PENGEMBANGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNIN
PENGEMBANGAN MODEL PROBLEM BASED
LEARNING MENGGUNAKAN METODE TIME
CONTINUUM UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI
BELAJAR
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar Mandiri
Oleh Isniatun Munawaroh, M. Pd.
Disusun Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Arrum Melati Devinta Priadi
Nur Muh Ishaq Arrosidi
Iwan Sanjaya
Fadillah Rizki Arrahmah
Terra Meinta Dwi Kartika
Muhammad Alif Prianda
Ilham Syabani
Aprilian Prakarsa Mulya
Risqi Nuruz Syifa
(14105241024/TP.B 2014)
(14105241026/TP.B 2014)
(14105241031/TP.B 2014)
(14105241037/TP.B 2014)
(14105241046/TP.B 2014)
(14105241047/TP.B 2014)
(14105241049/TP.B 2014)
(14105241050/TP.B 2014)
(14105241051/TP.B 2014)
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2014/2015
PENGEMBANGAN MODEL PROBLEM BASED
LEARNING MENGGUNAKAN METODE TIME
CONTINUUM UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI
BELAJAR
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar Mandiri
Oleh Isniatun Munawaroh, M. Pd.
Disusun Oleh:
1. Arrum Melati Devinta Priadi
2. Nur Muh Ishaq Arrosidi
3. Iwan Sanjaya
4. Augustio Nurrakhmat Pramono
5. Fadillah Rizki Arrahmah
6. Terra Meinta Dwi Kartika
7. Muhammad Alif Prianda
8. Ilham Syabani
9. Aprilian Prakarsa Mulya
10. Risqi Nuruz Syifa
(14105241024/TP.B 2014)
(14105241026/TP.B 2014)
(14105241031/TP.B 2014)
(14105241031/TP.B 2104)
(14105241037/TP.B 2014)
(14105241046/TP.B 2014)
(14105241047/TP.B 2014)
(14105241049/TP.B 2014)
(14105241050/TP.B 2014)
(14105241051/TP.B 2014)
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2014/2015
BAB I
A. Latar Belakang
Pembelajaran di Indonesia masih dominan dengan gaya teacher
center. Hal ini memungkinkan siswanya sangat tergantung pada satu
sumber belajar yaitu guru. Jika tidak didorong oleh guru, siswa tidak aka
belajar. Artinya, siswa sulit untuk melaksanakan pembelajaran secarar
mandiri.
Banyak faktor yang menyebabkan siswa sulit untuk melaksanakan
pembelajaran mandiri. Diantaranya adalah model pembelajaran teacher
center yang cenderung turun-temurun dari generasi ke generasi yang
membuat siswanya tidak dapat berkembang, tidak kreatif, mengalami
ketergantungan (dalam hal ini mengandalkan guru sebagai sumber belajar)
dan tidak memiliki kemampuan untuk belajar mandiri. Hal ini
menyebabkan kurangnya motivasi belajar yang ada pada siswa. Sementara
belajar mandiri dapat terlaksana jika seseorang memiliki motivasi atau
dorongan untuk belajar
Berdasarkan hal tersebut, berikut akan dipaparkan pengembangan
metode pembelajaran Problem Based Learning dengan pengembangannya
menggunakan metode Time Continuum yang dapat menumbuhkan
motivasi belajar pada seseorang agar ia mampu melaksanakan sendiri
belajarnya, merumuskan sendiri kebutuhannya untuk belajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa itu belajar?
2. Apa itu belajar mandiri?
3. Apa itu Problem Based Learning?
4. Apa itu Metode Time Continuum?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat dirumuskan tujuan
sebagai berikut:
1. Memahami apa itu belajar
2. Memahammi apa itu belajar mandiri
3. Memahami apa itu Problem Based Learning
4. Memahami apa itu Metode Time Continuum
D. Manfaat
1.
Dapat memahami apa itu belajar
2.
Dapat memahammi apa itu belajar mandiri
3.
Dapat memahami apa itu Problem Based Learning
4.
Dapat memahami apa itu Metode Time Continuum
5.
Mampu menerapkan belajar mandiri pada diri sendiri
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan untuk menyusun makalah ini
adalah metode pustaka yaitu mengambil informasi dari buku-buku dan
internet
BAB II
A. Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku
atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang
diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143) Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respons berupa reaksi atau
tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karenatidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat
diamati adalah stimulus dan respons, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respons) harus
dapat diamati dan diukur.
Berikut merupakan pengertian belajar secara umu menurut para
ahli:
1. Menurut Winkel, Belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung
dalam
interaksi
aktif
dalam
lingkungan,
yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman.
2. Menurut Ernest R. Hilgard dalam (Sumardi Suryabrata, 1984:252)
belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja,
yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari
perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Sifat perubahannya relatif
permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa
diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan
akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.
3. Pengertian Belajar menurut Gagne dalam bukunya The Conditions of
Learning 1977, belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan
dalam perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum
individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan
yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau
latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau
perilaku yang bersifat naluriah.
4. Moh. Surya (1981:32), definisi belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksinya dengan lingkungan. Kesimpulan yang bisa diambil
dari kedua pengertian di atas, bahwa pada prinsipnya, belajar adalah
perubahan dari diri seseorang.
