Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi (1)

Beririgasi Teknis

Dr. Ir. Rr. Endah Murningtyas, MSc Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas

Tata Ruang Laut Menyokong Kedaulatan Pangan

Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2015 - 2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Kajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas

Implementasi RZWP-3-K di Kota Ternate

Melihat dari Dekat

buletin tata ruang & pertanahan i buletin tata ruang & pertanahan i

Pelindung edaulatan pangan menjadi salah satu misi Presiden Joko Widodo - Wakil Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

K Presiden Jusuf Kalla untuk 5 tahun mendatang. Misi ini diturunkan ke

dalam program aksi, meliputi: perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di Penanggung Jawab

3 Juta hektar sawah; 1 Juta hektar lahan sawah baru di luar Jawa; pendirian Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

Bank Petani dan UMKM; gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen Pemimpin Redaksi

di tiap sentra produksi; serta pemulihan kualitas kesuburan lahan dan Santi Yulianti

penghentian konversi lahan produktif untuk usaha lain, seperti industri, perumahan dan pertambangan. Harapannya, ini akan menjadi langkah strategis

Dewan Redaksi untuk membuka jalan bagi Indonesia menuju Kemandirian Ekonomi. Mia Amalia

Uke M. Hussein Visi, misi, dan program aksi Jokowi – JK menjadi acuan bagi Kementerian Nana Apriyana

Rinella Tambunan PPN/Bappenas dalam menyusun RPJMN 2015 – 2019. Ini diwujudkan dalam

RPJMN 2015 – 2019 Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA Editor

– LH), ketahanan pangan menjadi isu strategis yang akan diselesaikan 5 tahun Gina Puspitasari

mendatang. Salah satu kebijakan dan strateginya adalah pengamanan lahan Astri Yulianti padi beririgasi teknis. Ini menjadi kebijakan multisektor. Untuk bidang tata

Redaksi ruang dan pertanahan, ini sangat relevan dengan upaya perlindungan lahan Hernydawati

pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang ingin diintegrasikan ke dalam Aswicaksana

Rafli Noor

rencana tata ruang.

Idham Khalik Cindie Ranotra

Tidak salah kiranya, Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi II Tahun 2014 Riani Nurjanah

mengangkat tema “Pengelolaan Ruang untuk Ketahanan Pangan”. Untuk Octavia Rahma Mahdi

menjawab isu ketahanan pangan, rubrik wawancara kali ini menghadirkan Chandrawulan Padmasari

Dr. Rr. Endah Murniningtyas, MSc, Deputi Bidang SDA – LH, Kementerian Gita Nurrahmi

Dea Chintantya PPN/Bappenas. Wawancana ini menarik untuk disimak karena secara lugas, Marhensa Aditya Hadi

beliau memberikan solusi praktis atas sulitnya pelaksanaan amanat Undang Reza Nur Irhamsyah

– Undang No. 41 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Zaharatul Hasanah

Berkelanjutan. Seperti kita tahu, pangan tidak hanya berasal dari darat, tapi juga laut. Buletin

Linggar Wahyusagara

Desain & Tata Letak Dodi Rahadian

kali ini mencoba mengupas isu pangan secara komprehensif dengan juga Indra Ade Saputra

menggali fungsi laut sebagai penyokong kedaulatan pangan. Pembahasan ini dikupas secara mendalam oleh Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng., Direktur

Distribusi & Administrasi Sylvia Krisnawati

Tata Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Redha Soiya

Perikanan.

Pratiwi Khoiriyah Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi dan Kajian edisi kali ini, diisi dengan materi

Alamat Redaksi Mendengarkan Kota, Penyusunan Laporan BKPRN dan Buku Proil Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan

serta Rancangan Teknokratik RPJMN 2015 – 2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/

Bappenas Pertanahan. Tidak lupa sosialisasi peraturan bidang tata ruang dan pertanahan,

Jl. Taman Suropati No. 2 serta berbagai kegiatan penting yang telah dilakukan sejak pertengahan Tahun Gedung Madiun Lt. 3

2014 sampai dengan akhir Tahun 2014 tetap kami hadirkan. Jakarta 10310

telp: 021 - 392 66 01

Selamat Membaca!

email: trp@bappenas.go.id website: http://www.trp.or.id

Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan.

Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak mengeditnya. Silakan kirim ke alamat di atas Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak mengeditnya. Silakan kirim ke alamat di atas

daftar isi PENGELOLAAN RUANG UNTUK KETAHANAN PANGAN

2 Implementasi RPJMN 2015 - 2019 untuk Mempertahankan Lahan Sawah Beririgasi Teknis Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc

Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup - Kementerian PPN/Bappenas

6 Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2015 - 2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Kajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas

11 Tata Ruang Laut Menyokong Kedaulatan Pangan

Dr. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan

14 Implementasi RZWP-3-K di Kota Ternate

Melihat dari Dekat

1 daftar isi

10 koordinasi TRP

15 sosialisasi peraturan

19 dalam berita

25 ringkas buku

buletin tata ruang & pertanahan 1

buletin 2 tata ruang & pertanahan

Umum Di dalam RPJMN 2015 – 2019, target apa yang hendak dicapai

untuk mencapai ketahanan pangan? Mengacu pada RT (Rancangan Teknokratik) RPJMN 2015 – 2019,

ketahanan pangan sesuai deinisinya terdiri atas 4 komponen indikator, yaitu: i) ketersediaan, artinya produksi pangan sebesar- besarnya di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional; ii) distribusi yang kaitannya dengan akses produsen ke konsumen, kelancaran pengiriman, dan logistik pangan; iii) akses distribusi dan keterjangkauan harga yang kaitannya dengan stabilitas harga antarmusim, antarwaktu, dan antarwilayah, tentang bagaimana mengatur dan mengatasi inlasi; dan iv) pemenuhan konsumsi masyarakat yang kaitannya dengan pola pangan harapan (PPH) yang menunjukkan kualitas pangan dari kelengkapan unsur makanan. PPH tidak hanya pemenuhan 2.000 kilo kalori/kapita/ hari, tapi juga keberagaman pangan, mulai dari unsur karbohidrat, protein, vitamin, dan serat. Empat komponen ini menjadi indikator untuk mencapai ketahanan pangan nasional.

Bagaimana strategi untuk memertahankan ketersediaan, mengatasi permasalahan distribusi dan akses, serta memastikan konsumsi masyarakat terpenuhi?

