Identitas Etnik dan Pemilihan Pasangan Pada Batak Toba Kelahiran Jakarta

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemilihan Pasangan

1. Defenisi Pemilihan Pasangan

Teori pemilihan pasangan merupakan usaha yang digunakan untuk menjelaskan proses dan dinamika yang dialami oleh seseorang ketika memilih pasangan (DeGenova, 2008). Dalam buku Intimate Relationship (DeGenova, 2008) menjelaskan lebih jauh mengenai beberapa teori dapat dihubungkan dengan pemilihan pasangan. Pertama, teori Psikodinamika berpandangan bahwa pemilihan pasangan dipengaruhi oleh pengalaman seseorang di masa kecil dan latar belakang dari keluarganya.

Kedua, teori Kebutuhan menurut Robert Winch (1958) dalam DeGenova menyatakan bahwa seseorang memilih pasangan yang berbeda kebutuhannya namun dapat saling melengkapi satu sama lain. Ketiga, Teori Pertukaran melihat bagaimana kedua pasangan memandang bahwa pasangannya dapat memberikan apa yang dia butuhkan, begitu juga dengan dirinya diharapkan dapat memberikan apa yang pasangannya butuhkan. Teori terakhir adalah teori Perkembangan, dimana pemilihan pasangan merupakan sebuah proses untuk menyaring dan memisahkan yang tidak cocok bagi dirinya hingga akhirnya mendapatkan orang yang tepat.

Kenrick (1994), menjelaskan bahwa perilaku memilih pasangan ini biasanya didasarkan pada prinsip dasar teori evolusi Darwin yang menyatakan


(2)

bahwa semua makhluk hidup berjuang untuk mempertahankan eksistensinya oleh sebab itu perilaku pemilihan pasangan ini bertujuan untuk melanjutkan eksistensi dan kemakmuran dari manusia.

Lykken dan Tellegen (1993) dalam penelitiannya mendefenisikan pemilihan pasangan sebagai berikut:

choosing whom we hope will be our life’s companion, the person

who will contribute half the parenting and half the genome for our children-our windows of opportunity on genetic immortality.”

Selanjutnya menurut David M. Buss seorang pengajar di Universitas Texas dalam penelitiannya yang berjudul Human Mate Selection (1985), menjelaskan bahwa pemilihan pasangan merupakan kecenderungan seorang individu untuk memilih seseorang untuk dinikahi yang memiliki kemiripan dengan dirinya hampir di setiap variabel. Dalam menetapkan pilihan terhadap siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya, seseorang tentu memiliki beberapa kriteria yang dijadikan pertimbangan, seperti yang diungkapkan DeGenova (2008) seperti status sosial ekonomi, pendidikan, intelegensi, ras dan agama.

Townsend (1993) mengemukakan bahwa pemilihan pasangan merupakan kriteria yang umumnya dipertimbangkan, diinginkan dan diprioritaskan individu menjadi pasangannya. Dari cukup banyaknya kriteria yang dimiliki oleh individu, terdapat kriteria khusus yang dijadikan acuan bagi individu dalam memilih pasangan hidupnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilihan pasangan adalah proses menyaring/memilih seseorang berdasarkan kriteria tertentu yang telah dipertimbangkan, yang nantinya akan menjadi pendamping hidup yang dapat


(3)

berkontribusi untuk saling melengkapi dan untuk melanjutkan eksistensi kelompoknya.

2. Dimensi Pemilihan Pasangan

Townsend (1993) membagi dimensi pemilihan pasangan menjadi tiga, yaitu physical attractiveness, status attractiveness, dan willingness to support. Berikut adalah penjelasan tentang ketiga dimensi tersebut:

a. Physical attractiveness (daya tarik fisik), yaitu ketertarikan individu terhadap penampilan fisik seseorang yang dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan.

b. Status attractiveness, didasarkan pada keinginan seseorang untuk memiliki pasangan yang memahami dan dapat menempatkan posisi dalam konteks budaya yang berlaku serta memiliki kemampuan finansial.

c. Willingness to support, yaitu kesediaan individu itu sendiri atau pasangannya untuk dapat menerima pasangannya maupun keluarga besar pasangannya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pasangan

Dalam DeGenova (2008), secara umum terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan pasangan seseorang, yaitu:

1. Latar Belakang Keluarga

Latar belakang keluarga kerap dijadikan alasan individu untuk menilai calon pasangannya. Dalam mempelajari latar belakang keluarga dari calon pasangan, ada empat hal yang akan diperhatikan, yaitu:


(4)

a. Status Sosioekonomi

Status sosioekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas suatu pernikahan. Pada umumnya kepuasaan pernikahan akan meningkat bila dua orang yang menikah mempunyai status sosioekonomi yang sama.

b. Pendidikan dan inteligensi

Terdapat kecenderungan pada individu untuk memilih pasangan yang mempunyai perhatian mengenai pendidikan. Pernikahan dengan latar belakang pendidikan yang sama pada kedua pasangan akan lebih stabil dan cocok. c. Ras atau Suku

Pernikahan antar ras atau antar suku dalam beberapa masyarakat masih menjadi suatu permasalahan. Ada permasalahan yang akan dihadapi ketika seorang individu memilih pasangan yang berbeda ras atau suku dengannya. Permasalahan yang terjadi bukan berasal dari kedua pasangan tersebut, tetapi berasal dari keluarga, teman ataupun masyarakat di sekitar.

d. Agama

Keyakinan atau agama dapat menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam memilih pasangan. Terdapat tekanan dari keluarga atau agama untuk menikah dengan individu yang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pernikahan yang mempunyai latar belakang keyakinan atau agama yang sama akan lebih stabil.


(5)

2. Karakteristik Personal

Ketika seseorang memilih pasangan yang akan mendampingi hari-hari mereka kedepannya, faktor kecocokan merupakan sesuatu hal yang penting untuk diperhatikan. Ada empat faktor karakteristik personal yang dapat mendukung kecocokan dari pemilihan pasangan, yaitu :

a. Sikap dan Tingkah Laku Individu

Pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap individu akan berfokus pada fisik, kepribadian, dan faktor kesehatan mental. Keadaan fisik yang tidak sesuai dengan harapan pasangannya akan memberikan tekanan pada hubungan dan membuat kepuasan dan kestabilan hubungan akan berkurang.

b. Usia

Perbedaan usia merupakan salah satu faktor yang dipertimbangan dalam memilih pasangan. Pada umumnya rata–rata perbedaan usia antar pasangan adalah dua tahun. Memilih pasangan yang usianya lebih tua atau lebih muda dari dirinya juga akan mempengaruhi kualitas pernikahan.

c. Kesamaan Sikap dan Nilai

Kecocokan dalam suatu hubungan pernikahan akan semakin meningkat bila setiap pasangan dapat membangun kesamaan sikap dan nilai di dalam suatu hubungan dan menghargai hal-hal yang penting bagi mereka. Kecocokan dapat dilihat dalam hal tingkat kesepakatan atau ketidaksepakatan tentang isu-isu pekerjaan, tempat tinggal, masalah keuangan, hubungan dengan mertua atau teman, kehidupan sosial, agama dan filsafat hidup, jenis kelamin, tata krama, kebiasaan hidup, anak dan peran gender.


