pengeluaran negara ISLAM DAN NEGARA

Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas
bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak
disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya
secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui
sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih
dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari agama.1Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa
urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral
Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi
seperti kalangan Kristen, Fasis Atau Komunisme.2 Dengan
berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang dianggapnya
mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara,
:3 Natsir menyebutkan
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di
dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang
]4[
.sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M.
Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia,
: yakni
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang

menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama
manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan dengan
sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang
berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan
garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta

1 M. Natsir, Agama dan Negara, 128.
2 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 87
3 ِaż-żariyat (27) : 56.

[4] M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 436

kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini
.4. diistilahkan dengan urusan kenegaraan
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut
Ahmad Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama,
faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan
polemik dan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam
dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku
tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasangagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang

cenderung sekuler.5 Sedangkan dalam konteks eforia politik
Islam saat itu, wacana tersebut juga sedang hangat diperdebatkan
di Timur Tengah karena isu tentang sekulerisme juga sangat kuat
di sana. Yakni pemisahan antara agama dan negara seperti halnya
yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.6Oleh sebab itu, tidak
menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran Soekarno
banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di Turki,
dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan
Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam,
meskipun dengan cara memperkenalkan Pancasila yang
]8[
.sebelumnya ia tentang sendiri
Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh
Indonesia dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga
telah ikut mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas
kenegaraan dalam Islam. Khususnya dalam menyumbangkan
4 Ibid.
5 Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, hlm.73. lihat Juga, Kamaruzaman, Relasi
Islam dan Negara, hlm. 61. Deliar Noer juga berpendapat bahwa pandangan mereka
( Soekarno dan Natsir) mewakili pandangan dua golongan besar di Indonesia, yakni

golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, baca Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam, 315
6 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.

[8]]8[ Ibid.

pemikirannya tentang bentuk negara Indonesia yang ideal menurut
.Islam, Padahal saat itu Indonesia belum merdeka
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno
Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara
Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa
agama (La> diniyyah) dan paham agama (Dini>).]9[ Dari
pernyataan tegas Natsir tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir
telah memberikan dua pilihan tersebut sebagai respon atas
menguatnya dualisme pemikiran Islam saat itu antara yang
.menginginkan dasar negara Islam dan sekular
Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam
membentuk masyarakat ke depan, karena paham ini akan
menagakibatkan manusia kehilangan pegangan hidup yang asasnya
kokoh, yakni gampang terserang penyakit syaraf dan rohani,

seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep tentang
Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat
]10[
.sendiri, bukan oleh Wahyu
Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu
memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilainilai hidup manusia dari taraf kehidupan kepada taraf
]11[
.”kemasyarakatan semata-mata
Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang
menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu
berdasarkan atas alasan bahwa secara sosiologis, mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim, dan masyarakat muslimlah
yang mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari bumi
nusantara ini, di samping itu baginya ajaran Islam mempunyai sifat

[9]]9[ M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 204.
[10]]10[ Ibid., hlm. 206
[11]]11[ Ibid.


yang sempurna bagi kehidupan negara dalam menjamin keragaman
]12[
.hidup antar berbagai golongan
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersamasama partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar
negara karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni
mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya
fakta normatif yang jauh sebelum Pancasila lahir, umat Islam di
Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan Islam dalam
kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat
kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam
pernyataannya yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman
]13[
.kehidupan bernegara dan bermasyarakat
Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb,
kata Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more
than a religious system, it is a complete civilization, Islam itu lebih
dari sebuah sistem peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan
yang lengkap dan sempurna.]14[ Artinya Islam tidak hanya
membicarakan persoalan keakhiratan unsich, melainkan juga
masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum dan

.pendidikan
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam
adalah agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud
(batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut
garis yang telah ditetapkan oleh Islam.]15[ Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa berdasarkan : pertama. Watak holistik Islam,
kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan ketiga,
kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat

[12]]12[ Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 62.
[13]]13[ Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 105.
[14]]14[ Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan, hlm. 199.
[15]]15[ Natsir, Capita Selecta, hlm. 437.

Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam
]16[
.dijadikan ideologi bangsa Indonesia
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa
ketika Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama,
mengemukakan dua premis pokok. Pertama, agama memberi

kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari
ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan dalam filsafat hanya
mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya wahyu, yaitu
empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan
]17[
.agama meliputi seluruh aspek kehidupan
Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri,
yang menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas
penduduk Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis
jika agama Islam menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu
untuk memperkuat ajaran Islam dalam jiwa masyarakat muslim
Indonesia, Islam perlu dijadikan dasar negara. apalagi dalam
sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk di Indonesia telah
menjadi salah satu sumber kekuatan politik di nusantara ini, ini
terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang hampir
semuanya menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan
]18[
.tersebut
Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir, yang terkesan
tidak konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia

berpendapat bahwa sudah sewajarnya Islam dijadikan dasar negara
[16]]16[ Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107. Yang dimaksud temanteman Natsir adalah Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan
K.H.Masjkur.
[17]]17[ Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang
Percaturan dalam Konstituante, cet. ke-3 (Jakarta:LP3ES, 1996) hlm. 164.
[18]]18[ Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 65. untuk lebih
lengkapnya mengenai kedatangan Islam dan perkembangannya di Indonesia. Baca,
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melcak AkarAkar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23-58.

karena secara sosiologis umat Islam di Indonesia memang
mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam kesempatan lain ia
:menyatakan
bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di “
kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam
sebagai dasar negara kita, tetapi berdasarkan pada keyakinan kami
bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan
masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi
kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup
keagaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan

]19[
.”di dalam negara ini
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia,
M. Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar
]20[
.”tidak akan melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi
Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan,
bahwa pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi
tentang maksud suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti
secara formal harus dinamakan negara Islam ataupun berdasarkan
Islam, tetapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam,
baik dalam teori maupun praktiknya.]21[ Dan mengenai dasar
negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam klausul-klausul
yang bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak-kehendak
]22[
.Islam
Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak perlu
memberi definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan
pengertian apa-apa tentang negara ini, apalagi sudah terdapat
[19]]19[ M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 203.

[20]]20[ Ibid.
[21]]21[ Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme, hlm. 205.
[22]]22[ Ibid., yang diperkuat dengan hasil wawancara antara Yusril dan M. Natsir
pada 24 Oktober 1988.

banyak pandangan tokoh yang berlainan dalam hal ini di
antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, Marx, Adam Smith,
Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan lain
]23[
.sebagainya
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak,
tugas dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan
atau organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi
oleh alat-alat material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh
]24[
.umum
Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu
]25[
dinamakan institusi apabila
Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan

.jasmani maupun rohani
Diakui oleh masyaraka
.Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan
Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai
.tertentu
.Berdasarkan atas paham hidup
.Mempunyai keanggotaan
.Mempunyai daerah berlakunya
.Mempunyai kedaulatan atas anggotanya
Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan.peraturan dan norma-normanya
Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus
mempunyai: a) wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan.
E) Undang-undang Dasar, atau suatu sumber hukum dan
kekuasaan lain yang tidak tertulis. ]26[ Melihat dari karakteristik
yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa dikatakan bahwa
[23]]23[ M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 198.
[24]]24[ Ibid.
[25]]25[ Ibid., hlm 199.
[26]]26[ Ibid.

konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat negara
.modern
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur
dasar dan pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan
keperluan masyarakat manusia yang tidak berubah-ubah selama
manusia masih bersifat manusia, baik itu manusia zaman unta,
]27[
.manusia zaman kapal terbang dan lain sebagainya
Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa
negara bisa menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukumhukum Islam.]28[ Dengan demikian negara hanyalah sebuah alat
.untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan ajaran-ajaran Islam
Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah
tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan
aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia
menyebutkan bahwa di antara aturan-aturan tersebut yaitu
kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan dan
lain-lain.]29[ Menurutnya negara di sini berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang
Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri,
]30[
.”(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat
Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang
menyuruh dan mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh
Soekarno, bahwa tidak ada ijma‘ ulama yang memerintahkan
membentuk negara dibantah oleh Natsir, menurutnya pengutipan
ijma‘ oleh Soekarno tentang masalah ini hanya mempersulit
]31[
.persoalan
[27]]27[ Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.
[28]]28[ Ibid., hlm. 452.
[29]]29[ Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.
[30]]30[ Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.
[31]]31[ Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.

Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara
nerupakan keharusan di dunia ini dan di zaman apapun,
mendirikan negara tidak perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi
negara telah ada sebelum dan sesudah Islam, Jadi dengan Islam
]32[
.atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara
Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas,
menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah
anti Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan
Institute of World Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila
:berubah. Ia menyatakan bahwa
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena
telah menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula
Indonesia, menurutnya negara ini juga negeri Islam, karena
kenyataannya negara ini diakui sebagai agama rakyat, meskipun
dalam konstitusi kami tidak dinyatakan tegas sebagai agama
negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem
kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) telah
ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang
berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara
]33[
.kita
Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang
:dengan doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan
Pancasila adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil “
dari konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan
sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan
tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki
oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam
pandangan umat Islam, rumusan Pancasila tidak memperlihatkan
sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun tidak
identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila telah mencakup cita.cita islam
[32]]32[ M. Natsir, Capita Selecta, hlm.442-443.
[33]]33[ Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 66.

Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila adalah manifestasi dari
maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan
melakukan setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik
]34[
.negara kita
Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan
pendiriaannya, pada 1957 di sidang konstituante ia kembali
menolak Pancasila sebagai dasar negara, karena ideologi ini
dianggap sebagai hasil ciptaan manusia dan tergolong sekuler.
Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa mungkin Natsir
mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi
pengaburan interprestai Pancasila yang dibuat-buat oleh
]35[
.masyarakat kita
Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia
menyatakan bahwa sidang konstituante adalah forum tempat
mengemukakan pendapat dan pikiran anggota secara lurus, jujur,
dan mencerminkan pemikiran yang hidup di masyarakat. Oleh
sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan inilah yang tepat
]36[
. untuk menolak Pancasila
Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa
penerimaan Natsir terhadap Pancasila selama 12 tahun sebagai
dasar dan ideologi negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam
majelis tersebut, ia sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan
]37[
.mengusulkan Islam sebagai dasar dan ideologi negara
Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas,
dengan mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang
majelis, memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila
dengan menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang
sepenuhnya menolak Pancasila. Njoto kemudian mengajukan
[34]]34[ Dikutip dari, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 72
[35]]35[Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 155.
[36]]36[ Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 141.
[37]]37[ Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni. 72

pertanyaan: Natsir yang mana yang harus diikuti, apakah Natsir
pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 1957? Atau malah tidak
]38[
.kedua-duanya
Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila
sebagai dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai
tejadinya perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957.
Namun perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam
sidang konstituante tersebut secara konstitusional adalah sah,
karena pada saat itu majelis belum menetapkan dasar negara baru
yang permanen. Dan sebagaimana tokoh politik yang lain, Natsir
sebagai representasi dari pihak muslim berhak mengajukan Islam
sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila dalam
]39[
.momen itu
Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut
Deliar Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante
merupakan forum tertinggi bagi para anggotanya untuk
mengusulkan ideologi negara yang mereka yakini dan cocok untuk
negara Indonesia. Kedua, dalam majelis, Natsir dan temantemanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam
memperjuangkan aspirasi politik umat Islam, yang menginginkan
Islam sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana wakil-wakil non
muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga
]40[
.menjelaskan usulannya secara argumentatif pula
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir
mengatakan boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak
menyalahi ajaran-ajaran Islam, sebab dari syarat-sayarat negara
yang ia sebut di atas adalah tidak sepenuhnya sistem negara Islam.
Kemudian menyinggung soal nama penguasa negara, Natsir juga
tidak bersikeras menggunakan istilah-istilah penguasa Islam,
[38]]38[ Ibid., hlm. 73.
[39]]39[ Ibid., hlm. 74.
[40]]40[ Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 284-285. Lihat juga, Faisal, Ibid., hlm. 74.