Berkenaan dengan produksi pangan, padi menjadi komoditas utama karena bagaimanapun makanan pokok masyarakat kita adalah nasi. Jika dikaitkan dengan lahan, maka lahan padi (sawah) yang harus diamankan terlebih dulu. Secara politik, padi pun memiliki nilai tawar yang tinggi. Ini dibuktikan dengan program swasembada yang komoditasnya dipastikan selalu beras.

Kebutuhan beras nasional adalah 2,5 juta ton/bulan. Untuk mempertahankan ketersediaan dan memenuhi kebutuhan nasional,

kita terus berusaha meningkatkan produksi pangan nasional. Ini dilakukan dengan peningkatan produktivitas yang terus dijaga, tidak hanya pemberian benih dan pupuk tapi juga pendampingan, karena bukan pemerintah yang memroduksi. Subsidi ini diberikan kepada produsen karena bagaimanapun menanam padi semakin tidak menguntungkan. Lahan, air, dan tenaga kerja semakin mahal, ketika semua barang mengikuti harga pasar tapi harga beras harus terus terjaga agar terjangkau oleh masyarakat.

Di sisi lain, kita juga bisa melakukan impor. Impor wajar, tapi sebanyak mungkin diproduksi dalam negeri. Impor dilakukan jika sewaktu-waktu produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan. Impor ini tetap ada meskipun sedikit, karena jika impor ditutup akan berakibat juga pada kerjasama ekspor dan impor, “bagaimana jika Indonesia juga tidak boleh melakukan ekspor?”.

Bagaimana strategi yang dilakukan terhadap konsumen? Untuk konsumen lebih difokuskan pada upaya menjaga stabilitas

harga dan memastikan konsumsi terpenuhi terutama bagi golongan masyarakat miskin. Salah satunya dengan subsidi dalam bentuk beras miskin (raskin), karena masyarakat miskin dianggap tidak mampu memenuhi 2.000 kkal/kapita/hari. Untuk dapat mencapai konsumsi 2.000 kkal/kapita/hari, masyarakat miskin harus dibantu. Raskin ini tidak gratis, tapi harganya lebih rendah karena disubsidi pemerintah.

Hubungan dengan Sektor Lain Isu ketahanan pangan ini sangat lintas sektor. Menurut Ibu,

bagaimana peran penataan ruang untuk mendukung ketahanan pangan, terutama dalam strategi memertahankan luasan sawah beririgasi teknis secara nasional?

Isu ketahanan pangan menjadi isu strategis nasional dan isu lintas bidang. Isu ini sangat lintas sektor. Mulai dari sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor industri (misal pupuk), sektor irigasi (Kementerian PU), sektor kesehatan untuk konsumsi (Kementerian Kesehatan), sektor perhubungan untuk distribusi. Maka itu, tata ruang menjadi sangat krusial karena tidak hanya untuk pangan, tapi juga untuk optimalisasi pemanfaatan lahan. Saat ini banyak lahan bera (kosong). Lahan dimiliki orang dengan luas sekitar 3 juta Ha, tapi tidak digunakan, tidak ditanami pohon, tidak diusahakan. Berbeda dengan di negara lain, tanah seperti itu pajaknya tinggi, sedangkan di kita pajaknya rendah yang jika ditanami komoditas, komoditasnya dikenakan pajak. Ini keliru. Saya pikir tata ruang bukan hanya pengkaplingan, tapi bagaimana membuat lahan itu digunakan semestinya. Kalau lahan harusnya difungsikan sebagai rumah, tapi sekian lama tidak dibangun, harusnya dilakukan sesuatu terhadap lahan tersebut, jangan dibiarkan kosong.

wawancara

Implementasi RPJMN 2015 – 2019 untuk Mempertahankan Lahan Sawah Beririgasi Teknis

Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup – Kementerian PPN/Bappenas

K etahanan pangan masih menjadi isu global. Di Indonesia, bukan hanya permasalahan peningkatan daya saing nasional dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, tapi juga pemenuhan hak dasar atas pangan dan gizi menjadi problematika

tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Dalam RPJMN 2015 – 2019, masalah ketersediaan pangan, distribusi, akses, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat akan diselesaikan. Menarik untuk digali lebih dalam, tentang strategi untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan dengan pengamanan lahan padi beririgasi teknis. Berikut hasil wawancara redaksi bersama Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup – Kementerian PPN/Bappenas.

Sumber: Dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

buletin tata ruang & pertanahan 3

Pertama, yang menjadi masalah nasional adalah RTRW direvisi setiap 5 tahun, sementara penyusunan RTRW saja dalam kurun waktu 5 tahun belum tentu selesai. Kalau RTRW belum ditetapkan, arah dan fungsi penggunaan lahan menjadi tidak jelas. Ini tidak memberikan kepastian usaha untuk orang yang mau membangun usaha, dan memberi kesempatan untuk orang - orang yang ‘nakal’ sebetulnya. Saat ini, sawah yang banyak dialihfungsi karena infrastrukturnya bagus, tanahnya datar dan padat, serta tidak perlu cut and ill. Tidak perlu pengerjaan lahan lagi karena sudah siap pakai. Banyak lahan sawah beralihfungsi menjadi industri, gudang, dan perumahan. Ini menyedihkan bukan padi vs komoditas lain, tapi padi vs penggunaan lain. Mengingat RTRW pun dapat diubah setiap

5 tahun. Lahan itu tidak akan bertambah, maka secara tata ruang harus

sudah ditetapkan batas maksimal penggunaan lahan. Tentu saja, hutan konservasi dan hutan lindung tidak bisa ditawar karena ada kekhasan disitu, salah satunya keberadaan mata air. Batas maksimal harus ada, untuk areal penggunaan lain (APL) juga harus ada rasio luasan untuk industri, perumahan, infrastruktur, pertanian, seluruh jenis penggunaan lahan harus ada perhitungannya sehingga dapat dimaksimalkan dan dioptimalkan.

Saat ini, tidak perlu membangun DAM (waduk) sebesar Jatiluhur karena sudah tidak ada hamparan lahan sawah seluas 3.000 Ha. Sawah yang akan diairi sudah terfragmentasi, bahkan Jatiluhur saja sudah terputus – putus. Air dikumpulkan sebanyak itu pun sudah tidak ada lagi. Untuk itu, yang mungkin dibangun midi atau mini waduk. Pembangunan harus melihat kondisi aktual luasan lahan sawah yang bisa dimanfaatkan oleh petani.

Ini menjadi masalah juga, karena dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan hamparan 3.000 Ha adalah urusan pusat, dan saat ini sudah tidak ada hamparan seluas itu. Artinya, anggaran pemerintah pusat sudah tidak ada penggunaannya karena secara deinisi sudah tidak ada wewenang pemerintah pusat. Ini menyulitkan Pemerintah Pusat karena tidak bisa membantu provinsi dan kabupaten/kota untuk memelihara jaringan irigasi di bawahnya.