(6)

d. Peran Gender dan Kebiasaan Pribadi

Secara umum, pasangan yang dapat membagi harapan yang sama mengenai peran di dalam pernikahan. Kecocokan dalam suatu pernikahan dapat diukur dari persamaan harapan dari peran pria dan wanita. Kebiasaan pribadi juga dapat menjadi hambatan dalam keharmonisan pernikahan. Masalah dapat diatasi, jika kedua pasangan memberi toleransi, saling peduli, fleksibel dan rela mengubah diri mereka menjadi lebih baik.

B. Identitas Etnik

1. Defenisi Identitas Etnik

Tajfel (1981) menyatakan bahwa identias etnik merupakan bagian dari self concept individu yang berasal dari pengetahuan atau informasi yang dia miliki mengenai kelompoknya dan di dalamnya terkandung nilai dan keterikatan emosional terhadap kelompok tersebut. Kemudian, identitas etnik ini mulai berkembang sejak adanya pengalaman etnobudaya seseorang dan punya dampak penting bagi dewasa untuk melihat dirinya sendiri (Roberts et al, 1996). Berdasarkan Leiblum, Weigel dan Brickle (2003), identitas etnik merupakan sebuah proses yang terus mengalir di sepanjang waktu dan dalam seluruh konteks (Purkayastha, 2005).

Constant dan Zimmerman (2007) mengemukakan bahwa identitas etnik merupakan bagaimana individu mempersepsikan diri mereka ke dalam lingkungannya sebagaimana mereka mengkategorisasikan dan membandingkan diri mereka terhadap orang lain yang memiliki etnik yang sama ataupun berbeda.


(7)

Menurut Phinney (2003), identitas etnik merupakan bagian utama bagi orang dewasa untuk mencari keunikan dan menelusuri grup etniknya dan kategori apa saja yang mereka miliki. Phinney juga menambahkan bahwa identitas etnik dipandang sebagai sesuatu yang dicapai melalui proses aktif pengambilan keputusan dan evaluasi diri berdasarkan kognitif, kematangan sosial dan konteks sosial.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa identitas etnik adalah sebuah proses sepanjang kehidupan dimana seseorang akan mencari tahu/menelusuri informasi mengenai kelompok etniknya, sehingga menghasilkan keterikatan emosional dengan kelompok etniknya.

2. Aspek Identitas Etnik

Terdapat tiga aspek identitas etnik yang dikemukakan oleh Phinney (1992) dan digunakan untuk mengukur identitas etnik, antara lain:

a. Commitment (sense of belonging), merupakan aspek penting dari identitas etnik yang mengacu pada kuatnya kelekatan, kebanggaan dan perasaan senang yang dimiliki seseorang mengenai identitas etniknya.

b. Exploration, merupakan usaha untuk mencari informasi, pemahaman, pengalaman yang sesuai etniknya, yang biasanya timbul karena adanya perasaan aman dan percaya diri terhadap etniknya.

c. Ethnic behavior, merupakan aksi yang dapat mengungkapkan identitas dan perilaku etnik yang dapat eksis walaupun tidak melalui perilaku yang nampak.


(8)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Identitas Etnik

Terdapat beberapa faktor yang turut mempengaruhi identitas etnik, seperti yang diungkapkan oleh Phinney, 2003; Pahl & Way, 2006; dan Kiang & Fuligni, 2009; antara lain:

a. Bahasa

Bahasa merupakan ciri khas dari suatu etnik yang dapat dihubungkan dengan identitas etnik. Bahasa etnik yang ada, dapat mempermudah bahkan menjadi kebanggan tersendiri bagi anggota kelompok etnik tersebut. Bahasa dapat menyediakan dasar yang baik bagi perkembangan identitas etnik seseorang (Debernardi, dalam Chriost, 2003).

b. Teman sebaya

Identitas etnik mulai berkembang sejak usia remaja, untuk itu peran dari teman sebaya terhadap perkembangan identitas etnik juga memiliki peran penting. Di usia remaja, mereka akan lebih nyaman berada bersama teman sebayanya. Adanya hubungan pertemanan dari etnik yang sama secara langsung dapat membantu tahap exploration pada seorang individu, sehingga mereka dapat bersama-sama untuk mencari tahu mengenai etniknya tersebut.

c. Tempat tinggal

Tempat tinggal merupakan lingkungan sosial terdekat yang juga dapat mempengaruhi identitas etnik seseorang. Bagi individu yang tinggal di lingkungan yang memiliki etnik yang sama, dapat membantu individu tersebut untuk lebih memahami etniknya sendiri. Berbeda halnya dengan individu yang berada dalam lingkungan tempat tinggal yang majemuk atau dengan kata lain tidak hanya


(9)

anggota etniknya saja yang ada namun anggota etnik lainnya juga ada. Hal ini tentu akan cukup berpengaruh terhadap identitas etniknya.

d. Kelompok sosial

Berpartisipasi dalam kelompok sosial yang dimiliki oleh kelompok etniknya juga dapat berperan dalam perkembangan identitas etnik. Individu yang bergabung dengan kelompok sosial lainnya juga dapat memberikan pengaruh terhadap identitas etnik seseorang. Namun demikian, konsep relasional self-worth menunjukkan bahwa individu akan mengevaluasi diri berdasarkan hubungan tertentu di mana mereka berinteraksi.

e. Family cohesion

Bagi seseorang yang memiliki hubungan yang dekat dengan dua atau salah satu orang tuanya akan memotivasi untuk belajar dan berperilaku sesuai dengan latar belakang etnik yang orang tua miliki.

f. Etnisitas

Seorang anggota kelompok etnik yang berkeinginan mencari tahu mengenai etniknya, mereka biasanya harus terlebih dahulu memiliki motivasi untuk melakukan hal tersebut. Etnisitas dianggap memiliki peran sentral dalam kehidupan ini, sehingga individu mungkin akan lebih termotivasi untuk menggali lebih banyak dan mempelajari mengenai etniknya.


