SKRIPSI DESNA SUKSES edit sierra YANG IN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah mewujudkan
hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan
lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang
kesehatan sehinggga kualitas kesehatan penduduk serta usia harapan hidup juga
meningkat. Akibatnya jumlah penduduk usia lanjut meningkat dan bertambah
cenderung lebih cepat. Pada tahun 2005-2010 jumlah usia lanjut akan sama dengan
anak balita, yaitu sekitar 19,3 juta jiwa atau 9% dari jumlah penduduk. Bahkan pada
tahun 2020-2025 diperkirakan Indonesia akan menduduki peringkat negara dengan
struktur dan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak setelah RRC, India dan Amerika
Serikat, dengan usia harapan hidup di atas 70 tahun (Nugroho, 2008)
Menurut Mboi (2013) Usia Harapan Hidup (UHH) masyarakat Indonesi saat
ini adalah 72 tahun sedangkan tahun 2011 rata-rata usia harapan hidup adalah 71
tahun. Hal ini menunjukkan peningkatan dan perbaikan kualitas kesehatan manusia
di Indonesia. Usia harapan hidup yang tinggi menunjukkan tingkat kesehatan
penduduk yang baik. Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia semakin
meningkat. Pada 2014 umur harapan hidup diharapkan naik menjadi 72 tahun dari
70,6 tahun pada 2010.
Indonesia salah satu negara berkembang yang mengalami peningkatan

penduduk lanjut usia atau lansia. Jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas makin
meningkat. Pada tahun 2020 diprediksi menjadi 28,7 juta atau 11,34 persen. Lansia
dituntut mandiri dan sehat. Hal ini menandakan bahwa usia harapan hidup waktu
lahir makin panjang, yaitu saat ini 67 tahun untuk laki-laki dan 71 tahun untuk

1

2
perempuan (Majalah Tempo, 25 Juni 2013).
Kebijakan

Depkes

(2013)

mencantumkan

kegiatan-kegiatan

dalam


pembinaan lansia meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya
promotif berupa kegiatan penyuluhan masyarakat usia lanjut sebagai penunjang
program pembinaan kesehatan usia lanjut yaitu kesehatan dan pemeliharaan
kebersihan diri serta deteksi dini penurunan kondisi kesehatanya, teratur dan
berkesinambungan memeriksakan kesehatanya ke puskesmas atau instansi kesehatan
lainya. Salah satu upaya preventif yaitu pemeriksaan kesehatan berkala dan teratur
untuk menemukan secara dini penyakit-penyakit usia lanjut. Upaya kuratif yaitu
upaya pengobatan pada usia lanjut, berupa kegiatan pelayanan kesehatan dasar dan
pelayanan kesehatan spesifikasi melalui sistem rujukan. Sedangkan rehabilitatif
dilakukan dengan memberikan informasi, pengetahuan dan pelayanan tentang
penggunaan berbagai alat bantu misalnya alat pendengaran, alat bantu gerak dan
lain-lain agar usia lanjut dapat memberikan karya dan tetap merasa berguna sesuai
kebutuhan dan kemampuan.
Fryer (2011) menyatakan bahwa perubahan normal yang berkaitan dengan
proses penuaan tidak berubah dan selalu konstan pada semua individu yang
mendekati “usia lanjut”. Persepsi bahwa lansia berisiko lebih tinggi terkait
kemampuan mereka dalam mempertahankan derajat kesehatan, ada benar dan
salahnya. Tingkat risiko lansia ditentukan oleh tingkat keberhasilan lansia
menyesuaikan diri dengan kondisi hidup dan penuaan normal. Penuaan dan penyakit

tidak identik dan dampak proses penuaan saja bukan penyebab utama ketunadayaan
dan penyakit. Perubahan patologis yang terjadi bersamaan dengan perubahan normal
penuaan sangat berdampak pada ketunadayaan klien lansia (Hart & Moore, 1992).
Menurut Azizah (2011) secara garis besar perubahan yang dialami oleh lansia

3
diabagi menjadi lima, yaitu perubahan fisik, perubahan kognitif, perubahan spiritual,
perubahan psikososial dan perubahan fungsi dan potensi seksual. Perubahan fisik
yang terjadi meliputi perubahan dalam sistem indra, sistem muskuloskeletal, sistem
kardiovaskuler, respirasi, pencernaan dan metabolisme, sistem perkemihan, sistem
saraf dan sistem reproduksi. Perubahan kognitif yang dialami lansia berupa
menurunya memory atau daya ingat, IQ (Intellegent Quocient), kemampuan belajar
(learning), kemampuan pemahaman (comprehension), pemecahan masalah (problem
solving), pengambilan keputusan (Decission Makking), kebijaksanaan (wisdom),
kinerja (performance) dan motivasi. Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan
kepercayaan atau agama lansia makin berintegrasi dalam kehidupanya (Maslow,
1976; Stuart dan Sundeen, 1998). Lansia makin teratur dalam kehidupan
keagaamaannya. Hal ini dapat dilihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari
(Murray & Zentner, Dikutip Nugroho, 2000). Perubahan psikososial pada lansia
meliputi penyesuaian lansia dengan masa pensiun, perubahan aspek kepribadian,

perubahan dalam peran sosial di masyarakat dan perubahan minat. Sedangkan
penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik, seperti gangguan jantung, gangguan metabolisme
(missal diabetes mellitus), vaginistis dan setelah operasi prostatektomi. Faktor
psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan seksualitas, antara lain seperti
rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia (Kuntjoro,
2003)
Akibat kemunduran fisik tersebut ditemukan masalah fisik sehari-hari yang
dialami oleh lansia. Diantaranya risiko cedera : jatuh yang terjadi pada lansia berusia
lebih dari 65 tahun sebesar 30-50 %, jatuh berulang sebanyak 50%, risiko cedera :
jatuh menyerang lansia wanita sebanyak 80% dan lansia laki-laki sebanyak 20%