Dari sisi tata ruang secara nasional harus bisa dibuatkan model. Model tata ruang untuk luasan Indonesia dengan SDM dan skala ekonomi yang seperti ini. Jika berkunjung ke negara – negara Eropa, seperti Inggris dan Perancis, luasan sawah dan lahan gandum tetap, luasan lahan anggur tidak bertambah, luasan lahan perumahan tidak bertambah, tapi bertambah ke atas (pembangunan vertikal).

Saat ini Bappenas sedang mengkaji tata ruang lingkungan. Kalau RTRW mengatur batas maksimal penggunaan ruang, di dalam tata ruang lingkungan ditetapkan batas daya dukung lingkungan. Misal, jika ingin hidup di Jakarta dengan udara bersih, maka penggunaan mobil sedikit agar udara bisa dihirup. Di kota – kota besar, perubahan iklim terjadi, sementara pohon (penghijauan) sedikit jumlahnya, maka kompensasinya adalah orang jalan kaki. Ini menganut carrying capacity, tapi belum menunjukan kualitas. Untuk itu, sedang disusun pula pemetaan lingkungan secara spasial.

Greening MP3EI telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan tingkat polusi di suatu wilayah/kawasan. Misal di pulau Sumatera, polusi di pulau Sumatera telah melampaui batas (berlebihan), tapi di satu sisi perekonomian harus tetap tumbuh. Konsep Greening MP3EI, memberikan arahan, jika investasi baru ingin tetap masuk, maka persyaratannya adalah polusi harus nol karena polusi sudah mampat, atau industri eksisting di lokasi tersebut harus

menurunkan polusinya. Diasumsikan RTRW sudah menghitung jumlah penduduk, tapi dari

perkataan Ibu sepertinya ada faktor pajak juga yang berpengaruh, bagaimana? Apakah perlu kerjasama juga dengan institusi pajak terkait ketahanan pangan ini?

Ya, tata ruang bukan hanya dari sisi menata, tapi bagaimana lahan itu digunakan sesuai peruntukannya. Ironinya, banyak lahan yang dibiarkan ‘nganggur’. Kalau lahan itu diusahakan, seharusnya segera lakukan, jika tidak maka tinggikan pajaknya, karena yang terjadi adalah spekulasi lahan. Untuk itu, perlu kerjasama tidak hanya terkait dengan ketahanan pangan, tapi di luar konteks sawah, perlu kerjasama dengan instansi terkait tata ruang sehingga lahan sawah dapat dimasukan ke dalam tata ruang.

Dasar Hukum Mengapa di dalam RT RPJMN 2015 – 2019 Bidang Sumber Daya

Alam dan Lingkungan Hidup menggunakan kalimat “pengamanan lahan pertanian beririgasi teknis” untuk mewujudkan ketahanan pangan?

Padi tetap komoditas utama yang diamankan. Lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) adalah bahasa politik, tapi yang sesungguhnya ada di pikiran kita adalah padi. Secara mikro dapat kita lihat, lahan sawah ‘digerogoti’, tapi kita dituntut untuk terus meningkatkan produksi. Jika terdapat program swasembada, maka swasembada beras sudah pasti tidak dibantah, secara sosial politik semua akan mendukung, akan berbeda dengan swasembada jagung.

Saya memutuskan, LP2B adalah padi. Saat ini, kita tidak bisa memaksa petani untuk menanam padi, tapi kalau di sawah irigasi teknis, komoditas padi pasti unggul. Untuk itu, diputuskan yang kita lindungi adalah sawah (padi) beririgasi teknis. Di samping itu, jika sawah tidak beririgasi teknis, akan ada rotasi untuk komoditas lain, seperti cabe, tomat. Sementara, sistem budidaya saat ini tidak boleh memaksa petani untuk menanam padi. Di simpulkan, lahan yang paling tidak kontroversial dan tidak mahal adalah sawah beririgasi teknis karena produktivitasnya juga paling tinggi, terutama untuk Jawa dan Sulawesi.

Faktor pengikat lain yang sangat logis untuk mengamankan lahan sawah beririgasi teknis adalah lahan tersebut bagian dari waduk. Tidak hanya karena padi memiliki tingkat produktivitas tinggi, tetapi merupakan bagian dari infrastruktur juga. Tentunya kita tidak ingin Jatiluhur dikelilingi pabrik – pabrik. Air berfungsi sebagai sumber listrik, air minum, dan pengairan sawah. Jika sawah dibiarkan ‘tergerus’, sektor pertanian tidak didukung, maka suatu saat impor akan 100 persen. Ini bukan kesalahan sektor pertanian saja, tapi multi sektor.

Saat ini kita tidak sadar bahwa perhitungan – perhitungan itu

Sumber: http://www.portalkbr.com

buletin 4 tata ruang & pertanahan

tidak ada karena pemetaan terhadap properti juga belum jelas sehingga kita tidak tahu lahan itu sudah berfungsi berapa banyak. Ini menghawatirkan. Cikampek saja yang semua sawah, sekarang sudah penuh dengan industri dan permukiman. Contoh lainnya, bandara Karawang, meskipun itu bukan sawah tapi badan air. Kalau air ‘diganggu’, maka akan banjir karena air sifatnya ‘elevated’.

Tidak hanya masalah lingkungan, tapi juga ‘bagaimana menata air’. Di dalam RTRW, tata air penting karena berkaitan dengan kualitas lingkungan dan ketersediaan air agar wilayah penghijauan cukup dan masyarakat dapat menghirup udara segar. Di Jakarta, sebagian orang menggunakan masker, apa artinya?. Maka, sangat penting bagi Bappenas untuk melakukan perhitungan, untuk ukuran Indonesia, berapa pantasnya jumlah penduduk?, berapa luasan lahan budidaya yang sudah dikurangi daerah hijau dan konservasi air, dan dimasukan ke dalam RTRW. Kalau dapat diketahui batas tersebut, maka tidak perlu dilakukan ekstensiikasi terus menerus. Meskipun di dalam RPJMN 2015 – 2019, belum hingga menentukan batas luasan maksimal, tapi kita sudah mencantumkan isu ketahanan air.

Apa dasar hukum yang digunakan? Dengan perbedaan nomenklatur yang digunakan, sepertinya tidak menggunakan UU No. 41 Tahun 2009 tentang LP2B?