(10)

C. Suku Batak Toba 1. Defenisi Batak

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan Batak ke dalam dua arti, pertama adalah petualang atau pengembara dan arti yang kedua adalah suku bangsa yang berada di daerah Sumatera Utara.

2. Asal Usul Suku Batak Toba

Hingga saat ini cukup banyak peneliti maupun penulis yang mencoba menguak mengenai asal usul suku Batak. Namun beberapa versi tersebut cukup sulit dibuktikan karena sangat sedikit bukti yang dapat menguatkan pendapat para peneliti tersebut. Menurut penelusuran Ypes (1932, Simanjuntak, 2006:11), menyebutkan bahwa Batak berasal dari dua tempat asal, yaitu tempat pertama dari Asia Utara yang berlayar menuju Kepulauan Formosa di Taiwan dan kemudian menuju ke daerah Sulawesi bagian selatan yang kemudian berkembang menjadi suku Toraja, suku Bugis dan suku Makassar. Kemudian mereka bergerak menuju Lampung, Sumatera Selatan dan akhirnya tiba di Barus dan menuju Bukit Barisan di kawasan Danau Toba. Pendapat kedua menyebutkan bahwa Batak berasal dari India yang melakukan penyebaran ke Asia Tenggara dan tiba di daerah Muang Thai (Thailand) dan Myanmar (dulu Burma), kemudian bergerak menuju tanah Genting Kera di sebelah utara Malaysia, yang kemudian berlayar melalui semenanjung Malaka menuju pantai timur Sumatera tepatnya di pantai Batubara. Kemudian mereka menyusuri sungai Asahan menuju kawasan Danau Toba.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Paul P. Pederson, yang menyatakan persebaran Batak berawal dari Indo China yang melakukan perpindahan secara


(11)

besar-besaran pada jaman bangsa Melayu Tua (Simanjuntak 2002: 75). Seiring dengan aktivitas penyebaran yang dilakukan oleh suku Batak pada jaman itu, semakin menyulitkan para peneliti sejarah untuk mengungkapkan kebenaran asal-usul Batak secara pasti.

3. Konsep Budaya Masyarakat Batak Toba

Dalam menjalani kehidupan sosialnya, masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari kebudayaan yang dimiliki budayanya. Dari sudut disiplin ilmu sosiologi dan antropologi, konsep kebudayaan masyarakat telah menjadi pembahasan yang cukup luas hingga saat ini. Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan ungkapan dari ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar dan mengajar (Koentjaraningrat, 2000:215).

Masyarakat yang tetap mempertahankan budayanya, juga dihadapkan pada berbagai faktor yang turut mempengaruhi cara hidup masyarakat. Faktor yang mempengaruhi antara lain adalah faktor lingkungan dan teknologi. Lingkungan yang mendukung budaya agar tetap bertahan tentu sangat menguntungkan bagi budaya tersebut, namun ditengah semakin banyaknya budaya yang masuk tentu dapat mempengaruhi bagaimana suatu budaya itu dapat bertahan atau tidak. Sementara di tengah perkembangan teknologi yang sangat pesat, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat budaya agar kebudayaan yang mereka miliki tidak tergerus kemajuan teknologi tersebut. Selain faktor lingkungan dan teknologi, faktor lainnya yang dapat berpengaruh adalah organisasi sosial dan politik. Organisasi sosial yang dibentuk atas tujuan yang sama yaitu untuk


(12)

mempertahankan budayanya diharapkan dapat melestarikan budaya tersebut. Dalam hal politik, kebijakan yang diambil oleh stake holder sangat berperan dalam menjaga kelestarian budaya. Para ahli percaya bahwa ideologi sebuah masyarakat terhadap prinsip-prinsip itu biasanya untuk mempertahankan keberlangsungan komunitasnya (Haviland, 1998).

Batak Toba sebagai kelompok etnik Batak terbesar, tentunya memiliki ciri-ciri kebudayaan yang cukup berbeda dengan etnik Batak lainnya. Hal ini dapat dilihat dari bahasa daerah yang berbeda, pakaian adat yang juga memiliki perbedaan, dan marga yang ada pada tiap etnik Batak juga berbeda-beda. Adat bagi budaya Batak Toba dalam pelaksanaannya sehari-hari merupakan wujud dari sistem nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi. Adat merupakan istilah yang sering digunakan di Indonesia, adat merujuk pada segala hal di alam yang mengikuti caranya sendiri yang khas. Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner, 1994). Pola kehidupan yang tampak dalam pergaulan sehari-hari, upacara pernikahan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat.

Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat itu sendiri bagi masyarakat Batak Toba merupakan sebuah kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Realita di lapangan dalam melaksanakan adat Batak Toba, terdapat empat kategori adat yang telah dilakukan. Pertama, komunitas masyarakat Batak


(13)

Toba mempunyai tipologi adat masing-masing tergantung dengan tempat tinggalnya. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Bona Pasogit tentu lebih intens dan merekat budaya tersebut, sementara yang berada jauh dari Bona Pasogit relatif lebih individualistis menyikapi adat Batak Toba. Kedua, adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar masyarakat Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Ketiga, pola hubungan antar manusia dalam komunitas Batak Toba mengalami perubahan secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya disesuaikan dengan keadaan pada saat itu. Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat juga mengalami perubahan, hal ini tampak ketika praktek adat tersebut dilakukan oleh masyarakat Batak Toba.

Dengan sifat mengikat yang dimiliki oleh adat Batak Toba ini, membuat siapa saja yang memiliki hubungan darah dengan suku Batak Toba diharapkan untuk melakukan adat tersebut. Sehingga bagi orang Batak Toba yang melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan adat akan disebut sebagai jolma na so maradat (orang yang tidak punya adat). Ketika seseorang melakukan hal demikian maka aka nada sanksi sosial bagi orang yang telah melanggar adat. Misalnya ketika terjadi pernikahan semarga, masyarakat setempat akan memberikan sanksi sosial berupa pengucilan bahkan pengusiran yang bersangkutan dari tempat tersebut karena telah melanggar adat yang berlaku.