4
(Ginting, 2011). Gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipertensi sebanyak 10%
dari seluruh jumlah lansia di dunia (WHO, 2010). Akibat kemunduran fisik dalam
sistem pencernaan yaitu kejadian konstipasi atau sembelit yang menyerang 30-40 %
lansia di Inggris (Siswono, 2003). Dalam hal ini risiko cedera : jatuh menempati
urutan pertama masalah kemunduran fisik yang dialami oleh lansia. Risiko cedera :
jatuh yang dialami oleh lansia diakibatkan oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah
akibat dari kemunduran fisik beberapa sistem tubuh lansia seperti sistem

muskuloskeletal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, maupun sistem pencernaan,
dapat menjadi faktor risiko dan penyebab terjadinya risiko cedera : jatuh pada lansia.
Dengan kata lain risiko cedera : jatuh pada lansia dapat dialami oleh semua lansia
dengan satu atau lebih masalah pada sistem tubuh (Ginting, 2011).
Jatuh merupakan masalah kesehatan utama yang menandai kemunduran fisik
dan psikologis pada lansia, yang menyebabkan cedera, hambatan mobilitas dan
kematian. Walaupun sekitar 75% insiden jatuh tidak mengakibatkan cedera serius,
risiko cedera akibat jatuh meningkat seiring usia, terutama pada individu yang
berusia lebih dari 75 tahun (Sattin, 1992). Jatuh merupakan penyebab utama
kematian akibat cedera, serta menduduki urutan keenam penyebab kematian pada
lansia (Runge, 1993; Sattin, 1992).
Nadzam (2009) melaporkan survei yang dilakukan oleh Morse pada tahun
2008 tentang kejadian pasien jatuh di Amerika Serikat. Hasil survey menunjukan 2,37% per 1000 lansia jatuh dari tempat tidur setiap hari. Survey tersebut menunjukan
bahwa 29-48% pasien mengalami luka dan 7,5% dengan luka-luka serius. Kongres
XII PERSI di Jakarta pada tanggal 8 November 2012 melaporkan bahwa kejadian
pasien jatuh di Indonesia pada bulan Januari–September 2012 sebesar 14%. Hal ini
membuat presentasi pasien jatuh termasuk ke dalam lima besar insiden medis selain

5
medicine error (Komariah, 2012).

Data yang diperoleh dari WHO (2003) menunjukkan total biaya untuk
kejadian jatuh di Amerika sebesar 0,2 Miliar US Dollar untuk kejadian jatuh yang
fatal dan untuk kejadian jatuh non-fatal sebesar 19 miliar US Dollar. Rumah sakit
mempunyai tingkat insidensi jatuh sekitar 1,4% per tahun. Departemen Neurologi,
Rehabilitasi Medik dan Psikiatri mempunyai data tingkat kejadian jatuh yang paling
tinggi yaitu berkisar antara 8,9%-17,1% kejadian jatuh tiap 1000 pasien. Fasilitas
perawatan jangka panjang mempunyai tingkat insiden pertahun sekitar 1,6% kejadian
jatuh perorang pertahun (Panduan Resiko Jatuh Rumah Sakit Advent Bandung,
2013).
Lansia memiliki ketakutan yang sangat realistis untuk mengalami jatuh.
Hanya sekitar 5 sampai 6% jatuh terjadi dalam suatu cedera serius, tetapi
konsekuensi dari jatuh mungkin lebih daripada sekedar cedera serius. Lansia yang
telah mengalami jatuh dan perlu untuk ditangani di rumah sakit memiliki
kemungkinan meninggal sebanyak 17 sampai 50%. Mengungkap fenomena yang
terjadi mengapa lansia mudah terjatuh sehingga dapat menyebabkan berbagai
komplikasi dari patah tulang sampai terjadinya kematian (Stanley, 2007).
Hasil penelitian yang di lakukan Tuti (2011) di Panti Sosial Tresna Wredha
Unit Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Lansia yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi sebanyak 46 orang dengan proporsi kejadian jatuh sebanyak 24 orang
(52,2%). Faktor risiko terjadinya jatuh adalah umur, paling banyak terjadi pada

kelompok umur 75-90 tahun sebanyak 11 orang (55%), jenis kelamin terjadi pada
lansia laki-laki sebanyak 10 orang (58,8%). Kelainan kognitif, terjadi pada lansia
yang menderita kelainan kognitif sedang sebanyak 7 orang (70%), hipotensi postural
sebanyak 5 orang (55,6%), riwayat penyakit sebanyak 20 orang (62,5%) dan riwayat

6
pengobatan sebanyak 24 orang (57,1%).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bertempat di PSTW
Yogyakarta Unit Budhi Luhur menunjukkan bahwa terdapat 88 lansia dipanti sosial
tersebut. Menurut kepala bagian sosial panti semua lansia di panti tersebut pernah
mengalami jatuh. Ditambahkan bahwa penanganan jatuh pada lansia dilaksanakan
dengan upaya kuratif. Panti sosial bekerjasama dengan Puskesmas Sewon II Bantul
untuk menyelenggarakan upaya kuratif. Petugas puskesmas datang setiap hari rabu
untuk memeriksa kesehatan klien dan memberikan obat. Obat yang telah diberikan
dititipkan kepada petugas kesehatan yang berada di panti sosial. Upaya kuratif yang
diberikan kurang memberikan dampak yang positif. Terbukti dengan kejadian jatuh
pada lansia masih tinggi terutama kejadian jatuh di kamar mandi atau saat berjalan
menuju taman dan tempat lain di panti.
Keluarga dan masyarakat berperan penting dan bertanggung jawab terhadap
keberadaan lansia disekitarnya. Lansia yang mengalami kemunduran fisik dan psikis

terutama yang mengalami risiko cedera : jatuh dianggap sebagai manusia yang tidak
berguna dan merepotkan. Hal ini ditandai dengan banyaknya penelantaran lansia oleh
keluarga dan masyarakat. Padahal lansia adalah makhluk yang lemah dan memiliki
keterbatasan. Hal ini disebutkan dalam surat Ar Rum ayat 54 yang berbunyi :

‫الل ملثه ال ملمذي لخل للقك ثنم ممنن لضنعفف ث ثممل لجلعلل ممنن بلنعمد لضنعفف ثق ملوةة ث ثممل لجلعلل ممنن‬
‫بلنعمد ثق ملوفة لضنعةفا‬

‫شاءلوثهلوال نلعمليثمانلق‬
‫خل ثثقلماي ل ل ث ء‬
‫لولشي نبل ةةي ل ن‬

Artinya :
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan

7
apa yang dikehendaki-Nya dan hanya Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Kuasa.