menurutnya boleh saja bernama khalifah, Amir al-Mu‘minin,
]41[
.presiden dan lain sebagainya
Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak
dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang
terpenting adalah seorang kepala negara tersebut sanggup
bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam
dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah
maupun praktiknya.]42[ Dan untuk syarat sebagai kepala negara
Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat dan tabi’atnya,
akhlak dan kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang
diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa dan keturunannya
]43[
.atau semata-mata keintelekannya saja
Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara
menurut Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang
layak diajaknya dalam mengatur umat. Adapun untuk urusanurusan yang di luar ketetapan agama, semua boleh diatur menurut
keadaan zaman, dengan cara-cara yang Muna>sabah, dan tidak
]44[
.melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan
Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh
:sistem negara lain, dalam hal ini ia menuliskan
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negaranegara lain, kita orang Islam ada hak mencontoh negara itu selama
tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang
diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah
monopoli salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada
hak mengambil peraturan-peraturan yang baik, yang tidak
berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, Jepang, Rusia, atau
]45[
.dari Finlandia umpamanya
[41]]41[ Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.
[42]]42[ Ibid., hlm.443..
[43]]43[ Ibid., hlm. 448. Baca juga Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 90
[44]]44[ Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 69.
[45]]45[ Natsir, Capita Selecta, hlm. 450.

Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular,
sebab dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang
memisahkan agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan
bahwa Natsir menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara
.yang lengkap sehingga ia harus mencontoh Barat
Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang
sama, yakni contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas
sangatlah liberal, karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara
totaliter yang berhaluan fasis, apalagi Rusia adalah sebuah negara
komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja ditunjukkan
oleh Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin
politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem]46[
.sistem pemerintahan yang telah ada di dunia ini
Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem
pemerintahan demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam
pandangannya prinsip musyawarah dalam Islam tidak selalu
identik dengan azas demokrasi, meskipun ia mengemukakan
bahwa Islam anti Istiibdad (despostisme), anti absolutisme dan
kesewenang-wenangan.]47[ Bukan berarti bahwa dalam
pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan
majelis Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh
dimusyawarahkan hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum
]48[
.Islam (syari’at Islam), bukan dasar negaranya
Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang
memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan
membetulkan pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan
]49[
.kekuatan dan kekerasan untuk menghilangkannya
[46]]46[ Dikutip dari, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70.
[47]]47[ Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 91
[48]]48[ M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 452.
[49]]49[ Ibid., hlm. 439.

Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem
kenegaraan Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya
kepada instrumen demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong
dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan
bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah
memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi bukan
]50[
.berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat bahaya
Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian,
suatu paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat
sendiri. Intinya “Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula
otokrasi 100%, Islam itu…yah Islam”.]51[ Hal ini disebabkan
karena politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada
kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak dapat
melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan Tuh
Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana
sesungguhnya demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam
sidang konstituante 1957 ia memperkenalkan konsep demokrasi
yang ia maksudkan, “Thestic Democracy”, yaitu demokrasi yang
dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.]53[ Maksudnya keputusan
mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan, yang
kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk tempat
.dan zaman tertentu
Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas
dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan
negara tidak dapat dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung
Islam dijadikan ideologi negara. kesimpulan tersebut bisa dilihat
:dari pernyataannya bahwa
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh
diabaikan sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan
agama dan negara. Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah
[50]]50[ Ibid., hlm. 452.
[51]]51[ Ibid., hlm. 453.
[53]]53[ Ibid., baca juga, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm. 79.

suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan, melainkan sebuah alat.
Persatuan tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu cukup
!dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada negara, bukan begitu
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak
dapat dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang
menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang
Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri
.]54[(individu), ataupun sebagai masyarakat
Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam
pandangan Natsir boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, menurutnya,
hubungan agama dan negara dalam politik Islam tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama yang
lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar yang dapat
diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas,
Natsir sebagai tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam
.sebagai dasar negara Indonesia
Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar
dalam masalah persatuan atau pemisahan agama dan negara ini
]55[
.tidak menjadikan “sejarah sebagai ukuran” kebenaran terakhir
[54]]54[ Natsir, Capita Selecta, 442.
[55]]55[ Ibid., hlm. 489.

ISLAM DAN NEGARA

COLLECTOR
H.AZWAR AZIZ

ISLAM DAN NEGARA

COLLECTOR
H.AZWAR AZIZ