Dalam konteks belajar mandiri, kita diharpakan dapat memahami
pengertian belajar menurut teori belajar konstruktivisme. Belajar menurut
konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan
pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pngertian yang sudah
dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang
sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif sesorang terhadap
obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang sudah ada dan tersedian dan sementara orang lain tinggal
menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena
adanya pemahaman-pemahaman baru1
B. Pengertian Belajar Mandiri
Belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh
niat atau motif untuk menguasai sesuatu kompetensi
guna mengatasi
sesuatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau
kompetensi yang telah dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan
belajar, dan cara pencapaiannya baik penetapan waktu belajar, tempat
1
C. Asri Budiningsih, 2003, Belajar dan Pembelajaran, Universitas Negeri Yogyakarta:
Yogyakarta hal 56-57
belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, sumber belajar, maupun
evaluasi hasil belajar dialkukan oleh pembelajar sendiri.2
Namun, sering banyak orang menafsirkan bahwa belajar mandiri
adalah belajar yang dilakukan sendirian tanpa bantuan orang lain.
Berdasarkan pernyataan tersebut, hal ini sangat keliru. Belajar mandiri
dapat dilakukan dengan berbagai cara baik itu berdiskusi dengan teman,
membaca buku, bahkan bertanya pada guru. Esensi dari pernyataan di atas
bahwa belajar mandiri berkaitan serat dengan motif atau dorongan baik itu
dari luar maupun dari dalam dirinya. Belajar mandiri tidak dilihat dari
tindakan atau perbuatan seperti apa dia belajar, namun bagaimana ia
memiliki motif untuk melakukan kegiatan belajar dengan cara yang ia
rencanakan sendiri.
C. Pengertian Metode Time Continuum
Salah satu metode untuk mengembangkan motivasi belajar adalah
model ‘time continuum’. Menurut model ini ada 6 faktor yang
berpengaruh terhadap motivasi belajar, yaitu:
1. Sikap (attitude): merupakan kecenderungan untuk merespon kebutuhan
belajar, yang didasarkan pada pemahaman pembelajar tentang untungrugi melakukan perbuatan yang sedang dipertimbangkan untuk
dilakukan.
2. Kebutuhan (need): kekuatan dari dalam diri yang mendorong
pembelajar untuk berbuat menuju ke arah tujuan yang ditetapkan.
3. Rangsangan
(stimulation):
perasaan
bahwa
kemampuan
yang
diperolehnya dari belajar mulai dirasakan dapat meningkatkan
kemampuannya untuk menguasai lingkungan, merangsang untuk terus
belajar.
4. Emosi (affect): perasaan yang timbul sewaktu menjalankan kegiatan
belajar.
2
Haris Mudjiman, 2007, Belajar Mandiri (Self-motivated Learning), UNS Press: Surakarta hal 7
5. Kompetensi (competence): kemampuan tertentu untuk menguasai
lingkungan.
6. Penguatan (reinforcement): hasil belajar yang baik merupakan
penguatan untuk melakukan kegiatan belajar yang lebih lanjut.
Menurut model ‘time continuum’, setiap perbuatan belajar selalu
terdiri dari 3 tahap, yaitu:
1. Tahap Awal: Akan Masuk Proses Belajar
a. Menumbuhkan sikap positif terhadap kegiatan belajar dengan cara
menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu, menunjukkan
bahwa hasil belajar peserta didik bermanfaat dan memberikan
umpang
balik
untuk
menunjukkan
kemampuan
yang
telah
dicapainya.
b. Menyelenggarakan
pembelajaran
yang
berorientasi
kepada
kebutuhan peserta didik.
2. Tahap Tengah: Terlibat Dalam Kegiatan Pembelajaran
a. Menyelenggarakan proses pembelajaran yang variatif, baik dalam
hal metode yang digunakan atau bahan yang diajarkan, sehingga
memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk terus belajar.
b. Menyelenggarakan pembelajaran yang dapat menimbulkan rasa
senang peserta didik kepada apa yang dipelajari.
3. Tahap Akhir: Proses Pembelajaran Selesai
a. Memberikan umpan balik kepada peserta didik sehingga mereka
tahu sejauh mana telah mencapai kompetensi yang dicarinya.
b. Memberikan penguatan atau reinforcement kepada peserta didik atas
semua hasil belajar yang telah dicapainya. Strategi tersebut
merupakan strategi sederhana yang dapat dijalankan oleh pendidik di
dalam kegiatan belajar-mengajar. Namun penataan strategi tersebut
dalam suatu model, memungkinkan guru untuk melakukan kegiatan
yang sudah biasa mereka lakukan itu dalam suatu kerangka
konseptual yang baru, sehingga kegiatan belajar akan menjadi
terarah.
D. Pengertian Model Problem Based Learning
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based
Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn
(1980, Barret, 2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah
kedokteran di McMaster University Kanda pada tahun 60-an. PBM
sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa
PBM sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa
dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya.
PBM lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan pendekatan
pembelajaran tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter yang
nanti bertugas pada kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah
pasiennya sehingga harus mampu menyelesaikannya. Walaupun pertama
dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada
perkembangan selanjutnya diterapkan dalan pembelajaran secara umum.
Barrow (1980, Barret, 2005) mendefinisikan PBM sebagai “The
learning that results from the process of working towards the
understanding
ofa
resolution
of
a
problem.
The
problem
is
encounteredfirst in the learning process.” Sementara Cunningham et.all.
(2000, Chasman et.all., 2003) mendefiniskan PBM sebagai “…Problembased learning (PBL) has been defined as a teaching strategy that
“simultaneously
develops
problem-solving
strategies,
disciplinary
knowledge, and skills by placing students in the active role as problemsolvers confronted with a structured problem which mirrors real-world
problems".