Permasalahan risiko cedera : jatuh pada lansia tidak lepas dari tanggung
jawab keluarga dan masyarakat. Seringkali masyarakat dengan usia dewasa
disalahkan karena tidak menciptakan lingkungan yang aman bagi lansia. Sebagai
contoh tidak adanya perawatan rumah dan alat-alat rumah tangga oleh anggota
keluarga lansia yang menyebabkan rumah maupun alat-alat rumah tangga yang tidak
terawat. Rumah dengan lantai yang kotor dan penuh debu, kursi kayu yang sudah
rapuh, pintu yang sudah using dan keadaan kamar mandi yang kotor dengan
banyaknya lumut di lantai kamar mandi. Hal-hal tersebut menjadi faktor risiko yang
menyebabkan risiko cedera jatuh pada lansia. Keluarga dan masyarakat merasa
bertanggung jawab dengan kesejahteraan lansia, salah satunya dengan mencegah
terjadinya jatuh pada lansia. Apabila jatuh terjadi pada lansia maka keluarga dan
masyarakat bertanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat
merasa perlu untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi lansia. Jika
tidak, maka kejadian jatuh pada lansia tidak teratasi, menimbulkan masalah-masalah
kesehatan yang lebih berat dan perasaan sebagai manusia yang tidak bermoral dan
apatis akan menghantui karena membiarkan seseorang yang telah tua dan renta
merasakan penderitaan seorang diri tanpa adanya bantuan dari keluarga dan
masyarakat yang lebih sehat dan mampu (Mass, 2011)
Tobing (2011) berpendapat latihan fisik yang baik, benar, terukur dan teratur
(BBTT) serta latihan yang sesuai dengan tingkat kesehatan, tingkat aktivitas fisik dan

tingkat kebugaran masing-masing individu dapat mengurangi resiko kelainan tulang
yang menyebabkan risiko cedera : jatuh pada lansia. Penelitian yang dilakukan
Setyawan (2007) menunjukkan bahwa latihan fisik yaitu Senam Sehat Indonesia

8
(SSI) untuk mempertahankan fleksibilitas lansia dapat mengurangi risiko cedera :
jatuh pada lansia. Namun, hasil penelitian tersebut memberikan hasil yang kurang
bermakna bagi fleksibilitas lansia dan mengurangi risiko cedera : jatuh pada lansia.
Oleh sebab itu, diperlukan pelatihan fisik yang lebih baik untuk lansia yang
mengalami risiko cedera : jatuh. Salah satu latihan fisik berupa terapi untuk
mengurangi angka kejadian risiko cedera : jatuh pada lansia adalah terapi Do-in
Shiatsu Massage dan Gym.
Do-in Shiatsu Massage dan Gym membantu memperbaiki sistem gerak
terutama pada lansia (Basith, 2010). Menurut Endang (2011) Do-in adalah kombinasi
dari teknik-teknik berdasarkan shiatsu, yang disebut “fisioterapi kontak”. Teknik ini
dapat merevitalisasi dan menghilangkan ketegangan fisik dan mental. Shiatsu dalam
bahasa Jepang berarti “tekanan jari”. Menggunakan tekanan pada titik-titik akupresur
secara ritmis dalam periode pendek. Teknik shiatsu ini adalah suatu perawatan yang
bekerja pada meridian tubuh agar chi atau energy kehidupan kita dalam keadaan
seimbang. Perawatan ini mengatur ketidakseimbangan pada chi yang dapat

menimbulkan

sakit.

Shiatsu,

melalui

pijatan

do-in

dapat

membenahi

ketidakseimbangan internal, terutama yang dihasilkan oleh ketegangan dan stres
yang sering kali menyebabkan risiko cedera : jatuh pada lansia. Mempraktekkan
latihan-latihan berikut setiap pagi sebelum beraktifitas dapat membantu relaksasi
sehingga memudahkan lansia untuk beraktifitas (Priantono, 2007).
Scanlon (2000) menyatakan bahwa Do-in dan shiatsu memiliki pengertian
dan gerakan yang berbeda. Namun do-in dan shiatsu dapat digabungkan dan
dilaksanakan secara bersamaan dalam satu waktu untuk menghasilkan manfaat bagi
lansia terutama yang mengalami risiko cedera : jatuh. Do-in adalah kombinasi dari
latihan peregangan meridian tubuh, latihan pernafasan, dan pijatan yang dilakukan

9
sendiri oleh seseorang (Shinmon, 2012). Melaksanakan latihan peregangan titik
meridian tubuh akan memberikan ide atau afermasi positif di dalam energi yang
dimiliki seseorang, sehingga fungsi kesehatan akan lebih baik. Manfaat do-in adalah
mengetahui energi yang dimiliki seseorang, sebagai cara pengobatan atau perawatan
yang bisa dilakukan sendiri, dan untuk memberikan terapi lanjutan berupa shiatsu
dengan baik (Kreitzer, Kliger, & Meeker 2009)
Menurut Visser (2013) Shiatsu adalah metode penyembuhan dimana tekanan
jari berfungsi untuk mengendurkan otot-otot dan menurunkan stres. Dalam pijat
shiatsu, jari menerapkan tekanan pada titik-titik akupunktur. Tekanan diterapkan
pada 12 meridian tubuh untuk merangsang aliran energi. Pijat shiatsu berlangsung
selama sekitar satu jam di mana praktisi dan lansia berfokus pada sistem saraf pusat
dan otonom.
McDermott (2011) menyatakan bahwa manfaat dari shiatsu adalah sebagai
terapi relaksasi dan penyembuhan. Beberapa penyakit pada lansia yang bisa
diberikan terapi shiatsu adalah masalah dengan otot atau persendian,

masalah

dengan struktur tubuh seperti sakit punggung atau postur, relaksasi dan bantuan
ketegangan atau stress, rendah energi atau kelelahan, masalah dengan tekanan
pencernaan dan masalah pernapasan.
Visser (2013) menyatakan bahwa manfaat terapi Do-in shiatsu massage dan
gym yang dapat dirasakan oleh lansia yang memiliki risiko cedera : jatuh, antara lain
keseimbangan tubuh, meningkatkann afermasi positif, meningkatkan fokus secara
visual maupun audio dan memperbaiki sendi atau otot yang mengalami kerusakan.
Dari manfaat tersebut, maka terapi Do-in shiatsu massage dapat diberikan kepada
lansia dengan risiko cedera : jatuh. Lansia dapat melakukan sendiri atau dengan
bimbingan instruktur.