Saya justru mau ‘mengamankan’ UU No. 41 Tahun 2009. Sekarang ini, UU 41/2009 sudah ditetapkan, tapi dilepaskan kepada daerah. Daerah yang menentukan LP2B, bagaimana kita tahu 2.000 ha di daerah itu adalah lahan irigasi teknis. Saya mendapatkan laporan bahwa di beberapa Perda, mereka justru meminta lahan lain untuk dijadikan lahan pertanian dan meminta membuka lahan pertanian untuk digunakan sebagai lahan bukan pertanian. Investor pasti lebih tertarik ke lahan pertanian, dan daerah justru membuka lahan karena dalam UU 41/2009 ada kata ‘bisa ditukar’. Ini tidak bisa. Penentuan LP2B jangan dilepas ke daerah karena bisa melakukan tukar lahan produktif dengan lahan tidak produktif.

Seharusnya daerah tetap memertahankan lahan sawah yang beririgasi teknis. Misal luasan lahan sawah eksisting ditetapkan saja. Fakta mengatakan tidak mudah mencari lahan subur seperti sawah, dan orang yang terbiasa bertani. Lahan sawah itu hanya di daerah transmigrasi dan sedikit di sekitarnya, tidak banyak, seperti di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan bisa bertanam dua kali, panen sepanjang tahun. Dan sekarang, semua daerah transmigrasi sudah mulai menjadi kota. Untuk itu, saya bukan mengenyampingkan UU 41/2009, justru melihat LP2B ini tidak ada efeknya, minimal mengamankan sawah karena yang paling perlu dilindungi adalah padi. Selain secara politik kita dituntut swasembada beras, konsumsi pun tidak menurun banyak, sementara lahan sawah terus berkurang.

Sudah ditetapkan empat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU 41/2009, tapi belum berhasil dalam pelaksanaanya. Saya menyampaikan dua pilihan sebagai solusi, yaitu 1) sistem top - down; atau 2) bottom – up, daerah sendiri yang mendeinisikan LP2B. Kalau saya lebih memilih top - down karena sawah beririgasi teknis adalah bagian dari infrastruktur nasional.

Kami sempat bertemu dengan rekan dari Kementerian Pertanian, yang mendeisikan bahwa LP2B itu termasuk lahan kering? Bagaimana pendapat Ibu?

Kalau saya tetap lahan sawah (padi) beririgasi teknis. Fakta di lapangan, jika lahan sawah mendapatkan air, pasti menanam padi. Jika lahan kering, dengan UU No. 12/1992 tentang Sistem

Budidaya, kita tidak bisa mencegah petani tanam jagung atau komoditas lainnya. Selain itu, dengan PP No. 30/2012 tentang Pembiayaan LP2B, petani bisa saja meminta subsidi untuk cabe atau komoditas lain, yang merupakan komoditas campur tangan.

Ini juga menjadi fokus Menteri PPN/Bappenas karena sawah berkurang terus dan produksi padi gagal terus. Saya tidak membuat aturan baru, justru mengamankan UU 41/2009 dan memperkuat instrumennya karena berbagai aturan ini belum bersatu. Saya hanya memastikan bahwa lahan produktif yang dilindungi karena biaya per unitnya akan relatif rendah jika produktivitasnya tinggi dan mampu memenuhi daya jangkau. Luasan lahan sawah irigasi teknis eksisting, ada yang menyebut 4,9 juta Ha, secepatnya ditetapkan sebagai LP2B, bahwa sepakat alatnya Perda, tapi deinisinya kita yang harus menentukan.

Dikatakan subsidi banyak yang tidak sampai pada sasarannya, karena tidak tahu siapa sasarannya. Dulu, ada kelompok tani, tapi sekarang tidak ada kelompok tani secara gotong royong seperti dulu. Kalau sensus penduduk saja per kepala, maka lahan irigasi teknis seluas 4,9 juta Ha harusnya tahu dimana lokasinya, siapa pemiliknya, siapa petaninya, bagaimana produksinya, sehingga kita mudah membinanya dan tahu sasaran subsidinya. Kalau seperti ini akan mudah memeriksa subsidi, apakah subsidi itu sampai atau tidak, dipakai atau dijual. Selain itu, memudahkan dalam memantau hasil produksi. Ini akan memotivasi penyuluh karena jelas objek yang akan dicerdaskan, bukan lagi berdasarkan hamparan.

Di dalam rumusan RPJMN 2015 – 2019, jika ini menjadi proyek strategis nasional, maka pemerintah pusat dapat memberikan dana sehingga lokasi lahan sawah dan irigasinya bisa ditetapkan dengan jelas hingga institusi penanggungjawabnya. Jadi pemetaan antara sawah dengan irigasinya tidak membingungkan seperti sekarang, jumlahnya sama, tapi lokasinya berbeda - beda. Dengan teknologi saat ini, memungkinkan untuk melakukan pemetaan tersebut.

Dalam RPJMN 2015 – 2019, Bappenas mencoba secara komprehensif menangani permasalahan tersebut. Jika hal itu dapat ditangani, selanjutnya sistem perbenihannya diperbaiki. Kalau padi bisa diperbanyak sendiri. Sekarang, petani yang kaya adalah petani yang kembali pada varietas – varietas hulu yang memiliki daya jual tinggi, seperti Cianjur. Benih ini jangan sampai dikendalikan oleh pihak multinasional. Untuk itu, sistem perbenihan harus dikelola. Irigasi dan penyuluhan adalah fungsi publik. Di dalam rumusan RPJMN 2015 – 2019, ingin kembali menghidupkan fungsi publik.

Dukungan Data Hal ini berarti minimal dilakukan pendataan terlebih dahulu? Ya, jika sudah jelas objeknya, per kepala, kita bisa memahami

kebutuhan mereka karena selama ini hanya menduga – duga.

Sumber: http://www.panoramio.com

buletin tata ruang & pertanahan 5

Selain itu, pertanggungjawabannya pun akan jelas sehingga kita bisa menghitung jumlah kebutuhan karena datanya jelas dan valid. Jika melalui kelompok, akan sulit mempertanggunjawabkannya. Kementerian Keuangan selalu mempertanyakan pelaksanaan subsidi, karena petani masih ‘menjerit – jerit’.

Jangan sampai karena kita di sektor pertanian tidak mau mendeinisikan LP2B, orang lain yang akan mendapat keuntungan. Masalah juga di dalam PP 30/2012 tentang pembiayaan perlindungan LP2B dan PP 25/2012 tentang sistem informasi LP2B, data yang dikeluarkan adalah tabel per kabupaten, yang tidak menunjuk secara keruangan hamparannya, sehingga tidak cocok antara demand dengan supply.