Berdasarkan
pendapat
pakar-pakar
tersebut
maka
dapat
disimpulkan bahwaPROBLEM BASED LEARNING (PBL) merupakan
metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengenal cara belajar
dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalahmasalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan
keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL
menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu
untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber
pembelajaran.
Sehingga dapat diartikan bahwa PBL adalah proses pembelajaran
yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata
lalu dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai
sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan
terbentuk
pengetahuan
dan
pengalaman
baru.
Diskusi
dengan
menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan
PBL. PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah
merupakan pemandu utama ke arah pembelajaran tersebut. Dengan
demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik
dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
FASE – FASE PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
PBL berlangsung dalam enam fase, yaitu:
Fase 1: Pengajuan permasalahan. Soal yang diajukan seperti
dinyatakan sebelumnya harus tidak terstrktur dengan baik, dalam arti
untuk penyelesaiannya diperlukan informasi atau data lebih lanjut,
memungkinkan banyak cara atau jawaban, dan cukup luas kandungan
materinya.
Fase2: Apa yang diketahui diketahui dari permasalahan? Dalam
fase ini setiap anggota akan melihat permasalahan dari segi pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya. Kelompok akan mendiskusikan dan
menyepakati batasan-batasan mengenai permasalahan tersebut, serta
memilah-memilah isu-isu dan aspek-aspek yang cukup beralasan untuk
diselidiki lebih lanjut. Analisis awal ini harus menghasilkan titik awal
untuk penyelidikan dan dapat direvisi apabila suatu asumsi dipertanyakan
atau informasi baru muncul kepermukaan.
Fase 3: Apa yang tidak diketahui dari permasalahan? Disini
anggota kelompok akan membuat daftar pertanyaan-pertanyaan atau isuisu pembelajaran yang harus dijawab untuk menjelas permasalahan.
Dalam fase ini, anggota kelompok akan mengurai permasalahan menjadi
komponen-komponen, mendiskusikan implikasinya, mengajukan berbagai
penjelasan atau solusi, dan mengembangkan hipotesis kerja. Kegiatan ini
seperti fase “brainstorming” dengan evaluasi; penjelasan atau solusi
dicatat. Kelompok perlu merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan
informasi yang dibutuhkan, dan bagaimana informasi ini diperoleh.
Fase 4: Alternatif Pemecahan. Dalam fase ini anggota kelompok
akan mendiskusikan, mengevaluasi, dan mengorganisir hipotesis dan
mengubah hipotesis. Kelompok akan membuat daftar “Apa yang harus
dilakukan?” yang mengarah kepada sumberdaya yang dibutuhkan, orang
yang akan dihubungi, artikel yang akan dibaca, dan tindakan yang perlu
dilakukan oleh para anggota. Dalam fase ini anggota kelompok akan
menentukan dan mengalokasikan tugas-tugas, mengembangkan rencana
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut dapat
berasal dari dalam kelas, bahan bacaan, buku pelajaran, perpustakaan,
perusahaan, video, dan dari seorang pakar tertentu. Bila ada informasi
baru, kelompok perlu menganalisa dan mengevaluasi reliabilitas dan
kegunaannya untuk penyelesaian permasalahan yang sedang dihadapi.
Fase 5: Laporan dan Presentasi Hasil. Pada fase ini, setiap
kelompok akan menulis laporan hasil kerja kelompoknya. Laporan ini
memuat hasil kerja kelompok dalam fase-fase sebelumnya diikuti dengan
alasan mengapa suatu alternatif dipilih dan uraian tentang alternatif
tersebut. Pada bagian akhir setiap kelompok menjelaskan konsep yang
terkandung dalam permasalahan yang diajukan dan penyelesaian yang
mereka ajukan. Misalnya, rumus apa yang mereka gunakan. Laporan ini
kemudian dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan semua siswa.
Fase 6: Pengembangan Materi.
Dalam fase ini guru akan
mengembangkan materi yang akan dipelajari lebih lanjut dan mendalam
dan memfasilitasi pembelajaran berdasarkan konsep-konsep yang diajukan
oleh setiap kelompok dalam laporannya.
E. Penerapan Model Problem Based Learning untuk meningkatkan
motivasi belajar melalui metode Time Continuum
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang memiliki landasan
teori belajar konstruktivistik. Hal ini sangat cocok jika dikembangkan
untuk menciptakan motivasi belajar untuk belajar mandiri. Pondasi untuk
menciptakan belajar mandiri adalah dengan menumbuhkan motivasi
belajar. PBL diharapkan mampu menumbuhkan motivasi belajar pada
seseorang agar selalu ingin belajar, terutama belajar secara mandiri
Brown (1971) mengemukakan ada delapan ciri siswa yang
mempunyai motivasi belajar tinggi, yaitu:
1.
Tertarik pada guru artinya tidak bersikap acuh tak acuh,
2.
Tertarik pada mata pelajaran yang diajarkan,
3.
Antusias tinggi serta mengendalikan perhatian dan energi pada
kegiatan belajar,
4.
Ingin selalu bergabung dalam suatu kelompok,
5.
Ingin identitas diri diakui oleh orang lain,
6.
Tindakan serta kebiasaannya serta moralnya selalu dalam kontrol diri,
7.
Selalu mengingat pelajaran dan selalu mempelajarinya kembali di
rumah, dan
8.
Selalu terkontrol oleh lingkungan.
Agar terbentuk sesorang yang memiliki ciri seperti di atas, kami
mencoba untuk mengembangkan PBL menggunakan metode Time
Continuum. PBL memiliki enam fase, sementara Time Continum memiliki
3 tahap yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.