10
Penelitian yang membahas masalah risiko cedera : jatuh pada lansia sudah
banyak diteliti. Diantaranya adalah penelitian tentang deskriptif proporsi dan faktor
risiko kejadian jatuh pada lansia, hubungan usia dan risiko jatuh pada lansia, dan
persepsi pasien stroke iskemik dengan pencegahan risiko jatuh pada lansia. Namun
penelitian tentang pengaruh terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym terhadap risiko
cedera : jatuh lansia belum pernah dilakukan. Berdasarkan latar belakang di atas
peneliti ingin mengetahui pengaruh terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym terhadap
risiko cedera : jatuh pada lansia.

B.

Rumusan Masalah
Manfaat dari terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym diantaranya adalah

mengembalikan keseimbangan energy atau chi tubuh, meningkatkan keseimbangan
antara penglihatan dan pendengaran, memperbaiki sistem tubuh yang terganggu dan
memperbaiki fungsi sendi dan tulang pada lansia. Dari manfaat yang ada dapat
dihubungkan dengan kondisi klien lansia dengan risiko cedera : jatuh karena
ketidakseimbangan tubuh, penurunan fungsi visual dan audio, serta adanya fungsi
tubuh yang menurun terutama fungsi musculoskeletal. Berdasarkan manfaat dari Doin Shiatsu Massage dan Gym serta keadaan lansia dengan risiko cedera : jatuh maka
rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut “Adakah Pengaruh Terapi Do-in
Shiatsu Massage dan Gym Terhadap Lansia dengan Risiko Cedera : Jatuh di PSTW
Yogyakarta Unit Budhi Luhur ? ”

C.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1.

Tujuan umum

11
Mengetahui pengaruh terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym
terhadap risiko cedera: jatuh pada lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budhi
Luhur.
2.

Tujuan Khusus
a.

Mengetahui risiko cedera : jatuh pada lansia sebelum diberikan terapi
Do-in Shiatsu Massage dan Gym di PSTW Yogyakarta Unit Budhi
Luhur.

b.

Mengetahui risiko cedera : jatuh pada lansia setelah diberikan terapi
Do-in Shiatsu Massage dan Gym di PSTW Yogyakarta Unit Budhi
Luhur.

c.

Menganalisis perbedaan risiko cedera: jatuh pada lansia yang diberikan
terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym dengan yang tidak diberikan
terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym di PSTW Yogyakarta Unit
Budhi Luhur.

D.

Manfaat Penelitian
1.

Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan
kesehatan terutama ilmu keperawatan dalam mengembangkan ilmu
keperawatan mengenai terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym untuk
mengatasi masalah risiko cedera : jatuh pada lansia.

2.

Bagi Konsumen
a.

Bagi Lansia
Penelitian ini diharapkan meningkatkan kemandirian lansia dalam
mengatasi masalah-masalah kesehatan khususnya masalah risiko cedera :
jatuh. Do-in Shiatsu Massage dan Gym dapat dilakukan mandiri oleh

12
lansia. Lansia dengan masalah risiko cedera : jatuh dapat melaksanakan
terapi Do-In Shiatsu Massage dan Gym secara mandiri di rumah atau di
panti saat waktu senggang.
b.

Bagi Profesi Kesehatan di Panti Sosial
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dari pemberian
tindakan atau intervensi yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan panti
sosial. Petugas kesehatan panti sosial dapat mengajarkan terapi Do-in
Shiatsu Massage dan Gym kepada lansia yang mengalami risiko cedera :
jatuh.

c.

Bagi Institusi Panti Sosial
Penelitian ini diharapkan memberikan pengaruh kepada kepala PSTW
Yogyakarta Unit Budhi Luhur untuk membentuk kebijakan diberikannya
terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym untuk mengatasi masalah risiko
cedera : jatuh bagi penghuni panti.

d.

Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pengalaman peneliti dalam memberikan terapi Do-in Shiatsu Massage
dan Gym pada lansia dengan risiko cedera : jatuh. Manfaat lain yaitu,
menambah acuan baru bagi peneliti selanjutnya yang akan mengangkat
masalah risiko cedera : jatuh pada lansia.

E.

Ruang Lingkup Penelitian
1.

Lingkup Materi
Lingkup materi pada penelitian ini termasuk dalam keperawatan

13
gerontik atau lanjut usia khususnya mengenai pengaruh terapi Do-in Shiatsu
Massage dan Gym terhadap risiko cedera : jatuh pada lansia. Risiko cedera :
jatuh banyak terjadi pada lanjut usia karena regresi dari berbagai sistem tubuh
maupun patologi. Dalam teori keperawatan gerontik menunjukkan bahwa
risiko cedera : jatuh terjadi pada lansia dan merupakan masalah yang perlu
penanganan khusus dalam keperawatan gerontik. Maka dari itu lingkup
materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah lingkup materi
keperawatan gerontik.
2.

Lingkup Responden
Lingkup responden adalah lansia dengan masalah risiko cedera : jatuh
di PSTW Yogyakarta Unit Budhi Luhur. Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan di panti sosial tersebut terdapat 88 lansia dan hampir semuanya
pernah mengalami jatuh. Oleh karena itu lingkup responden penelitian ini
diambil lansia yang tinggal di PSTW Yogyakarta Unit Budhi Luhur

3.

Lingkup Waktu
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai Maret
2014 yaitu dimulai dari penyusunan proposal sampai laporan hasil penelitian.

4.

Lingkup Tempat
Penelitian dilaksanakan di PSTW Yogyakarta Unit Budhi Luhur
karena terdapat 88 lansia yang hampir semuanya pernah mengalami jatuh.
Oleh karena itu untuk memperlancar proses penelitian dengan responden
yang tidak sulit dicari maka lingkup tempat pada penelitian ini adalah di
PSTW Yogyakarta Unit Budhi Luhur.

F.