Di dalam Perda, LP2B banyak di daerah – daerah yang tidak produktif karena sawahnya bisa untuk membangun pabrik. Sementara lahan bekas pabrik yang lokasinya terpencil dengan produktivitas rendah, siapa yang mau tukar guling. Meskipun luasannya sama, tapi kita tidak bisa mencapai produksi tinggi.

Ironi. Sekarang banyak sawah dan di sampingnya perumahan. Di Ubud – Bali, sawah – sawah menjadi guest house. Ini semakin menyakinkan bahwa padi yang harus dilindungi. Lahan boleh dialihnamakan, tapi jangan dialihfungsikan. Untuk itu, BPN menyarankan untuk memasukan LP2B ke dalam RTRW, tapi harus ditetapkan dulu lahannya dalam peta, tidak hanya tabel.

Alternatif lain, jika produksi dari sawah rumah tangga tidak mencukupi kebutuhan nasional, maka dalam RPJMN 2015 – 2019 dimasukkan korporasi yang perannya harus ditetapkan dulu. Bentuk korporasi ini adalah BUMN pangan, karena kemungkinan swasta mau bergabung sangat kecil. Bulog, PT. Pertani, SHS, ini bisa difungsikan. Korporasi ini akan menstabilkan dan mengamankan pemenuhan kebutuhan nasional, jika rumah tangga petani mengalami gejolak.

Jika akan dilakukan semacam pendataan lahan, siapa yang melakukan nantinya?

Saya akan memfungsikan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Saya sudah mengkonirmasi, katanya kalau dari sisi data penduduk mungkin saja dilakukan. Lahan ini akan diaudit dan masuk ke dalam RTRW. Saat ini sedang diupayakan dalam penyesuaian skala. Kalau LP2B sudah ditetapkan, akan bisa digarap irigasinya. Dengan kejelasan lahan dan irigasi, dana dari Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota bisa sinergi.

Dari sisi penyuluh, informasi yang diperoleh dari balai penyuluhan sudah jelas. Sekarang setiap penyuluh sudah jelas kelompok binaannya, tinggal 1 tahap lagi untuk menuju siapa saja anggota

kelompoknya. Permasalahan lain di internal Kementerian Pertanian adalah kesesuaian data penyuluh Ditjen PSP (prasarana dan sarana pertanian) dengan Ditjen Tanaman Pangan. Ini memang tidak mudah, tapi kalau tidak dilakukan akan menjadi ‘macan ompong’ saja. Nanti padi gogo yang akan mengisi seluruh lahan pertanian pangan abadi.

Kesimpulan Ini sangat komprehensif dan lintas sektor, banyak hal yang di luar

kontrol Kementerian Pertanian, bagaimana mewujudkan upaya ketahanan pangan?

Iya, tapi saya sangat menekankan Kementan untuk menemukan dan menentukan lahan sawah irigasi teknis. Memang untuk urusan petani adalah urusan kementerian pertanian. Jadi, jangan sampai mengerjakan pekerjaan orang lain, sementara pekerjaan rumah sendiri tidak dilaksanakan.

Ini tidak bisa ditunda lagi, termasuk pemetaan petani. Di dalam UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, disinggung asuransi petani. Asuransi sifatnya individu, dan setiap petani harus diketahui. Untuk asuransi risiko, saat ini petani belum mencatat hasil produksinya sehingga tidak diketahui luktuasi produksinya dan tidak akan tahu seperti apa risikonya. Kondisi ini menjadikan petani tidak dikenal oleh Bank dan mitra, karena dalam bermitra, harus diketahui dulu minimal rata – rata omset. Untuk itu, data identitas petani sangat fundamental, bukan hanya untuk serving the land, tapi serving better.

Bagaimana kita bisa terus mengembangkan industri tanpa mengalihkan fungsi pertanian? Apakah konsep agroindustri yang ada di RPJMN bisa menjadi salah satu pendekatan untuk memertemukan antara sektor industri dan sektor pertanian?

Jika dalam konteks lahan, sekarang banyak lahan pertanian yang digunakan untuk industri. Memang solusinya, kita perlu menghitung jumlah kebutuhan dan lokasinya. Kalau kita tahu batasannya, maka kita bisa melakukan optimalisasi di lokasi itu, tidak selalu ekstensiikasi. Jangan sampai banyak industri, tapi lahan untuk produksi tidak ada sehingga banyak melakukan impor. Ini karena pabrik pengolahan tidak menghitung lahan untuk produksi. Jadi, perlu keseimbangan supply demand. Tidak bagus jika industri bertambah tapi lahan pertanian berkurang karena industri akan bergantung pada supply dari luar negeri. Jika supply dari luar juga mati, tidak ada ketahanan industri. Kembali lagi pada kapasitas industri yang harus juga memperhatikan kapasitas supply. Keberlanjutan industri harus memperhatikan skala produksi primernya. Untuk itu, pembagian ruang harus sudah maksimal. Ini akan sangat strategis.

Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2015-2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

kajian

ndang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), menyebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan

masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan amanat UU tersebut dan akan berakhirnya dokumen RPJMN 2010-2014, maka disusun Dokumen Rancangan Teknokratik (RT) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 sebagai rancangan arahan pembangunan jangka menengah nasional, sebelum disahkan menjadi RPJMN Tahun 2015-2019. Kajian ini berisi RT RPJMN Tahun 2015-2019 untuk bidang tata ruang dan pertanahan.

Proses penyusunan dokumen RT RPJMN 2015-2019 bidang tata

5 – Mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan. ruang dan pertanahan, mengikuti alur berikut, yaitu: (i) tinjauan

Selanjutnya Arah Kebijakan RPJPN 2005-2025, dijabarkan ke amanat RPJPN 2005 – 2025; (ii) mengevaluasi sekaligus mengukur

dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. capaian RPJMN 2010 – 2014 bidang tata ruang dan pertanahan;

Beberapa program dan kegiatan bidang pertanahan yang ada (iii) menganalisis permasalahan serta tantangan ke depan; (iv)

dalam RPJMN 2010-2014 dan terkait dengan upaya peningkatan merumuskan isu strategis; dan (v) merumuskan usulan kebijakan

kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kepastian hukum hak RPJMN 2015-2019 bidang tata ruang dan pertanahan.

atas tanah adalah: (i) Penyusunan Peta Pertanahan; (ii) Legalisasi Proses Penyusunan RT RPJMN 2015 - 2019

Aset; (iii) Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah (IP4T); dan Redistribusi Tanah.