4. Sistem Kekerabatan Batak Toba

Sistem kekerabatan dalam budaya Batak Toba memiliki peranan penting dalam menjalin hubungan baik antara individu dengan individu lain atau antara


(14)

individu dengan masyarakat sekitarnya. Sistem kekerabatan Batak Toba secara tradisional diatur dalam sistem sosial kemasyarakatan yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Istilah Dalihan Na Tolu dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga. Dalihan Na Tolu merupakan sebuah sistem sosial yang berlandaskan pada tiga pilar, yaitu hula-hula (pihak keluarga istri), dongan tubu (saudara semarga),dan boru (keluarga perempuan dari pihak suami). Berkaitan dengan Dalihan Na Tolu, terdapat suatu perumpamaan yang menggambarkan strata dari masing-masing pilar tersebut, yang berbunyi “somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru”. Apabila diartikan secara harafiah yaitu “sembah terhadap hula-hula, bijaklah dengan sesama dongan tubu, berikan kasih sayang kepada pihak boru”.

Hula-hula dianggap memiliki status yang paling tinggi dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Kedudukan hula-hula ini dapat dilihat dari adanya penghormatan yang diberikan oleh dongan tubu dan anak boru dalam kehidupan sehari-hari. Penghormatan terhadap hula-hula ini dikarenakan mereka dianggap sebagai tempat meminta berkat yang disebut pasu-pasu, sehingga hula-hula ini dianalogikan juga sebagai perwujudan debata na tarida yang artinya “tuhan yang kelihatan”. Tidak jarang dalam kegiatan tertentu pihak boru pergi berkunjung ke hula-hula dengan tujuan meminta persetujuan maupun dukungan dari pihak hula-hula, dengan demikian pihak boru berharap diberikan pasu-pasu dalam kegiatannya.

Dongan tubu atau dongan sabutuha adalah hubungan berdasarkan garis keturunan dari marga pihak laki-laki. Pada suatu pelaksanaan adat, siapa saja yang


(15)

termasuk ke dalam dongan tubu bisa lebih luas lagi, karena siapa saja yang memiliki marga sama bisa dianggap sebagai dongan tubu. Fungsi dongan tubu di dalam pelaksanaan suatu adat adalah sama dengan suhut (yang mengadakan acara adat). Dalam merencanakan suatu kegiatan adat, dongan tubu harus terlibat dalam musyawarah sebelum kegiatan tersebut berlangsung. Kelompok dongan tubu ini merupakan kelompok yang rentan terhadap perpecahan, untuk itu budaya Batak Toba mengenal konsep manat mardongan tubu, yang artinya menjaga persaudaraan dengan keluarga semarga.

Boru merupakan pilar pelaksana setiap kegiatan adat dalam hubungan formal dan nonformal. Boru memang menempati posisi yang lebih rendah dibandingkan hula-hula, namun kelompok ini haruslah tetap dikasihi dan diayomi seperti tercermin dari filsafat elek marboru. Pada upacara adat pihak boru bertindak sebagai parhobas yaitu orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya upacara adat. Pada saat sedang ada musyawarah dengan dongan tubu, pendapat dan pertimbangan dari boru juga diminta, terutama mengenai kesanggupannya atas rencana yang akan dilaksanakan.

Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan konsep kasta dalam agama Hindu. Pada konsep kasta, posisi masing-masing kasta tidak dapat berubah-ubah sementara dalam Dalihan Na Tolu sendiri dimana posisi seseorang sangat tergantung pada kegiatan budaya yang berlangsung. Semua anggota masyarakat Batak Toba pasti akan pernah bergantian peran baik sebagai hula-hula, dongan tubu maupun boru. Hal ini akan tampak ketika orang Batak Toba telah membina


(16)

hubungan rumah tangga, dimana ketika marga dari pihak suami yang mengadakan pesta adat maka keluarga tersebut berperan sebagai dongan tubu. Ketika keluarga dari istri yang sedang mengadakan pesta adat maka keluarga tersebut berperan sebagai boru, bagi pihak boru tersebut keluarga yang mengadakan pesta adat tersebut adalah hula-hula.

Semua orang Batak Toba diharapkan untuk menunjukkan perilaku sebagai “raja” berdasarkan sistem kekerabatan Batak Toba. Artinya bagi orang Batak Toba haruslah menunjukkan perilaku yang baik dan sesuai dengan tata karma dalam sistem kekerabatan Batak, bukan sebagai raja yang berkuasa atas orang lain. Oleh sebab itu dalam kegiatan adat Batak Toba, kita akan sering mendengar istilah Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu, dan Raja ni Boru. Penyebutan yang demikian juga bertujuan untuk menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na Tolu.

5. Pernikahan dalam Batak Toba

Pernikahan dalam masyarakat Batak Toba merupakan sebuah kegiatan yang tidak hanya mengikat mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, tetapi juga turut mengikat pihak keluarga laki-laki (paranak) dan pihak perempuan (parboru). Melalui pernikahan ini, maka akan terbentuk sistem kekerabatan dalihan na tolu yang baru antar keluarga yang menikahkan anaknya.

Dalam pernikahan adat Batak Toba terdapat dua macam upacara, yaitu alap jual (jemput kemudian di jual) dan taruhon jual (antar kemudian di jual). Pada dasarnya kedua upacara ini memiliki kesamaan, perbedaannya terletak pada siapa tuan rumah diadakannya upacara adat pernikahan ini. Alap jual merupakan


(17)

pernikahan yang dilaksanakan di kediaman pihak boru, dimana sinamot atau mas kain hanya dibayarkan oleh pihak laki-laki lebih besar jumlahnya untuk upacara sejenis. Taruhon jual adalah upacara pernikahan yang dilaksanakan di kediaman pihak anak, dimana sinamotnya lebih sedikit dibandingkan alap jual. Penentuan jenis upacara apa yang digunakan pada saat adat pernikahan ini berdasarkan kesepakatan bersama saat kedua belah pihak bertemu.

Dalam Batak Toba terdapat tata cara pernikahan secara normal (melangsungkan pernikahan atas dasar suka sama suka atau tidak kawin lari) berdasarkan ketentuan yang berlaku sejak dahulu kala. Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mangaririt

Mangaririt adalah upaya yang dilakukan oleh seorang pemuda (doli-doli) untuk mendapatkan gadis (mangalap boru) sebagai calon istrinya sesuai pilihan hatinya. Mangaririt ini dilakukan dengan pergi berkunjung (martandang) ke kampung lain atau mangaririt tu luat na dao (mencari jodoh ke tempat yang jauh). Di jaman dahulu apabila seorang doli-doli belum menemukan tambatan hatinya, maka keluarganya akan mencari perempuan yang cocok dengannya dan sesuai dengan kriteria laki-laki dan keluarga.

