sekolah Dasar. Bandung: CV Media Imtaq. Syamsu Yusuf. (2004). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT.


(6)

101

Thalheimer, W., & Cook, S., (2002). How to Calculate Effect Sizes from Published Research: A Simplified Methodology. Copyright: A Work-Learning Research Publication. Tersedia di http://www.work-learning.com.

Tria Mardiana. (2014). Pengembangan Bank Soal dan Pembahasan Ujian Nasional SD Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas VI Berbasis Multimedia Interaktif dengan Macromedia Authorware 7.0 di SD Negeri Kalimenur Sentolo Kulon Progo DIY. Yogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta.

Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.

Tugino. (2015). Media Belajar: Tempat Berbagi Ilmu Pengetahuan. http://mastugino.blogspot.com/2013/09/ciri-makhluk-hidup.html. Diakses pada hari Senin, 11 April 2016 Pukul 12.53 WIB.

Turrini, dkk. (2004). Buku Ajar Biologi. Semarang: Universitas Diponegoro. Udin. (2014). Biologi Mupatska.

http://embrio-udin.blogspot.com/2014/02/gerak-pada-tumbuhan.html. Diakses pada hari Senin, 11 April 2016 Pukul 12.56 WIB.

Usman Samatowa. (2006). Bagaimana Membelajarkan IPA di Sekolah Dasar . Jakarta: Depdiknas.

Wina Sanjaya. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

___________. (2008). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wuest & Combardo. (1974). www.scribd.com/.../Identitas-Dan-Karakteristik-Siswa-Smp. Diakses pada hari Kamis, 18 Februari 2016 Pukul 07.21 WIB.


Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 9 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 12 50

ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR ALJABAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM MATEMATIKA PADA SISWA SMP KELAS VII

20 90 540

PENGARUH METODE PROBING PROMPTING TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI TEKS CERITA PENDEK SISWA KELAS VII SMP NEGERI 34 MEDAN TAHUN PEMBELAJARAN 2014/2015.

0 2 21

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MELALUI PENERAPAN TEKNIK PROBING-PROMPTING DALAM PEMBELAJARAN IPS : Penelitian Tindakan Kelas di Kelas VIII-4 SMP Negeri 1 Bandung.

0 3 50

PENERAPAN METODE TANYA-JAWAB DENGAN TEKNIK PROBING-PROMPTING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI KELAS XI IPA 4 SMAN 14 BANDUNG.

0 1 54

Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Socioscientific Issues (SSI) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Pemanasan Global | Karya Tulis Ilmiah

0 4 38

Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Socioscientific Issues (SSI) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Pemanasan Global

2 2 13

PENGARUH PENERAPAN METODE PEMECAHAN MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

1 1 16

BAB II IMPLEMENTASI METODE PROBING PROMPTING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR ANALISIS PESERTA DIDIK A. Implementasi Metode Pembelajaran 1. Implementasi - IMPLEMENTASI METODE PROBING PROMPTING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR ANALISIS PESERTA DI

0 0 24

POLA KOMUNIKASI SISWA SMP PADA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PROBING PROMPTING BERDASARKAN TINGKAT KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS - Unissula Repository

0 0 9