Keaslian Penelitian
Sepengetahuan peneliti ada beberapa penelitian tentang masalah risiko cedera

14
: jatuh pada lansia yang pernah dilakukan yaitu :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Tuti (2013) yang berjudul Proporsi dan Faktor
Risiko Kejadian “Jatuh” Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Wredha Unit
Abiyoso, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui proporsi dan faktor risiko terjadinya jatuh pada lansia di Panti
Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem, Sleman, Yogyakarta. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-analitik dengan
rancangan penelitian cross-sectional (belah lintang) pada lansia di Panti
Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem, Sleman, Yogyakarta. Lansia yang
memenuhi kriteria inklusi diperiksa faktor risiko terjadinya jatuh. Analis data
menggunakan cara diskriptif dan uji statistik Chi-Square Test untuk
mengetahui faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian jatuh pada
lansia. Hasil penelitian ini adalah lansia yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebanyak 46 orang, dengan proporsi kejadian jatuh sebanyak 24
orang (52,2%). Faktor risiko terjadinya jatuh adalah umur, paling banyak
terjadi pada kelompok 75-90 tahun yaitu sebanyak 11 orang (55%). Jenis
kelamin, paling banyak terjadi pada kelompok lansia laki-laki sebanyak 10
orang (58,8%). Kelainan kognitif, paling banyak terjadi pada lansia yang
menderita kelainan kognitif sedang sebanyak 7 orang (70%), hipotensi
postural sebanyak 5 orang (55,6%), riwayat penyakit sebanyak 20 orang
(62,5%) dan riwayat pengobatan sebanyak 24 orang (57,1%). Tidak ada
hubungan antara faktor risiko yang diteliti dengan kejadian jatuh pada
lansia. Kesimpulannya adalah proporsi kejadian jatuh pada lansia di Panti
Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem, Sleman, Yogyakarta sebesar 52% dari
populasi lansia. Faktor risiko intrinsik yang diteliti tidak berpengaruh dengan

15
kejadian jatuh pada lansia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang
peneliti lakukan terletak pada variabel bebas, jenis dan desain penelitian yang
dilakukan, metode penelitian, responden, serta waktu dan tempat penelitian.
2.

Penelitian yang dilakukan oleh Harsoyo (2012) yang berjudul Hubungan
Antara Usia dan Risiko Jatuh Pada Lansia Di Posyandu Lansia RW 09
Kalirejo Wilayah Kerja Puskesmas Lawang. Tujuan umum dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui tingkat risiko jatuh pada lansia yang terdaftar di
posyandu lansia RW 09 Kalirejo-Lawang. Desain penelitian ini adalah
penelitian deskriptif survei dengan 30 orang responden dari kelompok umur
lanjut usia (elderly) sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik
sampling yang digunakan pada penelitian ini yaitu simple random sampling.
Pengambilan data dilakukan dengan cara memberikan tes perintah
keseimbangan dan gaya berjalan pada responden sesuai dengan instrumen
tinetti ballance dan tinetti gait serta usia lansia. Hasil penelitian menunjukkan
22 orang responden (73%) lansia yang terdaftar di posyandu lansia RW 09
Kalirejo-Lawang dapat dikategorikan sebagai risiko jatuh rendah ditunjukkan
dengan tes keseimbangan dan gaya berjalan dengan menggunakan alat ukur
tinetti ballance dan tinetti gait memperoleh skor 24. Analisa pearson dengan
signifikansi 95% diperoleh p-value 0,00, yang berarti ada hubungan yang
signifikan antara tingkat usia dengan resiko jatuh pada lansia. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada jenis dan
desain penelitian, variabel bebas yang digunakan, dan instrumen penelitian,
serta waktu dan tempat penelitian.

3.

Penelitian yang dilakukan oleh Syahailatua (2012) yang berjudul Persepsi
Pasien Dengan Stroke Iskemik Terhadap Tindakan Pencegahan Risiko Jatuh

16
Yang Dilakukan Perawat Di Ruang Rawat Inap Dewasa Rumah Sakit Advent
Bandung. Latar belakang penelitian tentang kebijakan Rumah Sakit Advent
Bandung tentang patient safety termasuk tindakan pencegahan risiko jatuh.
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana perawat telah
melakukan pencegahan risiko jatuh kepada pasien yang berisiko untuk jatuh
di Rumah Sakit Advent Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif. Populasi adalah pasien dengan stroke iskemik yang dirawat di
ruang rawat inap Rumah Sakit Advent Bandung. Sampel berjumlah 30 orang
yang dipilih secara purposive sampling dan telah memenuhi kriteria
pengkajian risiko jatuh. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 20 pernyataan dalam bentuk kuesioner yang diformulasi dari teori
Darmojo (2004), DepKes RI (2006), Godfrey (2003) dan Miller (2004). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perawat di Rumah Sakit Advent Bandung
sering melakukan tindakan pencegahan risiko jatuh kepada pasien dengan
stroke iskemik di ruang rawat inap dewasa. Perawat melakukan tindakan
pencegahan terutama dalam hal mengobservasi secara teratur kondisi pasien.
Sebaliknya perawat kurang melakukan tindakan pencegahan risiko jatuh
terutama dalam hal membuat jadwal pasien untuk ke kamar mandi. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada variabel
bebas, desain penelitian, populasi dan sampel, tempat dan instrument.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Lanjut Usia
a.

Pengertian dan Pengelompokan Lanjut Usia
Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia
tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anakanak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan
perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi
pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses
alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup
manusia yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran
fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011).
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada bab I pasal 1 ayat 2, yang dimaksud
dengan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas. Stanley dan Beare (2007), mendefinisikan lansia berdasarkan
karakteristik sosial masyarakat yang menganggap bahwa orang telah
tua jika menunjukkan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit
dan hilangnya gigi. Dalam peran masyarakat tidak bisa lagi
melaksanakan fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi
17

18
terikat dalam kegiatan ekonomi produktif dan untuk wanita tidak
dapat memenuhi tugas rumah tangga. Kriteria simbolik seseorang
dianggap tua ketika cucu pertamanya lahir. Dalam masyarakat
kepulauan Pasifik, seseorang dianggap tua ketika ia berfungsi sebagai
kepala dari garis keturunan keluarganya.
WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia
kronologis atau biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan
(middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly)
berusia antara 60 dan 74 tahun, lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Sedangkan Nugroho
(2003) menyimpulkan pembagian umur berdasarkan pendapat
beberapa ahli, bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang telah
berumur 65 tahun keatas.
Maryam

(2008)

mendefinisikan

lansia

menjadi

lima

klasifikasi, yaitu :
1) Pralansia (prasenelis), adalah seseorang yang berusia 45-59 tahun.
2) Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia resiko tinggi, adalah seorang lansia yang berusia 70 tahun
atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan
4)

masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

(Depkes RI, 2003).
5) Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain
(Depkes RI, 2003).

19
b.

Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk
mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia adalah:
1) Jenis kelamin
Jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan. Selain
itu, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang
dihadapi antara lansia laki-laki dan perempuan. Misalnya, lansia
laki-laki banyak menderita hipertropi prostat, sementara lansia
perempuan menderita osteoporosis.
2) Status Perkawinan
Status masih berpasangan lengkap atau sudah hidup sendiri
(duda atau janda) sangat mempengaruhi kondisi kesehatan fisik
maupun psikologis lansia.
3) Living arrangement
Keadaan pasangan, tanggungan keluarga, misalnya masih
harus menanggung anak atau keluarga, tempat tinggal, rumah
sendiri, tinggal bersama anak, atau tinggal sendiri. Dewasa ini
kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari keluarganya,
baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga
anaknya. Namun, akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan
oleh keturunanya dalam rumah yang berbeda.
4) Kondisi Kesehatan
a) Kondisi umum, yaitu kemampuan umum untuk tidak tergantung
kepada orang lain dalam kegiatan sehari-hari, seperti mandi,
buang air kecil dan besar.
b) Frekuensi sakit, yaitu frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan
menjadi tidak produktif lagi mulai tergantung kepada orang lain,
bahkan ada yang karena penyakit kroniknya sudah memerlukan
perawatan khusus.
5) Keadaan Ekonomi
a) Sumber pendapatan resmi atau pensiunan

20
b) Sumber pendapatan keluarga
c) Kemampuan pendapatan
c.

Masalah Kesehatan Lansia
Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan
akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss).
Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antar
kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ tampaknya
mengalami kehilangan fungsi sekitar 1% per tahun, dimulai pada usia
sekitar 40 tahun. Namun demikian, data lain menyatakan perubahan
pada orang lanjut usia yang diikuti cecara longitudinal kurang dramatis
dan baru mulai pada usia 70 tahun (Setiadi, 2006)
Menurut Arisman (2004) kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot
rangka berkurang. Akibatnya, kepala dan leher terfleksi ke depan,
sementara ruas tulang belakang mengalami pembengkakan (kifosis),
panggul dan lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan
postur tubuh terganggu sehingga menimbulkan beberapa masalah
kemunduran dan kelemahan pada lansia, seperti :
a) Pergerakan dan kestabilan terganggu dan terjadinya risiko cedera :
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

jatuh
Intelektual terganggu (demensia)
Depresi
Inkontinensia dan impotensia
Defisiensi imunologis
Infeksi, konstipasi dan malnutrisi
Insomnia
Kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan,

komunikasi dan integrasi kulit
i) Kemunduran proses penyembuhan penyakit yang diderita
2. Risiko Cedera : Jatuh
a.

Pengertian Risiko Cedera: Jatuh

21
Risiko cedera : jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan
penderita atau saksi mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan
seseorang mendadak terbaring atau terduduk di lantai atau tempat yang
lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka
(Darmojo, 1999). Kane (1994) menyatakan bahwa di Amerika Serikat,
lanjut usia yang mengalami patah tulang paha (fractura columna
femoris) dan 5% mengalami perlukaan jaringan lunak. Perlukaan
jaringan lunak yang sering, yaitu subdural haematoma, memar dan
keseleo otot. Dinyatakan pula 5% lanjut usia yang jatuh akan
mengalami patah tulang iga (sterm), humerus (tulang lengan) dan
pelvis.
Risiko cedera: jatuh atau sering disebut jatuh adalah suatu
kejadian yang menyebabkan subjek yang sadar menjadi berada di
permukaan tanah tanpa disengaja. Tidak termasuk jatuh apabila
kejadian jatuh diakibatkan pukulan keras, kehilangan kesadaran atau
kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang
jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan
sadar mengalami jatuh (Stanley, 2006).
Risiko cedera: jatuh biasanya dianggap sebagai konsekuensi
alami menjadi tua. Jatuh bukan bagian normal dari proses penuaan,
tetapi setiap tahunya sekitar 30% lansia yang tinggal di komunitas
meningkat dari 25% pada usia 70 tahun menjadi 35% setelah berusia
lebih dari 75 tahun. Lansia yang tinggal di institusi mengalami jatuh
lebih sering daripada yang berada di komunitas karena mereka secara
khas lebih rentan memiliki lebih banyak disabilitas. Setiap tahun,

22
sekitar 50% lansia yang tinggal di institusi mengalami jatuh dan banyak
dari orang-orang ini mengalami jatuh beberapa kali (Miller, 2007).
b.

Manifestasi Klinis Risiko Cedera : Jatuh
Risiko cedera : jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis
cedera dan kerusakan fisik dan psikologis. Konsekuensi yang paling
ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur
lain yang terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan,
lengan atas, dan pelvis. Osteoporosis, yang lebih umum terjadi pada
wanita, merupakan faktor penting yang turut berperan terhadap
insidensi jatuh yang lebih tinggi diantara kaum wanita yang berusia di
bawah 75 tahun (Miller, 2007).
Manifestasi psikososial dari jatuh dapat memiliki banyak
dampak pada lansia sama halnya seperti dampak akibat cedera fisik,
jika tidak lebih berat. Walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah
jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak
konsekuensi, termasuk ansietas, hilangnya percaya diri, menarik diri
dari kegiatan sosial, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, sindroma
setelah jatuh (“menggenggam dan mencekram”), “falafobia” (fobia
jatuh), hilangnya kemandirian dan pengendalian, depresi, perasaan
rentan dan rapuh dan perhatian tentang kematian dan keadaan
menjelang ajal, menjadi beban keluarga dan teman-teman, atau
memerlukan institusionalisasi.
Konsekuensi atau manifestasi lain dari jatuh yaitu hilangnya
kemandirian dan pengendalian, merasa kehilangan, merasa rapuh,
perhatian tentang kematian dan takut menjadi beban keluarga dan
teman-teman. Hal-hal tersebut adalah isu-isu yang berhubungan

23
dengan penuaan. Jatuh dan rasa takut jatuh dapat memperberat isu ini
dan memaksa lansia dan keluarganya untuk dapat mengatasinya.
Institusionalisasi sering dipertimbangkan setelah kejadian jatuh. Satu
kejadian jatuh dapat memicu seluruh susunan kekuatan yang akan
mempengaruhi kualitas kehidupan lansia. Intervensi ini harus berada
dalam proporsi bagi kebutuhan nyata dan kemampuan lansia dan
bukan merupakan suatu respon terhadap ketakutan lansia atau
ketakutan keluarga dan pemberi perawatanya.
c.