2. Mangalehon Tanda

Proses ini persis dilakukan setelah mangaririt. Ketika si calon mempelai laki-laki telah menemukan calon istrinya, maka kemudian kedua belah pihak keluarga akan saling memberikan tanda. Adapun tanda yang diberikan tersebut dapat berupa sejumlah uang yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada


(18)

calon mempelai perempuan, dan dibalas oleh calon mempelai perempuan dengan memberikan kain sarung kepada calon mempelai laki-laki.

3. Marhusip

Marhusip dalam Bahasa Indonesia memiliki arti berbisik. Namun dalam pelaksanaannya marhusip merujuk pada perundingan atau pembicaraan antara utusan keluarga calon mempelai laki-laki dengan wakil dari pihak calon mempelai perempuan yang dilakukan secara tertutup. Adapun yang menjadi pembahasan dalam kegiatan tersebut adalah mengenai jumlah sinamot (mahar) yang harus disediakan pihak laki-laki untuk diserahkan kepada pihak perempuan. Adapun yang menjadi hasil kesepakatan mengenai besar sinamot hanya boleh diketahui oleh kedua belah pihak keluarga saja. Dalam marhusip juga akan dibicarakan mengenai tahap berikutnya yaitu martumpol.

4. Marhata Sinamot

Acara ini merupakan acara perkenalan dan silaturahmi antara kedua keluarga. Hal yang dibicarakan adalah mengenai jumlah sinamot dari pihak laki-laki yang biasanya melalui proses tawar menawar dan berapa banyak ulos yang akan diserahkan.

5. Martumpol

Bagi masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen, tahapan martumpol dianggap wajib untuk diselenggarakan. Martumpol adalah penandatanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua mempelai atas rencana pernikahan anak mereka dihadapan penatua gereja. Adapun tata cara partumpolan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di gereja tersebut.


(19)

6. Martonggo raja atau marria raja

Martonggo raja merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum diadakannya acara pernikahan yang diselenggarakan oleh penyelenggara pesta bertujuan untuk mempersiapkan teknis maupun non teknis acara, memberitahukan pada masyarakat mengenai akan diadakan acara pernikahan dan memohon ijin pada masyarakat terutama dongan sahuta.

7. Manjalo pasu-pasu parbagason

Pengesahan pernikahan kedua mempelai dilakukan menurut tata cara perkainan gereja. Setelah pemberkatan pernikahan ini selesai maka kedua mempelai telah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah pemberkatan pernikahan ini selesai dilaksanakan makan akan memasuki pesta adat/pesta unjuk yang disebut Pesta Mangalap Parumaen.

8. Pesta Unjuk

Pesta adat ini merupakan suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri mereka. Marunjuk pada adat Batak Toba terdiri atas taruhon jual dan alap jual yang telah dibahas sebelumnya.

9. Paulak Une

Acara ini biasanya dilakukan beberapa hari setelah diadakannya pesta adat perkawinan yang bertujuan agar meringankan langkah agar kedua belah pihak dapat saling mengunjungi di kemudian hari. Pada paulak une ini, pihak paranak pergi berkunjung ke kediaman parboru. Pada kesempatan ini juga pihak parboru ingin mengetahui apakah anak perempuannya betah atau tidak tinggal di rumah barunya.


(20)

10. Maningkir Tangga

Kegiatan ini ditandai dengan kunjungan yang dilakukan oleh pihak parboru untuk melihat langsung keadaan putri mereka dan menantunya baik itu di rumah orang tua pengantin laki-laki ataupun di rumah baru pengantin. Kunjungan ini juga bertujuan untuk memberikan nasihat (poda) dalam membina ruma tangga. Dalam kunjungan ini pihak parboru membaa makanan seperti nasi dan lauk pauk, dengke sitio-tio dan dengke simundur-mundur. Setelah kegiatan maningkir tangga ini selesai, maka selesailah tahapan pernikahan yang berlaku di adat Batak Toba.

D. Suku Batak Toba di Jakarta

Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia. Berdasarkan sumber Wikipedia, Jakarta pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia atau Jaccatra (1619-1942), Jakarta Tokubetsu Shi (1942-1945) dan Djakarta (1945-1972). Perubahan nama ini berkaitan dengan wilayah Jakarta yang sering berpindah tangan kekuasaan sejak Belanda hingga Indonesia telah merdeka. Jakarta hanya memiliki luas sekitar 661,52 km2, dengan jumlah penduduk menurut data BPS pada tahun 2011 mencapai 10.187.595 jiwa.

Jakarta merupakan daerah yang didiami oleh banyak suku bangsa dari seluruh tanah air. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2000, suku Jawa memang masih mendominasi dengan presentasi 35,16% dari jumlah penduduk, sementara suku Betawi sebagai suku asli berada di posisi kedua dengan jumlah 27,65%. Suku Batak tidak ketinggalan untuk turut memadati Jakarta, tercatat Suku Batak mencapai 3.61% dari total jumlah penduduk (sumber: wikipedia). Masih berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk Jakarta bersuku Batak


(21)

mengalami peningkatan sejak tahun 1930. Pada tahun 1930, Suku Batak tercatat hanya 0,23 dari jumlah penduduk pada saat itu, mengalami peningkatan pada tahun 1961 dengan mencapai 1% dan terakhir mencapai 3,61% jumlah penduduk Jakarta.

Awal mula Suku Batak berada di Jakarta, diyakini banyak pihak terkait dengan tindakan pihak kolonial belanda yang mempekerjakan Batak Toba dan membawanya ke Batavia. Kedatangan Suku Batak ke Batavia tidak berhenti sampai disitu, semakin banyak orang Batak yang ingin memperoleh penghidupan yang lebih layak dan juga menuntut pendidikan di sekolah ternama di Batavia dulunya. Semakin kesini, alasan Suku Batak merantau memang tidak jauh berbeda sejak dulu kala, namun tantangan yang dihadapi malah semakin bertambah.

Batak Toba memiliki tujuan utama merantau yaitu untuk memperoleh hasangapon, hagabeon, dan hamoraon. Ketiga falsafah orang Batak Toba ini akan selalu dipegang oleh mereka yang berkeinginan untuk merantau atau bahkan yang telah hidup lama di perantauan. Ketika berada di perantauan, biasanya mereka membentuk sebuah kelompok atau perkumpulan untuk dapat tetap saling berkomunikasi sesama perantau. Biasanya kelompok atau perkumpulan tersebut dibentuk berdasarkan kesamaan marga, asal daerah perantauan atau bahkan kesamaan hobi ataupun nasib di perantauan.