Pada fase satu, dua, dan tiga dalam PBL, merumuskan kopetensi
berdasarkan kesepakatan bersama kemudian merumuskan suatu masalah
oleh guru kepada siswa yang sifatnya tidak berstruktur dengan baik.
Artinya, pada fase akhir siswa diharapkan dapat memecahkan masalah
seusai analisis mereka masing-masing. Tiga fase tersebut kita terapkan
pada tahap awal dalam metode Time Continuum. Dijelaskan bahwa pada
tahap awal ini, suasana belajar diharapkan memiliki daya positif terhadap
proses pembelajaran. Maksudnya adalah siswa menyadari bahwa
pembelajaran yang diikutinya akan bermanfaat bagi dirinya. Penentuan
masalah diharapkan dapat menarik minat, perhatian, dan memotivasi
siswanya. Masalah tersebut dapat diangkat dari hal-hal yang sering dialami
oleh siswa. Hal ini diharapkan bermanfaat bagi siswa, karena jika siswa
mengalami hal tersebut dalam kehidupan nyata, mereka akan memiliki
pengetahuan
dan
kemampuan
untuk
memecahkan
masalahnya.
Selanjutnya, siswa diharap akan termotivasi untuk menggali pengetahuan
dan potensinya secara mandiri.
Pada fase lima dan enam dalam PBL, siswa berperan aktif dalam
mencari solusi dan pemecahan masalah dengan berdiskusi, kemudian
setelah itu mempresentasikan hasil diskusi yang dirumuskan pada tahap
awal dalam Time Continuum. Kedua fase tersebut kita terapkan pada tahap
tengah/inti dalam Time Continuum. Di dalam fase ini, akan terjadi
konstruksi dari masing-masing siswa untuk menyampaikan gagasannya
dalam memecahkan masalah. Selain siswa yang berperan aktif dalam
memecahkan masalah, guru diharapkan dapat menciptakan suasa belajar
yang menyenangkan agar siswa semakin bersemangat dalam mengikuti
proses belajar.
Pada fase terkahir yaitu fase enam dalam PBL, baik guru maupun
siswa melakukan pengembangan atas hasil diskusi dan kegiatan
pembelajaran. Mereka melakukan kegiatan evaluasi sampai sejauh mana
siswa memahami dan mencapai kompetensi yang dirumuskannya.
Pengembangan di sini maksudnya adalah bagaimana hasil diskusi dalam
kegiatan belajar mengajar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini diharapkan mampu meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa
agar kegiatan belajar mengajar berikutnya siswa senantiasa antusias dan
tertarik selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Fase enam ini kita
terapkan pada tahap akhir dalam Time Continuum.
BAB III
A. Kesimpulan
Untuk menciptakan belajar mandiri seseorang, perlu dibangun
landasan konstruktivisme dengan cara berpikirnya yang mengkonstruksi
pengetahuan seseorang berdasarkan pengalamannya. Setelah membangung
landasan konstruktivisme, kemudian membangun motivasi belajar
seseorang. Hal ini sangat penting karena untuk terciptanya belajar mandiri,
perlu adanya kesadaran dan motif ingin menguasai suatu kompetensi.
Tanpa adanya motivasi, seseorang tidak akan pernah bisa melakukan
pembelajaran mandiri.
Untuk mendukung upaya tersebut, maka ada beberapa metode
belajar yang mampu meningkatkan motivasi belajar seseorang dan pada
akhirnya terjadilah proses belajar mandiri dalam dirinya. Salah satunya
adalah Model Problem Based Learnig atau pembelajaran berbasis
masalah. Jika diperhatikan, PBL ini memiliki landasan teori konstruktivitik
yaitu
mengandalkan
kemampuan
mengkonstruksi
pengetahuan
berdasarkan pengalaman dengan memecahkan suatu masalah berdasarkan
analisis masing-masing individu.
Dalam meningkatkan motivasi belajar, dapat digunakan metode
Time Continuum. Metode in memiliki tiga tahap yaitu tahap awal, tahap
tengah dan tahap akhir. Dengan memadukan model PBL dengan metode
Time Continnum, diharpak akan tumbuh motivasi belajar dan terjadi proses
belajar mandiri dalam diri seseorang tersebut.
REFERENSI
Budiningsih, C. Asri. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Universitas Negeri
Yogyakarta: Yogyakarta
Haryanto. 2010. Pengertian Belajar Menurut Ahli. Diakses pada website:
http://belajarpsikologi.com/pengertian-belajar-menurut-ahli/
Indayani, Lilis. 2014. Penggunaan Model Pengajaran Langsung dalam
Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa di SMP Negeri 10 Probolinggo.
Diakses pada website: http://www.slideshare.net/lilisindayani/modelpengajaran-langsung-dlm-meningkatkan-motivasi-belajar
Lidinillah, Dindin Abdul Muiz. 2012. Problem Based Learning. Diakses pada
Universitas
Pendidikan
Indonesia
edu
website:
http://file.upi.edu/Direktori/KDTASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_%28KDTASIKMALAYA%29-197901132005011003/132313548%20-%20dindin
%20abdul%20muiz%20lidinillah/Problem%20Based%20Learning.pdf
Mudjiman, Haris. 2007. Belajar Mandiri (Self-motivated Learning). UNS Press:
Surakarta
Sulastianingrum, Gita. 2013. Makalah Teori Belajar Konstruktivistik. Diakses
pada academia edu website:
https://www.academia.edu/4614990/Teori_Belajar_Konstruktivistik
Wikipedia
Indonesia.
(n.d).