Faktor Risiko Risiko Cedera : Jatuh
1) Faktor Instrinsik (faktor dari dalam tubuh lansia sendiri)
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan
mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain
dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006).
Faktor

instrinsik

tersebut

antara

lain

adalah

gangguan

musculoskeletal misalnya menyebabkan gangguan gaya berjalan,
kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope yaitu
kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan
gelap, keringat dingin, pucat dan pusing (Lumbatobing, 2004).
Adapun faktor instrinsik lain adalah sebagai berikut :
a) Gangguan jantung dan sirkulasi darah
b) Gangguan sistem anggota gerak, misalnya kelemahan otot
ekstremitas bawah dan kekakuan sendi
c) Gangguan sistem susunan saraf, missalnya neuropati perifer

24
d) Gangguan penglihatan
e) Gangguan psikologis
f) Infeksi telinga
g) Gangguan adaptasi gelap
h) Pengaruh obat-obatan yang dipakai, misal : diazepam,
antidepresi, dan antihipertensi
i) Vertigo
j) Infeksi telinga
k) Artritis lutut
l) Sinkope dan pusing
m) Penyakit-penyakit sistemik
2) Faktor Ekstrinsik (Faktor dari luar atau lingkungan)
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan
sekitarnya). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan
yang tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang
terang, lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak
stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah
atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat bantu berjalan
(Darmojo, 2004). Adapun faktor ekstrinsik lain yaitu :
a) Cahaya ruangan yang kurang terang
b) Lantai yang licin

25
c) Tersandung benda-benda
d) Alas kaki kurang pas
e) Tali sepatu
f) Kursi roda yang tak terkunci
g) Turun tangga
d.

Akibat Risiko Cedera : Jatuh
Risiko cedera : jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis
cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling
ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur
lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan,
lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak
psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh
dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi
termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam
aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Stanley, 2006).

e.

Komplikasi Risiko Cedera : Jatuh
Darmojo (2004) menyatakan bahwa komplikasi dari risiko
cedera : jatuh adalah sebagai berikut :
1) Perlukaan (injury)
Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang
terasa sangat sakit berupa robek atau retaknya jaringan otot,

26
robeknya arteri atau vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur
pelvis, femur, humerus, lengan bawah, dan tungkai atas.
2) Disabilitas
Disabilitas

mengakibatkan

penurunan

mobilitas

yang

berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat
jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak.
3) Kematian
f.

Pencegahan Risiko Cedera : Jatuh
Hal ini merupakan usaha yang bisa dilaksanakan oleh perawat
atau petugas kesehatan lain. Pencegahan risiko cedera : jatuh menjadi
tanggung jawab perawat yang memiliki keilmuan bidang risiko cedera :
jatuh dan pencegahanya. Untuk itu pencegahan risiko cedera : jatuh
wajib dilakukan seperti perintah Allah SWT yang tertera pada surat Al
Hajj (23) ayat 78 tentang kewajiban mengaplikasikan ilmu pengetahuan
untuk kebajukan, keslahatan umat, dan mengatasi masalah. Ayat
tersebut berbunyi :

‫جعل ل‬
‫ل‬
‫ماَ ل‬
‫جلهاَد ههه هكول ا م‬
‫دوا هفيِ الل قهه ل‬
‫جاَه ه ك‬
‫ول ل‬
‫م ول ل‬
‫جت للباَك ك م‬
‫حقق ه‬
‫حلرجج‬
‫ن ه‬
‫ن ل‬
‫ع لل لي مك ك م‬
‫م م‬
‫م هفيِ الد ديِّ ه‬
‫ل وفيِ مل ق ل ل‬
‫ذا ل هي ل ك‬
‫هل ل‬
‫م‬
‫م إ هب ملرا ه‬
‫ه‬
‫ن قلب م ك ل ه‬
‫سول ك ه‬
‫كو ل‬
‫ن القر ك‬
‫هي ل‬
‫ة أهبيك ك م‬
‫م م‬
‫ن‬
‫سل ه ه‬
‫م م‬
‫هكول ل‬
‫م ال م ك‬
‫ماَك ك ك‬
‫س ق‬
‫مي ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫م ولت ل ك‬
‫كوكنوا ك‬
‫ل‬
‫موا‬
‫شهل ل‬
‫شههي د‬
‫س فلأهقي ك‬
‫دا ع لل لي مك ك م‬
‫دالء ع للىَ القناَ ه‬
‫صلَّة ل لوآَكتوا القز ل‬
‫م‬
‫كاَة ل لواع مت ل ه‬
‫م فلن هعم ل‬
‫ولْك ك م‬
‫موا هباَلل قهه هكول ل‬
‫ص ك‬
‫ال ق‬
‫م م‬
‫صيكر‬
‫م الن ق ه‬
‫مومللىَ ولن هعم ل‬
‫ال م ل‬

27
Artinya :
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaan
untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu,
dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu
menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat dan
berpegang teguhlah kepada Allah.Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik
pelindung dan sebaik-baik penolong.
Menurut Darmojo (2004) tiga usaha pokok untuk mencegah risiko
cedera : jatuh pada lansia adalah :
1) Identifikasi faktor risiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencari adanya faktor instrinsik risiko cedera : jatuh. Perlu
dilakukan assessment keadaan sensorik, musculoskeletal dan
penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh.
Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat
menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus
cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin,
bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah
tangga yang sudah tidak aman atau lapuk dan dapat bergeser sendiri
sebaiknya diganti. Peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan atau tempat

28
aktivitas lanjut usia. Kamar mandi tidak dibuat licin, sebaiknya
diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka, dan
WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
2) Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan
badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah
posisi. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko
jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis.
Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah
kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah
penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah
kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan
tanpa bantuan. Seluruh hal tersebut harus dikoreksi bila terdapat
kelainan atau penurunan.
3) Mengatur dan mengatasi faktor situasional.
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita
lanjut usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut
usia secara perodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat
dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan, faktor
situasional yang berupa aktifitas fisik dapat diatasi sesuai dengan
kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil
pemeriksaan kondisi fisik. Maka dari itu lansia dianjurkan untuk
tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko
tinggi untuk terjadinya jatuh.