Sebuah artikel yang terdapat dalam situs megapolitan.kompas.com memberikan gambaran bahwa Suku Batak Toba yang berada di Jakarta biasanya sering terlibat dalam perkumpulan. Hal ini juga yang membuat lapo atau kedai Batak cukup menjamur di Jakarta. Aneka menu khas Batak biasanya terpampang


(22)

jelas di papan nama lapo tersebut, dimana tersedia mulai dari panggang, saksang, ikan mas arsik hingga sambal teri. Biasanya lapo ini akan sangat dipadati oleh orang Batak ketika memasuki jam makan siang atau pada hari minggu setelah beribadah. Kesempatan untuk berkumpul dan bercengkrama dengan sesama perantau atau orang Batak yang telah lama tinggal di Jakarta sangat dimanfaatkan untuk menciptakan persaudaraan.

Selain berkumpul di tempat makan yang menyediakan aneka makanan khas Batak, melalui kelompok atau perkumpulan juga sering mengadakan kegiatan partangiangan atau acara doa bersama bagi umat Kristen. Kegiatan doa bersama ini juga bisa menjadi kesempatan bagi orang tua untuk mengenalkan anaknya pada kerabatnya di Jakarta. Kehidupan di Jakarta pada saat ini yang memang lebih banyak dihabiskan dalam pekerjaan dan kemacetan di jalan, membuat kegiatan perkumpulan seperti ini hanya dilaksanakan paling cepat satu kali dalam sebulan.

E. Hubungan Identitas Etnik Dengan Pemilihan Pasangan Batak Toba

Pemilihan pasangan hidup merupakan hal yang penting untuk diangkat, dimana ketika seseorang membuat keputusan memilih pasangan hidup yang tepat dapat mempengaruhi kesuksesan maupun kebahagiaan suatu pernikahan dan kehidupan rumah tangganya (Duvall, 1985). Pemilihan pasangan hidup sendiri merupakan salah satu tugas perkembangan yang dihadapi oleh seorang dewasa muda menurut teori tugas Perkembangan yang dikemukakan Havighurst pada tahun 1961. Dalam memilih pasangan hidup, tentu setiap orang memiliki dasar pertimbangan yang berbeda-beda.


(23)

Teori Psikodinamika memiliki pandangan bahwa pemilihan pasangan dapat dipengaruhi oleh pengalaman di masa kecil dan juga latar belakang keluarga. Keluarga sebagai lingkungan sosial pertama memiliki peran penting untuk mengenalkan budaya yang berlaku dalam keluarga tersebut. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Dengan adanya konsep ini mau tidak mau bagi orang yang lebih tua untuk memperkenalkan budaya Batak Toba kepada generasi berikutnya. Terlebih bagi orang tua yang berada di Jakarta, tentunya menjadi tantangan tersendiri ditengah majemuknya masyarakat sekitar untuk memperkenalkan budaya Batak Toba kepada anak-anaknya. Dengan adanya bentuk sosialisasi seperti ini, diharapkan akan menimbulkan perasaan memiliki (commitment) terhadap budayanya sehingga membentuk identitas etnik sebagai bagian dari Batak Toba.

Identitas etnik yang dimiliki seseorang merupakan sebuah proses yang akan terus mengalir sepanjang waktu dan dalam seluruh konteks (Puryakayastha, 2005). Identitas etnik berasal dari pengetahuan atau informasi yang seseorang miliki mengenai kelompoknya dan di dalamnya terkandung nilai dan keterikatan terhadap kelompok tersebut (Tajfel, 1981). Selain memperoleh informasi mengenai Batak Toba melalui orang tua, seseorang juga berusaha untuk mencari informasi, pemahaman, dan pengalaman yang sesuai etniknya dari lingkungannya berada, hal ini disebut exploration menurut Phinney (1992). Berpartisipasi dalam kelompok sosial yang ada dalam kelompok etniknya juga dilakukan atau dianjurkan oleh orang tua kepada anaknya untuk lebih dekat dengan budayanya.


(24)

Suku Batak Toba yang berada di Jakarta tentu memiliki keinginan yang sama untuk mempertahankan kesinambungan dari marganya. Kenrick (1994) berpendapat bahwa pemilihan pasangan ini bertujuan untuk melanjutkan eksistensi dan kemakmuran dari manusia. Bagi orang tua Batak Toba tentu berharap untuk terus memiliki keturunan agar marga yang dimiliki sejak dahulu kala tetap berlangsung. Tak jarang orang tua juga menginginkan pasangan anaknya juga berasal dari Suku Batak Toba, hal ini didasarkan oleh keyakinan dan pengalaman orang tua bahwa Suku Batak Toba merupakan pasangan yang cocok dalam kehidupan berbudaya.

Dalam Batak Toba sendiri terdapat pandangan mengenai pencapaian apa yang biasanya menjadi harapan dari Suku Batak Toba. Pandangan hagabeon (kesejahteraan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan) (Simanjuntak, 2006). Pandangan hagabeon sendiri dipandang sebagai bagaimana usaha yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dengan siapa saja pasangannya kelak dapat menjalani hidup yang sejahtera. Hagabeon itu sendiri acapkali tidak jauh dari istilah hamoraon. Ketika seseorang yang berhasil secara ekonomi kiranya dapat dipandang sebagai orang yang berhasil di masyarakat, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan derajat sosial keluarga dalam masyarakat sesuai dengan pandangan hagabeon.

Dalam budaya Batak Toba sesungguhnya tidak terdapat peraturan tertulis yang mengharuskan anaknya untuk memilih pasangan yang berasal dari suku yang sama. Namun dalam Batak Toba terdapat nilai yang mewajibkan generasi berikutnya untuk tetap menjaga tatanan budaya maupun adat yang berlaku dalam


(25)

masyarakat Batak Toba. Nilai-nilai inilah yang ditanamkan oleh orang yang lebih tua terhadap generasi muda. David M. Buss (1985) mengemukakan bahwa seorang individu cenderung untuk memilih seseorang untuk dinikahi yang memiliki kemiripan dengan dirinya hampir di setiap variabel. Bagi orang tua yang masih memegang teguh adat Batak Toba, memiliki harapan atau bahkan menginginkan anaknya untuk mencari pasangan yang berasal dari suku yang sama. Hal ini didasari oleh sulitnya untuk memadukan dua buah budaya yang berbeda, dimana masing-masing budaya tentunya memiliki peraturan yang berbeda dalam perkawinan.