Belajar.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Belajar
Diakses
pada
website:
LEARNING MENGGUNAKAN METODE TIME
CONTINUUM UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI
BELAJAR
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar Mandiri
Oleh Isniatun Munawaroh, M. Pd.
Disusun Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Arrum Melati Devinta Priadi
Nur Muh Ishaq Arrosidi
Iwan Sanjaya
Fadillah Rizki Arrahmah
Terra Meinta Dwi Kartika
Muhammad Alif Prianda
Ilham Syabani
Aprilian Prakarsa Mulya
Risqi Nuruz Syifa
(14105241024/TP.B 2014)
(14105241026/TP.B 2014)
(14105241031/TP.B 2014)
(14105241037/TP.B 2014)
(14105241046/TP.B 2014)
(14105241047/TP.B 2014)
(14105241049/TP.B 2014)
(14105241050/TP.B 2014)
(14105241051/TP.B 2014)
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2014/2015
PENGEMBANGAN MODEL PROBLEM BASED
LEARNING MENGGUNAKAN METODE TIME
CONTINUUM UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI
BELAJAR
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar Mandiri
Oleh Isniatun Munawaroh, M. Pd.
Disusun Oleh:
1. Arrum Melati Devinta Priadi
2. Nur Muh Ishaq Arrosidi
3. Iwan Sanjaya
4. Augustio Nurrakhmat Pramono
5. Fadillah Rizki Arrahmah
6. Terra Meinta Dwi Kartika
7. Muhammad Alif Prianda
8. Ilham Syabani
9. Aprilian Prakarsa Mulya
10. Risqi Nuruz Syifa
(14105241024/TP.B 2014)
(14105241026/TP.B 2014)
(14105241031/TP.B 2014)
(14105241031/TP.B 2104)
(14105241037/TP.B 2014)
(14105241046/TP.B 2014)
(14105241047/TP.B 2014)
(14105241049/TP.B 2014)
(14105241050/TP.B 2014)
(14105241051/TP.B 2014)
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2014/2015
BAB I
A. Latar Belakang
Pembelajaran di Indonesia masih dominan dengan gaya teacher
center. Hal ini memungkinkan siswanya sangat tergantung pada satu
sumber belajar yaitu guru. Jika tidak didorong oleh guru, siswa tidak aka
belajar. Artinya, siswa sulit untuk melaksanakan pembelajaran secarar
mandiri.
Banyak faktor yang menyebabkan siswa sulit untuk melaksanakan
pembelajaran mandiri. Diantaranya adalah model pembelajaran teacher
center yang cenderung turun-temurun dari generasi ke generasi yang
membuat siswanya tidak dapat berkembang, tidak kreatif, mengalami
ketergantungan (dalam hal ini mengandalkan guru sebagai sumber belajar)
dan tidak memiliki kemampuan untuk belajar mandiri. Hal ini
menyebabkan kurangnya motivasi belajar yang ada pada siswa. Sementara
belajar mandiri dapat terlaksana jika seseorang memiliki motivasi atau
dorongan untuk belajar
Berdasarkan hal tersebut, berikut akan dipaparkan pengembangan
metode pembelajaran Problem Based Learning dengan pengembangannya
menggunakan metode Time Continuum yang dapat menumbuhkan
motivasi belajar pada seseorang agar ia mampu melaksanakan sendiri
belajarnya, merumuskan sendiri kebutuhannya untuk belajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa itu belajar?
2. Apa itu belajar mandiri?
3. Apa itu Problem Based Learning?
4. Apa itu Metode Time Continuum?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat dirumuskan tujuan
sebagai berikut:
1. Memahami apa itu belajar
2. Memahammi apa itu belajar mandiri
3. Memahami apa itu Problem Based Learning
4. Memahami apa itu Metode Time Continuum
D. Manfaat
1.
Dapat memahami apa itu belajar
2.
Dapat memahammi apa itu belajar mandiri
3.
Dapat memahami apa itu Problem Based Learning
4.
Dapat memahami apa itu Metode Time Continuum
5.
Mampu menerapkan belajar mandiri pada diri sendiri
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan untuk menyusun makalah ini
adalah metode pustaka yaitu mengambil informasi dari buku-buku dan
internet
BAB II
A. Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku
atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang
diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143) Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respons berupa reaksi atau
tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karenatidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat
diamati adalah stimulus dan respons, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respons) harus
dapat diamati dan diukur.
Berikut merupakan pengertian belajar secara umu menurut para
ahli:
1. Menurut Winkel, Belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung
dalam
interaksi
aktif
dalam
lingkungan,
yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman.
2. Menurut Ernest R. Hilgard dalam (Sumardi Suryabrata, 1984:252)
belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja,
yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari
perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Sifat perubahannya relatif
permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa
diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan
akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.
3. Pengertian Belajar menurut Gagne dalam bukunya The Conditions of
Learning 1977, belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan
dalam perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum
individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan
yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau
latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau
perilaku yang bersifat naluriah.
4. Moh. Surya (1981:32), definisi belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksinya dengan lingkungan. Kesimpulan yang bisa diambil
dari kedua pengertian di atas, bahwa pada prinsipnya, belajar adalah
perubahan dari diri seseorang.
