SENI KONTEMPORER INGATAN DAN SEJARAH

SENI KONTEMPORER, INGATAN DAN SEJARAH
Oleh: Alia Swastika
Dalam perhelatan seni paling bergengsi di dunia, yakni Documenta, yang
berlangsung di Kassel, Jerman, setiap 5 tahun sekali, pada 2012 yang lalu
saya melihat bagaimana kecenderungan baru dalam dunia seni kontemporer
untuk menghubungkan praktik seni dengan narasi sejarah. Documenta 2012
dikuratori oleh Carolyne Christov-Bachargiev, seorang kurator perempuan
terkemuka yang sebelumnya sempat mengomandani Sydney Biennale 2010.
Tak kurang dari 200 seniman terlibat, memajang karya dalam ruang publik
dan museum-museum kota. Dalam ajang itu, Carolyne mempertemukan
seniman-seniman paling terkemuka dari seluruh dunia, dan mengajak mereka
untuk menjalankan praktik-praktik penelitian artistik dan membangun
bentukan imajinatif atas fenomena sosial politik terkini. Selain berfokus pada
sejarah Kassel, dan juga, lebih luas lagi, Jerman, Documenta 13 juga
mencoba membangun koneksi dengan sejarah dan masyarakat Kabul di
Afganistan, serta kota Alexandria di Mesir. Hasilnya cukup menakjubkan;
banyak sekali projek-projek seni berbasis sejarah yang berhasil memberikan
tafsir ulang yang mengejutkan atas fakta atau artifak yang selama ini
tersembunyi, terlupakan, atau tidak mendapatkan perhatian. Proyek
Documenta Carolyne seperti menciptakan tren baru pada tahun-tahun
berikutnya tentang bagaimana seniman berupaya untuk mendekati kembali

sejarah dengan memanfaatkan ingatan dan artifak atau dokumentasi, untuk
dipresentasikan kembali dalam bentuk yang lebih imajinatif.
Salah satu karya yang cukup menonjol dalam ajang tersebut misalnya rekaan
seniman Irak-Israel, Michael Rakowitz. Michael Rakowitz menghabiskan
beberapa waktu untuk melakukan penelitian di sebuah wilayah di Kabul,
Afganistan. Di sana, ia menemukan reruntuhan dari sebuah kuil yang dibakar
oleh kelompok Taliban. Di dalam kuil tersebut, terdapat pula perpustakaan
yang menyimpan buku dan kitab-kitab kuno yang merupakan sumber
pengetahuan masyarakat lokal dari zaman ke zaman. Michael kemudian
mengajak warga sekitar untuk menelusuri lagi peristiwa tersebut. Ia juga
memberi lokakarya membuat patung dari bahan tanah, dan bersama warga,
ia kemudian mencetak kembali buku-buku yang hilang dari tanah bekas
reruntuhan kuil, seperti membangun kembali perpustakaan yang hilang.
Dalam proyek seperti ini, karya seni menjadi sebuah monumen bagi ingatan
bersama, untuk mengingat kepahitan masa lalu, tetapi pada saat yang sama,
belajar bersama-sama untuk menyembuhkannya. Ada banyak karya-karya
semacam itu yang, saya kira, cukup inspiratif dalam situasi dunia yang penuh
tragedi sekarang ini.
Dalam konteks Indonesia, tentu saja telah cukup lama seniman juga bekerja
memeriksa fakta sejarah, bahkan sebelum tahun 2000an. Akan tetapi, karena

situasi politik pada saat Orde Baru yang penuh sensor, seniman tetap harus
bermain dengan siasat tertentu untuk menghindari konflik dengan aparat.
Karenanya, mengungkap fakta-fakta sejarah yang kelam harus dilakukan
dengan penuh kehati-hatian. Sebagian sikap politik seniman sebelum tahun