Pernikahan merupakan tuntutan sosial yang diberikan oleh keluarga maupun masyarakat Batak Toba terhadap generasi mudanya. Dengan menganut sistem patrineal, seorang laki-laki Batak Toba memang memiliki peran untuk menjaga keberlangsungan marganya. Dengan peran yang dimiliki ini, tentunya laki-laki diharapkan untuk dapat memperoleh hasangapon, hagabeon dan hamoraon sesuai dengan harapan yang pada umumnya dimiliki oleh orang tua terhadap anaknya. Wanita Batak Toba walaupun tidak mewariskan marga kepada anaknya kelak, tentunya juga memiliki peran tertentu dalam mewariskan marga dari suaminya kelak. Wanita Batak Toba diharapkan dapat melahirkan dan juga mendidik anaknya kelak agar mau melestarikan budaya Batak Toba.

Dengan adanya keinginan dari orang tua seperti tersebut di atas, tidak langsung membuat seorang individu akan memilih pasangan berdasarkan latar belakang budaya saja. Seperti yang dikemukakan oleh Townsend (1993), bahwa pemilihan pasangan merupakan kriteria yang umumnya dipertimbangkan,


(26)

diinginkan dan diprioritaskan individu menjadi pasangannya. Hal yang biasanya menjadi pertimbangan bagi seorang Batak Toba dan telah dibahas sedikit sebelumnya adalah status attractiveness, yaitu keinginan seseorang untuk memiliki pasangan yang memahami dan dapat menempatkan posisi dalam konteks budaya yang berlaku dalam Batak Toba. Berdasarkan pemahaman mengenai etnik yang dimiliki, individu akan mempersepsikan diri mereka ke dalam lingkungannya sebagaimana mereka mengkategorisasikan dan membandingkan diri mereka terhadap orang lain yang memiliki etnik yang sama ataupun berbeda (Constant dan Zimmerman, 2007).

Hal berikutnya yang menjadi pertimbangan bagi seorang Batak Toba adalah kesediaan mendukung pasangan (willingness to support) yaitu kesediaan individu itu sendiri atau pasangannya untuk dapat menerima pasangannya maupun keluarga besar pasangannya. Menikah bagi masyarakat Batak Toba tidak hanya sekedar menikahkan dua orang individu, namun juga menjadikan dua buah keluarga yang tidak ada hubungan sebelumnya ke dalam suatu hubungan yang saling membutuhkan dalam kegiatan adat kedepannya. Dengan adanya ikatan antara dua keluarga ini membuat commitment (sense of belonging) yang dimiliki oleh individu terhadap keluarga dan budayanya akan semakin kuat.

Berbicara mengenai keluarga, latar belakang keluarga juga merupakan faktor yang secara umum mempengaruhi pemilihan pasangan (DeGenova, 2008). Dengan mengetahui latar belakang keluarga merupakan langkah awal untuk menemukan kecocokan dengan latar belakang keluarga yang dimiliki. Selanjutnya DeGenova juga menjelaskan ada beberapa hal yang diperhatikan mengenai latar


(27)

belakang keluarga, salah satunya adalah rasa atau suku. Pernikahan antar rasa tau antar suku dalam masyarakat masih menjadi suatu yang perlu diperdebatkan. Hal ini dikarenakan permasalahan yang terjadi bukan berasal dari kedua pasangan, namun juga berasal dari keluarga, teman maupun masyarakat di sekitar.

F. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut “Terdapat hubungan antara identitas etnik dengan pemilihan pasangan pada Batak Toba kelahiran Jakarta”.


(1)

jelas di papan nama lapo tersebut, dimana tersedia mulai dari panggang, saksang, ikan mas arsik hingga sambal teri. Biasanya lapo ini akan sangat dipadati oleh orang Batak ketika memasuki jam makan siang atau pada hari minggu setelah beribadah. Kesempatan untuk berkumpul dan bercengkrama dengan sesama perantau atau orang Batak yang telah lama tinggal di Jakarta sangat dimanfaatkan untuk menciptakan persaudaraan.

Selain berkumpul di tempat makan yang menyediakan aneka makanan khas Batak, melalui kelompok atau perkumpulan juga sering mengadakan kegiatan partangiangan atau acara doa bersama bagi umat Kristen. Kegiatan doa bersama ini juga bisa menjadi kesempatan bagi orang tua untuk mengenalkan anaknya pada kerabatnya di Jakarta. Kehidupan di Jakarta pada saat ini yang memang lebih banyak dihabiskan dalam pekerjaan dan kemacetan di jalan, membuat kegiatan perkumpulan seperti ini hanya dilaksanakan paling cepat satu kali dalam sebulan.

E. Hubungan Identitas Etnik Dengan Pemilihan Pasangan Batak Toba

Pemilihan pasangan hidup merupakan hal yang penting untuk diangkat, dimana ketika seseorang membuat keputusan memilih pasangan hidup yang tepat dapat mempengaruhi kesuksesan maupun kebahagiaan suatu pernikahan dan kehidupan rumah tangganya (Duvall, 1985). Pemilihan pasangan hidup sendiri merupakan salah satu tugas perkembangan yang dihadapi oleh seorang dewasa muda menurut teori tugas Perkembangan yang dikemukakan Havighurst pada tahun 1961. Dalam memilih pasangan hidup, tentu setiap orang memiliki dasar pertimbangan yang berbeda-beda.


(2)

Teori Psikodinamika memiliki pandangan bahwa pemilihan pasangan dapat dipengaruhi oleh pengalaman di masa kecil dan juga latar belakang keluarga. Keluarga sebagai lingkungan sosial pertama memiliki peran penting untuk mengenalkan budaya yang berlaku dalam keluarga tersebut. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Dengan adanya konsep ini mau tidak mau bagi orang yang lebih tua untuk memperkenalkan budaya Batak Toba kepada generasi berikutnya. Terlebih bagi orang tua yang berada di Jakarta, tentunya menjadi tantangan tersendiri ditengah majemuknya masyarakat sekitar untuk memperkenalkan budaya Batak Toba kepada anak-anaknya. Dengan adanya bentuk sosialisasi seperti ini, diharapkan akan menimbulkan perasaan memiliki (commitment) terhadap budayanya sehingga membentuk identitas etnik sebagai bagian dari Batak Toba.