Sesuai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan

Isu Strategis

untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, Berdasarkan arahan RPJPN, hasil evaluasi terhadap capaian produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara

pembangunan RPJMN 2010-2014, dan tantangan pembangunan di dan Ketahanan Nasional. Dalam rentang waktu lima tahun, yang

masa mendatang, diidentiikasi isu strategis pembangunan Bidang merupakan periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Tata Ruang dan Pertanahan RPJMN 2015-2019. Nasional (RPJMN), RPJPN memberikan kata kunci dalam

Isu strategis Bidang Tata Ruang

mengarahkan pembangunan Bidang Tata Ruang untuk setiap

1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang . periode perencanaan jangka menengah.

Mempertimbangkan masih ada RTR dan RZWP-3-K yang Kata kunci untuk periode RPJMN 2015-2019 adalah “kapasitas

belum selesai, maka tahapan pemanfaatan dan pengendalian kelembagaan penataan ruang yang mantap” dan “ketersediaan

pemanfaatan ruang belum dapat dilaksanakan secara efektif. infrastruktur yang sesuai rencana tata ruang”. Kelembagaan dapat

Salah satu penyebabnya adalah belum tersedianya peta berskala diartikan secara luas sebagai kaidah formal maupun informal yang

besar. Untuk mendukung pemanfaatan dan pengendalian mengatur perilaku seseorang. Dengan demikian, kelembagaan

pemanfaatan ruang, dibutuhkan juga skema insentif tidak terbatas pada organisasi dan sumberdaya manusia saja,

sebagaimana tercantum dalam PP No. 15 Tahun 2010. namun mencakup pula pedoman, sistem informasi dan manajemen.

2.

Adapun penyediaan infrastruktur yang sesuai rencana tata ruang Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang . Permasalahan

kelembagaan mencakup masih belum memadainya kualitas, adalah konsekuensi logis dari diacunya rencana tata ruang dalam kuantitas dan kompetensi SDM bidang tata ruang. Secara pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor. lebih rinci permasalahannya mencakup kualitas, kuantitas

Untuk Bidang Pertanahan, UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan serta wadah dan tata kerja PPNS (Penyidik Pegawai Negeri UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Sipil), belum aktifnya peran masyarakat pengguna ruang dalam Agraria (UUPA) mengamanatkan pemanfaatan bumi, air, dan

penyelenggaraan penataan ruang, serta minimnya pedoman ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung didalamnya

yang dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah dalam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini secara lebih

penyelenggaraan penataan ruang.

teknis dijabarkan dalam perencanaan pembangunan nasional

3. RTRW sebagai acuan pembangunan berbagai sektor . Sebagai sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana peraturan perundangan yang mewadahi bidang tata ruang, Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. seluruh amanat UUPR harus dilengkapi dan selaras dengan Untuk bidang pertanahan, secara khusus dijabarkan dalam Misi

Proses Penyusunan RT RPJMN 2015 - 2019

6 buletin tata ruang & pertanahan

buletin tata ruang & pertanahan 7

aturan sektoral lain. Namun saat ini RTR belum menjadi pedoman bagi pembangunan sektoral. Selain itu, RTR juga belum selaras dengan rencana pembangunan yang menjadi acuan pembiayaan pembangunan.

Dalam rangka mendukung visi misi dan program aksi “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, isu strategis utama Bidang Tata Ruang terkait erat dengan Agenda Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama Desa, Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Perbatasan. Namun selain itu, bidang tata ruang juga berkaitan erat dengan berbagai agenda pembangunan lainnya, termasuk di dalamnya Agenda: (1) Memperkuat sistem pertahanan melalui penyusunan peraturan perundangan tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN); (2) Memperkuat jati diri sebagai negara maritim, salah satunya dengan penetapan RTR Laut Nasional; (3) Membangun transparansi dan tata kelola pemerintahan dengan pembangunan sistem informasi tata ruang yang handal; (4) Menjalankan reformasi birokrasi yang dapat mendukung kelembagaan PPNS Bidang Tata Ruang yang Handal; (5) Membuka partisipasi publik dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha secara aktif dalam penyelenggaraan penataan ruang; serta (6) Mewujudkan kedaulatan pangan dengan integrasi perencanaan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) dengan RTR Wilayah Provinsi yang diamanatkan oleh UU No. 41 Tahun 2009.

Isu strategis Bidang Pertanahan

1. Jaminan Kepastian Hukum Hak Masyarakat Atas Tanah . Jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah masih menjadi isu utama, karena faktor utama yang mempengaruhi kondisi kepastian hukum hak atas tanah belum dapat diperbaiki secara signiikan. Faktor yang dimaksud, antara lain cakupan peta dasar pertanahan, jumlah bidang tanah yang telah bersertipikat, kepastian batas kawasan hutan dan non hutan, tingkat penyelesaian kasus pertanahan, dan penetapan batas tanah adat/ulayat.

2. Ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta Kesejahteraan Masyarakat. Ketimpangan P4T masih menjadi masalah, terlihat dari luas wilayah darat nasional di luar kawasan hutan seluas 65 juta Ha, hanya sekitar 39,6 juta Ha yang dikuasai oleh petani. Sensus pertanian Tahun 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 Ha dan 14,25 juta rumah tangga tani hanya mengusai lahan kurang dari 0,5 Ha per keluarga. Meskipun secara menerus telah diupayakan redistribusi tanah dari berbagai sumber tanah, namun disadari bahwa ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah masih terjadi.

3. Kinerja Pelayanan Pertanahan . Sampai saat ini dirasakan bahwa pelayanan pertanahan belum optimal karena masyarakat harus menunggu cukup lama untuk dapat menyelesaikan pelayanan pertanahan sebagai akibat kurangnya jumlah juru ukur pertanahan. Data tahun 2014 menunjukkan komposisi perbandingan juru ukur pada keseluruhan pegawai Badan

Pertanahan Nasional hanya mencapai 15 persen atau 3.013 orang untuk melayani pelayanan pertanahan di seluruh Indonesia.

4. Ketersediaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Saat ini pembebasan tanah masih berlarut-larut dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Dengan diterbitkannya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,serta perangkat hukum turunannya, permasalahan kepastian dari sisi waktu pengadaan sebenarnya telah teratasi karena peraturan tersebut telah mengatur kerangka waktu pengadaan tanah maksimal. Namun demikian, peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan pengadaan tanah secara umum karena dalam peraturan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing instansi pemerintah yang

membutuhkan tanah. Isu strategis bidang pertanahan

terkait erat dengan agenda Reformasi Sistem dan Penegakan Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya dengan menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah dan melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat. Agenda lain yang terkait dengan bidang pertanahan adalah meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui komitmen untuk

implementasi reforma agraria melalui: a). pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi

hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta Ha; meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 Ha menjadi 2,0 Ha per KK tani, dan pembukaan 1 juta Ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali.