29

g.

Penatalaksanaan Risiko Cedera : Jatuh
Penatalaksanaan resiko cedera : jatuh bersifat individual, artinya
berbeda untuk tiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang
bekerjasama mengakibatkan jatuh. Apabila penyebab merupakan
penyakit akut yang penanganya menjadi lebih mudah, lebih sederhana
dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh secara efektif. Tetapi
lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktori sehingga
diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan
lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lanjut usia tersebut. Pada kasus
lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan,
misalnya pembatasan bepergian atau aktivitas fisik, dan penggunaan
alat bantu gerak.
Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan
penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan
dan ketahanan otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Sering terjadi
kesalahan, tetapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita
mengalami jatuh. Padahal terapi ini diperlukan terus-menerus sampai
terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fungsional.
Terapi

untuk

penderita

dengan

penurunan

gait

dan

keseimbangan difokuskan untuk mengatasi penyebab atau faktor yang
mendasarinya. Pendertita dimasukkan dalam program gait training dan
pemberian alat bantu berjalan. Biasanya program rehabilitasi ini
dipimpin oleh fisioterapis.

30
Penderita dengan dicciness syndrome, terapi ditunjukkan pada
penyakit kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat-obatan
yang menyebabkan hipotensi postural seperti beta bloker, diuretic, dan
antidepresan. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki
lingkungan rumah atau tempat tinggal atau kegiatan lanjut usia seperti
tersebut di pencegahan jatuh (Darmojo, 2004).
Kegiatan lain yang bisa dilaksanakan oleh lansia untuk
mengatasi resiko cedera jatuh adalah latihan fisik. Latihan fisik
diharapkan mengurangi resiko cedera jatuh dengan meningkatkan
kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi,
dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan. Latihan fisik
dapat mengurangi kebutuhan obat-obatan sedative. Latihan yang
dianjurkan adalah latihan fisik yang melatih kekuatan tungkai, tidak
terlalu berat, dan sesuai dengan kemampuan lansia. Latihan fisik yang
bisa dilakukan oleh lansia antara lain berjalan kaki, senam lansia, senam
aerobic low impact, senam sehat Indonesia (SSI), dan terapi Do-in
Shiatsu Massage dan Gym.
3.

Terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym
a.

Pengertian Terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym
Menurut Endang (2011) Do-in adalah kombinasi dari teknikteknik berdasarkan shiatsu, yang disebut “fisioterapi kontak”. Teknik
ini dapat merevitalisasi dan menghilangkan ketegangan fisik dan
mental. Shiatsu dalam bahasa Jepang berarti “tekanan jari”.
Menggunakan tekanan pada titik-titik akupresur secara ritmis dalam

31
periode pendek. Teknik shiatsu ini adalah suatu perawatan yang
bekerja pada meridian tubuh agar chi atau energy kehidupan kita
dalam keadaan seimbang. Perawatan ini mengatur ketidakseimbangan
pada chi yang dapat menimbulkan sakit. Shiatsu, melalui pijatan do-in
dapat membenahi ketidakseimbangan internal, terutama yang
dihasilkan oleh ketegangan dan stres yang sering kali menyebabkan
risiko cedera : jatuh pada lansia. Mempraktekkan latihan-latihan
berikut setiap pagi sebelum beraktifitas dapat membantu relaksasi
sehingga memudahkan lansia untuk beraktifitas (Priantono, 2007).
Scanlon (2000) menyatakan bahwa Do-in dan shiatsu
memiliki pengertian dan gerakan yang berbeda. Namun do-in dan
shiatsu dapat digabungkan dan dilaksanakan secara bersamaan dalam
satu waktu untuk menghasilkan manfaat bagi lansia terutama yang
mengalami risiko cedera : jatuh. Do-in adalah kombinasi dari latihan
peregangan meridian tubuh, latihan pernafasan, dan pijatan yang
dilakukan sendiri oleh seseorang (Shinmon, 2012). Melaksanakan
latihan peregangan titik meridian tubuh akan memberikan ide atau
afermasi positif di dalam energi yang dimiliki seseorang, sehingga
fungsi kesehatan akan lebih baik. Manfaat do-in adalah mengetahui
energi yang dimiliki seseorang, sebagai cara pengobatan atau
perawatan yang bisa dilakukan sendiri, dan untuk memberikan terapi
lanjutan berupa shiatsu dengan baik (Kreitzer, Kliger, & Meeker
2009).
b.

Manfaat Terapi Do-in Shiatsu Massage dan Gym
1) Mengendurkan otot-otot yang tegang dan mengurangi stress.

32
2) Merangsang aliran chi atau energi dengan menghilangkan
penyumbatan chi atau energi dalam tubuh lansia.
3) Memperbaiki

sistem

musculoskeletal

yang

mengalami

kemunduran.
4) Memperbaiki sistem saraf pusat dan otonom.
5) Melatih keseimbangan dan fleksibilitas lansia.
6) Memperbaiki struktur dan postur tubuh yang tidak normal.
7) Relaksasi untuk mengurangi stress.
8) Mengatasi masalah kurang energi atau kelelahan, memperbaiki
sistem pencernaan.
9) Mengurangi kejadian resiko cedera : jatuh pada lansia.
c.

Langkah-Langkah Melaksanakan
1) Tahap persiapan dan memulai
a) Dengan lembut tepuklah tubuh, tepuk lengan, tangan, kaki, dan
telapak kaki.
b) Buka kaki dan biarkan lutut rileks.
c) Luruskan punggung dan biarkan lutut rileks.
d) Dengan mata terpejam, napas teratur, berkonsentrasilah tentang
apa yang dirasakan oleh tubuh, dengan memberikan perhatian
khusus pada area-area terasa tegang dan nyeri.

33
2) Kepala dan Wajah
a) Dengan kedua tangan membentuk genggaman longgar, rilekskan
pergelangan tangan dan pukul dengan lembut puncak kepala
Anda.
b) Selanjutnya, teruskan memukul kepala Anda pukul secara lembut
dengan tangan terbuka, menggunakan ujung jemari atau telapak
tangan. Lakukan di seluruh kepala, termasuk pelipis, dahi, dan
leher.
c) Untuk menstimulasi meridian yang melewati kepala, sisirkan jari
jari Anda pada rambut beberapa kali.
d) Lanjutkan pada dahi, dengan menekan ujung jemari pada dahi,
berg