Identitas etnik yang dimiliki seseorang merupakan sebuah proses yang akan terus mengalir sepanjang waktu dan dalam seluruh konteks (Puryakayastha, 2005). Identitas etnik berasal dari pengetahuan atau informasi yang seseorang miliki mengenai kelompoknya dan di dalamnya terkandung nilai dan keterikatan terhadap kelompok tersebut (Tajfel, 1981). Selain memperoleh informasi mengenai Batak Toba melalui orang tua, seseorang juga berusaha untuk mencari informasi, pemahaman, dan pengalaman yang sesuai etniknya dari lingkungannya berada, hal ini disebut exploration menurut Phinney (1992). Berpartisipasi dalam kelompok sosial yang ada dalam kelompok etniknya juga dilakukan atau dianjurkan oleh orang tua kepada anaknya untuk lebih dekat dengan budayanya.


(3)

Suku Batak Toba yang berada di Jakarta tentu memiliki keinginan yang sama untuk mempertahankan kesinambungan dari marganya. Kenrick (1994) berpendapat bahwa pemilihan pasangan ini bertujuan untuk melanjutkan eksistensi dan kemakmuran dari manusia. Bagi orang tua Batak Toba tentu berharap untuk terus memiliki keturunan agar marga yang dimiliki sejak dahulu kala tetap berlangsung. Tak jarang orang tua juga menginginkan pasangan anaknya juga berasal dari Suku Batak Toba, hal ini didasarkan oleh keyakinan dan pengalaman orang tua bahwa Suku Batak Toba merupakan pasangan yang cocok dalam kehidupan berbudaya.

Dalam Batak Toba sendiri terdapat pandangan mengenai pencapaian apa yang biasanya menjadi harapan dari Suku Batak Toba. Pandangan hagabeon (kesejahteraan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan) (Simanjuntak, 2006). Pandangan hagabeon sendiri dipandang sebagai bagaimana usaha yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dengan siapa saja pasangannya kelak dapat menjalani hidup yang sejahtera. Hagabeon itu sendiri acapkali tidak jauh dari istilah hamoraon. Ketika seseorang yang berhasil secara ekonomi kiranya dapat dipandang sebagai orang yang berhasil di masyarakat, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan derajat sosial keluarga dalam masyarakat sesuai dengan pandangan hagabeon.

Dalam budaya Batak Toba sesungguhnya tidak terdapat peraturan tertulis yang mengharuskan anaknya untuk memilih pasangan yang berasal dari suku yang sama. Namun dalam Batak Toba terdapat nilai yang mewajibkan generasi berikutnya untuk tetap menjaga tatanan budaya maupun adat yang berlaku dalam


(4)

masyarakat Batak Toba. Nilai-nilai inilah yang ditanamkan oleh orang yang lebih tua terhadap generasi muda. David M. Buss (1985) mengemukakan bahwa seorang individu cenderung untuk memilih seseorang untuk dinikahi yang memiliki kemiripan dengan dirinya hampir di setiap variabel. Bagi orang tua yang masih memegang teguh adat Batak Toba, memiliki harapan atau bahkan menginginkan anaknya untuk mencari pasangan yang berasal dari suku yang sama. Hal ini didasari oleh sulitnya untuk memadukan dua buah budaya yang berbeda, dimana masing-masing budaya tentunya memiliki peraturan yang berbeda dalam perkawinan.

Pernikahan merupakan tuntutan sosial yang diberikan oleh keluarga maupun masyarakat Batak Toba terhadap generasi mudanya. Dengan menganut sistem patrineal, seorang laki-laki Batak Toba memang memiliki peran untuk menjaga keberlangsungan marganya. Dengan peran yang dimiliki ini, tentunya laki-laki diharapkan untuk dapat memperoleh hasangapon, hagabeon dan hamoraon sesuai dengan harapan yang pada umumnya dimiliki oleh orang tua terhadap anaknya. Wanita Batak Toba walaupun tidak mewariskan marga kepada anaknya kelak, tentunya juga memiliki peran tertentu dalam mewariskan marga dari suaminya kelak. Wanita Batak Toba diharapkan dapat melahirkan dan juga mendidik anaknya kelak agar mau melestarikan budaya Batak Toba.

Dengan adanya keinginan dari orang tua seperti tersebut di atas, tidak langsung membuat seorang individu akan memilih pasangan berdasarkan latar belakang budaya saja. Seperti yang dikemukakan oleh Townsend (1993), bahwa pemilihan pasangan merupakan kriteria yang umumnya dipertimbangkan,


(5)

diinginkan dan diprioritaskan individu menjadi pasangannya. Hal yang biasanya menjadi pertimbangan bagi seorang Batak Toba dan telah dibahas sedikit sebelumnya adalah status attractiveness, yaitu keinginan seseorang untuk memiliki pasangan yang memahami dan dapat menempatkan posisi dalam konteks budaya yang berlaku dalam Batak Toba. Berdasarkan pemahaman mengenai etnik yang dimiliki, individu akan mempersepsikan diri mereka ke dalam lingkungannya sebagaimana mereka mengkategorisasikan dan membandingkan diri mereka terhadap orang lain yang memiliki etnik yang sama ataupun berbeda (Constant dan Zimmerman, 2007).

Hal berikutnya yang menjadi pertimbangan bagi seorang Batak Toba adalah kesediaan mendukung pasangan (willingness to support) yaitu kesediaan individu itu sendiri atau pasangannya untuk dapat menerima pasangannya maupun keluarga besar pasangannya. Menikah bagi masyarakat Batak Toba tidak hanya sekedar menikahkan dua orang individu, namun juga menjadikan dua buah keluarga yang tidak ada hubungan sebelumnya ke dalam suatu hubungan yang saling membutuhkan dalam kegiatan adat kedepannya. Dengan adanya ikatan antara dua keluarga ini membuat commitment (sense of belonging) yang dimiliki oleh individu terhadap keluarga dan budayanya akan semakin kuat.

Berbicara mengenai keluarga, latar belakang keluarga juga merupakan faktor yang secara umum mempengaruhi pemilihan pasangan (DeGenova, 2008). Dengan mengetahui latar belakang keluarga merupakan langkah awal untuk menemukan kecocokan dengan latar belakang keluarga yang dimiliki. Selanjutnya DeGenova juga menjelaskan ada beberapa hal yang diperhatikan mengenai latar


(6)

belakang keluarga, salah satunya adalah rasa atau suku. Pernikahan antar rasa tau antar suku dalam masyarakat masih menjadi suatu yang perlu diperdebatkan. Hal ini dikarenakan permasalahan yang terjadi bukan berasal dari kedua pasangan, namun juga berasal dari keluarga, teman maupun masyarakat di sekitar.

F. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut “Terdapat hubungan antara identitas etnik dengan pemilihan pasangan pada Batak Toba kelahiran Jakarta”.