Dalam konteks belajar mandiri, kita diharpakan dapat memahami
pengertian belajar menurut teori belajar konstruktivisme. Belajar menurut
konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan
pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pngertian yang sudah
dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang
sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif sesorang terhadap
obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah
sesuatu yang sudah ada dan tersedian dan sementara orang lain tinggal
menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena
adanya pemahaman-pemahaman baru1
B. Pengertian Belajar Mandiri
Belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh
niat atau motif untuk menguasai sesuatu kompetensi
guna mengatasi
sesuatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau
kompetensi yang telah dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan
belajar, dan cara pencapaiannya baik penetapan waktu belajar, tempat
1
C. Asri Budiningsih, 2003, Belajar dan Pembelajaran, Universitas Negeri Yogyakarta:
Yogyakarta hal 56-57
belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, sumber belajar, maupun
evaluasi hasil belajar dialkukan oleh pembelajar sendiri.2
Namun, sering banyak orang menafsirkan bahwa belajar mandiri
adalah belajar yang dilakukan sendirian tanpa bantuan orang lain.
Berdasarkan pernyataan tersebut, hal ini sangat keliru. Belajar mandiri
dapat dilakukan dengan berbagai cara baik itu berdiskusi dengan teman,
membaca buku, bahkan bertanya pada guru. Esensi dari pernyataan di atas
bahwa belajar mandiri berkaitan serat dengan motif atau dorongan baik itu
dari luar maupun dari dalam dirinya. Belajar mandiri tidak dilihat dari
tindakan atau perbuatan seperti apa dia belajar, namun bagaimana ia
memiliki motif untuk melakukan kegiatan belajar dengan cara yang ia
rencanakan sendiri.
C. Pengertian Metode Time Continuum
Salah satu metode untuk mengembangkan motivasi belajar adalah
model ‘time continuum’. Menurut model ini ada 6 faktor yang
berpengaruh terhadap motivasi belajar, yaitu:
1. Sikap (attitude): merupakan kecenderungan untuk merespon kebutuhan
belajar, yang didasarkan pada pemahaman pembelajar tentang untungrugi melakukan perbuatan yang sedang dipertimbangkan untuk
dilakukan.
2. Kebutuhan (need): kekuatan dari dalam diri yang mendorong
pembelajar untuk berbuat menuju ke arah tujuan yang ditetapkan.
3. Rangsangan
(stimulation):
perasaan
bahwa
kemampuan
yang
diperolehnya dari belajar mulai dirasakan dapat meningkatkan
kemampuannya untuk menguasai lingkungan, merangsang untuk terus
belajar.
4. Emosi (affect): perasaan yang timbul sewaktu menjalankan kegiatan
belajar.
2
Haris Mudjiman, 2007, Belajar Mandiri (Self-motivated Learning), UNS Press: Surakarta hal 7
5. Kompetensi (competence): kemampuan tertentu untuk menguasai
lingkungan.
6. Penguatan (reinforcement): hasil belajar yang baik merupakan
penguatan untuk melakukan kegiatan belajar yang lebih lanjut.
Menurut model ‘time continuum’, setiap perbuatan belajar selalu
terdiri dari 3 tahap, yaitu:
1. Tahap Awal: Akan Masuk Proses Belajar
a. Menumbuhkan sikap positif terhadap kegiatan belajar dengan cara
menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu, menunjukkan
bahwa hasil belajar peserta didik bermanfaat dan memberikan
umpang
balik
untuk
menunjukkan
kemampuan
yang
telah
dicapainya.
b. Menyelenggarakan
pembelajaran
yang
berorientasi
kepada
kebutuhan peserta didik.
2. Tahap Tengah: Terlibat Dalam Kegiatan Pembelajaran
a. Menyelenggarakan proses pembelajaran yang variatif, baik dalam
hal metode yang digunakan atau bahan yang diajarkan, sehingga
memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk terus belajar.
b. Menyelenggarakan pembelajaran yang dapat menimbulkan rasa
senang peserta didik kepada apa yang dipelajari.
3. Tahap Akhir: Proses Pembelajaran Selesai
a. Memberikan umpan balik kepada peserta didik sehingga mereka
tahu sejauh mana telah mencapai kompetensi yang dicarinya.
b. Memberikan penguatan atau reinforcement kepada peserta didik atas
semua hasil belajar yang telah dicapainya. Strategi tersebut
merupakan strategi sederhana yang dapat dijalankan oleh pendidik di
dalam kegiatan belajar-mengajar. Namun penataan strategi tersebut
dalam suatu model, memungkinkan guru untuk melakukan kegiatan
yang sudah biasa mereka lakukan itu dalam suatu kerangka
konseptual yang baru, sehingga kegiatan belajar akan menjadi
terarah.
D. Pengertian Model Problem Based Learning
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based
Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn
(1980, Barret, 2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah
kedokteran di McMaster University Kanda pada tahun 60-an. PBM
sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa
PBM sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa
dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya.
PBM lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan pendekatan
pembelajaran tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter yang
nanti bertugas pada kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah
pasiennya sehingga harus mampu menyelesaikannya. Walaupun pertama
dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada
perkembangan selanjutnya diterapkan dalan pembelajaran secara umum.
Barrow (1980, Barret, 2005) mendefinisikan PBM sebagai “The
learning that results from the process of working towards the
understanding
ofa
resolution
of
a
problem.
The
problem
is
encounteredfirst in the learning process.” Sementara Cunningham et.all.
(2000, Chasman et.all., 2003) mendefiniskan PBM sebagai “…Problembased learning (PBL) has been defined as a teaching strategy that
“simultaneously
develops
problem-solving
strategies,
disciplinary
knowledge, and skills by placing students in the active role as problemsolvers confronted with a structured problem which mirrors real-world
problems".