Selain itu, bidang pertanahan juga berkaitan erat dengan berbagai agenda pembangunan lainnya, termasuk di dalamnya agenda: (1) Membangun Tata Kelola Pemerintahan yang Bersih, Efektif, Demokratis, dan Terpercaya melalui pengelolaan pelayanan Teknologi Informasi dan Komputerisasi (TIK) dalam pelayanan pertanahan untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas; (2) Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik melalui perbaikan proporsi penerimaan SDM Juru Ukur Pertanahan untuk perbaikan kualitas pelayanan publik; (3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan.

Sasaran Bidang Berdasarkan isu strategis yang telah dijelaskan sebelumnya,

terdapat 4 (empat) sasaran bidang untuk Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan Tahun 2015 – 2019, sebagai berikut:

Bidang Tata Ruang

1. Tersedianya Peraturan Perundang-undangan Bidang Tata Ruang yang Lengkap, Harmonis, dan Berkualitas. Pengaturan yang lengkap dan harmonis berarti pengaturan menyeluruh dan terpadu pada ruang darat, udara dan laut. Keterpaduan di ruang darat dilakukan di kawasan perkotaan yang cepat tumbuh, kawasan perdesaan yang menyediakan sumberdaya penting,

Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

dan kawasan perbatasan negara. Sementara itu, harmonis dan Tercapainya Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat hingga meliputi berkualitas berarti bahwa peraturan perundangan bidang tata

70 persen dari wilayah wasional; (iii) Tercapainya penetapan ruang serasi dengan peraturan sektor lain.

batas wilayah hutan pada skala 1:5.000 dan terintegrasi

2. Meningkatnya Kapasitas Kelembagaan Bidang Tata Ruang . dengan sistem pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional Peningkatan kapasitas kelembagaan bidang tata ruang berupa

sepanjang 189.056,6 km; (iv) Terlaksananya sosialisasi penyediaan pelaksana kebijakan dan lembaga yang berkualitas

peraturan perundangan tanah adat/ulayat pada 34 provinsi dan di seluruh daerah otonom dan mencakup penyediaan sistem

539 kab/kota.

informasi terpadu yang dapat menjadi acuan bagi pemanfaatan

2. Semakin baiknya proporsi kepemilikan, penguasaan, ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan meningkatnya

3. Meningkatnya Kualitas dan Kuantitas RTR serta Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat . Upaya perbaikan ketimpangan Tertib Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang .

pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah Peningkatan kualitas RTR berupa pemanfaatan data dan

dilakukan melalui reforma agraria, yaitu redistribusi tanah, informasi yang meliputi peta dasar dan peta tematik yang

legalisasi aset, dengan sekaligus dilengkapi dengan bantuan lengkap. Peningkatan kuantitas RTR berupa penyelesaian

pemberdayaan masyarakat kepada masyarakat berpenghasilan seluruh RTR meliputi RTRWN, RTR Pulau, RTR KSN, RTRW

rendah yang membutuhkan terutama petani, nelayan, usaha (provinsi, kabupaten, kota), RZWP-3-K (provinsi, kabupaten, kota)

kecil menengah (UKM), dan masyarakat berpenghasilan dan rencana rinci tata ruang. Terwujudnya tertib pemanfaatan

rendah (MBR). Sasaran semakin baiknya proporsi P4T dan dan pengendalian pemanfaatan ruang berupa meningkatnya

meningkatnya kesejahteraan masyarakat diasumsikan tercapai kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTR yang telah

melalui (i) Inventarisasi Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, ditetapkan.

dan Pemanfaatan Tanah (P4T) sebanyak 5.034.975 bidang; (ii) Identiikasi Sumber Tanah Obyek

4. Landreform (TOL), setidaknya

Meningkatnya Kualitas Pengawasan Penyelenggaraan Penataan meliputi Tanah Terlantar seluas 1.138.500 Ha; (iii) Jumlah Ruang . Peningkatan kualitas pengawasan penataan ruang bidang tanah yang diredistribusi mencapai 3.150.000 bidang. berupa pemanfaatan sistem informasi yang memadai dalam

rangka pemantauan dan evaluasi keberhasilan penyelenggaraan

3. Meningkatnya Kepastian Ketersediaan Tanah bagi Pembangunan penataan ruang yang didukung indikator outcome dan baseline,

untuk Kepentingan Umum . Tujuan lain diterbitkannya UU No. dan sistem evaluasi tingkat pencapaian implementasi RTR.

2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta perangkat hukum turunannya

Bidang Pertanahan adalah untuk mencegah spekulasi tanah dan mengendalikan

1. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah . Dalam upaya harga tanah yang sebenarnya berdampak langsung kepada meningkatkan kepastian hukum, telah teridentiikasi bahwa

kesejahteraan masyarakat secara umum. Namun, untuk permasalahan mendasar adalah sistem pendaftaran tanah

melaksanakan tujuan tersebut Pemerintah belum memiliki yang dianut saat ini adalah sistem publikasi negatif yang

instrumen kelembagaan khusus untuk penyediaan tanah berarti negara tidak menjamin kebenaran informasi yang ada

sebagai lembaga yang mewakili negara yang diamanatkan untuk dalam sertipikat. Sehingga perlu dilakukan upaya untuk mulai

melakukan pembelian bidang-bidang tanah dan menjual kembali membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif, yang

dengan harga tertentu bagi keperluan pembangunan yang berarti negara menjamin kebenaran informasi yang tercantum

sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). dalam sertipikat tanah yang diterbitkan. Upaya membangun

4. Meningkatnya Pelayanan Pertanahan . Upaya meningkatkan sistem pendaftaran tanah publikasi positif perlu dimulai dengan pelayanan pertanahan yang dilakukan Pemerintah belum memperbaiki cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan memberikan hasil yang cukup memuaskan, terutama kepastian bidang tanah bersertipikat hingga masing-masing meliputi 80 waktu pelayanan mengingat proporsi pegawai BPN belum persen wilayah nasional. Namun, memperhatikan kemampuan mencapai komposisi ideal bagi jumlah juru ukur. Dari keadaan penyelenggaraan pembangunan dan sumber daya yang ada saat ini dengan proporsi 15 persen perlu ditingkatkan hingga kemudian ditetapkan target pencapaian yaitu:(i) Tercapainya mencapai 30 persen dari jumlah pegawai BPN secara nasional. Cakupan Peta Dasar Pertanahan hingga meliputi 60 persen

dari wilayah darat nasional bukan hutan (wilayah nasional); (ii)