2000an merupakan reaksi spontan atau bersifat komentar terhadap situasi
sosial politik, atau kritik pedas pada pemerintah. Baru setelah pertengahan
tahun 2000an, para seniman mulai melakukan kerja-kerja lebih serius dan
penelitian jangka panjang tentang sejarah kelam bangsanya sendiri.
Memasuki kerja berbasis sejarah ini juga menuntut seniman untuk secara
cermat menentukan strategi dan pendekatan yang cocok dengan isunya.
Pertama, beberapa seniman menerjemahkan kerja penelitian sejarah ini
dengan cara memasuki pengalaman dan ingatan personalnya. Ini seperti
yang dapat dilihat pada beberapa karya Tintin Wulia, seorang seniman
Indonesia yang lahir dan besar di Denpasar. “Ketok” dan “Layang-layang”
merupakan karya yang berbasis pada penelusuran Tintin tentang kisah
keluarganya, di mana ia menggunakan sebagian dokumen untuk direproduksi
menjadi karya seni. Karya video “Ketok” lebih berdasar pada ingatan orang
tua dimana pada pertengahan tahun 1960an, suara ketukan pada pintu itu
menjadi semacam teror, karena bisa jadi itu berarti seorang anggota keluarga

dijemput untuk diinvestigasi dan, seringkali, ujung-ujungnya, dibunuh.
Sementara karya Layang-layang merupakan rekonstruksi dari kisah sang
Kakek yang tak pernah pulang, menghilang karena dianggap terlibat dengan
Partai Komunis Indonesia. Karya-karya Tintin yang berkaitan dengan sejarah
terasa subtil, ia tidak berusaha untuk menunjukkan kaitan langsung yang
agresif dengan situasi politik. Sebaliknya, simbol-simbol itu seperti
disembunyikan, disamarkan dengan imajinasi sederhana (ketukan pintu,
suara tokek, bentuk layangan), sehingga kita larut dalam pengalaman visual
dan kemudian menelusuri konten dengan pikiran yang lebih terbuka.
Pendekatan yang sama bisa dilihat pada karya Agung Kurniawan “Adidas
Tragedy” yang berangkat dari pembacaannya terhadap kisah-kisah
pembunuhan massal di beberapa kota di dunia, khususnya Asia. Agung
membuat plesetan dari produk Adidas dimana mereka membuat seri khusus
kota-kota yang menyelenggarakan olimpiade. Dari situ, Agung
membelokkannya menjadi kota-kota dengan masa lalu kelam. Ia memajang
sepatu-sepatu yang di bagian belakangnya tertulis “Boyolali 1968”, “Gwangju
1980”, Ramallah 2010, dan sebagainya. Agung juga membuat kotak sepatu
khusus di mana ia memberikan ilustrasi visual tentang peristiwa-peristiwa
sejarah tersebut, dan juga kutipan dari beberapa penelitian yang telah
dipublikasikan atas narasi yang ia tunjuk. Sepatu-sepatu ini kemudian ia

pajang dengan desain sebuah toko sepatu yang mentereng, dan strategi ini
cukup berhasil menabrakkan gagasan tentang sejarah kelam dan gejala
konsumtivisme global masa kini.
Kedua, seniman menggunakan metode yang lebih langsung ke lapangan, dan
seperti bertindak sebagai seorang etnografer. Mereka mendatangi situs-situs
yang mempunyai kaitan dengan narasi sejarah yang mereka kulik, bertemu
dengan para pelaku atau saksi sebuah peristiwa, mencari artifak peninggalan,
dan membaca semua tanda-tanda. Bedanya, hasil akhir mereka tidak berupa
tulisan, melainkan karya yang menggunakan beragam medium, mulai dari
gambar, instalasi, video, dan lain sebagainya. Beberapa seniman
menggunakan lagi artifak ini sebagai bagian dari obyek yang diciptakan,
sementara seniman lain barangkali mereproduksi, atau mempertunjukkan
kembali (re-enactment) peristiwa sejarah tertentu. Karya-karya seperti yang
diciptakan oleh FX Harsono atau Jompet Kuswidananto adalah contoh dari

seniman yang melakukan pendekatan ini, meskipun metodenya berbeda
dengan etnografer, sejarawan atau antropolog. Karya FX Harsono dalam satu
dekade terakhir berfokus pada pelacakan kembali atas fakta-fakta sejarah
tentang kehidupan ras Cina di Indonesia, termasuk di dalamnya berbagai
kisah pembantaian, pemusnahan budaya, dan diskriminasi, baik yang