Berdasarkan
pendapat
pakar-pakar
tersebut
maka
dapat
disimpulkan bahwaPROBLEM BASED LEARNING (PBL) merupakan
metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengenal cara belajar
dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalahmasalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan
keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL
menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu
untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber
pembelajaran.
Sehingga dapat diartikan bahwa PBL adalah proses pembelajaran
yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata
lalu dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai
sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan
terbentuk
pengetahuan
dan
pengalaman
baru.
Diskusi
dengan
menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan
PBL. PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah
merupakan pemandu utama ke arah pembelajaran tersebut. Dengan
demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik
dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
FASE – FASE PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
PBL berlangsung dalam enam fase, yaitu:
Fase 1: Pengajuan permasalahan. Soal yang diajukan seperti
dinyatakan sebelumnya harus tidak terstrktur dengan baik, dalam arti
untuk penyelesaiannya diperlukan informasi atau data lebih lanjut,
memungkinkan banyak cara atau jawaban, dan cukup luas kandungan
materinya.
Fase2: Apa yang diketahui diketahui dari permasalahan? Dalam
fase ini setiap anggota akan melihat permasalahan dari segi pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya. Kelompok akan mendiskusikan dan
menyepakati batasan-batasan mengenai permasalahan tersebut, serta
memilah-memilah isu-isu dan aspek-aspek yang cukup beralasan untuk
diselidiki lebih lanjut. Analisis awal ini harus menghasilkan titik awal
untuk penyelidikan dan dapat direvisi apabila suatu asumsi dipertanyakan
atau informasi baru muncul kepermukaan.
Fase 3: Apa yang tidak diketahui dari permasalahan? Disini
anggota kelompok akan membuat daftar pertanyaan-pertanyaan atau isuisu pembelajaran yang harus dijawab untuk menjelas permasalahan.
Dalam fase ini, anggota kelompok akan mengurai permasalahan menjadi
komponen-komponen, mendiskusikan implikasinya, mengajukan berbagai
penjelasan atau solusi, dan mengembangkan hipotesis kerja. Kegiatan ini
seperti fase “brainstorming” dengan evaluasi; penjelasan atau solusi
dicatat. Kelompok perlu merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan
informasi yang dibutuhkan, dan bagaimana informasi ini diperoleh.
Fase 4: Alternatif Pemecahan. Dalam fase ini anggota kelompok
akan mendiskusikan, mengevaluasi, dan mengorganisir hipotesis dan
mengubah hipotesis. Kelompok akan membuat daftar “Apa yang harus
dilakukan?” yang mengarah kepada sumberdaya yang dibutuhkan, orang
yang akan dihubungi, artikel yang akan dibaca, dan tindakan yang perlu
dilakukan oleh para anggota. Dalam fase ini anggota kelompok akan
menentukan dan mengalokasikan tugas-tugas, mengembangkan rencana
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut dapat
berasal dari dalam kelas, bahan bacaan, buku pelajaran, perpustakaan,
perusahaan, video, dan dari seorang pakar tertentu. Bila ada informasi
baru, kelompok perlu menganalisa dan mengevaluasi reliabilitas dan
kegunaannya untuk penyelesaian permasalahan yang sedang dihadapi.
Fase 5: Laporan dan Presentasi Hasil. Pada fase ini, setiap
kelompok akan menulis laporan hasil kerja kelompoknya. Laporan ini
memuat hasil kerja kelompok dalam fase-fase sebelumnya diikuti dengan
alasan mengapa suatu alternatif dipilih dan uraian tentang alternatif
tersebut. Pada bagian akhir setiap kelompok menjelaskan konsep yang
terkandung dalam permasalahan yang diajukan dan penyelesaian yang
mereka ajukan. Misalnya, rumus apa yang mereka gunakan. Laporan ini
kemudian dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan semua siswa.
Fase 6: Pengembangan Materi.
Dalam fase ini guru akan
mengembangkan materi yang akan dipelajari lebih lanjut dan mendalam
dan memfasilitasi pembelajaran berdasarkan konsep-konsep yang diajukan
oleh setiap kelompok dalam laporannya.
E. Penerapan Model Problem Based Learning untuk meningkatkan
motivasi belajar melalui metode Time Continuum
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang memiliki landasan
teori belajar konstruktivistik. Hal ini sangat cocok jika dikembangkan
untuk menciptakan motivasi belajar untuk belajar mandiri. Pondasi untuk
menciptakan belajar mandiri adalah dengan menumbuhkan motivasi
belajar. PBL diharapkan mampu menumbuhkan motivasi belajar pada
seseorang agar selalu ingin belajar, terutama belajar secara mandiri
Brown (1971) mengemukakan ada delapan ciri siswa yang
mempunyai motivasi belajar tinggi, yaitu:
1.
Tertarik pada guru artinya tidak bersikap acuh tak acuh,
2.
Tertarik pada mata pelajaran yang diajarkan,
3.
Antusias tinggi serta mengendalikan perhatian dan energi pada
kegiatan belajar,
4.
Ingin selalu bergabung dalam suatu kelompok,
5.
Ingin identitas diri diakui oleh orang lain,
6.
Tindakan serta kebiasaannya serta moralnya selalu dalam kontrol diri,
7.
Selalu mengingat pelajaran dan selalu mempelajarinya kembali di
rumah, dan
8.
Selalu terkontrol oleh lingkungan.
Agar terbentuk sesorang yang memiliki ciri seperti di atas, kami
mencoba untuk mengembangkan PBL menggunakan metode Time
Continuum. PBL memiliki enam fase, sementara Time Continum memiliki
3 tahap yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.