Arah Kebijakan dan Strategi

Sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

8 buletin tata ruang & pertanahan

Untuk mengatasi isu dan permasalahan, serta menghadapi

penataan ruang.

tantangan yang ada, rancangan arah kebijakan dan strategi bidang Sementara, untuk Bidang Pertanahan tahun 2015-2019, arah tata ruang dan pertanahan tahun 2015 – 2019 adalah sebagai

kebijakan dan strategi untuk memenuhi keenam sasaran bidang, berikut:

sebagai berikut:

1. Membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif dalam dan harmonis dengan strategi: (a) penyusunan peraturan

1. Meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif

rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Kebijakan perundangan amanat UU No. 26 Tahun 2007 berupa peraturan

tersebut dicapai dengan strategi meliputi sebagai berikut: (i) perundangan Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) dalam

Percepatan Cakupan Peta Dasar Pertanahan dan Cakupan rangka mendukung agenda penguatan sistem pertahanan; (b)

Bidang Tanah Bersertipikat; (ii) Publikasi Tata Batas Kawasan penyusunan regulasi turunan UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014

Hutan Pada Skala Pendaftaran Tanah (Kadastral, 1:5.000); dan terkait RZWP-3-K; (c) harmonisasi peraturan perundangan yang

(iii) Sosialisasi peraturan perundangan penetapan tanah adat/ berkaitan dengan bidang tata ruang termasuk di dalamnya

ulayat

peraturan insentif untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

2. Reforma agraria melalui redistribusi tanah, pemberian tanah (LP2B) dalam rangka mendukung agenda kedaulatan pangan; dan bantuan pemberdayaan masyarakat. Redistribusi tanah (d) penginternalisasian kebijakan sektoral dalam NSPK Bidang dilakukan dengan memberikan hak atas tanah kepada Tata Ruang; dan (e) pengintegrasian RTR dengan rencana masyarakat yang tidak memiliki tanah. Kebijakan redistribusi pembangunan. tanah tersebut perlu disempurnakan dan dilengkapi dengan

2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, pemberdayaan masyarakat ( access reform) melalui upaya dengan strategi: (a) optimasi kinerja lembaga penyelenggara

mengoordinasikan dan menghubungkan kepada sumber-sumber tata ruang (instansi, SDM Bidang Tata Ruang, dan koordinasi

ekonomi produktif sehingga dapat lebih berkontribusi secara kelembagaan); (b) pembentukan perangkat PPNS yang handal

nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan dalam rangka mendukung agenda Menjalankan Reformasi

keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kebijakan Birokrasi, salah satunya melalui penyusunan pedoman

tersebut dicapai dengan strategi sebagai berikut: (i) Inventarisasi perlindungan PPNS Bidang Tata Ruang; (c) peningkatan

Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam rangka

(P4T), (ii) Penetapan tanah terlantar; (iii) Identiikasi bidang tanah mendukung agenda Membuka Partisipasi Publik; dan (d)

yang diredistribusi; dan (iv) Identiikasi kegiatan pemberdayaan penyusunan sistem informasi penataan ruang (termasuk sistem

masyarakat

informasi untuk sosialisasi, perizinan, serta pemantauan dan

3. Pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan evaluasi) dalam rangka mendukung agenda Membangun umum. Negara memiliki kewenangan untuk melakukan Transparansi dan Tata Kelola Pemerintahan. pencadangan tanah yang akan digunakan sebesar-besarnya

3. Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang, dengan untuk kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya pencadangan strategi: (a) peningkatan kualitas produk dan penyelesaian serta

tanah oleh negara tidak terikat waktu untuk melakukan peninjauan kembali RTR, baik RTRWN, peraturan perundangan

pemanfaatan pada bidang-bidang tanah yang dikuasai. ruang laut di atas 12 mil dalam bentuk RTR Laut Nasional

Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi penyiapan regulasi (dalam rangka mendukung Agenda Memperkuat Jati Diri sebagai

pembentukan lembaga bank tanah.

Negara Maritim), RTR Pulau/Kepulauan, RTR KSN (termasuk

4. Pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan. penetapan revisi Perpres RTR KSN Jabodetabekjur) dan

Pelayanan pertanahan memerlukan kompetensi sumber RTRW yang telah mengintegrasikan LP2B dan prinsip-prinsip

daya manusia yang ideal baik kuantitas maupun kualitas RZWP-3-K; (b) penyusunan peraturan zonasi yang lengkap dengan komposisi yang ideal terutama ketersediaan juru ukur untuk menjamin implementasi RTR; (c) percepatan penyediaan sebagai ujung tombak di lapangan. Dengan memperhatikan data pendukung pelaksanaan penataan ruang yang mutakhir kemampuan keuangan negara yang terbatas dan kebijakan termasuk penggunaan Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN)

organisasi birokrasi yang efektif dan eisien perlu disusun dan penyediaan foto udara resolusi tinggi sebagai dasar peta

kebijakan penerimaan PNS baru. Kebijakan tersebut dicapai skala 1:5000 untuk RDTR; dan (d) peningkatan efektifvtas dengan strategi perbaikan proporsi penerimaan SDM juru ukur pengendalian pemanfaatan ruang; dalam rangka mendukung pertanahan melalui penerimaan PNS BPN yang terencana. agenda Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama Desa,

Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Perbatasan.

4. Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang, melalui pemantauan dan evaluasi yang terukur.

Dalam hal pendanaan, selain APBN dan APBD, perlu disediakan alternatif pendanaan lain. Mengingat bahwa banyak pihak dimudahkan dari ketersediaan RTR, khususnya swasta/investor, maka opsi pendanaan melalui dana perusahaan ( Corporate Social Responsibility – CSR) layak dipertimbangkan. Hal ini khususnya dalam penyusunan perangkat kelembagaan yang tidak terkait langsung dengan peraturan perundangan, misalnya sistem informasi. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, prioritas penguatan kerangka kelembagaan 2015-2019 pada bidang tata ruang adalah penguatan lembaga koordinasi lintas sektor perumus kebijakan dan pengguna ruang di tingkat nasional dan daerah yang mempunyai

fungsi untuk menentukan arah kebijakan penyelenggaraan Sumber: http://www.jasamengurustanah.com

buletin tata ruang & pertanahan 9

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan – Bappenas Bersama BPN Menyusun Buku Proil Pertanahan

Koordinasi