dilakukan negara maupun akibat dari konflik masyarakat. Harsono telah
melakukan perjalanan berpuluh kali untuk menggali fakta-fakta yang
terlupakan dan tak tercatat dalam buku pelajaran sekolah. Ia menggunakan
artifak, melakukan pemanggungan kembali, membuat video dokumenter,
mencetak ulang dokumen, dan berbagai pendekatan artistik lain untuk
mempresentasikan hasil penelitiannya. Sementara Jompet Kuswidananto
lebih banyak melihat sejarah dalam perspektif pembentukan identitas Jawa,
dan lebih luas lagi, identitas Indonesia. Ia sering mengunjungi situs-situs kuno
seperti Candi Sukuh, atau candi-candi lain, untuk melihat bagaimana
pengaruh Hindu Buddha dalam pembentukan gagasan kebangsaan. Pada
periode selanjutnya, ia juga melakukan perjalanan menyusuri Anyer
Panarukan, melihat bagaimana situasi jalan raya Daendels pada masa
sekarang, dan bagaimana kota-kota di sekitarnya juga menunjukkan
perubahan identitas yang tajam. Sebagian karya Jompet mereproduksi
kenyataan sosial yang tergambar dalam kehidupan sehari-hari tersebut,
dengan penyuntingan di sana-sini, sehingga penonton merasa cukup akrab
dengan imaji visual yang ia angkat. Video-video yang ia buat dalam seri ini
juga banyak merupakan dokumentasi langsung, dalam pengertian tidak tersetting, karena ia ingin menunjukkan efek realitas ketiga yang tengah ia
tawarkan pada penonton.
Ketiga, adapula seniman yang lebih banyak melakukan riset secara teks dan

kemudian menggunakan narasi sejarah lebih sebagai latar belakang proses
pembentukan konsep karya, sehingga tidak secara langsung menggunakan
simbol-simbol yang diambil dari penelitian sejarahnya. Pendekatan ini
cenderung melihat masa lalu sebagai hal yang bisa dikaitkan dengan
universalisme, sehingga tidak secara spesifik menyorot pada satu peristiwa
tertentu. Melati Suryodarmo, misalnya, menggunakan pendekatan ini dalam
membangun gagasan karyanya yang baru dipresentasikan di Ark
Galerie,”Amnesia”, Juli 2016. Melati memulai risetnya dari situasi-situasi yang
gaduh tentang bagaimana sebuah bangsa mesti menghadapi masa lalunya
yang kelam, yang terutama melibatkan berbagai tindak kekerasan dan
pemusnahan, serta manipulasi sejarah agar kekejaman itu tidak tinggal dalam
catatan. Ia melihat bagaimana tubuh, meskipun kemudian melahirkan
generasi-generasi baru, tetapi ia menyimpan jejak sejarah sebagai saksi dari
peristiwa masa lalu. Dari penelusuran arsipnya, ia membuat simbol-simbol
visual yang baru, yang menunjukkan bagaimana seniman bisa menafsir masa
lalu dalam situasi kini dan bahkan dalam prediksi atas masa depan.
Ketiga pendekatan yang saya sebutkan itu tentu saja bukanlah pembagian
kategori yang ketat, dan selalu semuanya saling berkelindan satu sama lain.
Seniman kontemporer mempunyai kebebasan untuk mencampur aduk
pendekatan dan metode, tetapi ia diharapkan menciptakan hasil yang

bermakna, dan bukan tafsir yang sewenang-wenang atas sebuah peristiwa
sejarah. Menariknya, para seniman ini tetap bertahan secara keras kepala

untuk melihat sejarah dalam kerangka yang subjektif, terutama karena sifat
penciptaan seni yang sangat subjektif. Mereka menangkap gagasan besar,
menggali ingatan-ingatan terpendam, memperkayanya dengan pengalaman
dan imajinasi mereka, dan kemudian melemparkan diskursus baru kepada
publik untuk bisa diperbincangkan secara lebih luas.
Kembali pada kesan saya atas Documenta, sebenarnya seniman-seniman
Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam menciptakan karya
yang berbasis pada sejarah bangsa. Kisah-kisah kita sedemikian kaya, dan
ada banyak peristiwa politik yang kemudian membuat kisah ini menjadi bahan
pertarungan kekuasaan, dan karenanya ia selalu terbuka untuk diberi tafsir
dan pemaknaan baru. Dengan imajinasi mereka, seorang seniman
mempunyai kekuatan untuk bisa mendorong munculnya fakta sejarah ini
dalam bentuk yang lebih “dramatis”, “mengguncang” dan “mengganggu”
sehingga ia bertaut dengan ingatan-ingatan personal dan menyentuh daya
hidup penontonnya, dan masyarakatnya secara umum.