Pada fase satu, dua, dan tiga dalam PBL, merumuskan kopetensi
berdasarkan kesepakatan bersama kemudian merumuskan suatu masalah
oleh guru kepada siswa yang sifatnya tidak berstruktur dengan baik.
Artinya, pada fase akhir siswa diharapkan dapat memecahkan masalah
seusai analisis mereka masing-masing. Tiga fase tersebut kita terapkan
pada tahap awal dalam metode Time Continuum. Dijelaskan bahwa pada
tahap awal ini, suasana belajar diharapkan memiliki daya positif terhadap
proses pembelajaran. Maksudnya adalah siswa menyadari bahwa
pembelajaran yang diikutinya akan bermanfaat bagi dirinya. Penentuan
masalah diharapkan dapat menarik minat, perhatian, dan memotivasi
siswanya. Masalah tersebut dapat diangkat dari hal-hal yang sering dialami
oleh siswa. Hal ini diharapkan bermanfaat bagi siswa, karena jika siswa
mengalami hal tersebut dalam kehidupan nyata, mereka akan memiliki
pengetahuan
dan
kemampuan
untuk
memecahkan
masalahnya.
Selanjutnya, siswa diharap akan termotivasi untuk menggali pengetahuan
dan potensinya secara mandiri.
Pada fase lima dan enam dalam PBL, siswa berperan aktif dalam
mencari solusi dan pemecahan masalah dengan berdiskusi, kemudian
setelah itu mempresentasikan hasil diskusi yang dirumuskan pada tahap
awal dalam Time Continuum. Kedua fase tersebut kita terapkan pada tahap
tengah/inti dalam Time Continuum. Di dalam fase ini, akan terjadi
konstruksi dari masing-masing siswa untuk menyampaikan gagasannya
dalam memecahkan masalah. Selain siswa yang berperan aktif dalam
memecahkan masalah, guru diharapkan dapat menciptakan suasa belajar
yang menyenangkan agar siswa semakin bersemangat dalam mengikuti
proses belajar.
Pada fase terkahir yaitu fase enam dalam PBL, baik guru maupun
siswa melakukan pengembangan atas hasil diskusi dan kegiatan
pembelajaran. Mereka melakukan kegiatan evaluasi sampai sejauh mana
siswa memahami dan mencapai kompetensi yang dirumuskannya.
Pengembangan di sini maksudnya adalah bagaimana hasil diskusi dalam
kegiatan belajar mengajar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini diharapkan mampu meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa
agar kegiatan belajar mengajar berikutnya siswa senantiasa antusias dan
tertarik selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Fase enam ini kita
terapkan pada tahap akhir dalam Time Continuum.
BAB III
A. Kesimpulan
Untuk menciptakan belajar mandiri seseorang, perlu dibangun
landasan konstruktivisme dengan cara berpikirnya yang mengkonstruksi
pengetahuan seseorang berdasarkan pengalamannya. Setelah membangung
landasan konstruktivisme, kemudian membangun motivasi belajar
seseorang. Hal ini sangat penting karena untuk terciptanya belajar mandiri,
perlu adanya kesadaran dan motif ingin menguasai suatu kompetensi.
Tanpa adanya motivasi, seseorang tidak akan pernah bisa melakukan
pembelajaran mandiri.
Untuk mendukung upaya tersebut, maka ada beberapa metode
belajar yang mampu meningkatkan motivasi belajar seseorang dan pada
akhirnya terjadilah proses belajar mandiri dalam dirinya. Salah satunya
adalah Model Problem Based Learnig atau pembelajaran berbasis
masalah. Jika diperhatikan, PBL ini memiliki landasan teori konstruktivitik
yaitu
mengandalkan
kemampuan
mengkonstruksi
pengetahuan
berdasarkan pengalaman dengan memecahkan suatu masalah berdasarkan
analisis masing-masing individu.
Dalam meningkatkan motivasi belajar, dapat digunakan metode
Time Continuum. Metode in memiliki tiga tahap yaitu tahap awal, tahap
tengah dan tahap akhir. Dengan memadukan model PBL dengan metode
Time Continnum, diharpak akan tumbuh motivasi belajar dan terjadi proses
belajar mandiri dalam diri seseorang tersebut.
REFERENSI
Budiningsih, C. Asri. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Universitas Negeri
Yogyakarta: Yogyakarta
Haryanto. 2010. Pengertian Belajar Menurut Ahli. Diakses pada website:
http://belajarpsikologi.com/pengertian-belajar-menurut-ahli/
Indayani, Lilis. 2014. Penggunaan Model Pengajaran Langsung dalam
Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa di SMP Negeri 10 Probolinggo.
Diakses pada website: http://www.slideshare.net/lilisindayani/modelpengajaran-langsung-dlm-meningkatkan-motivasi-belajar
Lidinillah, Dindin Abdul Muiz. 2012. Problem Based Learning. Diakses pada
Universitas
Pendidikan
Indonesia
edu
website:
http://file.upi.edu/Direktori/KDTASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_%28KDTASIKMALAYA%29-197901132005011003/132313548%20-%20dindin
%20abdul%20muiz%20lidinillah/Problem%20Based%20Learning.pdf
Mudjiman, Haris. 2007. Belajar Mandiri (Self-motivated Learning). UNS Press:
Surakarta
Sulastianingrum, Gita. 2013. Makalah Teori Belajar Konstruktivistik. Diakses
pada academia edu website:
https://www.academia.edu/4614990/Teori_Belajar_Konstruktivistik
Wikipedia
Indonesia.
(n.d).
Belajar.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Belajar
Diakses
pada
website: